STUDI ANALISIS TERHADAP KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI Skripsi Disusun untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 dalam Ilmu Syari‟ah
Oleh : ABDUL GHOFUR 072111008
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2012
3
Deklarasi
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, Deklarator,
Abdul Ghofur
4
Abstrak Iddah adalah suatu masa yang mengharuskan perempuan yang telah diceraikan suaminya, baik cerai mati atau cerai hidup, untuk menunggu sehingga dapat diyakinkan bahwa dalam rahimnya telah berisi atau kosong dari kandungan. Itulah sebabnya ia diharuskan menunggu dalam masa yang ditentukan. iddah telah dijelaskan secara eksplisit oleh nash al-Qur‟an maupun Sunnah. Akan tetapi ketika iddah tersebut dihadapkan pada suatu peristiwa yang tidak lazim, seperti seorang perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah karena menyusui, maka iddah tersebut menjadi sebuah masalah yang membutuhkan pengkajian secara cermat. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1).Bagaimana perhitungan iddah perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah karena menyusui dalam Kompilasi Hukum Islam dan 2).Apa dasar hukum iddah perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah karena menyusui dalam Kompilasi Hukum Islam. Dalam menyelesaikan permasalahan ini, penulis melakukan penelitian secara kualitatif dengan mengumpulkan data-data kepustakaan atau disebut dengan istilah library research. Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan analisis yang bersifat “diskriptif” yang berusaha menggambarkan mengenai masalah tersebut. Metode ini digunakan untuk memahami ketentuan iddah bagi perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah karena menyusui dalam KHI pasal 153 ayat (5) dan dasar hukumnya. Hasil dari penelitian yang penulis lakukan adalah: pertama, Perempuan yang sedang menyusui, kaitannya dengan masalah iddah, ia dianalogikan sebagai wanita yang berpenyakit. Bukan berarti susu itu adalah penyakit. Akan tetapi, menyusui yang mengakibatkan berhentinya haid itulah yang menjadikan wanita ini disamakan dengan wanita yang memiliki penyakit (illat). Kedua, Dalam KHI Pasal 153 ayat (5) mengandung ketentuan bahwa jika wanita yang haidnya berhenti karena menyusui atau sebab penyakit itu telah mencapai usia menopause, maka beriddah tiga bulan. Meski hal ini tidak dijelaskan langsung secara eksplisit. Ketentuan iddah yang tertuang dalam KHI Pasal 153 ayat (5) berdasar pada pendapat ulama yang bermazhab Syafi‟i yaitu Syaikh Sulaiman.
5
MOTO
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”.1
1
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008, hlm. 36
6
PERSEMBAHAN
Dengan segala kerendahan hati skripsi ini penulis persembahkan kepada : Bapak dan Ibu tercinta, kakak-kakaku dan keponakan-keponakanku atas kasih sayang serta do‟anya dan atas segala dukungan yang diberikan, baik secara moril maupun materil dengan tulus ikhlas demi kesuksesan saya ini. Keluarga besar PP Al-Ma‟rufiyyah khususnya Abah Yai Abbas Masrukhin dan keluarga, para ustadz khusunya Bpk Nadzir yang tanpa pamrih selalu memberikan ilmu-ilmu dan nasehat sirrinya, kawan-kawan senasib seperjuangan; (kang Huda yamg slalu memberikan suport serta bimbinganya), kang zudin, kang yusro, kang qomar, kang hikam, kang yanto, kang Kharis dan semuanya yang tak mungkin disebutkan satu per satu. Para Bapak dan Ibu dosen IAIN Walisongo yang membimbing penulis hingga menjadi mahasiswa yang berkarakter.
7
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur atas segala kasih sayang-Nya yang telah melimpahkan karunia yang sangat besar, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis sanjungkan kepada beliau Baginda Nabi Muhammad SAW, semoga diakui sebagai umatnya yang setia hingga hari akhir nanti. Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis mendapat bantuan, petunjuk dan bimbingan dari berbagai pihak, dan pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag, selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang. 2. Bapak Dr. H. Imam Yahya, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang yang telah memberi izin penulis untuk membahas dan mengkaji permasalahan ini. 3. Bapak Drs. Taufik, M.H. dan Bapak Muhammad Shoim, S.Ag., M.H. selaku pembimbing I dan II yang telah banyak membantu, dengan meluangkan waktu dan tenaganya yang sangat berharga semata-mata demi mengarahkan dan membimbing penulis selama penyusunan skripsi ini. 4. Ketua Jurusan, Sekjur Hukum Perdata Islam serta Stafnya kami sampaikan terima kasih. 5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Syari‟ah khusunya Ibu Dra. Hj. Siti Amanah, M.Ag. selaku dosen wali dan karyawan dan karyawati di lingkungan Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang yang telah mengajarkan
8
ilmunya dengan ikhlas kepada penulis selama belajar di Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang. 6. Bapak Sugiyanto dan Ibu Supriyati yang dengan tulus dan sabar memberikan dukungan dan do‟a restu, hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang. 7. Pengasuh PP Al-Ma‟rufiyyah, KH. Abbas Masrukhin beserta keluarga dan segenap dewan Asatidz PP Al-Ma‟rufiyyah. 8. Dan semua pihak yang tak bisa penulis sebut satu-persatu yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini sesuai dengan kemampuan mereka. Atas semua kebaikan yang telah diberikan, penulis tiada dapat membalas jasa kalian, hanya mampu berharap dengan do‟a, semoga Allah SWT menerima sebagai amal kebaikan dan membalasnya dengan balasan yang lebih baik. Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri semoga skripsi ini dapat menambah khazanah keilmuan dan semoga dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Semarang, Penulis,
Abdul Ghofur
9
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. iii HALAMAN DEKLARASI....................................................................................... iv HALAMAN ABSTRAK ...........................................................................................
v
HALAMAN MOTTO .............................................................................................. vi HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................... vii KATA PENGANTAR ............................................................................................. viii DAFTAR ISI ............................................................................................................
BAB I
x
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..................................................................
1
B. Rumusan Masalah ...........................................................................
7
C. Tujuan Penelitian ............................................................................
7
D. Manfaat Penelitian ..........................................................................
7
E. Telaah Pustaka ................................................................................
8
F. Metode Penelitian ............................................................................
9
G. Sistematika Penulisan ...................................................................... 11
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG IDDAH A. Iddah ............................................................................................... 14 1. Pengertian Iddah ........................................................................ 14 2. Dasar Hukum Iddah .................................................................. 16 3. Macam-macam Iddah ................................................................ 19 4. Hak dan kewajiban Wanita Ketika Beriddah ............................ 21 5. Hikmah dan Tujuan Iddah ......................................................... 27 6. Perhitungan Iddah Menurut Para Ulama ................................... 27
10
B. Perhitungan Iddah Bagi Istri Yang Pernah Haid Sedang Pada Waktu Menjalani Iddah Tidak Haid Karena Menyusui ................... 33
BAB III : STUDI ANALISIS TERHADAP KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI A. Sekilas Pandangan Tentang Kompilasi Hukum Islam ..................... 36 1. Pengertian Kompilasi Hukum Islam ........................................ 37 2. Proses Penyusunan Kompilasi Hukum Islam .......................... 39 3. Landasan dan Sistematika Kompilasi Hukum Islam ............... 52 B. Perhitungan Iddah Perempuan Yang Berhenti Haid Ketika Menjalani Masa Iddah Karena Menyusui Dalam Kompilasi Hukum Islam ................................................................................... 57 C. Dasar Hukum iddah Perempuan Yang Berhenti Haid Ketika Menjalani Masa Iddah Karena Menyusui Dalam Kompilasi Hukum Islam ................................................................................... 60
BAB IV : STUDI ANALISIS TERHADAP KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI A. Analisis Perhitungan Iddah Perempuan Yang Berhenti Haid Ketika Menjalani Masa Iddah Karena Menyusui Dalam Kompilasi Hukum Islam .................................................................................... 61 B. Analisis Dasar Hukum Iddah Perempuan Yang Berhenti Haid Ketika Menjalani Masa Iddah Karena Menyusui Dalam Kompilasi Hukum Islam .................................................................................... 64
11
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................... 69 B. Saran-saran ...................................................................................... 70 C. Penutup ............................................................................................ 70
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN PENULIS LAMPIRAN
12
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan
itu bukan saja
merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.2 Pernikahan merupakan suatu ikatan perkawinan yang menghalalkan antara suami istri untuk melakukan hubungan suami istri. Di dalam pernikahan dituntut untuk selalu dapat menjaga dan mempertahankan keharmonisan dan keutuhan rumah tangga, sehingga tercipta keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah. Namun, terkadang di dalam rumah tangga sering terjadi konflik keluarga. Hal inilah yang dapat menyebabkan suatu keluarga tersebut terjadi perceraian. Di dalam agama Islam perceraian merupakan perbuatan yang halal namun sangat dibenci oleh Allah SWT. Untuk itu agama Islam menetapkan suatu aturan hukum yang mengatur pernikahan, perceraian hingga kembali bersatu menjadi keluarga yang utuh. Pernikahan yang merupakan perkara yang mulia di
2
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, cet.37, 2004, hlm.374
13
dalam Islam tidak lagi mereka perhatikan. Dengan mudahnya mereka bercerai dan menikah tanpa memperhatikan ketentuan-ketentuannya. Sebagaimana menikah ada ketentuannya, ketika terjadinya perceraian atau perpisahan juga ada ketentuan yang harus dipenuhi, diantaranya ialah iddah. Maka sebelum melakukan rujuk kepada mantan istri, ada suatu permasalahan yang harus dibahas yaitu iddah. Iddah ini dibahas guna untuk memberikan pemahaman kepada setiap muslim bahwa setelah perceraian dilakukan ada waktu tenggang kepada suami istri untuk memikirkannya. 3 Sebenarnya masalah iddah secara umum adalah sesuatu yang sudah disepakati oleh para ulama selain juga telah dijelaskan secara eksplisit oleh nash al-Qur‟an maupun Sunnah. Akan tetapi ketika iddah tersebut dihadapkan pada suatu peristiwa yang tidak lazim, seperti seorang perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah karena menyusui, maka iddah tersebut menjadi sebuah masalah yang membutuhkan pengkajian secara cermat. Iddah memang merupakan suatu persoalan yang sangat krusial di kalangan pemikir-pemikir zaman sekarang maupun dahulu. Selain dinilai sebagai bias gender sehingga banyak mengundang para cendekiawan mengkaji esensi dari iddah ini, para ulama‟ terutama ulama‟ fiqh juga masih memperdebatkan masalah
3
http://muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-8-iddah.html. didownload pada tanggal 27 Juni 2011 Pkl 22:21. WIB
14
iddah karena adanya perkembangan permasalahan fiqh. Hal ini tak luput dari adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.4 Iddah adalah suatu masa yang mengharuskan perempuan-perempuan yang telah diceraikan suaminya, baik cerai mati atau cerai hidup, untuk menunggu sehingga sehingga dapat diyakinkan bahwa dalam rahimnya telah berisi atau kososng darri kandungan. Bila rahim perempuan itu telah berisi sel yang akan menjadi anak, dalam beriddah itu akan kelihatan tandanya. Itulah sebabnya ia diharuskan menunggu dalam masa yang ditentukan.5 Telah kita pahami bahwa iddah merupakan masa tunggu bagi mantan istri dalam waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh syara‟. Atau secara istilah, iddah bisa diartikan sebagai masa tunggu yang ditetapkan oleh syara‟ bagi wanita untuk tidak melakukan akad perkawinan dengan laki-laki lain dalam masa tersebut, sebagai akibat ditinggal mati oleh suaminya atau perceraian dengan suaminya itu, dalam rangka membersihkan diri dari pengaruh dan akibat hubungannya dengan suaminya itu. Hitungan iddah itu telah ditentukan sehingga wajib bagi setiap muslim untuk mengikuti ketentuan itu. Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 228 :
4
Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 2001, hlm. 71 5 Ibnu Mas‟ud, Zainal Abidin S, Fiqih Madzab Syafi‟i, buku 2 (Muamalat, Munakahat, Jinayat), Cet. II, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007, hlm. 372
15
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”.6 Apabila si istri tidak mengalami haid karen usianya masih kecil misalnya atau si istri telah menopause maka masa iddahnya selama tiga bulan berdasarkan firman Allah : Artinya : Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. (QS. Ath-Thalaq : 4)7 Kata Asy Syaikh Ibnu „Utsaimin8: “Apakah wanita tersebut masih mengalami haid namun karena penyakit atau sedang menyusui hingga haidnya berhenti maka iddahnya seperti wanita yg mengalami haid yang normal walaupun masanya panjang untuk datangnya haid itu hingga ia mulai beriddah dengannya. Apabila sebab terhentinya haid telah hilang misalnya telah sembuh dari sakit namun haidnya belum juga datang maka ia beriddah selama satu tahun penuh sejak hilangnya sebab tersebut. Iddah setahun tersebut dengan perincian sembilan bulan darinya dalam rangka berjaga-jaga dari kemungkinan hamil dan tiga bulan darinya untuk iddah. Adapun bila talak dijatuhkan setelah akad sebelum berduaan dan bersetubuh maka tidak ada iddah bagi wanita tersebut.
