BAB III PENDAPAT IBN MAS'UD AL-KASANI TENTANG KEABSAHAN HAJI SESEORANG YANG BERSETUBUH SETELAH WUKUF
Fenomena kebahasaan al-Qur'an menunjukkan bahwa kekuasaan membuat hukum adalah milik Allah.1 Ini berarti bahwa Dialah pemegang kedaulatan hukum. Meskipun begitu al-Qur'an juga memberikan kepada manusia kewenangan mengelola bumi dan isinya (istikmar)2 dan kewenangan (istiklaf) kehidupan di muka bumi.3
A. Biografi Ibn Mas'ud al-Kasani 1. Riwayat Hidup al-Kasani Ibn Mas'ud al-Kasani, nama asli al-Kasani adalah Abu Bakar Mas'ud bin Ahmad bin Alauddin al-Kasani. Sebutan al-Kasani diambil dari istilah kasan, sebuah daerah di sekitar syasy. Dalam kitab misytabihun Nisbah karya ad-Dzahabi disebutkan bahwa daerah kasan merupakan daerah yang luas di
1
Dalam. Q.S. Yusuf ayat 40 dan 67 dan Q.S. Al-An'am ayat 57 terdapat klausa yang memberi pengertian kekuasaan membuat hukum hanya milik Allah semata (al-hukmu Illallah). Ketiga klausa ini dalam konteks yang berbeda, yakni masing-masing berkenaan dengan urusan pengaturan (amr tasry). Urusan menciptakan (amr takwin) dan urusan pengadilan (amr qadha'iy). Yang pertama dan terakhir dapat dihubungkan sehingga menjadi satu katagori hukum, yakni hukum syari'at dan yang kedua hukum tabiat. 2 Dalam Q,S. Hud ayat 61 ditegaskan bahwa manusia di ciptakan di muka bumi dan diberi tugas memakmurkan bumi, penguasa ini berimplikasi pemberi kewenangan mengelola bumi. 3 Dalam Q.S. Al-An'am ayat 165 ditegaskan bahwa manusia dijadikan sebagai khalifah bumi. Selanjutnya dalam Q.S. Shad ayat 26 ditemukan syarat tugas khalifah, yaitu menegakkan kebenaran dan larangan mengikuti hawa nafsu karena menyesatkan dari jalan Allah. Dengan begitu manusia sebagai khalifah Allah mengandung makna manusia mempunyai tugas mengaktualisasikan kebenaran dalam mengelola kehidupan di muka bumi ini.
40
41
Turkistan dan penduduk aslinya sering menyebut daerah tersebut dengan kasan yang berarti sebuah yang indah dan memilki benteng yang kokoh.4 Tahun kelahiran al-Kasani tidak disebutkan dengan jelas, sedangkan waktu wafatnya adalah pada tanggal 10 Rajab 587 H. Ibn 'Adim berkata, saya mendapatkan Dhiyya ad-Din berkata: saya mendatangi al-Kasani pada hari kematiannya, maka al-Kasani membaca surat Ibrahim hingga ketika sampai pada ayat:
ﻪ ﻀﻞﱡ ﺍﻟﻠﹼ ِ ﻳﻭ ﺮ ِﺓ ﻭﻓِﻲ ﺍﻵ ِﺧ ﺎﻧﻴﺪ ﺎ ِﺓ ﺍﻟﺤﻴ ﺖ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟ ِ ﻮ ِﻝ ﺍﻟﺜﱠﺎِﺑ ﻮﹾﺍ ﺑِﺎﹾﻟ ﹶﻘﻣﻨ ﻦ ﺁ ﻪ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ﺖ ﺍﻟﻠﹼ ﺒﻳﹶﺜ ﺎ ُﺀﻳﺸ ﺎﻪ ﻣ ﻌﻞﹸ ﺍﻟﻠﹼ ﻳ ﹾﻔﻭ ﲔ ﺍﻟﻈﱠﺎِﻟ ِﻤ Maka keluarlah ruhnya, al-Kasani dimakamkan disebelah kuburan istrinya, yaitu Fatimah di dalam makam Ibrohim al-Kholil. Makam al-Kasani tersebut dikenal dengan nama makam seorang perempuan dengan suaminya.5 Al-Kasani merupakan salah satu ulama madhab Hanafi yang tinggal di Damaskus pada masa kekuasaan sultan Nuruddin Mahmud dan di masa ini pula al-Kasani menjadi gubenur daerah Halawiyah di Alippo.6 2. Guru-guru al-Kasani Di antara guru-guru al-Kasani adalah sebagai berikut: a. Alaudin Mahmud bin Ahmad al-Samarqondi, al-Kasani belajar fiqh dengan beliau, beliau adalah pengarang kitab fiqh at-Thuhfah, alKasani membaca sebagian besar karangan-karangannya.
