BAB IV HASIL PENELITIAN, ANALISIS, DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan menjabarkan hasil penelitian melalui analisis dan pembahasan yang telah dilakukan oleh peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan narasumber sebanyak empat subjek biarawati. Penelitian ini menggunakan teknik triangulasi sumber sebagai bentuk pengujian keabsahan data dengan melakukan wawancara terstruktur dan mendalam dengan teman terdekat subjek. Peneliti menggunakan empat subjek untuk melihat bagaimana gambaran motivasi diri setiap subjek pada kaum biarawati berdasarkan delapan tahapan hirarki kebutuhan Abraham Maslow serta hasil observasi. Dalam bab ini pula, akan dibantu dengan beberapa tabel yang mempermudah analisis data dan merangkum inti permasalahan pada setiap individu.
50
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Tabel Gambaran umum (data demografis) 4 subjek : Subjek 1 Sr. Francelin
Subjek 2 Sr. Yashinta
Subjek 3 Sr. Lusi
Subjek 4 Sr. Elena
Usia
40 tahun
38 tahun
31 tahun
43 tahun
Suku
Flores
Flores
Flores
Jawa
155 cm
145 cm
157 cm
Kuning Langsat
Cokelat
Sawo Matang
Nama
Tinggi Badan 155 cm Warna Kulit
Jumlah Saudara
Sawo Matang
Anak ke-5 dari 7 Anak ke-10 Anak ke-3 dari Anak ke-3 dari bersaudara dari 10 7 bersaudara 7 bersaudara bersaudara
Pendidikan
S1 Pendidikan S1 Bahasa dan Mahasiswi Agama Katolik Sastra Inggris
S1 Komunikasi; Mahasiswi Teologi
Pekerjaan
Pengajar
Pengajar
Sekretaris
-
Santo Biara CIJ
Biara CIJ
Biara PI
Tempat Wawancara
Gereja Mikael
Tanggal Wawancara
26 Mei 2017 ; 2 3 Juni 2017 ; 3 Juni 2017 ; 1 Juli 2017 ; Juni 2017 18 Juni 2017 18 Juni 2017 7 Juli 2017
Observasi Subjek (Umum)
Selama wawancara berlangsung Subjek 1 sangat ekspresif dengan melakukan beberapa gerakan tangan untuk menegaskan sesuatu. Dalam menjawab pertanyaan, subjek 1 selalu melihat mata peneliti.
Selama wawancara, subjek 2 menjawab semua pertanyaan yang diajukan tanpa adanya rasa malu ataupun takut. Subjek 2 antusias dalam menjawab setiap pertanyaan yang diberikan.
51
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Selama wawancara, intonasi subjek 3 selalu berubah. Jika pertanyaan bersifat pribadi, intonasi subjek langsung melemah. Dan jika menyangkut pada hal umum, intonasi subjek menguat.
Selama wawancara, subjek 4 terlihat antusias dalam menjawab setiap pertanyaan. Penekanan suaranya cukup jelas dan menggunakan gerakan tangan sesekali.
4.1. Subjek 1 (Sr. Francelin) 4.1.1. Data Demografis Tabel 4.1.1. Data Demografis Subjek 1 Kriteria Identitas Nama Usia Suku Tinggi Badan Warna Kulit Jumlah Saudara Pendidikan Pekerjaan Tempat Wawancara Tanggal Wawancara
Subjek 1 (Sr. Francelin)
Sr. Francelin 40 tahun Flores 155 cm Sawo Matang Anak ke 5 dari 7 bersaudara S1 Pendidikan Agama Katolik Pengajar Gereja Santo Mikael 26Mei 2017 ; 2 Juni 2017
4.1.2. Deskripsi Hasil Observasi 1)
Wawancara I Wawancara I (pertama) dilakukan pada lokasi Gereja Santo Mikael yang
terletak di Bekasi. Wawancara berlangsung di sebuah ruang rapat yang biasa digunakan oleh umat dan/atau masyarakat sekitar Gereja Santo Mikael. Ruangan yang digunakan berupa ruangan lepas dengan panjang sekitar 12 meter dan lebar sekitar 4 meter. Ruangan ini juga menggunakan Air-Conditioner (AC) sehingga suhu didalam ruangan tempat berlangsungnya proses wawancara sangat sejuk. Sumber pencahayaan saat wawancara tidak menggunakan lampu pada ruangan tersebut, namun hanya menggunakan cahaya yang masuk dari jendela. Lokasi wawancara cukup jauh dari keramaian sehingga suasana disekitar tempat wawancara sangat tenang dan leluasa untuk digunakan dalam berdiskusi.
52
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Peneliti tiba di lokasi wawancara lebih awal dari waktu pertemuan dengan responden yang telah ditetapkan yaitu pada pukul 09.30 WIB. Responden tiba di lokasi wawancara pada waktu 10.05 WIB. Responden merupakan seorang wanita dengan tinggi sekitar 155 cm yang memiliki wajah oval seperti bulat telur dan memiliki warna kulit sawo matang. Responden menggunakan jubah suster biara berwarna putih, penutup kepala yang berwarna putih pula, serta menggunakan sepatu sandal berwarna hitam. Peneiti kemudian menyapa dan bersalaman dengan responden berbicara tentang tujuan umum wawancara ini dilakukan, lalu setelah itu, responden mengajak peneliti ke tempat wawancara yang akan digunakan yang merupakan ruang rapat tersebut. Wawancara dilakukan di meja kayu berwarna putih. Sebelum melakukan wawancara, responden mengatur posisi kursi dan menyalakan penyejuk terlebih dahulu serta membuka tirai yang menutup jendela agar pencahayaan dapat masuk dengan mudah. Responden dan peneliti duduk berhadapan dengan posisi responden membelakangi jendela dan peneliti menghadap jendela. Selama proses wawancara, responden duduk tegak dan terkadang pada beberapa pertanyaan yang mengarah pada jalan kehidupan pribadinya, badan responden lebih mengarah condong kedepan. Penekanan yang dilakukan responden saat proses wawancara berlangsung yaitu menggunakan gerakangerakan tangan serta beberapa pengulangan kata-kata saat menjawab pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti, dijawab dengan baik dan lacar. Dan jika ada yang kurang jelas, responden akan mempertanyakan ulang maksud dari pertanyaan tersebut.
53
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2)
Wawancara II Pada wawancara kedua dilakukan ditempat yang sama dengan wawancara
sebelumnya yaitu tempat pertemuan di Gereja Santo Mikael. Wawancara tersebut dilaksanakan pada tanggal 2 Juni 2017 pada pukul 11.10. Wawancara kedua berlangsung selama 40 menit saja, karena Subjek memliki kesibukan saat itu pada pukul 12.00. Wawancara yang dilakukan berjalan cukup lancar. Saat itu, Suster Francelin sedang memberikan pelajaran Katekumenat pada seseorang yang ingin masuk ke Katolik. Peneliti yang datang lebih awal yaitu pukul 11.00 perlu menunggu 10 menit terlebih dahulu agar Suster Francelin menyelesaikan bimbingannya. Subjek menggunakan jubah biarawati yang berbeda dari sebelumnya yaitu jubah berwarna abu-abu saat itu, serta menggunakan kalung salib. Sebelum dimulainya wawancara, peneliti membangun rapport dengan menanyakan perihal kabar dan apa yang dilakukan Subjek sebelum wawancara. Selama wawancara kedua ini, ekspresi yang diberikan subjek terkesan lebih serius tetapi terkadang memberikan kesan hangat seperti senyum dan tertawa di sela-sela wawancara. Suster Francelin lebih singkat dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh peneliti karena beliau mengkondisikan pada kesibukannya pada pukul 12.00. Saat diberikan pertanyaan yang bersifat lebih mengarah kepada pribadi, Suster Francelin langsung merubah posisi duduknya menjadi duduk dengan posisi punggung yang tegak.
54
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4.1.3. Analisis Intra Subjek Suster Francelin sudah hidup membiara selama 22 tahun lamanya. Dorongan untuk menjadi biarawati pada Suster Francelin dikarenakan ia selalu menyukai apa yang menjadi kegiatan-kegiatan pada biarawati gereja. Dorongan itu juga timbul, sebab sejak kecil Suster Francelin senang berinteraksi dengan para Suster yang tinggal dekat dengan tempat tinggalnya. Subjek juga sudah dibekali oleh pendidikan agama Katolik yang kuat melalui pendidikan formal yang telah ia lalui. Figur seorang biarawati yang tegas namun selalu ramah terhadap seluruh masyarakat serta tekun dalam berdoa membuat Suster Francelin terdorong ingin menjadi biarawati. Pekerjaan yang biasa dilakukan oleh biarawati seperti berinteraksi dengan masyarakat berbagai golongan, juga merupakan salah satu alasan kuat Suster Francelin ingin menjadi biarawati. Pada perjalanan sebelum Suster Francelin memutuskan untuk masuk dan hidup sebagai biarawati, Suster Francelin pernah dua kali tidak diijinkan oleh anggota keluarganya. Yang pertama adalah dari pihak Ibu yang tidak mengijinkannya. Hal ini disebabkan karena kekhawatiran pada anaknya bila tidak dapat mengimbangi situasi dan kondisi di dalam biara, karena kehidupan biara yang banyak memiliki kegiatan-kegiatan sosial dan harus terjun ke lapangan. Dan yang kedua adalah dari pihak saudara (Kakak). Kakak dari Suster Francelin tidak mengijinkan dikarenakan ia ragu akan keputusan yang diambil oleh adiknya. Namun, Suster Francelin mencoba untuk mengatakannya kepada kedua belah pihak dan memutuskan untuk menjadi seorang biarawati hingga akhir hayatnya,
55
http://digilib.mercubuana.ac.id/
sebab menjadi biarawati adalah cita-cita yang beliau ingin capai dan bekerja apa saja sebagai biarawati. Dan akhirnya, pada tahun 2004, Suster Francelin resmi menjadi seorang biarawati dengan dibawah kongregasinya dengan menerima cincin dalam pentahbisan Kaul Kekalnya. Berikut akan dijabarkan dan dijelaskan secara detail tentang gambaran pemenuhan hirarki kebutuhan dalam pencapaian motivasi diri pada kehidupan menbiara dari Suster Francelin. 1) Dimensi Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs) Kebutuhan fisiologis pada Suster Francelin terbilang cukup dalam hal pemenuhan yang meliputi makanan, minuman, istirahat yang cukup dan pemenuhan akan kebutuhan asupan gizi untuk tubuh. Dan sebagaimana secara finansial Suster Francelin tetap pada hidup yang menurut tarekat yaitu hidup terpenuhi namun dengan kesederhanaan dan hidup dengan saling berbagi dan memiliki. “Oh ya terima kasih ...Finansial yaa..? ok .baik..eehm.. kalau saya pribadi dan menurut saya, dan saya juga merasa ini juga berlaku untuk sesama teman Suster yang ada di Kongregasi saya. Secara finansial kalau hidupnnya Suster itu hidup sederhana ..tetapi tercukupi artinya semua kebutuhan kita ,semua kebutuhan kita yaa..baik itu kebutuhan secara pribadi maupun kebutuhan secara bersama dalam satu komunitas itu amat sangat di penuhi ya di perhatikan.” (Francelin, W1, 70) Pada konten ini pula, dalam menjaga kesehatan saat menjalankan tugasnya sebagai biarawati, Suster Francelin hanya menjaga pola makan, istirahat yang cukup, dan memberikan energi positif pada dirinya agar tidak mudah terkena penyakit.
56
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“Oh iyaa... Bagaimana caranya supaya saya tetap eksis dalam pelayanan? Tidak sakit.. Puji Tuhan untuk Suster Francelin sampai hari ini sakitnya cuman flu aja biasa-biasa kaya begitu, sakit-sakit yang lain kurang, karena memang secara pribadi, sejak motivasi awal ketika saya menjadi suster, saya tidak mau menjadi orang yang sakit, artinya saya harus sungguh-sungguh hidup memberikan diri kepada orang banyak, maka saya harus menjaga kesehatan ya...menjaga kesehatan itu mudah, selain menjaga pola makan juga menjaga waktu untuk istirahat dan hidup untuk tetap bahagia , bahagia artinya ya..ketika kita menghadapi masalah atau kesulitan atau tantangan apapun itu harus bisa memanagenya supaya kita tidak tenggelam dengan masalah itu.” (Francelin, W1, 80) Dan pada konten untuk menjalani bermati raga, kebutuhan fisiologis yang juga termasuk akan kebutuhan seksual dan ketertarikan pada lawan jenis. Tetapi, pada Suster Francelin, hal ini merupakan hal peristiwa yang sangat lampau dan hanya bersifat menyukai saat masa remaja. Untuk keinginan seksual atau bahkan memiliki keluarga atau keturunan, Suster Francelin tidak memiliki pemikiran seperti itu, sebab disamping ia adalah seorang biarawati yang tidak dapat berkeluarga, ia juga hanya ingin memberikan bentuk afeksi secara umum kepada anak-anak yang membutuhkan. “Jujur saya menyukai anak-anak ya. Pastinya saya menyukai anak-anak. Tapi kalau saya menginginkan untuk memiliki anak sendiri, saya tidak pernah berpikir untuk memiliki anak sendiri. Dari darah daging sendiri, karena pertama, itu tidaklah mungkin, yang kedua, karena saya memang ingin memberikan rasa kasih sayang saya kepada anak-anak itu merata begitu. Jadi saya tidak ingin terlalu memanjakan atau menganak-emaskan salah satu anak. Karena saya itu seneng gitu, kalau dikumpulin ama anak-anak, mereka ngajak main, bercanda. Jadi untuk tersirat punya anak atau berkeluarga untuk saya sendiri sih, tidak ya.” (Francelin, W2, 90) Bagi Suster Francelin pada konten ini, pemenuhan kebutuhan fisiologis yang cukup banyak dibatasi dalam hal bermati raga bukanlah hal yang berat untuk dijalankan. Suster Francelin menjalankan kehidupan tersebut dengan respon yang
57
http://digilib.mercubuana.ac.id/
positif dan menerima apa yang ia dapatkan baik dari dalam biara maupun dari orang-orang disekitarnya. 2) Dimensi Kebutuhan Keamanan (Safety Needs) Pada konten ini, Suster Francelin merupakan individu yang sangat cepat dalam beradaptasi. Subjek mengakui bahwa kemampuan dalam berkomunikasi dengan lingkungan sekitar adalah suatu hal yang menjadi kelebihan yang ia miliki walaupun ia pindah dari Flores ke kota besar seperti Jakarta. Sehingga, bila ia mengalami kesulitan ataupun menghadapi masalah, ia mampu menghadapinya dengan meminta pertolongan dari orang-orang sekitar. Dan pada Suster Francelin, ia menciptakan rasa aman dan nyaman pada lingkungannya dikarenakan atas kelebihannya dalam berkomunikasi dengan sesama, baik pada orang-orang awam maupun pada rekan sesama biarawati. “... misalnya kalau saya ada kesulitan, ada tantangan baik itu di tempat kerja kalau di tempat kerja pasti saya membutuhkan rekan-rekan guru, para kepala sekolah pasti saya membutuhkan mereka tapi dalam tanda petik orang–orang tertentu aja, kalau di biara juga, kalau saya mengalami kesulitan dalam biara juga saya melakukan konsultasi dengan suster-suster saya yang lebih senior... Yang bisa menangani masalah yang saya hadapi.dan syukurnya bahwa Tuhan itu memberikan eeh..apa ya? bakat kemampuan kepada saya itu bahwa saya itu tipenya orangnya yang tidak terlalu sulit untuk berkomunikasi dengan orang lain, sehingga ketika saya mempunyai masalah saya mudah untuk membicarakan masalah saya itu ...” (Francelin, W1, 95) Pada pencapaian rasa aman dan nyaman pada diri Suster Francelin tentu ia perlu menerima dan menjalankan apa yang menjadi tugas perutusan dari Kongregasi. Beliau menceritakan awal mula hingga perjalanannya sampai berkarya di Jakarta dan menyatakan bahwa segala yang ia lakukan merupakan atas dasar perutusan yang diberikan.
58
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“... Januari 2015 itu saya bekerja di Yayasan Perguruan Santo Belarminus sehingga sampai kenapa jadi suster sampai tiba tiba di sini ini karena perutusan. Hahaha... tetapi bisa tahu itu utusannya jadi begitu..jadi Suster berada disini karena memang di tugaskan oleh pimpinan pusat. Pemimpin general pusat di Flores.” (Francelin W1, 45) Pada subjek juga tidak pernah mengalami kesulitan yang membuat ia merasakan takut atau trauma dalam suatu permasalahan. Hal ini dikarenakan segala permasalahan yang ia hadapi dapat diselesaikan melalui jalinan komunikasi yang telah ia bangun bersama dengan orang-orang sekitarnya dan yang dapat membantunya untuk keluar dari pada permasalahan subjek sendiri. Menurut pada subjek sendiri, ia adalah seseorang yang mudah memaafkan pada orang lain yang bersalah, sehingga permasalahan tidak menjadi permasalahan besar bagi dirinya. “Untuk takut, untuk trauma sampai saat ini tidak. Sampai saat ini sih tidak karena memang saya itu tipe pribadinya orang misalnya kalau saya melakukan kesalahan itu kita alami kan karena dari dua belah pihak yaa..Bisa saja saya yang salah bisa saja orang lain yang salah. Nah bagaimana caranya supaya saya tidak punya rasa takut misalnya ada rasa takut atau ada rasa benci, jengkel, marah kaya gitu yaa..saya tipe orang yang mudah untuk memaafkan dan melupakan he eh...” (Francelin, W1, 115) 3)
Dimensi Kebutuhan Kasih Sayang (Love Needs/Belonging-ness) Konten ini mencangkup tentang perhatian dan kasih sayang yang
diperoleh dari orang-orang sekitar subjek. Pada kebutuhan dasar ketiga ini, terbagi atas dua hal atau dua sub kategori tema yakni, D-Love (Deficiency-Love) yaitu kebutuhan cinta akan kekurangan karena tidak dapat memiliki serta bagaimana cara memperoleh cinta. Dan B-Love (Being-Love) yaitu kebutuhan cinta yang tidak berniat memiliki dan lebih bersifat memberikan cinta terhadap orang yang dikasihi.
59
http://digilib.mercubuana.ac.id/
A. D-Love (Deficiency-Love) Penggambaran D-Love pada Suster Francelin tidak terlihat dan ia ungkapkan dalam menginginkan seseorang secara fisik atau hal-hal yang merupakan dasar ego manusia. Hal ini disebabkan oleh komitmen yang ia pegang dalam jalan kehidupan biaranya, sehingga tidak ada keinginan selama menjalani masa biaranya untuk tertarik pada lawan jenis. “...Tapi, jujur, saat saya sudah menjalani kehidupan membiara, saya tidak ada menyukai lawan jenis. Karena, apa ya... Bukannya saya tidak tertarik, tapi memang saya betul-betul ingin memfokuskannya pada diri saya untuk menggapai apa yang memang sudah saya cita-citakan.” (Francelin, W2, 85) Pada keluarga, subjek cukup tergolong dekat, tetapi pada penggambaran perasaan rindu atau kehilangan secara fisik Suster Francelin jarang dalam merasakan hal tersebut. Hal itu dikarenakan Suster Francelin yang sudah tidak hidup bersama orang tuanya sejak berumur 14 tahun dan saat selesai pembelajaran formal pada tahap Sekolah Menengah Atas (SMA) ia langsung melanjutkan pendidikan dan kehidupannya di biara. “... Dengan orang lain seperti apa karena memang saya dari kecil sejak umur 14 tahun sejak SMP pindah di Dilli ke Timor Leste kemudian SMA di sana juga kemudian pulang langsung masuk biara sehingga sudah terbiasa hidup di luar untuk terlalu ingat dengan . Kadang orang bilang durhaka tetapi bukan juga soalnya eehh sudah sering di luar yaa...sehingga untuk merasa bahwa saya ko’ merasa rindu sekali itu tidak ada juga.” (Francelin, W1, 155) Gambaran pada konten D-Love pada Suster Francelin cukup pudar dan tidak terlalu terlihat pada kehidupannya, karena pada Suster Francelin sendiri rasa rindu secara fisik pada orang-orang terdekatnya tidak selalu muncul akibat sudah lama hidup secara mandiri. Sehingga pada konten ini, Suster Francelin tidak menampakkan rasa keinginan yang kuat pada hal atau rasa ingin memiliki.
60
http://digilib.mercubuana.ac.id/
B. B-Love Pada konten ini, peneliti menanyakan pada Suster Francelin bentuk dari menerima dan memberi cinta pada konsep dan sudut pandang biarawati. Suster Francelin menjelaskan bahwa konsep tersebut didapatkan dari sosok almarhum Ayah subjek. Dan subjek percaya bahwa setiap ia memberikan perhatian dan kasih sayang pada masyarakat, pasti segalanya ada hak yang positif dapat kembali kepada dirinya. “... Lalu ketika dalam perjalanan sebagai orang yang religius yang sudah di bekali dengan berbagai macam pengetahuan tentang keagamaan, tentang hidup sebagai seorang suster lebih paham lagi apa itu arti memberi dan menerima dan benar seperti pengalaman yang pernah saya alami ketika masih bersama dengan orang tua dimana Bapak mengatakan “ketika kita diberi oleh Tuhan jangan lupa kita bersyukur kepada Tuhan dan kita coba untuk memberikan juga kepada Tuhan melalui orang – orang di sekitar kita” eehh..pemahaman itu yang saya pakai dalam kehidupan saya sebagai seorang suster sehingga sampai hari ini untuk mendapatkan kekurangan itu tidak ada... “ (Francelin, W1, 160) Secara keseluruhan, gambaran kebutuhan tahap ketiga pada Suster Francelin ini, tentunya Suster Francelin sangat memaknai bagaimana memberi perhatian dan kasih sayang pada berbagai golongan masyarakat (B-Love). Namun, tidak ada keinginan memiliki cinta yang berdasarkan pada ego-nya. Sehingga, ia tetap fokus pada karyanya dan tidak pernah tersirat untuk memiliki keluarga (DLove). 4) Dimensi Kebutuhan Harga Diri (Esteem Needs) Tema pada konten ini membahas tentang adanya kebutuhan harga diri yang mencangkup pada dua sub tema pula yaitu tentang : penghargaan terhadap diri sendiri (Self-Respect) dan penghargaan dari orang lain (Respect from others).
61
http://digilib.mercubuana.ac.id/
A.