6
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008, hlm. 36 7 Ibid, hlm. 558. 8 http://rokhman.page.tl/Hukum-dan-masail-haid.htm. didownload pada tanggal 28 Juni 2011 Pkl 02:28. WIB
16
Berdasarkan firman Allah SWT: Artinya: “Wahai orang-orang yg beriman apabila kalian menikahi wanitawanita Mukminah kemudian kalian ceraikan mereka sebelum kalian sentuh maka tidak ada kewajiban atas mereka iddah bagi kalian yang kalian minta menyempurnakannya. (QS.Al Ahzab : 49)”9 Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan pada Bagian kedua pasal 153 ayat (5) waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu suci. Dan di jelaskan dalam ayat (6) dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali suci.10 Dimuka telah dikatakan, andaikata seorang wanita telah dewasa tetapi dia belum pernah mengalami haid sama sekali dan dicerai oleh suami maka iddahnya tiga bulan kesepakatan para ulama‟ madzab, dan apabila dia mengalami haid, dan berhenti karena menyusui atau karena penyakit maka para ulama‟ berbeda pendapat Ulama‟ Hambali dan Ulama‟ Maliki berpendapat bahwa iddahnya wanita yang berhenti karena menyusui atau karena penyakit maka iddahnya satu tahun penuh. 9
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, op cit, hlm. 424. Undang-undang Perkawinan di Indonesia dan dilengkapi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Surabaya: Arkola, hlm. 228-229 10
17
Ulama‟ Syafi‟i dan Ulama‟ Hanafi berpendapat dalam qaul jadid diantara dua pendapatnya mengatakan bahwa, wanita tersebut selamanya berada dalam iddah hingga ia mengalami haid atau memasuki usia menopause, sesudah itu beriddah selama tiga bulan, sedangkan Ulama‟ Imamiyah berpendapat iddahnya tiga bulan.11 Jika menurut KHI pasal 153 ayat (5) waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu suci, akan tetapi dikalangan para ulama‟ berbeda pendapat dalam menentukan waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui. Dari sinilah penulis berkeinginan untuk mengkaji lebih dalam bagaimana perhitungan iddah dan dasar hukumnya. Oleh karena itu, penulis mendiskripsikannya dalam sebuah skripsi yang berjudul “STUDI ANALISIS TERHADAP KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI”
B. Rumusan Masalah 11
Muhammad Jawad Mugniyah, Al-fiq „ala al- madzahib al-khamsah, penerjemah Masykur A.B., Aif Muhammad, Idrus Al-Kaff. “Fiqh Lima Madzab”, Cet. 2. Jakarta: PT.Lentera Basritam, 1996. hlm 468.
18
Dari uraian di atas, maka penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana perhitungan iddah perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah karena menyusui dalam Kompilasi Hukum Islam ? 2. Apa dasar hukum iddah perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah karena menyusui dalam Kompilasi Hukum Islam ? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang ada, tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui perhitungan iddah perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah karena menyusui dalam Kompilasi Hukum Islam ? 2. Untuk mengetahui dasar hukum yang digunakan oleh KHI tentang perhitungan iddah bagi perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah karena menyusui. D. Manfaat Penelitian Dalam skripsi ini, penulis berharap agar karya ini dapat memberikan manfaat untuk : 1. Secara teoritis, menambah wawasan keilmuan dan keagamaan dalam masalah yang berhubungan dengan perhitungan iddah.
19
2. Secara praktis, memberikan kontribusi pemikiran sebagai bahan pelengkap dan penyempurna bagi studi selanjutnya, khususnya mengenai perhitungan iddah bagi wanita yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah karena menyusui. E. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka ini dilakukan dengan mengkaji atau menelaah hasil pemikiran seseorang yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas pada skripsi ini. Penulis juga akan menelaah beberapa buku-buku, kitab dan keterangan lain untuk di gunakan untuk referensi, sumber, acuan, dan perbandingan dalam penulisan skripsi, sehingga akan terlihat letak perbedaan antara skripsi ini dengan penelitian atau karya tulis yang ada. Dan berikut ini adalah beberapa hasil pemikiran yang berhubungan dengan skripsi yang penulis bahas : Skripsi yang di tulis oleh Ulya Mukhiqqotun Ni‟mah, berjudul Analisis Pendapat Imam Malik Tentang Iddah Bagi Wanita Yang Istihadhah. Di sana disebutkan bahwa menurut Imam Malik iddah bagi wanita yang istihadhah adalah satu tahun. Berbeda dengan pendapatnya Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‟i yang menjelaskan bahwa perhitungan iddah bagi wanita yang istihadhah tetap menggunakan hitungan quru‟ bagi yang masih haid dan tiga bulan bagi yang tidak haid. Skripsi yang ditulis oleh Zainal Abidin, berjudul Studi Analisis Terhadap Pendapat Ibn Taimiyah Tentang Jumlah Masa Iddah Bagi Wanita Yang Khuluk.
20
Di mana jumlah hitungannya adalah satu kali haid. Hal ini dikarenakan Ibn Taimiyah menukil dari haditsnya Utsman yang sanadnya dinilai sahih. Berbeda dengan jumhur ulama‟ yang berpendapat bahwa iddah bagi wanita yang khuluk sama seperti iddah wanita yang ditalak. Muhamad Isna Wahyudi, menulis skripsi yang berjudul Iddah Perempuan Hamil Karena Zina: Studi Pasal 53 KHI. Dalam skripsi tersebut disimpulkan bahwa menurut KHI tidak ada kewajiban „iddah bagi perempuan hamil karena zina dan dapat dikawinkan langsung dengan laki-laki yang menghamilinya tanpa harus menunggu terlebih dahulu kelahiran anak yang ada dalam kandungan. Dari beberapa tinjauan pustaka di atas, jelas bahwa penelitian yang dilakukan tidak sama dengan skripsi yang dibahas oleh penulis. Sebab, obyek yang penulis bahas adalah iddah bagi perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah karena menyusui. Untuk itu, penulis mencoba untuk mengkaji permasalahan ini dalam sebuah karya ilmiah berbentuk skripsi. F. Metode Penelitian Skripsi ini merupakan suatu penelitian kualitatif. Di mana kata “kualitas” menunjuk pada segi alamiah.12 Sehingga bisa diartikan sebagai penelitian yang mengungkap keadaan yang bersifat alamiah. Atau dalam pengertian lain, penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-
12
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet. XVII, 2002, hlm. 2
21
penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedurprosedur statistik atau dengan cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran).13 Dan dilihat dari segi tempatnya, penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (library research), di mana data-data yang dipakai adalah data kepustakaan dan bukan diperoleh dari lapangan. Dan berikut adalah data-data dan metode-metode yang digunakan dalam penelitian ini : 1. Sumber Data Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data dapat diperoleh.14 Karena penelitian ini merupakan studi terhadap hasil dari suatu pemikiran, maka data-data yang dipergunakan adalah data pustaka. Dan data ini terdiri atas dua macam, yaitu data primer dan data sekunder. a. Data Primer Penulis menggunakan data primer yang berasal dari Kompilasi Huukum Islam pasal 153 ayat (5) waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu suci. b. Data Sekunder
13
Anselm Strauss, Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997, hlm. 11 14 Ny Suharsini Arikunlo, Proeidur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Bina Aksara, tth, hlm. 102
22
Yaitu data yang diperoleh dengan cara mengambil beberapa sumber bacaan yang berkaitan dengan data primer. Sumber data sekunder biasanya telah tersusun dalam bentuk dokumen atau artikel. Data sekunder ini menjadi pelengkap untuk membantu penulisan skripsi. Jadi, data ini bukan berasal dari KHI akan tetapi berasal dari berbagai dokumen untuk memberikan penjelasan-penjelasan terkait dengan pokok permasalahan yang penulis angkat. Sumber data sekunder berguna sebagai pendukung yang akan penulis gunakan dalam membandingkan maupun melengkapi sumber data primer, dan hal ini buku-buku bacaan dan literatur-literatur lain yang membahas permasalahan ini biasa digunakan penulis untuk membandingkan atau melengkapi sumber data primer. 2. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan.15 Dalam penulisan skripsi ini, penulis melakukan pengumpulan data lewat studi dan penelitian kepustakaan. Yang mana data ini berasal dari buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang penulis kaji. 3. Metode Analisis Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian yang bersifat “deskriptif” yang berusaha menggambarkan mengenai masalah tersebut. 15
Moh. Nazir, Metode Penelitian, Jakarta Timur: Ghalia Indonesia, cet. III, 1988, hal. 211
23
Metode ini digunakan untuk memahami pendapat dan dasar hukum yang dipakai oleh Kompilasi hukum Islam tentang perhitungan iddah bagi wanita yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah karena menyusui serta relevansinya dalam konteks hukum Islam. Sedangkan langkah-langkah yang digunakan oleh penulis adalah dengan mendeskripsikan, menganalisa dan menilai data yang terkait dengan masalah di atas baik yang berkaitan dengan pendapat maupun dasar hukum yang dipakai. G. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pembahasan dan pemahaman dalam skripsi ini, maka penulis membuat sistematika sebagai berikut : BAB I: PENDAHULUAN Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG IDDAH Membahas mengenai gambaran umum tentang iddah, yakni terdiri atas pengertian iddah, dasar hukum iddah, macam-macam iddah, hak wanita ketika beriddah, hikmah dan tujuan iddah, dan konsep perhitungan iddah menurut hukum positif dan pendapat para Ulama‟ yang pro dan kontra terhadap KHI pasal 153 ayat (5).
24
BABIII: KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI
PEREMPUAN
YANG
BERHENTI
HAID
KETIKA
MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI Pada bab ini memaparkan sekilas tentang ketentuan iddah dalam KHI pasal 153 ayat (5) tentang iddah bagi perempuan yang berhenti haid karena menyususi dalam KHI dan Dasar hukum ketentuan KHI pasal 153 ayat (5) tentang iddah bagi perempuan yang berhenti haid karena menyusui BABIV:ANALISIS KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI Berisi tentang analisis terhadap ketentuan KHI pasal 153 ayat (5) tentang iddah bagi perempuan yang berhenti haid karena menyusui dan analisi dasar hukum ketentuan KHI pasal 153 ayat (5) tentang iddah bagi perempuan yang berhenti haid Karena Menyusui dan Relevansinya dengan hukum islam BAB V: PENUTUP Bab ini merupakan bab akhir yang menyajikan kesimpulan dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya, saran-saran, dan diakhiri dengan penutup.
25
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG IDDAH
A. IDDAH 1. Pengertian Iddah Istilah iddah ini sudah dikenal oleh orang-orang pada masa jahiliyah dulu. Bahkan mereka hampir tidak pernah meninggalkan kebiasaan iddah ini. Lalu ketika Islam datang, kebiasaan itu diakui dan dijalankan terus karena ada beberapa kebaikan atau hikmah di dalamnya. Sekarang para ulama sepakat bahwa iddah itu wajib hukumnya.16 Sebelum kita membahas iddah secara jauh, perlu dipahami apa makna iddah itu sendiri sehingga pemahaman mengenai istilah iddah ini sesuai dengan apa yang dimaksudkan. Secara bahasa, kata iddah merupakan bentuk mashdar dari kata يَعُد- عَدyang artinya “menghitung”, jadi kata iddah berarti hitungan, perhitungan, atau sesuatu yang harus diperhitungkan. 17 Dalam buku Fikih Sunnah 4 dijelaskan bahwa iddah berarti hari-hari dari masa haid yang dihitung oleh perempuan.18 Iddah ini dikhususkan bagi wanita walaupun di sana ada kondisi tertentu seorang laki-laki juga memiliki masa tunggu, tidak halal menikah 16
Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqih Munakahat II, Bandung: CV Pustaka Setia, cet. I, 1999,
hal. 121. 17
Departemen Agama, Ilmu Fiqh, Jilid II, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, cet. II, 1985, hal. 274. 18 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 4, Abdurrahim, Masrukhin (penerj), Jakarta: Cakrawala Publishing, cet. I, 2009, hal. 118.
26
kecuali habis masa iddah wanita yang dicerai.19 Sedangkan pengertian menurut istilah, banyak para cendekiawan fikih memberikan penjabaran yang rinci mengenai arti dari iddah tersebut. Ash-Shon‟ani memberikan definisi iddah sebagai berikut20 : ِٔ َح تَ ْع َد َٔفَا ِج َز ْٔ ِخ َٓا َٔ ِف َرا ِق ِّ نَ َٓا إِ َّيا ِتا ْن ِٕلَ ََد ِج أَوَ ِٔاَْأَ ْق َرا ِِ أ ْ ِإ ُ َّس ٌى ِن ًُ َّد ِج ذَرَ َرت ِ ض ِت َٓا ا ْن ًَ ْرأَجُ َع ٍِ انر َّْس ِٔ ْي ش ُٓر ْ َاَْأ “Iddah merupakan suatu nama bagi masa tunggu yang wajib dilakukan oleh wanita untuk tidak melakukan perkawinan setelah kematian suaminya atau perceraian dengan suaminya itu, baik dengan melahirkan anaknya, atau beberapa kali suci / haid, atau beberapa bulan tertentu.” Sedangkan Muhammad Abu Zahrah memberikan definisi iddah sebagai berikut : ظ ُى ُع َرا َ فَإ ِ َذا َز، اذ َ ِػ ِر َب ِل َْق ُ أَ َخ ٌم ِ َد اْنفُ ْرقَحُ تَيٍَْ ان َّر ُخ ِم َٔأَ ْْهِ ِّ لَ ذَ ُْف ِ َظه ِ ؼا ِِ َيا َتقِ َي ِيٍْ أَثَا ِر انُِّ َك ُض ا ْن ًَ ْرأَجُ َٔلَ ذَر ََس َّٔ ُج َغ ْي َرُِ َزرَّٗ َذ ُْرَ ِٓ َي ذِ ْه َك ا ْن ًَ َّدج ُ َّع ا ْنفُ ْرقَ ِح تَ ْم ذَر ََرت ِ ْٕ ُان َّس ْٔ ِخيَّ ِح ِيٍْ ُك ِّم ا ْن ُٕ ُخ ْٕ ِِ تِ ًُ َد َّر َِد ُٔق .ُانَّرِٗ قَ َّد َرَْا انشَّا ِرع
21
“Suatu masa yang ditetapkan untuk mengakhiri pengaruh-pengaruh perkawinan. Jika terjadi perceraian antara seorang lelaki dengan isterinya, tidaklah terputus secara tuntas ikatan suami isteri itu dari segala seginya dengan semata-mata terjadi perceraian, melainkan isteri wajib menunggu, tidak boleh kawin dengan laki-laki lain, sampai habisnya masa tertentu yang telah ditentukan oleh syara‟.” Dalam kitab fathul qorib, Muhammad ibnu Qosim Al-Ghozi memberikan definisi iddah sebagai berikut : ْٔ َشُٓ ٍر أ ْ َض ا ْن ًَ ْرأَ ِج ُي َّدجً يُ ْعرَفُ فِ ْي َٓا تَ َرا َِجُ َر ِز ًِ َٓا ِتأ َ ْق َرا ٍِ أَ ْٔ أ ْ َٔ ِْ َي نُ َغحً اْ ِل ُ ُّس ُى َيٍْ إِ ْعرَ َد َٔش َْرعًا ذَ َرت 22
ٍ.ػ ِع َز ًْم ْ َٔ
19
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, Abdul Majid Khon, (penerj), Jakarta: Amzah, cet. I, 2009, hal. 318. 20 Departemen Agama, loc. cit. 21 Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal as-Syakhshiyyah, Darul Fikr Al-Arabi, 1957, hal. 435.
