1
BAB l PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penyakit kronik yang muncul pada masa anak akan mempengaruhi kualitas tumbuh kembang dan potensi anak di masa depan salah satunya penyakit epilepsi. Epilepsi atau disebut dengan ayan merupakan suatu gejala gangguan pada otak atau gangguan neurologis yang bersifat kronis dan ditandai oleh timbulnya kejang berulang akibat impuls saraf di otak yang berlebihan (Sofwan, 2011). Kejang epilepsi (epileptic seizure) merupakan suatu manifestasi klinis yang diduga hasil dari abnormalitas dan akibat berhentinya fungsi sekelompok sel neuron di otak. Manifestasi klinis epilepsi merupakan kondisi yang akut dan berlangsung sementara seperti kesadaran, gangguan motorik, sensorik, autonom atau psikis yang dirasakan oleh pasien dan dapat disaksikan oleh orang lain (Sofwan, 2011). Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dirincikan oleh terjadinya serangan yang bersifat spontan dan berkala. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas yang berasal dari sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sinkron dan berirama, dimana epilepsi ini dapat
mengakibatkan turunnya daya ingat anak dan mengganggu aktifitas anak
sehari-hari (Riyadi dan Sukarmin, 2009). World Health Organization (WHO) menyebutkan, insidens epilepsi di Negara maju berkisar 50 per 100.000 penduduk, sedangkan di Negara
1
2
berkembang 100 per 100.000 ribu penduduk. Salah satu penyebab tingginya insidens epilepsi di negara berkembang adalah suatu kondisi yang dapat menyebabkan kerusakan otak permanen. Kondisi tersebut di antaranya infeksi, komplikasi prenatal, perinatal, serta post natal (Harsono, 2007). Menurut International League Against Epilepsi (ILAE) dan International Bureau for Epilepsi (IBE) pada tahun 2005 epilepsi merupakan suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Keadaan ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epilepsi sebelumnya. Sedangkan bangkitan epilepsi merupakan sebagai tanda atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak (Raharjo, 2007) Jumlah kasus epilepsi di Indonesia sulit diperkirakan, karena pada kondisi tanpa serangan, pasien terlihat normal dan semua dan laboratorium juga normal. Namun ada studi yang melaporkan bahwa prevalensi epilepsi di Indonesia bersikar 0,5-2% dari jumlah penduduk. Insiden paling tinggi pada umur 20 tahun dan meningkat lagi setengahnya terkait
dengan kemungkinan terjadinya penyakit
serebrovaskuler. Pada 75% pasien, epilepsi terjadi sebelum umur 18 tahun (Ikawati, 2011). Prognosis umumnya baik, 70-80% pasien yang mengalami epilepsi akan sembuh dan kurang lebih separo pasien akan terbebas dari obat. Sementara 20-30%
3
mungkin akan berkembang menjadi epilepsi kronis, dimana pengobatannya akan semakin sulit dan 5% diantaranya akan tergantung pada orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Pasien dengan lebih dari satu jenis epilepsi, mengalami reterdasi mental dan gangguan psikiatri dan neurologik prognosisnya tidak begitu baik (Ikawati, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Eriksson dan Koivikko di Finlandia, penyebab epilepsi pada anak-anak adalah idiopatik (64%), prenatal (15%), perinatal (9%) dan postnatal (12%). Pada intra natal Umur ibu juga dapat menyebabkan bayi yang dilahirkan premature atau posmatur dengan berat badan lahir rendah yang dapat mengalami asfiksia. Asfiksia memegang peranan penting, di samping tindakan forsep dan trauma (Raharjo, 2007 ). Epilepsi dapat disebabkan oleh aktifitas syarat abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak akibat faktor antenatal yaitu (umur ibu saat hamil, ibu yang mengalami hipertensi, kehamilan primipara) dimana umur ibu di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan, ibu yang mengalami hipertensi dapat menyebabkan aliran darah ke plasenta berkurang sehingga berakibat keterlambatan pertumbuan intruterin, yang menyebabkan bayi BBLR dan asfiksia (Raharjo, 2007). Faktor perinatal (asfiksia dan BBLR ) bayi yang asfiksia dan dan BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal, dan dapat menyebabkan epilepsi pada perkembangan selanjutnya. Adapun faktor lain
4
yaitu faktor postnatal (kejang demam dan cedera kepala) Faktor demam kejang cedera kepala yang dapat menjadi resiko epilepsi anak (Raharjo, 2007). Anak yang menderita epilepsi memerlukan penatalaksaan yang tepat karena bangkitan epilepsi yang tidak terkontrol akan meningkatkan risiko mortalitas 23 kali populasi normal akibat sudden death, trauma, bunuh diri, dan status epileptikus. Penatalaksaan yang komprehensif juga diperlukan karena bangkitan yang berulang akan menurunkan kualitas hidup penderita (Deboer dkk, 2008). Di Medan, khususnya di RSUD Deli Serdang, belum diketahui prevalensi epilepsi pada anak serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penderita epilepsi dapat mengalami gangguan pada perkembangan anak, hal ini terkait dengan faktor dari epilepsi itu sendiri yaitu faktor antenatal (usia ibu saat hamil, ibu yang mengalami hipertensi saat hamil), faktor perinatal (asfiksia, BBLR), faktor postnatal (kejang demam, cedera kepala). Berdasarkan survey awal yang dilakukan oleh peneliti di Rumah Sakit Umum Deli Serdang pada bulan Mei 2013-April 2014 menunjukkan bahwa terdapat 43 orang anak usia dibawah 6 tahun yang berobat di ruang neorologi RSUD Deli Serdang 27 anak yang mengalami epilepsi. Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dilihat bahwa masih tingginya angka kejadian epilepsi, peneliti tertarik untuk meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya epilepsi pada anak di bawah umur 6 tahun di Rumah Sakit Umum Deli Serdang.
5
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah apa saja hubungan yang dapat menyebabkan terjadinya epilepsi pada anak di bawah umur 6 tahun di Rumah Sakit Umum Deli Sedang.
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor–faktor yang mempengaruhi terjadinya epilepsi pada anak di bawah umur 6 tahun di Rumah Sakit Umum Deli Serdang. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Apakah ada hubungan faktor antenatal (usia ibu saat hamil, ibu yang mengalami hipertensi saat hamil) dengan kejadian epilepsi pada anak di bawah usia 6 tahun. 2. Apakah ada hubungan faktor perinatal (asfiksia dan BBLR saat hamil) dengan kejadian epilepsi pada anak di bawah usia 6 tahun. 3. Apakah ada hubungan faktor postnatal (demam kejang dan cedera kepala) dengan kejadian epilepsi pada anak dibawah usia 6 tahun.
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Bagi Ilmu Pengetahuan Diharapkan dapat digunakan sebagai pembelajaran dalam penanganan kasus epilepsi pada anak.
