61
BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT IBN TAIMIYAH TENTANG JUMLAH MASA IDDAH BAGI WANITA YANG KHULUK
Sebagaimana penulis sampaikan pada bab II, bahwa konsep perceraian dalam Islam dimaksudkan untuk memberi kemaslahatan bagi orang yang bercerai. Hanya saja konsep tersebut dipahami sebagai hubungan atau transaksi yang berimbas pada bentuk "merugikan dan dirugikan". Ini dapat dilihat dari terminologi yang ditawarkan oleh ahli fiqih yaitu terminologi suami diartikan sebagai kekuasaan atau kewenangan yang dapat dipaksakan, lebih-lebih lagi ketika membicarakan perceraian antara suami isteri yang pada dasarnya memang karena kesalahan suami. Oleh karena itu dalam Islam isteri diberikan hak untuk dapat bercerai dari suami, yaitu dengan jalan khuluk. Disini penulis ingin mencoba mengungkapkan pendapat Ibn Taimiyah tentang masa iddah bagi wanita yang khuluk. Di dalam pendapat Ibn Taimiyah masa iddah wanita yang khuluk adalah satu kali haid, pendapat ini bertentangan dengan pendapat para ulama yang menyatakan bahwa wanita yang khuluk masa iddahnya adalah tiga kali suci. Karena jumhur ulama menyamakan hukum khuluk dengan talak ba'in.
62
A. Analisis Terhadap Pendapat Ibn Taimiyah Tentang Jumlah Masa Iddah Bagi Wanita Yang Khuluk Islam adalah agama yang sempurna, mengatur segala aspek kehidupan manusia, baik ibadah, muamalah (ekonomi, sosial, budaya, perdata), jinayat (hukum pidana), siyasah (politik), kewarganegaraan dan seperti yang penulis bahas yakni munakahat. Dan semua itu Islam memberikan legalitas, kritik dan penyempurnaan hingga terbentuk suatu tatanan yang harmonis dan juga menciptakan tatanan sosial yang baru lebih mencerminkan bahwa Islam adalah Rahmatan lil alamin. Terhadap berbagai problem yang terjadi ditengah-tengah masyarakat kebanyakan al-Quran tidak memberikan suatu solusi yang rinci. Aturan dan hukum-hukum yang tercantum dalam al-Qur'an dirasa masih global. Sehingga para ulama masih merasa perlu untuk merinci hal yang global atau mujmal tersebut dalam bentuk ra'yi atau ijtihad mereka. Dengan demikian diharapkan hukum-hukum tersebut lebih mudah dimengerti dan diterapkan dalam kehidupan keseharian dalam masyarakat. Salah satu dari hasil ijtihad tersebut adalah pendapat Ibn Taimiyah tentang jumlah masa iddah bagi wanita yang khuluk. Dimana pendapat Ibn Taimiyah dalam kitabnya ”Majmu' al Fatawa" mengenai jumlah masa iddah bagi wanita yang khuluk adalah satu kali haid. Islam adalah suatu agama universal dalam setiap hukum yang diterapkan selalu adil, seperti dalam perceraian Sesuai dengan firman Allah SWT surat al-Baqarah ayat 229 dan hadits Tsabit bin Qais, Islam tidak hanya
63
memberikan hak kepada suami untuk menceraikan isterinya, Namun dalam Islam seorang wanita pun diberikan hak untuk meminta cerai dari suaminya. Hak cerai dari pihak isteri disebut khuluk, akibat dari perceraian tersebut timbulah masa iddah (masa menunggu). Mengenai iddah bagi wanita yang khuluk ini menjadikan perdebatan yang sangat kuat dari kalangan Imam Madzhab. Hal ini disebabkan oleh pemikiran-pemikiran dan latarbelakang dalam mengambil istinbath hukum mengenai hal itu. Dari pemikiran Ibn Taimiyah dinyatakan bahwa iddah bagi wanita yang khuluk adalah satu kali haid, seperti kata beliau dalam kitabnya "Saya tidak mengetahui seseorang dari ahli ilmu dengan menukil hadits yang telah dinukil oleh sahabat bahwasanya khuluk itu adalah talak ba'in dan dihitung tiga kali sucian. Tetapi karena sudah ada hadits yang telah dinukil dari Utsman dan ahli ilmu menukil hadits dari Utsman dengan sanad yang sahih. Ibn Taimiyah berpendapat dalam kitabnya "Bahwasannya wanita yang khukuk diperintahkan untuk iddah satu kali haid dan ahli ilmu berkata tidak ada iddah bagi wanita yang khuluk".1 Dengan berpijak pada informasi atau data-data yang telah penulis peroleh didepan, penulis melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada. Sebelum mengkritisi apa yang disampaikan oleh Ibn Taimiyah, ada beberapa hal yang ingin penulis jelaskan. Pertama, perceraian adalah merusak hubungan perkawinan, dan oleh karenanya selalu menyakitkan. Perceraian juga menentukan kesetaraan 1