4
Ibn Mas'ud al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’fi Tartib al-Sharai’, Juz 1, Bairut: Daar al-
5
Ibid Ibid
Fikr, tth 6
42
b. Sadr al-Islam Abi al-Yasar al-Badawi c. Abu al-Mu'min Maemun al-Khahuli d. Majidul Aimah Imam al-Ridlo al-Syarkasi.7 3. Murid-murid al-Kasani Di antara murid-murid al-Kasani adalah sebagai berikut: a. Mahmud yaitu putra al-Kasani. b. Ahmad bin Mahmud al-Ghoznawi, yaitu pengarang kitab alMuqodimah al-Ghoznawiyah al-Fiqh al-Hanafi.8 4. Karya-karya al-Kasani Di antara karya-karya al-Kasani adalah sebagai berikut: a. Badai’ ash-Shanai’fi Tartib al-Sharai’. Kitab Badai’ ash-Shanai’fi Tartib al-Sharai’, adalah syarah kitab Tukhfah al-Fuquha karya al-Samarqondi, al-Kasani dinikahkan dengan putrinya yaitu Fatimah. Dikatakan bahwa sebab perkawinan al-Kasani dengan Fatimah adalah karena Fatimah perempuan yang cantik yang hafal kitab at-Thuhfah karya ayahnya. Banyak raja-raja dari negeri Ruum yang melamarnya, ketika al-Kasani mengarang kitab badai’ dan memperlihatkan pada gurunya, beliau sangat senang. Kemudian alSamarqondi menikahkan al-Kasani dengan putrinya, dimana sebagian maharnya adalah kitab al-Kasani menyarahi kitab at-Thuhfah nya dan al-Samarqondi menikahkan dengan putrinya.9
7
Ibid Ibid 9 Ibid 8
43
b. Al-Shulton al-Mubin fi Ushul ad-Din. Mengenai kepandaian al-Kasani, sebagaimana yang terdapat pada beberapa syairnya, diantaranya: "Aku mendahului orang-orang yang alim kepada kedudukan yang benar dan kemampuan yang tinggi" "Demikian kebijakan munculnya cahaya petunjuk pada malam yang gelap gulita" "Orang-orang ingkar mendadankannya, tetapi Allah menghalangi hingga Allah yang menyempurnakannya".10 Karya terbesar al-Kasani yaitu kitab fiqh yang berjudul Badai’ ashShanai’fi Tartib al-Sharai’. Kitab ini merupakan salah satu rujukan bagi orang yang bermadhab Hanafi, selain kitab al-Mabsut karangan Imam Kamal Ibn Humam. Kitab Badai’ ash-Shanai’fi Tartib al-Sharai’ merupakan penjelasan dari kitab tuhfah fuqoha yang ditulis oleh as-Samarqondi. Dalam kitab Badai’ ash-Shanai’fi Tartib al-Sharai’ yang terdiri dari 8 (delapan) jilid ini, al-Kasani juga membicarakan segala persoalan mulai dari ibadah, sosial dan politik.