6
1.4.2. Bagi Pendidikan Kesehatan Khususnya Kebidanan Dapat digunakan sebagai informasi bagi institusi pendidikan dalam pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan dimasa yang akan datang. 1.4.3. Bahan Lahan Praktik Dengan adanya penulisan karya tulis ilmiah ini dapat menambah bahan bacaan untuk meningkatkan mutu pelayanan yang lebih baik, khususnya pasien yang mengalami epilepsi. 1.4.4. Bagi Pendidikan Akbid Audi Husada Dapat digunakan sebagai informasi dan bahan tambahan referensi di perpustakaan bagi pendidikan Akbid Audi Husada dalam proses belajar dan menjadi tambahan ilmu pengetahuan. 1.4.5. Bagi Peneliti Dapat menambah wawasan dan pengalaman bagi peneliti tentang penanganan epilepsi pada anak. 1.4.6. Bagi Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber data dasar dan juga perbandingan bagi penelitian lainnya yang berkaitan dengan epilepsi.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Epilepsi 2.1.1. Definisi Epilepsi Epilepsi ialah gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya serangan yang bersifat spontan dan berkala. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas yang berasal dari sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sinkron dan berirama. Bangkitan kejang yang terjadi pada epilepsi, kejang akibat lepasnya muatan listrik yang berlebihan di sel neron saraf pusat. Lepasnya muatan listrik yang berlebihan ini karena faktor gangguan fisiologis, gangguan biokimiawi, gangguan anatomis atau gabungan dari faktor-faktor tersebut (Riyadi dan Sukarmin, 2009 ). Epilepsi merupakan suatu perubahan fungsi otak secara mendadak dan sangat singkat atau sementara yang dapat disebabkan oleh aktifitas otak yang abnormal serta adanya pelepasan listrik serebral yang sangat berlebihan. Terjadinya kejang pada epilepsi dapat disebabkan oleh malformasi otak congenital, faktor genetis atau adanya penyakit seperti meningitis, ensefalitis serta demam yang tinggi, gngguan metabolisme, trauma dan lain sebagainya (Raharjo, 2007). Epilepsi merupakan suatu menifestasi lepas muatan listrik yang berlebihan di sel neuron saraf pusat. Keadaan ini merupakan gejala terganggunya fungsi otak. Serangan dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis. Istilah
7
8
epilepsi tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali saja, serangan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung, misalnya kejang atau serangan pada hipoglikemia (Ngastiyas, 2005). Kata epilepsi berasal dari kata Yunani epilepsia yang berarti bangkitan. Masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan juga dipercaya bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Hal ini merupakan latar belakang adanya mitos dan rasa takut terhadap epilepsi. Mitos tersebut mewarnai sikap masyarakat dan menyulitkan upaya untuk membawa penderita epilepsi kedalam kehidupan normal (Harsono, 2007). 2.1.2. Patofisiologi Epilepsi Aktifitas neuron di atur oleh konsentrassi ion di dalam ruang ekstra selluler dan di dalam intra seluler dan oleh gerakan keluar masuk ion-ion menerobos membrane neuron. Pada kejadian epilepsi ion-ion tersebut tidak terkoordiasi dengan baik sehingga dapat timbul loncatan muatan. Akibat loncatan neuron yang tidak terkoordinasi dengan baik sekelompok neuron akan mengalami abnormal depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan ptensial aksi secara cepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik yang abnormal ini kemudian mengajak neuron-neuron sekitarnya sehingga menimbulkan serangkaian gerakan yang melibatkan otot dan menimbulkan kejang. Spasme pada otot terjadi pada hampir semua bagian termasuk otot mulut sehingga penderita mengalami ancaman perlakuan pada lidah. Kelainan sebagian besar dari neuron otak yang diakibatkan gangguan listrik juga mengakibatkan
9
penurunan kesadaran secara tiba-tiba sehingga beresiko cidera karena benturan benda sekitar atau terkena benda yang berbahaya seperti api, listrik atau benda lain. (Raharjo, 2007) 2.1.3. Klasifikasi Epilepsi pada Anak Menurut Riyadi dan Sukarmin 2009, secara klinis berdasarkan serangan epilepsi terbagi menjadi : 1. Serangan Parsial atau Fokal a. Serangan Parsial Sederhana atau Parsial Elementer Serangan ini berupa tiba-tiba muncul sensasi yang aneh diikuti dengan gerakan menyentak pada sebagian anggota tubuh, penyimpangan pendengaran atau penglihatan, perasaan tidak enak di perut dan mendadak timbul rasa takut. Pada serangan parsial sederhana ini penderita tidak mengalami penurunan kesadaran. b. Serangan Parsial Kompleks Serangan ini di cirikan dengan gerakan yang rumit dan diikuti penurunan kesadaran. Selama serangan penderita nampak bingung, kadang-kadang tampak gerakan tidak bertujuan, gerakan berputar pada leher, mulut berkomat-kamit dan mata terbuka lebar. Setelah sadar penderita tidak ingat lagi gerakan yang telah dilakukannya. c. Serangan Umum Serangan ini terjadi karena seluruh bagian otak terlibat pada gangguan loncatan listrik.
10
Serangan umum ini dapat dalam bentuk : a) Serangan Absence Serangan ini berupa kehilangan kesadaran 5-15 detik. Selama itu penderita terbelalak seakan–akan melihat ke angkasa dan bola mata dapat berputar ke atas. Pada serangan ini penderita segera sadar dan melakukan aktifitas kembali. Serangan ini merupakan serangan khas pada anak-anak dan menghilang pada usia remaja. b) Serangan Konik-Klonik Serangan kejang terjadi dalam 2 tahap. Pada tahap klonik penderita akan kehilangan kesadaran kemudian terjatuh dan badan menjadi kaku. Pada tahap klonik tampak lengan dan tungkai bergelonjotan. Setelah serangan reda penderita akan berangsur-angsur pulih kembali. 2.1.4. Diagnosis Epilepsi Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan (Raharjo, 2007). 2.1.4.1. Anamnesis Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan
11
merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu. Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi : A. Pola/bentuk serangan B. Lama serangan C. Gejala sebelum, selama dan paska serangan D. Frekwensi serangan E. Faktor pencetus F. Ada/tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang G. Usia saat serangan terjadinya pertama H. Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan I. Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya J. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga 2.1.4.2. Pemeriksaan Fisik Umum dan Neurologis Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difusi. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.
12
2.2. Faktor-faktor Risiko Epilepsi Epilepsi dapat dianggap sebagai suatu gejala gangguan fungsi otak yang penyebabnya bervariasi terdiri dari berbagai faktor. Epilepsi yang tidak diketahui faktor penyebabnya disebut idiopatik. Umumnya faktor genetik lebih berperan pada epilepsi idiopatik. Sedang epilepsi yang dapat ditentukan faktor penyebabnya disebut epilepsi simtomatik. Epilepsi idiopatik diduga adanya kelainan genetik sebagai berikut Untuk menentukan faktor penyebab dapat diketahui dengan melihat usia serangan pertama kali. Misalnya usia dibawah 18 tahun kemungkinan faktor ialah trauma perinatal, kejang demam, radang susunan saraf pusat, struktural, penyakit metabolik, keadaan toksik, penyakit sistemik, penyakit trauma kepala dan lain-lain. Diperkirakan epilepsi disebabkan oleh keadaan yang mengganggu stabilitas neuron-neuron otak yang dapat terjadi pada saat prenatal, perinatal ataupun postnatal. Faktor prenatal dan perinatal saling berkaitan dalam timbulnya gangguan pada janin atau bayi yang dilahirkan yang dapat menyebabkan epilepsi (Raharjo, 2007). 2.2.1. Faktor Antenatal Faktor-faktor yang menyebabkan epilepsi pada anak adalah faktor antenatal, faktor-faktor antenatal tersebut ialah : 1. Umur Saat Ibu Hamil Umur ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang akan dilahirkan. Umur ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan.
