BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI
4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis urutan vertikal terhadap singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis urutan vertikal ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan Prinsip Hyulstrom, Hukum Walther dan analogi dengan Model Fasies yang sudah ada. Prinsip Hyulstrom membahas mengenai hubungan erosi, transportasi dan sedimentasi batuan sedimen klastik melalui mekanisme arus traksi. Namun prinsip ini tidak berlaku pada keadaan arus gravitasi, walaupun kedua mekanisme tersebut sulit untuk dibedakan. Hukum Walther menyatakan bahwa urutanurutan vertikal dalam sedimentasi mencerminkan urutan lateralnya. Hal ini didasarkan pada paradigma bahwa lingkungan pengendapan yang pada suatu waktu berdampingan, di waktu yang berikutnya dapat terletak di atasnya sebagai dinamika sedimentasi. Kemudian
untuk
melakukan
interpretasi
terhadap
sistem
lingkungan
pengendapannya, dilakukan dengan cara mengidentifikasi fasies pembentuknya berdasarkan pemodelan dari Galloway & Hobday (1983) ataupun Walker & James (1992). Konsep identifikasi fasies merujuk pada sejumlah karakteristik primer dari batuan sedimen yang menunjukan proses pengendapan di suatu sistem lingkungan pengendapan tertentu. Interval studi yang digunakan dalam analisis sedimentasi ini adalah pada satuan batupasir bagian bawah atau sebanding dengan Formasi Pucangan Fasies Gunung Api (Duyfjes, 1936) bagian bawah, berumur Pleistosen Awal yang diendapkan pada lingkungan transisi. 4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi Pembuatan kolom stratigrafi (lihat Lampiran D) dilakukan berdasarkan atas pengukuran penampang stratigrafi. Pengukuran penampang stratigrafi dilakukan pada 4 (empat) lintasan yang berbeda yaitu: pada Lintasan A, Lintasan B, Lintasan C dan Lintasan D. Keempat lintasan tersebut dibuat pada bagian yang sama secara stratigrafi, yaitu pada bagian bawah dari satuan batupasir namun berbeda secara lateral. Lintasan A merupakan lintasan yang paling barat, pengukuran penampang stratigrafi dilakukan sepanjang 170 m pada daerah bekas quarry dan jalan desa yang memotong jurus
36
BAB IV Analisis Sedimentasi
lapisan di sebelah timur Dusun Banyuurip. Pada lintasan ini didapatkan kolom stratigrafi setebal 100 m yang mewakili bagian bawah dari satuan batupasir. Lintasan B kirakira berada 1 km di sebelah timur lintasan A, pengukuran penampang stratigrafi dilakukan sepanjang 285 m pada daerah bekas quarry dan perkebunan yang memotong jurus lapisan di sebelah barat Jalan Raya Kedamean. Pada lintasan ini didapatkan kolom stratigrafi setebal 79 m yang mewakili bagian bawah dari satuan batupasir. Lintasan C kirakira berada 1 km di sebelah timur lintasan B, pengukuran penampang stratigrafi dilakukan sepanjang 245 m pada daerah potongan bukit akibat proyek pembangunan komplek perumahan yang memotong jurus lapisan di sebelah timur Dusun Karangasem. Pada lintasan ini didapatkan kolom stratigrafi setebal 103 m yang mewakili bagian bawah dari satuan batupasir. Lintasan D merupakan lintasan yang paling timur, kirakira berada 1 km di sebelah timur lintasan C. Pengukuran penampang stratigrafi dilakukan sepanjang 210 m pada daerah potongan bukit akibat proyek pembangunan komplek perumahan yang memotong jurus lapisan di Dusun Mojosari. Pada lintasan ini didapatkan kolom stratigrafi setebal 80 m yang mewakili bagian bawah dari satuan batupasir. Kolom Stratigrafi yang disusun dari hasil pengukuran penampang stratigrafi untuk masingmasing lintasan dapat dilihat dalam Lampiran D. 4.3 Analisis Fasies dan Lingkungan Pengendapan Di dalam konsep analisis fasies dinyatakan bahwa, suatu hasil pengukuran penampang stratigrafi dapat dipisahkan menjadi unitunit fasies yang berbeda. Masingmasing unit tersebut dapat berbeda karakteristik maupun tebalnya. Perbedaan karakteristik yang deskriptif ini meliputi jenis litologi, struktur sedimen ataupun aspek biologinya (Walker & James, 1992). Kombinasi fasies yang memiliki hubungan satu sama lain, kemudian membentuk asosiasi fasies. Dengan mengidentifikasi fasies dan asosiasi fasiesnya maka lingkungan pengendapan dapat diinterpretasikan. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan analisis stratigrafi daerah penelitian, maka interval studi sedimentasi yang termasuk ke dalam satuan batupasir termasuk ke dalam sistem pengendapan daerah transisi, seperti tercantum dalam stratigrafi daerah penelitian pada bab sebelumnya. Kemudian berdasarkan hasil analisa dari kolom stratigrafi, diperoleh beberapa fasies diantaranya fasies batulempung marine, fasies sand bar dan fasies channel. Fasies batulempung marin dicirikan oleh batulempung masif atau batulempung sisipan batupasir, berwarna abuabu atau putih kusam bila tufaan. Pada beberapa bagian mengandung foraminifera atau moluska marine (air asin). Kemudian fasies sand bar dicirikan oleh litologi batupasir dan batulempung dengan suksesi vertikal mengkasar dan menebal ke atas. Pada
37
BAB IV Analisis Sedimentasi
bagian bawah berupa perselingan tipis antara batupasir dan batulempung, semakin ke atas kandungan batulempung semakin berkurang dan batupasir semakin menebal dan mengkasar. Ukuran butir berkisar antara pasir halus sampai pasir kasar, dengan struktur sedimen yang sering muncul adalah ripple, lenticular, wavy, flaser dan crossbedding. Hampir pada setiap fasies ini sering dijumpai kandungan moluska marin (air asin). Terakhir, fasies channel yang dicirikan oleh litologi batupasir, konglomerat dan batulempung dengan suksesi vertikal menghalus dan menipis ke atas. Kontak dengan lapisan di bawahnya bersifat erosional (scouring) dengan ukuran butir berkisar dari pasir kasar hingga kerikil, pada bagian atasnya dijumpai struktur sedimen planar crossbedding. Pada beberapa bagian sering dijumpai crossbedding dengan foreset berupa litik (batuan beku andesitik) dengan ukuran kerikil. Pada bagian atas berupa perselingan tipistipis batupasir batulempung, struktur sedimen ripple dan paralel laminasi. Suksesi fasies pada kolom stratigrafi menunjukan perubahan dari fasies batulempung marine di bagian bawah, kemudian ditimpa oleh fasies sand bar dan kemudian fasies channel di bagian atasnya. Berdasarkan Hukum Walther dan Model Fasies (Walker & James 1992) maka diinterpretasikan bahwa asosiasi fasies tersebut merupakan progradasi dari suatu sistem delta. Delta terbentuk ketika tubuh sungai yang membawa material sedimen bertemu dengan tubuh air dalam suatu cekungan (Walker & James, 1992), atau dalam hal ini laut. Oleh karena itu, berdasarkan perubahan fasies dari batulempung marine menjadi sand bar dan kemudian channel, dapat disimpulkan bahwa interval studi sedimentasi ini berada pada sistem delta. Kesimpulan ini juga senada dengan kesimpulan Huffman dan Zaim (2003) yang telah melakukan penelitian di sebelah barat lokasi penelitian penulis.
Model Sistem Pengendapan Delta
Prodelta dan Delta Front Progradasi dari lobe delta akan menghasilkan sebuah suksesi fasies mengkasar ke atas yang tebal (lihat Gambar 4.1). Hal ini menunjukan perubahan dari fasies prodelta yang lebih lempungan ke fasies delta front dengan endapan mouth bar yang lebih pasiran. Ketebalannya berkisar antara beberapa meter hingga ratusan meter bergantung kepada skala dari delta dan kedalaman air. Menerusnya progradasi akan menyebabkan fasies delta plain menimpa pasir delta front dalam suatu suksesi yang kontinu. Namun, pasir delta front mungkin akan tererosi sebagian oleh progradasi distributary channel terhadap mouth barnya sendiri.