Ibn Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa, Jilid 18, Beirut-Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, t.th, hlm. 147
64
kekuasaan antara dua jenis kelamin. Siapa yang mempunyai kekuasaan untuk mengambil inisiatif cerai sangatlah fundamental terhadap masalah kesetaraan ini. Ada satu pendapat yang dipertahankan, dan ini benar adanya bahwa alQur’an berpihak pada kelompok lemah di masyarakat, dan oleh karena itu membantu dalam memberdayakan perempuan. Lalu, kepada siapa al-Qur’an memberikan kekuasaan untuk cerai? Laki-laki? Atau perempuan? Atau keduanya? Atau, apakah mereka mempunyai sikap androsentrik dalam memahami dan menasirkan ayat-ayat al-Qur’an tentang perceraian? Kedua, benarkah khuluk adalah talak ba'in? Atau, apakah fasakh? Karena dari permasalahan tersebutlah terjadi perselisihan pendapat. Dari kalangan ulama' pada umumnya beranggapan bahwa khuluk adalah talak ba'in sehingga munculah pendapat bahwa wanita yang khuluk iddahnya adalah tiga kali suci. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa khuluk adalah talak. Pendapat ini dikemukakan pula oleh Imam malik.Imam Abu khanifah mempersamakan khuluk dengan talak dan fasakh bersama-sama. Sedang Imam Syafi'i berpendapat bahwa khuluk adalah fasakh. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ahmad dan Daud, dan dikemukakan pula oleh Ibn Abbas ra. Dari kalangan sahabat.2
Diriwayatkan pula dari Imam Syafi'i bahwa khuluk adalah kata-kata sindiran (kinayah). Jadi, jika dengan kata-kata kinayah tersebut suami menghendaki talak, maka talak pun terjadi, dan jika tidak, maka menjadi 2
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid 3, Imam Ghozali Said (penerj), Jakarta: Pustaka Amani, 1995, hlm. 153
65
fasakh. Tetapi dalam qaul jadidnya dikatakan bahwa khuluk adalah talak. Kegunaan pemisahan tersebut adalah, apakah khuluk itu dihitung dalam bilangan talak atau tidak. Jumhur fuqaha yang berpendapat bahwa khuluk adalah talak menjadikanya sebagai talak bain. Demikian itu apabila suami dapat merujuk isterinya pada masa iddah, maka penebusannya itu tidak akan berarti lagi. Abu Tsaur berpendapat bahwa apabila khuluk tidak menggunakan kata-kata talak, maka suami tidak akan bisa merujuk isterinya. Fuqaha' yang menganggap khuluk sebagai talak mengemukakan alasan bahwa fasakh itu tidak lain merupakan perkara yang menjadikan suami sebagai pihak yang kuat dalam pemutusan ikatan perkawinan dan yang bukan berasal dari kehendaknya. Sedang khuluk ini berpangkal pada kehendak (ikhtiyar). Oleh karenanya, khuluk itu bukan fasakh. Akan halnya fuqaha yang tidak menganggap khuluk sebagai talak mengemukakan alasan bahwa dalam al-Qur'an, mula-mula Allah swt. Menyebutkan tentang talak, maka firman-Nya: Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali, kemudian Dia berfirman: Jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sehingga ia kawin dengan suami yang lain (Q.S. al-Baqarah: 229-230).3 Jika tebusan itu adalah talak, berarti dimana isteri tidak halal lagi bagi suami kecuali sesudah ia kawin lagi dengan lelaki yang lain itu, menjadi talak yang keempat.
