BAB IV ANALISIS PENDAPAT IBN HAZM TENTANG SHALAT BERJAMAAH SESEORANG YANG BERDIRI SENDIRI DI BELAKANG SHAF
A. Pendapat Ibn Hazm Tentang Shalat Jamaah Seseorang Yang Berdiri Sendiri di Belakang Shaf Ibn Hazm merupakan ulama yang berpendapat batal tentang shalat berjamaah seseorang yang berdiri sendiri di belakang shaf, sebagaimana yang tertuang dalam kitab monumental beliau, yakni al Muhalla
ﻭﺍﳝﺎ ﺭﺟﻞ ﺻﻠﻰ ﺧﻠﻒ ﺍﻟﺼﻒ ﺑﻄﻠﺖ ﺻﻼﺗﻪ ﻭﻻ ﻳﻀﺮ ﺫﺍﻟﻚ ﺍﳌﺮﺁﺓ ﺷﻴﺄ ﻭﻓﺮﺽ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﺄﻣﻮﻣﲔ ﺗﻌﺪﻳﻞ ﺍﻟﺼﻔﻮﻑ ﺍﻻﻭﱃ ﻓﺎﻻﻭﻝ ﻭﺍﻟﺘﺮﺍﺹ ﻓﻴﻬﺎ ﻭﺍﶈﺎﺫﺍﺓ ﺑﺎﳌﻨﺎﻛﺐ ﻭﺍﻻﺭﺟﻞ ﻓﺎﻥ ﻛﺎﻥ ﻧﻘﺺ ﻛﺎﻥ ﰲ ﺍﺧﺮﻫﺎ ﻭﻣﻦ ﻭﺍﻣﺎﻣﻪ ﰲ ﺍﻟﺼﻒ ﻓﺮﺟﺔ ﳝﻜﻨﻬﺎ ﺳﺪﻫﺎ ﺑﻨﻔﺴﻪ ﻓﻠﻢ ﻳﻔﻌﻞ ﺑﻄﻠﺖ ﺻﻼﺗﻪ ﻓﺎﻥ ﱂ ﳚﺪ ﰱ ﺍﻟﺼﻒ ﻣﺪﺧﻼ ﻓﻠﻴﺠﺘﺬﺏ ﺍﱃ ﻧﻔﺴﻪ ﺭﺟﻼ ﻳﺼﻠﻰ ﻣﻌﻪ ﻓﺎﻥ ﱂ ﻳﻘﺪﺭ ﻓﻠﲑﺟﻊ ﻭﻻ ﻳﺼﻞ ﻭﺣﺪﻩ ﺧﻠﻒ ﺍﻟﺼﻒ ﺍﻻ ﺍﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﳑﻨﻮﻋﺎ ﻓﻴﺼﻠﻰ ﻭﲡﺰﺋﻪ 1
“Seorang laki-laki yang shalat di belakang shaf maka batal shalatnya, yang demikian tidak bahaya bagi perempuan. Diwajibkan atas makmum maluruskan shaf, yang utama adalah paling depan dan mengisinya meluruskan bahu dan kaki. Apabila kurang, maka di shaf penghabisan. Barang siapa shalat dan shaf di depannya terdapat lubang yang mungkin dimasuki dirinya dan ia tidak berbuat (masuk shaf yang berlubang) maka shalatnya batal. Apabila tidak menemui shaf yang dapat dimasuki dirinya maka menarik seseorang untuk shalat bersamanya. Apabila tidak kuasa hendaklah kembali dan tidak shalat sendirian di belakang shaf kecuali ada yang mencegah maka shalatlah dan cukuplah shalat itu.”
1
Ibn Hazm, Al Muhalla, Juz 4, Beirut: Daar al Fikr, t.th., hlm. 52.
62
63
Dari keterangan Ibn Hazm di atas jelaslah bahwa shalat seseorang sendirian di belakang shaf adalah batal apabila tidak ada halangan. Hanya wanita saja yang boleh berdiri sendiri di belakang shaf. Menurutnya bahwa meluruskan shaf difardhukan. Makmum tersebut berdiri rapat-rapat dan sejajar. Apabila seseorang shalat sedangkan shaf di depannya ada lubang yang dapat ia isi tetapi ia tidak berbuat maka batal shalatnya. Namun apabila tidak didapati tempat lagi dalam shaf diharuskan ia menarik seseorang dari shaf terebut untuk berdiri sejajar dengan dia. Kalau di tidak dapat menarik, orang tersebut dilarang shalat di situ Ibn
Hazm
mendasarkan
beberapa
hadits
untuk
mendukung
pendapatnya tersebut. Pertama adalah hadits dari Wabishah:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺷﻌﺒﺔ ﻋﻦ ﻣﺮﺓ ﻋﻦ ﻫﻼﻝ ﺑﻦ:ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻠﻴﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﺣﺮﺏ ﻭﺣﻔﺺ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻗﺎﻻ ﻳﺴﺎﻑ ﻋﻦ ﻋﻤﺮ ﻭﺍﺑﻦ ﺭﺍﺷﺪ ﻋﻦ ﻭﺍﺑﺼﺔ ﺍﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺭﺃﻯ ﺭﺟﻼ ﻳﺼﻠﻰ ﺧﻠﻒ ﺍﻟﺼﻒ ﻭﺣﺪﻩ ﻓﺎﻣﺮﻩ ﺍﻥ ﻳﻌﻴﺪ ﻗﺎﻝ ﺳﻠﻴﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﺣﺮﺏ ﺍﻟﺼﻼﺓ 2 ()ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﻭﺍﲪﺪ ﻭﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻯ “Sulaiman bin Harb dan Hafsh bin Umar bercerita kepadaku: Su’bah dari Murrah dari Hilal bin Yisaf dari Umar dan Ibn Rasyid dari Wabishah bercerita: sesungguhnya Rasul SAW melihat shalat seorang laki-laki yang shalat berdiri sendiri di belakang shaf, maka Rasul memerintahkannya mengulangi shalat tersebut.” Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﺑﻮ ﺑﻜﺮﺑﻦ ﺍﰉ ﺷﻴﺒﺔ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﻼﺯﻡ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻭﻋﻦ ﻋﺒﺪﺍﷲ ﺑﻦ ﺑﺪﺭ ﺣﺪﺛﲎ ﻗﺪﻣﻨﺎ:ﻋﺒﺪﺍﻟﺮﲪﻦ ﺑﻦ ﻋﻠﻰ ﺑﻦ ﺷﻴﺒﺎﻥ ﻋﻦ ﺍﺑﻴﻪ ﻋﻠﻰ ﺑﻦ ﺷﻴﺒﺎﻥ ﻭﻛﺎﻥ ﰱﺍﻟﻮﻓﺪ ﻗﺎﻝ 2
222.
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Juz I, Beirut: Daar al Kutub Ilmiyah, tth. hlm.
