BAB IV HASIL PENELITIAN, ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini peneliti mencoba mengungkapkan menjelaskan dan membahas secara lebih terperinci hasil penelitian. Peneliti memaparkan hasil dari wawancara secara verbatim dan menganalisis hasil wawancara dan observasi dengan metode penelitian kualitatif yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya.
4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian Tabel 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian
Subjek YN
Subjek RS
Subjek KM
Subjek PR
Jenis Kelamin
Wanita
Wanita
Pria
Pria
Usia
21 tahun
15 tahun
18 tahun
28 tahun
Masa Perkembangan
Dewasa Awal
Remaja Madya
Remaja Akhir
Dewasa Awal
Lama Ber-crossplay
8 tahun
2 tahun
3 tahun
6 tahun
Pendidikan Terakhir
SMK
SMP
SMK
S1
Pekerjaan
Karyawan Swasta
Pelajar
Pramusaji
Karyawan Swasta
Domisili
Tangerang
Tangerang
Bekasi
Jakarta
Tinggi
170 cm
160cm
163cm
177cm
Berat Badan
50 kg
45 kg
45 kg
48 kg
Frekuensi Bercrossplay
1-2 kali / bulan
3-4 kali / bulan
3-4 kali / bulan
1-2 kali / bulan
31
4.2 Subjek YN 4.2.1 Gambaran Umum Subjek YN Dalam pembahasan ini, saya menyebut subjek yang paling lama berkecimpung di dunia crossplay dibandingkan ketiga subjek lainnya ini, yakni seorang crossplayer wanita (female to male) yang telah 8 tahun bercrossplay ini sebagai subjek YN. Subjek yang genap berusia 21 tahun pada November 2013 merupakan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan jurusan perhotelan di Tangerang sejak tahun 2010 dan sekarang bekerja di suatu perusahaan swasta sebagai receptionist. Subjek merupakan crossplayer yang sudah cukup lama bercrossplay, yakni sejak ia duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, dengan pengalaman pertamakali ber-crossplay sebagai Raito Yagami (Light/Kira) dari animasi Death Note. Dalam kehidupan sehari-harinya, subjek YN mengatakan bahwa ia selalu berpakaian layaknya wanita biasa, pergi ke kantor melakukan pekerjaan sebagai receptionist dan melakukan segala aktivitas dengan normal. Subjek melakukan crossplay hanya satu sampai dua kali dalam sebulan dalam sebuah festival budaya Jepang dan melakukan costest (cosplay testing) di rumahnya saat memiliki waktu senggang, melatih keahlian make-up nya yang sangat berguna saat subjek melakukan crossplay. Setiap harinya subjek YN yang bekerja sebagai receptionist di salah satu perusahaan swasta di Kembangan, Jakarta Barat memulai pekerjaannya sejak jam 9 pagi dan selesai pada pukul 5 sore. Subjek biasa mengenakan pakaian semi-formal wanita saat melakukan pekerjaannya tersebut.
32
Sedangkan dalam lingkup cosplay dan crossplay, subjek tidak hanya melakukan crossplay, namun juga cosplay. Kostum cosplay subjek lebih sedikit daripada kostum crossplay yang dimilikinya. Saat ber-crossplay, subjek YN cukup sering mengulang tokoh laki-laki yang sama dalam sebuah animasi yang ia kagumi atau tokoh idola, misalnya Sebastian Michaelis dari animasi Black Butler dan Saga, bassist dari band Alice Nice lebih dari sekali, tetapi dengan kostum berbeda. Sejak SD subjek sangat menyukai berbagai animasi Jepang yang ditayangkan di beberapa stasiun TV nasional, hal tersebut juga yang membuat subjek semakin tertarik untuk mengikuti berbagai festival kebudayaan Jepang yang diadakan di Jakarta dan sekitarnya sejak subjek duduk di kelas 8 bersama dengan beberapa teman satu SMP yang memiliki minat terhadap kebudayaan Jepang.
4.2.2 Observasi Terhadap Subjek YN Subjek menyetujui menjadi salah satu subjek female to male crossplayer dalam penelitian ini dan melakukan wawancara pada 16 September 2013 di sebuah snack corner di Ciledug, Tangerang Selatan. Wawancara dimulai sekitar pukul 18.30 sampai pukul 19.40. Subjek mengenakan kemeja biru tua dengan celana bahan berwarna hitam, jam tangan putih di tangan kiri dan sepatu sandal berwarna abu-abu. Subjek memiliki tubuh yang cukup tinggi sebagai wanita, yakni 170cm dan memiliki berat 50kg, dan memiliki kulit kuning langsat. Rambut berwarna cokelat gelap subjek diurai, sepanjang punggung dengan highlight
33
berwarna coklat muda dan membawa tas berukuran sedang berwarna hitam. Dalam wawancara subjek sangat bersahabat dan kooperatif dalam menjawab pertanyaan penelitian. Bahasa yang digunakan subjek mudah dimengerti oleh peneliti yang memungkinkan wawancara selesai dengan semua pertanyaan dijawab secara terbuka. Subjek hanya dapat diwawancarai secara langsung (faceto-face) satu kali, sedangkan wawancara kedua hanya dilakukan lewat telepon dan subjek menyetujui untuk tetap direkam dengan wawancara semi-terstruktur yang tercatat selama kurang lebih 38 menit pada tanggal 23 September 2013 pada pukul 19.30 hingga sekitar 20.10 dikarenakan kesibukan subjek YN dan peneliti yang sulit menemukan waktu untuk melakukan wawancara kedua secara langsung, tetapi harus digarisbawahi bahwa hampir seluruh pedoman wawancara telah dilaksanakan dan jawaban subjek dalam menjawab pertanyaan telah mewakili untuk menjawab perumusan masalah.
4.2.2 Analisis Hasil Wawancara Subjek YN a. Gambaran Komponen Body Image subjek YN Rudd &Lennon (2000) mengemukakan bahwa komponen body image meliputi dua komponen. Kedua komponen body image yang dimaksud adalah komponen perseptual (ukuran, bentuk, berat, karakteristik, gerakan, dan performansi tubuh) dan komponen sikap (apa yang kita rasakan tentang tubuh kita dan bagaimana perasaan ini mengarahkan pada tingkah laku.
34
Dalam komponen perceptual, subjek YN memaknai tubuhnya saat tidak ber-crossplay sebagai tubuh yang tinggi dan terlampau kurus bila dibandingkan dengan teman atau orang-orang yang sering berinteraksi dengannya. “eeeh.. dari segi.. oh kalo kalo saya memandang diri saya sendiri ya itu ya tinggi, jangkung, kurus, kadang terlihat ga proporsional karena terlalu kurus sih, berat badannya tidak imbang dengan tinggi badan, yang lainnya saya merasa cukup puas sih.” “Oooh.. ya karena saya sebagai wanita, saya pengen banget kalo seandainya saya jadi wanita gitu kan, saya pengen ukuran tubuh saya mengecil..hehehhe.. lebih pendek.. hehehe karena sering baca, baca komik atau iri gitu dengan karakter-karakter wanita yg imut-imut yang manismanis gitu, yah yah kalo saya jadi wanita ya pengennya jadi wanita beneran gitu lho, jadi bener-bener yang ringkih, yang dilindungi sama yg lebih besar, laki-laki yang lebih besar atau gimana gitu, karena saya tinggi saya merasa lebih cocok menjadi laki-laki.”
Sedangkan saat sedang ber-crossplay, subjek YN memiliki penilaian yang lebih positif dari penilaian positifnya tentang tubuhnya. Subjek merasa lebih cocok sebagai karakter laki-laki yang ia perankan, subjek merasa bahwa tinggi dan proporsi tubuhnya sangat mendukung dalam memakai kostum-kostum lawan jenis tersebut. “Perasaannya sih merasa bangga..hehe.. bangga, karena, hhmm.. bangganya itu karena respon orang-orang itu sesuai harapan, kadang mereka, ga ngenalin, ga bener-bener ngenalin kalo saya ini wanita, jadi kadang sampe orang-orang bilang, manggil-manggil kita pake sebutas mas, ya emang bener-bener laki-laki banget.”
Untuk komponen sikap, seperti yang dapat tersirat dari kutipan sebelumnya, subjek yang merasa bahwa tubuhnya terlalu tinggi dibandingkan
35
orang yang sering berinteraksi dengannya dan merasa lebih cocok dan puas menjadi sosok laki-laki ini lah yang membuat subjek YN melakukan crossplay, untuk membuktikan apakah benar dirinya terlihat lebih menarik apabila menjadi laki-laki. b. Gambaran Aspek-aspek Body Image Subjek YN Aspek-aspek body image yang dikemukakan Davison & McCabe (2005) mencakup 7 aspek, yaitu : physical attractiveness, body image satisfaction, body image importance, body concealment, body improvement, social physic anxiety, appearance comparison. Dalam wawancara dengan subjek YN, tersirat berbagai jawaban yang dapat mewakilkan 7 aspek body image, dalam aspek physical attractiveness, subjek YN cukup berpenampilan baik dan merasa bahwa dirinya cukup menarik saat tidak bercrossplay dan lebih menarik saat sedang ber-crossplay, tetapi keduanya tetap menunjukan gambaran yang cukup positif terhadap physical attractiveness yang dimiliki dirinya, hanya mempermasalahkan tinggi badan dan berat badannya yang dirasa kurang feminim dan lebih cocok menjadi sosok laki, seperti saat sedang bercrossplay. “Kalo tidak sedang bercrossplay ya biasa aja sih.. eeeh.. ya jadi orang biasanya aja, sedangkan kalo saat bercrossplay itu respon orang lebih positif ya,bahkan banyak yang mengininkan kalo saya itu bener-bener laki-laki.” “Eeeh.. bahkan masyarakat umum yang orang awam aja.. eeeh…suka takjub aja gitu dengan perubahan saya gitu, jadi ya sama-sama positif sih sebenernya.”
36
Dalam aspek body image satisfaction subjek YN menunjukan bahwa subjek merasa lebih puas dengan sosoknya saat sedang ber-crossplay dibandingkan dengan tidak bercrossplay. Subjek merasa bahwa tubuhnya sebagai wanita kurang proporsional karena tinggi tubuhnya yang seringkali lebih tinggi daripada banyak teman pria yang ia sukai, sedangkan saat ber-crossplay, banyak pujian yang diperoleh subjek YN dan membuatnya merasa nyaman dengan sosok laki-lakinya. “Saat bercrossplay of course..hehehe.. yaah karena saya penyuka ketampanan..hahahhaha.” “….karena kadang ada juga ada urusan cinta, laki-laki yang saya sukai mungkin lebih pendek, jadi saya suka iri dengan wanita yang lebih proporsional badannya, jadi saya sering membandingkan kalau saya tidak pantas, saya juga sering kagum dengan wanita yang imut-imu, mungilmungil, manis-manis.” “….yah kalo saya jadi wanita ya pengennya jadi wanita beneran gitu lho, jadi bener-bener yang ringkih, yang dilindungi sama yg lebih besar, lakilaki yang lebih besar atau gimana gitu, karena saya tinggi saya merasa lebih cocok menjadi laki-laki.”
Aspek Body image importance yang tersirat dari jawaban subjek YN mengenai seberapa penting penampilan tubuhnya dibandingkan aspek lain dalam hidupnya yakni bahwa subjek menganggap pekerjaan yang ia jalani merupakan hal yang lebih penting dari penampilan tubuhnya, tetapi dalam pekerjaannya sebagai receptionist yang merupakn front-officer, maka subjek menempatkan tubuhnya di posisi kedua setelah pekerjaannya. Sedangkan saat sedang bercrossplay, penampilan fisik ia rasa penting karena akan sangat mendukung dirinya dalam terus menjadi crossplayer yang akan selalu memperbaiki performasinya.
37
“Pekerjaan nomer 1 sih jelas. Pekerjaan nomor 1, fisik mungkin no.2, pekerjaan juga memerlukan fisik yang memadai sesuai dengan kebutuhan pekerjaan itu sendiri sih ya.” “Kalo sedang crossplay penting karena kita perlu membandingkan diri kita dengan crossplayer lain, agar kita bisa terus lebih baik, tidak mainmain, harus lebih baik, selalu, penting.”