B. Pendapat dan Istinbat Hukum Ibn Mas'ud al-Kasani tentang Keabsahan Haji Seseorang yang Bersetubuh Setelah Wukuf 1. Pendapat Ibn Mas'ud al-Kasani tentang Keabsahan Haji Seseorang yang Bersetubuh setelah Wukuf
10
Ibid
44
Berkenaan dengan tema pokok dalam penulisan skripsi ini, penulis dalam hal ini akan memfokuskan pada pandangan al-Kasani mengenai keabsahan haji seseorang yang bersetubuh setelah wukuf. Fiqh sebagai terjemah shadiqoh dan rinci terhadap syari'at Islam serta sebagai metode implementasi (minhaj) al-Qur'an dalam menata kehidupan. Pokok pikiran ini mengharuskan wujud bukti adanya ikatan yang jelas antara kreasi berpikir mujtahid berupa pendapat hukum dengan sumber aslinya (adillah ahkam). Dalil bagi setiap hukum berkedudukan sebagai ruh (jiwa) yang untuk mengoperasikannya diperlukan pendekatan berbekal kecakapan yang memadai (malakah). Faktor ketepatan memilih dalil, disamping realitifitas kadar malakah masing-masing mujtahid yang melakukan ijtihad sesudah terputusnya wahyu, telah menjadikan teramat spekulatif untuk memastikan berada dipihak mana kebenaran sejati yang tunggal itu. Kreasi berpikir mujtahid merupakan keniscayaan, sebab merumuskan hukum fiqh langsung dari al-Qur'an berisiko melepas Islam dari akal pangkalnya. Demikian bila ditempuh lewat pendekatan sunnah semata, pasti berakses mempersempit wawasan agama dari kehidupan nyata yang seharusnya diantisipasi bermodal elastisitas hukum terapan agar agama Islam itu tetap eksis dalam mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia. Berdasarkan termologi fiqh Islam, ijtihad mempunyai pengertian yang khas dan unik. Al-Ghozali menjelaskan ijtihad sebagai mencurahkan segala kemampuan dalam melakukan sebuah perbuatan. Kemudian al-
45
Ghozali melanjutkan, tetap kata ini dalam 'uruf para ulama digunakan secara spesifik untuk seorang mujtahid yang mencurahkan segenap kemampuannya dalam mencari ilmu hukum-hukum syari'at.11 Sedangkan lebih rinci ad-Dahlawi memberi penjelasan yang lebih tegas dengan berkata,
hakekat
ijtihad
adalah
mencurahkan
kemampuan
untuk
mengetahui hukum-hukum syari'at dari dalil-dalilnya yang terperinci, yang secara global kembali keempat macam dalil yaitu, al-Kitab, as-Sunnah, ijma, dan qiyas.12 Dalam masalah bersetubuh yang dilakukan pada waktu haji para jumhur ulama mengatakan bahwa bersetubuh yang dilakukan pada waktu haji itu dapat menyebabkan hajinya rusak atau batal. Sebagaimana firman Allah SWT: 13
ﺞ ﺤ ﺍ ﹶﻝ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟﻭﻟﹶﺎ ِﺟﺪ ﻕ ﻮﻭﻟﹶﺎ ﹸﻓﺴ ﺚ ﺭﹶﻓ ﹶ ﺞ ﹶﻓﻠﹶﺎ ﺤ ﻦ ﺍﹾﻟ ﺽ ﻓِﻴ ِﻬ ﺮ ﻦ ﹶﻓ ﻤ ﹶﻓ