3
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV Al-Waah, 1994, hlm.55
66
Tatanan struktur sosial dan budaya yang membawa perempuan terdiskriminasi diperkuat oleh pendapat ulama yang mengharuskan wanita khuluk beriddah dengan tiga kali haid. Memang ulama tidak murni harus dipersalahkan, sebab ulama mempunyai hak untuk berfatwa dan berpendapat berdasarkan pemahaman yang dimilikinya. Perlu diingat bahwa dalam memberikan fatwa atau pendapat mereka tidak lepas dari bingkai ruang dan waktu. Solusi bijak yang mungkin bisa dilakukan yaitu dengan cara merubah pola pikir bahwa perempuan juga berhak menerima hak yang sama dengan laki-laki. Salah satunya dengan khuluk yang merupakan prioritas perempuan. Dalam bab terdahulu dijelaskan mengenai ulama yang membedakan antara khuluk sebagai fasakh atau talak. Ulama yang menganggap khuluk bagian dari talak adalah mengenai pendapat Ibn Taimiyah yang menyatakan barang siapa memperhatikan pendapat bahwa iddah hanya ditetapkan sebanyak tiga kali haid, agar masa rujuk cukup lama dan suami bisa berpikir panjang serta mendapatkan kesempatan untuk rujuk selama masa iddah ini. Tetapi kalau kesempatan untuk rujuk kepada istrinya (yang pisah) tidak ada, maka maksud (peraturan) tersebut adalah untuk membersihkan rahim dari kehamilan. Dan untuk membuktikan kebersihan ini cukup dengan satu kali masa haid saja, hal ini dapat dilihat dalam karyanya Majmu’ Fatawa. Yang demikian ini adalah pendapat Khalifah Utsman, Abdullah bin Umar, Rubayyi’ binti Muawwiz dan pamannya. Pendapat ini yang diikuti oleh Ibn Abbas dan riwayat yang kuat dari Ahmad, juga pendapat Ishaq bin Rahawaih dan yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah.
67
Dari pemikiran Ibn Taimiyah dinyatakan bahwasanya khuluk itu bukan talak. Seperti halnya pendapat Ibnu Abbas bahwa sistem tebus bukan suatu talak. Namun kebanyakan seseorang menyamakan dan mencampur adukkan kedua istilah itu. Berkaitan dengan pendapatnya diatas, Ibnu Abbas menguatkan argumennya pada firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 229-230. bahwa Allah SWT telah menjelaskan tentang tebusan setelah talak dua kali. Dimana tebusan dalam ayat diatas termasuk sesuatu yang khusus, sedangkan yang lainya adalah bersifat umum. Oleh karena itu meskipun tebusan itu dianggap sebagai talak, maka tebusan termasuk bentuk talak yang keempat. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Ahmad dan dikutip oleh Ibnu Abbas Dari sini penulis menganalisa bahwasanya Ibn taimiyah dalam mengemukakan pendapatnya didasarkan pada as-Sunnah dan Ijma’ sahabat yang menyatakan perbedaan secara jelas bahwa khuluk berbeda dengan talak. Mengenai iddah khuluk ia bersandar pada Hadits serta Ijma’ yang menegaskan bahwa tidak ada rujuk dalam khuluk. Dan tersebut dalam sunnah dan pendapat para sahabat bahwa iddah khuluk adalah satu kali haid. Menurut nash juga khuluk boleh dilakukan setelah talak kedua kali. Dan sesudahnya, masih bisa talak kedua kalinya. Dengan ini jelas sekali bahwa khuluk bukan talak sehingga iddahnya juga berbeda.4 B. Analisis Terhadap Istinbath Hukum Ibn Taimiyah Tentang Jumlah Masa Iddah Bagi Wanita Yang Khuluk
4
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 8, Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr, t.th, hlm. 262
68