38
BAB IV Analisis Sedimentasi
Delta Plain Distributary Channel Bagian dasar dari fasies ini akan bersifat erosional terhadap fasies yang dilewatinya (lihat Gambar 4.1). Suksesi fasies sifatnya akan menghalus ke atas dengan sisa endapan bagian dari channel di bagian atas dan endapan marin dengan porsi yang lebih banyak dibagian bawah dari endapan channel. Pelamparan dari perkembangan fasies marin akan bergantung kepada seberapa besar dominasi dari channel.
Interdistributary Areas Area interdistributary dan area interlobe akan lebih bersifat kurang pasiran dan biasanya mengandung beberapa seri tipis dari tumpukan suksesi fasies mengkasar dan menghalus keatas (lihat Gambar 4.1). Biasanya ketebalannya kurang dari 10 meter dan biasanya lebih tidak beraturan dibandingkan dengan suksesi yang ditemukan di lobe delta yang sifatnya progradasi.
Gambar 4.1 Model sistem pengendapan delta (Wright, 1975 dalam Koesoemadinata, 1987 dan Walker dan James, 2001)
4.3.1 Lintasan A Delta Front Pada bagian bawah dari kolom stratigrafi lintasan ini, didapatkan litologi batupasir dan batulempung dengan suksesi vertikal mengkasar dan menebal ke atas. Pada bagian bawah berupa perselingan tipis antara batupasir dan batulempung, semakin ke atas kandungan batulempung semakin berkurang dan batupasir semakin menebal dan mengkasar (Foto 4.1 a 39
BAB IV Analisis Sedimentasi
dan b). Ukuran butir berkisar antara pasir halus sampai pasir kasar, dengan struktur sedimen yang muncul adalah ripple, lenticular, wavy, flaser dan crossbedding (Foto 4.1 c dan d) Pada perselingan tipis batupasir dan batulempung dijumpai bioturbasi.
a.) Bioturbasi pada perlapisan batupasir dan batulempung
c.) Struktur sedimen flaser pada batupasir
b.) Perlapisan batupasirbatulempung dengan suksesi mengasar dan menebal ke atas
d.) Struktur sedimen paralel laminasi pada batupasir
Foto 4.1 Singkapan Batuan yang menunjukan endapan Delta Front
Suksesi menebal dan mengkasar ke atas mengindikasikan bahwa semakin ke atas terjadi peningkatan kekuatan arus pada saat pengendapan. Diinterpretasikan bahwa hal ini terjadi karena pertumbuhan dari sand bar yang sifatnya prograding. Endapan ini ditafsirkan sebagai endapan delta mouth bar pada sistem delta. Delta Plain Kemudian di bagian atas dari bar tersebut, diendapkan litologi konglomerat, batupasir dan batulempung dengan suksesi vertikal menghalus dan menipis ke atas. Kontak dengan lapisan di bawahnya bersifat erosional (scouring) dengan ukuran butir berkisar dari pasir kasar hingga kerikil, pada bagian atasnya dijumpai struktur sedimen planar crossbedding (Foto 4.2 a dan b). Dijumpai juga struktur sedimen crossbedding dengan foreset berupa litik
40
BAB IV Analisis Sedimentasi
(batuan beku andesitik) dengan ukuran kerikil. Pada bagian atas berupa perselingan tipistipis batupasir batulempung dengan struktur sedimen ripple dan paralel laminasi.