64
ﻋﻠﻰ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﺒﺎﻳﻌﻨﺎﻩ ﻭﺻﻠﻴﻨﺎ ﺧﻠﻔﻪ ﻓﻘﺾ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﺮﺃﻯ ﺭﺟﻼ ﻓﺮﺩﺍ ﻳﺼﻠﻰ ﺧﻠﻒ ﺍﻟﺼﻒ ﻗﺎﻝ ﻓﻮﻗﻒ ﻋﻠﻴﻪ ﻧﱮ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺣﱴ ﺍﻧﺼﺮﻑ 3 ( ﺍﺳﺘﻘﺒﻞ ﺻﻼﺗﻚ ﻻﺻﻼﺓ ﻟﻠﺬﻯ ﺧﻠﻒ ﺍﻟﺼﻒ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ:ﻗﺎﻝ “Abu Bakar bin Syaibah bercerita: Mulazim bin Umar dan Abdullah bin Badr: bercerita padaku Abdurrahman bin Ali bin Syaiban dari bapaknya, berkata: saya mendahului Rasul SAW shalat di belakangnya melihat seorang laki-laki shalat sendirian di belakang shaf, maka Nabi berhenti hingga selesai orang tersebut. Rasul SAW berkata: Ulangi shalatmu karena tidak ada shalat bagi orang di belakang shaf. Dua buah hadits di atas yang dijadikan dasar pendapat Ibn Hazm tentang shalat seseorang yang berdiri sendiri di belakang shaf muttashil dan marfu’. Jadi hadits di atas bisa dijadikan hujjah.4 Untuk untuk menjawab pendapatnya tersebut, sebelumnya penulis menggunakan
hadits-hadits
berikut
yang
saling
berhubungan
untuk
mengkonfrontasi.
ﺳﻮﻭﺍ ﺻﻔﻮﻓﻜﻢ ﻓﺎﻥ ﺗﺴﻮﻳﺔ: ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ:ﻋﻦ ﻗﺘﺎ ﺩﺓ ﻋﻦ ﺍﻧﺲ ﻗﺎﻝ 5
( ﺍﻟﺼﻒ ﻣﻦ ﲤﺎﻡ ﺍﻟﺼﻼﺓ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ
“Dari Qatadah dari Anas, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda: samakan shaf-shaf kalian, karena sesunguhnya menyamakan (meluruskan shaf) adalah bagian kesempurnaan shalat.” Menurut Ibn Hazm bahwa hadits di atas dimaknai dengan kefardluan meluruskan shaf. Penulis tak sependapat dengan hadits tersebut dimaknai
3
Abu Al Abbas Syihabuddin, Zawaid Ibn Majah, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyah, t.th., hlm. 158-159. 4 Tentang persambungan sanad lihat Abu Isa Muhammad Bin Isa Bin Saurah, Jami’ al Shahih, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyah, t.th., hlm. 448-451. 5 Abu Dawud, op. cit. Hlm. 219.
65
dengan kefardhuan meluruskan shaf. Redaksi hadits tersebut menyebutkan “kesempurnaan shalat”, yang berarti bahwa apabila kita memperhatikan shaf maka kita mendapat kesempurnaan shalat yang akan ia lakukan. Kalau ia tidak memperhatihan shaf ia tidak mendapat kesempurnaan shaf dan tidak membatalkan shalat tersebut. Bisa jadi, shalat tersebut sah tetapi tidak mendapatkan keutamaan jamaah. Dalam beberapa literatur disebutkan tentang keutamaan shalat berjamaah. Di sana tercantum sebatas jumlah keutamaan jamaah dari pada shalat sendirian, tanpa memeperinci keduapuluh tujuh keutamaan tersebut. Hemat penulis bahwa keutamaan-keutamaan itu tidak terlepas dari hal-hal yang berkaitan dengan jamaah shalat. Al Hafidh Ahmad Bin Ali Bin Hajar al Asqalani dalam Fath al Bari,6 menyebutkan bahwa salah satu keutamaan (dari 27 keutamaan) jamaah shalat adalah dapat meluruskan (mengatur) dan memasuki yang kosong. Hal ini setidaknya dapat dijadikan standar acuan yang kuat.
6
Keutamaan yang tercantum adalah:1. Menjawab adzan dengan niat shalat jamaah. 2. Takbiratul ihram pada waktunya. 3. Menuju masjid dengan tenang. 4. Masuk masjid dengan berdoa. 5. Shalat tahiyyatul masjid. 6. Menunggu jamaah. 7. Malaikat bershalawat dan beristighfar untuknya. 8. Persaksian malaikat padanya. 10. Selamat dari syaithan ketika iqamah. 11. Menanti takbiratul ihram imam. 12. Menemui takbiratul ihram imam dan bisa menyusulnya. 13. Meluruskan shaf dan mengisi yang kosong. 14. Menjawab imam ketika mengucapkan: sami’allahu liman hamidah. 15. Aman dari lupa dan dapat memperingatkan imam dengan membaca tasbih atau bertepuk. 16. Khusyu’ dan selamat dari godaan. 17. Memperbaiki tata cara shalat. 18. Malaikat mengelilinginya. 19. Melatih tajwid. 20. Terangnya syi’ar islam. 21. Mencegah bertemu syaithan waktu shalat dan tolong menolong dalam ketaatan serta menggiatkan orang-orang yang bermalas-malasan. 22. Selamat dari syifat nifaq dan lainnya. 23. Menjawab salam imam. 24. Bermanfaat dengan berkumpulnya jamaah dan dzikir serta mendatangkan berkah yang sempurna. 25. Terwujudnya persaudaraan yang erat antar peserta. 26. Mendengarkan bacaan imam. 27. Mengamini imam bersama aminnya malaikat. Lihat Al Hafidh Ahmad Bin Ali Bin Hajar al Asqalani, Fath al Bari, Juz. 2, Beirut: Daar al Fikr, t.th., hlm. 133-134.
66
Mengatur shaf merupakan bagian dari keutamaan shalat berjamaah di antara 27 keutamaan shalat berjamaah. Kalau salah satu salah satu keutamaan tersebut ditinggal, maka satu keutamaan telah gugur. Namun masih ada keutamaan-keutamaan yang lain masih ada apabila yang lain masih dilakukan (dipenuhi). Dapat diambil kesimpulan bahwa meskipun tidak memeperhatikan shaf bagi seseorang yang berdiri sendiri di belakang shaf, ia masih mendapat keutamaan yang lain. Karena mendapat keutamaan tersebut dapat “ditawar”, mengandung hukum tidak wajib (dalam hal ini lebih tepat dikatakan sunnah), karena lebih baik memenuhi keutamaan jamaah. Dan apabila meninggalkan salah satunya tidak menggugurkan semua fadlilah shalat berjamaah. Padahal perkara sunnah tidak dapat menggugurkan perkara wajib.7 Meluruskan shaf adalah kesempurnaan shalat. Kesempurnaan shalat menunjukkan kelebihan tersendiri bagi pelaku, dan tidak meggugurkan pekerjaan yang tidak dengan kelebihan itu. Oleh karena itu shalat seseorang yang berdiri sendiri di belakang shaf seharusnya dihukumi tidak mendapatkan kesempurnaan dan bukan dengan hukum batal. Ibn Hazm
juga menggunakan hadits berikut untuk mendukung
pendapatnya, yaitu tentang ancaman bagi orang yang berselisih dalam membuat shaf.