Komplikasi
13
kehamilan di antaranya adalah hipertensi dan eklamsia, sedangkan gangguan pada persalinan di antaranya adalah trauma persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan prematuritas, lahir dengan berat badan kurang, penyulit persalinan dan partus lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dengan asfiksia. Pada asfiksia akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Asfiksia akan menimbulkan lesi pada daerah hipokampus dan selanjutnya menimbulkan fokus epileptogenik. Penelitian kasus kontrol oleh Sidenvall R, dkk di Swedia tahun 1985 - 1987 tentang faktor risiko prenatal dan perinatal terhadap kejadian epilepsi pada anak yang tidak diprovokasi oleh kejang demam, didapatkan hasil bahwa usia kehamilan tua dan muda merupakan faktor risiko terhadap kejadian epilepsi. 2. Kehamilan dengan Eklamsia dan Hipertensi Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti plasenta previa dan eklamsia dapat menyebabkan asfiksia pada bayi. Eklamsia dapat terjadi pada kehamilan primipara atau usia pada saat hamil diatas 30 tahun. Penelitian terhadap penderita epilepsi pada anak, mendapatkan angka penyebab karena eklamsia sebesar (9%). Asfiksia disebabkan adanya hipoksia pada bayi yang dapat berakibat timbulnya epilepsi. Hipertensi pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ke placenta berkurang, sehingga berakibat keterlambatan pertumbuhan intrauterin dan BBLR. Keadaan ini
14
dapat menimbulkan asfiksia pada bayi yang dapat berlanjut pada epilepsi di kemudian hari. Penelitian oleh Sidenvall R dkk, mendapatkan hasil bahwa hipertensi selama kehamilan merupakan faktor risiko epilepsi pada anak. 2.2.2. Faktor Perinatal Faktor perinatal merupakan faktor terjadinya epilepsi pada anak, adapun faktor perinatal tersebut adalah sebagai berikut : 1. Asfiksia Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau perdarahan intrakranial. Penyebab yang paling banyak akibat gangguan prenatal dan proses persalinan adalah asfiksia, yang akan menimbulkan lesi pada daerah hipokampus, dan selanjutnya menimbulkan fokus epileptogenik. Pada asfiksia perinatal akan terjadi hipoksia dan iskemia di jaringan otak. Keadaan ini dapat menimbulkan bangkitan epilepsi, baik pada stadium akut dengan frekuensi tergantung pada derajat beratnya asfiksia, usia janin dan lamanya asfiksia berlangsung. Bangkitan epilepsi biasanya mulai timbul 6-12 jam setelah lahir dan didapat pada 50% kasus, setelah 12-24 jam bangkitan epilepsi menjadi lebih sering dan hebat. Pada kasus ini prognosisnya kurang baik. Pada 75%-90% kasus akan didapatkan gejala sisa gangguan neurologis, di antaranya epilepsi. Hipoksia dan iskemia akan menyebabkan peninggian cairan dan Na intra seluler sehingga terjadi odem otak. Daerah yang sensitif terhadap hipoksia adalah inti-inti pada batang otak, talamus, dan kollikulus inferior, sedangkan terhadap
15
iskemia adalah "watershead area" yaitu daerah parasagital hemisfer yang mendapat vaskularisasi paling sedikit. Hipoksia
dapat
mengakibatkan
rusaknya
faktor
inhibisi
dan
atau
meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Penelitian oleh Sidenvall R dkk di Swedia, menemukan bahwa asfiksia dengan Apgar score ≤ 6 merupakan faktor risiko epilepsi pada anak 2. Berat Badan Lahir Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir dengan beratkurang dari 2500 gram. BBLR dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia otak dan perdarahan intraventrikuler. Iskemia otak dapat menyebabkan terbentuknya fokus epilepsi. Bayi dengan BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal. Adanya kerusakan otak, dapat menyebabkan epilepsi pada perkembangan selanjutnya. Trauma kepala selama melahirkan pada bayi dengan BBLR < 2500 gram dapat terjadi perdarahan intrakranial yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadi komplikasi neurologi. 2.2.3 Faktor Postnatal Faktor postnatal merupakan faktor penyebab terjadinya epilepsi pada anak, adapun faktor postnatal tersebut adalah sebagai berikut :
16
1. Kejang Demam Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhurectal di atas 38ºC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Anak-anak yang mengalami kejang demam tersebut tidak mengalami infeksi susunan pusat atau gangguan elektrolit akut. Umumnya anak yang mengalami kejang demam berusia antara 6 bulan sampai 5 tahun, paling sering usia 18 bulan. Berapa batas umur kejang demam tidak ada kesepakatan, ada kesepakatan yang mengambil batas antara 3 bulan sampai 5 tahun, ada yang yang menggunakan batas bawah adalah 1 bulan. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Awitan di atas 6 tahun sangat jarang. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian mengalami kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang demam dapat dibagi menjadi kejang demam sederhana (Simple FebrileSeizure) dan kejang demam komplek (Complex Febrile Seizure). Bentuk paling sering adalah kejang demam sederhana. Kejang berbentuk tonik atau tonik klonik. Kejang berlangsung singkat kira–kira satu menit, lalu anak menangis. Selama hidupnya, ia hanya mengalami kejang 1-2 kali. Kejang demam komplek terjadi pada kira-kira 30% anak, dan mempunyai beberapa ciri yaitu: A. Bangkitan kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit. B. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang Parsial C. Bangkitan kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam
17
Harus dibedakan antara kejang demam sederhana dan kejang demam komplek, karena bentuk bangkitan menentukan risiko kemungkinan kerusakan otak, berulang kejang, kemungkinan menjadi epilepsi di kemudian hari, serta penatalaksanaan yang harus dilakukan. Menurut Suwitra dan Nuradyo 1992, kejang demam menjadi epilepsi kemungkinan melalui mekanisme sbb: 1. Kejang yang lamanya lebih dari 30 menit akan mengakibatkan kerusakan DNA dan protein sel sehingga menimbulkan jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghambat proses inhibisi. Hal ini akan mengganggu keseimbangan inhibisi eksitasi,sehingga mempermudah timbulnya kejang. 2. Kejang yang berulang akan mengakibatkan kindling efect sehingga rangsang dibawah nilai ambang sudah dapat menyebabkan kejang. 3. Kejang demam yang berkepanjangan akan mengakibatkan jaringan otakmengalami sklerosis, sehingga terbentuk fokus epilepsi. 4. Kejang demam yang lama akan mengakibatkan terbentuknya zat toksik berupa amoniak dan radikal bebas sehingga mengakibatkan kerusakan neuron. 5. Kejang demam yang lama akan mengakibatkan berkurangnya glukosa, oksigen, dan aliran darah otak sehingga terjadi edema sel, akhirnya neuron menjadi rusak. Shorvon
berpendapat
bahwa
kejang
demam
yang
berkepanjangan
menyebabkan iskemik otak, dan yang paling terkena dampaknya adalah lobus temporalis.
18
2. Cedera Kepala Trauma memberikan dampak pada jaringan otak yang dapat bersifat akut dan kronis. Pada trauma yang ringan dapat menimbulkan dampak yang muncul dikemudian hari dengan gejala sisa neurologik parese nervus cranialis, serta cerebral palsy dan retardasi mental. Dampak yang tidak nyata memberikan gejala sisa berupa jaringan sikatrik, yang tidak memberikan gejala klinis awal namun dalam kurun waktu 3 - 5 tahun akan menjadi fokus epilepsi. Menurut Willmore sebagaimana dikutip oleh Ali. RA mengemukakan, bila seseorang mengalami cedera di kepala seperti tekanan fraktur pada tengkorak, benturan yang mengenai bagian-bagian penting otak seperti adanya amnesia pasca traumatik yangcukup lama (> 2 jam) maka ia memiliki risiko tinggi terkena bangkitan epilepsi. Biasanya serangan berlangsung satu minggu setelah terjadinya cedera. Epilepsi biasanya mengalami perkembangan selama 1 tahun setelah terjadinya cedera (50% -60% pasien), dan dalam 2 tahun pada 85% pasien. Bangkitan epilepsi pasca cedera kepala pada anak-anak dibagi dalam 3 golongan yaitu: 1. Bangkitan segera, sebagai jawaban langsung atas serangan mekanis darijaringan otak yang mempunyai ambang rangsang yang rendah terhadapkejang. Biasanya berhubungan dengan faktor genetik. 2. Bangkitan dini, timbul dalam 24 - 48 jam, pada cedera kepala hebat sebagaiakibat dari udem otak, perdarahan intrakranial, kontusio, laserasi dan nekrosis.Bangkitan epilepsi biasanya bersifat kejang umum.
19
3. Bangkitan lambat, biasanya timbul dalam 2 tahun pertama setelah cedera kepala, bangkitan berasal dari parut serebro meningal akibat trauma yangtelah dibuktikan baik secara anatomis, maupun elektro-fisiologis. Kejadian epilepsi pasca cedera kepala yang tidak disertai gangguan kesadaran sebesar 2%, dengan gangguan kesadaran lebih dari 1 jam sebanyak 5 - 10% dan bila disertai kontusio otak 30% . Trauma kepala merupakan penyebab terjadinya epilepsi yang paling banyak (15%). Pada trauma terbuka 40% terjadi epilepsi, sedang pada trauma tertutup yang berat hanya 5%. Terjadinya epilepsi pada trauma kepala dengan perdarahan kemungkinan lebih besar. Studi kohort selama 7 tahun yang dilakukan oleh Appleton RE dan Demelweek, mendapatkan 9% anak dengan cedera kepala berkembang menjadi epilepsi setelah 8 bulan dan lebih dari 5 tahun setelah cedera kepala. Walaupun cedera kepala lebih ringan, pada anak-anak kemungkinan terjadinya bangkitan epilepsi lebih tinggi dari pada orang dewasa.