a.) Konglomerat dan batupasir dengan struktur sedimen paralel laminasi dan crossbedding
b.) Foreset litik berukuran kerikil yang membentuk crossbedding pada batupasir
Foto 4.2 Singkapan Batuan yang menunjukan endapan Delta Plain
Kontak erosional dengan lapisan dibawahnya mengindikasikan adanya perubahan tibatiba dari arus lemah ke arus kuat. Suksesi menghalus dan menipis ke atas dan perubahan struktur sedimen dari crossbedding, ripple menjadi paralel laminasi mengindikasikan berkurangnya kekuatan arus pada saat pengendapan. Bagian bawah pada endapan ini diinterpretasikan sebagai base channel, sedangkan bagian atasnya diinterpretasikan sebagai flood plain. Endapan ini ditafsirkan sebagai endapan distributary channel. Delta Front Kemudian, diendapkan batulempung tufaan diatasnya diteruskan dengan batupasir yang memiliki urutan vertikal menebal dan mengasar ke atas. Pada bagian bawah diendapkan batulempung yang mengandung banyak cangkang moluska, mikro moluska dan foraminifera, kemudian semakin keatas diendapkan perselingan batupasir dan batulempung yang semakin menebal dan mengasar ke atas. Pada bagian atas terdapat struktur sedimen cross bedding dan lenticular, kemudian diendapkan diatasnya batugamping coquina (Foto 4.3 a dan b).
41
BAB IV Analisis Sedimentasi
a.) Struktur sedimen flaser pada batupasir
b.) Batugamping coquina yang tersusun atas fragmen cangkang moluska
Foto 4.3 Singkapan Batuan yang menunjukan endapan Delta Front
Pada bagian bawah diendapkan batulempung yang ditafsirkan sebagai batulempung marin, dicirikan dengan keterdapatan moluska marine dan melimpahnya foraminifera kecil. Kemudian semakin keatas, energi arus semakin kuat ditandai dengan berubahnya ukuran butir semakin kasar dan struktur sedimen cross bedding. Kemudian diatasnya diedapkan batugamping coquina dengan matriks pasir, menandakan energi arus yang semakin tinggi. Endapan ini kemudian ditafsirkan sebagai endapan delta mouth bar di delta front pada sistem delta. Delta Plain Pada bagian ini diendapkan litologi batupasir, konglomerat dan batulempung dengan suksesi vertikal menghalus dan menipis ke atas. Kontak dengan lapisan di bawahnya bersifat erosional (scouring) dengan ukuran butir berkisar dari kerikil hingga pasir kasar, pada bagian atasnya dijumpai struktur sedimen planar crossbedding. Pada bagian atas berupa perselingan tipistipis batupasir batulempung, struktur sedimen ripple, paralel laminasi dan dijumpai bioturbasi (Foto 4.4).
Foto 4.4 Bioturbasi pada batupasir
42
BAB IV Analisis Sedimentasi
Kontak erosional dengan lapisan dibawahnya mengindikasikan adanya perubahan tibatiba dari arus lemah ke arus kuat. Suksesi menghalus dan menipis ke atas dan perubahan struktur sedimen dari crossbedding, ripple menjadi paralel laminasi mengindikasikan berkurangnya kekuatan arus pada saat pengendapan. Bagian bawah pada fasies ini diinterpretasikan sebagai base channel, sedangkan bagian atasnya diinterpretasikan sebagai flood plain. Adanya bioturbasi mengindikasikan adanya pengaruh pasangsurut air laut pada endapan ini. Endapan ini ditafsirkan sebagai endapan distributary channel pada delta plain. 4.3.2 Lintasan B Pro Delta Pada bagian bawah dari kolom stratigrafi ini diendapkan batulempung masif atau batulempung sisipan batupasir, berwarna abuabu kehijauan atau putih kusam bila tufaan. Dominasi litologi batulempung mengindikasikan bahwa pengendapan terjadi pada arus lemah dengan mekanisme suspensi. Endapan ini ditafsirkan sebagai endapan batulempung prodelta pada sistem delta.
a.) Batulempung tufaan
b.) Batulempung tufaan berwarna abuabu kehijauan dengan fragmen berwarna putih
Foto 4.5 Singkapan Batulempung tufaan
Delta Front Kemudian diendapkan litologi batupasir dan batulempung dengan suksesi vertikal mengkasar dan menebal ke atas. Pada bagian bawah berupa perselingan tipis antara batupasir dan batulempung, semakin ke atas kandungan batulempung semakin berkurang dan batupasir semakin menebal dan mengkasar. Ukuran butir berkisar antara pasir halus sampai pasir kasar, dengan struktur sedimen yang sering muncul adalah ripple, lenticular, wavy, flaser dan crossbedding (Foto 4.6 a dan b).