Self-Respect Suster Francelin adalah sosok individu yang sangat mandiri, karena ia
sudah terbiasa hidup tidak satu atap bersama orang tuanya sejak ia masih duduk di bangku SMP mengikuti kakaknya ke Dilli, Timor-Timur. Sehingga selama dia hidup di biara jika ia sedang mengalami permasalahan yang berat, ia tidak ingin membuka dan membicarakannya dengan keluarganya. Maka, apa yang menjadi kemampuan dalam menyelesaikan masalah yaitu dengan melakukan penyelesaian melalui orang-orang yang tinggal dekat dengannya. “... Nah kebetulan, tidak kebetulan saya tipe orangnya yang ketika saya menghadapi masalah seperti itu masalah berat..saya tidak mau cerita dengan keluarga saya karena saya takut, tidak mau kalau mereka itu mengkhawatirkan saya, merisaukan saya itu. Saya tidak mau. Jadi saya berbuat seolah – olah hidup saya baik baik saja di biara...”(Francelin, W1, 100) Penggambaran pada subjek juga ia adalah orang yang aktif pada setiap kegiatan baik di Gereja maupun di tempat kerjanya (sekolah). Kompetensi atau kemampuan yang ia dapat lakukan adalah membimbing dan memimpin. Ia merupakan individu yang memiliki rasa percaya diri yang cukup tinggi dalam suatu keaktifannya pada organisasi. “Hahaha... kalau, kalau boleh jujur nih, saya orangnya tidak terlalu mampu juga sih, tapi kemampuan yang di berikan oleh Tuhan cukup lah untuk saya, jadi yang namanya kalau kemampuan itu, saya lebih suka untuk misalnya mengarahkan, menuntun, membimbing, memimpin begitu iya..” (Francelin, W1, 195) B. Respect from others Dan pada konten ini, Suster Francelin cukup mendapatkan banyak perhatian pada orang-orang sekitarnya karena memiliki kemampuan dalam memimpin organisasi. Ia menyatakan bahwa, walaupun ia mampu dalam
62
http://digilib.mercubuana.ac.id/
memimpin, tetapi hal itu hanya sebatas dari kewajiban yang ia lakukan sebagai seorang biarawati. Beliau juga menceritakan tentang apa yang menjadi tanggapan orang-orang sekitarnya, khususnya pada orang-orang yang tidak puas akan gaya kepemimpinan yang ia lakukan pada organisasi. “... Memang sih ada yang merasa puas..banyak-banyak yang merasa puas,tetapi yaa..tetapi selalu saja ada orang-orang tertentu yang tidak merasa puas yaa..karena mereka tidak merasa puas karena memang ehm.. Yang mereka inginkan itu tidak terwujud tidak terpenuhi...dan saya tipe orang yang misalnya, orang dekat denga saya yaa..dan kamu dengan saya ada maunya jangan harap ke saya.” (Francelin, W1, 215) Pada kebutuhan ini, subjek menunjukkan individu yang cukup dominan pada organisasi atau kelompok. Maka, setiap apa yang dikatakan orang-orang sekitarnya pada gaya kepemimpinan yang ia anut secara tegas, ia merasa tidak menyukainya dan selalu mengambil tindakan tegas pada kesalahan. Hal inilah yang membuat Suster Francelin memiliki pihak yang tidak menyukai dan pihak yang mendukungnya.
5) Dimensi Kebutuhan Mengetahui dan Memahami/ Kebutuhan Kognitif (Need to Know and Understand/Cognitive Needs) Dalam pembahasan ini, Suster Francelin sudah menyelesaikan pendidikan formalnya yaitu Pendidikan Agama Katolik Strata satu. Pembelajaran yang ia jalani hanya berupa pengalaman-pengalaman kerja yang ia sedang laksanakan dan mengajar di sekolah tersebut sebagai Guru. Maka, pada Suster Francelin pengalaman-pengalaman yang ia telah dapat selama melaksanakan tugas penggilannya seperti
bertemu dengan orang-orang yang menjadi panutan,
63
http://digilib.mercubuana.ac.id/
merupakan salah satu sumber ia belajar dan mempraktekannya dalam kehidupannya. “... Sebelumnya waktu di Malang saya belajar banyak dari Pastor, Pastor itu chinese..Romo itu yang membimbing saya,dia itu orangnya sangat bijaksana,sangat adil dan sangat perhatian dari orang-orang kecil he eh..mungkin sekolah Kolesius Malang tau? Sekolah itu sekolah yang cukup terkenal di Jawa timur dengan mutu yang sangat bagus, dan bagaimana saya melihat Romo itu memimpin yaa..saya belajar dari dia itu bagaimana memimpin orang-orang itu, bagaimana kita mengalami musibah atau tantangan atau kesulitan dengan orang-orang rekan sekerja kita, bagaimana cara kita menghadapi.saya banyak belajar dari orang-orang itu dan memang orang itu mengatakan kalau benar bilang benar kalau salah bilang salah, kalo kita benar kita pertahankan kebenaran kita,tapi kalau kita salah kita tidak boleh takut untuk meminta maaf.” (Francelin, W1, 220) Pada Suster Francelin pendidikan formal hanyalah sebagai bentuk kewajiban yang diberikan oleh pimpinan semata. Ia tidak menunjukkan keinginan untuk mencapai pembelajaran yang lebih tinggi tingkatannya. Disebabkan segala alur hidup dan rencana yang akan ia lakukan hanya berdasarkan melalui campur tangan pimpinan kongregasi. “Oke, karena saya sebagai Suster yang menghayati Kaul Ketaatan. Jadi ibaratnya, saya hanya melaksanakan tugas yang diberikan oleh Tuhan begitu. Tugas itu diberikan melalui pimpinan kami, pimpinan kongregasi.Kalau saya diberikan tugas untuk melanjutkan studi saya lagi. Saya akan mencoba menerima dan pastinya berjuang ya. Berjuang untuk menjalaninya. Berjuang apa yang diberikan oleh pimpinan.” (Francelin, W2, 15) Ia pun juga mengatakan bahwa dalam mengembangkan pembelajaran formal pada tahap yang selanjutnya bukan menjadi prioritas utama baginya, sebab ia lebih menyukai bekerja dan menerapkan segala pengalaman pada hidup seharihari daripada mengenyam pendidikan yang jauh lebih tinggi. “Hahaha, kalau saya boleh jujur ya dek. Saya lebih nyaman itu sekarang. Saya orang yang memang suka. Suka sekali dengan pekerjaan. Jadi dengan saya ambil 64
http://digilib.mercubuana.ac.id/
bagian dan bekerja di sekolah-sekolah gini ini justru saya lebih. Apa ya. Suka gitu. Karena saya merasa, “Oh, inilah yang namanya kita bekerja dan disamping itu kita melakukan pelayanan sekaligus”. Karena saya rasa, kalau inilah yang menjadi kemampuan saya. dan inilah yang saya suka. Bisa bertemu dengan anakanak, mengajar, melakukan pelayanan. Ya, inilah yang betul-betul pelayanan gitu.” (Francelin, W2, 20) 6) Dimensi Kebutuhan Estetika (Aesthetic Needs) Pada kategori tema kebutuhan estetika ini ada dua hal yang merupakan nilai didalamnya, yaitu pemahaman nilai estetika serta kesenian. Suster Francelin memiliki pandangan nilai estetika pada lingkungannya sudah muncul karena kesadaran akan diri setiap individu di lingkungan tempat tinggalnya, yang merupakan rekan-rekan di biara. Dan menurutnya mereka sangat menyukai dan menjaga keindahan dan kerapihan lingkungannya. “Mmm. Estetika ya. Nilai estetika kalau sekitar tempat tinggal saya, menurut saya sudah ada. Ada dalam arti kata, di lingkungan saya ini, disini tentunya, orangorangnya sudah mengerti tentang kesadaran diri pada lingkungannya. Jadi kalau ada yang kurang mereka benahi, atau tambahkan apa yang perlu dibenahi. Terus, kalau disini, para Suster juga mereka sudah bisa memperjuangkan gitu nilai estetika pada lingkungannya. Yang otomatis, pasti para Suster menjaga lingkungan tempat tinggal mereka juga. Jadi kita saling, saling apa ya. Saling membenah, saling menjaga begitu.” (Francelin, W2, 40) Suster Franelin juga adalah salah satu individu yang sangat menyukai kesenian. Walaupun ia tidak memiliki bakat dalam memainkan alat musik, namun ia menunjukkan kecintaannya sejak ia masih bersekolah di Timor. “... Apalagi saya kan cukup berbakat dalam bernyanyi, saya pernah mengatakan dalam hati saat melihat di kota itu peluang kerjanya banyak bisa jadi apa saja. Suara saya ya... walaupun jelek, tapi masih bisa lah. saya ingin sekali kalau suatu waktu nanti saya bisa jadi penyanyi, pernah sempat waktu itu. Tapi waktu SMP kelas 3 kebetulan di sekolah kita itu ada band. Jadi saya ikut dalam grup band itu. Kalau ada lomba-lomba juga saya ikut...” (Francelin, W1, 40) 7) Dimensi Aktualisasi Diri (Self-Actualization) 65
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Kebutuhan ini muncul setelah sebagian besar setiap konten kebutuhan terpenihi. Pada dimensi kebutuhan meta ini terdiri dari potensi-potensi yang diciptakan melalui kreatifitas pemikiran maupun karya yang dibuat oleh individu sendiri, Suster Francelin selain aktif pada organisasi, ia juga menyukai kreatifitas seperti pekerjaan tangan. Terkadang hasil pada pekerjaan tangan ini ia berikan kepada anak-anak OMK (OrangMuda Katolik) untuk membantunya dalam penggalangan dana. “Ada hahaha...selain rosario sih, iya ada. Nah seperti ini, suster bikin sendiri....terus skill yang lain saya suka juga ...untuk apa...bukan seni juga tapi artinya saya juga bisa merangkai bunga atau apa begitu bisa juga. Kalau di desa cukup laku kalau di kota engga, di kota kan sainganya banyak itu kalau di desa kan orang tidak ada yaaaa..mau ngga mau harus kita buat.” (Francelin, W1, 200) Pada subjek harkat kemanusiaan dalam mencapai tujuan digambarkan melalui penggambaran akan perjalanan dan pengalaman visi dan misi dalam hidup membiara. Penggambaran yang ia berikan sangat umum dalam konteks religiusitas yang ia laksanakan dalam hidupnya. “Kalau bagi saya sih, visi adalah bisa bersatu dan selalu berjalan dengan Tuhan Yesus seumur hidup sampai saya akhirnya dipanggil nanti. Dan sebagaimana misinya, mm...Saya ingin mengikuti Tuhan Yesus dan melaksanakan kehendak yang Ia berikan dalam kehidupan saya ya. Melalui tugas-tugas pelayanan yang diberikan oleh kongregasi. Dan saya menjalankannya tanpa ada berat hati, ikhlas, dan pastinya pasrah seratus persen hidup percaya kepada Tuhan.” (Francelin, W2, 60) Dalam
menghadapi
ketidak-puasan
dalam
kehidupannya,
subjek
melakukan introspeksi diri melalui keadaan situasi maupun kondisi yang telah terjadi. Hal ini ia katakan jika ia berada dalam kondisi pada pekerjaannya di sekolah ataupun didalam memimpin suatu kelompok organisasi.
66
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“Rasa tidak puas ya. Pernah sih, pernah. Apalagi saat-saat kerja di sekolah seperti ini yang dimana saya harus memiliki target dalam pekerjaan saya. jadi terkadang kalau saya merasa ada yang kurang atau ada yang belum mencapai hasil yang saya mau, saya itu... gimana ya, yah pasti ada rasa kecewa ya dalam hati. Hahaha, apalagi kalau dari hasil tidak memenuhi apa yang saya mau, otomatis apa yang menjadi pencapaian target untuk yang lain-lain, kadang ada aja yang tidak sesuai gitu. Jadi, begitulah. Tapi kalau, untuk menghadapinya, saya pribadi berusaha untuk... apa... menyadari dulu kelemahan saya, kekurangan saya.” (Francelin, W2, 75) Pada dimensi aktualisasi diri yang dihadapi oleh Suster Francelin, ia berkembang dan terdorong dari pengalaman-pengalaman hidup serta dalam pekerjaan yang sedang ia laksanakan di sekolah tersebut. Bagi subjek hal ini yang menjadi tolak ukur perkembangannya sebagai biarawati yang berkarya pada masyarakat luas. 8) Dimensi Transendensi Diri (Self-Transendence) Konten transendensi diri merupakan bagian dimana subjek diminta untuk mengetahui tentang perbedaan serta jembatan antara spiritualitasnya dengan kemanusiaannya. Pada pemahaman akan perasaan manusiawinya dalam berkarya sebagai rohaniwan, Suster Francelin hanya memberikan gambaran dasar saja. Ia tidak menceritakan apa yang menjadi titik berat untuk menjadi seorang biarawati, namun ia hanya menjelaskan perasaan manusiawi sepeti layaknya macam-macam emosi orang-orang awam miliki. “Perasaan saya ya... Yah, selayaknya manusia biasa. Hahaha... Sebenarnya sebagai biarawati itu gaya hidupnya saja yang berbeda dengan orang awam ya. Tapi selebihnya itu perasaan manusia biasa.” (Francelin, W2, 95) Pandangan spiritualitas Suster Francelin adalah dengan berpasrah dan menjalankan apa yang sudah diberikan padanya. Maka mengenyam karya yang diberikan dan melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab merupakan salah 67
http://digilib.mercubuana.ac.id/
satu kunci spiritualitas yang Suster Francelin praktekkan pada kehidupan membiaranya. Hal ini juga menjadi nilai spiritualitas Suster Francelin dalam mendekatkan diri pada Tuhan. “Tuhan Yesus. Itu sudah paten dan menjadi acuan saya dalam berjalan. Jadi pencapaian hidup saya itu tergantung pada kehendak-Nya sudah. Hahaha. Jadi tidak ada alasan atau tujuan hidup lain karena mendekatkan diri kepada Tuhan, menjadi salah satu alat-Nya, itu sudah menjadi jalan hidup saya. jadi “pasrah”. Berpasrah itu kata yang bisa menggambarkan hidup saya sekarang dan seterusnya. Perjuangan memang ada, tapi lebih banyak berpasrah pada hidup ini yang menurut saya adalah goal supaya saya bisa lebih dekat dengan Tuhan.”(Francelin, W2, 105) Sebagai seorang biarawati tentu harus menjadi seorang yang dapat memberikan panutan, inspirasi serta motivator bagi orang-orang sekitar. Suster Francelin mendorong orang melakukan hal-hal baik melalui caranya dengan terjun ke lapangan dan menolong orang-orang yang membutuhkan. Hal ini diharapkan oleh Suster Francelin agar orang-orang banyak dapat mencontoh apa yang ia lakukan pada sesama. “Kalau kita biarawati itu cukup untuk terjun langsung ke lapangan. Tidak memandang golongan, suku, agama, kepercayaan, atau apapun itu saya harus bisa berbaur dan pastinya dorongan mau menolong mereka. Kalangan masyarakat dari situ kan pasti bisa menilai, kalau kami bisa datang kepada mereka, mau membantu mereka, mendoakan mereka. Jadi menurut saya dari kita terjun ke lapangan itu, masyarakat awam sendiri pasti bisa terinspirasi dengan sendirinya. Memotivasi mereka untuk mengasihi sesama. Saya bukan menilai diri saya sebagai tempat inspirasi atau motivator ya. Hahaha. Tapi mungkin dari kita melakukan itu, pasti ada hasil yang dimana orang-orang dapat petik, dapat ambil untuk bisa melakukan hal yang sama untuk orang yang membutuhkan bantuan, atau lebih baik lagi dari kita-kita para Suster-Suster ini. “ (Francelin, W2, 115) Dan pada konten membangun keintiman pada berbagai golongan masyarakat, Suster Francelin lebih memandang anak-anak dalam membinanya sebagai masa depan bangsa dan negara. Ia berharap, melalui pendidikan yang ia
68
http://digilib.mercubuana.ac.id/
berikan terutama bimbingan untuk bersikap dan berkarya, dapat mendorong anakanak pula dalam melakukan hal-hal yang baik di masa depan nantinya. “Mendidik dan membimbing anak-anak ke arah yang lebih baik lagi. Karena saya juga sekarang bekerja di sekolah jadi apapun yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab saya adalah mendidik mereka, supaya mereka tumbuhberkembang untuk menjadi cita-cita dan masa depan untuk mereka sendiri maupun orang tuanya, dan juga orang-orang sekitarnya.” (Francelin, W2, 120) Dalam dimensi ini, subjek menunjukkan bahwa kehidupan spiritualitas dapat diimbangi dengan pelayanannya yang merupakan pekerjaan subjek di sekolah. Subjek juga membuat pekerjaan yang ia dalami dan tekuni itu menjadi suatu bentuk kegiatan religiusitasnya sehingga dari apa yang ia dapat melalui pengalaman kehidupannya, ia praktekkan pada kegiatan yang diutus dari tarekatnya. 4.2. Subjek 2 (Sr. Yashinta) 4.2.1. Data Demografis Tabel 4.2.1. Data Demografis Subjek 2 Kriteria Identitas Nama Usia Suku Tinggi Badan Warna Kulit Jumlah Saudara Pendidikan Pekerjaan Tempat Wawancara Tanggal Wawancara
Subjek 2 Sr. Yashinta 38 tahun Flores 155 cm Kuning Langsat Anak ke-10 dari 10 bersaudara S1 Bahasa dan Sastra Inggris Pengajar Biara CIJ 3 Juni 2017 ; 18 Juni 2017
69
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4.2.2. Deskripsi Hasil Observasi 1) Wawancara I Wawancara I (pertama) yang dilakukan bersama dengan subjek kedua bertempat di lokasi tempat tinggal subjek yaitu biara CIJ. Wawancara berlangsung di ruang tamu biara tersebut. Ruangan yang digunakan merupakan ruangan dengan panjang sekitar 7 meter dan lebar sekitar 5 meter. Ruangan ini hanya menggunakan kipas angin dan atap pada ruangan tersebut cukup pendek sehingga kondisi pada ruangan tersebut cukup panas dan pengap, sedangkan udara diperoleh dari pintu ruang tamu yang dibuka dengan angin dari kipas angin. Sumber pencahayaan saat wawancara tmenggunakan lampu pada ruangan tersebut, mengingat ruangan tersebut cukup gelap bila tidak memakai energi seperti lampu. Lokasi wawancara
berada disekitar rumah-rumah penduduk
namun suasana disekitar tempat wawancara cukup tenang. Peneliti tiba di lokasi wawancara tepat dan sesuai dari waktu pertemuan dengan responden yang telah ditetapkan yaitu pada pukul 10.10 WIB. Responden kedua adalah Suster Yashinta. Saat tiba di lokasi Suster Yashinta masih berada di dalam kamar dan akhirnya muncul sekitar 5 menit setelah dipanggil oleh temannya. Suster Yashinta merupakan
seorang wanita dengan tinggi badan
sekitar 155 cm yang memiliki wajah oval dan memiliki warna kulit kuning langsat. Suster Yashinta menggunakan jubah suster biara berwarna putih, penutup kepala yang berwarna putih, menggunakan kalung salib, serta menggunakan sandal jepit berwarna biru sebagai alas kaki didalam tempat tinggalnya. Peneiti kemudian menyapa dan bersalaman dengan subjek, lalu setelah itu, peneliti
70
http://digilib.mercubuana.ac.id/
memulai
wawancaranya
setelah menjelaskan tujuan wawancara
dengan
memberikan lembar persetujuan dalam melakukan wawancara Wawancara dilakukan di sofa ruang tamu dengan meja kaca yang cukup pendek. Dan posisi tempat duduk yang berhadap-hadapan dengan responden yang membelakangi jalan lorong untuk menuju ke ruang makan dan menghadap ke pintu ruang tamu dan peneliti yang menghadap ke jalan lorong untuk menuju ruang makan dan membelakangi pintu ruang tamu. Selama proses wawancara, Suster Yashinta duduk santai dengan menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa dan terkadang pada beberapa pertanyaan yang menekankan pada arah hidupnya menjadi biarawati, badan subjek lebih mengarah condong kedepan. Penekanan yang dilakukan Suster Yashinta saat proses wawancara berlangsung yaitu dengan menggunakan gerakangerakan tangan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti, dijawab dengan baik dan lancar. Dan jika ada yang kurang jelas, subjek akan mempertanyakan ulang maksud dari pertanyaan tersebut. Subjek juga menjawab semua pertanyaan yang diajukan secara singkat, padat, dan sesuai apa yang ditanyakan Tidak ada hal yang signifikan yang menghambat jalannya wawancara. Namun, karena bertempat di ruang tamu terkadang masih terdengar orang lain lalu-lalang di biara tersebut dan adanya orang yang sedang berbicara, sehingga diperlukan konsentrasi yang cukup dalam menangkap apa yang disampaikan oleh subjek. 2) Wawancara II
71
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Wawancara kedua dilakukan ditempat dan lokasi yang sama dengan wawancara sebelumnya yaitu ruang tamu pada biara CIJ. Wawancara tersebut dilaksanakan pada tanggal 18 Juni 2017 dan dilakukan pada pukul 11.00. Wawancara kedua berlangsung selama 40 menit karena Suster Yashinta tengah mengerjakan tugas yang diberikan dari kursus. Pada pertemuan kedua, subjek mengenakan jubah yang sama yaitu jubah Suster berwarna putih, memakai penutup kepala Suster yang berwarna putih pula, serta kalung salib. Wawancara juga dimulai pada pukul 11.10, dimana peneliti membangun rapport terlebih dahulu terhadap subjek dengan menanyakan beberapa perihal seperti kabar dan kondisi subjek. Selama wawancara, Suster Yashinta menjawab dengan cara seperti sebelumnya yaitu singkat, padat, dan sesuai apa yang ditanyakan oleh peneliti. Saat proses wawancara berlangsung, sesekali Suster Yashinta melihat jam dinding yang terdapat di ruang tamu tersebut. Wawancara kedua pun berakhir tepat pada pukul 11.50 WIB. 4.2.3.Analisis Intra Subjek Pada gambaran motivasi dasar dan awal keinginan Suster Yashinta menginginkan untuk masuk dan hidup membiara, karena adanya ketertarikannya serta cita-cita yang ia impikan dan harapkan dari sejak dini. Dorongan itu timbul bukan hanya dari dirinya melainkan peranan dari lingkungan tempat tinggalnya yang dibesarkan dan dididik dengan agama Katolik yang sangat kental. Suster Yashinta juga merupakan individu yang sudah sangat aktif saat masih mengemban
72
http://digilib.mercubuana.ac.id/