Sedangkan dalam aspek body concealment, subjek YN menyatakan bahwa saat ber-crossplay lebih banyak bagian tubuh atau wajah yang ditutupi dibandingkan dengan saat tidak ber-crossplay di kesehariannya. Di kesehariannya, subjek YN hanya ‘menyembunyikan’ tinggi tubuhnya dengan lebih sering memakai sepatu flat tidak bertumit. Sedangkan dalam ber-crossplay, bagian dada dan pinggul harus dibebat, bibir memakai lipliner dan lip-concealer untuk membuat bibir menjadi lebih tipis seperti tipikal laki-laki tampan dalam komik atau animasi Jepang. “perlengkapan yang pasti alat makeup, kedua sih ya suatu bahan ya yang kita pake yah..heh..yang kita pake ya sejenis pakaian untuk menutupi kewanitaan..hehe.” “Yah kegiatannya sih kita dandan makeup, makeup yaaaah bikin semirip mungkin menyerupai laki-laki sampe orang-orang ga mengenali kalo saya beneran wanita..ehehehe..gitu.” “Eeem.. kalo dari.. dimulai dari wajah, kita mulai dari mata, karena banyak sisi-sisi gelap di mata, sepert kantung mata diakali dengan foundation, concealer, dan juga eyeshadow warna cerah, lalu di bagian bibir juga kita tambahkan foundation juga, concealer juga, bb cream juga.. yaa lalu digambar garis tipis di sudut bibir dengan lipliner, ya, gitu.”
Dalam body improvement, dalam bercrossplay dan tidak bercrossplay, subjek YN mengatakan bahwa ia tidak pernah melakukan perubahan permanen 38
apapun pada tubuhnya, hanya sekedar mengkonsumsi suplemen untuk membantu subjek YN menaikan bobot tubuhnya yang dirasa kurang dan meminum susu sapi walaupun terkadang protein susu sapi dapat menyebabkan alergi pada subjek YN yang bergolongan darah O ini. Sedangkan saat melakukan crossplay, bentuk improvement berupa penggunaan make-up lengkap dan wig dilakukan oleh subjek YN agar dapat meniru tokoh yang ia perankan dengan sempurna. “Ya mungkin saya mencoba dengan berbagai cara supaya untuk menambah berat badan, minum susu walau susu berkontraindikasi dengan tubuh saya sendiri, tapi ya mencoba yang aman-aman aja sih.” “Make-up, wig, make-up seperti tadi saya bilang, saya pakai bb cream, bedak, concealer untuk bawah mata, concealer untuk bibir, sama aja kayaknya kalo menurut saya.”
Dalam aspek social physic anxiety, subjek YN merasa bahwa tubuhnya yang lebih tinggi dibandingkan banyak laki-laki yang ia sukai dan yang sering berinteraksi dengannya, membuat subjek YN merasa bahwa dirinya lebih cocok menjadi laki-laki dan merasa akan lebih diterima kalau memiliki tubuh yang lebih pendek dan kecil layaknya sosok stereotypical wanita pada umumnya. Sedangkan saat ber-crossplay, ia mengemukakan bahwa terkadang kritik yang tidak pantas dan bersifat menjatuhkan membuatnya cukup cemas, maka dari itu ia selalu melakukan yang terbaik untuk crossplay yang ia lakukan. “….karena kadang ada juga ada urusan cinta, laki-laki yang saya sukai mungkin lebih pendek, jadi saya suka iri dengan wanita yang lebih proporsional badannya, jadi saya sering membandingkan kalau saya tidak pantas, saya juga sering kagum dengan wanita yang imut-imu, mungilmungil, manis-manis.”
39
“misalnya ada di Facebook atau banyak forum-forum dunia maya, tanpa sepengetahuan kita, diambil foto kita lalu dijadiin bahan perbincangan yang kritiknya itu pedeeesss banget ya, makanya saya selalu maksimal semoga gak ada yang kritik dengan pedes banget aja…”
Begitu pula dengan aspek appearance comparison saat sedang tidak bercrossplay, subjek YN sering membanding-bandingkan dirinya dengan wanita yang memiliki proporsi tubuh yang lebih feminim, lebih kecil dan pendek, seperti halnya yang ia telah ungkapkan yang dapat juga mencakup aspek social anxiety physic yang ia rasakan. Sedangkan dalam ber-crossplay, subjek YN merasa bahwa membandingkan diri dengan crossplayer lain yang lebih senior atau lebih berpengalaman dalam ber-crossplay untuk selalu dapat memperbaiki diri.
c. Faktor yang Mempengaruhi Body Image Subjek YN Dari berbagai jawaban dan cerita subjek YN mengenai perasaan dan persepsi terhadap tubuhnya sebagai crossplayer maupun saat sedang tidak bercrossplay, berikut adalah beberapa hal yang merupakan faktor yang mempengaruhi body image dari subjek YN, yakni ingin menyenangkan para penggemar tokoh yang ia crossplay-kan dan merasa bahwa dengan menjadi tokoh yang ia perankan sangatlah menyenangkan. “Yang paling menyenangkan itu, kita berperan sebagi tokoh itu, jadi kita bener-bener merasa kalo kita adalah dia, ya menghibur siapapun pengunjung atau siapapun yang cosplay, trus.. eeeh.. ya menghibur juga fans-fans yang suka karakter yang kita perankan, karena mereka merasa kalo mereka saat ini sedang berhadapan dengan dia.”
40
Selain itu, subjek YN yang penyuka animasi asal Jepang dan selalu mengikuti beritanya melalui internet (media massa) dan melihat banyak crossplayer asal luar negri yang menginspirasinya, ia ingin membuktikan diri dan dapat disukai banyak orang atau memiliki fans/penggemar, yang tentu saja bukan hal yang buruk. “Karena tertarik pertama kali melihat..eeh crossplayer di dari luar atau dari Indonesia, yang bener-bener menakjubkan kan, sampe kita benerbener ga tau kalo dia itu memang wanita, ya saya jadi terpacu jadi seperti itu, yah bagaimana kalau saya bisa seperti itu saya hanya ingin membuktikan perasaan aja sih, bagaimana seandainya saya bisa jadi seperti itu, mungkin banyak, jadi banyak fans juga.” “Eeeh..kalo pertama sih motivasi dari eh nonton film ya, kita menyukai karakter film itu, karena ngefans, jadi kita bener2 tau ttg karakter itu, sehingga kita pengen banget mencoba untuk jadi dia, kita memerankan se-sebagus mungkin seperti karakter yang asli.”
Lebih jauh, subjek YN juga mengungkapkan bahwa media massa juga sangat mendukung kegemarannya bercrossplay dan mempengaruhi body image nya. Gadis-gadis animasi Jepang yang biasa digambarkan kecil dan imut membuatnya lebih mengidentifikasikan dirinya ke karakter-karakter laki-laki dalam animasi karena memiliki tubuh yang tinggi seperti yang dimilikinya. Subjek YN juga berteman dengan banyak crossplayer di social media seperti Facebook yang membuatnya lebih termotivasi untuk menjadi melakukan crossplay seperti yang ia idealkan. Ia juga menyukai animasi yang lebih banyak tokoh laki-laki di dalamnya, juga yang bertemakan boy x boy seperti Sekaiichi Hatsukoi dan Junjou Romantica yang beberapa tokoh dalam animasi tersebut pernah ia crossplay-kan.
41
“Situs yang sering diikuti jelas social network ya, seperti Fb, dari situ kita banyak kenalan, kita kenal berbagai orang yang satu profesi penyuka crossplay juga, kita melihat diri dia, membandingkan diri dia dengan kita, seandainya kalau diri dia lebih bagus, kita ,kita jadi semakin termotivasi. Kalo majalah lebih banyak lebih besar ke ke online-online aja sih, liat-liat situs-situs ,mencari situs-situs yang popouler.. kalo anime.. animeee.. Amnesia, Kuroshitsuji, Sekaiichi Hatsukoi, Junjou Romantica.”
Subjek YN juga menyatakan bahwa ia merasa memiliki beberapa kemiripan karakter dengan tokoh laki-laki yang ia perankan dan memang ada sisi maskulin yang dapat ia wujudkan dengan melakukan crossplay sebagai hobby tersebut. “Selain itu sih eeh yah mau mencoba karena penasaran aja sih, bereksperimen, karena mungkin ada..hehe..ada jiwa-jiwa yang menyerupai ..hihihi ada yang menyerupai karakter tersebut atau mungkin memang kadang ada ada sisi kelaki-lakian..hehe.”
Untuk faktor keluarga, subjek YN bahwa keluarga tidak mengetahui secara spesifik tentang hobby crossplay yang ia lakukan selama ini, maka keluarga dari YN tidak pernah memberi tanggapan terhadap tubuh YN selama ber-crossplay, sedangkan saat tidak ber-crossplay, keluarga subjek tidak pernah memberi komentar atau perlakuan negative terhadap tubuh subjek YN dan menerima penampilan tubuh subjek dengan baik. “Kalo family sih karena family tidak tau..hehehe..eeeh tidak tau apa yang saya lakukan, yah, tapi mereka sedikit tau sih, dan mereka cuek-cuek aja, ga berarti mereka suka ya dan ga berarti mereka ga suka , ya jadi hanya biasa aja.”
42
Selain itu, faktor sosial juga menjadi salah satu pendukung subjek YN dalam melakukan crossplay dan mempengaruhi body image dirinya. Subjek selalu mendapat feedback yang menyenangkan saat ia sedang tidak ber-crossplay maupun sedang ber-crossplay, tetapi saat ber-crossplay subjek YN merasa lebih puas dan terpacu untuk terus menjadi lebih baik dalam melakukan crossplay. “Alhamdulillah yah selama ini selalu dinilai dengan baik, hehehehehe..eeeh yah respon mereka positif semua, jadi, itu, kenapa saya meneruskan kegiatan ini, yah jadi kalo respon diri mereka kurang baik ya saya juga harus sadar diri, setelah mendengar ucapan dari mereka, introspeksi diri, tapi selama respon mereka baik ya saya fine fine aja meneruskannya.” “Kalo sedang tidak bisa bercrossplay eeeh lumayan baik juga, baik juga, selama ini tidak ada yang mencemooh dengan fisik sih”
Untuk faktor usia, subjek YN lebih menikmati crossplay dan puas terhadap tubuhnya lebih pada
saat ia duduk di bangku SMP dibandingkan sekarang,
dikarenakan energy yang berkurang, lebih mudah lelah karena faktor pekerjaan dan sering mengalami rasa pegal pada bagian kaki saat harus mengelilingi venue dilaksanakannya festival kebudayaan Jepang, juga saat terlalu lama berjalan di perjalanan pulang-pergi ke kantor di mana subjek YN bekerja. “Saya faktor usia yang menjadi influence sih, karena faktor usia, karena badan kita semakin tua, agak sedikit kurang nyaman dengan kondisi kaki, ada rasa rasa pegal atau gimana, banyak kegiatan kegiatan yg membutuhkan tenaga ekstra, itu, terbatas.”
Dalam faktor hubungan interpersonal, dalam bercrossplay, subjek YN mengaku tidak mengikuti komunitas cosplay atau crossplay sama sekali, tetapi
43
masuk dalam komunitas pecinta budaya Jepang dan berteman dengan semua orang dalam komunitas yang kebanyakan memberi feedback positif kepadanya. “Komunitas itu sendiri sebenarnya gabung dengan cosplay, cosplay yang ada di tanah air, mau Jakarta, Bandung, untuk spesifiknya ngga ada sih komunitas crossplay, adanya cosplay, semua gabung di cosplay. Saya berteman dengan berbagai komunitas tapi tidak ikut bergabung, jadi freelance.” “Alhamdulillah yah selama ini selalu dinilai dengan baik, hehehehehe..eeeh yah respon mereka positif semua, jadi, itu, kenapa saya meneruskan kegiatan ini, yah jadi kalo respon diri mereka kurang baik ya saya juga harus sadar diri, setelah mendengar ucapan dari mereka, introspeksi diri, tapi selama respon mereka baik ya saya fine fine aja meneruskannya.”
Tetapi subjek juga menyatakan bahwa ia memiliki rasa kurang percaya diri saat berhadapan dengan laki-laki yang lebih pendek darinya di kehidupan sehariharinya dan hal tersebut mempengaruhi subjek YN dalam memandang body image dirinya.
Keluarga dan orang-orang di sekitarnya pun tidak pernah
melontarkan hal negatif terhadap penampilan fisik subjek YN saat sedang tidak ber-crossplay, di lingkungan ia tinggal, maupun di lingkungan ia bekerja. . “….karena kadang ada juga ada urusan cinta, laki-laki yang saya sukai mungkin lebih pendek, jadi saya suka iri dengan wanita yang lebih proporsional badannya, jadi saya sering membandingkan kalau saya tidak pantas, saya juga sering kagum dengan wanita yang imut-imu, mungilmungil, manis-manis.” “Kalo sedang tidak bisa bercrossplay eeeh lumayan baik juga, baik juga, selama ini tidak ada yang mencemooh dengan fisik sih.”