27
“Iddah secara bahasa adalah suatu nama (istilah) bagi orang yang menunggu, sedangkan menurut syara‟ berarti penantian seorang wanita dalam suatu masa sehingga diketahui bersihnya rahim dengan hitungan quru‟, bulan, atau sampai melahirkan.”
2. Dasar Hukum Iddah a) Al-Qur‟an Kewajiban beriddah bagi wanita, telah ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur‟an, di antaranya sebagai berikut : (1) Surat Al-Baqarah ayat 228. Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru‟”. (Al-Baqarah : 228).23 (2) Surat Al-Baqarah ayat 234. Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari”. (Al-Baqarah : 234).24 (3) Surat Al-Ahzab ayat 49.
22
Muhammad ibnu Qosim Al-Ghozi, Kitab Fathul Qorib, Semarang: Pustaka Alawiyyah, hal.
50. 23
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008, hlm. 36. 24
Ibid., hal. 38.
28
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya”. (Al-Ahzab : 49)25
b) Hadits َّ َٔ غ َّ َٔ ، ٍَؼ ٍَؼ ْ انَّل ِئي نَ ْى َي ِس ْ ؼٍَ أَ ْٔ َل َي ِس ْ ِإٌْ نَ ْى ذَ ْعهَ ًُ ْٕا َي ِس: َقا َل ُي َدا ِْ ٌد ِ انَّل ِئي قَ َعدٌَْ َع ٍِ ا ْن َس ْي 26 ٖ رٔاِ انثخار.شُٓ ٍر ْ َفَ ِع َّدذٍَُُّٓ ثَ ََّلثَحُ أ Artinya : “Mujahid berkata : Jika kalian tidak tahu apakah wanita-wanita itu masih aktif haidh atau tidak haidh dan wanita-wanita yang telah selesai haidh dan wanita-wanita yang belum haidh maka idahnya tiga bulan”. (H.R. Bukhori). س َث ْي َعحُ َكا ََدْ ذ َْسدَ َز ْٔ ِخ َٓا ذ ُُٕفِّ َي َع ُْ َٓا ْ َج انَُّ ِث ِّي ص و أٌََّ ا ْي َرأَ ًج ِيٍْ أ ُ يُ َقا ُل نَ َٓا، سهَ َى َ عٍَْ أ ُ ِّو ِ ْٔ سهَ ًَ َح َز ، ِّ ظهُ ُر أٌَْ َذ ُْ َك ِس ْي ْ َ َٔهللاِ َيا ي: فَقَا َل، ُّ فَأَتَدْ أٌَْ ذَ ُْ ِك َس، سَُاتِ ِم تٍُْ تَ ْع َك ٍك َّ َٔ ْْ َي ُز ْثهَٗ َف َخطَثَ َٓا أَتُٕ ان سهَّ َى ْ َزرَّٗ ذَ ْعرَدَّٖ آ ِخ َر اَْأَ َخ َه ْي ٍِ فَ ًَ ُكثَدْ قَ ِر ْيثًا ِيٍْ َع َ َٔ ِّ طهَّٗ هللاُ َعهَ ْي ِّ َٔان َ خ انَُّثِ َّي ِ َِ ال ثُ َّى َخا ٍ َش ِر نَي 27 ٖ رٔاِ انثخار،، ٗ ا َْ َك ِس,, فَقَا َل Artinya : “Dari Ummu Salamah isteri Nabi SAW bahwasannya ada seorang wanita dari Aslam bernama Subai‟ah di mana ia berada dalam kekuasaan suaminya yang telah wafat, dia sendiri sedang mengandung. Kemudian dia dipinang oleh Abus Sanaabil ibn Ba‟kak, lalu ia tidak mau menikah dengannya. Lalu ia berkata : Demi Allah, engkau tidak dapat menikah dengannya sehingga engkau beriddah dengan iddah terakhir dari dua iddah. Maka wanita itu diam menunggu melewati kira-kira sepuluh malam, dia pun bernifas. Sesudah berakhir 25 26
27
Ibid., hal. 424. Bukhori, Shohih Bukhori, Juz V, Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyyah, cet. I 1992, hal. 520. Ibid.
29
masa nifas dia datang menemui Nabi dan beliau berkata : “menikahlah engkau”. (H.R. Bukhori). ََ ْسهَ ًِيَحَ َكي ْ َس َث ْي َعحَ ال ْ َأٌََّ ُعثَ ْي َد هللاِ تٍَْ َع ْث ِد هللاِ أَ ْخثَ َرُِ عٍَْ أَ ِت ْي ِّ أَََُّّ َكر ََة إِنَٗ ا ْت ٍِ الَ ْرقَ ِى أٌَْ ي ُ سأ َ َل 28 ٖ رٔاِ انثخار.ػعْدُ أٌَْ أَ َْ ِك َر َ َٔ أَ ْفرَاَِي إِ َذا: ْ فَقَانَد، أَ ْفرَاَْا انَُّ ِث ُّي ص و Artinya : “Sesungguhnya Ubaidillah bin Abdullah dari ayahnya bahwa ia menulis surat kepada ibn Arqam menanyakan kepada Subai‟ah Al Aslamiyyah bagaimana Nabi SAW memberi fatwa kepadanya, lalu Subai‟ah berkata : Nabi memberikan fatwa kepadaku bila saya sudah melahirkan supaya saya kawin”. (H.R. Bukhori). سأ َ َل َ ََّٔ َع ٍِ ا ْت ٍِ ُع ًَ َر أَََُّّ ؽَه َ َ ف، سهَّ َى َ َٔ ِّ طهَّ َٗ هللاُ َعهَ ْي َ ِس ْٕ ِل هللا ُ ائوٌ ع فِٗ َع ْٓ ِد َر ِ ق ا ْي َرأَذَُّ َٔ ِْ َي َز ْ َس ْك َٓا َزرَّٗ ذ َث َّى، طُٓ َر َ ِس ْٕ َل هللا ُ ُع ًَ َر َر ِ ًْ ُ ثُ َّى ْني، ُي ْرُِ َف ْهيُ َرا ِخ ْع َٓا,, َف َقا َل، طهَّٗ هللاُ َع َه ْي ِّ عٍَْ َذنِ َك ْ ثُ َّى َذ، غ هللا َ َّ َٔإٌِْ شَا َِ ؽَه، س َك َت ْع ُد َّ ًَ ق قَ ْث َم أٌَْ َي َ ثُ َّى إٌِْ شَا َِ أَ ْي، ط َٓ َر َ ذ َِس ْي ُ َف ِر ْه َك ا ْن ِع َّدجُ انَّ ِرٗ أَ َي َر، س 29 ِّ ق َع َه ْي ٌ َ ُيرَف،،ُِ سا َ َّأٌَ ذُطَه َ ُِّق نَ َٓا ان Artinya : "Dari Ibnu Umar bahwa ia telah mentalak isterinya dan ia dalam keadaan haid pada zaman Rasulullah lalu Umar bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hal itu. Lalu Nabi SAW bersabda : Perintahkanlah ia untuk merujuk isterinya, kemudian menahanya sehingga suci, haid dan suci lagi, maka jika ia ingin tahanlah sesudah itu dan jika sudah ceraikanlah sebelum ia menyentuhnya. Demikianlah idah yang diperintahkan oleh Allah, yaitu perempuan harus dicerai pada idahnya". (Muttafaq Alaih).
3. Macam-Macam Iddah Jumlah hitungan iddah bagi wanita sangat bervariasi, hal ini dipengaruhi oleh keadaan atau kondisi ketika wanita tersebut berpisah dengan suaminya, baik karena perceraian maupun karena kematian suami.
28 29
Ibid. Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulugh al-Maram, Semarang: Pustaka Alawiyah, hal. 223.
30
Berdasarkan kondisi wanita tersebut, secara garis besar iddah dibedakan menjadi empat macam : a) Sebelum berhubungan badan Perempuan yang putus perkawinannya karena talak atau fasakh dan belum melakukan hubungan dengan suaminya (qabla ad-dukhul) tidak memiliki kewajiban untuk menjalankan iddah.30 b) Dalam kondisi masih haid atau sudah tidak haid Perempuan yang putus perkawinannya karena talak atau fasakh dan dia masih mengalami haid diwajibkan untuk beriddah selama tiga quru‟. Sedangkan perempuan yang belum haid maupun yang sudah tidak haid karena menopause masa iddahnya tiga bulan.31 c) Kondisi hamil Perempuan yang mengalami perceraian dengan suaminya, sedangkan ia dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya adalah sampai melahirkan. Begitu juga, jika dalam keadaan hamil perempuan itu ditinggal mati suami, menurut jumhur fuqaha‟ dan semua fuqaha berpendapat bahwa iddahnya sampai melahirkan. Namun, menurut riwayat Ali bin Abu Thalib dan Ibnu Abbas iddahnya adalah masa yang
30
Muhammad Isna Wahyudi, Fikih „Idah Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, cet. I, 2009, hal. 89. 31 Ibid., hal. 92.
31
paling akhir dari dua iddah. Maksudnya ia beriddah dengan iddah yang paling lama.32 d) Sebab ditinggal mati suami Masa iddah bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suami telah ditetapkan dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 234 yaitu 4 bulan 10 hari. Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Dan Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”.33
4. Hak Dan Kewajiban Wanita Ketika Beriddah a) Hak wanita yang beriddah talak raj‟i Wanita yang beridah talak raj‟i (setelah talak boleh rujuk kembali), para fuqaha‟ tidak berbeda pendapat bahwa isteri berhak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah dari suaminya. Sedangkan isteri
32
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisa Fikih Para Mujtahid, Jilid II, Jakarta : Pustaka Amani, cet. III, 2007, hal. 619. 33 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, op. cit, hal. 38.
32
wajib tinggal bersama suami.34 Sebagaimana firman Allah dalam surat Ath-Thalaq ayat pertama dan kedua. Artinya : “Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”. 35 Artinya : “Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah”.36 b) Hak wanita yang beridah talak ba‟in Para fuqaha‟ berselisih pendapat tentang nafkah dan tempat tinggal bagi wanita yang ditalak ba‟in, tetapi tidak dalam keadaan hamil. Para
34
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, op. cit., hal. 333 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, op. cit., hal. 558. 36 Ibid. 35
33
ulama Kufah berpendapat bahwa wanita tersebut tetap mendapatkan tempat tinggal dan nafkah.37 Imam Abu Hanifah berpendapat sama dengan ulama Kufah. Wanita itu mempunyai hak nafkah dan tempat tinggal seperti yang ditalak raj‟i karena dia wajib menghabiskan masa idah itu di rumah suaminya. Nafkahnya ini dianggap sebagai hutang yang resmi sejak jatuhnya talak tanpa bergantung pada adanya kesepakatan atau tidak adanya putusan pengadilan. Hutang ini tidak dapat dihapuskan kecuali sudah dibayar lunas atau dibebaskan.38 Ulama Hanabilah, Zhahiriyah, Ishaq, dan Abu Tsaur berpendapat bahwa ia tidak berhak nafkah dan tempat tinggal sekalipun hamil. Alasan mereka, nafkah dan tempat tinggal diwajibkan sebagai imbalan hak rujuk bagi suami, sedangkan dalam talak ba‟in suami tidak punya hak rujuk. Oleh karena itu, tidak ada nafkah dan tempat tinggal bagi wanita tersebut, sebagaimana Hadits yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais yang telah ditalak suaminya untuk yang ketiga kalinya, bahwa Nabi SAW tidak menjadikan nafkah dan tempat tinggal baginya. 39 .َس ْكُٗ َٔ َل ََفَقَح ُ س ْٕ ِل هللاِ ص و ُ س قَانَدْ ؽَهَّقَُِ ْي َز ْٔ ِخ ْي ثَ ََّلثًا فَهَ ْى َي ْد َع ْم نِ ْي َر ِ ُْ عٍَْ فَا ِؽ ًَحَ ِت ٍ د قَ ْي 40
.سهِ ُى ْ َر َٔاُِ ُي
37
Slamet Abidin, Aminuddin, op. cit., hal. 142 Ibid. 39 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, op. cit., hal. 334. 40 Imam Muslim, Shohih Muslim, Juz I, Semarang: Toha Putra, hal. 642. 38
34
Artinya : Dari Fatimah binti Qois, ia berkata : “suamiku menceraikan aku tiga kali kemudian, lalu Nabi SAW tidak menetapkan tempat tinggal dan nafkah untukku”.
c) Hak wanita yang beridah karena suaminya meninggal Seorang janda yang suaminya meninggal, apabila ternyata suaminya tidak mempunyai rumah sendiri dan tidak mempunyai bekal yang dapat dijadikan biaya hidup oleh isterinya, maka ia boleh kembali ke orang tuanya. Namun, jika pada saat dia menerima berita duka berada di rumah salah seorang dari kaum muslimin, ia diperbolehkan tinggal di rumah tersebut jika pemilik rumah tidak keberatan untuk menerima dan menanggung kehidupannya sampai selesai masa iddah.41 d) Kewajiban wanita ketika beriddah Selain memperoleh hak atas mantan suami selama beriddah seperti nafkah dan tempat tinggal, wanita tersebut juga memiliki beberapa kewajiban. Pertama, larangan menerima pinangan (khitbah). Laki-laki asing tidak diperbolehkan meminang perempuan yang sedang dalam masa iddah secara terang-terangan, baik kepada perempuan yang ditalak ataupun ditinggal mati oleh suaminya. Namun, dia tetap diperbolehkan untuk meminang secara sindiran kepada perempuan yang sedang iddah karena kematian suami.42 Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
41
Muhammad Thalib, Manajemen Keluarga Sakinah, Yogyakarta: Pro U, cet. II, 2008, hal.
42
Muhammad Isna Wahyudi, op. cit., hal. 103.