20
2.3. Kerangka Konsep Variable Independen
Variabel Dependen
Faktor Antenatal 1. Usia Ibu saat Hamil 2. Ibu yang Hipertensi saat Hamil
Faktor Perinatal 1. Asfiksia 2. BBLR
Epilepsi
Faktor Postnatal 1. Kejang Demam 2. Cedera Kepala
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
2.4. Hipotesis Berdasarkan uraian latar belakang dan tinjauan pustaka, maka hipotesis penelitian ini adalah : 1. Adanya hubungan faktor antenatal (usia ibu saat hamil dan ibu yang mengalami hipertensi saat hamil) dengan epilepsi pada anak dibawah usia 6 tahun di RSUD Deli Serdang. 2. Adanya hubungan faktor perinatal (Asfiksia dan BBLR) dengan terjadinya epilepsi pada anak dibawah usia 6 tahun di RSUD Deli Serdang.
21
3. Adanya hubungan faktor postnatal (kejang demam dan cedera kepala) dengan terjadinya epilepsi pada anak dibawah usia 6 tahun di RSUD deli serdang.
22
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian bersifat cros sectional. Penelitian cros sectional terdiri atas variable bebas dan terikat, membutuhkan jawaban mengapa dan bagaimana, Penelitian biasanya menggunakan analisis statistik inferensial, yaitu melihat faktor-faktor yang burhubungan dengan terjadinya epilepsi pada anak di bawah usia 6 tahun di RSUD Deli Serdang.
3.2. Lokasi Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di lakukan di RSUD Deli Serdang di Jln.Tamrin Kecamatan Lubuk Pakam, adapun alasan penelitian di lakukan di RSUD Deli Serdang karena masih tingginya angka kejadian Epilepsi di RSUD Deli Serdang. 3.2.2. Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Januari – April tahun 2014.
3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak dibawah usia 6 tahun yang di rawat diruang kenanga yang mengalami epilepsi dan yang tidak mengalami epilepsi di RSUD Deli Serdang.
22
23
3.3.2. Sampel Besar sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan total sampling yaitu 43 orang (Notoadmojo, 2010).
3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Jenis Data A. Data Sekunder Pengumpulan data sekunder diperoleh dari data yang ada di RSUD Deli Serdang Mei 2013 - April 2014. Data tersebut berisi mengenai jumlah anak menderita epilepsi, untuk mengetahui penyebab terjadinya epilepsi.
3.5. Definisi Operasional 1. Epilepsi adalah suatu serangan kejang yang spontan dan berkala yang deisebabkan oleh lepasnya muatan listrik dari sel neuron saraf pusat. Untuk analisis dilakukan pengkategorian ; 0. Epilepsi 1. Tidak epilepsi Metode pengukuran epilepsi adalah menggunakan skala ordinal. 2. Usia ibu dibawah usia 20 tahun dan diatas usia 35 tahun menyebabkan banyak komplikasi yang terjadi pada kehamilan dan persalinan. Untuk menganalisis dilakukan pengkategorian : 0. < 20 tahun 1. > 35 tahun
24
Metode pengukuran usia ibu adalah menggunakan skala nominal 3. Hipertensi saat hamil adalah suatu keadaan dimana tekanan dara meningkat yang di alami oleh ibu saat hamil. Untuk menganalisis dilakukan pengkategorian : 0. Hipertensi 1. Tidak hipertensi Metode pengukuran hipertensi adalah menggunakan skala ordinal. 4. Asfiksia adalah bayi yang lahir tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur. Untuk analisis dilakukan pengkategorian : 0. asfiksia 1. tidak asfiksia Metode pengukuran asfiksia adalah menggunakan skala ordinal. 5. BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah < 2500 gram : 0. BBLR 1. Tidak BBLR 6. Kejang demam adalah demam yangh di sertai kejang yang sebelumnya didahului panas dengan lama kejang lebih dari 15 menit dan umumnya penderita dirawat di rumah sakit. Untuk menganalisa dilakukan pengkategorian : 0. Kejang demam 1. Tidak kejang demam. Metode pengukuran kejang demam adalah menggunakan skala ordinal.
25
7. Cedera kepala adalah benturan pada kepala yang dapat mengakibatkan penderita hilang kesadaran saat benturan terjadi : 0. Cedera kepala 1. Tidak cedera kepala
3.6. Aspek Pengukuran Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variable Penelitian No Variabel 1 Epilepsi 2
Usia ibu saat hamil
3 4
Hipertensi saat ibu hamil Asfiksia
5
BBLR
6
Demam kejang
7
Cedera kepala
0. 1. 0. 1. 0. 1. 0. 1. 0. 1. 0. 1. 0. 1.
Kategori Epilepsi Tidak Epilepsi < 20 tahun > 35 tahun Hipertensi Tidak Hipertensi Asfiksia Tidak Asfiksia BBLR Tidak BBLR Demam Kejang Tidak demam Kejang Cedera Kepala Tidak Cedeka Kepala
Skala pengukuran Ordinal Nominal Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal
3.7. Pengolahan Data dan Analisa Data 3.7.1. Pengolahan Data Setelah data berhasil dikumpulkan, selanjutnya data diolah, adapun cara pengolahan data adalah sebagai berikut :
26
1. Editing (Penyuntingan Data) Merupakan kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian formulir atau kuesioner. 2. Coding (Membuat Lembaran Kode) Merupakan mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan. Misalnya : 1=laki-laki, 2=permpuan. 3. Tabulating (Tabulasi) Kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan kedalam master tabel atau data base computer, kemudian membuat distribusi sederhana atau dengan membuat table contigensi. 4. Cleaning (Pengecekan Kembali) Cleaning merupakan kegiatan pengecekan kembali data kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidak lengkapan dan sebagainya, kemudian dilakukan pembetula nataukoreksi. 3.7.2. Analisis Data a. Analisis Univariat Analisis data secara univariet bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Analisis ini di gunakan untuk menghasilkan distribusi frekuensi dan presentase dari setiap variabel.
27
b. Analisis Bivariat Analisis bivariate dilakukan untuk menguji ada tidaknya faktor-faktor yang mempengaruhi (usia ibu saat hamil, Ibu yang hipertensi, asfiksia, Bblr, kejang demam, cedera kepala) terjadinya epilepsi pada anak.
28
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang merupakan sebuah rumah sakit pemerintah yang dikelola oleh pemerintah daerah Deli Serdang, yang terletak di jl.Thamrin, kecamatan Lubuk Pakam kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang mulai berfungsi sejak tanggal 3 Februari 1964 dengan pelayanan rawat jalan dan rawat inap. RSUD Deli Serdang termasuk Rumah Sakit Umum tipe B. Adapun syarat dari Rumah Sakit Umum Tipe B adalah Rumah Sakit Umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik. RSUD Deli Serdang memiliki Dr.Spesialisanak 3, Dr.obgyn 5, Dr. mata 2, poliparu 2, Dr.Neurologi 2, Dr.Penyakit dalam 3, Dr.Gigi 3, Dr.penyakit Kulit 2, Dr.spekiateri 1, Poly THT 3, Dr.Ortepedi 2, Dr.Bedah 4. A. Visi RSUD Deli Serdang Visi RSUD Deli Serdang adalah memberikan pelayanan yang unggul dalam mutu prima dan dalam pelyanan serta menjadi pusat rujukan. Memberi pelayanan yang paripurna dan pro aktif untuk mewujudkan mayarakat sehat. Misi RSUD Deli Serdang 1. Memberikan pelayanan yang professional, terjangkau, mudah serta bertanggung jawab.