pembelajaran di sekolah dalam aktifitas serta kegiatan-kegiatan yang terdapat di gereja. Namun saat dirinya memutuskan untuk memilih jalannya sebagai biarawati, hal tersebut dihalangi dan tidak diperbolehkan oleh Ayah dari Suster Yashinta. Hal itu dikarenakan, Ayah subjek menuntut dan menginginkan Suster Yashinta untuk menikah dan berkeluarga serta memiliki keturunan pada keluarganya. Alasan yang dikemukakan oleh Ayah Suster Yashinta, karena kepercayaan setempat bila memiliki anak dengan jumlah yang banyak, maka kesuksesan dan penghasilan pada keluarga dapat banyak pula. Tetapi, hal itu dapat dilaluinya karena keinginan subjek untuk hidup sebagai biarawati. Hal lain yang mendorong Suster Yashinta untuk menjadi biarawati adalah karena ia tidak ada keinginan untuk menikah yang disebabkan adanya trauma ditinggalkan oleh sanak saudaranya yang meninggal akibat melahirkan. Hal inilah yang membuat Suster Yashinta makin mantap dalam memilih jalannya sebagai biarawati gereja. Berikut akan dijabarkan tentang pemenuhan kebutuhan-kebutuhan Suster Yashinta menurut Abraham Maslow. 1. Dimensi Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs) Pada konten ini, pemenuhan akan kebutuhan dasar meliputi atas : Pemenuhan asupan gizi (makan dan minum), pemenuhan kebutuhan kesehatan fisik, dan kebutuhan hasrat seks pada subjek. Pertama yaitu, pemenuhan asupan gizi pada diri subjek terbilang sangat terpenuhi karena hal ini sudah disediakan didalam biara tesebut yang sesuai akan kebutuhan jasmani. 73
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“... Sistem sentralisasi gitu. Jadi untuk semua suster memiliki uang saku yang sama gitu. Lalu makan minum yang sudah di standarkan, sehat jasmani gitu. Nah..nah..itu aturan sudah di bicarakan dalam tingkat kongregasi. Jadi tidak ada yang namanya suster ini dia berkelebihan gitu, sehingga suster makan dari makanan yang sama, sehat makanan yang sama gitu. Jadi semua sudah dia atur, sehingga kita tidak berkelebihan...” (Yashinta, W1, 80) Kedua adalah kebutuhan kesehatan fisik pada subjek. Suster Yashinta tidak memiliki kegiatan yang spesifik dalam menjaga kesehatan badannya. Menurut Suster Yashinta, dengan melaksanakan apa yang menjadi aktifitas dan jadwal yang telah diberikan dan ditetapkan oleh biara. “... Tadi seperti yang saya bilang, orang biara itu sangat beruntung, kenapa saya bilang begitu? Karena hidupnya sudah teratur. Jam berapa dia harus rekreasi, jam berapa dia harus makan, jam berapa dia harus tidur, jam berapa dia harus istirahat, jam berapa dia harus bangun, jam berapa dia harus olahraga, jadi semua sudah di atur.” (Yashinta, W1, 85) Menurut Suster Yashinta pula hal-hal tersebut yang dapat membantunya dalam menjaga kesehatan tubuhnya baik secara jasmani maupun rohani. “Suster kerja, sapu, ngepel, jalan, lari gitu..jadi itu yang membuat dia bisa sehat gitu. Jadi suster bisa mengerjakan semua sendiri tidak harus pake pembantu atau karyawanya yang mengerjakan gitu. Tiap kali suster bisa kerja , suster di beri tugas .oo..satu minggu ini suster ini ngepel gitu, satu minggu ini suster bersihkan ini gitu, itu sudah di atur, sudah ada pembagian jadwal dalam komite, jadi kita sudah ,,sudah tahu gitu dan kerja kecil-kecil gitu arrtinya kita bisa olah raga atau dia jalan gitu. Bentuk olah raga supaya bagaimana keseimbangan antara rohani dan jasmani di jaga begitu” (Yashinta, W1, 90) Dan pada perihal ketiga yaitu hasrat seks. Suster Yashinta tidak memiliki keinginan untuk memiliki keluarga. Ini disebabkan karena Suster Yashinta mengalami peristiwa traumatis yang membuat ia harus kehilangan anggota keluarganya akibat saat melakukan persalinan. “... Cita-cita saya itu tumbuh memang sejak kecil gitu..memang sejak kecil saya ingin mau masuk biara tapi saya dekat dengan seorang kakak saya kakak 74
http://digilib.mercubuana.ac.id/
perempuan ..nah waktu dia menikah..waktu dia hamil lalu melahirkan, pada saat melahirkan itu anaknya selamat dan dia meninggal, itulah menjadi trauma untuk saya, karena kakak saya sangat dekat dengan saya, lalu saya berpikir..ah ternyata menikah itu harus mempertaruhkan nyawa begitu,saya berpikir mendingan diri saya, saya persembahkan untuk Tuhan begitu.” (Yashinta, W1, 30) Kebutuhan fisiologis pada Suster Yashinta pada pemenuhan kebutuhan yang bersifat pemenuhan dasar pada tubuh seperti makan dan minum sangat terpenuhi walaupun tergolong sederhana. Namun dari kesederhanaan itu, yang membuat Suster Yashinta memiliki fisik yang sehat dan bugar. Lalu, pada pemenuhan kebutuhan secara fisiologis dalam hal seksualitas, Suster Yashinta tidak pernah memikirkannya, karena hal ini merupakan suatu hal yang bukan ia impikan. Disamping itu juga terdapat masa lalu yang dapat mempengaruhi keinginannya dalam menginginkan hasrat seks sehingga pemenuhan tersebut terhenti dan tidak ada. 2. Dimensi Kebutuhan Keamanan (Safety Needs) Gamabaran pemenuhan kebutuhan kedua yaitu keamanan pada Suster Yashinta terdiri atas : penggambaran rasa aman dan nyaman di lingkungan subjek ; pemahaman pada batasan-batasan (peraturan) yang ada ; serta perasaan bebas dari rasa takut dan cemas. Menurut Suster Yashinta rasa aman dan nyaman ia ciptakan melalui komunikasi dan sikap rendah hati kepada sesama. Suster Yashinta yang merupakan pindahan dari Flores mengungkapkan bahwa melalui sikap rendah hati dan berkomunikasi dengan baik itulah yang membuat subjek merasa diterima oleh
75
http://digilib.mercubuana.ac.id/
masyarakat awam, umat, maupun rekan-rekan di dalam biara dan mampu beradaptasi dengan cepat dengan lingkungan yang ia tinggali saat ini. “Ya..di rumah kita kan, bisa mau makan jam berapa aja, ya biasanya kita kalau mau makan ambil saja makan gitu, terus mau ini ambil saja tanpa harus minta ijin, kan karena tahu bahwa ini memang punya kita gitu,kalau di biara tidak, kita makan pada jam makan gitu,terus kalau kita mau sesuatu kita harus minta, belajar untuk jadi rendah hati. Misalnya saya mau makan..mau minta beli sepatu gitu kita harus ngomong ke suster ekonom,”suster sepatu saya sudah putus, bisakah saya meminta uang untuk membeli sepatu?” jadi semua di ajar untuk jadi rendah hati, tidak hanya ambil saja.” (Yashinta, W1, 125) Selanjutnya, sebagaimana penggambaran pemahaman Suster Yashinta terhadap peraturan. Ia menyatakan bahwa ia menjalani hidup sebagai biarawati dengan aturan-aturan yang diminta oleh tarekatnya. Perihal ini tentu sudah menjadi acuan pada hidup sebagai biarawati. “Ternyata kita bekerja seperti orang diluar juga. Bekerja di kantor, di sekolah ada yang di kebun, tergantung dengan profesi masing –masing begitu. Tetapi begitu jam dua belas setengah dua belas berhenti. Jam dua belas ibadat bersama sampai dengan setengah satu, habis itu makan, makan tidur siang begitu, sore bangun berdoa lagi, setelah itu kerja jam enam lagi berdoa lagi. Begitu, setelah itu eh..kerja lagi atau rekreasi lalu berdoa untuk tidur malam” (Yashinta, W1, 65) Sebagai biarawati tentu subjek perlu bebas dari rasa takut dan cemas. Suster Yashinta merupakan seseorang yang cukup berani dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya secara pesat. Maka, rasa takut dan cemas tidak pernah ia rasakan saat tinggal pada biara tersebut. “... Tidak sih, biara itu kan lingkungan besar terus kita kan orang banyak,juga kan terus ada satpam di depan, jadi kan tidak ada perasaan insecure, karena saya merasa bahwa ketika kita berdoa kita percaya Tuhan melindungi kita, ngapain takut gitu.” (Yashinta, W1, 135) 3. Dimensi Kebutuhan Kasih Sayang (Love Needs/Belonging-ness)
76
http://digilib.mercubuana.ac.id/
A. D-Love Suster Yashinta merupakan pribadi yang tidak ada keinginan untuk jatuh cinta, menyukai atau bahkan memiliki seseorang. Dasar alasan dari pada itu, ia berkomitmen untuk hidup menjadi seorang biarawati serta alasan awal karena tidak ingin berkeluarga. Hal ini, subjek kemukakan jika ia mendapatkan perhatian dan pernyataan cinta dari lawan jenis. “Orang jatuh cinta pada suster, mereka mencintai, mereka terbuka suka dengan suster, ”Saya jatuh cinta dengan suster” gitu, yaa..kita terima kasih karena Tuhan hadir dalam diri orang itu, untuk menyatakan cintanya, tetapi saya tahu bahwa saya punya cinta, yang sudah saya persembahkan khusus kepada Tuhan gitu. Jadi saya mengasihi dia dengan cinta yang bebas gitu, saya tidak mengikat dia, ketika dia mengatakan”saya mencintaimu” atau saya jatuh cinta kepada orang itu, saya tidak bisa mengikat dia untuk menjadi milik saya.” (Yashinta, W1, 185) B. B-Love Konten B-Love yang ditunjukkan pada Suster Yashinta adalah sesuai dengan bentuk kasih sayang yang diajarkan pada tarekatnya, yang biasa disebut dengan cinta agape. Cinta agape sendiri merupakan yang berasal dari istilah Yunani yang berarti cinta yang tidak mementingkan diri sendiri, atau cinta tanpa batas dan syarat. Bentuk cinta agape ini sangat identik dengan ajaran yang diberikan oleh para biarawati termasuk pada subjek sendiri. “Pada dasarnya cinta yang..yang, kami apa ya? kami geluti, cinta yang kami pahami, cinta yang kami hidupi adalah cinta agape tahukan cinta agape itu apa? Memberi tidak untuk menerima gitu, jadi kita tidak bisa mencintai orang yang sama terus, lalu orang itu. Akhirnya mengikat diri pada saya, tapi saya mengasihi dia, saya mengasihi orang ini dengan cinta yang sama gitu. Saya tidak mengikat orang itu orang itu supaya orang itu hanya mencintai saya, seperti kalau misalnya, di luar kan kalau saya mencintai laki_laki itu lalu pasti dia cinta saya, terus saya mengikat diri padanya dan dia itu mengikat diri pada saya. Saya
77
http://digilib.mercubuana.ac.id/
sebagai orang biara saya tidak mencintai seperti itu, saya mengasihi semua orang dengan cinta yang sama, saya beri perhatian pada keluarga ini, saya beri perhatian pada anak ini, saya beri perhatian pada gadis ini, saya beri perhatian kepada orang ini, tetangga ini, tetangga itu dengan perhatian yang sama begitu, jadi saya tidak bisa mengikat orang dengan cinta pribadi. saya Mengasihi dengan yang Tuhan Yesus ajarkan. (Yashinta, W1, 180) Pada gambaran kebutuhan kasih sayang pada Suster Yashinta secara keseluruhan. Pada konten D-Love, Suster Yashinta sama sekali tidak menunjukkannya kepada lawan jenis sekalipun saat Suster Yashinta disukai oleh orang tersebut. Namun pada B-Love, Suster Yashinta sendiri menerapkannya dalam bentuk cinta agape yang memang sudah diajarkan di tarekat tersebut 4. Dimensi Kebutuhan Harga Diri (Esteem Needs) A. Penghargaan terhadap diri sendiri (Self-Respect) Suster Yashinta adalah salah satu individu yang sangat menyukai untuk terjun di setiap organisasi dan kegiatan-kegiatan sosial. Namun hal ini hanya ia karyakan saat masih di Flores, karena di Jakarta ia hanya melaksanakan kursus untuk berkarya dan bertugas di Jerman. “Aktif, kita pergi doa rosario terus saya emm..sebelum disini sih..karena saya kan di sini saya kursus gitu tapi sebelumnya kan saya di Flores, saya aktif sekali. Jadi di Paroki, di Gereja terus di kemasyarakatan gitu. Emm..karena saya di sekolah, otomatis kan em... Semua kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pemerintahan juga kita ikut. Seperti kegiatan PGRI pelatihan-pelatihan yang diadakan Pemerintah gitu, kita kan ikut.” (Yashinta, W1, 200) Dalam mengasah kompetensi pada dirinya, Suster Yashinta pernah mengikuti beberapa kali kompetisi atau perlombaan yang diadakan di Universitas saat ia kuliah. Suster Yashinta merupakan pribadi yang suka mengeksplorasi dan mencoba segala hal. Hal tersebut ia kemukakan dari percakapannya tentang
78
http://digilib.mercubuana.ac.id/
kompetisi yang selalu ia ikuti saat masih kuliah dan ia praktekan pada anak-anak didiknya yang sekarang. “Ehm, ya studi sih waktu kita selalu ikut perlombaan, eh..kan diadakan oleh universitas, em terus di tingkat universitas itu di dalam itu ada program studi kan dan program studi itu juga ada jurusanya gitu. Jurusannya itu lalu kita per semester biasanya diadakan perlombaan,seperti itu, tetapi ketika saya menjadi guru saya memberi lomba untuk siswa-siswi.” (Yashinta, W2, 5) B. Penghargaan dari Orang Lain (Respect from Others) Dalam suatu organisasi ataupun kelompok Suster Yashinta selalu dipercayakan serta dianggap pemimpin oleh para anggota kelompoknya. Kelompok tersebut adalah kelompok para pendidik dan ia yang bertugas untuk bertanggung jawab dalam setiap tugas dari para pendidik. “Oh iya, bukan saya berpikir, tapi orang yang berpikir untuk saya menjadi pemimpin.” (Yashinta, W2, 30) “Emm...kami ada suatu kelompok, kelompok yang itu guru mata pelajaran gitu, kelompok guru mata pelajaran, yaa..mereka pilih saya. Untuk ketua gitu, sehingga saya yang menghandle, kapan kita bertemu gitu? Perubahan apa yang kita buat gitu?supaya kemampuan bahasa inggris semakin tingkat,apa yang harus kita buat sehingga anak-anak yang menjadi sasaran kita didik itu semakin mencintai mata pelajaran yang kita geluti gitu.” (Yashinta, W2, 35) Pada kebutuhan keempat ini, Suster Yashinta menunjukkan akan kepercayaan dirinya dan mengasah kompetensi melalui kompetisi-kompetisi yang diikutinya. Pencapaiannya melalui prestasi dari kompetisi tersebut yang membuat rasa kepercayaan diri dan dominan didalam organisasinya sanga tinggi, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh para anggotanya untuk menjadikan Suster Yashinta sebagai pemimpin.
79
http://digilib.mercubuana.ac.id/
5. Dimensi Kebutuhan Mengetahui dan Memahami/ Kebutuhan Kognitif (Need to Know and Understand/Cognitive Needs) Kebutuhan ini terpenuhi pada segi pendidikan oleh Suster Yashinta karena ia telah menyelesaikan strata satunya pada jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. Namun pada keinginan pembelajaran yang ingin ditempuh oleh Suster Yashinta adalah masuk jurusan psikologi. Karena tuntutan yang diberikan oleh biara, maka Suster Yashinta menaati yang menjadi keinginan dari biara. Sebagai bentuk perwujudan kaul ketaatannya. “Emm...basically saya tidak suka inggris, saya sukanya em, ini apa? bagian konseling, psikologi, saya lebih suka sekolahnya psikologi, saya pengen untuk menolong orang gitu, itu motivasi saya. Tapi Tuhan punya keinginan lain ternyata, em, lalu kongregasi mengirim saya untuk kuliah ambil bahasa inggris karena memang kongregasi butuh suster yang bahasa inggris, karena kita punya sekolah, jadi yaa..sudah ,demi ketaatan saya pergi.” (Yashinta, W2, 45) Tetapi, walaupun keinginannya tidak dapat ia penuhi, namun Suster Yashinta masih mampu untuk mengembangkan potensinya hingga sekarang dengan mengajar dan mendidik anak-anak Sekolah Menengah Atas (SMA) pada mata pelajaran Bahasa Inggris. Dan pada keinginannya yang tertunda dalam mempelajari psikologi, Suster Yashinta banyak membaca buku-buku Psikologi untuk memuaskan dahaga pengetahuan yang ia ingin capai itu. “Iyaa..saya suka baca buku psikologi, begitu. Gerakan tubuh, terus ehm, ”how to solve the problem?” banyak buku-buku yang saya baca tentang psikologi gitu.” (Yashinta, W2, 55) 6. Dimensi Kebutuhan Estetika (Aesthetic Needs) Sebagai biarawati tentu ada tuntutan untuk mereka dapat menyukai segala bentuk kesenian. Hal ini terjadi pula pada Suster Yashinta. Pada subjek, walaupun
80
http://digilib.mercubuana.ac.id/
tidak memiliki penguasaan didalam instrumen musik, namun Suster Yashinta menyukai seni dengan menyanyi. Dan sebagai bentuk kreatifitas konkretnya, Suster Yashinta cukup lihai dalam membuat beberapa kerajinan tangan. “Eehh.. tidak. Tapi saya suka bernyanyi. Ya, merangkai bunga saya suka, gitu. Pokoknya berbagai seni itu hal-hal yang seni saya suka gitu, tapi saya tidak bisa bermain musik.” (Yashinta, W2, 70) Suster Yashinta merupakan salah satu individu yang sangat perhatian terhadap kebersihan. Ia juga menekankan bahwa kepuasan akan nilai estetika merupakan dari diri sendiri agar hal tersebut lebih bermakna dan tetap menjaga kerapihan serta kebersihan sesuai dengan kesadaran diri masing-masing. “Iyaa..saya rasa kalau kita tidak pernah merasa puas, maka kita tidak akan pernah bahagia,ya.. sejauh kita bisa menata, membersihkan, merawat,kita puas gitu.” (Yashinta, W2, 85) Tidak hanya itu, Suster Yashinta pun sangat menyukai untuk terjun pada kegiatan-kegiatan yang merawat lingkungan. Ia mengungkapkan bahwa dari ia mengikuti kegiatan-kegiatan seperti itu, secara tidak langsung mengajak dan menginspirasi orang-orang awam untuk melakukan hal yang sama pula dalam menjaga lingkungan. “Oh yaaa..saya waktu jadi guru kami mm, ada program kebersihan di pasar, biasanya kan di pasar itu kotor, jadi saya menggerakan gitu, anak-anak supaya ee ke pasar, membersihkan, menyapu, gitu, sehingga dengan demikian, kita mau memberikan ..apa ya.? dampak positif untuk orang “eh ternyata hidup sehat itu begini” gitu. Selain membuat indah,bersih nyaman, sehat.” (Yashinta, W2, 90) 7. Dimensi Aktualisasi Diri (Self-Actualization) Aktualisasi diri yang terdapat pada Suster Yashinta ditampilkan salah satunya yaitu kreatifitas yang dibuatnya dari hal-hal kerajinan tangan yang ia
81
http://digilib.mercubuana.ac.id/
ciptakan bersama dengan rekan-rekan biarawati lainnya. Sembari menunjukkan bantal sofa yang ia ciptakan, Suster Yashinta mengatakan bahwa semuanya ia pelajari dari para Suster senior dan ia mengembangkannya dan dari kreatifitas tersebut dapat memberikan hasil kepada diri mereka sendiri yang berupa penghasilan. “Oh ya..kami di biara itu, waktu pembinaan itu kami di ajar untuk membuat ini, ini hasil karya tangan suster ini, jadi ini suster-suster, ada suster kita yang menyukai seni lalu, dia memberi pelajaran pada suster-suster yang muda utnuk buat ini. Kita bisa, kita bisa menjual kepada masyarakat di sekitar gitu, ini hasil karya suster-suster loh..” (Yashinta, W2, 100) Pada
pemenuhan
harkat
kemanusiaan
dari
Suster
Yashinta,
ia
menggambarkan bahwa visi dan misinya adalah menjadi satu dengan Tuhan yang artinya ia ingin sepanjang hidupnya dapat menjalankan kehidupan biaranya dan berjalan bersama dengan Tuhan Yesus. “Em..visi dan misi saya itu adalah, saya sedang mengabdikan diri saya kepada Tuhan, saya mempersembahkan seluruh kemampuan yang ada pada saya, saya mengikuti Yesus sampai mati, sesuai dengan..emm..apa yang saya lakukan mempersembah diri saya untuk Tuhan, lalu saya mengikatkan diri saya kepada Tuhan, seperti itu.” (Yashinta, W2, 110) Dan pada konten yang membahas tentang pemenuhan akan kepuasan pada diri subjek sendiri, ia menyatakan sebelumnya di konten nilai estetika, bahwa segala halnya patut merasa puas agar dalam hidup pribadinya ia dapat merasa bahagia. Hal itu juga disertakan pula dengan rasa bersyukur dengan segala apa yang telah ia lakukan sebagai biarawati dalam mengemban tugas-tugasnya dengan baik. “...Bersyukur karena diberi kepercayaan untuk em...bekerja di luar negeri gitu, jadi motivasi-motivasi yang..yang..ee..pimpinan biara, suster-suster saya berikan
82
http://digilib.mercubuana.ac.id/
pada saya,juga menjadi motivasi saya, untuk tetap bertahan di biara, untuk setia menjalankan misi kongregasi dan setia kepada Tuhan.” (Yashinta, W2, 120) 8. Dimensi Transendensi Diri (Self-Transendence) Pandangan Suster Yashinta dalam menjalani kehidupan membiaranya karena berdasarkan akan pembinaan-pembinaan yang sudah ia lalui sehingga ia dapat menjadi cerminan seorang biarawati yang sempurna. Subjek mengakui bahwa sebagai biarawati perlunya kesadaran diri dan menahan ego masing-masing yang tentunya ia bawa dari dalam keluarga. Hal inilah yang menjadi salah satu tantangan terbesarnya untuk dihadapi sebagai biarawati. “Saya ini anak bungsu begitu. Tentukan di dalam dalam kita kan anak bungsu biasanya dia diperhatikan, dia selalu jadi pusat perhatian dalam keluarga gitu kan, selalu di kasihi apa – apa diminta diberi gitu, tapi kan kita di dalam biara, kita sudah dapat banyak pembinaan gitu..yang..kita punya sifat-sifat yang ingin menang sendiri itu tidak lagi gitu,kita sudah di tuntun oleh para suster gitu, “oh motivasi kita harus mengikuti teladan Tuhan Yesus” gitu, harus rendah hati tidak boleh egois gitu, jadi itu Yesus itu adalah gambaran pribadi untuk suster gitu. Jadi yang tadinya yang sikap kita bawa dari keluarga, harus di apa yaah di formasikan gitu yaa...eehh...Yesus itu menjadi gambaran loh, Yesus itu menjadi gambaran, seorang biara bagaimana mengikuti Dia gitu, artinya engkau tidak bawa lagi yang engkau punya kehidupan yang dari luar gitu, Yesus itu menjadi teladan.” (Yashinta, W2, 125) Melalui pemahaman makna spiritualitas yang Suster Yashinta lakukan pada era globalisasi ini, ia menyikapinya dengan berperilaku sadar diri dan berpikir bijak dalam menggunakan barang-barang elektronik terutama alat telekomunikasi seperti telepon seluler yang digunakan untuk mencari dan mengetahui informasi-informasi. Suster Yashinta juga memeluk ikrar yang ia lakukan yaitu Kaul Kemiskinan untuk dapat bertindak bijak dalam menggunakan barang-barang tersebut.