348.
35
Artinya : “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf”.43 Kedua, larangan menikah dengan laki-laki lain. Apabila wanita tersebut menikah dalam masa iddah maka perkawinan tersebut bathil. Sebab, wanita itu tidak boleh menikah untuk menjaga hak suami yang pertama. Ketiga, larangan keluar dari rumah,44 tetapi masih ada perdebatan dari para ulama mengenai larangan ini dan akan dijelaskan pada item selanjutnya. Keempat, bagi wanita yang ditinggal mati suami diwajibkan untuk menjalankan ihdad,45 baik yang masih kecil maupun yang sudah dewasa. Ihdad ini dilakukan dengan menjauhi hal-hal berikut : 1) Memakai perhiasan cincin atau perak. Larangan ini diakui oleh para ahli fikih pada umumnya, kecuali sebagian ulama Syafi‟iyyah seperti Ibnu Jarir. 43
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, op. cit., 38. Muhammad Isna Wahyudi, op. cit., hal. 104. 45 Ihdad adalah masa berkabung bagi seorang isteri yang ditinggal mati suaminya selama 4 bulan 10 hari dengan larangan-larangannya, antara lain: bercelak mata, berhias diri, keluar rumah kecuali dalam keadaan terpaksa, lihat Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. III, 2008, hal. 302. 44
36
2) Memakai pakaian yang terbuat dari sutera berwarna putih. Akan tetapi, ulama Hanabilah membolehkan memakai sutera berwarna putih karena menurut mereka hal itu sudah menjadi sesuatu yang biasa. 3) Memakai pakaian yang berbau wangi. 4) Memakai pakaian yang dicelup dengan warna mencolok. 5) Memakai
wangi-wangian
pada
tubuhnya,
kecuali
untuk
menghilangkan bau tak sedap pada kemaluannya sehabis haid. 6) Memakai minyak rambut, baik yang mengandung wangi-wangian maupun tidak. 7) Memakai celak. Namun menurut para ahli fikih, memakai celak dengan tujuan pengobatan boleh dilakukan pada waktu malam hari. 8) Mewarnai kuku dengan pohon inai (pohon pacar) dan semia yang berkaitan dengan pewarnaan.46 e) Wanita yang keluar rumah saat menjalani masa iddah Ulama fikih berbeda pendapat berkaitan dengan hukum wanita yang keluar rumah selama dalam masa iddah. Menurut mazhab Hanafi, wanita yang ditalak raj‟i dan ba‟in tidak boleh keluar dari rumahnya, baik di siang hari maupun malam hari. Sedangkan perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya, dia boleh keluar rumah pada waktu siang hari dan
46
Ibid., 110-111.
37
pada awal malam. Tapi tidak diperbolehkan menginap di rumah orang lain selain di rumahnya sendiri.47 Menurut mazhab Hanafi, perbedaan antara dua permasalahan tersebut adalah perempuan yang ditalak masih dalam tanggungan nafkah suaminya. Oleh sebab itu, dia tidak boleh keluar rumah. Berbeda dengan perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya, maka dia sudah tidak mendapatkan nafkah lagi. Oleh sebab itu, dia harus keluar pada waktu siang hari untuk memenuhi kebutuhannya.48 Mazhab Hambali membolehkan keluar rumah pada waktu siang hari, baik ketika sedang menjalani iddah karena ditalak atau karena suaminya meninggal. Ibnu Qudamah, salah satu pengikut Hambali berkata, “Perempuan yang menjalani masa iddah diperbolehkan keluar untuk mencari sesuatu demi kebutuhannya, baik masa iddah yang disebabkan talak atau karena suaminya meninggal dunia”. 49
47
Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 134. Ibid. 49 Ibid., hal. 135 48
38
5. Hikmah Dan Tujuan Idah Pensyari‟atan iddah bagi perempuan ini tentu mempunyai beberapa hikmah dan kemaslahatan baik bagi pihak perempuan maupun pihak laki-laki, diantaranya :50 a) Untuk mengetahui secara pasti kondisi rahim perempuan, sehingga tidak terjadi percampuran nasab janin yang ada di dalam rahimnya. b) Memberi kesempatan kepada suami isteri yang bercerai untuk kembali membina rumah tangga selama hal itu baik dalam pandangan mereka. c) Menjunjung tinggi nilai pernikahan. Hal itu tidak mungkin terjadi kecuali dengan melibatkan banyak orang dan tidak akan hancur kecuali dengan menunggu pada masa yang cukup lama. d) Jika terjadi sesuatu yang mengharuskan untuk bercerai, tetap harus ada upaya untuk menjaga ikatan pernikahan dan mesti diberi waktu untuk berfikir kembali dan mempertimbangkan kerugian yang akan dialaminya jika terjadi perceraian. Selain beberapa hikmah di atas, Ibnu Qayyim berpendapat bahwa iddah adalah salah satu perkara yang bersifat ibadah (ta‟abbudi) yang tidak diketahui
hikmahnya
selain
Allah
SWT.51
Sehingga,
kewajiban
disyari‟atkannya iddah itu bukan semata-mata karena hikmah yang ada di
50 51
Ibid., hal. 119. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, op. cit., hal. 320.
39
dalamnya, akan tetapi menjadi salah satu pengabdian seorang hamba kepada Allah.
6. Perhitungan Iddah Menurut Para Ulama Berkaitan dengan iddah, ada beberapa permasalahan iddah yang menjadi perdebatan di kalangan para ulama. a) Iddah wanita yang khalwat Hanafi, Maliki, dan Hambali mengatakan: apabila telah berkhalwat dengannya, tetapi tidak sampai mencampurinya, lalu isterinya tersebut ditalak, maka si isteri harus menjalani iddah persis seperti isteri yang telah dicampuri. Sedangkan menurut Imamiyah dan Syafi‟i, khalwat tidak membawa akibat apapun.52 b) Arti quru‟ Di dalam Al-Qur‟an telah diterangkan secara jelas bahwasanya wanita yang ditalak suaminya sedangkan ia masih terbiasa haid, maka waktu tunggu baginya adalah tiga kali quru‟. Akan tetapi, para ulama berbeda pandangan dalam memahami arti quru‟ ini. Menurut Maliki dan Syafi‟i quru‟ adalah masa suci. Sedangkan menurut pendapat Hanafi, quru‟ adalah haid. 53
52
Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, Jakarta : Bisrie Press, cet. I 1994, hal.
191. 53
Syaikh al-„Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Damasyqi, Fiqih Empat Mazhab, Bandung : Hasyimi Press, cet. XIII, 2010, hal. 403.
40
Hukum positif di Indonesia sendiri menetapkan quru‟ sebagai masa suci karena bermazhabkan Syafi‟iyyah. Sehingga, iddah itu mulai dihitung ketika wanita tersebut mengalami suci. c) Tidak haid selama menjalani iddah kematian Imam Malik berpendapat bahwa di antara syarat sempurnanya iddah ialah agar isteri tersebut haid satu kali dalam masa tersebut. Jika ia tidak mengalami haid, Malik menganggapnya sebagai orang yang diragukan hamil. Oleh karena itu, ia menjalani iddah hamil.54 Diriwayatkan pula pendapat lain dari Malik bahwa isteri tersebut bisa jadi tidak haid dan bisa jadi pula sedang hamil, yakni jika kebiasaan masa haidnya itu lebih banyak dari masa iddah dan boleh jadi tidak ada, yakni orang perempuan yang menurut kebiasaan haidnya lebih banyak dari empat bulan. Menurut Ibnu Qosim, apabila iddah kematian telah berlaku, sedang wanita itu tidak terdapat tanda-tanda kehamilan, maka ia boleh kawin. Pendapat ini dipegangi oleh jumhur fuqaha‟ Amshar, yaitu Abu Hanifah, Syafi‟i, dan Tsauri.55 d) Iddah wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil Para ulama sepakat bahwa iddah wanita yang ditinggal mati suami adalah 4 bulan 10 hari baik yang pernah haid maupun yang tidak haid
54 55
Ibnu Rusyd, op. cit., hal. 618 Ibid, hal. 618-619.
41
sebagaimana ketetapan dalam Al-Qur‟an. Namun, ada ikhtilaf di kalangan para ulama apabila wanita yang ditinggal mati suami itu dalam keadaan hamil. Mayoritas ulama mazhab yakni Imam Maliki, Imam Syafi‟i, Imam Hanafi, dan Imam Hambali berpendapat bahwa dia harus menunggu sampai dia melahirkan anaknya, sekalipun hanya beberapa saat sesudah dia ditinggal mati oleh suaminya itu. Bahkan, andai jasad suaminya belum dikuburkan sekalipun.56 Ini berdasarkan firman Allah SWT : Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”.57 Sedangkan Imamiyah, mengatakan, iddah wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah iddah paling panjang di antara waktu melahirkan dan empat bulan sepuluh hari. Kalau dia telah melewati waktu empat bulan sepuluh hari, tapi belum melahirkan, maka iddahnya hingga dia melahirkan. Akan tetapi bila dia melahirkan sebelum empat bulan sepuluh hari, maka iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari.58
e) Iddah bagi wanita yang suaminya hilang (mafqud) 56
Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit., hal. 197. Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, op. cit., hal. 558. 58 Muhammad Jawad Mughniyah, loc. cit. 57
42
Menurut pendapat Imam Hanafi dan Imam Syafi‟i dalam qaul jadid-nya, serta pendapat Imam Hambali dalam salah satu riwayatnya menyebutkan, isteri tersebut tidak boleh menikah lagi hingga berlalu masa (menurut adat) bahwa suaminya tidak hidup lagi sesudah berlalu masa tersebut. Hanafi memberi batasan untuk masa penantian itu adalah 120 tahun. Sedangkan Syafi‟i dan Hambali memberi batasan waktu 90 tahun. Namun, menurut pendapat Imam Maliki dan Imam Syafi‟i dalam qaul qadim-nya dan yang dipilih oleh kebanyakan para ulama pengikutnya serta yang diamalkan oleh Umar r.a. tanpa ada seorangpun di antara para sahabat lainnya yang mengingkari perbuatannya, dan juga menurut pendapat Imam Hambali dalam riwayat lainnya: isteri hendaknya menanti selama 4 tahun, yaitu ukuran maksimal masa mengandung di tambah 4 bulan 10 hari, yakni sebagai masa iddah atas kematian suami. Setelah itu, ia boleh menikah lagi.59 f) Iddah wanita yang istihadah Wanita yang mengalami istihadah, yakni mengeluarkan darah dari kemaluannya tetapi bukan darah haid, menurut Imam Malik wanita tersebut memiliki perhitungan iddah tersendiri yang berbeda dengan iddah wanita biasa.
59
Syaikh al-„Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Damasyqi, op. cit., hal. 404.
43
Jika wanita tersebut tidak dapat membedakan antara darah haid dan darah istihadah maka iddah baginya adalah selama satu tahun. Namun, apabila ia dapat membedakan antara kedua darah itu, maka ada dua riwayat dari Imam Malik. Riwayat pertama mengatakan bahwa idahnya adalah satu tahun. Dan riwayat kedua mengatakan, ia disuruh mengadakan pembedaan lalu beridah berdasarkan haid.60 Abu Hanifah berpendapat bahwa iddahnya adalah bilangan haid, jika darah haid itu sudah jelas maka ia beriddah selama tiga bulan. Sedangkan menurut Imam Syafi‟i, iddah wanita itu berdasarkan pembedaan Antara kedua darah tersebut lalu beriddah dengan bilangan hari haidnya pada hari-hari sehatnya.61 g) Iddah wanita hamil karena zina Perdebatan mengenai ketentuan iddah hamil karena zina ini telah diteliti oleh Muhammad Isna Wahyudi yang ditulis dalam bukunya yang berjudul Fiqh „Iddah Klasik dan Kontemporer. Menurut ulama Syafi‟iyyah dan Hanafiyyah, perempuan tersebut tidak diwajibkan untuk beriddah. Sebab, iddah bertujuan untuk menjaga nasab, sementara persetubuhan dalam bentuk zina tidak menyebabkan hubungan nasab dengan laki-laki yang menyebabkan hamil. Menurut ulama
60 61
Malikiyyah,
wanita
tersebut
Ibnu Rusyd, op. cit., hal. 609. Ibid.
44
sama
kedudukannya
dengan
perempuan yang dicampuri secara syubhat sehingga dia harus beriddah untuk mengetahui kebersihan rahim. Tapi, jika ia dikenakan hukum hadd maka ia cukup menunggu satu kali haid saja. Sedangkan ulama Hanabilah mewajibkan perempuan itu untuk menjalankan iddah seperti perempuan yang ditalak.62 h) Wanita yang menikah pada waktu menjalani masa iddah Menurut Syafi‟i, jika wanita menikah dalam masa iddahnya maka wanita itu harus beriddah dengan dua iddah secara bersamaan.63 Misalnya, seorang wanita ditalak oleh suaminya yang pertama. Sebelum iddah wanita tersebut habis, ia menikah lagi dengan laki-laki lain. Maka perkawinan dengan laki-laki kedua itu harus dibatalkan, dan wanita tersebut menjalani sisa iddah dari suami yang pertama kemudian beriddah lagi dari suami yang kedua.