ﻟﺘﺴﻮﻥ ﺻﻔﻮﻓﻜﻢ ﺍﻭ ﻟﻴﺨﺎﻟﻔﻦ ﺍﷲ ﺑﲔ ﻭﺟﻮﻫﻜﻢ )ﺭﻭﺍﻩ:ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ 8 (ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ ﻭﺍﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ 7
Lihat pendapat Ibn Hazm tentang hukum shalat jamaah, yakni wajib. Perkara shaf adalah sunnah dan shalat jamaah adalah perkara wajib, sehingga perkara shaf tidak dapat menggugurkan perkara shalat berjamaah. 8 Imam Bukhari, op. cit hlm. 284.
67
“Rasulullah SAW bersabda : samakan (luruskan) shaf-shaf kalian atau Allah memperselisih di antara kamu.” Ibn Hazm menukil pendapat Ali terkait dengan hadits di atas. Hadits ini terdapat ancaman serius, pada hal tidak ada ancaman kecuali dalam dosa besar.9 Menurut Ibn Hazm atas dasar ancaman tersebut bahwa penetapan hukum batal shalat seseorang yag berdiri sendiri di belakang shaf. Sekiranya tidak ada ancaman maka boleh tidak menyamakan shaf, oleh karena dalam ancaman terkandung makna perintah secara implisit. Menurut penulis seseorang yang berdiri sendiri di belakang shaf (seandainya termasuk orang yang berselisih dalam shaf), maka seharusnya ia mendapat ancaman sesuai yang termuat dalam hadits tersebut, yakni diperselisihkan hatinya dan bukan di ancam dengan dosa seperti pendapat ali yang digunakan oleh Ibn Hazm itu. Jadi seseorang yang berdiri sendiri di belakang shaf adalah diancam dengan diperselisihkan hatinya dan bukan diancam dengan hukum batal shalatnya. Ibn Hazm memahami bahwa melurushan shaf ketika iqamat shalat adalah fardhu. Karena iqamat shalat adalah fardhu maka sesuatu yang berasal dari fardhu adalah fardhu. Oleh karena itu meluruskan shaf juga fardhu. Bila diperhatikan, hadits tersebut tidaklah ada ancaman tentang batal shalat. Ancaman yang tetuang dalam hadits itu adalah diperselisihkan hatinya. Seandainya orang tersebut tetap dianggap tidak meluruskan shaf, maka
9
Ibn Hazm, op. cit, hlm.55.
68
sebagai sanksinya adalah ancaman diperselisihkan hatinya dan tidak diancam dengan hukum batal. Hadits dari Anas tentang bentuk meluruskan anggota badan yang terkait dengan perintah meluruskan shaf.
…ﻭﻛﺎﻥ ﺍﺣﺪﻧﺎ ﻳﻠﺰﻕ ﻣﻨﻜﺒﻪ ﲟﻨﻜﺐ ﺻﺎﺣﺒﻪ ﻭﻗﺪﻣﻪ ﺑﻘﺪﻣﻪ:ﻋﻦ ﺍﻧﺲ ﺍﻧﻪ ﻗﺎﻝ 10 ()ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ “Dari Anas , ia berkata : …dan salah seorang dari kita merapatkan bahu dengan bahu, tumit dengan tumit temannya.” Hadits di atas juga tidak tercantum tentang kewajiban merapatkan anggota badan orang yang satu dengan orang yang lain. Kebetulan bahwa makmum yang sedang mengikuti shalat berjamaah tersebut diikuti lebih dari satu orang, maka bisa merapatkan anggota badan antar peserta shalat berjamaah. Namun pada kasus shalat seseorang yang sendirian di belakang shaf, tidak bisa diberlakukan hadits tersebut karena tidak ada orang yang bisa diajak merapatkan anggota badannya. Oleh karena itu hadits tersebut mengecualikan shalat seseorang yang berdiri sendiri di belakang shaf. Hadits lain adalah hadits dari Anas.
ﺃﲤﻮﺍ ﺍﻟﺼﻒ ﺍﻻﻭﻝ ﰒ ﺍﻟﺬﻯ ﻳﻠﻴﻪ:ﻋﻦ ﺍﻧﺲ ﺍﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ 11 (ﻓﺎﻥ ﻛﺎﻥ ﻧﻘﺺ ﻓﻠﻴﻜﻦ ﰱ ﺍﻟﺼﻒ ﺍﳌﺆﺧﺮ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﻨﺴﺎﺋﻰ ﻭﺍﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ
10
11
t.th., hlm. 93.
Imam Bukhari, op. cit, hlm. 285. Al Hafidh Jalaluddin as Suyuthi, Sunan Nasa’i, Beirut: Al Maktabah al Ilmiyah,
69
“Dari Anas sesunguhnya Rasulullah SAW bersabda: sempurnakanlah shaf pertama kemudian shaf yang mengikutinya. Apabila shaf itu kurang maka hendaklah pada shaf penghabisan..” Menurut penulis, hadits di atas memberikan solusi bagi orang yang tidak menemukan shaf yang bisa dimasukinya pada shaf awal dan seterusnya, maka ia berada pada ahaf akhir. Pendapat Ibn Hazm tentang shalat seseorang yang berdiri di belakang shaf tersebut berdasar dua hadits di atas (hadits Wabishah dan Abu syaiban) yang sama-sama mengulang shalat seseorang yang berdiri sendiri di belakang shaf. Terkait dengan redaksi pernyataan beliau, penulis mengkritisi dalam beberapa hal. Pertama, pernyataan beliau ”tidaklah batal yang demikian bagi wanita”, maksudnya: seorang wanita yang shalat berdiri sendiri di belakang shaf
tidaklah batal shalatnya. Penulis tak sependapat dengan dengannya
tentang pemberlakuan beban hukum yang berbeda. Posisi shalat dalam shaf memang berbeda, namun tak bisa membedakan pembebanan hukum, beliau diskriminatif dalam hal ini. Ibn Hazm terlihat tak konsisiten dalam berpendapat. Seharusnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Ia menerapkan pendapat beliau hanya untuk laki-laki, karena berdasar hadits:
ﻋﻦ ﺍﻧﺲ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺍﻥ ﺟﺪﺗﻪ ﻣﻠﻴﻜﺔ ﺩﻋﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﻄﻌﺎﻡ ﺻﻨﻌﺘﻪ ﻓﺎﻛﻞ ﻣﻨﻪ ﰒ ﻗﺎﻝ ﻗﻮﻣﻮﺍ ﻓﻠﻨﺼﻠﻰ ﺑﻜﻢ ﻗﺎﻝ ﺍﻧﺲ ﻓﻘﻤﺖ ﺍﱃ ﺣﺼﲑ ﻟﻨﺎ ﻗﺪﺍﺳﻮﺩ ﻣﻦ ﻃﻮﻝ ﻣﺎﻟﺒﺲ ﻓﻨﻀﺤﺘﻪ ﲟﺎﺀ ﻓﻘﺎﻡ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺻﻔﻔﺖ ﻋﻠﻴﻪ
70
ﺍﻧﺎ ﻭﺍﻟﻴﺘﻴﻢ ﻭﺭﺃﻩ ﻭﺍﻟﻌﺠﻮﺯ ﻣﻦ ﻭﺭﺍﺋﻨﺎ ﻓﺼﻠﻰ ﺑﻨﺎ ﺭﻛﻌﺘﲔ ﰒ ﺍﻧﺼﺮﻑ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﳉﻤﺎﻋﺔ ﺍﻻ 12 (ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ “Dari Anas bin Malik menerangkan bahwasanya neneknya Mulakah mengundang Rasul SAW untuk makan di rumahnya. Sesudah Nabi SAW makan, beliau berkata: “bangunlah kamu supaya saya bersembahyang untukmu”. Maka aku berdiri mengambil tikar yang telah hitam lantaran telah lama dipakai lalu aku membasuhnya dengan air. Maka bedirilah Rasul SAW di atasnya dan berdirilah aku beserta seorang anak yatim di belakangnya dan berdiri mereka di belakang kami. Sesudah Nabi SAW bersembahyang dua rakaat, Nabi kembali.”