83
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“... Kita tidak bisa membendung yang namanya arus globalisasi, dengan kehidupan biara gitu,karena kita juga tidak bisa menahan teknologi untuk tidak boleh berkembang gitu. Tapi orang biara punya aturan. Ketika engkau menggunakan alat telekomunikasi engkau juga harus punya aturan gitu, harus tahu diri, engkau mengikrarkan kaul kemiskinan, artinya kau tahu batas-batasnya menggunakan media komunikasi. Karena engkau bertanggung jawab dengan Tuhan Allah. Jadi kesardaran diri itu penting, jadi saya menggunakan alat komunikasi misalkan handphone untuk hal-hal yang penting, atau saya membuka internet, saya buka internet untuk apa? Untuk menambah pengetahuan atau hanya untuk kesenangan gitu.” (Yashinta, W2, 140) Suster Yashinta merupakan individu yang dapat membuka diri pada setiap golongan masyarakat. Untuk membangun keintiman pada setiap masyarakat yang ia temui, ia selalu memberikan pertolongan melalui dorongan atau motivasi pada setiap orang yang membutuhkan. Selain berlaku sebagai motivator, keintiman yang ditunjukkan oleh Suster Yashinta, ia kemukakan bahwa ia tidak pernah memiliki batasan, bahkan terhadap masyarakt yang memiliki perbedaan akan kebudayaan dan kepercayaan. “Em... Ketika saya bertemu mereka , memberi salam kepada mereka, eee..diri saya juga menjadai motivator, ketika saya bertemu mereka, dengar mereka, mereka crita, mereka punya keluhan lalu saya dengar mereka sejauh yang saya bisa saya memberi solusi. Itu saya sudah memberikan..menjadi motivator buat mereka.” (Yashinta, W2, 150) “...Teman-teman saya kan banyak muslim. Yaa..mereka cerita mereka punya keluarga begitu. Lalu saya beri mmm... berikan motivasi, beri dorongan, terus memberikan jalan keluar.” (Yashinta, W2, 155) Penggambaran transendensi diri pada Suster Yashinta secara keseluruhan yaitu Suster Yashinta adalah individu yang mampu untuk menyeimbangkan kebutuhan
manusiawinya
dengan
kebutuhan
spiritualitasnya,
sehingga
menghasilkan tindakan dalam menahan ego demi tindakan ke-Esa-an pada kehidupan membiaranya. Kontak yang ia lakukan dengan sesama tanpa
84
http://digilib.mercubuana.ac.id/
memandang perbedaan adalah perlakuan yang mencerminkan apa yang perlu dilakukan para biarawati dengan berbagai golongan masyarakat. 4.3.
Subjek 3 (Sr. Lusi)
4.3.1. Data Demografis Tabel 4.3.1. Data Demografis Subjek 3 Kriteria Identitas Nama Usia Suku Tinggi Badan Warna Kulit Jumlah Saudara Pendidikan Pekerjaan Tempat Wawancara Tanggal Wawancara
Subjek 3 Sr. Lusi 31 tahun Flores 145 cm Cokelat Anak ke-3 dari 7 bersaudara Mahasiswi Sekretaris Biara CIJ 3 Juni 2017 ; 18 Juni 2017
4.3.2. Deskripsi Hasil Observasi 1) Wawancara I Wawancara I (pertama) yang dilakukan bersama dengan subjek ketiga bertempat di lokasi tempat tinggal subjek yaitu biara CIJ. Wawancara juga berlangsung di ruang tamu biara. Peneliti
melakukan wawancara setelah wawancara bersama
dengan
responden kedua dan waktu menunjukkan pukul 11.30 WIB. Responden Lusi adalah seorang wanita dengan tinggi badan sekitar 158 cm yang memiliki bentuk wajah persegi dan memiliki warna kulit cokelat. Responden menggunakan jubah suster biara berwarna putih, penutup kepala yang berwarna putih, serta
85
http://digilib.mercubuana.ac.id/
menggunakan sandal jepit berwarna merah sebagai alas kaki didalam tempat tinggalnya. Peneliti bersalaman sembari memperkenalkan diri kepada responden serta menjelaskan apa yang menjadi tujuan dari wawancara tersebut. Setelah itu, peneliti memulai wawancaranya setelah menjelaskan tujuan wawancara dengan memberikan lembar persetujuan dalam melakukan wawancara seperti yang dilakukan juga pada responden-responden sebelumnya. Wawancara dilakukan di tempat, situasi, dan kondisi yang sama pula yaitu di sofa ruang tamu dengan meja kaca yang cukup pendek. Dengan posisi tempat duduk yang sama yaitu posisi berhadap-hadapan dengan responden yang membelakangi jalan lorong untuk menuju ke ruang makan dan menghadap ke pintu ruang tamu dan peneliti yang menghadap ke jalan lorong untuk menuju ruang makan dan membelakangi pintu ruang tamu. Selama proses wawancara, responden duduk dengan mencondongkan badan ke depan. Intonasi nada suara yang dikeluarkan responden sangat kecil sehingga perlunya beberapa pengulangan kata. Responden jarang sekali dalam memberikan penekanan. Gerakan tangan selama dalam proses wawancara yaitu telapak tangan kanan hanya ditimpakan dan dikatupkan diatas telapak tangan kiri. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti, dijawab dengan baik dan lancar. Dan jika ada yang kurang jelas, responden akan mempertanyakan ulang maksud dari pertanyaan tersebut. Tidak ada hal yang signifikan yang menghambat jalannya wawancara. Namun, karena bertempat di ruang tamu terkadang masih terdengar orang lain lalu-lalang di biara tersebut dan adanya orang yang sedang berbicara, sehingga
86
http://digilib.mercubuana.ac.id/
diperlukan konsentrasi yang cukup dalam menangkap apa yang disampaikan oleh responden mengingat intonasi nada suara responden juga sangat kecil. Proses wawancara pun hanya dapat dilakukan sekitar 40 menit dikarenakan responden sedang mengerjakan ujian secara online. 2) Wawancara II Pada wawancara kedua, berlangsung pada hari Minggu, 18 Juni 2017, pukul 12.00 WIB. Wawancara tersebut dilakukan kembali di Biara CIJ dan berlangsung selama 1 jam. Saat itu, subjek baru pulang dari Gereja dan sedang bersantai di biara. Subjek mengenakan pakaian yang sama saat wawancara pertama yaitu jubah Suster berwarna putih, memakai kalung salib, dan menggunakan cincin Kaul Kekal, serta menggunakan alas kaki rumahnya yang berwarna merah. Subjek menyapa peneliti dan sebelum wawancara dimulai, Subjek memperlihatkan foto-foto teman kuliah Subjek kepada peneliti. Disini Subjek mulai terlihat dekat dan terbuka terhadap peneliti serta memperlakukan peneliti selayaknya teman dekatnya. Saat
wawancara
kedua
dimulai,
Subjek
terlihat
lebih
antusias
dibandingkan wawancara pertama. Selama wawancara, intonasi yang dikeluarkan Subjek dapat berubah-ubah. Jika ada hal yang membicarakan tentang pemikiran pribadi terhadap orang-orang di lingkungannya dan kehidupannya yang di Jakarta, Subjek melemahkan intonasinya, sedangkan jika Subjek sedang menceritakan tentang kehidupannya di Timor Timur, ia memperjelas intonasi dan bahkan sesekali tertawa dan menunjukkan wajah yang lebih ekspresif daripada saat membicarakan kehidupannya di Jakarta.
87
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Disamping itu juga, Subjek juga lebih berinisiatif dalam menceritakan pengalaman-pengalamannya terlebih dahulu sebelum peneliti memberikan pertanyaan selanjutnya. Subjek juga lebih terbuka dibandingkan wawancara pertama. 4.3.3. Analisis Intra Subjek Suster Lusi sudah mengabdikan diri menjadi seorang biarawati dengan sudah memasuki tahun keduabelasnya pada tahun ini.
Motivasi dasar yang
membuat Suster Lusi ingin menjadi seseorang yang mengabdikan kehidupannya pada Tuhan yaitu karena ia dibesarkan dan sudah dididik pada ajaran Katolik yang kental sejak ia masih belia dan saat ia belajar di Sekolah Dasar (SD) hingga saat ia masuk Sekolah Menengah Atas (SMA). Cara hidup biarawati yang membuat ia terinspirasi untuk hidup seperti mereka yang tergolong dengan kesederhanaan dan interaksi sosial yang luas dan tidak memandang status atau golongan masyarakat tertentu. Walaupun dilahirkan pada keluarga penganut agama Katolik, namun orang tua Suster Lusi pernah tidak menyetujui dengan pilihan yang ia inginkan untuk hidup membiara. Hal ini dikarenakan kegiatan yang dilakukan para biarawati selalu berada di luar rumah dan jauh pada hal-hal yang bersifat pada masalahmasalah dalam keluarga. Tetapi hal ini tidak menyurutkan apa yang menjadi kehendak dari subjek sendiri. Suster Lusi menunjukkan kemantapannya dan menunjukkan kepada keluarga bahwa hidup membiara pun masih dapat berinteraksi dengan keluarga dan tinggal di biara adalah “jalan hidup” yang tepat bagi masa depannya.
88
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Berikut akan dijabarkan dan dijelaskan secara detail tentang gambaran pemenuhan hirarki kebutuhan dalam pencapaian motivasi diri pada kehidupan menbiaranya. 1. Dimensi Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs) Pada konten pemenuhan dasar yang bersifat secara fisiologis terbilang cukup. Karena pada kesehariannya, dalam biara sudah ada dan selalu disediakan makanan sebanyak tiga kali sehari. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya juga dapat terpenuhi karena materi yang berupa uang selalu diberikan tiap bulannya oleh Suster yang dipercaya sebagai Suster Ekonom. Uang yang diberikan juga sangat terbatas karena bentuk Kaul Kemiskinan yang dianut dalam biara tersebut. “...Kalau untuk keperluan pribadi. Mmm.. Untuk kami itu, yang CIJ setiap bulannya kami ada uang saku, 100 (seratus ribu rupiah). Itu untuk beli handbody, atau beli pulsa begitu. Itu untuk pribadi. Kalau untuk semua-semua itu ama biara udah disediakan. Pokoknya kita punya hidup dan keperluan, mau baju, mau sepatu, itu apa semua, ama biara sudah disediakan. Misalnya, bulan ini kita butuh apa, kita buat anggaran terus kita kasi anggarannya ke Suster Ekonom. Nanti kita beli apa-apa begitu, baru kita kasi nota ke Suster Ekonom.” (Lusi, W1, 45) Kondisi fisik pada Suster Lusi walaupun tergolong kurus dan tidak melakukan rutinitas olahraga dalam menjaga kesehatan badannya, namun ia tetap dapat beraktivitas seperti biasa dan ia menjaga kesehatan melalui istirahat yang cukup dan teratur dalam mengikuti rutinitas sehari-hari yang diberikan oleh biara. Subjek juga tidak memiliki riwayat sakit parah selama hidup membiaranya. “... Sekarang bagaimana saya harus me-manage saya punya waktu. Karena di biara sendiri sudah ada jadwal-jadwal yang sudah diatur. Mulai dari bangun pagi sampai tidur malam.” (Lusi, W1, 60)
89
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“Kalau sakit, paling cuma demam, pegal-pegal gitu. Tapi kayak tipus, DBD gak pernah. Tapi pastinya, walaupun sakit 2-3 hari harus tetap berjuang, harus tetap berusaha.” (Lusi, W1, 65) Dalam menjalani hal bermati raga, pantangan yang perlu dihadapi oleh subjek sebagai orang yang menjalani kehidupan biara adalah seperti tertarik pada lawan jenis ataupun keinginan atau hasrat seksual, namun Suster Lusi hanya tertarik pada hal yang bersifat menyukai pada lawan jenis, tetapi tidak ada keinginan untuk memiliki seutuhnya hingga keinginan seksual. “Yah, ada sih namanya manusia. Ada di saat-saat misalnya. Dalam tahap apa ya. Kan dalam pembinaan itu ada tahap junior, medior. Nah pada tahap-tahap itu kan kita di luar masih tahap anak-anak. SMA yang jatuh cinta itu. Di biara juga gitu. Mungkin Tuhan kasi atau menguji panggilan kami ya. Itu ada-ada saja. Misalnya kayak Suster yang tugas di sekolah. Atau masih kuliah, itu yang namanya lawan jenis itu mereka datang menggoda kami. Menggoda kami, dengan cara bagaimana kami tuh bisa menyikapinya. Seperti saya pribadi tuh, kalau mereka bilang, mereka menyukai saya, saya hanya bilang “terima kasih, terima kasih karena telah menyukai saya”. tapi pastinya kita tidak bisa ini, karena kita punya status itu beda.” (Lusi, W1, 70) Kebutuhan fisiologis yang dijalani oleh Suster Lusi memang tergolong terbatas baik dari segi pemenuhan kebutuhan yang bersifat materi (ekonomi) karena Kaul Kemiskinan yang dianut pada biara tersebut, maupun pada pemenuhan kebutuhan secara fisiologis dalam hal seksualitas, karena tuntutan yang harus dilaksanakan sebagai biarawati seumur hidup. Namun, sebagaimana pemenuhan untuk hal-hal yang terbatas itu, subjek menghadapi pantanganpantangan tersebut dengan aktivitas-aktivitas beragam yang dilakukannya dan berusaha membatasi diri dengan hal-hal yang dapat menggoyahkan panggilannya sebagai biarawati.
90
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2. Dimensi Kebutuhan Keamanan (Safety Needs) Pada kebutuhan keamanan subjek, ia mampu menempatkan dirinya yang dari kota atau tempat dengan mayoritas keyakinan yang sama pindah ke kota besar Jakarta dengan perbedaan situasi dan kondisi yang cukup pesat. Hal ini dia kemukakan melalui penempatan dirinya dengan bersikap sopan dan menghormati orang-orang di sekitarnya agar ia mampu diterima oleh masyarakat sekitar. “Kalau saya bicara, khusus untuk Jakarta ya. Awal-awal itu saya belum dapat menerima situasi karena kan lingkungan sekitarnya kan Muslim semua. Lalu, ih berisik banget. Lalu orang-orangnya juga gak ramah seperti NTT, di Flores. Di Flores itu kita tidak mengenal kayak gitu-gitu. Disana itu Muslim ada, Protestan ada, tapi mereka bisa rukun gitu. Masih tinggi toleransinya. Tapi kalau disini, individualisnya tinggi. Tapi pas akhirnya saya masuk pada lingkungan ini, kita harus mengert lebih dulu, kenapa orangnya bisa begini?. Setelah kita bisa masuk dan nimbrung didalam lingkungan itu, kita berkumpul dan berdoa bersama. Setiap malam doa rosario. Kayak gini memang harus dari diri kita juga. Bagaimana kita harus sapa mereka lebih dulu. “Apa kabar?” dan itu lama-lama membuat kita jadi akrab dengan mereka. Lalu orang-orang yang individualisnya tinggi, yang cuek juga akhirnya jadi akrab.”(Lusi, W1, 115) Pada kebutuhan rasa aman dan nyaman, tentunya Suster Lusi perlu menaati peraturan-peraturan yang terdapat di biara, sebab sebagai biarawati ia perlu mengikuti waktu dan peraturan yang telah ditentukan oleh kongregasi. “... Dan semua-semua yang kami punya aturan itu, ikuti jadwal itu. Dari jadwal itu yang membuat kami harus tau, “Oo jam segini saya harus ini, jam segini saya harus apa lagi” gitu.” (Lusi, W1, 60) Suster Lusi adalah individu yang sangat mandiri dan sudah terbiasa hidup jauh dari keluarga dari saat ia masih di sekolah dasar. Hal ini yang membuat, ia tidak ada merasakan rasa takut, cemas, ataupun rasa tidak aman terhadap dirinya saat ia berada di biara dan tidak tinggal bersama dengan keluarga.
91
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“Kalau untuk saya, mungkin karena kebiasaan kami yang dari kecil itu sudah tinggal di asrama ya. Kayak saya, SD kelas 5 sudah tinggal di asrama bersama Suster. Mungkin karena itu saya sudah terbiasa jauh dari keluarga. Lalu saat masuk biara itu saya sudah merasakan enak dan nyaman, aman juga. Lebih enjoy.” (Lusi, W1, 105) Subjek menunjukkan bahwa rasa aman dan nyaman diciptakan dari lingkungan tempat tinggal dan tuntutannya untuk harus selalu beradaptasi secara cepat dengan lingkungan sekitar. Hal ini merupakan bentuk pencapaian Suster Lusi pada kebutuhan rasa aman dan nyaman pada diri dan lingkungannya. 3. Dimensi Kebutuhan Kasih Sayang (Love Needs/Belonging-ness) A. D-Love (Deficiency-Love) Pada subjek, hal yang bersifat memiliki dalam orang-orang yang disayangi tidak dapat ia lakukan terutama pada lawan jenis karena jalan yang ia laksanakan sebagai biarawati. Maka, perhatian yang ia dapat hanya dari lingkungan sekitar baik di tempat tinggal maupun di kampus. “... Dalam lingkungan sekitar itu semuanya diperhatikan. Sampai yang sekecilkecilnya. Mulai dari makan, minum, pokoknya perhatian banget. Misalnya kalau sakit juga. Kalau tidak ikut makan bersama tuh, makannya dianterin. Kalau sakit pasti langsung dibawa ke dokter. Kan disini juga tidak ada kendaraan, biasanya dokter yang datang ke biara apalagi mereka yang biasanya buka praktek tiap minggunya di gereja atau teman lain juga yang bisa membelikan obat.” (Lusi, W2, 1) Kondisi dan situasi subjek yang berada di Jakarta tentu membuat subjek memiliki jarak yang jauh pada tempat tinggal keluarganya. Walaupun subjek merupakan individu yang tidak tergantung pada keluarga, namun masih ada rasa rindu yang tidak bisa ia bendung karena jauh secara fisik dengan keluarganya. Subjek sendiri masih merasakan adanya rasa rindu dengan keluarga yang terdapat di Flores. 92
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“Mmm. Biasanya, kalau saya itu kangen kakak, adik, pokoknya kalau saya kangen ama keluarga itu biasanya telepon. Telepon, cerita-cerita. Biasa kalau pas saya masih di Timor itu, saya biasa minta ijin ke rumah.” (Lusi, W2, 15) Konten D-Love sangat identik dengan rasa ingin memiliki apa yang sangat dicintai dan disukai oleh individu tersebut. Tetapi lain hal-nya yang dilakukan oleh subjek karena Suster Lusi adalah individu yang memutuskan untuk hidup selibat. Maka, D-Love pada Suster Lusi sendiri hanya berkisar pada rasa kerinduan namun tidak mengarah pada keterasingan dan kesendirian. Namun, tidak dapat memiliki. B. B-Love (Being-Love) B-Love pada Suster Lusi lebih besar dibandingkan pada D-Love karena tuntutan aktivitas dan keharusan yang perlu dijalankan oleh seorang biarawati dalam berkarya dan mebih banyak menolong sesama. “... Kalau saya pribadi itu, memberi itu dengan melayani sesama. Mencintai sesama itu dengan memberi pelayanan pada sesama. Kayak misalnya, teman Suster minta bantuan, “bisa temani saya pergi belanja?” ya pasti saya temani. Atau membantu dia memasak. Atau memberi perhatian waktu dia sakit. Itu menjadi sebuah cinta yang bisa saya berikan kepada dia.” (Lusi, W2, 30) Pada gambaran kebutuhan kasih sayang pada Suster Lusi secara keseluruhan. Ia lebih mementingkan bagaimana cara ia memberi cinta (B-Love) walaupun memberi dari hal-hal kecil daripada menerima cinta (D-Love) dari orang lain dan mengharapkan timbal balik yang menguntungkannya. Hal ini adalah bentuk penerapan dari ajaran cinta kasih yang perlu diterapkan dalam hidup membiara. 4. Dimensi Kebutuhan Harga Diri (Esteem Needs)
93
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Tema pada konten ini membahas tentang adanya kebutuhan harga diri yang mencangkup pada dua sub tema pula yaitu tentang : penghargaan terhadap diri sendiri (Self-Respect) dan penghargaan dari orang lain (Respect from others). A. Penghargaan terhadap diri sendiri (Self-Respect) Penghargaan terhadap diri sendiri meliputi atas prestasi, kompetensi, kekuasaan, dan kepercayaan diri pada individu. Pada konten ini Suster Lusi merupakan individu yang selalu ikut andil dalam organisasi namun, tingkat kepercayaan diri Suster Lusi tidak terlalu tinggi dan terkadang masih terbilang kurang. Ia mengikuti kompetisi karena diminta untuk menjadi perwakilan pada lingkungan
yang
membutuhkan
kemampuannya
namun
bukan
sebagai
keinginannya. Tetapi, hal ini sudah menjadi tolak ukur kompetensi Suster Lusi sebagai bentuk rasa kepercayaan diri yang ia miliki. “... Misalnya kompetisi pidato, ceramah. Sudah 7 atau 8 kali memenangkannya di tingkat Keuskupan. Jadi lombanya antar-gereja. Antar-negara juga pernah 1 kali. Antar-negara yang berbahasa Portugis, ada 7 atau 8 negara juga yang jadi pesertanya. Ada Kenya, Portugal, terus apa lagi ya.. pokoknya total yang mengikuti kompetisi tersebut ada 7 atau 8 negara.” (Lusi, W2, 55) “Perasaan ada takut, ada gugup juga. Apalagi yang jadi jurinya, pendengarnya juga orang-orang besar semua kan. Presiden Timor Leste juga ada kan. Ada juga Presiden Kenya. Pokoknya sempat gugup. Pas mau maju tuh, rasa percaya diri tuh kayak ilang, gak ada gitu. Tetapi karena modal nekad. Ya udah maju saja. Tapi akhirnya, hasilnya memuaskan.” (Lusi, W2, 60) Pada dua kutipan tersebut menunjukkan bahwa, adanya rasa tidak percaya diri pada kemampuan dari diri subjek sendiri. Tetapi, ia dapat membuktikan bahwa ia mampu melakukannya, karena berasal dari ketekunannya dalam berlatih untuk mencapai hasil yang memuaskan.
94
http://digilib.mercubuana.ac.id/
B. Penghargaan dari Orang Lain (Respect from Others) Konten kategori sub tema ini menjelaskan tentang gambaran penghargaan yang didapat Suster Lusi pada orang-orang sekitarnya. Suster Lusi adalah orang yang sangat aktif dalam dunia kampus. Ia mengambil bagian dalam organisasi fakultas hingga pekerjaan di Universitas tempat ia belajar. Kondisi ini dikarenakan ia harus mengabdi dan melakukan kewajibannya sebagai mahasiswi yang mendapatkan beasiswa. “O ya, paling HMPS, Himpunan Mahasiswa yang di Atma Jaya. Saya di bagian sekretaris. Kalau di gereja sih gak ada. Karena kan saya sudah aktif di kampusnya banyak dan memang mulai dari pagi saya berangkat kesana, pulang pun juga nyampe disininya malam. Saya harus mengabdi di Atma Jaya selama saya kuliah disana. Jadinya saya lebih fokusnya ke Atma Jaya. Apalagi saya beasiswa. Jadi apa yang ditugaskan kepada saya, saya harus ambil.” (Lusi, W2, 40) Walaupun aktif dalam organisasi dan bekerja di Universitas tersebut, namun Suster Lusi tidak mau menjadi orang dengan yang memiliki sifat dominan layaknya pemimpin. Subjek menunjukkan bahwa ia adalah individu yang tidak layak dan tidak dapat untuk menjadi seorang ketua karena kurang percaya diri serta tuntutan untuk selalu bersikap sederhana. Sebab, semua yang menjadi rutinitas kehidupan di biara sudah ditentukan oleh pimpinan pada biara tersebut. Sehingga keinginan dibendung dan tidak diperbolehkan untuk menunjukkan rasa dominan serta ego dari individu tersebut. “Oo. Gak bakalan itu. Mungkin kalau orang lain melihat ada kemampuan, ada kesempatan bisa, hal itu bisa terjadi di diri saya. tapi kalau saya sendiri mikir, gimana ya, kayak gak pantes gitu. Karena saya sendiri kurang percaya diri. Dan juga, kami kan dilatih untuk gimana ya, harus membawa aura sederhana. Tidak boleh menonjolkan diri. Kami juga tergantung pimpinan. Kalau pimpinan mau tempatkan kami di bagian mana. Entah di ketua, atau sekretaris, atau dimanapun
95
http://digilib.mercubuana.ac.id/
itu, tapi semuanya sih kita tergantung pimpinan. Kalau dari kami sendiri tidak boleh kalau kami bilang, “saya mau jadi ini, saya mau begini”.” (Lusi, W2, 80) 5.