B. PERHITUNGAN IDDAH BAGI ISTRI YANG PERNAH HAID SEDANG PADA
WAKTU
MENJALANI
IDDAH
TIDAK
HAID
KARENA
MENYUSUI Kalangan para ulama‟ berbeda berpendapat mengenai iddah bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui. Ulama‟ Hambali dan Ulama‟ Maliki berpendapat bahwa iddahnya 62
Muhammad Isna Wahyudi, op. cit., hal. 82-83. Imam Syafi‟i, Al-Umm, Jilid VIII, Prof. TK. Ismail Yakub SH. MA. (penerj), Jakarta: CV Faizan, cet. I, 1984, hal. 395. 63
45
wanita yang berhenti karena menyusui atau karena penyakit maka iddahnya satu tahun penuh. Ulama‟ Syafi‟i berpendapat dalam qaul jadid di antara dua pendapatnya mengatakan bahwa, wanita tersebut selamanya berada dalam iddah hingga ia mengalami haid atau memasuki usia menopause, sesudah itu beriddah selama tiga bulan.64 Menurut Ulama Hanafi, apabila seorang wanita mengalami satu kali haid, lalu karena sakit atau menyusui haidnya terputus sama sekali, dan dia tidak lagi pernah mengalami haid, maka wanita tersebut dinyatakan tidak keluar dari iddahnya sampai kelak dia memasuki masa menopause. Dengan memasuki masa menopause ini sajalah dia bisa menyelesaikan iddahnya. Dengan demikian, menurut Hanafi dan Syafi‟i masa iddahnya dapat berlanjut selama 40 tahun.65 Imamiyah berpendapat bahwa apabila karena sesuatu sebab wanita tersebut mengalami keterputusan shaid, lalu dia ditalak, maka iddahnya adalah tiga bulan sebagaimana yang ada pada wanita yang tidak pernah mengalami haid sama sekali. Kalau ternyata ia mengalami haid lagi setelah ditalak, maka iddahnya adalah salah satu di antara dua jenis iddah berikut ini yang terlebih dahulu dia selesaikan. Yaitu tiga bulan penuh atau tiga quru‟. Artinya, kalau dia terlebih dahulu bisa menyelesaikan tiga quru‟ sebelum tiga bulan penuh, maka
64
Muhammad Jawad Mugniyah, Al-fiq „ala al- madzahib al-khamsah, penerjemah Masykur A.B., Aif Muhammad, Idrus Al-Kaff. “Fiqh Lima Madzab”, Cet. 2. Jakarta: PT.Lentera Basritam, 1996. hlm 468. 65 Ibid.
46
iddahnya dinyatakan selesai. Demikian pula halnya, bila dia telah melewati masa tiga bulan penuh tapi belum menyelesaikan tiga quru‟, maka iddahnya pun dianggap telah selesai pula.66 Kemudian, apabila ia mengalami haid sebelum dia menyelesaikan waktu tiga
bulan
penuh,
walau
tinggal
sekejap,
maka
dia
harus
bersabar
denganmenyelesaikan iddah selama sembilan bulan. Dalam hal ini, tidak ada gunanya lagi bagi dia masa tiga bulan tanpa haid yang terjadi sesudah itu. Sesudah berakirnya masa sembilan bulan itu, maka apabila ia melahirkan anak sebelum satu tahun, ia berarti keluar dari haid. Demikian hanya pula halnya bila dia mengalami haid dan memasuki masa suci secara penuh. Apabila dia tidak melahirkan, dan tidak pula bisa menyelesaikan tiga quru‟ sebelum satu tahun, maka dia harus menjalani iddah tiga bulan lagi, sebagai tambahan atas sembilan bulan sebelumnya. Dengan demikian, jumlahnya setahun penuh. Inilah iddah maksimal yang ada di kalangan Imamiyah.67 Iddah istri yang sedang menjalani masa haid, lalu berhenti karena sebab yang diketahui maupun yang tidak. Jika berhentinya darah haid itu diketahui oleh adanya penyebab tertentu, seperti karena proses penyusuan atau sakit, maka ia harus menunggu kembalinya masa haid tersebut dan menjalani masa iddahnya sesuai dengan haidnya meskipun memerlukan waktu yang lebih lama. Sebaliknya, jika disebabkan oleh suatu yang tidak diketahui, maka ia harus menjalani
66 67
Ibid. Ibid.
47
iddahnya selama satu tahun. Yaitu, sembilan bulan untuk menjalani masa hamilnya dan tiga bulan untuk menjalani masa iddahnya.68
68
Syaikh Hasan Ayub, Fiqh Al Usroh Al Muslimah, penerjemah Abdul Ghofar. “Fikih Keluarga”, Cet. 1. Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2001. hlm 411.
48
BAB III KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI
A. Sekilas Pandangan Tentang Kompilasi Hukum Islam Kompilasi Hukum Islam dianggap sebagai salah satu diantara sekian banyak karya besar umat Islam Indonesia dalam rangka memberi arti yang lebih positif bagi kehidupan beragamannya dalam rangka kebangkitan umat islam Indonesia. Secara tidak langsung ia juga merefleksi tingkat keberhasilan tersebut. Sehingga dengan membaca karya tersebut orang akan dapat memberikan penilaian tingkat kemampuan umat Islam dalam proses pembentukan hukum. Akan tetapi, karena Kompilasi Hukum Islam harus dilihat bukan sebagai sebuah final, maka kita juga dapat melihatnya sebagai salah satu jenjang dalam usaha tersebut dan sekaligus juga menjadi batu loncatan untuk meraih keberhasilan yang lebih dimasa mendatang.69 Bagi umat Islam Indonesia betapapun kondisinya Kompilasi Hukum Islam yang kita perbincangkan ini harus diterima sebagai hasil yang optimal. Karya ini perlu lebih dimasyarakatkan sitengah-tengah umat sehingga mereka dapat mengetahui, memahami dan melaksanakan dalam praktek kehidupan seharihari. Dalam rangka inilah pertama-tama naskah ditulis, sehingga apa yang kita 69
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Presindo, tth, hlm. 6.
49
sebut sebagai Kompilasi Hukum Islam dapat menjadi lebih tersebar luas dikenalkan oleh masyarakat.70 1. Pengertian Kompilasi Hukum Islam Secara
estimologis,”Kompilasi”
berarti
suatu
kumpulan
atau
himpunan,71 atau kumpulan yang tersusun secara teratur.72 “Kompilasi” diambil dari kata “compilare” (bahasa latin)73 yang mempunyai arti mengumpulkan bersama-sama. Kata yang berasal dari bahasa latin kemudian dalam bahasa Inggris menjadi compalation yang berarti karangan yang tersusun dari kutipankutipan buku lain.74 Dan dalam bahasa Belanda menjadi compilate yang mengandung arti kumpulan dari lain-lain karangan.75 Ditinjau dari sudut bahasa kompilasi adalah kegiatan pengumpulan dari berbagai bahan tertulis yang diambil dari berbagai buku atau tulisan mengenai suatu persoalan tertentu. Pengumpulan bahan dari berbagai sumber yang dibuat oleh beberapa penulis yang berbeda untuk ditulis dalam suatu buku tertentu, sehingga dengan kegiatan ini semua bahan yang diperlukan dapat dikemukakan dengan mudah.76 70
Ibid. Jhon. M, Eclosh dan Hasan Shadaly, Kamus Inggris Indonesia (An English-Indonesian Dictionary), cet. XVII. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1990, hlm. 132. 72 Dekdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hlm. 456. 73 C. Kruyskampen F. De Tollanaere, Van Dale‟s Xileuw Groart Waardenbook Der Nederlandse Taal, Gravenhage: Martimus Nijhoff, 1950, hlm. 345. 74 S. Wojowasito dan W. J. S. Poerdarminta, Kamus Lengkap Inggris Indonesia-Indonesia Inggris, Jakarta: Hasta, 1982, hlm. 88. 75 S. Wojowasito, Kamus umum Belanda Indonesia, Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1981, hlm. 213. 76 Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 2000, hlm. 76. 71
50
Kompilasi menurut hukum adalah tidak lain dari sebuah buku hukum atau buku kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum atau juga aturan hukum.77 Hukum islam dalam fiqh adalah hukum yang bersumber dan disalurkan dari hukum syari‟at islam yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi Muhamad SAW. Kemudian diembangkan melalui jihad oleh para Ulama‟ ahli fiqh yang memenuhi syarat untuk berjihad dengan cara-cara yang telah ditetapkan.78 Adapun Kompilasi Hukum Islam Indonesia yang telah ditetapkan dengan Inpres No. 1 1991 tidak menyebutkan secara tegas bagaimana pengertian Kompilasi Hukum Islam.79 Akan tetapi di lihat dari rencana kegiatan yang bersangkutan yaitu untuk menghimpun bahan-bahan hukum yang diperlukan sebagai pedoman dalam bidang hukum material sebagia para hakim dilingkungan peradilan agama. Bahan-bahan yang dimaksud siangkat dari berbagai kitab yang biasa digunakan sebagai sumber pengambilan dalam penetapan hukum yang digunakan oleh para hakim dan bahan-bahan lainnya yang berhubungan dengan itu. Maka dapat dikemukakan bahwa yang diartikan dengan kompilasi dalam pengertian Kompilasi Hukum Islam ini adalah merupaka rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh
77
Abdurrahman, op.cit, hlm. 12 Mohammad Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1990, hlm. 190 79 Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Madzab Negara Kritik Atas Politik Hukum Negara Islam di Indonesia. cet,1, Yogyakarta: LKIS, 2001, hlm. 144. 78
51
para Ulama‟ fiqh yang biasa dipergunakan sebagai referansi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun kedalam satu himpunan. Himpunan tersebut inilah yang dinamakan kompilasi.80 2. Proses Penyusunan Kompilasi Hukum Islam Bila mana kita menganggap usaha penyusunan Kompilasi Hukum Islam adalah merupakan bagian dari upaya kita dalam rangka mencari pola fiqh yang bersifat kontekstual maka proses ini telah berlangsung lama sekali sejalan dengan kemunculan ide-ide pembaharuan dalam pemikiran Hukum Islam Indonesi, yang antara lain dipelopori oleh Prof. Hazairin, Prof. Hasbi Asy Shiddiqy dan sebagainya. Akan tetapi, kalau kita lihat secara lebih sempit lagi ini merupakan suatu rangkaian proses yang berlangsung sejak tahun 1985.81 Gagasan untuk mengadakan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia untuk pertama kali diumumkan oleh Metri Agama RI. Munawir Sadzali, MA pada bulan Februari 1985 dalam ceramahnya didepan mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya, semenjak itu ide ini menggelinding dan mendapat sambutan hangat dari berbagai pihak.82 Menurut Abdul Chalim Mohammad gagasan untuk melakukan Kompilasi Hukum Islam ini pada awal mulanya setelah 2,5 tahun lebih Mahkamah Agung terlibat dalam kegiatan pembnaan badan-badan Peradilan Agama dan dalam penataran-penataran keterampilan teknis justisial para hakim 80
Abdurrahman, op.cit, hlm. 14. Ibid, hlm. 31. 82 Ibid. 81
52
agama baik ditingkat nasional maupun regional. Selanjutnya ia mengutip pidato sambutan Bustanul Arifin pada upacara pembukaan pelaksanaan wawancara dengan para alim Ulama‟ se Jawa Timur tanggal 16 Oktober 1985 yang menyatakan bahwa dalam rapat gabungan antara Mahkamah Agung dan Departemen Agama telah diperoleh kesempurnaan pembinaan badan-badan Peradilan Agama beserta aparatnya hanya dapat dicapai antara lain: a. Memberikan dasar-dasar formal: kepastian hukum dibidang hukum acara dan dalam susunan kekuasaan Peradilan Agama dan kepastian hukum (legal security) dibidang hukum materi‟il. b. Demi mencapainya legal security bagi para hakim, bagi para justiabelen (orang awam pencari keadilan) maupun bagi masyarakat Islam sendiri perlu aturan-aturan hukum islam yang tersebar itu dihimpun atau dikompilasi dalam buku-buku hukum tentang perkawinan (munakahat), mawaris (faraid), dan wakaf.83 Dalam tulisanya yang lain Bustanul Arifin mengemukakan lebih jelas lagi mengenai hal tersebut. Dikatakan bahwa ide Kompilasi Hukum Islam timbul setelah berjalan dua setengah tahun Mahkamah Agung (MA) membina bidang teknis yustisial Peradilan Agama. Tugas pembinaan ini berdasar pada Undang-undang No. 14 tahun 1970 yang menentukan bahwa peraturan personal, keuangan dan organisasi Pengadilan-pengadilan yang ada diserahkan kepada departemen masing-masing. Sedangkan pengaturan teknis yudistial 83
Ibid, hlm. 32.
53
ditangani oleh Mahkamah Agung. Meskipun Undang-undang tersebut telah ditetapkan tahun 1970, akan tetapi pelaksanaan dilingkungan Peradilan Agama baru bisa dilakukan pada tahun 1982 setelah ditandatangani Surat keputusan Bersama (SKB) oleh Ketua Mahkamah Agung dan Mentri Agama. SKB itu merupakan jalan pintas tanpa menunggu lahirnya Undang-undang pelaksanaan Undang-undang No. 14 tahun 1970 diatas untuk Peradilan Agama.84 Melalui Keputusan Bersama ketua Mahkamah Agung dan Mentri Agama tanggal 21 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25 tahun 1985 tentang penunjukan pelaksanaan proyek pembanngunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi dimulailah kegiatan proyek dimaksud yang berlangsung untuk jangka waktu 2 tahun. Pelaksanaan proyek ini kemudian didukung oleh keputusan Presiden No. 191/1985 tanggal 10 Desember 1985.85 Menurut Surat Keputusan Bersama tersebut ditetapkan bahwa pimpinan Umum dari proyek adalah Prof. Bustanul Arifin, SH. Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung dengan dibantu dua orang Wakil Pimpinan Umum masing-masing HR. Djoko Soegianto, SH ketua muda urusan lingkungan peradilan umum bidang Hukum Perdata tidak tertulis Mahkamah Agung dan H. Zaeni Dahlan, MA direktur Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama. 86
84
Ibid, hlm. 33. Ibid, hlm. 34. 86 Ibid. 85
54
Sebagai pelaksana pimpinan proyek adalah H. Masrani Basran, SH Hakim Agung Mahkamah Agung dengan wakil pimpinan plaksana H. Mucthar Zarkasih, SH ketua muda urusan lingkungan Peradilan Agama Islam Departemen Agama. Sebagai sekertaris adalah Ny. Lies Sugondo, SH, direktur direktorat hukum dan Peradilan Mahkamah Agung dengan wakil sekertaris Drs. Marfuddin Kosasih, SH. Bendahara adalah Alex Marbun dari Mahkamah Agung dan Drs. Kadi dari Departemen Agama. Disaming itu ada pula pelaksana bidang yang meliputi: a. Pelaksana bidang kitab atau yurisprudensi: 1. Prof. H. Ibrahim Husain LML (dari Majlis Ulama‟) 2. Prof. H. MD. Kholid, SH (hakim agung Mahkamah Agung) 3. Wasit Aulawi MA (pejabat Departemen Agama) b. Pelaksana bidang wawancara: 1. M. Yahya Harahap, SH (Hakim Agung Mahkamah Agung); 2. Abdul Ghoni Abdullah (Pejabat Departemen Agama). c. Pelaksana bidang pengumpulan dan pengelolaan data: 1. H. Amiroedin Noer, SH (Hakim Agung Mahkamah Agung); 2. Drs. Muhaimin Nur, SH (Pejabat Departemen Agama).87 Selanjutnya dengan surat keputusan pimpinan pelaksana proyek tanggal 24 April 1985 No. 01/MA/PPHI/85 telah disusun tim pelaksana yang
87
Ibid. Hlm.35.