44
4.3 Subjek RS 4.3.1 Gambaran Umum Subjek RS Subjek RS merupakan crossplayer baru yang baru saja menyukai crossplay semenjak tahun 2011, perempuan berusia 15 tahun penyuka Vocaloid ini pertamakali bercrossplay sebagai Gakupo, salah satu icon dari aplikasi penggubah musik dari Jepang, Vocaloid. Subjek RS memiliki tinggi sekitar 160 cm dan berat 45kg. Sehari-harinya subjek RS merupakan siswi di sebuah SMP di daerah Tangerang Selatan dan mengikuti ekstrakulikuler wushu sebagai pengisi waktunya, juga melakukan crossplay untuk private photosession ataupun perlombaan di festival kebudayaan Jepang. Subjek RS merupakan anak pertama dari 2 bersaudara, adik laki-lakinya berusia 11 tahun dan bersekolah di sebuah Sekolah Dasar yang masih berada di kawasan Tangerang Selatan. Adik dari subjek RS pun seringkali bercosplay sebagai Len Kagamine yang juga merupakan icon dalam Vocaloid, menemani subjek RS ke sebuah festival budaya Jepang, meskipun kostum yang mereka pakai bukanlah dibuat sendiri, melainkan hanya membeli di sebuah situs online yang menjual berbagai kostum dan perlengkapan cosplay yang berlokasi di Bandung, Jawa Barat. Subjek RS pernah mengikuti ajang pencarian bakat berupa model-hunt di salah satu majalah khusus remaja dan memenangkan penghargaan sebagai peserta favorit melalui pemilihan yang dilakukan para juri dalam ajang tersebut yang didukung dengan voting melalui media jejaring sosial dan pengumpulan suara lewat sms dukungan terhadap finalis.
45
4.3.2. Observasi Terhadap Subjek RS Subjek RS menyetujui menjadi salah satu subjek dalam penelitian ini dan melakukan wawancara semi terstruktur pada tanggal 16 September 2013 pukul 13.30 sampai 14.15 di sebuah tempat makan di pusat perbelanjaan di daerah Bintaro. Suasana dalam observasi tidak begitu kondusif dikarenakan suara musik yang cukup bising, tetapi wawancara dapat berjalan dengan cukup efektif. Subjek RS mengenakan kaos berwarna hitam dan jaket berwarna abu-abu sebagai luaran. Rambut sebahunya diikat dan menggunakan sandal karet berwarna abu-abu. Subjek RS dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan konteks yang ditanyakan dan wawancara berjalan selama kurang lebih 45 menit. Wawancara kedua dilakukan pada 22 September 2013 di Taman Menteng di tempat dan hari yang sama dengan kedua subjek laki-laki dalam penelitian ini, yakni subjek KM dan subjek PR. Wawancara dilakukan pada sekitar pukul 09.00 sampai 09.50 dengan subjek RS ber-crossplay dengan kostum gakuran (sejenis seragam sekolah lakilaki ala Jepang) yang dimodifikasi, yang masuk ke dalam kategori original crossplay. Sebelum wawancara, subjek mengganti kostum dan memakai make-up di mobilnya, karena akan melakukan private photosession bersama kedua subjek laki-laki, yakni KM yang memakai kostum maido (seragam pelayan khas café di Jepang) dan subjek PR yang memakai seragam sailor.
46
4.3.2.1 Analisis Hasil Wawancara Subjek RS a. Gambaran Komponen Body Image Subjek RS Rudd &Lennon (2000) mengemukakan bahwa komponen body image meliputi dua komponen. Kedua komponen body image yang dimaksud adalah komponen perseptual (ukuran, bentuk, berat, karakteristik, gerakan, dan performansi tubuh) dan komponen sikap (apa yang kita rasakan tentang tubuh kita dan bagaimana perasaan ini mengarahkan pada tingkah laku Dalam konsep perceptual, subjek RS menganggap tubuhnya telah ideal sebagai crossplayer karena merasa bahwa tubuhnya ‘lurus’ dengan beberapa kali menyebutkan bahwa dada dan pinggulnya yang tidak berbentuk dan cara berjalannya serta bentuk kakinya sangat pas untuk memakai kostum laki-laki. “eeeh..kalo aku sih, kak.. ya badanku biasa aja, lurus..kutilang darat katanya mah.. hahahaha.. senengnya sih bisa pake baju cewe bisa pake baju cowo, semuanya oke oke aja sih, kak..hehe.. baju biasanya yah casual aja kak, boyish-boyish tomboy biasa aja biar enak gerak, kan tomboy juga bisa gaya kak.. swag yo! G-Dragon..Hahahaha..” Sedangkan dalam kesehariannya tanpa ber-crossplay, subjek RS tetap merasa tubuhnya dalam keadaan baik dan pantas mengenakan pakaian apapun. Sedangkan dalam komponen sikap, persepsi tubuhnya tersebut membuat subjek RS dapat mengenakan pakaian apapun dan tetap percaya diri, entah sedang menjadi ‘laki-laki’ atau menjadi dirinya. “kalo lagi nge-cross gampang jadinya kak.. engga susah.. diapa-apain juga tinggal bajunya gombrong gombrong, engga terlalu ngepas juga engga ketawan kak lagi nge-cross kak..”
47
b. Gambaran Aspek-Aspek Body Image Subjek RS Tujuh aspek body image yang akan dicocokan dengan hasil wawancara dengan subjek RS ialah aspek physical attractiveness, body image importance, body image satisfaction, body concealment, body improvement, social physic anxiety, appearance comparison.
Dalam aspek physical attractiveness, subjek RS mengakui bahwa dirinya cukup menarik dalam kesehariannya dan memiliki tubuh ideal, sama halnya dengan saat ia ber-crossplay. Tetapi RS lebih merasa menarik saat ia bercrossplay dikarenakan make-up wajah yang ia kenakan, sedangkan ia tidak diperbolehkan memakai make-up di lingkungan sekolahnya, melainkan hanya memakai bedak tabur bayi. “Aku sih ngerasanya menarik-menarik aja sih ya,kak.. cowo-cowo kelas lain juga pada suka jailin, tapi kata nyokap itu namanya caper (cari perhatian), cewe-cewe pada bilang aku cool ajah.. kalo di sekolah, aku pake jaket hoodie hoodie gitu kak, kalo gak ditegur guru piket..kalo ditegor tinggal buka susah banget..haha..” “Kalo lagi pake kostum gini, pake make-up juga, suka aja, kayak cowo cowo yaoi..hahaha.. lebih suka pas crossplay sih aku, make-up mata bikin mata tajem kan kak, kalo di sekolah kan boleh cuma pake bedak baby.. aku bawa facepaper juga sih biar ga berminyak, tapi kucel aja, crossplay gini kan lebih pede (percaya diri) kak..”
Untuk aspek body image importance, saat sedang tidak ber-crossplay, subjek RS mengatakan bahwa tentu saja penampilan tubuhnya penting, karena percaya bahwa first impression didukung dengan penampilan tubuh yang baik.
48
Begitu pula dalam ber-crossplay, karena dengan tubuh yang mendukung, akan lebih mudah menyesuaikan dengan karakter yang ia perankan dan lebih banyak fotografer festival yang meminta foto mereka. “ Kalo personally emang penting sih kak.. kan kalo pertama ketemu siapa gitu, first impression ya fisik dulu, yah jadi kita jaga badan, biar gampang berteman juga kan gitu kak, kita pede..” “ Iya penting banget kalo lagi nge-cross, biar bagus juga kalo di kamera, engga chubby, tirus, bibir segaris, sasuga (ungkapan kekaguman) lah pokoknya.. kan pada banyak yang minta foto kalo kita bagus, kita ganteng.. bishou –bishou (menyingkat kata ‘bishounen’) gitu, ada kebanggan juga ya..”
Untuk aspek body image satisfaction, saat sedang tidak bercrossplay, subjek RS merasa cukup puas dengan tubuhnya karena akan cocok memakai baju apapun yang ia ingin kenakan dan banyak yang menyukainya. Sedangkan ia merasa puas saat ber-crossplay karena make-up yang ia aplikasikan pada wajahnya dapat memuaskan imaginasinya tentang wajah yang ia impikan. “hmmm..apa ya..abisnya kalo nge-cross gini yah aku suka aja bedaknya ini nempel banget, kulit jadi lebih enak diliat, alis juga aku bikin lebih naik, mata lebih tajem, jadinya kalo ngaca yah puas ajah, kayak tokoh anime-anime gimana gitu..”
Untuk aspek body concealment, dalam bercrossplay subjek RS menyatakan bahwa ia terkadang membebat bagian dada dan pinggul, tetapi tidak selalu, karena bentuk tubuhnya yang tidak membuatnya terlihat seperti perempuan. Hanya dengan memakai kostum laki-laki yang agak lebih besar,
49
bagian dada dan pinggul dapat tersamarkan dengan mudah, serta berbagai peralatan make-up sangat membantu subjek RS saat ber-crossplay. “yaaah..aku sih sebenernya males bebat-bebat dada sama pinggul soalnya sakit juga, ribet juga, engga susah pake bebat juga udah rata sih, kak.. jarang pake bebat tapi kalo kostumnya ketat ya pake. Make-up sih udah wajib ain, soalnya itu obat ganteng, mujarab..hahahaha..”
Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari, subjek RS tidak pernah melakukan body concealment lain selain memakai bedak tabur bayi saat ke sekolah karena peraturan sekolahnya yang melarang penggunaan make-up dan perlengkapan yang mengubah tampilan seragam sekolahnya. “Kalo sekolah sih aku cuma pake bedak baby aja ya.. bawa facepaper biar engga minyakan jadi engga kucel, keringetan..engga enak soalnya kalo berminyak.. itu aja sih kak..”
Untuk aspek body improvement, subjek RS tidak pernah membuat perubahan permanen apapun pada tubuhnya selama ber-crossplay, maupun tidak bercrossplay, hanya melakukan perawatan wajah dengan krim pagi, krim malam dan toner dari dokter kulit agar kulitnya terawat walaupun sering memakai makeup tebal saat ber-crossplay. “hmmm..yaaah..aku kan emang tadinya ada jerawat kecil-kecil tapi aku ke dokter kulit di sector 9, ada krim malam, krim pagi sama toner, kulit jadi lembut, enak, kenyal-kenyal, pake make-up juga pas nge-cross abis itu bersihin, tebel sih ya, bersihin harus sih..”
Untuk aspek social physic anxiety, subjek RS merasa bahwa tubuhnya tidak memiliki masalah apapun, bahkan banyak teman perempuan sebayanya yang 50
mengatakan ingin memiliki tubuh seperti yang subjek RS miliki.Tetapi dalam bercrossplay, subjek cenderung lebih sering melakukan touch-up pada wajahnya yang telah dirias karena berpikir bahwa banyak fotografer festival (kamera kozo / kameko) yang dapat mengambil fotonya kapanpun dalam sebuah festival kebudayaan Jepang dan ia merasa harus terlihat bagus di dalam foto yang biasanya masuk ke internet tersebut. “Banyak yang bilang mau punya badan kayak aku..pake baju apa aja bagus katanya.. yah aku sih bukannya ge er, tapi Alhamdulillah sih, aku pede pede aja, ga mikir yang macem-macem..” “haduh itu kalo lagi ke matsuri yah touch-up touch-up itu harus bangeeeet.. banyak kameko di mana-mana udah kayak Tuhan ada di mana-mana..haha..yah biar di fotonya yah hmm ya bagus, nanti masuk ke blogspot yah masa gue jelek.. yah lebih stress kalo lagi nge-cross lah aku..”
Sedangkan dalam aspek appearance comparison, subjek RS mengaku bahwa ia tidak pernah membandingkan dirinya dengan orang lain secara langsung saat tidak bercrossplay, tetapi saat ber-crossplay, ia merasa perbandingan harus dilakukan agar ia tampak sesuai dengan karakter yang ia ingin bawakan. “engga sih ya, aku sih pede pede aja kak, aku sih ya jadi diri sendiri aja, pede-pede aja, ga usah banding-bandingin ke siapa gitu.. ya engga usah aja sih ya..” “kalo nge-cross gini yaah kan kita jadi cowo, yah jadi cowo yang ganteng lah..hahahhaahaha..yah maksud aku kalo jadi Gakupo ya miripin ke Gakupo, kalo jadi siapa ya dimiripin lah, kalo original gini ya jadi cowo aja..yang penting (dada) rata aja..hahhahaha..”