Artinya : ”Siapa yang telah mendapat kewajiban haji, janganlah ia melakukan perbuatan rofast, kefasikkan, dan pertengkaran dalam ibadah haji. Dengan melihat keumuman nash di atas para Jumhur ulama berpendapat bahwa seseorang dalam keadaan ihram tidak boleh melakukan hubungan suami istri, berbuat kefasikan/kemaksiatan dan bertengkar selama ibadah haji, karena perbuatan tersebut kalau sampai
11
Imam Abu Hamid Muhamad al-Ghozali, al-Mustafa, Juz 2, Bairut: Daar al-Kitab alIlmiyah, tth, hlm 350. 12 Sayyid Murtadha al-As'ari, Mu'alam al-Madrasatain, Juz 2, Bairut: Daar Kitab alIlmiyah tth, hlm 25. 13 Ibid, hlm 48
46
terjadi maka akan membatalkan hajinya dan wajib mengulangi tahun depan. Untuk menciptakan terwujudnya hukum Islam ini, melalui kitab Badai’ ash-Shanai’fi Tartib al-Sharai’, al-Kasani berpendapat bahwa persetubuhan yang dilakukan setelah wukuf maka hajinya tidak rusak atau batal tetapi diwajibkan membayar fidyah. Al-Kasani di dalam kitabnya menjelaskan tentang sesuatu yang merusak haji dan bagaimana hukumnya haji yang sudah rusak. Adapun yang merusak haji adalah bersetubuh tetapi sesuai dengan ketentuannya (syaratnya). Adapun dalilnya adalah hadist yang diriwayatkan oleh segolongan sahabat r.a. para sahabat berkomentar tentang seseorang yang bersetubuh dengan istrinya sedangkan keduanya dalam keadaan ihram, maka keduanya meneruskan ihram nya tetapi wajib bagi keduanya membayar hadyu (qurban) dan mengqodha hajinya pada tahun depan dan keduanya cerai. Karena bersetubuh adalah kebutuhan pokok bagi orang tidak haji, maka bersetubuh ketika ihram adalah sebuah pelanggaran berat oleh karena itu bisa merusak ihram nya.14 Dalam masalah ini, al-Kasani berpendapat bahwa persetubuhan yang dilakukan pada waktu haji yang dapat merusak atau membatalkan ibadah hajinya, itu harus sesuai dengan ketentuan atau syarat-syarat yang sebagaimana dijelaskan di dalam kitabnya bahwa:
14
al-Kasani, op cit, hlm 216
47
ﻭﺍﻣﺎ ﺷﺮﻁ ﻛﻮﻧﻪ ﻣﻔﺴﺪﺍ ﻓﺸﻴﺎﻥ ﺍﺣﺪﳘﺎ ﺍﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﳉﻤﺎﻉ ﰱ ﺍﻟﻔﺮﺝ ﺣﱴ .ﻟﻮﺟﺎﻣﻊ ﻓﻴﻤﺎ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﻔﺮﺝ ﺍﻭﳌﺲ ﺑﺸﻬﻮﺓ ﺍﻭﻋﺎﻧﻖ ﺍﻭﻗﺒﻞ ﺍﻭﺑﺎﺷﺮ ﻻﻳﻔﺴﺪ ﺣﺠﻪ ﺎ ﻻﻳﻔﺴﺪ ﻭﺍﻟﺜﺎﱏ ﺍﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻮﻗﻮﻑ ﺑﻌﺮﻓﺔ ﻓﺎﻥ ﻛﺎﻥ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻮﻗﻮﻑ 15
.ﺍﳊﺞ
"Sedangkan syarat bersetubuh yang bisa merusak haji itu ada dua. Yang pertama, bersetubuh itu dilakukan pada farji, sehingga jika bersetubuh itu dilakukan tidak pada farji atau hanya dengan birahi (sahwat), berpelukan, berciuman atau bersentuhan, maka tidak merusak atau membatalkan hajinya. Yang kedua, bersetubuh dilakukan sebelum wukuf di Arafah, jika dilakukan setelah wukuf di Arafah maka hajinya tidak rusak atau batal". Menurut Wahbah az-Zuhaily di dalam kitabnya al-Fiqh al-Islam Waadillatuh, mengutip pendapat ulama Hanafiyah adalah sebagai berikut:
ﻓﻤﻦ ﺟﺎﻣﻊ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻮﻗﻮﻑ,ﺍﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﳉﻤﺎﻉ ﻋﻨﺪ ﺍﳊﻨﻔﻴﺔ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻮﻗﻮﻑ ﺑﻌﺮﻓﺔ ﻻﻥ, ﻭﻋﻠﻴﻪ ﺑﺪﻧﺔ ﺍﻥ ﺟﺎﻣﻊ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻮﻗﻮﻑ ﻗﺒﻞ ﺍﳊﻠﻖ, ﱂ ﻳﻔﺴﺪ ﺣﺠﻪ,ﺑﻌﺮﻓﺔ , "ﺍﳊﺞ ﻋﺮﻓﺔ" ﺍﻱ ﺍﻟﻮﻗﻮﻑ ﺑﻌﺮﻓﺔ: ﳊﺪﻳﺚ,ﺍﻟﺮﻛﻦ ﺍﻻﺻﻠﻲ ﻫﻮ ﺍﻟﻮﻗﻮﻑ ﺑﻌﺮﻓﺔ 16
.ﻭﻋﻠﻴﻪ ﺷﺎﺓ ﺍﻥ ﺟﺎﻣﻊ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻮﻗﻮﻑ
"Adapun bersetubuh menurut ulama Hanafiyah dilakukan sebelum wukuf di Arafah, barang siapa yang bersetubuh setelah wukuf di Arafah, maka hajinya tidak rusak atau batal dan diwajibkan membayar onta badanah, apabila bersetubuh setelah wukuf sebelum mencukur. Karena rukun yang paling utama adalah wukuf di Arafah, karena ada hadist "haji adalah Arafah" artinya wukuf di Arafah, dan diwajibkan membayar kambing apabila bersetubuh sebelum wukuf".
15 16
Ibid, hlm 216-217 Wahbah az-Zuhaily, op cit, hlm 246
48
Sementara itu, di dalam buku ensiklopedi haji dan umroh, ulama Hanafiyah berpendapat bahwa haji itu batal disebabkan jimak dengan syarat hal itu terjadi sebelum wukuf di Arafah. Sedang apabila ia menjimak istrinya setelah ia wukuf di Arafah, sebelum melaksanakan rukun kedua, yaitu thawaf Ziarah, maka hajinya itu tidak batal. Yang demikian itu dikarenakan menurut ulama Hanafiyah, haji itu tidak dapat batal setelah wukuf di Arafah.17 Dari pernyataan di atas cukup jelas, bahwa menurut al-Kasani bersetubuh pada waktu haji itu dapat merusak atau membatalkan haji, tetapi harus sesuai dengan ketentuan atau syarat-syarat yang dijelaskan di atas. Menurut al-Kasani bahwa wukuf di Arafah merupakan rukun haji yang paling utama, maka barang siapa yang sudah wukuf di Arafah maka hajinya sudah sempurna jadi seseorang yang melakukan persetubuhan setelah wukuf di Arafah sebelum melaksanakan rukun yang kedua yaitu thawaf Ziarah maka tidak sampai membatalkan hajinya karena mereka sudah melaksanakan wukuf di Arafah. Seseorang yang melakukan persetubuhan pada waktu haji ia diwajibkan membayar fidyah karena melakukan pelanggaran yang terberat. Sedangkan kesalahan sebelum wukuf itu lebih berat, sebab tejadi saat didirikannya ihram mutlak.
17
Abdul Hakim dan Ikhwan, op.cit., hlm. 24-25.
49
2. Istinbat Hukum al-Kasani tentang Keabsahan Haji Seseorang yang Bersetubuh setelah Wukuf Menurut al-Kasani bersetubuh yang dilakukan setelah wukuf tidak membatalkan haji, karena wukuf merupakan rukun haji yang paling utama yaitu wukuf di arafah. Barang siapa yang sudah wukuf di arafah maka hajinya sudah sempurna dan ia diwajibkan membayar fidyah, karena melakukan pelanggaran yang terberat dalam ibadah haji. Istinbat hukum yang dipakai oleh al-Kasani dalam masalah ini, beliau menggunakan hadist Nabi yang dijelaskan di dalam kitabnya.