28
29
2. Mengembangkan dan meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM maupun sarana dan prasarana sesuai kebutuhan secara universal terarah dan berkeseimbangan. 3. Mengembangkan system Adm, informasi, dan komunikasi serta pengelolaan data dan pelaporan secara cepat dan akurat. 4. Membina dan mengembangkan hubungan kerja sama sekitar pelayanan kesehatan, pendidikan, penelitian dan lingkungan dengan instansi, perusahaan, lembaga, pendidikan, serta lembaga sosial. 5. Meningkatkan serta mengembangkan system manajemen yang transparan serta akomodatif dan responsif. B. Motto Cermat, cepat, efesiensi, ramah, memuaskan, amandan terjangkau.3 S : 1. Sambut dengan senyuman 2. Sapa dengan ramah dan santun 3. Sentuh dengan kasih dan saying.
4.2. Analisis Univariat Karakteristik respondent yang di teliti dalam peneltian ini meliputi :ibu yang hipertensi Tabel 4.1.. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kejadian Epilepsi pada Anak di Bawah Usia 6 Tahun di RSUD Deli Serdang No 1 2
Epilepsi Mengalami Tidak Mengalami Jumlah
f 27 16 43
% 62.8 37.2 100
30
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa angka tertinggi anak yang mengalami epilepsi yaitu 27 orang anak (62,79 %) dan terendah yang tidak mengalami 16 orang anak (37,21%). Tabel 4.2.
No 1 2
Distribusi Frekuensi yang Memengaruhi Terjadinya Epilepsi pada Anak di Bawah Usia 6 Tahun Berdasarkan Usia Ibu saat Hamil di RSUD Deli Serdang
Usia Ibu Hamil < 20 tahun >35 tahun Jumlah
f 27 16 43
% 62.8 37.2 100
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa frekuensi yang mempengaruhi terjadinya epilepsi berdasarkan usia ibu saat hamil tertinggi pada usia < 20 tahun sebanyak 27 orang (62.8%) sedangkan terendah pada usia > 35 tahun sebanyak 16 orang (37.2%). Tabel 4.3.
No 1 2
Distribusi Frekuensi yang Memengaruhi Terjadinya Epilepsi pada Anak di Bawah Usia 6 Tahun berdasarkan Hipertensi di RSUD Deli Serdang
Hipertensi Hipertensi Tidak Hipertensi Jumlah
f 26 17 43
% 60.5 39.5 100
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa frekuensi yang mempengaruhi terjadinya epilepsi berdasarkan ibu yang hipertensi, tertinggi pada ibu yang mengalami hipertensi sebanyak 26 orang (60.5%) sedangkan terendah pada ibu yang tidak mengalami hipertensi sebanyak 17 orang (39.5%).
31
Tabel 4.4.
No 1 2
Distribusi Frekuensi yang Memengaruhi Terjadinya Epilepsi Berdasarkan Bayi yang Asfiksia di RSUD Deli Serdang Bayi Asfiksia
f 28 15 43
Asfiksia Tidak asfiksia Jumlah
% 65.1 34.9 100
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa frekuensi yang mempengaruhi terjadinya epilepsi berdasarkan bayi asfiksia, tertinggi pada bayi yang mengalami asfiksia sebanyak 28 orang (65.1%) sedangkan terendah pada bayi yang tidak mengalami asfiksia sebanyak 15 orang (34.9%). Tabel 4.5.
No 1 2
Distribusi Frekuensi yang Memengaruhi Terjadinya Epilepsi pada Anak Berdasarkan Bayi yang Lahir dengan BBLR BBLR
f 26 17 43
BBLR Tidak BBLR Jumlah
% 60.5 39.5 100
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa frekuensi yang mempengaruhi terjadinya epilepsi berdasarkan bayi BBLR, tertinggi pada bayi yang BBLR sebanyak 26 orang (60.5%) sedangkan terendah pada bayi yang tidak mengalami BBLR yaitu sebanyak 17 orang (39%). Tabel 4.6.
Distribusi Frekuensi yang Memengaruhi terjadinya Epilepsi Berdasarkan Kejang Demam di RSUD Deli Serdang
No Kejang demam 1 Kejang Demam 2 Tidak Kejang Demam Jumlah
f 26 17 43
% 60.5 39.5 100
32
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa frekuensi yang mempengaruhi terjadinya epilepsi berdasarkan kejang demam, tertinggi pada bayi yang mengalami kejang demam sebanyak 26 orang (60.5%) sedangkan terendah pada bayi yang tidak mengalami kejang demam sebanyak 17 orang (39.5%). Tabel 4.7.
No 1 2
Distribusi Frekuensi yang Memengaruhi Terjadinya Epilepsi Berdasarkan Cedera Kepala di RSUD Deli Serdang
Cedera Kepala Cedera Kepala Tidak Cedera Kepala Jumlah
f 25 18 43
% 41.9 58.1 100
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa frekuensi yang mempengaruhi terjadinya epilepsi berdasarkan cedera kepala, tertinggi pada anak yang mengalami cedera kepala sebanyak 25 orang (41.9%) sedangkan terendah pada anak yang tidak mengalami cedera kepala sebanyak 18 orang (58.1%).
4.3. Analisis Bivariat Tabel 4.8. Hubungan Usia Ibu saat Hamil dengan Terjadinya Epilepsi pada Anak Dibawah Usia 6 Tahun
No. 1 2
Usia Ibu saat Hamil < 20 Tahun > 35 Tahun Jumlah
Mengalami n 21 6 27
% 77.8 37.5 62.8
Epilepsi Tidak Mengalami n % 6 22.2 10 62.5 16 37.2
Total n 27 16 43
% 100 100 100
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa berdasarkan usia ibu saat hamil <20 tahun, dari 27 responden anak yang mengalami epilepsi sebanyak 21 orang (77.8%)
33
dan yang tidak mengalami epilepsi sebanyak 6 orang (22.2%). Sedangkan dari 16 responden ibu yang usia > 35 tahun yang mengalami epilepsi sebanyak 6 orang (37.5%), dan yang tidak mengalami epilepsi sebanyak 10 orang (62.5%). Uji statistik dengan uji chisquare menunjukkan bahwa probabilitas (0,008) <α (0.05) berarti Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa usia ibu saat hamil berhubungan dengan terjadinya epilepsi pada anak dibawah usia 6 tahun. Tabel 4.9.
Hubungan Hipertensi dengan Terjadinya Epilepsi pada Anak Dibawah Usia 6 Tahun Epilepsi
No 1 2
Hipertensi Hipertensi Tidak hipertensi Jumlah
mengalami n 21 6 27
% 80.8 35.3 62.8
Tidak mengalami n % 5 19.2 11 64.7 16 37.2
Total n 26 17 43
% 100 100 100
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa berdasarkan hipertensi , dari 26 responden anak yang mengalami epilepsi sebanyak 21 orang ( 77.8%) dan yang tidak mengalami epilepsi sebanyak 5 orang (22.2%). Sedangkan dari 17 responden ibu yang tidak hipertensi anak yang mengalami epilepsi sebanyak 6 orang (37.5%), dan yang tidak mengalami epilepsi sebanyak 11 orang (62.5%). Uji statistik dengan uji chisquare menunjukkan bahwa probabilitas (0,003) <α (0.05) berarti Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang mengalami hipertensi berhubungan dengan terjadinya epilepsi pada anak dibawah usia 6 tahun.