43
BAB IV Analisis Sedimentasi
a.) Struktur sedimen flaser pada batupasir
b.) Struktur sedimen paralel laminasi pada batupasir
Foto 4.6 Singkapan Batuan yang menunjukan endapan Delta Front
Suksesi menebal dan mengkasar ke atas mengindikasikan bahwa semakin ke atas terjadi peningkatan kekuatan arus pada saat pengendapan. Diinterpretasikan bahwa hal ini terjadi karena pertumbuhan dari sand bar yang sifatnya prograding. Endapan ini ditafsirkan sebagai endapan delta mouth bar pada sistem delta. Delta Plain Pada bagian ini diendapkan litologi konglomerat, batupasir dan batulempung dengan suksesi vertikal menghalus dan menipis ke atas. Kontak dengan lapisan di bawahnya bersifat erosional (scouring) dengan ukuran butir berkisar dari kerikil hingga pasir kasar, pada bagian atasnya dijumpai struktur sedimen planar crossbedding (Foto 4.7 a dan b). Dijumpai juga struktur sedimen crossbedding dengan foreset berupa litik (batuan beku andesitik) dengan ukuran kerikil. Pada bagian atas berupa perselingan tipistipis batupasir batulempung, struktur sedimen ripple dan paralel laminasi.
a.) Singkapan batupasir sisipan konglomerat
b.)Struktur sedimen crossbedding
Foto 4.7 Singkapan Batuan yang menunjukan endapan Delta Plain
44
BAB IV Analisis Sedimentasi
Kontak erosional dengan lapisan dibawahnya mengindikasikan adanya perubahan tibatiba dari arus lemah ke arus kuat. Suksesi menghalus dan menipis ke atas dan perubahan struktur sedimen dari crossbedding, ripple menjadi paralel laminasi mengindikasikan berkurangnya kekuatan arus pada saat pengendapan. Bagian bawah pada fasies ini diinterpretasikan sebagai base channel, sedangkan bagian atasnya diinterpretasikan sebagai flood plain. Endapan ini ditafsirkan sebagai endapan distributary channel pada delta plain. Pro Delta Pada bagian bawah dari kolom stratigrafi ini diendapkan batulempung masif atau batulempung sisipan batupasir, berwarna abuabu kehijauan atau putih kusam bila tufaan. Pada beberapa bagian mengandung foraminifera atau moluska marine (air asin). Dominasi litologi batulempung mengindikasikan bahwa pengendapan terjadi pada arus lemah dengan mekanisme suspensi. Kandungan foraminifera atau moluska marine mengindikasikan bahwa fasies ini diendapkan pada lingkungan marine. Endapan ini ditafsirkan sebagai endapan batulempung prodelta pada sistem delta. Delta Front Pada bagian bawah dari kolom stratigrafi lintasan ini, didapatkan litologi batupasir dan batulempung dengan suksesi vertikal mengkasar dan menebal ke atas. Pada bagian bawah berupa perselingan tipis antara batupasir dan batulempung, semakin ke atas kandungan batulempung semakin berkurang dan batupasir semakin menebal dan mengkasar. Ukuran butir berkisar antara pasir halus sampai pasir kasar, dengan struktur sedimen yang sering muncul adalah ripple, lenticular, wavy, flaser dan crossbedding (Foto 4.8). Pada litologi batupasir di bagian atasnya dijumpai kandungan moluska marin (air asin).
Foto 4.8 Struktur sedimen flaserwavy pada batupasir
Suksesi menebal dan mengkasar ke atas mengindikasikan bahwa semakin ke atas terjadi peningkatan kekuatan arus pada saat pengendapan. Diinterpretasikan bahwa hal ini
45