55
bersifat lebih administrativ lagi dalam menunjang pelaksanaan proyek yang bersangkutan.88 Munurut lampiran surat keputusan bersama 21 Maret 1985 tersebut di atas ditentukan bahwa tugas pokok proyek tersebut adalah untuk melaksanakan usaha pembangunan Hukum Islam melalui yurisprudensi dengan jalan kompilasi hukum. Sasaran mengkaji kitab-kitab yang dipergunakan landasan putusan-putusan hakim agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia untuk menuju hukum nasional. Untuk menyelenggarakan tugas pokok
tersebut,
maka
proyek
pembangunan
Hukum
Islam
melalui
yurisprudensi dilakukan dengan cara: a. Pengkajian kitab fiqh; b. Wawancara dengan para Ulama‟; c. Yurisprudensi Pengadilan Agama; d. Studi banding hukum dengan negara lain; e. Lokakarya atau seminar materi hukum untuk Pengadilan Agama. 89 Bidang yang digarap dengan usaha ini adalah bidang Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Wakaf, Hibah, Shodaqoh, Baitul Mal dan lainlain menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Sejalan dengan apa yang dilakukan diatas, maka pelaksanaan penyusunan kompilasi ini dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu:
88 89
Ibid. Ibid. Hlm.36
56
a. Tahap I
: Tahap persiapan
b. Tahab II
: Tahap pengumpulan data, melalui:
1) Jalur Ulama‟ 2) Jalur kitab-kitab fiqh 3) Jalur yurisprudensi Peradilan Agama 4) Jalur studi perbandingan di Negara-negara lain khususnya di Negaranegara timur tengah. c. Tahap III
: Tahap penyusunan rancangan Kompilasi Hukum Islam dari
data-data tersebut d. Tahap IV
: Tahap penyempurnaan dengan mengumpulkan masukan-
masukan akhir dari para ulama‟ atau cendikiawan muslim seluruh indonesia yang ditunjuk melalui lokakarya. 90 a. Jalur Kitab. Menurut M. Yahya Harahap, pengumpulan data melaui jalur kitab, operasionalnya secara singkat adalah sebagai berikut: a) Penentuan kitab fiqh yang dijadikan bahan pengkajian (antara lain I‟anatut Tholibin, Targhibul Mukhtar, Al Fiqhu „Ala Madzhibil Arba‟ah, Fiqhul Qodir, dan lain sebagainya). b) Pelaksanaan dipercayakan kepada beberapa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) ayang pnandatanganan kerjasmanya dilakukan tanggal 19 Maret 1986 antara Menteri Agama dengan Rektor IAIN yang ditunjuk. 90
Ibid, hlm. 37
57
c) Dari kitab-kitab fiqh tadi, akan dirumuskan kesimpulan singkat pendapat hukum sesuai rincian masalah yang disusun panitia.91 b. Jalur Ulama‟ Keterlibatan lain dalam proses penyusunan kompilasi Hukum Islam, pihak Ulama‟ dijadikan sebagai responden92 dan diundang sebagai peserta lokakarya pembangunan Hukum Islam malalui Yurisprudensi. Menurut cacatan pelaksanaan proyek, wawancara terhadap para ulam‟ dilakukan di 10 lokasi wilayah PTA, dengan melibatkan 185 Ulama‟ dengan rincian sebagai berikut: 1. Wilayah Banda Aceh
: 20 Ulama‟
2. Wilayah Medan
: 19 Ulama‟
3. Wilayah Padang
: 20 Ulama‟
4. Wilayah Palembang
: 20 Ulama‟
5. Wilayah Bandung
: 16 Ulama‟
6. Wilayah Surakarta
: 18 Ulama‟
7. Wilayah Surabaya
: 18 Ulama‟
8. Wilayah Banjarmasin
: 15 Ulama‟
9. Wilayah Ujung Pandang
: 19 Ulama‟
10. Wilayah Mataram
: 20 Ulama‟
91
Ibid, hlm. 38-39 Kualifakasi Ulama‟ yang masuk dalam daftar responden adalah Ulama‟-ulama‟ pilihan yang bener-benar diperkkirakan berpengetahuan cukup dan berwibawa. Selain itu, ipertimbangkan juga kelengkapan geografis dari jangkauan wibawa. 92
58
Wawancara dilakukan oleh tim PTA pelaksana proyek ditambah dengan wakil dari PTA wilayah responden. Wawancara dengan para Alim Ulama‟ ini panitia pusat telah sepakat untuk memakai dua cara: pertama, dengan mempertemukan
mereka
untuk
diwawancarai
bersama-sama,
kedua,
mewancarai secara terpisah jika cara pertama tidak mungkin dilaksanakan. Dari wawancara ini juga diharapkan akan diperoleh saran-saran tetang pemakaian kitab dan madzab rujukan.93 c. Jalur Yurisprudensi Berkenan mengenai pengharapan melalui jalur yurisprudensi,94 tidak banyak keterangan yang diberikan oleh para penulis mengenai kompilasi. Dalam hal uraian mengenai sejarah Kompilasi Hukum Islam yang termuat dalam Kompilasi Hukum Agama bahwa penelitian yurisprudensi dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Terhadap Putusan Pengadilan Agama yang telah dihimpun dalam 16 buku, yaitu: 1) Himpunan putusan PA/PTA 3 buku, yaitu terbitan Tahun 1976/1977, 1977/1978, 1978/1979, dan 1980/1981. 2) Himpunan fatwa 3 buku, yaitu terbitan tahun 1978/1979, 1979/1980, dan 1980/1981.
93
Abdurrahman, op.cit. hlm. 41 Yurispridensi yang dimaksud adalah Jurisprudentie (Belanda), yakni putusan-putusan pengadilan yang dianggap sebagai satu hukum. Karena bila sudah ada suatu Jurisprudentie yang tetap, maka hal ini akan selalu diikuti oleh hakim-hakim dalam memberikan putusannya dalam soal serupa. Lihat di, J.C.T. Simongkir, dkk, Kamus Hukum, hlm. 78: Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, hlm. 927-928. 94
59
3) Yurisprudensi PA 5 buku, yaitu:yaitu terbitan tahun 1977/1978, 1978/1979, 1981/1982, 1982/1983, dan 1983/1984. 4) Law Raport 4 buku, yaitu terbitan tahun 1977/1978, 1978/1979, 1981/1982, dan 1983/1984.95 d. Jalur Studi Banding Kemudian
melalui
pelaksanaan
jalur
keempat
sebagaimana
dikemukakan dalam uraian dimuka adalah dengan melakukan studi banding ke beberapa Negara. Melalui studi banding ini menurut Bustanul Arifin kita pelajari bagaimana Negara-negara yang memberlakukan hukum Islam, yakni bidang-bidang yang akan dikompilasi di Indonesia. Jalur ini dilaksanakan dengan mengunjungi beberapa Negara Islam antara lain, Pakistan, Mesir dan Turki. Kemungkinan besar karena keterbatasan dana, pelaksanaanya bisa dipercayakan kepada mahassiswa yang berada disana.96 Dalam uraian mengenai sejarah Kompilasi Hukum Islam di Indosesia yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia terbitan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama dikemukakan bahwa studi perbandingan dilaksanakan ke Timur Tengah.97 Studi banding yang dilaksanakan oleh H. Masrani Basran SH, Hakim Agung Mahkamah Agung RI dan H. Muctar Zarkasi SH Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama RI. Informasi bahan masukan yang diperoleh adalah: 95
Ibid, hlm. 43-44 Ibid, hlm. 44 97 Marzuki Wahid, op.cit. hlm. 158 96
60
1) Sistem Peradilan 2) Masuknya Syari‟ah Law dan dalam tata arus Tata Hukum Nasional 3) Sumber-sumber hukum dan materiil yang menjadi pegangan/terapan hukum di bidang Ahwalussakhsiyah yang menyangkut kepentingan muslim.98 e. Seminar dan Lokakarya Jalur ini tidak saja diadakan oleh panitia resmi proyek penyusunan Kompilasi, tetapi sebelum pada akhirnya disepakati Kompilasi, beberapa Organisasi
Islam
mengadakan
seminar.
Diantaranya
Majelis
Tarjih
Muhammadiyah tanggal 8-9 April 1986 di kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dihadiri Mentri Agama dan ketua MUI, Hasan Basri. Sedangkan Nahdatul Ulama (NU) Jawa Timur mengadakan Bahsul Masail tiga kali di pondok pesantren Tambak Beras, Lumajang dan Sidoarjo.99 Lokakarya ini memperlihatkan puncak perkembangan pemikiran fiqh Indonesia. Pada kesempatan itu hadir tokoh Ulama‟ fiqh dari Organisasiorganisasi Islam, Ulama fiqh dari perguruan tinggi, dari masyarakat umum dan diperkirakan dari semua lapisan Ulama‟ fiqh ikut dalam pembahasan hukum sehingga patut dinilai sebagai Ijma‟ Ulama‟ Indonesia. 100 Pelaksanaan lokakarya diikuti oleh 124 orang peserta dari seluruh Indonesia. Yang terdiri dari ketua umum Majlis Ulama‟ Propinsi, para ketua Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia, beberapa orang Rektor IAIN, 98
Ibid, hlm. 159 Ahmad Rofiq, op.cit. hlm. 93 100 Abdurrahman, op.cit. hlm. 46 99
61
beberapa Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN, sejumlah wakil Organisasi Islam, sejumlah Ulama‟ dan sejumlah cendekiawan muslim, baik di daerah maupun di pusat, tidak ketinggalan pula wakil organisasi wanita.101 Lokakarya disebut berlangsung lima hari, mulai (tanggal 2-6 Februari 1988) bertempat di Hotel Chanda Jakarta, dibuka oleh ketua H. Mahkamah Agung Ali Said SH. Juga memberi kata sambutan Mentri Agama RI H. Munawir Sadali MA. Setelah pembukaan pimpinan proyek Prof. Bustanul Arifin. SH memberikan beberapa penjelasan berkenaan dengan materi lokakarya, dan peserta lokakarya dibagi menjadi tiga komisi, antara lain: a) Komisi I bidang Hukum Perkawinan di ketuai oleh H. Yahaya Harahap DH, sekertaris Drs. H. Marfuddin Kosasih SH. Narasumber KH. Halim Muhammad SH dengan anggota sebanyak 42 orang. b) Komisi II bidang Hukum Mawaris diketuai oleh H. A Wasit Aulawi MA dengan sekertaris H. Zainal Abidin Abu Bakar SH, Narasumber KH. A Azhar Basyir MA dengan anggota sebanyak 42 orang. c) Komisi III Bidang Hukum Perwakafan diketuai oleh H. Masrani Basran SH sekertaris DR. H.A Gani Abdullah SH, Narasumber Prof. Dr. Rahmat Jatnika, dengan anggota sebanyak 29 orang. 102 Perumusan materi dilakukan di masing-masing komisi, dan dibentuk tim perumusannya, yaitu:
101 102
Ibid, hlm. 47 Ibid .