34
Tabel 4.10. Hubungan Asfiksia dengan Terjadinya Epilepsi pada Anak 6 Tahun Epilepsi No
1 2
Asfiksia
Asfiksia Tidak Asfiksia Jumlah
Mengalami n 22 5 27
% 82.1 26.7 62.8
Tidak Mengalami n % 5 17.9 11 73.3 16 37.2
Total n 27 16 43
% 100 100 100
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa berdasarkan anak yang asfiksia dari 27 responden anak yang mengalami epilepsi sebanyak 22 orang (82.1%) dan yang tidak mengalami epilepsi sebanyak 5 orang (17.9%). Sedangkan dari 16 responden anak yang tidak asfiksia, yang mengalami epilepsi sebanyak 5 orang (26.7%), dan yang tidak mengalami epilepsi sebanyak 11 orang (73.3%). Uji statistik dengan uji chisquare menunjukkan bahwa probabilitas (0,001) <α (0.05) berarti Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa anak yang mengalami asfiksia berhubungan dengan terjadinya epilepsi pada anak dibawah usia 6 tahun. Tabel 4.11. Hubungan BBLR dengan Terjadinya Epilepsi pada Anak Dibawah Usia 6 Tahun Epilepsi No 1 2
BBLR BBLR Tidak BBLR Jumlah
Mengalami n 20 7 27
% 76.9 41.2 62.8
Tidak Mengalami n % 6 23.1 10 58.8 16 37.2
Total n 26 17 43
% 100 100 100
35
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa berdasarkan anak yang BBLR , dari 26 responden anak yang mengalami epilepsi sebanyak 20 orang ( 76.9%) dan yang tidak mengalami epilepsi sebanyak 6 orang (23.1%). Sedangkan dari 17 responden anak yang tidak BBLR yang mengalami epilepsi sebanyak 7 orang (41.2%), dan yang tidak mengalami epilepsi sebanyak 10 orang (58.8%). Uji statistik dengan uji chisquare menunjukkan bahwa probabilitas (0,018) <α (0.05) berarti Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa anak yang mengalami BBLR berhubungan dengan terjadinya epilepsi pada anak dibawah usia 6 tahun. Tabel 4.12. Hubungan Demam Kejang dengan Terjadinya Epilepsi pada Anak Dibawah Usia 6 Tahun Epilepsi No 1 2
Kejang Demam Kejang Demam Tidak Kejang Demam Jumlah
Mengalami n 21 6 27
% 80.8 35.3 62.8
Tidak Mengalami n % 5 19.2 11 64.7 16 37.2
Total n 26 17 43
% 100 100 100
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa berdasarkan anak yang kejang demam , dari 27 responden anak yang mengalami epilepsi sebanyak 21 orang ( 80.8%) dan yang tidak mengalami epilepsi sebanyak 6 orang (35.3%). Sedangkan dari 17 responden anak yang tidak kejang demam, yang mengalami epilepsi sebanyak 11 orang (64.7%), dan yang tidak mengalami epilepsi sebanyak 5 orang (19.2%). Uji statistik dengan uji chisquare menunjukkan bahwa probabilitas (0,003) <α (0.05) berarti Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa anak yang mengalami kejang demam berhubungan dengan terjadinya epilepsi pada anak dibawah usia 6 tahun.
36
Tabel 4.13. Hubungan Cedera Kepala dengan Terjadinya Epilepsi pada Anak Dibawah Usia 6 Tahun Epilepsi No 1 2
Asfiksia Cedera Kepala Tidak Cedera Kepala Jumlah
Mengalami n 20 7 27
% 80 38.9 62.8
Tidak Mengalami n % 5 20 11 61.1 16 37.2
Total n 25 18 43
% 100 100 100
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa berdasarkan anak yang cedera kepala, dari 25 responden anak yang mengalami epilepsi sebanyak 20 orang ( 80%) dan yang tidak mengalami epilepsi sebanyak 5 orang (20%). Sedangkan dari 18 responden anak yang tidak cedera kepala, yang mengalami epilepsi sebanyak 7 orang (38.9%), dan yang tidak mengalami epilepsi sebanyak 11 orang (61.1%). Uji statistik dengan uji chisquare menunjukkan bahwa probabilitas (0,006) <α (0.05) berarti Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa anak yang mengalami cedera kepala berhubungan dengan terjadinya epilepsi pada anak dibawah usia 6 tahun.
37
BAB V PEMBAHASAN
5.1. Faktor–faktor yang Memengaruhi Terjadinya Epilepsi pada Anak Dibawah Usia 6 Tahun 5.1.1. Berdasarkan Usia Ibu Saat Hamil Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 27 responden yang usia kurang dari 20 tahun ternyata yang mengalami epilepsi sebanyak 21 orang (77.8%), sedangkan umur di atas 35 tahun sebanyak 10 orang (62.5%) yang tidak mengalami epilepsi. Berdasarkan hal tersebut usia ibu dibawah 20 tahun atau diatas 35 tahun masih perlu di perhatikan. Hasil
analisa
statistik
menggunakan
chi-squere
menghasilkan
nilai
probabilitas 0.008 < 0.05 yang artinya Ha diterima atau ada hubungan antara usia ibu saat hamil dengan epilepsi pada anak dibawah usia 6 tahun. Penelitian oleh Sidenvall R, di Swedia tahun 1985-1987 tentang faktor resiko prenatal dan perinatal terhadap kejadian epilepsi pada anak yang tidak di provokasi oleh kejang demam, didapatkan hasil bahwa usia kehamilan muda dan tua merupakan faktor resiko terjadinya epilepsi pada anak (Raharjo, 2007) Menurut Tri Budi Raharjo Umur ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang akan dilahirkan. Umur ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan di antaranyaa dalah hipertensi dan eklamsia, sedangkan gangguan pada persalinan di antaranya adalah trauma persalinan.
37
38
Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan prematuritas, lahir dengan berat badan kurang, penyulit persalinan dan partus lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dengan asfiksia. Pada asfiksia akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Asfiksia akan menimbulkan lesi pada daerah hipokampus dan selanjutnya menimbulkan fokus epileptogenik. Peneliti berasumsi bahwa usia ibu hamil memng berpengaruh terhadap terjadinya epilepsi pada anak, karena pada usia muda alat reproduksi belum sempurna dan ukuran panggul juga masih sempit, yang mengakibatkan terjadinya trauma persalinan, dan dapat menyebabkan anak BBLR dan asfiksia yang dapat menimbulkan epilepsi pada anak. 5.1.2. Berdasarkan Hipertensi Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 27 responden yang hipertensi pada ibu ternyata sebanyak 21 orang (48.8%) yang mengalami epilepsi, sedangkan ibu yang tidak hipertensi sebanyak 11 orang (25.6%) yang tidak mengalami epilepsi. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa ibu yang hipertensi masih perlu mendapat perhatian dari keluarga maupun tenaga kesehatan. Hasil
analisa
statistik
menggunakan
chi-squere
menghasilkan
nilai
probabilitas 0.003 < 0.05 yang artinya Ha diterima atau ada hubungan antara ibu yang mengalami hipertensi saat hamil dengan epilepsi pada anak dibawah usia 6 tahun.
39
Menurut penelitian dr. Tri Budi Raharjo Hipertensi pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ke plasenta berkurang, sehingga berakibat keterlambatan pertumbuhan intrauterin dan BBLR. Keadaan inidapat menimbulkan asfiksia pada bayi yang dapat berlanjut pada epilepsi di kemudian hari. Penelitian oleh Sidenvall R dkk, mendapatkan hasil bahwa hipertensi selama kehamilan merupakan faktor risiko epilepsi pada anak, (Raharjo, 2007) Peneliti beramsusi bahwa pendapat di atas benar, bahwa hipertensi saat hamil juga dapat menyebabkan epilepsi pada anak, karena hipertensi dapat mengakibatkan keterlambatan pertumbuhan janin dalam uterus, hal ini di sebabkan terjadinya klasiikasi pada plasenta, sehingga makanan dan oksigen yang masuk kejanin berkurang, mengakibatkan bayi lahir dengan berat badan rendah, peluang untuk hipoksia dan iskemia sangat tinggi yang dapatterjadi segera setelah lahir. Dan dalam perkembangan selanjutnya dapat muncul gejala kejang-kejang. 5.1.3. Berdasarkan Asfiksia Hasil penelitian menunjukkan bahwa 28 bayi yang asfiksia mengalami epilepsi sebanyak 23 orang (82.1%), sedangkan dari 15 oarng yang tidak asfiksia yang mengalami epilepsi sebanyak 4 orang (26.7). Hasil pengkajian dengan Chi-square mengahasilkan nilai prob 0.000 < 0.05. maka di dapatkan ada hubungan asfiksia dengan epilepsi pada anak. Penelitian oleh sidenfvall R dkk di swedia, menemukan bahwa asfiksia dengan Apgar score ≤ 6 merupakan faktor resiko pada anak.