51
c. Gambaran Faktor-faktor yang Mempengaruhi body Image subjek RS Dalam 2 kali wawancara yang dilakukan terhadap subjek RS, berikut adalah beberapa hal yang tersirat yang dapat dijadikan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi body image subjek RS saat bercrossplay dan tidak. Untuk faktor media massa, hal ini merupakan hal yang mempengaruhi body image subjek saat sedang bercrossplay maupun tidak dengan signifikan. Subjek mengaku bahwa perpustakaan di sekolahnya memiliki banyak majalah bekas yang berisi tentang kebudayaan Jepang, juga majalah-majalah remaja putri dan beberapa komik buatan Jepang ataupun Amerika bahkan Indonesia. Sedangkan situs internet berupa sosial media dan blog yang membahas tentang cosplay juga sangat sering ia kunjungi untuk berbagi hasil photosession saat ber-crossplay, juga Youtube untuk melihat beberapa tutorial make-up ala laki-laki dalam animasi Jepang dan meningkatkan keahliannya dalam berias. “Kalo aku sih di sekolah juga ke perpus ya..anak rajin..hahahaha..yah ada manga (komik Jepang), komik X-men Marvel gitu, Wiro Sableng juga ada itu papanya Vino G.Bastian yang buat, inspirasi dari situ juga sih..” “Majalah ya.. majalah yah Animonster udah pasti, Advance kadangkadang ya iya.. majalah kayak Girlfriend juga ada tips make-up mata.. kalo website sih, kak.. aku biasa Youtube aja.. liat-liat tutorial bishounen make-up, Fb Twitter udah pasti, aku juga ada Ameblo tapi ga sering tapi yah suka aja, menginspirasi juga yah..”
Untuk faktor jenis kelamin, subjek RS yang seorang wanita ini tidak menunjukan indikasi body image yang negatif seperti dalam penelitian yang telah banyak dilakukan, bahwa wanita cenderung lebih memiliki body image yang negatif dibandingkan pria.
52
Untuk faktor usia, subjek mengaku bahwa ia merasa bahwa pada usianya yang telah menginjak 15 tahun yang merupakan masa puber, ia hanya ingin menyalurkan masa – masa peralihan tersebut ke kegiatan yang positif dan bahwa banyak dari teman sebayanya juga ber-cosplay dan ber-crossplay hanya karena penasaran bagaimana bila mereka berdandan layaknya lawan jenis dan juga merasa tertarik pada kebudayaan Jepang yang memang sedang sangat digemari di Indonesia, untuk subjek RS terutama ialah Vocaloid. Sedangkan saat tidak bercrossplay, ia merasa baik-baik saja terhadap tubuhnya dan cenderung cuek, tetapi masih tetap melakukan perawatan sehari-hari yang dibutuhkan. “Yah menurut aku sih kan aku juga udah ikut wushu ya.. kan wajib 1 ekskul, abis itu yah engga ada kerjaan, temenku sih ada yang suka pada ikutan dibonceng cowonya trek-trekkan, tapi kan alay sih ya..hahahah..yah aku masih mending deh cosplay cosplay, nge-cross, masih positif, penasaran juga.. terus kan emang lagi banyak yang kosu Vocaloid sih ya.. aku suka Gakupo sih ya..” “engga gimana-gimana juga sih,kak.. yah biasa aja.. cuek aja, jadi diri sendiri aja tapi yah jangan sampe dekil kucel juga, mau dibilang gembel apa, hahahha..yah yang normal aja, mandi, pake krim, lotion, udah.”
Untuk faktor keluarga, subjek RS mengaku bahwa ibunya yang baru berusia 40 tahun sangat mendukung kegiatannya ber-crossplay atau apapun yang RS lakukan dan ayahnya terbiasa setuju dengan apapun yang ibunya setujui dan ibunya berpendapat bahwa crossplay merupakan kegiatan yang wajar dan sesekali boleh dilakukan oleh RS, tetapi adik RS yang laki-laki tidak diperbolehkan melakukan crossplay layaknya subjek RS. “yah..mamaku support support aja.. aku juga suka nitip-nitip bedak, concealer, foundation ke mama, mama juga anterin aku sama ade ke
53
Gambir pas dia jadi Len, aku jadi Gakupo, asal jangan adeku jadi Rin (tokoh perempuan dalam Vocaloid) aja..hahahahha..” “Papaku sih ya.. gimana ya.. apa kata nyokap yah papaku nurut aja..” “Mama sih dukung aja, ga pernah complain, dimasakin apa aja ya aku makan, aku nambah gendut dikit juga katanya gapapa, jadi diri sendiri aja, cuek aja katanya..”
Untuk faktor interpersonal, subjek RS mengaku bahwa saat sedang tidak ber-crossplay, pujian-pujian teman-temannya terhadap tubuhnya yang terlihat proporsional dan memungkinkannya bergerak dengan bebas membuatnya memiliki rasa percaya diri yang tinggi terhadap bagaimana penampilannya di hadapan orang banyak, sedangkan saat ber-crossplay, kritikan dalam media sosial cukup membuatnya kecil hati, tetapi banyak juga pujian yang datang kepadanya atas crossplay yang ia lakukan, hal itu membuatnya semakin menyukai penampilan fisiknya saat bercrossplay berbagai tokoh laki dalam festival budaya Jepang yang ia datangi, private photosession ataupun hanya sekedar cosplay testing. “….iya sih kak, yah yang kayak aku bilang, pada suka liat aku badan kecil, kalo olahraga lincah keliatannya, dibilang bola bekel..hahaha..” “….kalo kritikan di ameblo atau facebook atau blog aku yah bikin down sih kak, tapi kan banyak juga yang muji, minta foto bareng, blablabla tapi ya gitu pokoknya, jadi pede aja, mereka cuma berani bashing di dunia maya aja kayaknya, chicken lah kak…”
Sedangkan faktor yang membuat subjek RS melakukan crossplay ialah rasa penasaran dan merasa bahwa tokoh Vocaloid sangat menarik dan menyukai tokoh Gakupo yang ia crossplay-kan, walaupun ia tidak membuat kostumnya
54
sendiri,
melainkan
memesan
pada
onlineshop
yang
menjual
berbagai
perlengkapan cosplay, serta menyukai foto-fotonya saat ber-crossplay serta dapat mewujudkan tokoh Gakupo ke kenyataan melalui tubuhnya. “yaaah..awalnya sih aku liat ke blognya kameko yang lumayan terkenal lah ya, terus Pinky Lu Xun sama Orochi X, Shinji X, Endless Illusion (cosplayer yang terkenal di Indonesia) pokoknya lagi kosuin, yah tertarik aja.. udah gitu kan di olshop kan lagi diskon kostum-kostum Vocaloid, Gakupo diskon, Len diskon, Rin diskon, hampir semua sih.. terus juga..yaaah..suka foto-foto juga, udah gitu kan aku juga merasa Gakupo ada di diriku gitu deh, kak..cieeee..hahahaha”
4.3 Subjek KM
4.3.1 Gambaran Umum Subjek KM
Subjek KM merupakan subjek pertama yang menyetujui untuk menjadi salah satu subjek dalam penelitian kualitatif ini. Laki-laki yang berusia 18 tahun yang telah berprofesi sebagai pramuniaga makanan cepat saji segera setelah lulus dari SMK di Bekasi ini melakukan crossplay sejak tahun 2009. Sejak awal hingga saat ini subjek melakukan crossplay sebagai kegiatan lainnya selain bekerja, sebagai hobby karena banyaknya apresiasi dari para pecinta budaya Jepang yang memang menganggap bahwa crossdressing merupakan hal yang sangat menarik, terutama bagi para fans wanita yang menyukai keindahan. Subjek merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Dua kakak subjek adalah 2 wanita yang telah bekerja dan menikah, kedua kakak subjek sering membantu keuangan subjek yang masih tinggal bersama ibunya, sedangakan ayah subjek telah meninggal
55
dunia sejak tahun 2003 silam akibat menderita sakit paru-paru. Walaupun pertanyaan sangat sensitive, tetapi subjek sempat menjelaskan bahwa uang yang ia terima dari bekerja memang hanya digunakan untuk makan dan keperluan seharihari dan hobby-nya, yakni crossplay, tanpa membuat perencanaan keuangan untuk masa mendatang. Subjek KM merasa bahwa ia memiliki tubuh yang dapat dikategorikan kecil sebagai pria, karenanya subjek KM pernah mengikuti beberapa kelas latihan angkat beban untuk menambah bobot tubuh dan membentuk tubuhnya. Subjek KM mengakui bahwa setelah melalui 3 bulan latihan otot tangan dan perut subjek KM muncul dan terbentuk dengan sesuai harapannya, tetapi karena kesibukannya yang tidak memungkinkan subjek KM untuk terus melakukan latihan angkat beban, otot yang telah ia hasilkan dalam latihan tersebut perlahan hilang dan membuatnya kecewa dan membuat subjek KM menghindari dan tidak berniat untuk melakukan latihan angkat beban lagi. Setelahnya subjek KM membiarkan tubuhnya kembali terlihat kecil dan feminim karena lebih merasakan kekecewaan saat mendapatkan tubuh maskulin yang menurutnya hanya sementara dan sangat sulit mendapatkannya. Hal tersebut membuat subjek KM menjadi semakin mendalami crossplay dan seni berdandan ala bishounen atau shota. 4.3.2 Observasi Terhadap Subjek KM Wawancara semi terstruktur disetujui oleh subjek dan dilakukan pada tanggal 17 September 2013 pada pukul 08.30 – 09.25 di sebuah pusat perbelanjaan di daerah Senen, Jakarta Pusat, dikarenakan subjek sedang berada di rumah temannya yang berada di daerah tersebut sejak Senin malam. Saat 56
wawancara berlangsung, subjek mengenakan baju lengan panjang berbahan katun berwarna biru bergambar icon Mickey Mouse di tengahnya, celana denim biru sepanjang lutut dan sandal jepit berwarna biru tua. Rambut subjek memiliki potongan pendek laki-laki, berwarna hitam dan dengan poni yang terpotong tidak teratur. Selama wawancara, subjek menyilangkan kaki kiri ke atas kanannya, setting tempat duduk subjek dan penulis adalah duduk sejajar dan tidak saling berhadapan. Subjek lebih sering melihat ke arah bawah dan memandang lurus ke depan dan jarang melakukan kontak mata dengan penulis. Subjek seringkali menggosok bagian dagu dan hidungnya selama wawancara berlangsung, tetapi cukup dapat dengan jelas menangkap pertanyaan yang diberikan penulis. Wawancara kedua dilakukan pada 22 September 2013 di Taman Menteng di tempat dan hari yang sama dengan subjek RS dan subjek PR. Wawancara dilakukan pada sekitar pukul 10.00 sampai 10.50 dengan subjek KM bercrossplay dengan sailor ala siswi sekolah menengah atas di Jepang dan memakai wig berwarna oranye sepanjang bahu berpotongan layerer, yang masuk ke dalam kategori original crossplay. Peneliti sebelumnya meminta semua subjek yang datang ke private photosession di Taman Menteng untuk menggunakan kostum yang tidak ikonik, yakni original, agar tidak mudah dicari identitas sesungguhnya dari subjek oleh para pembaca karya ilmiah ini.
57
4.3.2 Analisis Hasil Wawancara Subjek KM a. Gambaran Komponen Body Image Subjek KM Rudd &Lennon (2000) mengemukakan bahwa komponen body image meliputi dua komponen. Kedua komponen body image yang dimaksud adalah komponen perseptual (ukuran, bentuk, berat, karakteristik, gerakan, dan performansi tubuh) dan komponen sikap (apa yang kita rasakan tentang tubuh kita dan bagaimana perasaan ini mengarahkan pada tingkah laku. Untuk komponen perceptual, secara tersirat subjek KM mengungkapkan bahwa saat tidak bercrossplay subjek merasa bahwa dirinya terlalu pendek untuk ukuran laki-laki yang telah lulus SMK dan mencari pekerjaan merupakan hal yang sulit baginya. Tingginya yang 163cm sebagai laki-laki berusia 18 tahun dirasa subjek KM tidak cukup untuk mencari pekerjaan yang layak, tetapi akhirnya ia dapat diterima di perkerjaannya yang sekarang menjadi pelayan restoran siap saji karena bantuan teman ibunya. Sedangkan saat ber-crossplay, subjek KM merasa sangat mendalami perannya sebagai wanita dan lebih bahagia terhadap tubuhnya yang sebanding dengan perannya, menurutnya. “Gimana ya.. yah sebenernya gw udah puji Tuhan segini tapi yah 163 mau kerja apa? Mau dapet cewe gimana? yang lebih kakkoi banyak kan.. Tapi temen nyokap gw masukin ke KFC yah lumayan bisa buat jajan sehari-hari aja, tapi kalo soal cewe ga ada yang bantuin..haha..” “Kalo lagi nge-cross gini yah berasa pas aja, berasa ada yang lindungin, ada yang jaga, dan gw baik-baik aja karena ya gw kan lagi jadi cewe, cewe emang harus dilindungin dan ga perlu kuat-kuat amat juga..”