Ibn Taimiyah sejak kecil dikenal sebagai seorang anak yang mempunyai kecerdasan otak luar biasa, tinggi kemauan dan kemampuan dalam studi, tekun dan cermat dalam memecahkan masalah, tegas dan teguh dalam menyatakan dan mempertahankan pendapat (pendirian), ikhlas dan rajin dalam beramal shaleh, rela berkorban dan siap berjuang untuk jalan yang benar. Sumber-sumber hukum yang dipergunakan oleh Ibn Taimiyah dalam menetapkan suatu hukum telah jelas. Setiap mujtahid memiliki metode tersendiri dalam memecahkan atau menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Penggunaan metode itu dipengaruhi oleh back-ground (latar belakang) meliputi latar belakang pendidikan, pola hidup, serta kondisi masyarakat sekitar. Diawal sedikit banyak telah penulis jelaskan mengenai Istinbath hukum Ibn Taimiyah yang berbeda dengan Imam madzhab yang dianutnya, Imam Ahmad Ibn Hanbal. Secara umum dalam pengambilan suatu hukum Ibn Taimiyah selalu mengembalikannya kepada al-Qur’an dan sunnah Nabi. Beliau juga menggalakkan ijtihad dan sangat menentang taqlid, sebab beliau hidup ketika terjadi kemunduran dan masa ketika masyarakat mengalami kejumudan. Hal itu merupakan langkah inovatif yang dilakukan oleh beliau untuk mendobrak tatanan yang telah mapan, dimana kondisi umat terbelenggu oleh kejumudan. Menurut penulis, kalau dalam sebagian masalah ada pendapat Ibn Taimiyah yang menyalahi pendapat Ahmad Ibn Hambal, itu hanya menurut
69
sebagian riwayat, karena bersamaan dengan itu, hampir selalu ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa pendapat Ibn Hambal justru sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ibn Taimiyah. Salah satu corak pemikiran Ibn Taimiyah adalah kedekatannya dengan nash, terutama dalam masalah ibadah. Sesuatu yang tidak disebutkan dalam nash dinilai inkonstitusional dan dikategorikan dalam amalan bid’ah. Beliau sangat membenci terhadap amalan yang disebut olehnya dengan bid’ah ini. Bila dalam Al-Qur’an tidak diketemukan dasar hukum terhadap suatu kasus, maka Ibn Taimiyah beralih pada penggunaan as-Sunnah. Tetapi sering kali dalam beberapa kasus disamping diketemukan dasarnya dalam AlQur’an, juga diketemukan dasar-dasarnya di dalam as-Sunnah. maka keduaduanya dipergunakan dengan saling menguatkan. Ibn Taimiyah dikenal sebagai mufti yang dalam menyampaikan fatwa-fatwanya banyak berpegang pada As-Sunnah. Oleh karena itu, tidaklah mengheranklan jika dalam menetapkan hukum suatu masalah, ia tidak akan pergi kepada dalil lain selama ada nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Walaupun Ibn Taimiyah dinilai oleh banyak ulama sebagai pengikut Hadits yang tulen, namun dalam kesempatan yang sama beliau ketat dalam menilai keabsahan Hadits. Langkah selanjutnya, bila tidak diketemukan dasar hukumnya baik dalam al-Qur’an maupun dalam as-Sunnah, maka Ibn Taimiyah menggunakan Ijma’. Sedangkan Ijma’ menurut versi Ibn Taimiyah adalah kesepakatan ulama kaum muslimin mengenai suatu hukum dari beberapa hukum.
70
Lebih lanjut Ibn Taimiyah mengatakan orang yang keluar dari Ijma’ kaum muslimin dinilai sebagai orang yang menempuh jalan selain yang ditempuh oleh orang-orang yang beriman, yang demikian ini dicela oleh alQur’an. Dari uraian di atas, penulis dapat memberikan indikasi betapa kuat Ibn Taimiyah berpegang kepada Ijma’ kaum muslimin sebagai kebenaran yang tidak bercampur dengan kebatilan. Beliau mensyaratkan penggunaan Ijma’ harus benar-benar merupakan seluruh ulama dalam masa tertentu dan tidak memandang cukup Ijma’ yang hanya didasarkan pada kesepakatan sebagian ulama tanpa disetujui oleh sebagian ulama yang lain. Adapun kesepakatan kaum muslimin yang dijadikan hujah oleh Ibn Taimiyah, penulis kurang setuju dengan penggunaan tersebut, karena belum tentu kaum muslimin yang sepakat tentang suatu permasalahan mengetahui istinbath hukum terhadap kasus tertentu, dan juga di dukung oleh pendapat ulama-ulama bahwa kesepakatan kaum muslimin bukanlah hujjah yang mengikat dan bukan pula Ijma’. Berkaitan dengan Ijma’, Ibn Taimiyah bukan orang yang mengabaikan akal pikiran, namun ia meletakkan akal sesuai dengan proposisinya, yaitu dibelakang nash-nash agama, karena menurut kemampuan akal itu terbatas, sehingga ketika seseorang mempergunakan akal pikirannya di dalam memahami sesuatu khususnya al-Qur’an dan as-Sunnah haruslah mengetahui batasan kemampuan akalnya.