Hadits di atas menerangkan bahwa Mulaikah berada di belakang shaf seorang diri. Memang benar Mulaikah shalat berada di belakang shaf seorang diri, namun hal itu karena semata-mata tata aturan shaf yang menempatkan wanita di belakang laki-laki (termasuk anak laki-laki.) Kebetulan ia seorang diri. Jadi pembebanan hukum batal shalat seseorang dengan berdasar hadits di atas tidaklah tepat. Ibn Hazm tak memperhatikan kemungkinan jamaah yang diikuti oleh beberapa/banyak makmum wanita. Bisa jadi bila shaf-shaf wanita sudah penuh, makmum wanita yang datang kemudian tak menemukan shaf kosong. Jadi ditemukannya kasus ini serupa dengan shalat seorang laki-laki yang berdiri sendiri di belakang shaf. Karena kesamaan posisi inilah, seharusnya Ibn Hazm membebankan hukum yang sama terhadap laki-laki dan perempuan. Bila shalat makmum laki-laki itu batal, maka seyogyanya pula makmum wanita juga batal. 12
hlm. 118.
M. Idris Abdul Rouf Al Marbawi, Bahr Al Madzi, Juz 2, Beirut: Daar al Fikr, t.th,
71
Kedua, pendapat Ibn Hazm “barang siapa shalat dan shaf di depannya terdapat lubang (kekosongan shaf) yang mungkin dimasuki dirinya, dan ia tidak berbuat (masuk shaf tersebut) maka shalatnya batal. Apabila tidak menemui (kekosongan ) shaf yang dapat dimasuki dirinya maka menarik seseorang untuk shalat bersamanya”. Pendapat ini sarat kontroversi. Memasuki shaf yang kosong adalah keniscayaan, bahkan Ibn Hazm mewajibkan. Hal ini bertentangan dengan
kondisi apabila seorang yang
berdiri sendiri di belakang shaf dan ia harus menarik seseorang yang ada di hadapannya untuk shalat bersamanya dalam satu shaf yang baru dibentuk tersebut. Kalau hal ini dilakukan berarti shaf yang ada di depannya terdapat lubang (yang dapat dimasuki), hal ini menjadikan shaf tidak serasi juga tak sesuai dengan perintah memasuki shaf yang kosong menurut Ibn Hazm itu sendiri. Kalau benar-benar menarik seseorang berarti telah menghilangkan keutamaan shaf orang yang ditarik dan mencederakan shaf. Pada hal tentulah shaf yang di depannya memiliki keutamaan yang lebih baik dari pada shaf yang baru dibentuk tersebut. Ketiga, pernyataan beliau “apabila tidak kuasa (masuk shaf atau menarik seseorang untuk shalat bersama dirinya dalam satu shaf) hendaklah kembali dan tidak shalat sendirian di belakang shaf kecuali ada yang mencegah”. Apabila hal ini benar-benar terjadi, maka timbul masalah. Permasalahnnya yaitu ia mengulangi shalat tanpa ada orang yang berjamaah dengannya. Berarti ia shalat sendirian. Pada hal ia tidak termasuk yang memiliki halangan berjamaah. hal ini bertentangan dengan pendapat beliau
72
bahwa shalat fardhu harus dilakukan dengan berjamaah. Sebagaimana yang tertuang dalam kitabnya:
ﺍﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﲝﻴﺚ ﻳﺴﻤﻊ ﺍﻷﺫﺍﻥ ﺍﻥ ﻳﺼﻠﻴﻬﺎ ﺍﻻ.ﻻﲡﺰﺉ ﺻﻼﺓ ﻓﺮﺽ ﺍﺣﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ ﻓﺎﻥ ﻛﺎﻥ, ﻓﺎﻥ ﺗﻌﻤﺪ ﺗﺮﻙ ﺫﻟﻚ ﺑﻐﲑ ﻋﺬﺭ ﺑﻄﻠﺖ ﺻﻼﺗﻪ,ﰱﺍﳌﺴﺠﺪ ﻣﻊ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﲝﻴﺚ ﻻ ﻳﺴﻤﻊ ﺍﻻﺫﺍﻥ ﻓﻌﺮﺽ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻥ ﻳﺼﻠﻰ ﰱ ﲨﺎﻋﺔ ﻣﻊ ﻭﺍﺣﺪ ﺍﻟﻴﻪ ﻓﺼﺎﻋﺪﺍ ﻭﻻ ﻓﺎﻥ ﱂ ﻳﻔﻌﻞ ﻓﻼ ﺻﻼﺓ ﻟﻪ ﺍﻻ ﺍﻥ ﻻ ﳚﺪ ﺍﺣﺪﺍ ﻳﺼﻠﻴﻬﺎ ﻣﻌﻪ ﻓﻴﺠﺰﺋﻪ ﺣﻴﻨﺌﺬ ﺍﻻ.ﺑﺪ ١٣ .ﻣﻦ ﻟﻪ ﻋﺬﺭ ﻓﻴﺠﺰﺋﻪ ﺣﻴﻨﺌﺬ ﺍﻟﺘﺨﻠﻒ ﻋﻦ ﺍﳉﻤﺎﻋﺔ “Tidak syah shalat fardlunya orang laki-laki yang munfarid apabila ia mendengarkan adzan seraya ia melaksanakan shalat sendirian. Kecuali dia dalam Masjid beserta imam, maka seandainya ia sengaja tinggal berjamaah tanpa ada udzur maka batal shalatnya. Dan apabila ia tidak mendengarkan adzan maka wajib baginya shalat jamaah apabila menemukan seseorang atau lebih. Dan apabila seseorang tidak melakukan hal tersebut maka shalatnya tidak sah kecuali dia tidak menemukan seseorang untuk shalat bersamanya, maka diperbolehkan selama dia ada udzur dan dia kemudian bisa meninggalkan diri dari jamaah.” Dengan berpendapat demikaian Ibn Hazm tak memberikan solusi bagi orang yang disuruh kembali mengulangi shalat. Solusi yang diharapkan adalah mencarikan orang lain yang bisa diajak berjamaah dengan orang yang mengulangi shalat tersebut. Kalau ditemukan, memang itu yang diharapkan, namun kalau tidak ditemukan berarti ia harus shalat sendiri, dan ini bertolak belakang dengan hukum shalat berjamaah menurutnya. Di sinilah letak ketidaksinkronan itu. Kalau toh pendapat di atas dianggap lemah, bisa dikonfrontasikan dengan pendapat bahwa shalat berjamaah adalah sunnah menurut jumhur
13
Ibn Hazm, op. cit. hlm. 188.