Dimensi Kebutuhan Mengetahui dan Memahami/ Kebutuhan Kognitif (Need to Know and Understand/Cognitive Needs) Kebutuhan kognitif adalah kebutuhan yang sedang dilakukan dan
dilaksanakan oleh Suster Lusi. Pada kebutuhan ini, ia mengambil pendidikan Teologi bukan sebagai kemauan dari dirinya, namun tuntutan dan kewajiban yang harus dilaksanakan dari pimpinan kongregasi. Hal ini menunjukkan karena adanya Kaul Ketaatan yang harus dipatuhi, sehingga kewajiban itulah yang ia harus jalani. “Iya, pokoknya dari kita itu semua keputusan dan jalan yang harus kita ambil apalagi pendidikan yang mau kita tempuh itu semua berasal dari pimpinan. Jadi kita jalani sesuai apa yang diminta dan dimau oleh pimpinan. Ini juga dilakukan karena kita menjalani kaul ketaatan. Biasanya itu setelah kaul pertama itu, kita dipilih oleh pimpinan untuk sekolah disini, disini. Tapi setelah kaul kekal, setelah mendapat cincin itu, kita diutus oleh pimpinan. Sebelumnya itu kita lakukan wawancara dengan pimpinan. Biasa mereka jelaskan, “Nanti kamu kuliah disini, disini”. Biasanya kalau kita punya jawaban sendiri untuk diminta belajar ini, belajar itu, biasa kita jawab, “Mm. Saya masih belum mampu untuk jurusan itu, tapi karena demi kaul ketaatan saya akan berusaha untuk menekuni.” Gak ada yang pernah bilang, “Saya mau ini ini”. Karena pastinya kita berlandaskan dengan kaul ketaatan itu.” (Lusi, W2, 95) Pada konten ini, Suster Lusi hanya melihat pembelajaran formal adalah sebagai bentuk kewajiban yang diberikan oleh pimpinan semata. Dan tidak menunjukkan keinginan untuk mencapai pembelajaran yang lebih tinggi tingkatannya. Disebabkan segala alur hidup dan rencana yang akan ia lakukan hanya berdasarkan melalui campur tangan pimpinan kongregasi. “...Pokoknya semua-semua itu harus taat dari pimpinan. Pimpinan bilang, “kamu lanjut” ya oke lanjut. Kalau pimpinan bilang, “batasmu ampe disini” ya berarti
96
http://digilib.mercubuana.ac.id/
kita Cuma sampe disini saja. Semua tergantung pimpinan yang ngatur. Gak ada yang bilang, “saya mau ambil S2 ambil ini” gak ada. Kecuali kalau misalnya dapat beasiswa, atau orang tawarin dari yayasan gitu. Buat surat mereka membutuhkan tenaga kita. Itu dari yayasan tersebut yang akan mengirimkan surat ke pimpinan atau ke biara itu. Itu pun juga masih ada pertimbangan dari mereka lagi. Pokoknya itu semua keputusan ada di tangan pimpinan umum kongregasi.” (Lusi, W2, 105) Dalam hal ini, pengembangan potensi pada kebutuhan kognitif subjek bukan sebagai dorongan atas kemauan sendiri melainkan penggambaran suatu kewajiban yang harus dilakukan. Sehingga, kemampuan Suster Lusi dalam menghadapi persoalan atau dalam pemecahan masalah masih terbilang sangat terbatas dan tergantung pada keputusan orang lain. Pada konten ini menunjukkan dan sangat berkaitan erat dengan kepercayaan diri subjek pula yang masih terbilang kurang. 6. Dimensi Kebutuhan Estetika (Aesthetic Needs) Pada kategori tema kebutuhan estetika ini ada tiga hal yang merupakan nilai didalamnya, yaitu keindahan dan kerapihan lingkungan tempat tinggal, serta kesenian. Pada Suster Lusi, kesenian merupakan suatu hal yang menjadi tempat salah satu hiburan yang dapat membantunya untuk meringankan beban pikirannya. Hal ini dia kemukakan bahwa seni adalah salah satu kesukaannya sejak ia masih kecil. “He’em. Iya, sangat suka. Karena saya waktu masih kecil itu. Sekolahnya kan di Don Bosco kan. Di sekolah itu kan semangatnya musik. Jadi karena itu saya jadi suka musik. Kesenian yang saya sukai itu biasanya gitar. Kalau tradisionalnya, angklung.” (Lusi, W2, 110) “Seperti kalau disaat kita susah atau kita sedih. Itu kalau kita main gitar dengan sendirinya beban serasa terangkat begitu. Rasa lega gitu. Jadi menurut saya kesenian sendiri sangat –sangat membantu.” (Lusi, W2, 115)
97
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Pada nilai keindahan dan kerapihan lingkungan tempat tingganya, subjek masih terbilang kurang puas karena lokasi biara tersebut sangat dekat dengan rumah-rumah penduduk yang juga masih terbilang kumuh. Walaupun, hal ini tidak dikemukakan oleh subjek secara langsung, namun penilaian estetika yang terdapat di lingkungannya masih belum memenuhi standar kepuasan dari Suster Lusi sendiri. “Hahaha. Nilai estetika, nilai keindahan kan. Menurut saya masih belum. Karena masih dalam perjalanan dan masih dalam proses menuju keindahan itu. Karena memang dalam membenahi keindahan lingkungan itu tidak bisa langsung, itu juga harus dari dalam diri sendiri. Seperti apa ya. Hmm. Belum ada sih. Karena menurut saya, semuanya masih dalam proses.” (Lusi, W2, 120) 7.
Dimensi Aktualisasi Diri (Self-Actualization) Konten ini muncul melalui potensi-potensi yang diciptakan melalui
kreatifitas pemikiran maupun karya yang dibuat oleh individu sendiri. Pada Suster Lusi, ia sangat menyukai prakarya. Ia mengatakan bahwa pekerjaan tangan tersebut menjadi salah satu buah karya tangannya hingga ia mengajarkan pada orang-orang saat masih di Timor. “Kalau di Timor ada, tapi kalau disini belum ada. Kalau waktu di Timor itu... Apa ya... Untuk anyam-anyam itu. Kayak anyam tas, bingkai, kayak apa semua itu dari kulitnya telur. Jadi kulit telur itu kita pecahin terus lem satu-satu gitu di koran. Nah kayak gitu juga bisa dimodifikasi dengan kulit keong. Jadi, hasil karya itu bisa dijadiin tas kek, pokoknya bahan dasarnya dari kulit telur yang di lem-lem di kertas koran gitu.” (Lusi, W2, 130) Bentuk kreatifitas Suster Lusi sebatas pada potensi membuat prakarya kecil (pekerjaan tangan), ketekunan dalam mengerjakan kewajiban-kewajiban yang diberikan olehnya , dan aktif didalam organisasi. Kepuasan diri (SelfFullfilment) pada diri subjek tidak terlalu menonjol karena kegiatan yang
98
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dilakukan oleh subjek mayoritas hanya sebatas pada kewajiban saja, sehingga subjek tidak terlalu dapat berekspresi dan berkreasi banyak seperti layaknya orang awam lakukan. Sebab apa yang ia lakukan berdasarkan pada hidup yang mengutamakan kesederhanaan. Hal ini ditunjukkan dari penjabarannya tentang visi dan misi dalam menjalani kehidupan membiaranya. “Kalau misi itu, saya mau melayani sesama ya. Mau hidup sederhana seperti Tuhan Yesus. Dan sebagai visinya, untuk ke depan itu, saya mau... Apa istilahnya menjadikan segala-galanya tuh baik. Itu artinya segala situasi apapun dengan... Apa ya... Apapun itu... Pokoknya dengan apapun itu kita bagaimana bisa membuat dan menerima dan juga menyatukan pada situasi sulit itu menjadi ringan. Menyatu dengan situasi yang cukup sulit dirangkul harus diusahakan untuk dirangkul. Itu visi dan misi yang sementara saya jalani. Pokoknya, dalam situasi sulit apa saja yang biasa saya hadapi itu saya terima.” (Lusi, W2, 155) Penggambaran kebahagiaan terhadap subjek dilandasi pada keinginannya sebagai seorang biarawati yang dapat berkarya selalu bersama dengan Tuhan. Suster Lusi menjadikan Tuhan sebagai motivasi utamanya dalam berkarya dan beraktivitas. “Motivasi saya yaitu saya ingin betul-betul menjadi alat Tuhan. Tuhan ingin menjadikan saya, mengarahkan saya menjadi apa saja. Pokoknya saya berpasrah diri kepada Tuhan. Saya mau jadi alat Tuhan dan melayani sesama. Dan sebagai motivasi saya, sesulit apapun itu, saya bisa seperti ini karena saya berjalan bersama Tuhan.” (Lusi, W2, 175) Dan pada tingkat kepuasan diri, subjek mengalami salah satu hal yang menyebabkan ia tidak puas dan merasa kecewa serta menjadi bentuk penyesalan baginya seumur hidup. Hal itu, dikarenakan saat ia membuat suatu karya besar yang ia tekuni dan senangi, namun tidak dapat ia teruskan disebabkan adanya kewajiban yang perlu ia ikuti dan patuhi hingga harus meninggalkan kesenangan tersebut. Subjek merasa kecewa, karena dari karya itu dapat menjadi tolak ukur
99
http://digilib.mercubuana.ac.id/
buah kreatifitas yang ia dapat buat dan berharap dapat mencapai hasil yang diinginkan. “Saat saya masih berkarya di Timor itu, itu kami ada terima undangan khusus dari Menteri Luar Negeri untuk membuat suatu teater ya. Teater itu, tentang sejarah agama Katolik yang masuk di Flores dan Timor Leste. Itu kan jaman dulu ceritanya, orang masih ada yang belom dapat agama, belom ada agama. Masih kafir gitu. Itu agama Katolik dibawa dari Portugal. Itu orang-orang Portugis itu yang datang. Sebenarnya mereka punya tujuan mau beli rempah-rempah tetapi disamping itu mereka menyebarkan agama Katolik. Nah, mereka membutuhkan bantuan saya untuk membuat teater dengan cerita yang seperti itu. Lalu saya sudah sampai konsultasi dengan Romo yang tau betul dengan sejarah agama Katolik itu, karena dia tau betul asal-usulnya agama Katolik masuk disana. Udah konsultasi juga dengan Uskup. Kami juga sudah latihan 4 sampai 5 bulan lamanya. Tapi saat-saat itu juga, pimpinan memanggil saya untuk Probanis. Probanis itu langkah untuk menerima cincin untuk kaul kekal. Nah karena itu, mau tidak mau saya harus lepaskan yang menjadi tanggung jawab saya itu untuk hal ini kan. Lalu, akhirnya saya percayakan dan serahkan kepada satu Suster ini untuk menggantikan saya. tetapi setelah saya masuk itu. Mereka berhenti dan tidak melanjutkan teater yang saya buat dan ajarkan itu. Lalu, anak-anak yang berpartisipasi didalamnya juga banyak yang keluar. Kalau tidak salah, hanya bertahan 7 atau 8 orang saja di dalam. Padahal teater itu perlu banyak orang kan? Maka dari itu karena orang-orang yang terlibat banyak keluar, akhirnya bukan teater lagi tapi mereka ganti jadi seperti drama saja. Itu... Itu yang saya rasa sangat kecewa hingga sekarang. Sudah berbulan-bulan kita latih tapi yah akhirnya tidak jadi. Padahal juga diliat dan disaksikan oleh orang-orang antarnegara juga. Lalu, pada akhirnya, Uskup dan Romo itu juga kecewa. Karena, materi-materi yang sudah saya dapat dari Uskup dan Romo itu tidak dilanjutkan oleh Suster yang menggantikan saya itu.” (Lusi, W2, 180) 8. Dimensi Transendensi Diri (Self-Transendence) Konten transendensi diri merupakan bagian dimana subjek diminta untuk mengetahui tentang perbedaan serta jembatan antara spiritualitasnya dengan kemanusiaannya. Pada Suster Lusi, ia menggambarkan bahwa berdoa dan berkarya dalam kehidupan membiara bukan suatu hal yang mudah. Hal ini karena dalam biara, selalu ada peraturan dan jadwal yang harus diikuti. Sehingga,
100
http://digilib.mercubuana.ac.id/
terkadang antara raga (fisik) yang terlalu lelah dalam beraktivitas
dengan
kebutuhan spiritualitas yang perlu diikuti tidak dapat berjalan bersamaan. “... Sebelum saya kuliah itu, saya tekuni semua doa bersama itu. Tapi setelah saya mengikuti kuliah, mungkin karena tugas banyak, saya bisa melek jam 2 atau 3 subuh. Maka dari itu, saya selalu absen kalau sudah disuruh doa pagi dengan yang lain. Tetapi, saya harus mengambil waktu yang sisa itu. Kalau ada waktu kosong jam berapa gitu saya harus ambil itu untuk doa sendiri. Nah, karena situasi itu makanya saya menemukan rasa berat sekali untuk menyesuaikan keadaan kan. Misalnya kita harus melek untuk jam 2 atau jam 3 itu untuk buat tugas rasanya susah sekali. Itu saya rasa berat sekali untuk bangun pagi, kerja tugas, dan ikut doa bersama dengan Suster yang lain.” (Lusi, W2, 190) Tentu pada pandangan spiritualitas Suster Lusi adalah sama dengan pandangan yang diberikan oleh tarekat tersebut. Mengenyam kesederhanaan dan melihat hidup sebagai perjuangan yang harus dihadapi. Hal ini masih tetap menjadi nilai spiritualitas Suster Lusi untuk mendekatkan diri pada Tuhan. “Kalau untuk secara umumnya kan, kongregasi kami, spritualitasnya itu kan Salib. Kita tahu bahwa salib itu kan berat. Namanya Salib juga sakit ya. Jadi kalau untuk diri saya. saya memaknai hidup yang saya jalani ini, hidup sebagai biarawati pasti akan menemukan apa saja. Pasti kalau jalan itu, kita bisa menemukan kerikil-kerikil. Perjuangan ya. Dan dalam perjuangan itu, ada tantangan, ada godaan, lalu bagaimana saya menyikapi itu secara terfokus dan terarah kepada Tuhan Yesus.”(Lusi, W2, 195) Salah satu tugas biarawati adalah dengan rasa sosial yang sangat tinggi terhdap sesama. Suster Lusi menunjukkan caranya bagaimana ia dapat mendekatkan diri pada setiap golongan masyarakt yaitu dengan mendengarkan permasalahan serta berusaha untuk membantu orang yang membutuhkan “... Lalu, juga misalnya saat di kampus. Teman-teman di satu fakultas itu, banyak yang mengalami kekurangan. Misal, mungkin ada orang tua yang tidak mampu membiayai uang kuliah anaknya, kadang juga mereka berpindah-pindah tempat kost, kadang mau pulang juga gak ada ongkos untuk pulang, kadang karena adanya kendala-kendala seperti itu yang bisa membuat tidak masuk kelas.
101
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Mereka tidak masuk kelas karena tidak ada uang yang mereka pegang sama sekali. Itu biasanya, kalaupun saya ingin memberikan bantuan berupa materi ya duit gitu, kami kan juga semua-semua anggaran kan dari biara. Biar 5 sen pun kita harus ada nota. Nah, karena itulah, biasanya saya mau membantu mereka untuk memotivasi dan mebuat mereka termotivasi dengan yah, paling saya punya uang tabungan gitu, saya kasi mereka paling 5000 atau berapa lah.” (Lusi, W2, 200) Sebagai seorang biarawati tentu harus menjadi seorang yang dapat memberikan panutan, inspirasi serta motivator bagi orang-orang sekitar. Suster Lusi lebih memilih melakukan hal yang bersifat inspiratif melalui hal-hal kecil dalam menolong sesama. “... Cara saya untuk memotivasi mereka itu, pertama-tama mendengarkan. Karena dengan mendengarkan mereka itu, itu juga merupakan salah satu obat ya. Mendengarkan berarti bukan mereka bicara sesuatu lalu kita tambah-tambahin kayak, “Kamu harus begini-begini” bukan. Nah, dari mendengarkan itu, adalah salah satu untuk membuat mereka lega dari beban-beban mereka. Selain dari kehadiran, mendengarkan juga bisa menjadi salah satu jalan yang bisa melegakan bagi mereka.” (Lusi, W2, 200) Kehidupan spiritualitas dan kemanusiaan yang dijalani Suster Lusi selalu tumpang-tindih. Tetapi dari itu semua, penggambaran transendensi diri secara keseluruhan pada Suster Lusi adalah bersosialisasi dengan baik dan berusaha menyeimbangkan antara kesibukan-kesibukannya dengan spiritualitas yang dimilikinya. Sehingga, ia mampu berada pada dua titik yaitu kesadaran kemanusiaannya dengan pengalaman-pengalaman ke-Esa-an nya.
102
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4.4.
Subjek 4 (Sr. Elena)
4.4.1. Data Demografis Tabel 4.4.1. Data Demografis Subjek 4 Kriteria Identitas Nama Usia Suku Tinggi Badan Warna Kulit Jumlah Saudara Pendidikan Pekerjaan Tempat Wawancara Tanggal Wawancara
Subjek 4 Sr. Elena 43 Tahun Jawa 157 cm Sawo matang Anak ke-3 dari 7 bersaudara S1 Komunikasi ; Mahasiswi Teologi Biara PI 1 Juli 2017 ; 7 Juli 2017
4.4.2. Deskripsi Hasil Observasi 1) Wawancara I Wawancara pertama dengan responden keempat berlangsung pada hari Sabtu, tanggal 1 Juli 2017 pukul 10.00 WIB. Wawancara dilakukan di tempat tinggal responden yaitu biara Penyelenggarahan Ilahi (PI). Responden adalah seorang wanita yang memiliki tinggi badan 157 cm dan memiliki kulit berwarna sawo matang. Subjek berasal dari Solo, dan berbicara dengan logat Jawa yang cukup kental. Pada hari itu, responden menggunakan jubah Suster berwarna putih dengan kalung salib, dan menggunakan kacamata. Responden menunjukkan sosok yang ceria dan ramah. Peneliti bersalaman sembari memperkenalkan diri kepada responden dan saat itu langsung dipersilakan masuk oleh responden. Saat sebelum wawancara
103
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dimulai, peneliti menjelaskan apa yang menjadi tujuan dari pertemuan pada saat itu. Setelah itu, peneliti memulai wawancaranya setelah menjelaskan tujuan peneliti datang dan melakukan wawancara dengan memberikan lembar persetujuan dalam melakukan wawancara seperti yang dilakukan juga pada responden-responden sebelumnya. Wawancara dilakukan di ruang tamu dengan situasi tempat yang sangat jauh dari keramaian sehingga tidak ada suara bising. Situasi dan kondisi tempat wawancara yaitu sofa berwarna cokelat yang berhadapan dengan 2 kamar tamu yang kosong dan terdapat meja kayu. Di dekat tempat wawancara, terdapat air mancur, sehingga sepanjang wawancara hanya terdengar suara gemericik air mancur yang mengalir. Posisi saat wawancara dengan responden yaitu berhadapan dan membelakangi jendela dan pintu yang tersambung ke arah kapel. Selama proses wawancara berlangsung, responden duduk dengan tegak saat baru dimulai, namun saat wawancara sudah berjalan dengan lancar dan saat responden menemukan titik kenyamanannya dalam wawancara tersebut, sesekali responden bersandar di sofa. Responden akan mencondongkan kembali badannya jika ada pertanyaan yang belum jelas atau pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada pengalaman pribadinya di masa lampau. 2) Wawancara II Pada wawancara kedua lokasi yang digunakan merupakan tempat yang sama yaitu pada biara Penyelenggaraan Ilahi. Wawancara tersebut dilaksanakan pada tanggal 7 Juli 2017 pada pukul 10.00. Wawancara kedua berlangsung selama 50 menit.
104
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Wawancara kedua berjalan lancar. Saat itu, subjek sedang membersihkan rumah. Dan saat peneliti tiba, peneliti menunggu subjek selama lima menit untuk menyelesaikan tugasnya terlebih dahulu. Pada hari tersebut, subjek menggunakan jubah biarawati yang sama dengan sebelumnya yaitu jubah berwarna putih saat itu, menggunakan kalung salib, serta memakai kacamata. Sebelum dimulainya wawancara, peneliti membangun rapport dengan menanyakan perihal kabar dan apa yang dilakukan Subjek sebelum wawancara. Selama wawancara kedua ini, ekspresi yang diberikan subjek terkesan lebih santai daripada sebelumnya karena sudah mengenal cukup dekat dengan peneliti. Di sela-sela wawancara juga ia memberikan kesan hangat seperti senyum, tertawa, serta candaan. Suster Elena menjawab pertanyaan dengan santai dan nyaman dalam menjawab setiap pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh peneliti. Saat diberikan pertanyaan yang bersifat lebih mengarah kepada pribadi, Suster Elena langsung merubah posisi duduknya menjadi duduk dengan posisi punggung yang tegak. 4.4.3. Analisis Intra Subjek Subjek keempat yaitu Suster Elena memulai hidup membiara sejak tahun 2004 dan sudah menerima Kaul Kekal pada tahun 2015. Pada saat masuk biara, Suster Elena tidak seperti latar belakang subjek lain yang sudah mengawali hidup membiaranya setelah tamat dari Sekolah Menengah Atas (SMA). Ia mengawali hidup membiaranya saat memasuki usia 30 tahun saat itu. Perjuangan yang dilakukan oleh Suster Elena untuk mendapatkan izin dari orang tuanya serta
105
http://digilib.mercubuana.ac.id/
perjalanan hidup yang ia lalui untuk menempuh hidup membiara, ia kemukakan semua kepada peneliti. Dorongan dasar Suster Elena untuk menjadi biarawati sudah ada sejak dini karena ia mendambakan sosok Bunda Maria. Namun, cita-cita yang ingin ia gapai untuk menjadi biarawati tertunda karena keinginan-keinginan orang tua subjek yang menginginkan Suster Elena untuk bekerja dan berkeluarga. Suster Elena juga merupakan individu yang lahir dan besar di Jogjakarta bersama dengan orang tuanya beserta saudara-saudaranya. Ia merupakan anak kedua dari enam bersaudara, yaitu empat orang laki-laki dan dua orang perempuan. Salah satu penyebab orang tua subjek selalu bersikap melindungi Suster Elena, karena pada keluarga Suster Elena hanya memiliki dua orang perempuan, maka Ayah subjek selalu mengarahkan jalan hidup Suster Elena untuk bekerja dan berkeluarga seperti orang awam lain lakukan. Berikut akan dijabarkan dan dijelaskan secara detail tentang gambaran pemenuhan hirarki kebutuhan dalam pencapaian motivasi diri pada kehidupan menbiara Suster Elena. 1.