71
Selain menggunakan dasar Ijma’, beliau juga menggunakan Qiyas, menurut beliau Qiyas adalah menghimpun dua masalah yang serupa dan memisahkan (membedakan) dua masalah yang berbeda. Sama halnya dengan Ijma’, batasan Qiyas pun sederhana. Namun dalam prakteknya tidak banyak berbeda dengan penggunaan Qiyas Ibn Taimiyah dengan para ulama pada umumnya. Hanya saja Ibn Taimiyah termasuk ulama yang membolehkan penggunaan Qiyas berdasarkan hikmah. Menurut penulis, penggunaan metode Qiyas oleh Ibn Taimiyah yang berdasarkan hikmah kurang tepat, karena pada dasarnya hikmah berbeda dengan ‘illat. ‘Illat adalah sifat yang jelas (Mundhabit), sedangkan hikmah ini merupakan sifat yang tidak jelas (ghairu Mundhabit). Jadi ketika menggunakan analogi berdasarkan ‘illat, maka akan menghasilkan hukum yang jelas, sedangkan jika menggunakan berdasarkan hikmah maka sebaliknya, akan menghasilkan hukum yang tidak jelas (rancu). Lebih dari itu hikmah hanya bisa diketahui oleh panca indra dan tergantung pada aspek apa dan siapa yang memandangnya. Adakalanya sesuatu yang bernilai positif dapat berdampak (hikmah) negatif, sebaliknya sesuatu yang bernilai negatif dapat berdampak positif. Oleh karena itu, penggunaan Qiyas berdasarkan hikmah akan lebih banyak menghasilkan kesimpulan hukum yang rancu. Hal ini sesuai dengan pendapat jumhur ulama bahwa penentuan hukum terutama dalam Qiyas, harus didasarkan pada ‘illat bukan pada hikmah. Sehingga dengan menggunakan ‘illat tersebut dapat menghasilkan kesimpulan yang tidak rancu.
72
Sebagaimana yang dijelaskan diawal bahwa menurut Ibn Taimiyah seluruh nash syari’at diillati dengan kemaslahatan, begitu juga mengenai iddah bagi wanita yang khuluk. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Anbiya’:
(18 :ﻭﻣﺎ ﺍﺭﺳﻠﻨﻚ ﺍﻻ ﺭﲪﺔ ﻟﻠﻌﻠﻤﲔ )ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ Artinya: “dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (Qs. Al-Anbiya’: 107).5 Dalam masalah iddah khuluk Ibn Taimiyah beristinbath menggunakan al-Hadist dikisahkan dari isteri Tsabit bin Qais yang datang kepada khalifah Utsman,
. ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﺜﺎﺑﺖ ﺧﺬ ﺍﻟﺬﻯ ﳍﺎ ﻋﻠﻴﻚ ﻭﺧﻞ ﺳﺒﻴﻠﻬﺎ 6
ﻓﺄﻣﺮﻫﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ )ﺹ( ﺃﻥ ﺗﻌﺘﺪ ﲝﻴﻀﺔ ﻭﺍﺣﺪﺓ ﻭﺗﻠﺤﻖ ﺑﺄﻫﻠﻬﺎ. ﻧﻌﻢ: ﻗﺎﻝ
Artinya: bersabda Rasulullah SAW kepada tsabit: ambillah miliknya (isteri Tsabit) untukmu (Tsabit) dan mudahkanlah urusannya. Lalu ia menjawab: baik. Lalu Rasulullah S.A.W. menyuruh isteri Tsabit beriddah dengan satu kali haid dan dikembalikan kepada keluarganya. (H.R Nasa'I dengan perawi-perawi yang kepercayaan). Demikianlah pendapat yang diikuti oleh Utsman, Ibnu Abas dan riwayat yang paling kuat dari Ahmad, juga pendapat Ishaq bin Rahawaih dan yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah Dari istinbath hukum Ibn Taimiyah yang dilandaskan pada hadits tersebut menurut penulis dapat diakui validitasnya, karena sanadnya tidak terputus-putus, sehingga dapat diakui kebenarannya dan juga rawinya dapat dipercaya dan diakui kredibilitasnya. 5 6