58
Untuk komponen sikap, subjek KM melakukan crossplay karena persepsinya terhadap tubuhnya yang ia rasa dapat memenuhi kriteria tokoh wanita yang ia perankan. Pertama kali subjek KM ber-crossplay menjadi Kairi dari permainan video asal Jepang, Kingdom Hearts. Pertamakali ia meminjam kostum tersebut dari teman wanita yang ia temui di komunitas cosplay lewat social media, untuk sekedar mengisi waktu luang, saat teman wanitanya itu melakukan crossplay menjadi Sora, dari game yang sama. Sedangkan saat tidak ber-crossplay, subjek KM merasa bersalah kepada ibunya dan kakak-kakaknya, setidaknya jika ia lebih terlihat laki-laki, ia akan dapat lebih berguna bagi keluarganya, tetapi subjek KM belum pernah mencoba menambah tinggi atau hal apapun yang dapat mengubah persepsinya terhadap tubuhnya. “Yah gimana ya.. hubungannya ya badan gue shota (kecil) makanya gue disuruh Tania jadi Kairi, yah Tania juga kecil tapi dia pengen aja jadi Sora, gw sih suka-suka aja, banyak yang bilang gw moe (imut), cewe juga pada minta foto, banyak kenalan, banyak yang kagum lah bahasanya ngefans..ha.ha.” “Kalo badan gini sih biarpun gw paling bontot istilahnya, gw juga anak laki-laki satu-satunya nyokap gw, tapi yah mereka juga ga pernah masalahin yah, kan ibu gw juga yang nurunin pendeknya, gw juga jarang minum susu pas masih kecil, ga masalah banget sih, gw enjoy aja.”
b. Gambaran Aspek-Aspek Body Image Subjek KM Tujuh aspek body image yang akan dicocokan dengan hasil wawancara dengan subjek RS ialah aspek physical attractiveness, body image importance, body image satisfaction, body concealment, body improvement, social physic anxiety, appearance comparison.
59
Untuk physical attractiveness, saat tidak bercrossplay, subjek KM merasa bahwa dirinya tidak cukup menarik bagi lawan jenis dikarenakan banyak dari wanita yang ia sukai bertubuh lebih besar darinya. Sedangkan saat bercrossplay, subjek KM merasa bahwa dirinya nyaman dan merasa telah berperan dengan benar, sesuai dengan tuntutan gender tokoh yang ia perankan, yakni tokoh wanita yang bertubuh kecil seperti tubuhnya. “Kalo lagi crossing gini sih lebih enak ya, lebih sesuai sama hati dan pikiran gw, pas jadi Kirito banyak yang puji, tapi pas jadi Asuna lebih banyak lagi yang muji..haha..malah ga boleh mau ke kamar ganti cowo gw..haha..” “Kalo lagi berpakaian sehari-hari kurang sreg aja ya, tapi kan ada istilah cowo cantik, bishounen jadi ada sedikit hiburan..hehe..”
Untuk aspek body image importance, subjek KM merasa bahwa penampilan fisik sangatlah penting entah dalam mendapatkan pekerjaan dan untuk membangun relasi yang baik dengan lingkungan sekitarnya. Subjek KM merasa bahwa saat ber-crossplay penampilan fisik sangat menunjang bagaimana ia membawakan seorang tokoh dengan sempurna, sedangkan saat tidak ber-crossplay, ia merasa bahwa dengan fisik sangat penting untuk dapat berinteraksi sosial dengan percaya diri. “Hmmm..penting sih ya, karena..eh..karena yah kalau kulit kita bagus, fisik kita bagus, karena kalo cosplaykan ya, yang kita peranin itu kartun, sempurna fisiknya lah ya, jadi penting lah..” “…Penting soalnya..penting ya karena kalo fisik kita menunjang, banyak orang suka, banyak orang menghargai, kalopun ga punya uang, kalo fisik oke, biasanya temen juga banyak, banyak yang mau bantu, banyak yang simpatik sama kita…”
60
Untuk body concealment, saat bercrossplay, karena subjek KM memerankan male-to-female, maka ia tidak melakukan concealment apapun pada tubuhnya, hanya pada wajahnya, yakni memakai make-up bertema lebih fenimim, menutup beberapa luka bekas jerawat pada pipi dan dagunya. Sedangkan saat tidak bercrossplay, subjek KM mengaku tidak melakukan concealment apapun pada tubuh dan wajahnya. “…Hmm..gimana yah..kalo badan ga ada penutupan apa-apa, malah ditambah malah kan di bagian dada, kalo penutupan paling wajah kali ya, kan bedak, makeup makeup aja buat nutup bekas jerawat di sini, di dagu, susah ilang sih kalo bekas jerawat, masa Asuna jerawatan,haha…” “Kalo gini ga ada penutupan apa-apa, jadi diri sendiri aja, yah biasa aja lah ya, kalo kerja pake bedak nanti gw dibilang boyband..”
Untuk body image satisfaction, subjek KM merasa kurang puas dalam kehidupan sehari-harinya dibandingkan saat ber-crossplay, masalah subjek KM masih seputar tinggi badannya dan lebar bahunya yang ia rasa kurang sesuai dengan tuntutan masyarakat terhadap sosok laki-laki. Sedangkan dalam ber-crossplay kepuasan yang lebih ia dapatkan karena merasa sangat cocok dengan tokoh-tokoh wanita yang ia perankan, mendapat banyak pujian karenanya, bahkan sampai tidak dikenali sebagai laki-laki saat ingin memasuki toilet. “Hmm.. yah kayak tadi gw bilang aja sih, masalah tinggi kurang, masalah bahu, kurang, kurang laki aja kalo menurut gw, lebih cocok jadi loli..hahaha..” “..yah kalo lagi crossing lebih puas aja, lebih cocok aja, banyak yang minta foto bareng, banyak yang bilang kawaii, moe, loli. Malah gw ga boleh masuk toilet cowo kan, udah gw ceritain kan…”
61
Untuk body improvement, saat ber-crossplay, subjek KM tidak melakukan perubahan permanen pada tubuhnya, hanya sekedar menambah volume di bagian dada agar lebih tampak seperti wanita sungguhan dan hanya mengenakan make-up pada wajahnya, karena kulit tubuhnya sendiri sudah menyerupai kulit wanita yang umumnya halus dan tanpa bulu. Sedangkan saat tidak bercrossplay, subjek KM hanya pernah mencoba latihan mengangkat beban agar lengannya lebih maskulin, tetapi berhenti karena tubuhnya tidak perubahan yang berarti. “..kalo itu cuma make-up aja sih ya, kan ya, kayak yang gw bilang tadi aja..kalo pake anion pemutih-pemutih instan gitu engga sih ya, gw emang dari sononya gini, emang kayak cici cici gw aja…” “hmmm..sebenernya gw pernah biar agak berisi, biar agak cowok, udah kebentuk otot tangan gw, tapi yah ototnya ilang lagi pas gw udah ga weightlifting, emang badan gw kecil dari sononya kali…”
Untuk social physic anxiety, subjek merasakan adanya tekanan sosial untuk berpenampilan baik dan menarik entah dalam kehidupan sehari-hari maupun saat bercrossplay. Karena menurutnya penampilan yang baik akan menunjang keberhasilan seseorang dalam membangun relasi dengan lingkungan sosialnya. “yah pasti kecemasana ada lah ya, misalnya gw aja kerja perlu ada orang dalem buat masukin gara-gara tinggi pada kurang padahal kalo lulusan SMA tinggi badan penting, cewek juga biasanya sukanya cowo yang keliatannya bisa ngelindungin dia, padahal yang pendek mungkin juga lebih bisa ngelindungin, tapi emang adanya begitu, masyarakatnya, menilainya…” “engga juga sih, tapi maksudnya kan kalo misalnya ada kameko atau ada yang minta foto, terus fotonya di-tag ke Fb trus keliatan jelek, pundung juga..haha..yah gitu deh..”
62
Untuk social comparison, subjek KM lebih memilih untuk tidak membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain, tetapi secara tidak sadar hal tersebut pasti akan dilakukannya. Tetapi saat ber-crossplay subjek KM lebih merasa leluasa karena banyak crossplayer male-to-female yang kulitnya tidak sebaik dirinya, bahkan cosplayer wanita pun banyak yang merasa iri pada kulitnya. “hmmm..yah bukan gimana, tapi, yah, ga perlu banding-bandingin juga, ga pernah banding-bandingin, tapi, mungkin kalo cowo yang lebih tinggi biasanya lebih banyak yang suka, lebih banyak luck-nya aja ya..” “…haha..yah kalo mau dibandingin sih ada juga yang katanya dia ada bulu kaki, gw gak ada, kulit gw mulus..haha..pada mau kayak gw kalo yang cewe-cewe sih.. makanya kan gw dibilang shota (*tipikal laki-laki pendek yang terlihat menggemaskan), cocoknya jadi loli(*tipikal wanita mungil)..”
c. Gambaran Faktor-faktor yang Mempengaruhi body Image subjek KM Dalam 2 kali wawancara yang dilakukan terhadap subjek KM, berikut adalah beberapa hal yang tersirat yang dapat dijadikan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi body image subjek KM saat bercrossplay dan tidak. Untuk media massa, subjek KM merasa bahwa hal yang paling mempengaruhi body image-nya dalam ber-crossplay ialah media, seperti situs internet, entah saat ia mengunduh animasi Jepang favoritnya atau mencari informasi tentang kejuaraan cosplay atau gathering atau festival kebudayaan Jepang. Subjek KM merasa bahwa dalam animasi-animasi yang ditontonnya, ia lebih menyukai mendalami karakter seorang tokoh wanita karena merasa tokoh
63
tersebut mirip dengan dirinya. Sedangkan saat tidak ber-crossplay, media juga membuatnya cukup frustrasi karena membandingkan dirinya dengan stereotype laki-laki yang maskulin, yang popular di Indonesia, tidak seperti di Jepang, di mana laki-laki cantik sangat disukai. “kalo untuk cosplay yang paling paling paling berpengaruh ya media, soalnya kan gw ngikutin macem-macem ya, ngikutin banyak lah ya website macem-macem, download-download juga kan dari internet, dari Fb juga kan Twitter, Kaskus event-event sama matsuri taunya kan dari situ, selain temen broadcast BBM, SMS, banyak lah ya.. “ “…dari anime yang kita tonton juga kan kita terinspirasi, misalnya, Sword Art Online, kalo yang paling update. Games juga sih, games keluaran Square Enix, yang bagus design bajunya, cewe-cewenya loli kayak gw..hehe…” “hmm..yah media juga sih ya yang bikin ga pede sama badan, liat aja cowo-cowo di catalog produk MLM lah, iklan parfum di TV lah, apa lah, berotot semua, kalo di Jepang kan ada lah otomen, bishounen, shota, kalo gw di real life ya gini, Indonesia gitu..”
Untuk faktor keluarga, subjek KM menuturkan bahwa keluarganya tidak mengetahui kegemarannya dalam ber-crossplay, jadi tidak mempengaruhi body image-nya saat ber-crossplay, karena ia selalu berhati-hati agar aksesoris crossplay yang ia gunakan tidak terlihat jelas dalam kamarnya dan seringkali kostumnya hanyalah pinjaman dari seorang teman dan beberapa kali subjek KM menjual kembali kostumnya ke beberapa toko untuk para penggemar cosplay atau dijual secara online. Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari, keluarganya selalu mendukung dan tidak pernah mengatakan dirinya pendek atau hal-hal yang tidak enak didengar.
64
“..nyokap, kakak, yah cici-cici gw lah ya, engga pernah yang kayak ga nerima atau gimana sih, cuma yah dimasukin kerja sama nyokap, temennya, agak susah kalo kurang tingginya, tapi didukung ya, tetap..”