62
1. Tim Perumusan Komisi A tentang Hukum Perkawinan: a. H.M. Yahya Harahap, SH; b. Drs. Marfuddin Kosasih, SH; c. KH. Halim Muchammad, SH; d. H. Muchtar zarkasi, SH; e. KH. Ali Yafie; f. KH. Najih Ahyad. 2. Tim Perumusan Komisi B tentang Hukum Kewarisan: a. H.A. Wasit Aulawi, MA; b. H. Zaenal Abidin Abubakar,SH; c. KH. Azhar Basyir; d. Prof. KH. Md. Kholid, SH; e. Drs. Ersyaad, SH. 3. Tim Perumusan Komiai C tentang Hukum Perwakafan: a. H. Masrani Basran, SH; b. DR. A. Gani Abdullah, SH; c. Prof. DR. H. Rahmat Jatnika; d. Prof. KH. Ibrahim Husain, LML; e. KH. Azis Masyuri103 Dalam lokakakrya Nasional terssebut disepakati perlunya dirmuskan hukum Islam yang bercorak di Indonesia. Di antara peserta lokakarya 103
Ibid, hlm. 48
63
mengiginkan Kompilasi dapat diundang melalui Undang-undang. Namun di sisi lain, ada kekhawatiran jika Kompillasi dikeluarkan dalam bentuk Undangundang, sudah barang tentu, jika melalui DPR, diperkirakan menemui kesulitan dan akan memakan waktu yang sangat lama jika tidak malah berlarut-larut. Sebagian lain agar di tuangkan dalam peraturan pemerintah dan keputusan Presiden. Agaknya tarik menarik antara kompilasi diwujudkan dalam bentuk undang-undang, paling tidak peraturan pemerintah cukup kuat. Hal ini didasari pandangan bahwa Kompilasi Hukum Islam diharapkan mejadi Hukum Materiil dan ketentuan yang terdapat dalam pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989. 104 Pada
tanggal
29
Desember
1989 pemerintah
mengundangkan
berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 (LN 1989 N0.49) tentang Peradilan Agama. Berlakunya Undang-undang ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap proses penyusunan Kompilasi Hukum Islam. Undangundang No. 7 Tahun 1989 adalah mengatur tentang Hukum Formal yang akan akan dipakai dilingkungan Peradilan Agama. Hukum Formal secara teori adalah adalah unntuk “mengabdi” kepada hukum mateial. Akan tetapi sebagai mana telah dikemukakan dalam uraian terdahulu sampai saat ini hukum material mana yang di pergunnakan bagi Peradilan Agama masih belum jelas dan untuk keperluan itulah Kompilsai Hukum Islam disusun. Dengan demikian, maka dengan berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 menjadi dorongan
104
Ahmad Rofiq, op.cit. hlm. 94
64
yang lebih kuat untuk memacu lahirnya hukum materiilnya yaitu Kompilasi Hukum Islam.105 Pada akhirnya setelah melalui perdebatan yang sangat panjang, pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden menandatangi Intruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1990. Sejak saat itu secara formal berlakulah Kompilasi Hukum Islam diseluruh Indonesia sebagai hukum materil yang dipergunakan dilingkungan Peradilan Agama. Sebagai tindak lanjutnya, pada tanggal 22 Juli 1991 Menteri Agama telah mengeluarkan keputusan No. 154 tahun 1991 tentang pelaksanaan Intruksi Presiden RI No. 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Selanjutnya Kompilasi ini disebarluaskan kepada semua ketua Pengadilan Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan Agama melalui Surat Edaran Direktur Pembina Badan Peradilan Agama Islam tanggal 25Juli 1991 No. 3694/EV/HK.003/AZ/91.106 3. Landasan dan Sistematika Kompilasi Hukum Islam a. Landasan Kompilasi Hukum Islam 1) Landasan Yuridis Landasan yuridis mengenai perlunya hakim memperhatikan kesadaran hukum masyarakat adalah Undang-undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 28 ayat (1) yang berbunyi: “Hakim waib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
105 106
Ibid. Ibid, hlm. 51
65
masyarakat”. Dan di dalam fiqh ada kaidah yang mengatakan bahwa: Hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu, tempat dan keadaan.107 2) Landasan Fungsional Kompilasi Hukum Islam adalah fiqh Indonesia karena ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Ia bukan merupakan madzab baru tetapi ia mempersatukan berbagai fiqh dalam menjawab persoalan fiqh. Dan mengarah pada Unifikasi Madzab dalam hukum Islam. Oleh karena itu, didalam sistem hukum Indonesia ini merupakan bentuk terdekat kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum nasional di Indonesia.108 b. Sistematika Kompilasi Hukum Islam Sebagaimana yang telah disinggung di muka bahwa Kompilasi Hukum Islam ini hanya memuat tiga ketentuan hukum materiil Islam, yakni ketentuan-ketentuan
hukum
perkawinan,
hukum
kewarisan,
hukum
perwakafan. Ketiga pengelompokan bidang hukum tersebut ditulis didalam Kompilasi Hukum Islam secara terpisah, masing-masing dalam buku tersendiri. Dalam setiap buku, ketentuan spesifikasi bidang hukum terbagi kedalam bab-bab, dan masing-masing lagi dirinci dalam bagian pasal-pasal. Teknik penomoran bab-bab dan bagian-bagian diurutkan sesuai dengan 107
Zainudin Ali, Hukum Islam Pengantar Hukum Islam Di Indonesia, cet. II. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 99 108 Ibid, hlm. 100.
66
pengelompokan buku. Sedangkakn penomoran diurutkan secara keseluruhan dari buku pertama hingga buku ketiga.109 Dengan demikian sistematika Kompilasi Hukum Islam terdiri dari: I.
Tiga Buku, dan 229 Pasal, yaitu: 1.
Buku I: Hukum Perkawinan, yang terbagi dalam: a) XIX (sembilan belas bab) b) 170 Pasal (dari Pasal 1-170)
2.
Buku II: Hukum Waris, yang terbagi dalam: a) IV (enam) bab b) 44 Pasal (dari Pasal 171-214)
3.
Buku III: hukum perwakafan, yang terbagi dalam: a) V (lima) bab b) 15 Pasal (dari Pasal 215-229)
II.
Penjelasan atas Buku-buku Kompilasi Hukum Islam 1.
Penjelasan Umum
2.
Penjelasan Pasal-pasal110 Masalah iddah dalam KHI diatur pada Bab XVII tentang Akibat
Putusnya Perkawinan bagian kedua yaitu waktu tunggu pasal 153, 154, dan 155. Akan tetapi iddah yang dijelaskan dalam pasal-pasal tersebut hanyalah iddah yang telah disepakati oleh para ulama‟.
109 110
Abdurrrahman, op. cit., hal. 49. Marzuki Wahid. op.cit. hlm. 162.
67
Dalam Kompilasi Hukum Islam, masalah iddah atau waktu tunggu dijelaskan dalam pasal 153, 154 dan 155. Pasal 153 ayat (1) KHI menyatakan : “ bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qabla ad-dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.” Adapun macam – macam iddah dalam KHI dijelaskan sebagai berikut : 1. Putus perkawinan karena ditinggal mati suami Pasal 153 ayat (2) huruf a KHI menjelaskan : “ apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla ad-dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari”. Ini berdasarkan Surat al-Baqarah (2) : 234. Ketentuan di atas berlaku bagi isteri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan tidak hamil. Sedangkan apabila isteri tersebut dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu bagi mereka adalah sampai ia melahirkan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 153 ayat (2) huruf d KHI. Hal ini didasarkan pada Surat at-Talaq (65) : 4. 2. Putus perkawinan karena perceraian Isteri yang dicerai suaminya dapat berlaku beberapa kemungkinan waktu tunggu sesuai dengan keadaannya : a. Dalam keadaan hamil.
68
Apabila isteri dicerai suaminya dalam keadaan hamil maka iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya seperti dijelaskan dalam pasal 153 ayat (2) huruf c KHI. b. Apabila dicerai suaminya setelah terjadi hubungan kelamin (dukhul): 1) Bagi yang masih datang bulan, waktu tunggunya adalah tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari (pasal 153 ayat (2) huruf b KHI). 2) Bagi yang tidak atau belum datang bulan masa iddahnya tiga bulan atau 90 (sembilan puluh) hari(pasal 153 ayat (2) huruf b KHI). 3) Bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui maka iddahnya tiga kali waktu suci (pasal 153 ayat (5) KHI). 4) Dalam keadaan pada ayat (5) tersebut bukan karena menyusui maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali suci (pasal 153 ayat (6) KHI). 3. Putus perkawinan karena faskh, khulu‟ dan li‟an Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khulu‟ (cerai gugat atas dasar tebusan atau „iwad dari isteri), fasakh, atau li‟an, maka waktu tunggu berlaku seperti iddah talak (pasal 155 KHI). 4. Isteri ditalak raj‟i kemudian ditinggal mati suami dalam masa iddah
69
Apabila isteri tertalak raj‟i kemudian dalam waktu iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) pasal 153 KHI ditinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari (130 hari) terhitung saat matinya bekas suami (pasal 154 KHI). Selanjutnya dalam pasal 153 ayat (4) KHI menjelaskan bahwa bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu dihitung sejak kematian suami.111
B. Perhitungan Iddah Perempuan Yang Berhenti Haid Ketika Menjalani Masa Iddah Karena Menyusui Dalam Kompilasi Hukum Islam Masa iddah dalam pasal 153 KHI mempunyai beberapa macam yang dapat diklarifikasi sebagai berikut pasal KHI bagi seorang istri yang putus pekawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qabla al-dhukul dan Perkawinannya putus bukan karena kematian suami. waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut: apabila perkawian putus karena kematian, walaupun qabla al-dhukul, waktu tunggu ditetapkan 130 hari apabila perkawinan putus atas perceraian waktu tunggu yang masih haid ditetapkan 2 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 hari apabila 111
Ahmad Rofiq, op.cit. hlm.314.
70
perkawinan putus karena percerian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil maka waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil maka waktu tunggu ditetapkan sampai anak itu lahir. tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla al–dhukhul. bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan peyang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami. waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya 3 kali waktu suci. Dalam keadaan seperti pada ayat 5 bukan karena menyusui, maka iddahnya selama 1 tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid kembali maka iddahnya menjadi 3 kali suci. Hukum Islam dan peraturan yang dibuat oleh suatu negara terkadang tidak berjalan secara beriringan, artinya keduanya tidak bisa bertemu satu sama lainnya. Kadang aturan pemerintah membolehkan tetapi dilarang menurut hukum Islam, begitu juga sebaliknya. Inilah yang menjadi salah satu problema masyarakat muslim yang tinggal di negara non Islam, artinya negara yang tanpa aturan syariat Islam termasuk Indonesia.
71
Salah satu permasalahan tersebut adalah mengenai perhitungan iddah. Indonesia telah sedemikian rupa mengatur masalah iddah ini dalam beberapa peraturan yang mengikat bagi setiap warga negara. Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu dihitung sejak kematian suami. Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid. dalam hal keadaan ayat 5 bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali suci. Dalam Perhitungan iddah perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa Iddah karena menyusui dalam KHI Pasal 153 ayat (5) KHI dijelaskan bahwa, “Bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui maka iddahnya tiga kali waktu suci”.
72
Dalam hal ini, terdapat sebuah istilah yang dikenal dengan wanita alMurtaabah. Wanita murtabah adalah wanita yang siklus haidnya tidak teratur. Wanita dalam kondisi ini ada dua keadaan: Sebelumnya memiliki siklus haid yang teratur kemudian siklus haidnya berubah karena sebab yang diketahui, seperti menyusui, cacat atau sakit yang masih ada harapan untuk sembuh. Dalam kondisi ini, wanita diwajibkan untuk bersabar sampai siklus haidnya kembali normal, meskipun waktunya panjang. Setelah siklus haid kembali normal maka dia menjalani masa iddahnya dengan hitungan quru‟ (menjalani 3 kali haid). Ini adalah pendapat Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu „anhum. Sebelumnya memiliki siklus haid yang teratur kemudian siklus haidnya berubah namun sebabnya tidak diketahui.
C. Dasar Hukum Iddah Perempuan Yang Berhenti Haid Ketika Menjalani Masa Iddah Karena Menyusui Dalam Kompilasi Hukum Islam Ketentuan yang tertuang dalam KHI Pasal 153 ayat (5) tersebut berdasarkan pada pendapat ulama yang bermazhab Syafi‟i yaitu Syaikh Sulaiman, dalam karyanya yang bernama kitab Al-Bujraimi. ْ س ُ َم ْن اِ ْنقَطَ َع َح ْي َ تَصْ بِ ُر َحتى تَ ِحي,ظاع أَوْ نِفَاس أَوْ َم َرض َ عهَا لِ َعا َرض َك َر ِ ْط فَتَ ْعتَد بِ ْاْلَ ْق َرا ِء أَوْ َحتى تَ ْبلُ َغ ِسنَ ا ْليَأ فَتَ ْعتَد بِ ْاْلَ ْشه ُِر Artinya: “Barang siapa (perempuan) berhenti haid karena illat seperti menyusui, nifas, atau sakit, maka ia beriddah dengan beberapa suci atau sampai usia menopause, lalu ia beriddah dengan beberapa bulan”
73
Dari keterangan kitab tersebut, kita pahami bahwa seorang perempuan pada saat menjalani masa iddah tetapi dalam masa tersebut haidnya berhenti, ia tetap beriddah menggunakan quru‟, yakni tiga quru‟. Jika ia tetap tidak mengalami haid lagi, maka setelah ia mencapai usia menopause ia cukup beriddah dengan bulan, yakni tiga bulan. Setelah itu ia sudah dinyatakan selesai menjalani masa iddah. Semuanya itu, apabila berhentinya haid wanita tersebut dikarenakan adanya suatu illat (penyakit), seperti sedang menyusui, nifas, atau sakit.
74
BAB IV ANALISIS KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI
A. Analisis Perhitungan Iddah Perempuan Yang Berhenti Haid Ketika Menjalani Masa Iddah Karena Menyusui Dalam Kompilasi Hukum Islam Sebelum penulis menganalisis lebih lanjut tentang perhitungan masa iddah perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah karena menyusui, yang mana dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan pada bagian kedua pasal 153 ayat (5) “waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu suci”, terlebih dahulu kita pahami beberapa pendapat para ulama mengenai perhitungan iddah perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah karena menyusui atau karena penyakit. Kalangan para ulama‟ berpendapat mengenai iddah bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui. Ulama‟ Hambali dan Ulama‟ Maliki berpendapat bahwa iddahnya wanita yang berhenti karena menyusui atau karena penyakit maka iddahnya satu tahun penuh. Ulama‟ Syafi‟i berpendapat dalam qaul jadid di antara dua pendapatnya mengatakan
75
bahwa, wanita tersebut selamanya berada dalam iddah hingga ia mengalami haid atau memasuki usia menopause, sesudah itu beriddah selama tiga bulan. Menurut Hanafi, apabila seorang wanita mengalami satu kali haid, lalu karena sakit atau menyusui haidnya terputus sama sekali, dan dia tidak lagi pernah mengalami haid, maka wanita tersebut dinyatakan tidak keluar dari iddahnya sampai kelak dia memasuki masa menopause. Dengan memasuki masa menopause ini sajalah dia bisa menyelesaikan iddahnya. Dengan demikian, menurut Hanafi dan Syafi‟i masa iddahnya dapat berlanjut selama 40 tahun.112 Imamiyah berpendapat bahwa apabila karena sesuatu sebab wanita tersebut mengalami keterputusan shaid, lalu dia ditalak, maka iddahnya adalah tiga bulan sebagaimana yang ada pada wanita yang tidak pernah mengalami haid sama sekali. Kalau ternyata ia mengalami haid lagi setelah ditalak, maka iddahnya adalah salah satu di antara dua jenis iddah berikut ini yang terlebih dahulu dia selesaikan. Yaitu tiga bulan penuh atau tiga quru‟. Artinya, kalau dia terlebih dahulu bisa menyelesaikan tiga quru‟ sebelum tiga bulan penuh, maka iddahnya dinyatakan selesai. Demikian pula halnya, bila dia telah melewati masa tiga bulan penuh tapi belum menyelesaikan tiga quru‟, maka iddahnya pun dianggap telah selesai pula.113 Untuk menganalisa KHI Pasal 153 ayat (5), kita perhatikan lagi bunyi pasal tersebut, “Bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah 112
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Khamsah, Penerj. Masykur, dkk, Terj. “Fiqih Lima Mazhab”, Jakarta: PT Lentera Basritama, cet. II, 1996, hlm. 468. 113 Ibid.