Depag RI, op. cit. hlm. 508 Imam An-Nasa’I, Sunan An-Nasa’I, Juz 5, Beirut: Dar Al-Fikr, t.th, hlm. 169
73
Berdasarkan hadits tersebut Ibn Taimiyah menguatkan pendapatnya bahwa iddah khuluk dengan satu kali haid. Kalau ditelusuri lebih mendalam dalam menggunakan suatu dasar dalam beristinbath hukum, Ibn Taimiyah tetap mengacu dan mendasarkan pada dasar yang lebih kuat. Dan sangatlah bermanfaat dalam rangka menghindari penetapan hukum yang bertentangan dengan syara’ yang lain. Selain hadits Ibn Taimiyah juga menggunakan al-Ijma’ sebagai dalil Naqli ketiga, yang disandarkan pada kesepakatan sahabat bahwa iddah wanita yang khuluk cukup dengan satu kali haid. Pendapat ini yang dipegangi oleh Utsman, Ibnu Abbas, Umar pendapat ini bukan dari salah seorang ulama’salaf, madzhab Ishaq, Ibn Mundzir dan selain keduanya dan ini diriwayatkan dari sabda Rasulullah SAW dalam beberapa sunnah Rasul.7 Seperti diketahui bahwa cerai khuluk adalah gugatan dari pihak isteri kepada suami karena adanya ketidak cocokan antara keduanya lalu dengan tebusan maka isteri bisa melepaskan diri dari suami. Akan tetapi yang menjadi persoalan gugatan cerai kebanyakan atas dasar kesalahan suami. Sehingga dengan putusnya hubungan perkawinan akan berimbas pada keluarga terutama pihak isteri dan anak-anaknya. Dari pendapat Ibn Taimiyah dinyatakan jika cerai khuluk cukup beriddah dengan satu kali haid. Karena dari sisi hukum jelas khuluk tidak boleh dirujuk maka kalau masa iddah dimaksudkan untuk membersihkan rahim dari kehamilan maka cukup dengan satu kali haid.
7
Majmu al-Fatawa, op. cit. hlm. 147
74
Dari sisi kemaslahatan kaitannya dengan realita sekarang banyak dari mereka kaum janda yang harus menanggung keluarganya sendiri karena tidak adanya tanggungjawab dari suami. Sehingga jika harus beriddah yang cukup lama kemungkinan keluarga akan terlantar. Karena kebanyakan kasus setelah adanya perceraian maka suami lari dari tanggungjawab dengan meninggalkan kewajibannya. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan Ibn Taimiyah dalam fatwanya, penulis sepakat bahwa wanita yang khuluk iddahnya adalah satu kali haid. Dilihat dari syari’at dan kemaslahatannya pada masa sekarang bahwa seorang wanita yang khuluk kemudian menyandang predikat (janda) apalagi kalau sudah ada anak tentu saja tidak mudah dalam menjalani hidup yang penuh tantangan ini. Dengan demikian, pemahaman bahwa khuluk adalah talak yang berimbas pada masa iddah yang lebih panjang tidak bisa memberikan solusi yang lebih baik kedepan. Mengenai dasar hukum khuluk sudah jelas bahwa Rasulullah sendiri bersabda bahwa wanita yang khuluk hendaknya beriddah dengan satu kali haid. Yang demikian adalah pendapat Ibn Taimiyah.