Untuk faktor sosial, subjek KM merasa bahwa citra tubuh dirinya dipengaruhi juga oleh beberapa ‘reinforcement’ yang ditujukan orang lain kepadanya, entah yang bersifat pujian atau saat ia melakukan ‘social comparison’ yang tidak direncanakan. KM merasa bahwa saat ber-crossplay dan memiliki banyak teman yang mengerti dirinya dan bahkan memuji fisiknya yang menyerupai wanita, rasa percaya dirinya meningkat dan menghasilkan citra tubuh yang lebih positif. Sedangkan saat tidak ber-crossplay, subjek KM seringkali merasa terintimidasi oleh sosok-sosok laki-laki yang lebih terlihat maskulin dan ‘normal’ menurutnya, yang membuat rasa percaya dirinya berkurang dan citra tubuhnya menjadi negatif.
4.5. Subjek PR 4.5.1 Gambaran Umum Subjek PR Subjek PR merupakan crossplayer yang melakoni peran wanita dengan jenis kelamin aslinya yang merupakan laki-laki, yang biasa disebut male-tofemale crossplayer. Subjek PR sudah cukup lama masuk ke dalam dunia cosplay dan crossplay, yakni sejak ia berusia 19 tahun hingga sekarang berusia tahun, lebih mengkhususkan diri untuk melakukan crossplay, karena animo dan apresiasi penggemar budaya Jepang yang lebih banyak saat ia memerankan peran dari
65
tokoh dengan jenis kelamin berbeda tersebut. Subjek KM mulai melakukan cosplay sejak tahun 2004 dan crossplay sejak tahun 2005 pada sebuah acara tahunan yang biasa diadakan majalah Animonster (sekarang berubah nama menjadi Animonstar), menjadi Nico Robin, salah satu tokoh dari animasi One Piece. Subjek PR merupakan anak pertama dari 2 bersaudara, dengan adik perempuannya sebagai si bungsu. Saat ini subjek PR merupakan karyawan swasta yang bergerak pada bidang perbankan dan merupakan lulusan Strata 1 dari salah satu Universitas swasta ternama daerah S.Parman, di Jakarta Barat. Untuk menjadi seorang male-to-female crossplayer, subjek PR memiliki tubuh yang cukup tinggi, yakni 176cm dengan barat badan sekitar 48kg, tubuhnya terlihat sangat menyerupai tubuh wanita dengan bahu yang tidak selebar pria umumnya, dengan tinggi yang dimilikinya. Subjek PR mengaku bahwa ia sangat tertarik dengan seni berdandan ala wanita, ia mengaku bahwa ia telah mencoba berbagai macam make-up local dan internasional untuk memenuhi rasa cintanya terhadap seni berhias. Subjek PR mengatakan bahwa hal yang paling sulit dan yang paling ia sukai secara bersamaan ialah bagaimana dirinya menggunaka bulu mata palsu hingga 5 lapis, sedangkan pada casual-look hanya 2 lapis dan selalu bertahan lama, bahkan banyak cosplayer wanita yang meminta bantuannya yang sangat lihat dalam menangani bulu mata palsu yang dirasakan kebanyakan wanita sebagai momok yang menakutkan saat bulu mata tersebut terlepas tiba-tiba dan membuat bentuk mata asli mereka terlihat.
66
4.5.2 Observasi Terhadap Subjek PR Pada saat wawancara pertama, subjek PR meminta bertemu di sebuah pusat perbelanjaan di daerah S.Parman, Jakarta Barat sepulang ia kerja, sekitar pukul 19.00, wawancara semi terstruktur dimulai sekitar pukul 19.45 sampai pukul 20.40 di sebuah foodcourt di tempat perbelanjaan tersebut. Subjek PR memakai kemeja hitam lengan panjang tanpa motif dan celana kain tanpa motif berwarna coklat. Rambut subjek PR berwarna hitam dan terpotong rapi, ala lakilaki pada umumnya, subjek PR mengaku bahwa peraturan institusi tempatnya . Pada saat wawancara, subjek menjawab dengan samasekali tidak menunjukan tanda-tanda kegugupan sambil menyantap makanan yang telah ia pesan sebelumnya, dikarenakan subjek PR belum menyantap makanan sejak makan siang, maka kondisi tersebut saya mungkinkan untuk tetap melakukan wawancara karena waktu yang terbatas. Wawancara kedua dilakukan di Taman Menteng bersamaan hari dengan kedua subjek lainnya, yakni subjek KM dan RS. Wawancara subjek PR dilakukan saat paling akhir, setelah subjek RS dan KM, yakni dimulai sekitar pukul 13.00 hingga 13.55 seusai makan siang bersama ketiga subjek. Subjek PR memakai kostum maid (pelayan khas Barat) yang biasa digunakan para pelayan khusus maid café di Jepang bernuansa merah muda dan coklat, memakai wig berwarna pirang dengan panjang melebihi pinggang yang diikat dua dan aksesoris pelengkap berupa hiasan kepala corsage berbentuk pita. Subjek PR seperti dalam wawancara sebelumnya, tidak menunjukan tanda kegugupan dan menjawab semua pertanyaa dengan santai dengan menggunakan bahasa yang cukup baku.
67
4.5.3 Hasil Analisis Wawancara Subjek PR a. Gambaran Komponen Body Image Subjek PR Rudd &Lennon (2000) mengemukakan bahwa komponen body image meliputi dua komponen. Kedua komponen body image yang dimaksud adalah komponen perseptual (ukuran, bentuk, berat, karakteristik, gerakan, dan performansi tubuh) dan komponen sikap (apa yang kita rasakan tentang tubuh kita dan bagaimana perasaan ini mengarahkan pada tingkah laku. Untuk komponen perceptual, saat sedang tidak ber-crossplay, subjek PR mengemukakan bahwa ia berpikir bahwa ukuran tubuhnya telah sesuai bagi ukuran tubuh laki-laki pada umumnya dengan tinggi 177cm, berat 48kg, kaki yang cukup jenjang, tubuh yang dapat bergerak dengan luwes dan memberi kesan bahwa ia adalah pribadi yang hangat pada usianya yang menginjak 28 tahun. Sedangkan saat sedang bercrossplay ia hanya menambahkan bahwa bentuk tubuhnya menjadi lebih sesuai karena ada tambahan pada bagian dada dan pinggulnya, juga make-up yang membuatnya merasa lebih puas dengan apa yang ia lakukan. “Ya, tinggi 177, atau 175 ke atas lah ya, berat kira-kira 48-49-50 segitu gitu aja, kaki lumayan lah ya good looking kakinya..hehe..umur segini juga aktif sih ya, jadi tubuh saya baik-baik aja lah ya..” “Yah, sumpel dada buat fake-boobs, pinggul pake bebat biar lebih berbentuk, make-up, bulu mata palsu, lebih cantik, lebih cocok memerankan wanita sih ya, model-model perempuan juga rata-rata tingginya seperti saya 175 ke atas, entah kenapa pundak mereka lebih lebar ya dari saya.”
68
Untuk komponen sikap, saat tidak ber-crossplay, subjek PR mengaku bahwa ia cukup menyukai dan puas dengan penampilan tubuhnya dan percaya diri dalam setiap hal yang ia lakukan juga didukung dengan penampilannya yang menarik, karena ia cukup merasa kurang percaya diri saat mengalami masalah pada kulit wajahnya saat masa pubertas. Sedangkan saat ber-crossplay, ia merasa puas dengan tubuhnya sebagai karya seni, bukan sebagai dirinya sendiri, subjek PR merasa bahwa dirinya hanyalah seorang seniman yang menjadikan tubuhnya dan kostum buatan sebagai karya seni, sedangkan dirinya sendiri masih orang yang sama, yang puas akan dirinya. “Saya percaya diri aja dengan tubuh saya, kalo kita percaya diri, aura kita keluar, dari situ orang-orang akan melihat hal yang sama, jadi percaya diri aja, tapi juga tetap menjaga tubuh misalnya makan sayuran dan buah yang banyak, penampilan juga pengaruh ke hubungan sosial kita kalo menurut saya soalnya ya..” “Crossplay ya crossplay, saya merasa cantik kalo lagi cross ya..percaya diri itu udah pasti karena itu buat aura kita keluar. Itu karya seni kalo saya lagi crossing, bukan diri saya sendiri, tapi saya tetap menikmati, ngaca liat cermin jadi ada perasaan puas, di event-event banyak yang minta foto, kenalan juga bertambah, koneksi bisnis juga bisa dari crossplay kalo kamu mau tau ya..”
b. Gambaran Aspek-aspek Body Image pada subjek PR
Tujuh aspek body image yang akan dicocokan dengan hasil wawancara dengan subjek PR ialah aspek physical attractiveness, body image importance, body image satisfaction, body concealment, body improvement, social physic anxiety, appearance comparison.
69
Dalam aspek physical attractiveness, subjek PR merasa bahwa dirinya cukup menarik baik dalam ber-crossplay maupun tidak. Subjek PR merasa bahwa dengan mindset yang positif tentang penampilannya, ia akan merasa lebih percaya diri, maka dia merasa dirinya cukup menarik dengan proporsi tubuh yang ia rasa cukup dengan ekspekstasi masyarakat tentang penampilan yang ideal. “Kalo saya sih ya, ya menurut saya cukup menarik kalo lagi nge-cross atatupun engga ya, ga pernah ada tanggapan negative atau gimanagimana dan saya pede-pede (percaya diri) aja, jadi kalo kita mikir positif, auranya juga keluar.” “Hmmm..kalo lagi nge-cross gini malah lebih menarik kan ya..haha..punya boobs (*payudara), rambut panjang, bulu mata, yah lebih merasa menarik sih ya saya..kalo bisa saya nikah sama diri sendiri ya saya nikah sama diri saya sendiri..haha..” Untuk aspek body image importance, secara tersirat subjek PR mengungkapkan bahwa penampilan tubuh yang baik sangatlah penting untuk menunjang dirinya dalam karir, berhubungan sosial dan menjaga rasa percaya dirinya, saat ber-crossplay maupun tidak. “Penampilan itu lumayan penting kalo menurut saya, dari SMP juga saya pernah ada jerawat, jadi rada ga pede sih ya, akhirnya dibawa sama ibu saya ke klinik kulit, yah dari situ saya belajar aja kalo emang ga jelek kasarnya ya, jadi lebih hidup aja ya, lebih percaya diri aja sih ya, penampilan menunjang percaya diri lah ya, penting menurut saya sih..” “Hmm..pake kostum ga pake kostum sama aja sih, tetap penting, sama sih kayak coser-coser lainnya juga, kan kita ga pernah tau kapan kameko moto-moto, setidaknya saya mau kelihatan bagus dan total saat bercosplay, bercrossplay juga, yah total..”
Untuk aspek body image satisfaction, subjek PR mengungkapkan bahwa ia lebih menikmati dan puas saat ia melakukan crossplay, karena merasa bahwa
70
tubuhnya dapat ia gunakan untuk media seni dan saat menikmati saat bercermin dalam balutan kostum lawan jenisnya tersebut. Sedangkan dalam tidak bercrossplay, subjek PR merasa bahwa bagian bahunya kurang lebar sebagai lakilaki, karena kekasih wanita memiliki bahu yang sama lebarnya dengannya, walaupun kekasihnya lebih pendek darinya. “yah puas-puas aja, hahaha..lebih menikmati karya seni saya sendiri, tubuh saya saya jadiin kanvas, makeup, pakai kostum juga buat sendiri saya kostumnya, kalo ngaca itu kepuasan saya puas banget sama apa yang saya liat di kaca, cantik ya saya..” “yah puas-puas aja, saya cuma apaaa yaaa, ya mungkin puas kayak yang saya bilang, percaya diri aja jadi aura keluar, tapi ada sedikit ganjal sih yah, misalnya pundak saya dengan pundak cewe saya lebarnya sama gitu, kalo foto ga sampai kaki, atau duduk, saya keliatan pendek, tapi kalau saya foto berdiri baru orang tau saya tinggi, yah karena pundak saya agak kecil kali ya, tapi puas-puas aja..” Untuk aspek body concealment, subjek PR mengaku bahwa saat sedang tidak ber-crossplay, ia tidak pernah melakukan penutupan apapun, bahkan sepatu kerja yang ia gunakan tidak bersol tinggi. Sedangkan dalam ber-crossplay, subjek PR menggunakan banyak penutupan pada bagian wajah berupa make-up untuk menutup bagian bibirnya yang sedikit tebal agar lebih menyerupai tokoh wanita yang ia perankan. “apa ya, ga ada yang saya tutup-tutupi, biasa aja, kalo kita merawat dengan baik, ga perlu ditutup juga sih ya, simple aja, saya kerja juga ketat aturannya, rambut pendek dan tidak mencolok, wanita juga tidak boleh ber-makeup kalo di kantor saya. Jadi ga ada yang ditutupi sehari-hari, sepatu saya aja teplek, temen saya pada sepatu sol-an sih, saya biasa aja sih..” “pake apa, penutupan..hmm..yah gini aja saya sih, makeup, pake baju perempuan kan termasuk penutupan, udah itu aja, sama bibir sama lip concealer, biar lebih moe (*cantik seperti anak kecil) aja, udah.”