ﺍﳊﺞ ﻋﺮﻓﺔ ﺍﻱ ﺍﻟﻮﻗﻮﻑ ﺑﻌﺮﻓﺔ "Haji adalah wukuf artinya wukuf di Arafah” Untuk mengetahui lebih jelasnya hadist yang di sebutkan di atas, penulis akan mencantumkan hadist tentang wukuf di Arafah yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Ya'mar, yaitu:
ﻋﻦ ﻋﻴﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺑﻦ ﻳﻌﻤﺮ ﺍﻟﺪﻳﻠﻲ ﻳﻘﻮﻝ ﺷﻬﺪﺕ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻫﻮ ﻭﺍﻗﻒ ﺑﻌﺮﻓﺔ ﻓﺎﺗﺎﻩ ﻧﺎﺱ ﻣﻦ ﺍﻫﻞ ﳒﺪ ﻓﻘﺎﻟﻮﺍ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻛﻴﻒ ﺍﳊﺞ؟ ﻓﻘﺎﻝ ﺣﺞ ﻋﺮﻓﺔ ﻣﻦ ﺟﺎﺀ ﻗﺒﻞ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻔﺠﺮ, ﺍﳊﺞ:ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
50
ﻭﻣﻦ, ﺍﻳﺎﻡ ﻣﲎ ﺛﻼﺛﺔ ﻓﻤﻦ ﺗﻌﺠﻞ ﰱ ﻳﻮﻣﲔ ﻓﻼ ﺍﰒ ﻋﻠﻴﻪ,ﻣﻦ ﻟﻴﻠﺔ ﲨﻊ ﰎ ﺣﺠﻪ 18
.ﻦ ﰒ ﺍﺭﺩﻑ ﺧﻠﻔﻪ ﺭﺟﻼ ﻓﺠﻌﻞ ﻳﻨﺎﺩﻯ,ﺗﺎﺧﺮ ﻓﻼ ﺍﰒ ﻋﻠﻴﻪ
Artinya: Dari Abdurrahman bin Ya’mar ad-Dayly berkata: saya menyaksikan Rasulallah SAW, sewaktu beliau wukuf di Arafah, maka orang–orang dari ahli Najd mendatangi Rasulallah dan berkata: ya Rasulallah bagaimanakah haji? Maka Rasulallah bersabda: Haji, haji adalah wukuf di Arafah. Barang siapa datang sebelum shalat Shubuh dari malam jama’ (Muzdalifah) maka ia menyempurnakan hajinya. Hari–hari mina tiga hari. Barang siapa ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada berdosa baginya. Dan barang siapa yang menangguhkan keberangkatannya dari dua hari itu, maka tiada berdosa baginya. Katanya, kemudian beliau membonceng seseorang laki–laki di belakang beliau, menyerukan suara itu. Bahwa hadist di atas menceritakan kesempurnaan haji karena wukuf. Makna di sini bukanlah lawan kurang, sebab sempurnanya haji tidak cukup hanya dengan wukuf. Makna sempurna di sini ialah terbebas dari kemungkinan rusak atau luputnya haji. Selain itu wukuf merupakan rukun tersendiri yang tidak terkait dengan rukun yang lain baik wujud maupun sahnya. Sehingga rangkaian ibadah haji yang dikerjakan tidak dapat rusak atau batal kecuali karena murtad, apabila ibadah haji yang lewat tidak rusak, maka yang setelah wukuf pun tidak rusak, karena rusaknya ibadah setelah wukuf itu disebabkan rusaknya wukuf, namun wajib baginya membayar seekor onta badanah.19
18 Imam Ahmad, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Juz 4, Bairut: Dar al–Kutub al– Amaliah, Cet Ke I, 1993, hlm 409 19 Ibid
51
Dengan demikian, melihat keterangan di atas bahwa istinbat hukum yang dipakai oleh al-Kasani tentang keabsahan haji seseorang yang bersetubuh setelah wukuf, beliau menggunakan hadist, sebagaimana yang dijelaskan di dalam kitabnya:
ﺍﳊﺞ ﻋﺮﻓﺔ ﺍﻱ ﺍﻟﻮﻗﻮﻑ ﺑﻌﺮﻓﺔ