73
ulama karena terdapat beberapa hadits sebagai dasar untuk itu. Salah satunya adalah hadits berikut.
ﺍﺧﱪﻧﺎ ﻗﺘﻴﺒﺔ ﻋﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ ﻋﻦ ﻋﻤﺮ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻗﺎﻝ ﺻﻼﺓ ﺍﳉﻤﺎﻋﺔ ﺗﻔﻀﻞ 14 (ﻋﻠﻰ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻔﺪ ﺑﺴﺒﻊ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﺩﺭﺟﺔ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀﻯ “Shalat jama’ah lebih utama dari shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat”. (HR.Nasa’i). Kalau kita berpegang pada hadits di atas bahwa shalat berjamaah adalah sunnah karena tekandung keutamaan dibandingkan dengan shalat sendirian. Dari hadits di atas tidak diharamkan shalat sendirian. Kalau shalat seseorang yang berdiri sendiri di belakang shaf dianggap tidak meluruskan shaf maka sebagai resikonya adalah tidak mendapat keutamaan itu, yakni keutamaan berjamaah. Yang perlu digaris bawahi adalah berhubungan dengan berjamaah dan bukan berkaitan dengan shalat. Jadi shalat seseorang yang berdiri sendiri di belakang shaf adalah tidak memperhatikan jamaah. Itupun kalau meluruskan shaf sebagai syarat dan atau rukun berjamaah. Kalau tidak dianggap sebagai syarat dan atau rukun maka tidak membatalkan. Padahal meluruskan shaf merupakan keutamaan (sunnah) berjamaah, oleh karena itu meski tidak memperhatikan shaf maka tidak mengurangi pahala jamaah. Jangankan membatalkan shalat, membatalkan jamaahpun tidak. Karena sekali lagi bahwa yang membatalkan shalat adalah karena tidak
14
Imam Nasa’i, Sunan Nasa’i, Beirut, Juz I, Daar al-Jiil, t. th, hlm. 103.
74
terpenuhinya syarat dan rukun shalat, dan meluruskan shaf adalah tidak termasuk syarat atau rukun shalat. Oleh karena itu orang yang berdiri sendiri di belakang shaf tidaklah batal shalatnya. Kalau shalatnya dianggap batal maka akan berdampak buruk terhadap psikologi muslim bahwa ia sudah susah payah pergi berjamaah namun sama sekali tidak dihargai shalatnya. Kalau ini benar-benar terjadi hal ini akan berpengaruh pada mental orang-orang yang berjamaah yang sulit memenuhi anjuran berjamaah. Bisa-bisa mereka tak mau lagi ke tempat jamaah tersebut karena hal ini. Jadinya adalah hikmah berjamaah yang notabene untuk mempererat persaudaraan tidak tercapai. Menurut Ibn Hazm bahwa hadits-hadits dasar pendapatnya tersebut, yakni hadits dari Wabishah dan Abu Syaiban berisikan perintah. Mengulangi shalat. Menurutnya, perintah ini wajib mengulangi shalat. Memang lebih tepat bila kita memberi makna ‘mengulangi shalat’ karena bersangkut paut dengan pendapat Ibn Hazm. Yusuf Qardawy berpendapat bahwa shalatnya seseorang karena berdiri sendiri di belakang shaf tidak sah, dia berargumen dengan dalil aqli yaitu sebelum shalat dimulai imam memberikan perintah meluruskan shaf. Orang yang berdiri sendiri di belakang shaf berarti tidak mengindahkan imam. Orang tersebut dianggap bercerai berai, menghindari persatuan dan
75
menyendiri. Pada hal Islam sangat menganjurkan kehidupan teratur dan tidak menghendaki kehidupan liar dan kacau, termasuk dalam hal shalat.15 Ibn Hazm justru tidak mengesampingkan hadits di bawah ini, walau secara nyata tidak ada perintah mengulangi shalat. Dan hal ini bertentangan dengan pendapat beliau bahwa shalat seseorang yang berdiri sendiri di belakang shaf adalah batal.
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﻮﺳﻰ ﺑﻦ ﺍﲰﺎﻋﻴﻞ ﻗﺎﻝ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳘﺎﻡ ﻋﻦ ﺍﻻﻋﻠﻢ ﻭﻫﻮ ﺯﻳﺎﺩ ﻋﻦ ﺍﳊﺴﻦ ﻋﻦ ﺍﰉ ﺑﻜﺮﺓ ﺍﻧﻪ ﺍﻧﺘﻬﻰ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻫﻮ ﺭﺍﻛﻊ ﻓﺮﻛﻊ ﺍﱃ ﺍﻥ ﻳﺼﻞ ﺍﱃ ﺍﻟﺼﻒ ١٦ (ﻓﺬﻛﺮ ﺫﺍﻟﻚ ﻟﻠﻨﱮ ﻓﻘﺎﻝ ﺯﺍﺩﻙ ﺍﷲ ﺣﺮﺻﺎ ﻭﻻ ﺗﻌﺪ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ ﻭﺍﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ “Musa bin Ismail bercerita padaku: Hamam dari A’lam dia adalah Ziyad dari Hasan dari Abi Bakrah, sesungguhnya Abu Bakrah bercerita, ia masuk masjid hendak shalat sedangkan Nabi SAW sedang rukuk. Ia mengatakan: saya rukuk di belakang shaf, maka Nabi menjawab: semoga Allah menambah semangatmu dan jangan kau ulangi .” Dari hadits yang diriwayatkan oleh Bukahri di atas pada terdapat perawi yang tidak tercantum, yaitu setelah perawi Hasan. Oleh Hasan hadits ini langsung diceritakan bahwa hadits tersebut berasal dari Abu Bakrah. Pada hal menurut Ibn Hajar bahwa Hasan tidak menerima dari Abu Bakrah. Dikatakan bahwa ia menerima dari Ahnaf. Dari Hadits Abu bakrah yang diriwayatkan oleh Bukhari sanadnya tidak diketahui dengan pasti. Disebutkan bahwa Hasan tidak mendengar dari Abu Bakrah, tetapi diriwayatkan oleh
15
Yusuf Qardawy, Fatwa-fatwa Mutakhir (terjemah oleh Al Hamid Al Husaini), Bandung: Pustaka Hidayah, Cet. Ke-4, 2000, hlm. 305. 16 Al Hafidh Ahmad Bin Ali Bin Hajar al Asqalani, op. cit. hlm.267.
76
Ahnaf dan tidak diketahui pula Ahnaf mendapatkan dari siapa, namun oleh Bukhari disebutkan bahwa Hasan menerima dari Abu Bakrah. 17 Begitu pula Hadits Abu Bakrah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan Baihaqi18 sesampai pada Hasan tidak disebutkan Hasan menerima dari siapa. Redaksi hadits tersebut menyebutkan “Hasan bercerita sesunggunya Abu Bakrah ….”.