71
Untuk aspek body improvement, subjek PR mengakui bahwa tidak pernah melakukan penambahan apapun pada tubuhnya saat sedang tidak ber-crossplay, tetapi saat ber-crossplay, subjek PR harus memakai fake-boobs atau push-up bra untuk membuat ilusi bahwa dirinya memiliki payudara layaknya tokoh wanita yang ia perankan. “hah..ga pernah tambah-tambah apapun, dari lahir sampe sekarang saya alami, ga ada tambah-tambah gimana juga..” “kalo lagi cross gini, yah saya ada sumpelan fake-boobs ya, bikin sendiri, di online store juga banyak, tapi saya buat sendiri liat tutorial dari youtube, saya juga misalnya ada tips pakai push up bra, jadi kalo yang boobs-nya keliatan, ga ketutup baju bagian atas atau cleavage-nya, disumpelnya dari bawah, trus pake push-up bra. Terus bulu mata palsu yah, saya pake lima lapis yang large kalo emang perlu tapi biasa 2 lapis juga cukup..”
Untuk aspek appearance comparison, subjek PR mengaku bahwa ia termasuk sering melakukan perbandingan dalam penampilan, entah saat bercrossplay maupun di kehidupan sehari-harinya, untuk dapat terus memperbaiki dirinya. “Kalo menurut saya sebagai pribadi sih wajar membandingkan diri dengan orang lain, itu udah naturally yah kayaknya, untuk kita memperbaiki diri, tapi yah yang sewajarnya aja kalo saya, misalnya bagaimana caranya kita rapi, ga acak-acakan, itu udah cukup kalo soal membandingkan fisik dengan orang lain misalnya..” “Iya harus mebandingkan dengan crossplayer atau cosplayer lain, biar, agar, kita lebih bisa baik lagi, jadi lebih berdedikasi ke dunia crossplay, buat saya crossplay itu seni, jadi harus terus ditingkatkan, jadi mebanding-bandingkan itu wajar kalo saya bilang.”
72
Untuk aspek social physic anxiety, subjek PR merasa bahwa dirinya terkadang khawatir dengan anggapan lingkungan dirinya tentang fisiknya saat tidak ber-crossplay karena pengalamannya dengan jerawat saat masih bersekolah pada tingkat SMP, yang menyebabkan dirinya kurang percaya diri. Tetapi saat sedang ber-crossplay dirinya merasa lebih nyaman, karena beranggapan bahwa tokoh yang ia perankan hanyalah tokoh yang ia perankan, bukan dirinya sebenarnya.
“Hmm..cemas ya juga, karena lingkungan sosial penting, rasa percaya diri buat saya itu penting, aura keluar kalo kita pede, dulu saya pas SMP ada jerawat kan saya cerita, itu pengalaman buruk saya, tertekan juga sih pada saat itu ya saya..” “Kalo lagi pake kostum engga gimana juga ya, saya professional aja, make-up yang bagus, semirip mungkin, sekeren mungkin, tapi kan itu tetap bukan diri saya, jadi tidak ada kecemasan yang gimana ya..”
c. Gambaran Faktor-faktor yang Mempengaruhi body Image subjek PR Dalam 2 kali wawancara yang dilakukan terhadap subjek PR, berikut adalah beberapa hal yang tersirat yang dapat dijadikan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi body image subjek PR saat bercrossplay dan tidak. Saat sedang tidak ber-crossplay, faktor yang amat mempengaruhi subjek PR dalam memandang citra tubuhnya ialah keyakinannya sendiri terhadap anggapan bahwa apabila ia memiliki mindset yang positif terhadap dirinya, maka dengan sendirinya orang lain akan menangkap apa yang ia pikirkan tersebut dan akan memberi feedback yang positif juga.
73
“Kalo menurut saya, selama kita percaya diri kan aura kita keluar, orang akan menangkap itu kan, jadi, jadi, kalo kita percaya diri, pandangan diri sendiri soal diri sendiri akan positif dengan sendirinya, orang-orang juga akan memandang positif, malah memuji misalnya, „lo seger banger‟, „lo happy banget, tambah kece‟ misalnya gitu kalo saya sih ya..”
Untuk segi keluarga, saat bercrossplay ataupun tidak, secara tersirat subjek PR mengemukakan bahwa keluarga sangat penting dalam berkontribusi dalam pemikirannya
atas
tubuhnya.
Saat
ber-crossplay,
keluarga
mengetahui
kegemarannya tersebut dan tidak melarang, hanya menjadikannya bahan candaan dalam keluarga bahwa mereka memiliki 2 anak perempuan yang cantik. Sedangkan saat tidak bercrossplay, subjek PR mengaku bahwa memang sejak kecil ia tinggal dalam keluarga yang saling mendukung satu sama lain dan banyak tawa setiap harinya, juga sangat membantu saat subjek PR mengalami masalah pada wajahnya saat dalam masa puber dan membantunya untuk terus berpikiran positif dalam memandang hal apapun, termasuk tubuhnya sendiri yang telah dihadiahkan Tuhan. “Haha..orangtua tau saya crossplay, dukung-dukung aja, ibu pernah ikut antar pas event di CL sih ya, pas awal-awal, mau tau gitu beliau ya, deket rumah juga, saya puji Tuhan selalu didukung sih ya, buat bercandaan aja paling, misalnya „aduh, anak gadis kita cantik-cantik amat ya.‟ gitu..haha..” “Hmm..keluarga itu amat mendukung ya, puji Tuhan saya punya ibu saya ayah saya adik saya semuanya yang ceria, setiap hari ada bercandanya, yang pertama saya didoktrin kasarnya ya itu untuk selalu mikir positif, jadi orang juga positif ke kita, jadi saya juga mensyukuri tubuh saya karena hal itu juga sih ya..”
Untuk faktor media massa, saat bercrossplay, subjek PR mengemukakan bahwa kegemarannya dalam menonton animasi Jepang, mengikuti situs-situs 74
cosplay internasional, juga berlangganan majalan bulanan yang membahas tentang budaya Jepang juga mempengaruhi dirinya memandang citra tubuhnya, juga saat ia bertukar cosplay-card dengan cosplayer dan crossplayer yang ia temui, yang menyertakan foto costume playing mereka dalam cosplay-card tersebut. Sedangkan saat tidak bercrossplay, kegemarannya yang berhubungan dengan budaya Jepang tersebut masih mempengaruhi citra tubuhnya. “Hmm..yang saya baca biasanya Advance, Animonster, J-Pop, Nylon guy dan lain lian lah ya..anime juga saya biasanya kurang update tapi masih ngerti sih ya, yang ga pernah lapuk itu Rurouni Kenshin sih ya, Samurai Deeper Kyo, Flame of Recca, saya kan angkatan tua..haha..itu dari cara tokohnya menatap, gesturenya semuanya saya pelajari, semua saya lakukan kalo lagi crossing ya..” “ada coscard, cosplay card, di situ si cosplayr kasih foto beserta alamat website khusus dia, kit surfing-surfing sekalian mampir ke websitenya, sangat menginspirasi kalo saya sih..” “Lagi nggak nge-cross gini juga pasti apa yang ada di pikiran saya mempengaruhi ya, karena yang masuk ke otak saya, dari yang saya suka tonton macam-macam lah ya, tetap membuat saya setidaknya meniru, di kantor pun saya biasanya rapi ala-ala suit and tie yang kayak saya liat di anime-anime kalo hari Jum‟at, yang hari lain ga pake dasi, ga pake suit, kemejaan aja, tapi harus setidaknya rapi dan bersih itu sudah harus banget ya..”
Untuk faktor sosial, seringkali subjek PR mengaku bahwa orang-orang di sekitarnya seringkali memberi feedback positif kepada dirinya dan penampilannya yang bersumber pada rasa percaya dirinya, dan feedback tersebut justru semakin menambah rasa percaya dirinya, maka sangat berkaitan antara percaya diri terhadap citra tubuhnya dan tanggapan atau feedback yang diberikan lingkungan sekitarnya, entah saat bercrossplay maupun tidak. Saat ber-crossplay, subjek PR mengaku bahwa banyaknya jumlah orang yang memintanya berfoto bersama di
75
suatu acara kebudayaan Jepang sangatlah menjadi apresiasi yang ditunggu-tunggu olehnya. Sedangkan saat tidak ber-crossplay, subjek PR mengaku bahwa rekan dalam institusi tempatnya bekerja selalu memujinya dengan nada bercanda maupun meminta saran darinya untuk tampil menarik. “Yah menurut saya dukungan eksternal misalnya dari orang-orang yang minta foto saat saya jadi cantik, itu sangat saya hargai, saya berterimakasih banget malah, menurut saya crossplay itu seni, jadi saat karya seni saya diapresiasi orang lain, itu hadiah banget lah buat saya. Fans-fans terselubung kayak haters itu biasanya cuma iri, intinya positif aja saya..” “Iya dong, bagaimanapun kita hidup kan secara sosial ya, kalo saya dipuji saya akan ditingkatkan, kalo misalnya ada yang protes atau apa ya saya kurangi, karena pendapat orang lain itu penting sih, kalo misalnya kayak ada yang tanya tips gimana untuk tampil oke, tampil fit, ya itu pujian yang paling tulus, daripada muji seperti „kamu ganteng banget‟ atau gimana saya rasa itu berlebihan..”
4.6 Analisis Antar Kasus
4.6.1 Gambaran Komponen Body Image Antar Subjek Setelah analisis beserta kutipan hasil wawancara verbatim yang telah saya deskripsikan di sub-bab sebelumnya, berikut adalah analisa perbandingan antar subjek YN, RS, KM, dan PR tanpa melakukan generalisasi sesuai dengan karakteristik penelitian kualitatif. Untuk komponen yang terbagi antara komponen perceptual dan sikap yang menurut Rudd &Lennon (2000) meliputi dua komponen, yakni komponen perseptual (ukuran, bentuk, berat, karakteristik, gerakan, dan performansi tubuh) dan komponen sikap (apa yang kita rasakan tentang tubuh kita dan bagaimana perasaan ini mengarahkan pada tingkah laku,
76
subjek YN mengemukakan bahwa tubuhnya lebih secara perceptual kurang proporsional sebagai wanita karena laki-laki di sekelilingnya jauh lebih pendek daripada dirinya, hal tersebutlah yang membuat ia melakukan crossplay yang membuat dirinya merasa lebih proporsional dengan peran laki-laki dari tokoh yang ia bawakan, yang merupakan komponen sikap terhadap komponen perspetual terhadap tubuhnya saat sedang tidak ber-crossplay tersebut. Sedangkan subjek RS merasa bahwa secara perceptual saat tidak ber-crossplay tubuhnya berada pada kondisi yang prima dan proporsional dalam balutan pakaian wanita ataupun laki-laki, maka komponen sikap dari hal tersebut diwujudkan subjek RS dengan melakukan crossplay yang menurutnya akan cocok dengan figure tubuhnya dan merupakan hal yang sedang digemari remaja, yang membuatnya ingin berkontribusi dalam kegiatan yang menurutnya akan dapat menyalurkan kebutuhannya untuk berafiliasi. Hal hampir sama dengan subjek YN diungkapkan oleh subjek KM yang memiliki komponen perceptual yang mendeskripsikan tubuhnya yang memiliki tinggi yang tidak dapat menyamai tinggi laki-laki di sekitarnya yang jauh lebih tinggi darinya, ketidakpuasan tersebut mendorong subjek KM untuk melakukan crossplay di mana ia dapat menjadi sesuai dengan perannya sebagai berbagai tokoh wanita yang memiliki tubuh kecil seperti dirinya. Sedangkan subjek PR memiliki citra tubuh dengan komponen perceptual yang mendeskrispsikan tubuhnya telah sesuai dengan citra ideal menurut masyarakat dengan berbagai pujian yang sering ia terima, tetapi merasa kurang puas dengan bentuk bahunya yang menyempit dan terlihat feminim , hal tersebut juga membuat dirinya tertarik untuk melakukan crossplay berbagai tokoh wanita.