Dimensi Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs) Dalam pemenuhan kebutuhan dasar Suster Elena di biara, ia mengakui
bahwa segala apa yang menjadi kebutuhan primernya terpenuhi. Hal-hal ini meliputi seperti kebutuhan pangan, sandang, dan papan yang sudah disediakan oleh biara tersebut. “Kebutuhan dasar ya. Wih, terpenuhi sekali. Sangat-sangat terpenuhi. Saya merasa kalau di biara itu, apa-apa terpenuhi.” (Elena, W1, 85) 106
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Dan pada gambaran jatah keuangan perorangan, Suster Elena menyatakan bahwa pada tarekat Penyelenggaraan Ilahi (PI) setiap bulannya selalu ada uang saku yang diberikan oleh bendahara kepada para Suster untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari per individu. Uang saku yang diberikan sangat terbatas dan hanya berupa uang untuk belanja perlengkapan khususnya bagi kebutuhan perlengkapan wanita ataupun untuk dapat ditabung. “... Memang uang saku tuh sedikit ya. Kami kan dapat uang saku. Ada di tarekat lain itu gak dapet, tapi kalau kami itu dapet. Nah, uang saku itu digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Sabun, shampo, pembalut kan kalau perempuan perlu. Jadi dari situ, kami bisa milih sendiri, bisa belanja sendiri. Hal kayak gini disengaja supaya bertanggung jawab terhadap diri sendiri.” (Elena, W1, 85) Pada kesehatannya, Suster Elena memiliki penyakit asam-urat yang ia bawa dari keturunan keluarganya. Karena Suster Elena merupakan biarawati dan memiliki banyak kegiatan-kegiatan yang memerlukan kondisi badan yang sehat, ia selalu menjaga apa yang menjadi asupan makanannya. Agar penyakitnya tidak mengganggu kepadatan aktifitas dan rutinitas yang ia lakukan. “Gak ada. Pokoknya mengurangi makanan-makanan yang mempengaruhi asam urat gitu. Paling gitu sih. Saya baru-baru tahu kalau saya asam urat tuh, baru bulan-bulan ini. Karena waktu itu saya merasa, “Kok badan saya pegel semua? Dipijit-pijit juga gak bisa sembuh?”. Pokoknya bau-baru tahu juga, karena kan selama ini kalau setiap kali diperiksa asam uratnya juga rendah terus, tapi pas diperiksa kemaren, asam uratnya udah mencapai 6,7. Pas kayak gitu saya langsung, “Oo, ini toh rasanya asam urat itu” begitu.” (Elena, W1, 110) Selain menjaga asupan makanannya, Suster Elena merupakan individu yang selalu memperhatikan kesehatan badannya. Ia selalu rutin setiap paginya setelah melakukan ibadah Misa untuk tidak lupa olahraga yang berupa senam. Hal ini untuk menghindarinya dari penyakit bawaannya yaitu asam-urat.
107
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“Mm. Kalau saya ya. Biasa kan kalau ada misa jam 6 atau setengah 6 pulang kan? Tiap hari itu, ada misa. Biasanya setiap pulang misa, saya langsung senam. Senam setengah jam, setelah itu doa satu jam. Biasa saya lakukannya di kamar. Karena itu kebutuhan saya. saya juga biasa doa meditasi, menurut saya itu juga penting untuk bisa ‘bicara’ dengan tubuh setiap hari. Itu mempengaruhi. Memasukkan hal-hal positif dalam diri itu yang menurut saya sangat berpengaruh.” (Elena, W1, 100) Suster Elena memiliki latar belakang yang berbeda dengan mayoritas para biarawati gereja lakukan. Ia memiliki perjuangan yang cukup panjang untuk memulai kehidupan biaranya. Sampai ia pernah merasakan pula tertarik dan memiliki hubungan yang serius dengan lawan jenis hingga ingin memutuskan hidup ke jenjang pernikahan dan berkeluarga. Namun, akhirnya hal tersebut tidak terwujud karena pada saat itu, kekasih Suster Elena mengajaknya untuk tinggal dan hidup bersama layaknya pasangan suami-istri sebelum mereka menikah. Oleh karena itu, ia mengurungkan keinginannya untuk hidup berkeluarga dan kembali pada panggilannya kepada Tuhan yaitu menjadi biarawati. Hal ini dapat dilihat dari kedua peryataan yang ia berikan dan nyatakan kepada peneliti. “Kami sudah punya rencana mau menikah memang. Rencananya, mm... Dia kan udah punya rumah memang di Bogor. Tapi kita sudah memikirkan itu. Dia bilang, “Yok, dek. Kita nabung dulu, kita menikah tahun 2004.” Gitu. Terus saya mikirmikir, “Kok kayaknya beda ya, kok kayaknya bukan deh. Ini bukan panggilan saya. Walaupun saya sudah pacaran tapi kok bukan ini jalan saya ya.” Begitu, saya tetap dan setiap kali jalan ama dia saya selalu bilang, “Saya pengen jadi Suster, saya pengen jadi Suster.” Gitu terus. Gak tau. Kata-kata itu kok ada teruuus...” (Elena, W1, 130) “Akhirnya, yang saya berani mengambil keputusan, itu ketika dia ngomong gini, “Dek, pindah kerjanya ya.” Kan saat itu saya kerja di Lampung. “Dek, pindah kerjanya di Jakarta saja. Daftar di Jakarta, nanti tinggal di rumahku.” Di rumahnya cowok itu maksudnya. Karena dia itu juga rumah-rumah sendiri kan. Dia bilang, “Kamu tinggal di rumahku terus nanti aku pulangnya tiap minggu”. Kan dia kerjanya di Bogor. Terus dia bilang lagi, “Ya sudah, nanti kalaupun sudah hamil nantinya ya udah. Kita sebelum 2004, kita menikah aja.” Dari kata-
108
http://digilib.mercubuana.ac.id/
kata itu yang saya tidak suka. Kata-kata itu yang membuat saya berani memutuskan.” (Elena, W1, 130) Pada kebutuhan fisiologis Suster Elena secara keseluruhan, subjek tidak mengungkapkan kesulitan pada hidup membiaranya karena segala yang menjadi kebutuhannya hampir secara keseluruhan terpenuhi. Dan pada penggambaran kebutuhan hasrat seks yang merajuk pada ketertarikannya pada lawan jenis, Suster Elena menceritakan pengalaman hubungan spesialnya dengan lawan jenis hingga akhirnya ia memutuskan dirinya untuk hidup menjadi seorang biarawati. Ia mengakui bahwa jalan yang ia pilih merupakan jalan yang benar dan karena dari kegagalan-kegagalan saat membina hubungan dengan lawan jenis, bahwa ia menyadari dirinya merupakan seseorang yang dipanggil untuk berkarya bersama dengan Tuhan Yesus.
2. Dimensi Kebutuhan Keamanan (Safety Needs) Menurut Suster Elena, lingkungan yang ia tinggali dan tempati selalu membuatnya aman dan nyaman pula. Ia menganggap bahwa biara merupakan tempat yang paling aman dan layaknya seperti rumahnya sendiri. Hal ini, juga dikarenakan subjek sudah terbiasa hidup mandiri dan sudah tinggal lama di kota lain, sehingga ia mampu beradaptasi dengan cepat pada lingkungannya. “... Karena saya dimanapun bisa sih..Hahaha. malah saya merasa dimanapun aman, apalagi kalau di biara, sudah, saya merasa ini tempat yang aman bagi saya gitu.” (Elena, W1, 195) Pada sub konten dalam memahami dam mematuhi peraturan-peraturan yang ada. Tentu sebagai biarawati, Suster Elena mengikutinya sesuai apa yang
109
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dikehendaki oleh pusat dalam penempatannya untuk melakukan segala kesibukan dan aktifitas untuk kehidupannya di biara. Hal ini dibuktikan melalui pernyataan yang ia kemukakan di bawah ini saat menjelaskan tentang segala arahan yang diberikan oleh pusat biara. “Dari pimpinan, mau kuliah di mana kan juga dari pusat, yang di butuhkan di mana di mana kan, semuanya ditetapkan dari pusat.” (Elena, W2, 40) Karena subjek merupakan cerminan individu yang mandiri dan sudah terbiasa tidak tinggal bersama satu rumah dengan orang tuanya, maka saat peneliti menanyakan tentang perasaan takut dan cemas, Suster Elena tidak pernah merasakan hal tersebut. Hal ini dikarenakan ia sudah siap untuk tinggal berjauhan dengan keluarga ataupun dengan orang-orang terdekat lainnya. Menurutnya, jauh dari keluarga dan berkarya bersama dengan Tuhan merupakan perwujudan dan tantangan dari panggilan yang ia lakukan. “... Gak merasa takut sih. Dan saya pernah ke Lampung itu sendiri, saya sudah merasa disiapkan disitu Tuhan sudah menyiapkan saya gitu, jauh dari keluarga, jauh dari siapa saja, terus hidup di lingkungan yang Lampung itu kan juga..yaa itulah kota besarnya kan gak begitu nyaman, tapi kan bisa gitu.”(Elena, W1, 195) 3. Dimensi Kebutuhan Kasih Sayang (Love Needs/Belonging-ness) A. D-Love (Deficiency-Love) Pada subjek, perhatian yang didapat dari lingkungan tidak seperti saat ia bersama dengan orang-orang terdekatnya ataupun keluarganya. Hal ini dikarenakan Suster Elena baru saja memulai kehidupan di Jakarta dan ia hanya aktif pada rutinitas di kampus dan kegiatan lingkungan gereja saja. Namun, pada lingkungan tempat tinggalnya, ia merasa bahwa perhatian yang didapatkan tidak intens seperti layaknya tinggal dengan keluarga.
110
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“Kalau sekitar sini, karena saya baru ya..jadi ngga, paling cuman ikut kegiatan lingkungan-kegiatan lingkungan itu, kalau yang deket itu ngga, apa lagi saya..kalau pas pertemuan lingkungan malem, saya kuliah kan sampai malem, nggak ada perhatian yang gimana gitu dari orang-orang sekitar. Paling kalau keluarga yah paling, pas lebaran begitu menginap disini, keluarga yang dari Klaten.” (Elena, W1, 200) Suster Elena memang merupakan sosok yang mandiri, namun ia pernah mengalami hal yang membuatnya goyah dalam menjalankan panggilannya. Subjek menceritakan bahwa ia pernah merasa tidak diakui akan kemampuannya untuk menjadi seoang biarawati dan selalu dicela oleh pembimbingnya bahwa ia tidak layak untuk hidup membiara. Sehingga hal ini yang menjadi beban pikiran dan subjek merasa “hilang arah hidupnya” dan pernah menjalankan hubungan dengan lawan jenis kembali. Subjek pernah merasak hal tersebut karena ia tidak menerima perhatian dan pengakuan yang ia butuhkan dari orang lain hingga akhirnya ia sempat goyah dan menyukai lawan jenis yang ternyata pria tersebut dapat menerima Suster Elena apa adanya. “Setiap waktu Suster pembimbing saya disana tuh selalu bilang ke saya, “Kamu tuh tidak layak untuk jadi Suster. Kamu tuh tidak pantas jadi Suster.” Ada kan, mm... Gak tau, mungkin dari pribadi saya atau gimana. Tapi setiap kali setelah mendengar itu, saya selalu menangis. Saya merasa ditolak. Saya merasa gak berharga. Saya merasa gak berguna. Terus, disana ada cowok. Cowok yang menerima saya apa adanya. Saya merasa... Saya sukanya apa dengan cowok itu, karena dia suka bermusik. Dia orang gereja yang pintar bermusik apa saja bisa.” (Elena. W1, 145) Konten D-Love sangat identik dengan rasa ingin memiliki apa yang sangat dicintai dan disukai oleh individu tersebut. Hal ini sudah pernah dialami dan dilakukan oleh subjek sebelumnya karena menurut subjek, permasalahan yang ia hadapi cukup berat dan ia membutuhkan perhatian dari seseorang, sehingga subjek pernah melakukan hubungan spesial dengan lawan jenis sebelumnya saat
111
http://digilib.mercubuana.ac.id/
di tengah-tengah kehidupan panggilan membiaranya. Maka, D-Love pada Suster Elena sendiri berkisar pada rasa kerinduan dan pernah mengarah pada kesendirian sehingga ia membutuhkan perhatian di kala ia sedang mengalami masa-masa sulit. B. B-Love (Being-Love) B-Love pada Suster Elena berupa aktifitas-aktifitas sosial yang ia ikuti dan turut berpartisipasi didalamnya. Suster Elena memberikan konsep cintanya dengan perhatian, bersikap ramah, serta mendoakan orang-orang yang membutuhkan. Menurutnya, hal itu dapat membantu individu tersebut dalam segi psikologisnya. “Memberi dan menerima cinta yaah?..eh..kalau saya, memberi dulu ya..memberi itu, kalau saya memberi cinta itu berarti saya memberi perhatian, perhatiannya, eh, sederhana sih ya..menyapa, terus mendoakan, setiap kali, siapapun itu biasanya ada keluhan-keluhan... “ (Elena, W1, 210) Menurut subjek, pemberian cinta yang berupa B-Love terhadap sesama merupakan bentuk interaksi dan pengembangan komunikasi dengan berbagai macam golongan masyarakt. Tidak hanya itu, bagi Suster Elena sendiri aktifitas yang dilakukannya membuatnya merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya dari dalam dirinya sendiri. Dan juga hal ini menjadi suatu alternatif dalam “membunuh waktu kosong” bagi diri Suster Elena juga. “... Saya seneng sebagai teman, bisa..kalau saya punya masalah, saya di dengarkan saja saya sudah seneng, gitu kan. Jadi saya juga ingin, mendengarkan,..mendengarkan mereka ,menjadi teman mereka, itu saya sudah merasa bisa membantu. Dari pada saya di rumah...ngga ada apa-apa, ngga ada kegiatan maksudnya yang..yang..ada kegiatan pasti ada sih,tapi kan beda. Saya juga pengen bertemu dengan orang, berelasi dengan orang, itu yang ..ada sesuatu yang membahagiakan, sesuatu itu sendiri yang membahagiakan bisa bertemu dengan mereka...” (Elena, W2, 15)
112
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Dalam hidup membiaranya, ia hanya menerima apa yang orang lain berikan secara sukarela. Tetapi, hal ini juga menjadi suatu batasan baginya pula dalam menerima sesuatu sebab bagi subjek alasan dalam menerima perhatian yang berupa bentuk materi akan menimbulkan rasa “hutang budi” pada orang tersebut yang memberikan, sehingga subjek perlu berperilaku dan berpikir bijak dalam menerima sesuatu. “... Kalau saya menerima, menerima itu juga sama sih kalau setiap kali ada yang menyapa, ada yang tidak memberi sesuatu, kalau menerima sesuatu malah saya takut Hahaha..”duh saya punya hutang budi”..saya ngga mau itu..”” (Elena, W1, 210) Secara garis besar pada gambaran kebutuhan kasih sayang yang dialami Suster Elena tentu dalam memberi cinta (B-Love) ia melakukannya melalui perhatian yang utuh dengan seluruh golongan masyarakat. Dan pada kebutuhan akan menerima cinta (D-Love) Suster Elena hanya memerlukan pengakuan, perhatian dan penerimaan lingkungan sekitar pada dirinya secara positif. Karena hal ini yang menjadi salah satu kekuatan bagi diri subjek dalam memenuhi tugas panggilan hidupnya sebagai biarawati. 4. Dimensi Kebutuhan Harga Diri (Esteem Needs) A. Penghargaan terhadap diri sendiri (Self-Respect) Pada konten ini, Suster Elena menunjukkan adanya sikap kemadirian dan kompetensi yang terdapat pada dirinya. Hal ini dijelaskan bahwa ia cukup aktif dalam beberapa aktifitas sosial dan organisasi di gereja. Sehingga hal ini menjadi titik tolak ukur subjek dalam mengasah dirinya untuk aktif pada berbagai macam organisasi.
113
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“Kalau di Gereja saya dengan Iman Anak. Kalau kegiatan sosial,..karena waktunya ngga bisa yaa. Tapi selama liburan ini saya ikut yang ...apa? TKI yang di kembalikan itu lho.. Setiap ada info kami langsung ke dinas sosial yaa..Bambu Apus. Kami menemani mereka bisa bersama pengakuan sambil ngobrol-ngobrol mendengar curhat mereka. Biasanya mereka karena di deportasi yang dari Timor. Pokoknya kami gabung dan kerja sama dengan Jesuit.” (Elena, W2, 10) Dan sebagai bentuk prestasi serta kepercayaan diri yang dimiliki individu. Suster Elena pernah mengikuti kompetisi seni seperti tari Jawa. Walaupun tidak memenangkannya namun hal ini menjadi salah satu bentuk bahwa dirinya mampu untuk mengasah kemampuan dan berusaha mengukir prestasi dalam hidup membiaranya. “Hahaha... kompetisi apa ya? ikut kompetisi tari Jawa tapi ngga pernah menang saya hahaha... “ (Elena, W2, 20)
B. Penghargaan dari Orang Lain (Respect from Others) Konten penghargaan yang didapat dari orang lain yaitu berupa rasa dominan sebagai pemimpin bagi suatu organisasi, menurut subjek, ia belum pernah dipercayakan ataupun ditunjuk sebagai pemimpin. Ia menjelaskan bahwa hal ini dikarenakan sejak ia masih kecil, Suster Elena selalu dibawah kungkungan dan arahan yang diberikan oleh orang tuanya. Sehingga, kemunginan ia dalam memimpin masih belum ada hingga saat ini. “Emm..kalau pemimpin ngga. Itu tadi ..dari kecil itu tadi saya sudah ada keraguan ada ketakutan, itu tadi lho yang merasa saya kurang gitu, jadi kalau sampai di tunjuk, kalau sampai di tunjuk kebetulan kok saya belum pernah yah? Saya cuman sekretaris dan bendahara terus hahaha.” (Elena, W2, 30) Melalui dua konten tersebut yang meliputi penghargaan terhadap diri sendiri (Self-Respect) dan penghargaan dari orang lain Respect from Others) dapat
114
http://digilib.mercubuana.ac.id/
disimpulkan bahwa subjek merupakan orang yang cukup aktif dalam berbagai kegiatan khususnya pada kegiatan sosial. Namun, dalam mengolah dirinya sebagai pemimpin, subjek masih belum percaya diri dalam melakukan hal tersebut. Kepercayaan diri yang ia dapat lakukan hanya sebatas pada prestasi dan pengalaman diri, tetapi belum sampai pada bentuk dominan yang ditunjukkan kepada orang lain. 5. Dimensi Kebutuhan Mengetahui dan Memahami/ Kebutuhan Kognitif (Need to Know and Understand/Cognitive Needs) Pada dimensi kebutuhan ini, Suster Elena sudah menjalankan proses kuliah dua kali. Pertama kali ia berada di jurusan komunikasi yang kampusnya bertempat di Solo dan disaat ia masih belum memulai hidup membiaranya. Dan untuk kedua kalinya, ia memulai kembali kuliahnya dengan jurusan administrasi di kampus Atma Jaya saat ini dimana ia sudah memulai kehidupan membiaranya. Namun, Suster Elena memiliki keinginan pada kebutuhan ini, karena ia mengatakan bahwa sesungguhnya subjek sangat menginginkan untuk mendapatkan pembelajaran psikologi. Tetapi karena ketentuan dari biara, maka ia menjalankan apa yang menjadi keinginan dan tuntutan dari biara pusat. “Dulu komunikasi, sekarang jurusan administrasi gitu. Tapi sebenarnya saya pribadi itu pengen belajar Psikologi.” (Elena, W2, 35) Keinginan dalam melakukan pengembangan potensi pada pengetahuan terdapat pada keinginan subjek sendiri. Ia mengakui bahwa keinginannya untuk dapat melanjutkan pendidikan pada tahap yang lebih tinggi agar dapat mengimbangi kemampuan serta kompetensi yang dimana orang-orang awam pun dapat melakukannya.
115
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“Emm..karena mau ngga mau, sekarang di tuntut untuk itu. Semua suster kalau sudah S1 biasanya di sekolahkan S2. Misalnya di sekolahan. Sekarang mau ngga mau kalau jadi pimpinan,..gurunya saja udah pada mulai S2 ya. Kalau pimpinanya di bawah mereka nanti kita ketinggalan jauh ngga bisa. Nanti kita disetir ama mereka. Karyawan-karyawan,misalnya guru-guru, kaya guru-guru atau staf-staf kantorlah, mereka kan semuanya rata –rata S2 kan, makanya saya di sekolahkan lagi supaya juga mengimbangi mereka, ngga ketinggalan jauh.” (Elena, W2, 45) 6. Dimensi Kebutuhan Estetika (Aesthetic Needs) Subjek menggambarkan pada nilai keindahan yang terdapat didalam biara yang ia tinggali saat ini, ia merasa kebersihan dan keindahannya selalu terjaga dengan baik. Suster Elena mengatakan bahwa pada biara tersebut terdapat karyawan yang siap untuk membantu mereka dalam membersihkan biara tersebut secara sukarela. Dan menurutnya, kesadaran akan kebersihan dan kerapihan sudah tertanam baik pada setiap individu yang tinggal di biara tersebut, sehingga pada lingkungan biara selalu terlihat rapi dan bersih. “Ehm..biara kami itu beda. Lain dari pada yang lain. Kalau masuk itu bukan kaya biara, kaya rumah biasa kamu itu. Terus selain itu, kami juga ngga punya karyawan. Ngga ada , jadi kami apa-apa sendiri. Yang lain-lain masih ada, masih ada karyawan. Ini sekarang ada yang mencuci karena ada suster yang ngga kuat mencuci. Itu cuman untuk satu suster saja. Tapi yang lainya kami kerjakan apaapa sendiri.” (Elena, W2, 50) Kebutuhan estetika tdak hanya dari kebersihan dan kerapihan dari lingkungan tempat tinggal saja, namun pencerminan akan rasa cinta terhadap berbagai kesenian. Sebelumnya subjek mengatakan bahwa ia sangat tertarik dengan kesenian hingga ia pernah mengikuti kompetisi tari Jawa. Ketertarikan seni yang lain juga, Suster Elena sangat suka dalam menyanyi dan memainkan beberapa alat musik. Hal ini ia sampaikan pada wawancara pertama dan kedua pada kutipan dibawah ini.