Terdapat kesamaan sumber antara Hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Abu Dawud, yakni pada Hasan, yang keduanya tidak menyebutkan Hasan menerima Hadits Abu Bakrah tersebut dari siapa. Dilihat dari persambungan sanad maka hadits ini tidak shahih, yakni dlaif. Namun Ibn Hazm mengakui hadits di atas sebagai hujjah karena perbuatan yang dilarang sebelum larangan adalah boleh, dan perbuatan yang dilarang yang dilakukan setelah adanya peringatan larangan adalah tidak boleh.19 Menurutnya hadits di atas memuat sebuah kasus yaitu tentang shalat yang shalat seorang diri di belakang shaf yaitu Abu Bakrah.20 Abu Bakrah tidak disuruh mengulangi shalat pada saat itu, karena sudah terlanjur.21 Dan Abu Bakrah dipesan untuk masa-masa yang akan datang tidak mengulangi perbuatan itu lagi, karena cukup sekali itu saja yang diperbolehkan shalat berdiri sendiri di belakang shaf. 17 18
hlm. 106.
19
Ibid, hlm. 268 Jalil Abu Bakar al Baihaqi, As Sunan al Kubra, Juz 3,Beirut: Daar al Fikr, t.th.,
Ibmn Hazm, op. cit. hlm. 56. Abu Bakrah melakukan rukuk di belakang shaf dengan tujuan untuk mengejar shalat Nabi agar tidak ketinggalan rakaat shalat 21 Menurut Ahmad bahwa Abu Bakrah melakukan demikian karena latar belakang agamanya yang kurang (li jahlihi). Lihat Ibn Qudamah Al Maqdisiy, Al Kaafi, Juz 1, Makkah: Musthafa Ahmad al Baaz, t.th., hlm. 221. 20
77
Menurut Ibn Hajar larangan mengulangi pada hadits Bukhari adalah dilarang mengulangi berjalan menuju shaf sambil rukuk karena berjalan yang demikian seperti jalannya binatang ternak.22 Nabi juga mendoakan Abu Bakrah, “Semoga Allah menambah semangatmu”. Doa ini menunjukkan bahwa apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakrah disayangkan. Namun untuk membesarkan hati Abu Bakrah dan agar ia merasa dihargai maka shalat yang baru saja selesai itu tidak diulangi. Sehingga berangkat dari sini mengulangi shalat adalah pendapat yang kuat. Sehingga terdapat titik temu antara hadits Wabishah dan hadits Abu Bakrah, yakni mengulang shalat adalah lebih kuat. Kalau toh seandainya menimbang kedua hadits yang bertentangan itu dari segi bayannya, hadits Abu Bakrah tersebut masih bersifat global. “jangan kamu ulangi perbuatanmu” bermakna ambigu. Pertama, kalimat itu bisa berarti mencegah mengulangi pekerjaan masuk shaf dalam keadaan rukuk. Kedua, bahwa yang dilarang mengulangi adalah datang tergesa-gesa untuk shalat. Ketiga, dilarang mengulangi takbiratul ihram di belakang shaf sebelum masuk shaf. Hadits Wabishah dan Abu syaiban telah jelas maknanya, dipandang mubayyan mufassar sedangkan hadits Abu bakrah bersifat mujmal. Dan yang dapat dijadikan hujjah adalah nash yang mubayyan mufassar dari pada nash yang mujmal. Oleh karena itu hadits Wabishah yang dijadikan hujjah Ibn Hazm lebih kuat.
22
Al Hafidh Ahmad Bin Ali Bin Hajar al Asqalani, loc. cit.
78
Namun pengunaan hujjah hadits Wabishah dan Abu Syaibanpun tak semata-mata untuk menghukumi shalat seseorang yang berdiri sendiri di belakang shaf sebagaimana pendapat Ibn Hazm yang menganggap batal shalat. Penulis tak habis pikir pada jumhur ulama yang hanya melihat dhahir nash hadits Abu Bakrah saja. Beliau tidak melihat bahwa Abu Bakrah tidak disuruh mengulangi shalat. Hanya sebatas ini saja dan tidak berusaha mencari alasan mengapa Abu Bakrah tidak disuruh oleh Nabi mengulangi shalatnya. Justru Ibn Hazm lebih kritis. Setelah didapati bahwa mengulangi shalat adalah yang kuat, maka yang menjadi masalah selanjutnya adalah apakah mengulang shalat pada hadits Wabishah itu karena shalat yang baru diselesaikan itu batal atau tidak? Kalau diambil makna dhahir nash maka kita akan sependapat dengan Ibn Hazm. Akan tetapi
pendapat batalnya shalat seseorang yang berdiri
sendiri di belakang shaf tidak relevan dan konsisten dengan solusi. Menurutnya, orang tersebut harus mengulangi shalat hal ini tak sejalan dengan pendapatnya, bahwa shalat fardhu harus berjamaah. Pada hal belum tentu pengulangan shalat itu karena shalat yang telah dilakukan itu batal. Seperti yang sudah penulis paparkan, bahwa terkait shaf adalah bagian keutamaan shalat berjamaah. Keutamaan ini bisa ditinggal dan bisa dilakukan karena hukumnya sunnah. Apabila dipenuhi adalah lebih utama karena akan mendapat keutamaan yang lebih dibandingkan dengan tidak melakukan (mengatur shaf). Sehingga dapat ditarik benang merah bahwa megulangi
79
shalat yang pada hadits Wabishah adalah karena untuk memperoleh keutamaan. Menukil pendapat Syafi’i23 bahwa untuk menyelesaikan hadits Wabishah ini adalah dengan cara takwil.24 Memang yang jelas dan lebih realistis adalah berpegang dan mentakwil hadits Wabishah. Perintah mengulangi shalat adalah perintah untuk mendapatkan keutamaan shalat terkait dengan penempatan shaf. Karena ada keutamaan tersendiri dalam posisi shaf. Mengulangi shalat adalah lebih baik apabila dalam shalat yang baru tersebut terdapat keutamaan yang lebih dari pada shalat yang awal. Namun apabila shalat yang diulangi tersebut tidak lebih banyak atau lebih besar keutamannya atau bahkan lebih sedikit keutamaannya, maka mengulangi shalat di sini tidak lebih baik. Misalkan orang yang mengulangi shalat tersebut shalat dengan munfarid, maka keutamaan yang diperoleh tidak lebih banyak, bahkan lebih sedikit dari shalat yang pertama tadi. Karena shalat yang pertama tadi adalah shalat berjamah yang memiliki keutamaan dua puluh tujuh derajat di bandingkan dengan shalat munfarid. Nabi
Muhammad
SAW
memerintahkan
lelaki
tersebut
agar
mengulangi shalatnya, bukan karena shalatnya batal, tetapi karena yang dilakukan itu bertentangan
23
dengan hal yang paling utama; agar mereka
Muhammad Abid As Sindi, Musnad Syafi’i, (terj. Anwar Abu Bakar), Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000, hlm.238. 24 Takwil adalah meninggalkan arti dzahir dari lafadz nash yang sudah jelas maksudnya dengan berpegang kepada arti lain yang lebih tepat dalam penerapannya. Dengan kata lain takwil merupakan pemalingan makna lafadz nash yang sudah jelas kepada pengertian lain yang dipandang lebih kuat dan lebih tepat dalam penerapannya. Lihat Romli SA, Muqaranah Madzahib fil Ushul, Jakarta: Gaya media Pratama, 1999, Cet. Ke-1, hlm. 211.