77
4.6.2 Gambaran Aspek-aspek Body Image Antar Subjek Berikut adalah perbandingan tujuh aspek body image dari subjek YN, RS, KM dan PR
yang akan dicocokan dengan hasil wawancara yang telah
dideskripsikan sebelumnya, yakni aspek physical attractiveness, body image importance, body image satisfaction, body concealment, body improvement, social physic anxiety, appearance comparison. Dalam aspek physical attractiveness saat sedang tidak ber-crossplay, keempat subjek menyatakan bahwa diri mereka cukup merasa bahwa diri mereka menarik di mata banyak orang, tetapi hal cukup perlu digarisbawahi bahwa keempat subjek juga merasa beberapa kekurangan ada pada tubuhnya, seperti subjek YN yang merasa tubuhnya akan lebih menarik bila lebih pendek sesuai dengan banyak wanita dis sekelilingnya, subjek KM yang merasa bahwa ia akan lebih menarik apabila memiliki tubuh yang lebih tinggi sebagai pria, subjek RS yang harus selalu membawa bedak tabur dan facepaper dalam tasnya untuk mengkompensasi kulit wajahnya yang cukup sering berminyak, serta subjek PR yang merasa bahwa bahunya kurang menunjukan kesan maskulin dibandingkan kekasih wanitanya. Sedangkan dalam kondisi memakai kostumnya dan masuk ke dalam peran yang mereka mainkan, keempat subjek menunjukan respon lebih positif mengenai physical attractiveness diri mereka. Keempat subjek lebih merasakan kesesuai antara pikiran dan perasaan mereka saat sedang ber-crossplay, keempatnya mengemukakan bahwa respon orang-orang yang meminta foto bersama mereka saat in-character membuat diri mereka merasa bahwa mereka
78
merupakan pribadi dengan fisik yang lebih menarik dibandingkan saat tidak bercrossplay. Dalam aspek body image importance, keempat subjek saat sedang bercrossplay dan tidak ber-crossplay, memposisikan penampilan tubuh mereka merupakan hal yang penting. Subjek YN mengemukakan bahwa pekerjaannya lebih penting daripada penampilan tubuh, tetapi penampilan tubuhnya juga akan secara tidak langsung mempengaruhi pekerjaan secara umum saat tidak bercrossplay, sedangkan saat ia ber-crossplay, penampilan menjadi lebih penting karena tuntutan sebagai crossplayer yang matang harus sesuai dengan tokoh yang ia perankan. Subjek RS mengemukakan bahwa dalam ber-crossplay dan tidak, citra tubuh sangat penting dalam mempengaruhi interaksi sosial yang menyangkut first impression orang lain terhadap dirinya dan jauh lebih penting saat sedang ber-crossplay dikarenakan
banyaknya camera-person dalam suatu festival
cosplay yan sering mengambil gambarnya, maka ia harus tampil baik dalam foto tersebut. Sedangkan subjek KM mengemukakan bahwa dirinya merasa citra tubuh merupakan hal penting, terkait pekerjaan dan hubungannya dengan lawan jenis, saat sedang ber-crossplay, ia merasa juga bahwa para ‘fans’ harus dipuaskan dengan penampilan crossplay yang ia lakukan. Subjek PR merasa bahwa bagaimanapun penampilan merupakan hal pendukung dalam berinterkasi sosial, tetapi mengutamakan inner quality, yakni percaya diri yang menjadi dasar penampilan yang baik, dalam ber-crossplay maupun tidak. Dalam aspek body image satisfaction, hampir serupa dengan aspek physical attractiveness, subjek YN, RS, KM dan PR memiliki kepuasan yang
79
cukup dengan citra tubuhnya dan hanya memiliki beberapa pemikiran yang mengganjal pada bagian tubuh tertentu, mengenai ukuran yang tidak sesuai dengan keinginan mereka atau rasa percaya diri yang dapat ditingkatkan dengan make-up saat sedang ber-crossplay yang sangat menambah body image satisfaction dari keempat subjek tersebut. Dalam aspek social physique anxiety, subjek YN, RS, KM, serta PR merasakan kecemasan lebih besar saat sedang ber-crossplay, dikarena banyaknya kamerakozo atau camera-person yang seringkali mengambil gambar mereka tanpa sepengetahuan, atau para penggemar yang ingin foto bersama pada suatu acara cosplay tersebut. Sedangkan saat sedang tidak ber-crossplay, subjek YN merasa dirinya akan lebih puas apabila laki-laki di sekitarnya lebih tinggi dari dirinya. Subjek KM juga menuturkan hal yang hampir serupa, yakni apabila ia dapat mengubah tinggi tubuhnya lebih sesuai dengan tuntutan masyarakat terhadap sosok laki-laki yang gagah. Subjek RS yang masih dalam masa remaja madya menganggap bahwa kecemasan ia rasakan pada kulit wajahnya yang seringkali terlihat kusam dan tanpa ber-makeup dibandingkan saat melakukan crossplay. Subjek PR merasa bahwa sumber dari baiknya penampilan ialah rasa percaya diri, maka sebisa mungkin ia menempatkan dirinya pada kenyamanan yang jauh dari rasa cemas dengan mensyukuri apapun kondisi fisiknya. Dalam aspek body concealment, saat sedang ber-crossplay, subjek RS dan YN yang merupakan female-to-male crossplayer harus menggunakan bebat yang dililitkan pada bagian dada dan pinggul sesuai kebutuhan, dalam hal ini, subjek RS hanya memakai sedikit bebat dibandingkan subjek YN, serta keduanya
80
memakai make-up mata yang lebih tajam dan bibir yang menyerupai tokoh-tokoh laki-laki yang mereka bawakan. Sedangkan subjek KM dan PR yang merupakan male-to-female crossplayer hanya harus menutupi tubuh mereka dengan kostum wanita dan make-up mata dengan tambahan bulu mata palsu dan eyeshadow warna yang mendukung, dan bedak yang dapat menutup kekurangan pada kulit wajah berupa bekas jerawat atau bercak tertentu. Dalam aspek body concealment, saat sedang tidak ber-crossplay, subjek YN mengaku bahwa ia tidak melakukan penutupan apapun pada tubuhnya di kesehariannya, juga saat sedang bekerja. Hal serupa juga diungkapkan subjek KM dan PR yang tidak pernah melakukan concealment apapun pada tubuh mereka saat sedang tidak ber-crossplay, sedangkan subjek RS yang masih dalam masa remaja madya ini mengaku sering merasa tidak nyaman dengan kulit wajahnya, maka dari itu concealment berupa memakai bedak bayi dan memakai kertas serap minyak sangat membantu untuk meningkatkan rasa percayadirinya. Sedangkan saat sedang ber-crossplay, keempat subjek melakukan concealment berupa penggunaan make-up dengan coverage yang tebal dan menutup sempurna segala kekurangan di wajah, berupa BB cream, foundation, bedak padat, lip concealer, under-eye concealer dan eyebrow concealer. Sedangkan subjek YN menggunakan bebat kain untuk menutup bagian payudara dan pinggulnya, hal yang sama dilakukan subjek RS dengan lebih sedikit karena bentuk tubuhnya yang tidak banyak menunjukan feminimitas. Dalam aspek body improvement, saat sedang tidak bercrossplay, keempat subjek tidak pernah melakukan improvement permanen pada tubuh mereka, melainkan
81
hanya sebatas menggunakan sepatu bersol dalam pada subjek KM, atau bedak tabur pada subjek RS dan melakukan perawatan kulit wajah pada subjek YN, RS dan PR. Sedangkan saat ber-crossplay, keempat subjek melakukan improvement berupa make-up lengkap, tambahan bulu mata palsu pada subjek PR dan KM, rambut palsu pada keempat subjek, fake-boobs (payudara palsu dari kumpulan kain) pada subjek PR dan KM. Dalam aspek appearance comparison, saat sedang tidak ber-crossplay, keempat subjek secara tidak langsung tetap melakukan perandingan penampilan diri mereka dengan orang orang di sekitarnya, walaupun tetap berpikiran bahwa dengan percaya diri, mereka tidak perlu membandingkan diri mereka dengan orang lain. Subjek YN merasa bahwa dirinya lebih tinggi dari kebanyakan wanita di sekelilingnya dan merasa lebih maskulin karenanya, sedangkan saat bercrossplay, make-up dan kesempurnaan kostum menjadi perbandingan yang dilakukannya, seperti ketiga subjek lainnya. Subjek RS merasa bahwa dirinya percaya diri dan tidak membandingkan dirinya lebih jauh. Subjek KM dan subjek PR merasa bahwa bahu mereka terlalu kecil untuk menampilkan kesan maskulin seperti banyak laki-laki lain yang mereka temui, subjek KM juga merasa bahwa tingginya tidak membuatnya ingin membandingkan dirinya karena hanya akan membuat dirinya kecewa.
82
4.5.3 Gambaran Faktor yang Mempengaruhi Body Image Antar Subjek Faktor yang paling mempengaruhi body image subjek YN saat tidak bercrossplay adalah faktor media massa, di mana gerbang utama dirinya dalam melakukan crossplay dimulai saat ia mulai menyukai beragam animasi Jepang yang sedang ditayangkan pada banyak stasiun TV nasional di Indonesia saat ia SD dan diikuti dengan
aktivitas
internetnya
yang
menghubungkannya
dengan
banyak
crossplayer, dari dalam, ataupun luar negeri, yang memacu dirinya untuk lebih baik dalam memerankan tokoh yang ia bawakan, begitu pula dengan subjek RS, PR, dan KM yang juga memulai kegemarannya ber-crossplay dengan menggemari berbagai budaya Jepang lainnya yang telah terlebih dahulu memasuki Indonesia pada awal tahun 2000. Sedangkan untuk faktor yang mempengaruhi body image mereka saat sedang tidak ber-crossplay ialah faktor sosial dan keluarga, keempat subjek merasakan langsung dampak feedback dari lingkungan sosial mereka, juga keluarga mereka. Untuk subjek YN, banyak laki-laki yang ia sukai memiliki tinggi yang lebih pendek darinya dan secara tidak langsung memunculkan pemikiran bahwa ia lebih cocok menjadi tokoh laki-laki yang pada akhirnya ia salurkan lewat crossplay yang berdampak positif dalam aspek hubungan interpersonal subjek YN. Untuk subjek KM, hampir dengan subjek YN, ia merasa bahwa tubuhnya lebih cocok dengan atribut lawan jenis, yakni karena tinggi dan proporsi tubuh yang kecil dan kurang memunculkan maskulinitas. Sedangkan, pada subjek RS dan PR feedback yang cukup positif banyak diterima dari lingkungan sekitar yang membuat mereka cukup puas dengan penampilan tubuh 83
mereka saat tidak ber-crossplay, tetapi kepuasan yang lebih mereka dapatkan saat sedang melakukan crossplay, keluarga subjek RS dan PR pun mendukung kegemaran kedua subjek tersebut dan selalu menanamkan pentingnya percaya diri. Untuk faktor usia, subjek RS yang merupakan subjek termuda (15 tahun) menunjukan percaya diri dan body image yang terkesan paling baik dari ketiga subjek lainnya saat sedang tidak ber-crossplay. Rozin & Fallon menyatakan bahwa generasi yang lebih tua cenderung untuk tidak puas terhadap body image daripada generasi yang lebih muda (dalam Hubley & Quinlan, 2005). Tetapi subjek paling tua di antara keempat subjek yang berusia 28 tahun, yakni subjek PR juga menunjukan persepsi yang pemahaman yang positif terhadap body image dirinya. Sedangkan subjek YN (21 tahun) dan subjek KM (18 tahun) tidak menunjukan kepuasan yang lebih pada body image mereka di luar kegiatan crossplay mereka dibandingkan saat ber-crossplay. Untuk faktor jenis kelamin, usia, keluarga, media massa serta hubungan interpersonal, faktor yang paling mempengaruhi para subjek secara umum ialah faktor media massa (subjek YN, KM, PR,RS), keluarga (keempat subjek), hubungan interpersonal (keempat subjek). Sedangkan untuk faktor usia, subjek RS yang berusia paling muda menunjukan body image yang paling terkesan positif di antara keempat subjek, sedangkan faktor jenis kelamin dirasa kurang nampak.
84