116
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“O iya suka. Saya biasa menyanyi sih. Tapi kalau instrumen musik, bisa sedikitsedikit. Hahaha.” (Elena, W1, 170) “Yah, seni sih sebenarnya. Kayak menari begitu, menyanyi, bermain gitar.” (Elena, W2, 30) Suster Elena merupakan individu yang sangat menyukai kebersihan. Ia mengungkapkan bahwa saat ia merapikan dan membersihkan tempat yang ia tinggali seperti biara, hal tersebut dapat menjadi salah satu alternatif untuk menghilangkan beban pikiran pada dirinya. “Iya. Kalau saya tuh, pasti aaadaaa saja yang dibersihin. Biasa rombak lemari terus dibersihin, dirapihin lagi. Rasanya seneng gitu, ngilangin stress juga apalagi kalau ngeliat lemarinya jadi tertata rapi lagi, meja, kamar, dan segala macamnya.” (Elena, W2, 60)
7. Dimensi Aktualisasi Diri (Self-Actualization) Pada kebutuhan harkat kemanusiaan dalam mencapai tujuannya, Suster Elena menyatakan bahwa dirinya ingin tetap pada jalannya sebagai biarawati seunur hidupnya. Sebagai bentuk misinya, ia hanya ingin berbuat yang biarawati lakukan dalam bersosialisasi dan dalam menghadapi berbagai golongan masyarakat. “Kalau saya yang penting, bisa meninggal tetep jadi suster saja deh. Hahaha. itu yang saya nggak muluk-muluk, itu saja yang saya utamakan, terus kalau bisa yaa, berbuat baik yang banyak, ngga ,kalau yang lain-lainya saya nggak terlalu muluk gitu loh..supaya saya juga ngga begitu apa yah..”ngongso” itu basa jawa. pokoknya terlalu gitu loh..terlalu harus mencapai ini harus gitu kan. Pokoknya yang penting,saya bisa melayani, saya bisa berbuat baik yang banyak gitu saja.” (Elena, W2, 70) Saat peneliti menanyakan tentang rasa ketidakpuasan dalam hidupnya, Suster Elena menceritakan pengalaman yang membuatnya tidak mencapai rasa
117
http://digilib.mercubuana.ac.id/
kepuasan yang dia impikan. Ia menceritakan saat ia masih belum memulai kehidupan membiaranya, dimana ia masih belajar di jurusan komunikasi saat itu. Suster Elena merasakan kekecewaannya karena ia merasa telah berusaha keras, namun hasil yang didapat tidak sesuai dengan yang ia harapkan. Rasa kekecewaannya masih ada hingga saat ini dan menjadi suatu pelajaran berharga bagi dirinya dalam menimba ilmu lebih banyak lagi untuk masa depannya. “ee..misalnya, ee..waktu saya di..contoh ya misalnya, waktu saya jadi..apa namanya? Pimpinan LPK gitu. LPK..itu yang ada LPK, Lembaga Pendidkan Ketrampilan. kan kursus bahasa inggris dan kursus komputer. Saya merasa tidak puasnya emm..kurang..saya merasa , saya sudah bekerja keras tapi kurang ada hasil gitu lho, misalnya , kalau gurunya ngga dateng, saya walaupun saya ngga sebisa saya ngajar bahasa inggris, ngajar komputer. Itu saya masuk ya..saya ngga mau tahu, pokoknya saya mau masuk,ssebisa saya. Tapi ketika di nilai akreditasi gitu “D”. nah itu “iihh.rasanya gimana ya?, ngga puas sama sekali.. rasanya ..ya Tuhan kok gini sih? Terus akhirnya kamu dapet bantuan sih 90 juta. Hanya saja tidak kami terima.” (Elena, W2, 85) Dan pada kebutuhan yang lain pada tahapan aktualisasi diri subjek, Suster Elena melakukannya melalui pengembangan dan realisasi diri. Hal ini tidak terlalu identik pada kreatifitasnya, namun ia mampu untuk berusaha menjadi lebih baik dan belajar dari pengalaman yang ada dan mengolahnya menjadi suatu tahap pembelajaran di masa yang akan datang. “Ya itu tadi diolah, karena kami punya kesempatan mengolah diri itu terus tiap tahun kan. Perlu, ya perlu berjuang ya setiap kali rasa itu ada, bagaimana cara mengolahnya diolah kaya psikolog gitu ya. terus itulah tangan kiri tangan kanan, itu tiap hari kan, eee refleksi tiap hari itu yang akhirnya bisa menemukan “oh saya itu masih ada keinginan untuk di hargai, masih da keinginan itu””(Elena, W2, 90) 8. Dimensi Transendensi Diri (Self-Transendence)
118
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Penggambaran
perasaan
manusiawi
dalam
menjalani
kehidupan
membiaranya, subjek mengungkapkan bahwa salah satu kendala dalam hidup berkomunitas adalah perlu beradaptasi dengan berbagai individu yang memiliki latar belakang yang berbeda. Kendala ini menjadi sebuah perjuangan bagi diri subjek karena tuntutan yang diberikan oleh biara untuk hidup berbagi dan berkomunikasi dengan baik dengan komunitas dimanapun komunitas tersebut berada. “Emm....kadang ada yang terasa menyenangkan, tapi kadang perlu berjuang ya masih sama sih perjuanganya yang dalam hidup berkomunitas. Seperti orang berkeluarga kan? Di pertemukan dengan orang-orang yang berbeda,setiap pindah kemana nanti ketemu orang yang berbeda.” (Elena, W2, 95) Pada pemahaman makna spiritualitas yang dilakukan oleh Suster Elena yaitu penggambarannya dalam melawan arus pada kemajuan era globalisasi saat ini. Ia menyatakan bahwa, bagaimana cara berperilaku dan berpikir secara bijak dalam menggunakan hal-hal bersifat duniawi seperti penggunaan telepon genggam, melakukan pengeluaran untuk belanja, dan lain-lain. dari sinilah, menurut subjek penggambaran spiritualitas pada dirinya dalam menghadapi arus era globalisasi yang terus maju. “Emm..apa ya, melawan arus ya. Iya saat ini, berani melawan arus itu susah. Orang-orang sekarang pengennya kaya tadi, yang dunia di gital...lagi, ikut itu, tapi saya melawan arus itu bagaimana saya kembali ke tidak ikut yang seperti itu, terus orang-orang pengen sesuatu yang banyak” ayo blanja atau apa-apa”, tapi kami dibatasi kan, tapi disitulah kebahagiaan tersendiri. Itu yang saya bisa melawan arus, bisa bermati raga.” (Elena, W2, 100) Bentuk penggambaran pada tahap transendensi diri lainnya yaitu dalam membangun keintiman dengan berbagai golongan masyarakat. Sudah menjadi suatu kewajiban bagi para kaum biarawati untuk “merangkul” berbagai golongan
119
http://digilib.mercubuana.ac.id/
masyarakat dan bersosialisasi tanpa adanya batasan. Begitu pula yang dilakukan oleh Suster Elena. Saat ia memberikan contoh dalam kehidupannya, ia pernah terjun ke masyarakat dalam pesta rakyat saat Pilkada Jakarta lalu. “Oke, kalau saya itu. Kayak misalnya kemarin. Kemarin kan itu ada Ahok itu ya. Terus ada ulang tahun Ahok yang di Kalijodo itu dateng saya. saya ikut. Saya juga gak kenal sapa-sapa disitu. Tapi saya dengan pakaian saya, jubah saya ini. Saya berani masuk. Itu, mau berjilbab, mau apa tapi mereka pengen berfoto dengan saya. Bukan karena saya ingin minta foto atau apa ya. Tapi dengan kehadiran saya ini saya merasa, “Ih, ternyata saya ini juga bisa diterima oleh masyarakat juga.”” (Elena, W2, 105) Konten selanjutnya yaitu sebagai motivator. Sebagai bentuk melakukan interaksi pada berbagai golongan masyarakat, Suster Elena menyatakan bahwa dari apa yang ia lakukan dapat menginspirasi ataupun mendorong individu lain untuk melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan dalam “merangkul” berbagai golongan masyarakat. Ia pun mengatakan dengan subjek terjun ke masyarakat lain, ia berhasil untuk dapat memutus segala stigma masyarakat pada biarawati yang sulit dalam bersosialisasi. “... Nah, bentuk kesaksian saya tuh disitu. Pokoknya mau bergabung dan berkumpul dengan mereka, walaupun tidak kenal dan akhirnya juga kenal. Itu juga sudah salah satu memberi semangat. Memberi motivasi terhadap mereka. “Oh, ternyata Suster itu bisa kayak gini juga. Suster itu gak jaim. Suster itu juga bisa bercanda. Suster itu bisa diajak bercanda. Bisa diajak sini-sana. Macemmacem”. Gitu.” (Elena, W2, 105) Sebagai kesimpulannya pada tahapan akhir dalam hirarki kebutuhan Maslow yang merupakan transendensi diri adalah gambaran kehidupan spiritualitas dan kemanusiaan yang dijalani Suster Elena berdasarkan dari komunikasi dan sosialisasi dengan berbagai golongan masyarakat. Dan dalam menghadapi arus globalisasi, subjek berusaha untuk melawan arus tersebut dan
120
http://digilib.mercubuana.ac.id/
tidak terbawa pada perkembangan zaman. Sehingga, ia mampu berada pada dua titik yaitu kesadaran kemanusiaannya dengan pengalaman-pengalaman ke-Esa-an nya untuk mempertahankan jalan spiritualitasnya sebagai seorang biarawati. 4.5.
Perspektif Triangulasi Pada triangulasi ini memuat hasil narasi wawancara yang dilakukan
dengan informan terdekat para subjek mengenai hal-hal yang diketahui sehubungan dengan pemenuhan pada hirarki kebutuhan subjek. 4.5.1. Narasi Informan Subjek 1 Informan untuk Subjek 1 yang merupakan Suster Francelin adalah Suster Maria. Ia merupakan teman satu biara serta individu yang paling dekat dengan Suster Francelin. Suster Maria juga menempuh pendidikan dan tahun panggilan yang sama dengan Suster Francelin, sehingga keduanya memiliki hubungan yang cukup dekat satu sama lain pada lingkungan biara. Menurut Suster Maria, sosok Suster Francelin adalah seorang pribadi yang sibuk dan sangat menyukai aktifitas-aktifitas di luar. Suster Francelin adalah individu yang selalu memiliki jadwal yang lebih padat daripada para biarawati lainnya, sebab Suster Francelin banyak mengikuti organisasi baik yang diselenggarakan di lingkungan Gereja maupun yang terdapat di lingkungan sekolah. Pada pemenuhan kebutuhan fisiologis Suster Francelin, Suster Maria mengatakan bahwa subjek cukup memperhatikan kebutuhan dasarnya. Jika ia memiliki pekerjaan di sekolah, Suster Francelin sering meminta bantuan rekan
121
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Suster lainnya untuk dibuatkan bekal makanan dan dibawa ke tempat kerja. Dan jika, Suster Francelin memiliki aktifitas di Gereja, ia akan pulang ke biara pada jam makan siang dan berkumpul bersama dengan para rekan Suster lainnya untuk makan bersama-sama. Subjek juga tidak memiliki riwayat penyakit parah ataupun serius. Terkadang jika ia kelelahan atau tidak enak badan, Suster Maria yang selalu merawatnya dan memijat Suster Francelin jika subjek memintanya. Suster Maria mengatakan bahwa Suster Francelin tidak pernah menceritakan tentang lawan jenis selama ia hidup membiara bersamanya. Bagi Suster Maria, Suster Francelin merupakan individu yang selalu aktif pada tanggung jawab yang ia kerjakan sehingga pikiran untuk hal-hal seperti berkeluarga, tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Suster Francelin juga merupakan individu yang sangat lihai dan cepat dalam beradaptasi pada lingkungannya. Bagi Suster Maria, kota Jakarta adalah tempat yang cukup sulit bagi para biarawati yang dari Flores untuk bisa beradaptasi pada situasi dan kondisi yang cukup pesat perubahannya. Namun, Suster Francelin mampu mengendalikan dan mengontrol pekerjaannya serta membuat koneksi yang cukup banyak dengan orang tua dan wali murid di sekolah tempat subjek bekerja. Menurut Suster Maria, Suster Francelin adalah orang yang sangat patuh dan tegas pada peraturan. Ia selalu mengelola dan mendidik anak-anak di sekolah dengan pembelajaran kedisiplinan. Hal inilah, yang kadang menjadi titik tolak bagi orang tua atau wali murid dengan Suster Francelin jika ada yang tidak mematuhi standar dan peraturan yang sudah ditentukan di sekolah. Jika menemui
122
http://digilib.mercubuana.ac.id/
masalah tersebut, Suster Francelin selalu membagi ceritanya di komunitas dan terkadang meminta solusi saat sedang berkumpul dengan komunitas. Pada kebutuhan kasih sayang, sebagai teman yang paling dekat, Suster Maria memberikan perhatian yang lebih terhadap Suster Francelin. Karena ia telah mengenal Suster Francelin sejak tinggal di Flores. Suster Maria mengatakan bahwa, Suster Francelin selalu bertemu dengan keluarganya yang masih tinggal di sekitar Bekasi, sehingga subjek tidak pernah menunjukkan rasa rindu terhadap keluarganya, karena ia selalu bertemu setiap 2 minggu sekali. Konten yang dilihat dari Suster Maria tentang Suster Francelin pada memberi dan menerima cinta selama hidup membiara yang dilakukan subjek yaitu melalui
kegiatan-kegiatan
yang
dikerjakannya.
Suster
Francelin
selalu
memperhatikan segala detail permasalahan yang terdapat pada lingkungannya, terutama jika menyangkut pada anak-anak didiknya. Suster Maria juga melihat perubahan Suster Francelin saat ia tinggal di Jakarta. Saat di Jakarta, Suster Francelin menjadi lebih aktif di berbagai kegiatan daripada saat ia di Flores. Banyak yang ia ikuti saat di Jakarta, baik kegiatan sosial, keagamaan, maupun pada pekerjaannya menjadi guru dan kepala kantor di sekolah tersebut. Menurut Suster Maria kegiatan yang ia lakukan, banyak di luar biara sehingga ia sangat jarang jika ditemui dalam biara. Karena keaktifannya tersebut, tak jarang juga Suster Francelin kedatangan tamu setiap dalam tiga hari sekali. Menurut Suster Maria, kebanyakan dari orang tersebut adalah anggota atau bawahan pada kegiatan atau organisasi yang dipimpin atau dikooridinir oleh Suster Francelin. Yang terkadang selalu meminta
123
http://digilib.mercubuana.ac.id/
solusi dan membahas tentang acara-acara yang diselenggarakan oleh kelompok organisasi yang diikuti Suster Francelin. Suster Maria diutus untuk belajar pada kampus yang sama, namun dengan jurusan berbeda. Suster Maria saat itu merupakan mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, sedangkan Suster Francelin mengambil jurusan Pendidikan Agama Katolik atau Teologi. Saat berkonsentrasi dalam kehidupan dan keseharian di kampus, Suster Maria saat itu tidak terlalu memperhatikan perkembangan pembelajaran Suster Francelin karena keduanya memiliki konsentrasi jurusan yang berbeda. Namun, jika Suster Francelin mengalami kesulitan khususnya dalam Bahasa Inggris tentu ia akan sesekali menanyakan hal tersebut pada Suster Maria. Menurut Suster Maria pula, Suster Francelin adalah sosok yang lebih suka bekerja daripada pembelajaran. Suster Francelin selalu melakukan pengembangan potensi pembelajaran dan pengetahuannya melalui pengalaman–pengalaman yang ia dapat dari apa yang pernah dialami dan dari orang lain. Dan tentang kerapihan dan kebersihan didalam biara, Suster Francelin adalah individu yang sangat jarang memperhatikan hal-hal tersebut. Karena kesibukan di luar biara yang begitu padat sehingga kebersihan di biara ia percayakan kepada rekan-rekan Suster lainnya. Suster Maria juga mengatakan pada point kesenian, Suster Francelin adalah orang yang sangat peduli akan hal itu. Ia mengetahui bahwa sudah beberapa kali Suster Francelin aktif dalam melatih dan mengawal anak-anak sekolah didikannya pada setiap lomba kejuaraan paduan suara. Dan pada
124
http://digilib.mercubuana.ac.id/
pekerjaan tangan, Suster Maria juga pernah meminta diajarkan dalam membuat rosario dengan Suster Francelin. Menurutnya, Suster Francelin cukup lihai dalam membuat prakarya. Suster Maria tidak terlalu mengetahui persis apa yang menjadi impian yang ingin dicapai oleh Suster Francelin untuk menjadi biarawati. Namun, setiap kali Suster Francelin bercerita bahwa pribadi Suster Francelin merasa terpanggil dari sejak kecil untuk menjadi abdi dan pelayan Tuhan. Suster Maria menceritakan pula bahwa Suster Francelin merupakan orang yang cukup idelalis dalam masalah pekerjaan. Jika, hasil yang dicapai kurang sesuai dengan apa yang diinginkannya, maka ia akan merasa kebingungan dan terkadang bersikap moody pada kesehariannya. Sebagai teman terdekat Suster Francelin, Suster Maria kadang memberikan banyak saran untuk permasalahan yang dihadapi oleh Suster Francelin. Pandangan Suster Maria kepada Suster Francelin pada kehidupan membiaranya yaitu bahwa ia merupakan pribadi yang tegas dan aktif dalam setiap kegiatan yang ada, terutama pada pekerjaannya sebagai pendidik dan kepala kantor saat ini di sekolah tersebut. Suster Francelin juga merupakan orang yang mencerminkan sikap yang tangguh dan dominan namun ia adalah pribadi yang suka bercanda dan handal dalam komunikasi dengan berbagai golongan masyarakat. Ia juga termasuk yang paling rajin dalam kumpul komunitas setiap minggunya dan selalu membagikan cerita pengalaman-pengalam yang dialami selama satu minggu beraktifitas.
125
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4.5.2. Narasi Informan Subjek 2 Suster Bernadet adalah yang berperan menjadi informan untuk Suster Yashinta. Suster Bernadet merupakan individu yang lahir dan besar di Flores dan ia sudah mulai kenal dan dekat dengan Suster Yashinta sejak tahun 2009. Suster Bernadet sudah diutus ke Jakarta lebih dulu daripada Suster Yashinta saat tahun 2016 yang lalu. Suster Bernadet juga merupakan rekan Suster Yashinta yang sedang mengikuti kursus untuk tugas perutusannya ke Jerman. Suster Bernadet mengatakan bahwa Suster Yashinta merupakan pribadi yang tegas, periang, enerjik, namun cukup tertutup jika sedang menghadapi masalah. Ia merupakan indidvidu yang kuat juga saat sedang menghadapi persoalan, sehingga permasalahan yang dihadapi tidak akan berlarut lama. Menurut Suster Bernadet pada gambaran pemenuhan kebutuhan fisiologis Suster Yashinta, ia mengatakan bahwa di biara segala kebutuhan dasar untuk para Suster terpenuhi begitu pula dengan kebutuhan dasar Suster Yashinta. Hal ini juga karena kehidupan para Suster tidak lepas dari jadwal yang sudah ditetapkan dan disusun secara tepat dan rapi. Menurutnya, segala kebutuhan dasar sudah cukup bagi para Suster yang tinggal di biara termasuk untuk subjek pula. Saat ditanyakan perihal kesehatan, Suster Bernadet mengatakan bahwa Suster Yashinta adalah tipe pekerja keras. Sampai saat ia pertama kali pindah dari Flores ke Jakarta, Suster Yashinta sempat kelelahan dan sakit tipus beberapa minggu. Ia adalah salah satu yang merawat Suster Yashinta. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan semangat bekerja dari subjek. Menurut Suster Bernadet, Suster Yashinta tetap mengajar dan mengikuti kursus saat itu. Jika kondisi badan lemah,
126
http://digilib.mercubuana.ac.id/
ia tidak akan beraktifitas dalam satu hari dan berada di biara saja untuk beristirahat. Untuk menjaga kondisi badan, Suster Bernadet tidak pernah melihat Suster Yashinta memiliki jadwal khusus untuk berolahraga. Ia berpendapat bahwa kegiatan sehari-harinya saja sudah cukup padat dari pagi, sehingga ia tidak memiliki hal tersebut untuk melakukannya. Suster Bernadet mengungkapkan bahwa Suster Yashinta tidak pernah menceritakan jika ia pernah tertarik oleh lawan jenis sebelumnya. Yang hanya Suster Bernadet ketahui bahwa, alasan dasar subjek masuk biara adalah karena ia memiliki pengalaman yang membuatnya trauma yaitu kakak perempuan yang paling dekat dengannya meninggal dunia saat sedang menjalani persalinan. Oleh karena itu, menurut Suster Bernadet, ia memilih jalan sebagai biarawati dan berkarya untuk Tuhan karena memiliki masa lalu yang membuatnya sedih. Menurutnya, situasi dan kondisi di lingkungan biara manapun dapat membuat para Suster merasa aman. Pasalnya karena sudah banyak warga sekitar mengetahui bahwa tempat mereka adalah biara dan security selalu ada di sekitar tempat biara dan gereja. Begitu pula yang dirasakan oleh Suster Yashinta. Suster Bernadet mengatakan bahwa Suster Yashinta adalah individu yang dapat beradaptasi dimanapun ia berada dan ditempatkan. Karena sudah menjadi tuntutan setiap biarawati termasuk Suster Yashinta sendiri untuk selalu siap jika dipindahtugaskan atau diutus ke kota ataupun negara lain. Suster Bernadet juga mengakui bahwa Suster Yashinta merupakan orang yang menyukai kegiatan-kegiatan sosial. Jika ia memiliki waktu kosong dan tidak
127
http://digilib.mercubuana.ac.id/
ada kesibukan, ia akan mengikuti kegiatan-kegiatan bersifat sosial dan membantu orang-orang
yang
membutuhkan,
seperti
berkunjung
dan
melakukan
pendampingan pada korban bencana banjir. Namun, hal ini tidak dapat dilakukan sering kali oleh Suster Yashinta karena ia sudah memiliki kesibukan tetap dalam bekerja dan mempersiapkan dirinya untuk ke Jerman. Saat peneliti menanyakan kepada informan tentang subjek dalam berorganisasi, menurutnya subjek adalah seseorang yang sangat berkompeten dalam hal memimpin. Suster Bernadet mengakui hal ini, karena saat ia dan subjek tergabung dalam satu organisasi di Flores, ia merupakan pemimpin yang tegas dan memiliki banyak ide kreatif. Selain tegas, subjek juga mencerminkan sosok individu yang murah hati dan siap membantu anggota kelompoknya jika menemukan kesulitan. Penggambaran pada kebutuhan akan pembelajaran, menurut Suster Bernadet, subjek sudah mendapatkannya melalui penetapan dari biara. Melalui penjelasannya ia mengatakan bahwa, seluruh biarawati pasti akan menempuh jalur pendidikan yang sesuai dengan keinginan dari pusat, hal ini termasuk apa yang menjadi alur kehidupan yang harus dijalani oleh Suster Yashinta juga. Namun, saat peneliti menanyakan tentang keinginan Suster Yashinta dalam menempuh pendidikan yang diinginkan, informan tidak pernah mengetahui hal tersebut. Namun, jika Suster Bernadet datang ke kamar subjek, ia selalu melihat tumpukan buku yang bertemakan tentang psikologi dan kebanyakan terjemahan dalam bahasa Inggris.