40
Menurut dr.Tri Budi Raharjo 2007 pada asfiksia perinatal akan terjadi hipoksia dan iskemia di jaringan otak. Keadaan ini dapat menimbulkan bangkitan epilepsi. Paneliti berasumsi bahwa asfiksia behubungan dengan terjadinya epilepsi pada anak karena bayi yang asfiksia mengakibatkan kurangnya oksigen pada otak yang mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi atau meningkatkan fungsi neuron eksitas, dan sehingga dapat menimbulkan epilepsi bila ada rangsangan dari luar. 5.1.4. Berdasarkan BBLR Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 26 responden yang BBLR saat lahir ternyata sebanyak 20 orang (76.9%) yang mengalami epilepsi, sedangkan yang tidak BBLR saat lahir sebanyak 10 orang (58,8%) yang tidak mengalami epilepsi. Hasil pengkajian dengan Chi-square mengahasilkan nilai prob 0.018 < 0.05. maka di dapatkan ada hubungan asfiksia dengan epilepsi pada anak. Menurut dr.Tri Budi Raharjo Bayi dengan BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal. Adanya kerusakan otak, dapat menyebabkan epilepsi pada perkembangan selanjutnya (Raharjo, 2007). Peneliti berasumsi bahwa pendapat yang dikemukakan diatas benar, bahwa BBLR juga mempengaruhi terhadap epilepsi pada anak, karena anak yang BBLR menyebabkan asfiksia sehingga oksigen di dalam otak berkurang, juga dapat menyebabkan gangguan metabolisme pada anak keadaan tersebut adalah sebagaai pemicu terjadinya epilepsi pada anak.
41
5.1.5. Berdasarkan Kejang Demam Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 26 responden yang menderita kejang demam sebanyak 21 orang (80.8%) yang mengalami epilepsi, sedangkan anak yang tidak kejang demam sebanyak 11 orang (64.7%) yang tidak mengalami epilepsi. Hasil
analisa
statistik
menggunakan
chi-squere
menghasilkan
nilai
probabilitas 0.003 < 0.05 yang artinya Ha diterima atau ada hubungan antara anak yang mengalami kejang demam dengan epilepsi pada anak dibawah usia 6 tahun. Menurut Livingston epilepsi yang dicetuskan oleh demam adalah kejang yang bersifat umum, lamanya kejang bersifat singkat (kurang dari 15 menit), usia waktu kejang demam pertama kali muncul di bawah usia 6 tahun, frekuensi serangan 1-4 dalam 1 tahun, EEG normal (M.Lumantobing,2007). Peneliti berasumsi bahwa pendapat yang dikemukakan diatas benar, bahwa demam kejang juga mempengaruhi terhadap epilepsi pada anak. Karena anak yang demam dengan suhu di atas 38˚c dan di sertai dengan kejang akan mengakibatkan kurangnya oksigen dan aliran darah otak sehingga terjadinya odema sel sehingga neuron mmenjadi rusak, yang dapat menimbulkan epilepsi. 5.1.6. Berdasarkan Jenis Persalinan Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 26 responden yang bersalin dengan bantuan alat ternyata sebanyak 20 orang (80%) yang mengalami epilepsi, sedangkan yang besalin normal sebanyak 11 orang (61.6%) yang tidak mengalami epilepsi.
42
Hasil
analisa
statistik
menggunakan
chi-squere
menghasilkan
nilai
probabilitas 0.006 < 0.05 yang artinya Ha diterima atau ada hubungan antara jenis persalinan ibu dengan epilepsi pada anak dibawah usia 6 tahun. Penelitian kohort selama 7 tahun oleh Maheshwari, mendapatkan hasil bahwa bayi yang lahir dengan bantuan alat forsep mempunyai risiko untuk mengidap epilepsi dibandingkan bayi yang lahir secara normal dengan perbandingan Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran seperti hipoksia, kerusakan akibat tindakan (forsep) atau trauma lain pada otak bayi juga merupakan penyebab epilepsi pada anak (Raharjo, 2007). Peneliti berasumsi bahwa pendapat yang dikemukakan diatas benar, bahwa jenis persalinan juga mempengaruhi terhadap epilepsi pada anak, karena persalinan dengan alat dapat menyebabkn kerusakan pada jaringan otak yang mengakibatkan epilepsi pada anak.
43
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 1. Terdapat hubungan antara usia ibu saat hamil dengan terjadinya epilepsi pada anak dibawah usia 6 tahun di RSUD Deli Serdang. 2. Terdapat hubungan hipertensi dengan terjadinya epilepsi pada anak dibawah usia 6 tahun di RSUD Deli Serdang. 3. Terdapat hubungan asfiksia ibu dengan terjadinya epilepsi pada anak di bawah usia 6 tahun di RSUD Deli Serdang. 4. Terdapat hubungan Bblr ibu dengan terjadinya epilepsi pada anak di bawah usia 6 tahun di RSUD Deli Serdang 5. Terdapat hubungan kejang demam dengan terjadinya epilepsi pada anak dibawah usia 6 tahun di RSUD Deli serdang. 6. Terdapat hubungan jenis persalinan ibu dengan terjadinya epilepsi pada anak di bawah usia 6 tahun di RSUD Deli Serdang
6.2. Saran 1. Berdasarkan penelitian ini adanya hipertensi pada ibu saat hamil merupakan faktor terjadinya epilepsi. Disarankan kepada ibu agar menjaga pola makan dan selalu memeriksakan tekanan darah dan kandungannya kepada bidan.
43
44
2. Berdasarkan penelitian ini bahwa asfiksia saat lahir merupakan faktor terjadinya epilepsi pada anak, di anjurkan kepada tenagakesehatan untuk segera member pertolongan jika ada bayi yang asfiksia. 3. Berdasarkan penelitian ini bahwa BBLR merupakan faktor terjadinya epilepsi pada anak, di harapkan kepada ibu agar lebih memperhatikan pola makan dan untuk memenuhi gizi saat hamil. 4. Berdasarkan penelitian ini bahwa kejang demam merupakan faktor terjadinya epilepsi, di anjurkan kapada orang tua jika anaknya sudah demam tinggi dan kejang segera bawa ke Rumah Sakit untuk mendapat pertolongan, dan menjaga anaknya. 5. Berdasarkan penelitian ini bahwa jenis persalinan merupakan faktor terjadinya epilepsi pada anak, dianjurkan kepada ibu agar saat hamil selalu memeriksakan kehamilannya ke bidan, untuk mengetahui apakah ibu bs melahirkan secara normal atau tidak, jika tidak ibu bisa melahirkan dengan cara sesar agar tidak terjadi epilepsi pada anak. 6. Disarankan kepada yang melakukan penelitian selanjutnya agar dilakukan penelitian selanjutnya dengan jumlah sampel yang lebih besar serta mengikut sertakan variabel – variabel lain yang belum di teliti untuk memperoleh hasil yang lebih akurat.
45
DAFTAR PUSTAKA
Deboer HM, 2008. The Global Burden and Stigma of Epilepsy. Epilepsy & Behavior. Elizabeth, J.Corwin. 2001. Buku Saku Patofisiologi, EGC : Jakarta. Harsono. 2001. Epilepsi. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta. Ikawati Zullies, 2011, Farmakoterapi Penyakit Sistem Saraf Pusat, Bursa Ilmu : Yogyakarta. Lumbaltobing SM. 2007. Kejang demam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Mansjoer, Arif. dkk, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Auskulapius : Jakarta Ngastiyah, 2005, Perawatan Anak Sakit. EGC : Jakarta. Notoadmojo,S. 2010, Metode penelitian kesehatan, Reneka Cipta : Jakarta Raharjo, Tri Budi. 2007. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Epilepsi Pada Anak Di Bawah Usia 6 Tahun. http://www.google.com/url?sa= t&rct =j&q = & esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CCcQFjAA&url=http% 3A%2F%2Feprints.undip.ac.id%2F18016%2. Diakses pada tanggal 2 Februari pukul 10 : 00 WIB. Sujono Riyadi & Sukarmin. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Graham Ilmu : Yogyakarta. Simon H. 2004. Epilepsyan Overview. www.epilepsyfoundation.org. di akses pada tanggal 5 Maret. Pukul 11.00 WIB. Sofwan, Rudianto, 2011, Cara Tepat Atasi Kejang Pada Anak, Bhuana : Jakarta World Health Organization. 2001 Epidemiology, Prevalence, Incidence, Mortality of Epilepsy. Fact Sheet. URL http : // www. who.in/ inf-fs/ en/ fact 165. html. Di akses pada Tanggal 2 Februari. Pukul 09 : 00 WIB.