80
memelihara shaf-shaf shalat dengan memenuhinya dan sekaligus agar mereka sadar akan pentinya masalah tersebut.25 Dengan adanya perintah mengulangi shalat dapat diambil hikmah bahwa shalat-shalat berjamah terkait penempatan seseorang dalam shaf bisa lebih diperhatikan, terlebih lagi ada ancaman serius bagi orang yang berselisih dalam shaf tersebut, yaitu diperselisihkan hatinya oleh Allah SWT. Untuk memberi solusi akan kasus (masalah yang sedang penulis bahas), penulis sependapat dengan Dr. Shalih Bin Ghanim. Ia menyatakan bahwa shalat seseorang yang berdiri sendiri di belakang shaf adalah boleh bila tidak ada halangan. Halangan di sini adalah ketika ia masuk masjid sedangkan shaf telah penuh semua dan tak satupun celah shaf yang dapat dimasuki, atau imam sedang rukuk sedangkan ia belum menempatkan diri pada shaf pada hal ia berada di dekat shaf lalu dia rukuk di belakng shaf kemudian ia berjalan menuju shaf sambil rukuk yang seperti ini diperbolehkan.26 Namun apabila tidak ada halangan, dan ia shalat sendirian di belakang shaf maka shalatnya tetap sah akan tetapi ia tidak memperoleh kesempurnaan keutamaan shalat berjamaah terkait dengan aturan shaf, dan ia mendapat ancaman diperselisihkan hatinya oleh Allah. B. Analisis Istinbath Hukum Tentang Shalat Seseorang Yang Berdiri Sendiri di Belakang Shaf
25
Muhammad Abid As Sindi, loc. cit. Shalih Bin Ghanim, Shalat berjamaah: panduan hukum, adab, hikmah, sunnah dan peringatan penting tentang pelaksanaan shalat berjamaah (terj. M. Nur Abrari), Solo: Pustaka Arafah, , cet ke-1, 2002 hlm.128. 26
81
Ibn Hazm merupakan figur yang memeiliki karakteristik tersendiri dalam pemikirannya meskipun ia penganut madzhab dzahiri. Namun ia seorang mujtahid mutlak yang berpikiran bebas dan tidak terikat oleh salah satu madzhab manapun. Prinsip-prinsip metode istinbath hukum yang ia gunakan juga demikian dalam menentuan hukum. Sama dengan mujtahid lain, beliau berpegang pada Al Qur’an dan Hadits sebagai sumber hukum utama. Hal ini disebabkan adanya kesepakatan para sahabat untuk tidak menetapkan suatu hukum tanpa ada sandaran, pijakan atau dasar sama sekali. Ia memilih madzhab yang di dalamnya tidak ada seorangpun yang ditaklidi dan masing-masing tokohnya langsung membina sendiri dari Al Quran, Hadits dan Ijma’ Sahabat. Madzhab yang ia pilih adalah madzhab dzahiri. Telah penulis kemukakan model istinbath Ibn Hazm. Secara global bahwa sumber hukum yang dijadikan pegangan adalah al qur’an, hadits, ijma’ dan al dalil. Berkaitan masalah yang sedang penulis bahas, Ibn Hazm memakai sumber hukum kedua yakni al Hadits. Ibn Hazm sama sekali tidak menemukan dan tidak menggunakan dalil Al Quran sebagai dasar pendapatnya tentang shalat seseorang yang berdiri sendiri di belakang shaf yang ia hukumi batal. Hal ini karena semata-mata teknis pelaksanaan shalat tidak tertuang dalam al qur’an, sebagai mana teknis zakat, teknis puasa dan teknis haji.
82
Benar saja, dasar pijakan Ibn Hazm berasal dari hadits sebagaimana Hadits Wabishah yag berkaitan dengan shalat seseorang yang beridri sendiri di belakang shaf.
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺷﻌﺒﺔ ﻋﻦ ﻣﺮﺓ ﻋﻦ ﻫﻼﻝ ﺑﻦ:ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻠﻴﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﺣﺮﺏ ﻭﺣﻔﺺ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻗﺎﻻ ﻳﺴﺎﻑ ﻋﻦ ﻋﻤﺮ ﻭﺍﺑﻦ ﺭﺍﺷﺪ ﻋﻦ ﻭﺍﺑﺼﺔ ﺍﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺭﺃﻯ ﺭﺟﻼ ﻳﺼﻠﻰ ﺧﻠﻒ ﺍﻟﺼﻒ ﻭﺣﺪﻩ ﻓﺎﻣﺮﻩ ﺍﻥ ﻳﻌﻴﺪ ﻗﺎﻝ ﺳﻠﻴﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﺣﺮﺏ ﺍﻟﺼﻼﺓ ()ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﻭﺍﲪﺪ ﻭﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻯ “Sulaiman bin Harb dan Hafsh bin Umar bercerita kepadaku: Su’bah dari Murrah dari Hilal bin Yisaf dari Umar dan Ibn Rasyid dari Wabishah bercerita: sesungguhnya Rasul SAW melihat shalat seorang laki-laki yang shalat berdiri sendiri di belakang shaf, maka Rasul memerintahkannya mengulangi shalat tersebut.” Juga hadits dari Abu Syaiban:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﺑﻮ ﺑﻜﺮﺑﻦ ﺍﰉ ﺷﻴﺒﺔ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﻼﺯﻡ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻭﻋﻦ ﻋﺒﺪﺍﷲ ﺑﻦ ﺑﺪﺭ ﺣﺪﺛﲎ ﻗﺪﻣﻨﺎ:ﻋﺒﺪﺍﻟﺮﲪﻦ ﺑﻦ ﻋﻠﻰ ﺑﻦ ﺷﻴﺒﺎﻥ ﻋﻦ ﺍﺑﻴﻪ ﻋﻠﻰ ﺑﻦ ﺷﻴﺒﺎﻥ ﻭﻛﺎﻥ ﰱﺍﻟﻮﻓﺪ ﻗﺎﻝ ﻋﻠﻰ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﺒﺎﻳﻌﻨﺎﻩ ﻭﺻﻠﻴﻨﺎ ﺧﻠﻔﻪ ﻓﻘﺾ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﺮﺃﻯ ﺭﺟﻼ ﻓﺮﺩﺍ ﻳﺼﻠﻰ ﺧﻠﻒ ﺍﻟﺼﻒ ﻗﺎﻝ ﻓﻮﻗﻒ ﻋﻠﻴﻪ ﻧﱮ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺣﱴ ﺍﻧﺼﺮﻑ ( ﺍﺳﺘﻘﺒﻞ ﺻﻼﺗﻚ ﻻﺻﻼﺓ ﻟﻠﺬﻯ ﺧﻠﻒ ﺍﻟﺼﻒ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ:ﻗﺎﻝ “Abu Bakar bin Syaibah bercerita: Mulazim bin Umar dan Abdullah bin Badr: bercerita padaku Abdurrahman bin Ali bin Syaiban dari bapaknya, berkata: saya mendahului Rasul SAW shalat di belakangnya melihat seorang laki-laki shalat sendirian di belakang shaf, maka Nabi berhenti hingga selesai orang tersebut. Rasul SAW berkata: Ulangi shalatmu karena tidak ada shalat bagi orang di belakang shaf. Karena sudah ditemukan dalam Al Hadits, maka sumber hukum ketiga (al dalil) tidak digunakannya. Ibn Hazm mengkompromikan hadits Abu
83