128
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Pada kepedulian tentang nilai keindahan atau nilai estetika yang terdapat pada diri subjek, informan mengatakan bahwa, Suster Yashinta adalah individu yang sangat peduli dan perhatian pada kerapihan dan keindahan. Hal ini dikarenakan ia menanam dan merawat bunga di biara. Ia sangat menyukai tumbuhan terutama bunga dan memiliki hobi bertanam yang ia bawa dari sejak kecil. Dan pada kepedulian dalam hal seni, Suster Yashinta selalu aktif dalam kegiatan paduan suara jika para biarawati bertugas mengisi kegiatan koor di gereja. Suster Bernadet juga memuji subjek dalam bernyanyi karena ia memiliki suara yang indah dan merdu saat bernyanyi. Pada pengembangan diri subjek dalam melalui tahapan untuk mencapai aktualisasi diri, Suster Bernadet hanya menjelaskan secara singkat gambaran keseluruhannya. Pada Suster Yashinta dimana subjek mengembangkan dirinya melalui bekerja, berpikir kreatif dalam menyelesaikan suatu pekerjaan ataupun dalam menghadapi masalah, dan selalu setia dengan biara yang merupakan jalan yang dikehendaki Tuhan untuknya serta selalu bersyukur. Saat peneliti menanyakan tentang cita-cita dan keinginan subjek dalam mencapai suatu titik kepuasan dalam pencapaian hidupnya, informan mengatakan bahwa subjek tidak pernah menceritakan hal tersebut baik pada dirinya maupun pada komunitas. Dan pada penggambaran untuk melalui tahapan pencapaian transendensi diri, Suster Bernadet menjelaskan bahwa Suster Yashinta sudah cukup baik dalam membagi dirinya sebagai rohaniwan dan menjalani kegiatannya sebagai manusia biasa pula. Ia mengatakan, subjek selalu aktif dan hadir pada setiap pertemuan komunitas dan perutusan pekerjaan sosial yang diminta oleh pusat. Sehingga, melalui sikap, cara berbicara, dan pendekatan yang subjek lakukan kepada 129
http://digilib.mercubuana.ac.id/
berbagai golongan masyarakat dapat mendorong umat lain untuk berlaku seperti diri subjek. 4.5.3. Narasi Informan Subjek 3 Pada informan untuk subjek 3 yaitu Suster Brigita. Suster Brigita adalah teman Suster Lusi yang paling dekat di biara karena ia juga diutus untuk belajar di Atma Jaya dan mengambil jurusan yang sama dengan Suster Lusi. Sehingga hubungan yang dimiliki antara Suster Lusi dengan Suster Brigitta tergolong dekat. Suster Brigitta mulai mengenal Suster Lusi sejak ia diutus ke Jakarta dan bertemu dengan subjek untuk mengambil konsentrasi pembelajaran yang sama. Suster Brigitta menceritakan karena pada jurusan yang mereka ambil memiliki kapasitas mahasiswa yang sedikit maka saat membuat kelompok diskusi, Suster Brigitta selalu bersama-sama dan satu kelompok dengan Suster Lusi. Saat ditanya tentang kesan awal ia bertemu Suster Lusi menurutnya, ia adalah pribadi yang pemalu dan pendiam. Sebab saat diutus ke Jakarta, Suster Brigitta tidak kenal dan mengetahui tentang Suster Lusi sebelumnya. Dan jika ada dilangsungkan pertemuan komunitas setiap minggunya, Suster Lusi merupakan individu yang paling banyak diam dan jarang membagi cerita pengalamannya yang ia lakukan selama membiara. Tetapi, hubungan antara Suster Brigitta dan Suster Lusi mulai berubah saat mereka memulai kehidupan kampusnya dan belajar serta mengerjakan tugas bersama. Menurut Suster Brigitta, ia merupakan individu yang hangat dan bersahabat kepada siapa saja. Pada penggambaran pemenuhan kebutuhan-kebutuhan subjek, khususnya pada pemenuhan kebutuhan dasarnya, Suster Brigitta mengatakan bahwa Suster
130
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Lusi cukup memperhatikan kebutuhannya tersebut. Hal ini karena, Suster Lusi saat sebelum pergi ke kampus ia selalu membuat bekal untuk ia santap di kampus nanti. Terkadang ia membuatkan bekal juga untuk Suster Brigitta ataupun rekan Suster lainnya di biara. Namun, terkadang jika subjek sudah sangat sibuk dengan kesibukannya di kampus, ia akan lupa untuk makan dan istirahat, sehingga Suster Brigitta mengatakan bahwa ia selalu berusaha untuk mengingatkan temannya untuk tetap memperhatikan kondisi badannya dan makan. Saat peneliti menanyakan pada Suster Brigitta tentang ketertarikan Suster Lusi pada lawan jenis, ia mengakui bahwa Suster Lusi pernah menceritakan hal tersebut padanya. Namun hal tersebut hanya terjadi saat ia masih berada di Timor. Menurut Suster Brigiita, saat di Jakarta hal yang hanya dilakukan oleh Suster Lusi hanya sebatas kerja, kuliah, dan berkarya sebagai biarawati. Menurut Suster Brigitta, kemampuan beradaptasi pada lingkungan yang dilakukan oleh subjek yaitu dikarenakan ia aktif dalam berorganisasi di kampus. Selain itu, dia juga aktif menjadi salah satu karyawan yang bekerja di rektorat sehingga cukup banyak orang yang mengenalinya. Ia juga merupakan orang yang hangat bila bertemu dengan seseorang yang baru ia kenal, Suster Brigitta menyatakan bahwa Suster Lusi mampu untuk bersosialisasi dengan berbagai golongan masyarakat sehingga banyak orang-orang sekitar subjek khususnya di kampus mengenalinya. Suster Brigitta menyatakan pula, ia mampu untuk beradaptasi bukan hanya kemampuan subjek dalam bersosialisasi namun karena ia juga terbiasa hidup mandiri. Ia tidak pernah merasa khawatir ataupun merasa takut dan cemas karena
131
http://digilib.mercubuana.ac.id/
menurutnya, selama ia melaksanakan rutinitas di kampus dari pagi hingga malam, dan ia sudah terbiasa akan hal tersebut. Subjek selalu rindu dengan keluarga yang berada di Timor. Hal ini diakui oleh Suster Brigitta karena setiap kali keluarga subjek menghubungi subjek atau megirimkan foto-foto keadaan yang sedang dilakukan oleh keluarganya, ia selalu memperlihatkannya kepada Suster Brigitta dan terlihat selalu bersemangat saat menceritakan hal-hal yang menyangkut tentang keluarganya. Suster Brigitta juga mengungkapkan bahwa setiap minggunya Suster Lusi selalu tidak pernah lupa untuk menanyakan kabar keadaan keluarganya. Menurut Suster Brigitta, Suster Lusi merupakan sosok yang sangat aktif dalam dunia kampus. Hal ini dikarenakan Suster Lusi adalah salah satu yang mendapatkan beasiswa dari biara sehingga ia tidak hanya harus menempuh pendidikan di kampus namun juga perlu menyumbang tenaga (bekerja) di kampus. Begitu pula dalam berorganisasi, Suster Lusi salah satu mahasiswa yang aktif, sehingga hal ini membuat Suster Lusi selalu tiba di rumah pada jam malam. Gambaran untuk melalui tahapan pencapaian transendensi diri, Suster Brigitta menjelaskan bahwa Suster Lusi berusaha untuk membagi waktunya untuk bekerja, belajar, dan berkarya sebagai biarawati. Ia mengatakan, walaupun subjek tidak selalu aktif dan hadir pada beberapa pertemuan komunitas namun, ia meyakinkan para rekan Suster lainnya untuk memberikan hasil yang terbaik dalam pencapaiannya sebagai salah satu mahasiswa yang mendapatkan beasiswa. Menurutnya, Suster Lusi dapat melalui segala halangan yang menghadangnya karena ia memiliki sikap, cara berbicara, dan pendekatan kepada berbagai
132
http://digilib.mercubuana.ac.id/
golongan masyarakat dan berteman dengan siapa saja yang dapat memotivasi orang lain pula dalam bergaul dan berteman tanpa membeda-bedakan.
4.5.4. Narasi Informan Subjek 4 Suster Bertha merupakan informan pada subjek 4, Suster Elena. Suster Bertha merupakan seorang biarawati yang dipindahkan dari Kalimantan Timur ke Jakarta. Relasi hubungan Suster Bertha dengan Suster Elena adalah teman dekat dari Suster Elena baik dalam biara maupun saat di kampus. Seperti Suster Elena, Suster Bertha juga ditugaskan untuk menempuh pendidikan dengan jurusan yang sama dengan subjek. Suster Bertha mulai mengenal Suster Elena saat diutus untuk ke Jakarta dan bertemu di biara Penyelenggaran Ilahi (PI). Usia Suster Bertha jauh lebih muda dibandingkan dengan usia subjek. Hal ini yang membuat Suster Bertha selalu menganggap Suster Elena sebagai kakak yang dapat dipercaya dan dapat memberikan masukan serta nasihat padanya. Ia berpendapat bahwa sosok Suster Elena adalah sosok cerminan individu yang ceria, ramah, dan bijak. Suster Bertha mengungkapkan subjek pernah bercerita bahwa dorongan dasar Suster Elena mau menjadi biarawati karena ia mau mengabdikan diri kepada Tuhan dengan melayani sesama manusia. Menurutnya sosok cerminan keluarga dari subjek adalah keluarga Katolik. Orang tuanya mengajarkan kepada anak-anaknya nilai-nilai kristiani sehingga dari keluarga tersebut dua anak yang merupakan Suster Elena yang akhirnya menjadi biarawati dan salah satu adik laki-lakinya dapat menjadi seorang biarawan dengan tareka Jesuit dan kini bertugas di Mesir. Suster Bertha juga menceritakan bahwa
133
http://digilib.mercubuana.ac.id/
gambaran keluarga subjek sangat rukun. Hal ini dibuktikan karena cukup sering keluarga Suster Elena datang berkunjung dan menginap di biara setiap berlibur ke Jakarta. Pada konten kebutuhan fisiologisnya menurut Suster Bertha, Suster Elena sangat memperhatikan kesehatannya. Khususnya karena subjek memiliki penyakit bawaan yaitu asam-urat. Sehingga subjek melakukan diet dengan mengatur yang menjadi asupan makannya. Suster Bertha pun mengetahui bahwa setiap paginya, setelah melakukan misa Suster Elena selalu berolahraga secara teratur dan rutin di kamarnya. Dengan lawan jenis, Suster Bertha mengatakan bahwa Suster Elena cukup dikenal di kalangan kampus dan sudah beberapa kali ada laki-laki yang menyukainya dan
berusaha untuk dekat dengannya. Namun, Suster Elena
menganggap mereka hanya sebagai teman ataupun kenalan subjek dan ia tetap berusaha setia dan mencintai panggilannya saja. Ia mengatakan bahwa, Suster Elena hanya dapat mendoakan mereka dan membawa segala rasa kasih sayang itu kepada Tuhan Yesus. Pada lingkungan subjek, Suster Bertha mengakui bahwa Suster Elena adalah sosok pribadi yang kuat dan mandiri. Jika menghadapi suatu masalah, Suster Elena tidak segan dalam betanya kepada siapa saja, terutama dengan rekan Suster yang terdapat di biara tersebut. Suster Elena adalah sosok yang berani dalam menghadapi kesulitannya. Suster Bertha menyatakan subjek pernah menceritakan hal tersebut bahwa ia percaya dan yakin bahwa segala yang menjadi permasalahan yang ia hadapi merupakan rencana Tuhan yang semakin
134
http://digilib.mercubuana.ac.id/
memotivasi panggilan hidup membiaranya. Serta memacu Suster Elena menjadi seorang biarawati yang gigih dan setia pada Tuhan. Rasa cemas dan takut subjek menurut Suster Bertha adalah saat terjadi sesuatu dengan keluarganya terutama pada kesehatan keluarga. Hal ini dikarenakan Suster Elena pernah menceritakan kepadanya bahwa ia kehilangan sosok ayahnya yang sudah meninggal dunia saat Suster Elena masih menjalani kehidupan membiaranya di luar kota. Tidak hanya dengan keluarga, Suster Elena sangat perhatian dengan Suster Bertha. Suster Bertha memberikan contoh pada hal ini, seperti saat ia tidak mengerjakan tugas yang diberikan dari dosen karena kepadatan jadwal dan kesibukannya dalam beraktifitas, Suster Elena selalu mengingatkannya agar merampungkan tugas-tugasnya itu. Perhatian yang diberikan Suster Bertha kepada subjek yaitu seperti memberikan semangat jika hal-hal kecil di kelas terjadi, seperti teman-teman lakilaki yang selalu ribut dalan kelas, merawat Suster Elena bila ia sedang sakit, dan lain sebagainya. Menurutnya, antara ia dengan Suster Elena selalu memberikan perhatian satu sama lainnya. Suster Bertha mengatakan bahwa Suster Elena memiliki kemampuan yang sangat bagus dalam menyumbangkan ide-ide kreatif terutama dalam suatu kelompok ataupun organisasi. Hal ini diakui oleh Suster Bertha sebab Suster Elena sangat berkompeten didalam organisasi dan saat ia menjabat sebagai sekretaris dan pembicara. Pribadi Suster Elena merupakan individu yang murah hati. Ia selalu tidak segan dalam membagi ilmunya dengan sesama yang membutuhkan.
135
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Suster Bertha tidak terlalu mengetahui bagaimana gambaran perasaan Suster Elena selama ia hidup membiara. Namun menurutnya, Suster Elena adalah orang yang selalu berpikir positif dan dapat menyelesaikan permasalahan dengan baik. Maka hal tersebut menjadi suatu pedoman baginya pula untuk hidup membiara. Ia mengakui bahwa dirinya terinspirasi dengan kehadiran Suster Elena dalam kehidupan membiaranya.
136
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4.6. Tabel Inter-Subjek Dari pembahasan yang telah dijabarkan diatas dapat disimpulkan dalam Tabel Inter-Subjek pada keempat subjek berikut : Tahapan Kebutuhan Kebutuhan Fisiologis : Pemenuhan asupan gizi (makan & minum) Pemenuhan kebutuhan kesehatan fisik Kebutuhan hasrat seks
Kebutuhan Keamanan : Penggambaran rasa aman dan nyaman pada lingkungan
Subjek 1 (Sr. Francelin) Pada kebutuhan fisiologis secara keseluruhan, Subjek 1 memenuhi semua kebutuhannya, kecuali kebutuhan seks karena tuntutan pada jalan yang ia pilih sebagai biarawati.
Subjek 2 (Sr. Yashinta) Subjek 2 memenuhi keseluruhan kebutuhan fisiologis. Disebabkan jalan yang ia pilih sebagai biarawati, sekaligus dikarenakan ia memiliki latar belakang yang membuat ia trauma dan memutuskan untuk tidak berkeluarga.
Subjek 3 (Sr. Lusi) Pemenuhan kebutuhan dari subjek 3 terpenuhi, kecuali pada kebutuhan seks karena tuntutan pada jalan yang ia pilih. Walaupun ia masih merasa berat pada kehidupan yang mengharuskan ia untuk hidup sederhana.
Subjek 4 (Sr. Elena) Pada subjek 4, subjek tidak mengungkapkan kesulitan pada hidup membiaranya karena segala yang menjadi kebutuhannya hampir secara keseluruhan terpenuhi. Terkcuali untuk kebutuhan seks.
Subjek 1 menggambarkan rasa aman dan nyaman pada lingkungannya karena ia mampu
Pada subjek 2 pun merasa bahwa seluruh masyarakat yang ada di sekitar tempat tinggalnya dapat mengetahui
Subjek 3 menggambarkan akan kekhawatiran dalam beradaptasi dengan lingkungannya,
Subjek individu sudah mandiri. merasa nyaman,
137
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4 merupakan yang memang terbiasa hidup Maka ia sudah aman dan khususnya jika
Pemahaman batasan (peraturan)
berkomunikasi pada pada seluruh masyarakat awam di tempat ia berkarya.
Perasaan bebas dari takut dan cemas Kebutuhan Sayang : D-Love B-Love
Kasih Pada Subjek 1, ia sangat memaknai bagaimana memberi kasih sayang pada berbagai golongan masyarakat (BLove). Namun, tidak ada keinginan memiliki cinta yang berdasarkan pada ego-nya.
1 Kebutuhan Harga Subjek menunjukkan Diri : individu yang cukup Self-Respect dominan pada atau Respect from organisasi kelompok. Maka, Others
dan menerima ia sebagai sosok biarawati, ia merasa tidak ada kendala dengan lingkungannya.
namun ia tetap di dalam lingkungan berusaha untuk biara yang ia tinggali tetap dapat saat ini. berkomunikasi dengan masyarakat sekitar
Subjek 2 menjelaskan pada penggambaran tahapan ini bahwa ia tidak ada keinginan untuk menyayangi seseorang secara khusus, tetapi ia membuktikkannya melalui bentuk cinta agape. Pada subjek 2 pencapaiannya melalui prestasi dari kompetisi yang ia ikuti cukup tinggi yang membuat rasa
Subjek 3, terkadang masih memiliki ketertarikan pada lawan jenis. Tetapi, ia tidak melakukan hal tersebut, karena komitmennya sebagai biarawati.
Pada subjek 4, ia menggambarkan bahwa, kehidupan membiaranya sempat terjadi pasangsurut, sehingga ia pernah mengalami ketertarikan pada lawan jenis, dan sempat menjalin hubungan.
Subjek 3 menunjukkan bahwa ia adalah individu yang tidak layak dan tidak dapat untuk
Subjek 4 merupakan orang yang cukup aktif dalam berbagai kegiatan khususnya pada kegiatan sosial. Namun, subjek masih belum
138
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Kebutuhan Kognitif : Kebutuhan mendapatkan pembelajaran Potensi pengembangan pengetahuan
setiap apa yang dikatakan orangorang sekitarnya pada gaya kepemimpinan yang ia anut secara tegas, ia merasa tidak menyukainya dan selalu mengambil tindakan tegas pada kesalahan.
kepercayaan diri dan dominan didalam organisasinya tinggi pula, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh para anggotanya untuk menjadikan Subjek 2 sebagai pemimpin.
Subjek 1 merasa pendidikan formal hanyalah sebagai bentuk kewajiban yang diberikan oleh pimpinan semata. Ia tidak menunjukkan keinginan untuk mencapai pembelajaran yang lebih tinggi tingkatannya. Ia lebih fokus pada karya dan
Kebutuhan ini terpenuhi pada segi pendidikan oleh Subjek karena ia telah menyelesaikan strata satunya pada jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. Namun pada keinginan pembelajaran yang ingin ditempuh olehnya adalah masuk jurusan
menjadi seorang ketua karena kurang percaya diri serta tuntutan untuk selalu bersikap sederhana. Sebab, semua yang menjadi rutinitas kehidupan di biara sudah ditentukan oleh pimpinan pada biara tersebut. pengembangan potensi pada subjek 3 bukan sebagai dorongan atas kemauan sendiri melainkan penggambaran suatu kewajiban yang harus dilakukan. Sehingga, kemampuannya dalam pemecahan masalah masih
139
http://digilib.mercubuana.ac.id/
memiliki percaya diri dalam menjadi seorang pemimpin. Kepercayaan diri yang ia dapat lakukan hanya sebatas pada prestasi dan pengalaman diri, tetapi belum sampai pada bentuk dominan
Pada kebutuhan ini, subjek 4 menyatakan bahwa ia memiliki keinginan dalam mengembangkan potensi pengetahuannya untuk ke jenjang yang lebih tinggi tingkatannya.
pekerjaaannya daripada menginginkan untuk mengenyam pendidikan lagi.
psikologi. Karena tuntutan yang diberikan oleh biara, maka ia menaati yang menjadi keinginan dari biara. Sebagai bentuk perwujudan kaul ketaatannya.
terbilang sangat terbatas dan tergantung pada keputusan orang lain.
Kebutuhan Estetika : Subjek 1 memiliki nilai Pemahaman nilai pandangan estetika pada estetika lingkungannya sudah muncul Kemampuan kesadaran (praktek) pada seni karena akan diri setiap di Manfaat seni pada individu lingkungan tempat individu tinggalnya, yang merupakan rekanrekan di biara.
Subjek menunjukkan bahwa baik pada keindahan (estetika) maupun dalam seni dapat memberikan makna positif dan dapat menginspirasi banyak orang di sekitarnya.
Subjek 3 menjelaskan bahwa ia masih terbilang kurang puas karena lokasi biara tersebut sangat dekat dengan rumahrumah penduduk yang juga masih terbilang kumuh.
Subjek 1 berkembang dan terdorong dari pengalamanpengalaman hidup
Secara keseluruhan subjek 2 menunjukkan bahwa semua tahapan pada
Pada diri subjek Subjek 4 hanya tidak terlalu melakukan menonjol karena pengembangan dan kegiatan yang realisasi diri. Hal ini dilakukan oleh tidak terlalu identik
Aktualisasi Diri : Kebutuhan kreatif, realisasi diri, dan perkembangan diri
140
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Subjek menunjukkan ketetarikannya baik pada keindahan (estetika) maupun dalam seni.
Kebutuhan harkat kemanusiaan dalam mencapai tujuan Pemenuhan kepuasan pada diri sendiri
Transendensi Diri : Pemahaman akan perasaan manusiawi dalam berkarya sebagai rohaniwan Pemahaman makna spiritualitas yang terdapat pada individu Mengembangkan keintiman pada berbagai golongan
serta dalam pekerjaan yang sedang ia laksanakan di sekolah tersebut. Bagi subjek hal ini yang menjadi tolak ukur perkembangannya sebagai biarawati yang berkarya pada masyarakat luas. Subjek 1 menunjukkan bahwa kehidupan spiritualitas dapat diimbangi dengan pelayanannya yang merupakan pekerjaan subjek di sekolah. Subjek juga membuat pekerjaan yang ia dalami dan tekuni itu menjadi suatu bentuk kegiatan religiusitasnya sehingga dari apa
aktualisasi diri ini, ia penuhi dan lakukan. Ia menyatakan bahwa segala halnya patut merasa puas agar dalam hidup pribadinya ia dapat merasa bahagia.
subjek mayoritas hanya sebatas pada kewajiban saja, sehingga subjek tidak terlalu dapat berekspresi dan berkreasi banyak seperti layaknya orang awam lakukan
pada kreatifitasnya, namun ia mampu untuk berusaha menjadi lebih baik dan belajar dari pengalaman yang ada dan mengolahnya menjadi suatu tahap pembelajaran di masa yang akan datang.
Secara keseluruhan subjek 2 merupakan individu yang mampu untuk menyeimbangkan kebutuhan manusiawinya dengan kebutuhan spiritualitasnya, sehingga menghasilkan tindakan dalam menahan ego demi tindakan ke-Esa-an pada kehidupan membiaranya.
Kehidupan spiritualitas dan kemanusiaan yang dijalani Subjek selalu tumpangtindih. Tetapi dari itu semua, penggambaran secara keseluruhan pada Subjek adalah bersosialisasi dengan baik dan berusaha menyeimbangkan antara kesibukan-
Pada tahapan ini, subjek 4 menjelaskan bahwa gambaran kehidupan spiritualitas dan kemanusiaan yang dijalaninya berdasarkan dari komunikasi dan sosialisasi dengan berbagai golongan masyarakat.
141
http://digilib.mercubuana.ac.id/
masyarakat Berlaku sebagai motivator
yang ia dapat melalui pengalaman kehidupannya
kesibukannya dengan spiritualitas yang dimilikinya.
142
http://digilib.mercubuana.ac.id/