45
46
LAMPIRAN 1. MASTER DATA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA EPILEPSI PADA ANAK DI BAWAH USIA 6 TAHUN DI RSUD DELI SERDANG NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Umur Ibu 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 1 0
Hipertensi
Asfiksia
BBLR
0 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 1 1 0 1 0 0 0 1 0 1
0 0 1 1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 1 0 1 0 1 0 1
0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 1
Demam Kejang 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 0 1 0
Cedera Kepala 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0
Epilepsi 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 1
47
30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43
1 1 0 1 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0
0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 0 0 1 1
0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0
0 0 1 1 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0
1 0 0 1 0 1 1 0 1 1 1 0 0 0
Keterangan: Usia ibu saat hamil
:
0 : < 20 tahun 1 : > 35 tahun
Hipertensi
:
0 : Hipertensi 1 : Tidak Hipertensi
Asfiksia
:
0. Asfiksia 1 : tidak asfiksia
BBLR
:
0 : BBLR 1 : tidak BBLR
Kejang demam
:
0 : kejang demam 1 :tidak kejang demam
Cedera kepala
:
0 : cedera kepala 1 : tidak cedera kepala
1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 0 1 0 1
0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0
48
LAMPIRAN 2
Usia ibu N
Valid Missing
hipertensi
asfiksia
BBLR
demam
Cedera
kejang
kepala
epilepsi
43
43
43
43
43
43
43
0
0
0
0
0
0
0
umur ibu saat hamil
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
< 20 tahun
27
62.8
62.8
62.8
> 35 tahun
16
37.2
37.2
100.0
Total
43
100.0
100.0
Hipertensi
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
hipertensi
26
60.5
60.5
60.5
tidak hipertensi
17
39.5
39.5
100.0
Total
43
100.0
100.0
Asfiksia
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
asfiksia
27
62.8
62.8
62.8
tidak asfiksia
16
37.2
37.2
100.0
Total
43
100.0
100.0
49
BBLR
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
BBLR
26
60.5
60.5
60.5
tidak BBLR
17
39.5
39.5
100.0
Total
43
100.0
100.0
demam kejang Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
demam kejang
26
60.5
60.5
60.5
tidak demam kejang
17
39.5
39.5
100.0
Total
43
100.0
100.0
Cedera Kepala Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Cedera Kepala
18
41.9
41.9
41.9
Tidak Cedera Kepala
25
58.1
58.1
100.0
Total
43
100.0
100.0
Epilepsi
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
epilepsi
27
62.8
62.8
62.8
tidak epilepsi
16
37.2
37.2
100.0
Total
43
100.0
100.0
50
Case Processing Summary Cases Valid N
Missing
Percent
N
Total
Percent
N
Percent
Usia ibu*epilepsi
43
100.0%
0
.0%
43
100.0%
Hipertensi*epilepsi
43
100.0%
0
.0%
43
100.0%
Asfiksia* epilepsi
43
100.0%
0
.0%
43
100.0%
BBLR * epilepsi
43
100.0%
0
.0%
43
100.0%
demam kejang * epilepsi
43
100.0%
0
.0%
43
100.0%
Cedera kepala* epilepsi
43
100.0%
0
.0%
43
100.0%
umur ibu saat hamil * epilepsi Crosstabulation epilepsi epilepsi umur ibu saat hamil
< 20 tahun Count Expected Count % within umur ibu saat hamil > 35 tahun Count Expected Count % within umur ibu saat hamil
Total
Count Expected Count % within umur ibu saat hamil
tidak epilepsi
Total
21
6
27
17.0
10.0
27.0
77.8%
22.2%
100.0%
6
10
16
10.0
6.0
16.0
37.5%
62.5%
100.0%
27
16
43
27.0
16.0
43.0
62.8%
37.2%
100.0%
51
Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df
6.976a
1
.008
Continuity Correctionb
5.358
1
.021
Likelihood Ratio
6.991
1
.008
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test N of Valid Casesb
.011
.010
43
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.95. b. Computed only for a 2x2 table
Crosstab epilepsi epilepsi hipertensi
hipertensi
Count Expected Count % within hipertensi
tidak hipertensi
Count Expected Count % within hipertensi
Total
Count Expected Count % within hipertensi
tidak epilepsi
Total
21
5
26
16.3
9.7
26.0
80.8%
19.2%
100.0%
6
11
17
10.7
6.3
17.0
35.3%
64.7%
100.0%
27
16
43
27.0
16.0
43.0
62.8%
37.2%
100.0%
52
Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df
9.098a
1
.003
Continuity Correctionb
7.256
1
.007
Likelihood Ratio
9.234
1
.002
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test
.004
N of Valid Casesb
.003
43
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.33. b. Computed only for a 2x2 table
Crosstab epilepsi epilepsi asfiksia
asfiksia
tidak asfiksia
Total
Count
tidak epilepsi
Total
22
5
27
Expected Count
17.0
10.0
27.0
% within asfiksia
81.5%
18.5%
100.0%
5
11
16
Expected Count
10.0
6.0
16.0
% within asfiksia
31.2%
68.8%
100.0%
27
16
43
Expected Count
27.0
16.0
43.0
% within asfiksia
62.8%
37.2%
100.0%
Count
Count
53
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correctionb Likelihood Ratio
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
10.850a
1
.001
8.806
1
.003
11.015
1
.001
Fisher's Exact Test
.003
N of Valid Casesb
.001
43
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.95. b. Computed only for a 2x2 table
Crosstab epilepsi epilepsi BBLR
BBLR
Count Expected Count % within BBLR
tidak BBLR
Count Expected Count % within BBLR
Total
Count Expected Count % within BBLR
tidak epilepsi
Total
20
6
26
16.3
9.7
26.0
76.9%
23.1%
100.0%
7
10
17
10.7
6.3
17.0
41.2%
58.8%
100.0%
27
16
43
27.0
16.0
43.0
62.8%
37.2%
100.0%
54
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
5.622a
1
.018
Continuity Correctionb
4.196
1
.041
Likelihood Ratio
5.640
1
.018
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test N of Valid Casesb
.026
.020
43
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.33. b. Computed only for a 2x2 table
Crosstab epilepsi epilepsi demam kejang
demam kejang
Count Expected Count % within demam kejang
tidak demam kejang Count Expected Count % within demam kejang Total
Count Expected Count % within demam kejang
tidak epilepsi
Total
21
5
26
16.3
9.7
26.0
80.8%
19.2%
100.0%
6
11
17
10.7
6.3
17.0
35.3%
64.7%
100.0%
27
16
43
27.0
16.0
43.0
62.8%
37.2%
100.0%
55
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
9.098a
1
.003
Continuity Correctionb
7.256
1
.007
Likelihood Ratio
9.234
1
.002
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test N of Valid Casesb
.004
.003
43
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.33. b. Computed only for a 2x2 table
Crosstab epilepsi tidak epilepsi Cedera kepala
Cedera kepala
Count Expected Count % within cedera kepala
Tidak Cedera kepala
Count Expected Count % within tidak cedera kepala
Total
Count Expected Count % within persalinan alat
epilepsi
Total
20
5
25
15.7
9.3
25.0
38.9%
61.1%
100.0%
7
11
18
11.3
6.7
18.0
80.0%
20.0%
100.0%
27
16
43
27.0
16.0
43.0
62.8%
37.2%
100.0%
56
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
7.570a
1
.006
Continuity Correctionb
5.913
1
.015
Likelihood Ratio
7.688
1
.006
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test N of Valid Casesb
.010 43
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.70. b. Computed only for a 2x2 table
.007