Bakrah dengan hadits Wabishah yang dijadikan oleh beliau sebagai dasar hukum batal shalat seseorang yang berdiri sendiri di belakang shaf. Hadits Abu Bakrah tersebut adalah :
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﻮﺳﻰ ﺑﻦ ﺍﲰﺎﻋﻴﻞ ﻗﺎﻝ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳘﺎﻡ ﻋﻦ ﺍﻻﻋﻠﻢ ﻭﻫﻮ ﺯﻳﺎﺩ ﻋﻦ ﺍﳊﺴﻦ ﻋﻦ ﺍﰉ ﺑﻜﺮﺓ ﺍﻧﻪ ﺍﻧﺘﻬﻰ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻫﻮ ﺭﺍﻛﻊ ﻓﺮﻛﻊ ﺍﱃ ﺍﻥ ﻳﺼﻞ ﺍﱃ ﺍﻟﺼﻒ (ﻓﺬﻛﺮ ﺫﺍﻟﻚ ﻟﻠﻨﱮ ﻓﻘﺎﻝ ﺯﺍﺩﻙ ﺍﷲ ﺣﺮﺻﺎ ﻭﻻ ﺗﻌﺪ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ ﻭﺍﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ “Musa bin Ismail bercerita padaku: Hamam dari A’lam dia adalah Ziyad dari Hasan dari Abi Bakrah, sesungguhnya Abu Bakrah bercerita, ia masuk masjid hendak shalat sedangkan Nabi SAW sedang rukuk. Ia mengatakan: saya rukuk di belakang shaf, maka Nabi menjawab: semoga Allah menambah semangatmu dan jangan kau ulangi .” Namun menurut Ahmad bahwa Hadits Abu Bakrah dikhususkan karena keumuman hadits hadits Wabishah, yaitu barang siapa memulai shalat sendirian di belakang shaf kemudian masuk sebelum bangunnya imam dari rukuk maka tidak wajib mangulangi.27 Namun secara psikologi bahwa berjalan sambil rukuk menuju shaf dalam keadaan tergesa-gesa, yang demikian tidaklah lebih utama apabila tujuannya untuk mengejar rakaat imam. Pada hal yang lebih utama adalah mendapatkan jamaah. Dan berjamaah tidak harus diperoleh dengan tergesagesa dan tidak harus mendapatkan rukuk imam. Di mana bisa mengikuti salah satu rukun shalat yang sedang dikerjakan imam, maka seseorang telah mendapatkan berjamaah baik itu i’tidal, sujud, tahiyyat atau yang lain.
27
Al Hafidh Ahmad Bin Ali Bin Hajar al Asqalani, op. cit. hlm. 269.
84
Kedua hadits yang berlawanan tersebut
memiliki kualitas yang
berbeda. Hadits Wabishah dan Abu Syaiban shahih sedangkan hadits Abu Bakrah dlaif karena munqati’nya sanad. Oleh karena itu hanya Hadits yang shahih tersebutlah yang dapat dujadikan hujjah. Dan Ibn Hazm mengkompromikam hadits yang bertentangan itu agar diperoleh persesuaian antara keduanya dengan saling mendukung untuk berjalan seiring. Istinbath Ibn Hazm dijelaskan bahwa apabila terdapat dua nash yang berlawanan (ta’arud al adillah), maka kedua dalil nash tersebut diamalkan kedua-duanya, baik itu Al Quran maupun al hadits. 28 Dalam masalah ini Ibn Hazm tidak konsisiten dengan garis istinbathnya berkaitan dengan ta’arud al adilah dalam masalah ini. Terbukti beliau mengesampingkan hadits Abu Bakrah dengan tidak mengamalkannya. Tapi beliau mengamalkan hadits Wabishah dan Abu Syaiban. Walaupun Ibn Hazm beralasan bahwa karena ada sesuatu hal, untuk mengecualikan kasus Abu Bakrah. Namun itu adalah sebatas keyakinan Ibn Hazm, karena beliau tidak bisa membuktikannya. Pendapat Ibn Hazm dengan jalan kompromi kedua hadits tersebut adalah : hadits Abu Bakrah berisikan perintah sesudah terjadinya pekerjaan, pekerjaan itu dianggap sah. Namun pekerjaan yang dilakukan setelah larangan tersebut adalah tidak boleh.29 Boleh shalat berdiri sendiri di belakang shaf 28
Ibn Hazm, Al Ihkam fi Ushul al Ahkam, Jilid 1, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyah,
t.th., hlm.161.
29
Ibn Hazm, Al Muhalla, op. cit.. hlm. 56.
85
adalah hanya sekali itu untuk Abu Bakrah, saja dan tidak untuk selainnya. Apabila di kemudian waktu dilakukan berarti melanggar larangan itu.. Dapat disimpulkan beliau menyelesaikan ta’arud al adillah (antara hadits Wabishah dan hadits Abu Bakrah) tersebut menggunakan metode al jam’u 30 sebagai mana ulama’ lain. Sehingga dengan jalan ini diperoleh kedua hadits tersebut bisa diamalkan kedua-duanya. Argumen tersebut adalah sebatas keyakinan Ibn Hazm tentang shalat Abu Bakrah dan tidak diketahui secara pasti oleh jumhur ulama tentang kondisi sebenarnya tentang shalat Abu Bakrah tersebut. Oleh karena kualitas hadits Wabishah dan Abu Syaiban dengan hadits Abu Bakrah tidak sama yakni shahih dan dlaif, maka tidak bisa dipakai penyelesaian pertentangan nash itu dengan jalan kompromi. Kompromi dipakai apabila nash-nash yang bertentangan itu memilki kualitas yang sama yakni sama-sama shahih. Karena demikian jalan yang ditempuh seharusnya tarjih31 yaitu memilih dan mengamalkan dalil atau alasan yang terkuat (rajih) di antara dalil-dalil yang tampak adanya perlawanan satu sama lain. Oleh karena itu hadits yang shahih, yakni hadits Wabishah dan Abu syaiban adalah rajih dan diamalkan. Dan hadits Abu Bakrah ditinggalkan.
30
Metode ini disebut al jam’u wa at taufiq, yaitu dengan cara menyelesaikan salah satu atau kedua nash yang bertentangan itu sehingga diperoleh persesuaian antar keduanya karena sebelum adanya kompromi ini secara dzahir keduanya bertentangan. Lihat Abdul Latif Abadullah al Barzanji, Al Ta’arudl Wa at Tarjih Baina al Adillat al Syar’iyyah, Juz 1, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyah, t.th., hlm. 31. 31 Romli SA, op. cit. hlm. 257.
86
Hal ini adalah sebatas mencari solusi pertentangan dalil itu. Dan selanjutnya adalah mengkonfrontasikan antara perintah mengulangi shalat dengan solusi dan bahwa shalat berjamaah adalah sunnah. Oleh karena itu jalan yang harus ditempuh untuk menyelesaikan masalah ini adalah mentakwil Hdits Wabishah dan Abu Syaiban bahwa perintah mengulangi shalat adalah sesuatu untuk mencari keutamaan yang lebih.