76
tidak haid karena menyusui maka iddahnya tiga kali waktu suci”. Pasal ini menerangkan bahwa si wanita tersebut harus menunggu sampai mengalami haid, lalu ia menghitung tiga kali waktu suci dari haid tersebut. Wanita yang menyusui di sini diibaratkan sebagai wanita yang sedang berpenyakit, seperti halnya nifas atau sedang memiliki penyakit yang mengakibatkan ia tidak mengeluarkan haid. Sehingga, jika ketika wanita itu dalam kondisi seperti ini dan selamanya tidak mengeluarkan haid lagi, maka selamanya ia juga berada dalam masa iddah. Setelah mencapai usia menopause, ia mengunakan iddah bulan yakni tiga bulan. Meski hal ini tidak dijelaskan secara eksplisit dalam KHI Pasal 153 ayat (5), karena ketentuan ini merujuk pada pendapat ulama Syafi‟iyyah. Dari beberapa keterangan di atas, penulis mengambil beberapa hasil analisa sebagai berikut: 1. Perempuan yang sedang menyusui, kaitannya dengan masalah iddah, ia dianalogikan sebagai wanita yang berpenyakit. Bukan berarti susu itu adalah penyakit. Akan tetapi, menyusui yang mengakibatkan berhentinya haid itulah yang menjadikan wanita ini disamakan dengan wanita yang memiliki penyakit (illat). 2. Dalam KHI Pasal 153 ayat (5) mengandung ketentuan bahwa jika wanita yang haidnya berhenti karena menyusui atau sebab penyakit itu telah mencapai usia menopause, maka beriddah tiga bulan. Meski hal ini tidak dijelaskan langsung secara eksplisit.
77
B. Analisis Dasar Hukum Iddah Perempuan Yang Berhenti Haid Ketika Menjalani Masa Iddah Karena Menyusui Dalam Kompilasi Hukum Islam Dalam bab 3 telah dijelaskan bahwa ketentuan iddah yang tertuang dalam KHI Pasal 153 ayat (5) berdasar pada pendapat ulama yang bermazhab Syafi‟i yaitu Syaikh Sulaiman, dalam karyanya yang bernama kitab Al-Bujraimi. ْ س ُ َم ْن اِ ْنقَطَ َع َح ْي َ تَصْ بِ ُر َحتى تَ ِحي,ظاع أَوْ نِفَاس أَوْ َم َرض َ عهَا لِ َعا َرض َك َر ِ ْط فَتَ ْعتَد بِ ْاْلَ ْق َرا ِء أَوْ َحتى تَ ْبلُ َغ ِسنَ ا ْليَأ َ ْ فَتَ ْعتَد ِب اْل ْشه ُِر
114
Artinya: “Barang siapa (perempuan) berhenti haid karena adanya illat (penyakit) seperti menyusui, nifas, atau sakit, maka ia beriddah dengan beberapa suci atau sampai usia menopause, lalu ia beriddah dengan beberapa bulan” Kata عارضyang diartikan sebagai penyakit merupakan sesuatu yang dapat menyebabkan haid seorang wanita berhenti. Jadi, jika terdapat penyakit namun tidak menyebabkan berhentinya haid seseorang atau wanita yang menyusui namun masih mengalami haid biasa, maka ia tidak termasuk dalam kategori ini. Kata سن اليأسyang dimaksud dalam kitab tersebut diartikan terputusnya haid, yakni masa di mana seorang wanita sudah tidak lagi mengalami haid (menopause). Dari keterangan kitab tersebut, kita pahami bahwa seorang perempuan pada saat menjalani masa iddah tetapi dalam masa tersebut haidnya berhenti, ia
114
Syaikh Sulaiman, Bujraimai, Beirut: Darul Fikr, 2007, hlm. 50.
78
tetap beriddah menggunakan quru‟, yakni tiga quru‟. Dalam KHI sendiri, mengartikan istilah quru‟ adalah suci, sehingga iddahnya tiga kali waktu suci. Jika ia tetap tidak mengalami haid lagi, maka setelah ia mencapai usia menopause ia cukup beriddah dengan bulan, yakni tiga bulan. Setelah itu ia sudah dinyatakan selesai menjalani masa iddah. Semuanya itu, apabila berhentinya haid wanita tersebut dikarenakan adanya suatu illat (penyakit), seperti sedang menyusui, nifas, atau sakit. Perbedaan pendapat tentang iddah bagi wanita yang berhenti haid karena menyusui dikarenakan perbedaan para ulama dalam memahami firman Allah surat al-Thalaq , ayat 4:
Artinya: “dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” Imam Malik mengartikan kata ya-is adalah wanita yang tidak dapat dipastikan telah putus haid. Beliau menjadikan firman Allah (jika kamu
79
ragu-ragu) berkaitan dengan hukum bukan dengan haid (yaitu jika kamu ragu-ragu tentang istri yang telah putus haid). Sedangkan bagi wanita yang selama 9 bulan tidak mengalami haid sedang usianya masih memungkinkan terjadinya haid, Imam Malik berpendapat bahwa ia Beriddah selama 3 bulan (9 bulan untuk mengetahui kehamilannya, 3 bulan untuk iddahnya). Imam Syafi‟i dan Hanafi mengartikan kata ya-is adalah wanita yang sudah putus haid. Bagi wanita yang berhenti haidnya sedang ia masih mungkin mengalami haid maka ia harus menunggu sampai ia memasuki usia tersebut (usia putus haid). Dalam permasalahan ini penulis beranggapan bahwa pendapat Imam Malik, Iman Syafi‟i dan Imam Hanafi tentang iddah bagi wanita yang berhenti haid karena menyusui terlalu memberatkan karena salah satu tujuan dari iddah adalah untuk mengetahui kehamilan seseorang, al-Qur‟an memberikan petunjuk yang sangat jelas bahwa iddah terlama adalah empat bulan sepuluh hari (bagi wanita yang dicerai mati), tiga bulan bagi wanita yang sudah putus haid atau belum pernah haid dan tiga quru‟ bagi wanita yang masih haid. Sedangkan bagi wanita yang dithalak suaminya (pernah haid sekali atau dua kali) kemudian pada masa iddahnya ia tidak haid menurut penulis iddahnya adalah tiga bulan. Apabila tiga bulan tersebut diketahui ia hamil maka wanita tersebut harus Beriddah sampai ia melahirkan. Akan tetapi apabila waktu tiga bulan tersebut ia tidak hamil maka habislah masa iddahnya.
80
Jadi menurut penulis iddah bagi wanita yang berhenti haid karena menyusui dikembalikan kepada hukum asal. Apabila wanita tersebut masih haid maka ia Beriddah selama 3 quru‟, apabila ia sudah putus haid maka ia Beriddah dengan hitungan bulan (tiga bulan). Dalam menentukan hukum pertama-tama mencarinya didalam al-Qur‟an. karena al-Qur‟an merupakan sumber hukum Syari‟at Islam yang pertama, dengan al-Qur‟an pula kita akan mengetahui hukum Allah SWT. Di dalam al-Qur‟an syari‟at secara keseluruhan diterangkan. Oleh karena itu al-Qur‟an mempunyai daya tahan sepanjang zaman dan dapat sesuai dengan kondisi setiap masyarakat. Selain itu hukum di dalam al-Qur‟an juga bersifat mujmal yang perinciannya diserahkan kepada ahli ijtihad.115 Di
dalam
memahami
ayat-ayat
al-Qur‟an
terkadang
kita
memerlukan penjelasan atau takwil dengan cara mempelajari hadits. Hadits sangat diperlukan karena bukan saja sebagai sumber yang kedua bagi Syari‟at Islam akan tetapi juga karena sebagai penafsir al-Qur‟an, pensyarah, menafsirkan yang mujmal dan mentaqyid kan yang mutlaq.116 Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur‟an kita memerlukan pentakwilan, apabila
dalil
syar‟i
menghendaki
adanya
pentakwilan,
maka
yang
dijadikan pegangan adalah arti takwil tersebut. Apabila terdapat pertentangan 115
Teungku Muhammad Hasby Ash- Shiedieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, Semarang: PustakaRizki Putra, 1997, hlm. 176. 116 Teungku Muhammad Hasby Ash- Shiedieqy, Pokok Pokok Pegangan Imam Madzha , Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 186.
81
antara dhohir Al-Qur‟an dengan makna yang terkandung dalam dhohir dalam sunnah sekalipun jelas maka yang didahulukan adalah dhohir al-Qur‟an tetapi apabila makna yang terkandung oleh sunnah tersebut dikuatkan dengan ijma‟ ahli Madinah, maka ia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam dhohir sunnah dari pada dhohir al-Qur‟an (sunnah mutawatiroh atau sunnah mashuroh). Praktek keagamaan menurut para sahabat Imam Malik, tidak lain adalah praktek yang diwarisi para masa Rasulullah saw, kemudian praktek tersebut diwariskan kepada generasi berikutnya sampai kepada Imam Malik. Dengan demikian perilaku sehari-hari penduduk Madinah (ijma ahli Madinah) yang berasal dari qur‟an, hasil mencontoh Rasulullah saw bukan berasal dari ijtihad ahli Madinah. Sehingga amal ahli Madinah ini dijadikan sebagai sumber hukum dalam islam dan kedudukannya sebagai hadits mutawatir. Selanjutnya jika hukum tersebut tidak ditemukan dalam sumber-sumber tersebut, maka merujuk kepada fatwa sahabat. Fatwa sahabat yang dimaksud adalah berwujud hadits-hadits yang bersumber dari para sahabat besar yang mempunyai pengetahuan terhadap suatu masalah sehingga hadits tersebut wajib diamalkan. Fatwa sahabat yang bisa dijadikan sebagai hujjah tidak boleh bertentangan dengan hadits marfu‟. Selain itu fatwa sahabat yang merupakan hasil ijtihad mereka.
82
Setelah berbagai metode yang ditempuh diatas belum juga menemukan suatu ketetapan hukum, kemudian menggunakan qiyas. Qiyas menurut ulama‟ ushul ialah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya.117 Dalam pembahasan ini penulis menganalisis permasalahan tentang iddah wanita yang berhenti haid karena menyusui diqiyaskan dengan iddah bagi wanita yang tidak haid sedang ia masih dalam usia haid. Penerapan ini membuktikan bahwa pasal-pasal dalam Kompilasi Hukum Islam berpegang pada dhahir alQur‟an surat ath-Thalak ayat 4.
117
Prof. Dr. Abdul wahhab khallaf, Kaidah- Kaidah Hukum Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, cet. VIII, 2002, hlm. 74.
83
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari seluruh uraian skripsi yang telah penulis paparkan, penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Perhitungan iddah bagi perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah karena menyusui yaitu tiga kali waktu suci, sebagai mana dijelaskan dalam KHI Pasal 153 ayat (5), “Bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui maka iddahnya tiga kali waktu suci”. 2. Dasar hukum iddah perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah karena menyusui yang tertuang dalam KHI tersebut tertuang dalam kitab al-Bujraimi, sebagai berikut: ْ س ُ َم ْن اِ ْنقَطَ َع َح ْي َ تَصْ بِ ُر َحتى تَ ِحي,ظاع أَوْ نِفَاس أَوْ َم َرض َ عهَا لِ َعا َرض َك َر ِ ْط فَتَ ْعتَد بِ ْاْلَ ْق َرا ِء أَوْ َحتى تَ ْبلُ َغ ِسنَ ا ْليَأ فَتَ ْعتَد بِ ْاْلَ ْشه ُِر
Artinya: “Barang siapa (perempuan) berhenti haid karena adanya illat (penyakit) seperti menyusui, nifas, atau sakit, maka ia beriddah dengan beberapa suci atau sampai usia menopause, lalu ia beriddah dengan beberapa bulan”
B. Saran-saran
84
Dalam skripsi ini, ada beberapa saran yang ingin penulis sampaikan, antara lain: 1. Iddah merupakan kewajiban yang harus dijalankan bagi umat Islam (perempuan) baik yang dicerai, atau ditinggal mati oleh suaminya, hal ini dikarenakan ada beberapa kebaikan atau hikmah di dalamnya. Untuk itu perempuan tersebut harus mau menjalani masa tunggu atau iddah 2. Kompilasi Hukum Islam dianggap sebagai salah satu diantara sekian banyak karya umat Islam Indonesia dalam rangka memberi arti yang lebih positif bagi kehidupan beragama dalam rangka kebangkitan umat Islam Indonesia. Namun dominasi Syafi‟iyyah terhadap pasal-pasal membuat KHI seakan-akan tidak moderat. Untuk itu menyamaratakan berbagai pendapat madzab selain Syafi‟i sangat diperlukan.
C. Penutup Alhamduliilahi rabbil alamin, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan baik dalam penulisan maupun dalam memahami materi skripsi ini. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.
85
Akhirnya, penulis sampaikan banyak terima kasih kepada para dosen sebagai guru serta pembimbing yang tak henti-hentinya memberikaopn arahan, kepada teman-teman yang selalu memberikan support, dan segenap pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Mudahmudahan skripsi ini dapat memberikan manfaat baik bagi penulis sendiri maupun orang lain. Amin.
86
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, jakarta: Akademika Presindo, tth. Abidin, Slamet dan Aminuddin, Fiqih Munakahat II, Bandung: CV Pustaka Setia, cet. I, 1999. Ad-Damasyqi, Syaikh al-„Allamah Muhammad bin Abdurrahman, Fiqih Empat Mazhab, Bandung : Hasyimi Press, cet. XIII, 2010. Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Bulugh al-Maram, Semarang: Pustaka Alawiyah. Al-Ghozi, Muhammad ibnu Qosim, Kitab Fathul Qorib, Semarang: Pustaka Alawiyyah. Ali, Mohammad Daud, Asas-asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1990. Ali, Zainudin, Hukum Islam Pengantar Hukum Islam Di Indonesia, cet. II. Jakarta: Sinar Grafika. Arikunto, Suharsini, Prosidur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Bina Aksara, tth, Ayub, Syaikh Hasan, Fiqh Al Usroh Al Muslimah, penerjemah Abdul Ghofar. “Fikih Keluarga”, Cet. 1. Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2001. Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, Abdul Majid Khon, (penerj), Jakarta: Amzah, cet. I, 2009. Bukhori, Shohih Bukhori, Juz V, Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyyah, cet. I 1992. Dekdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990. Departemen Agama, Ilmu Fiqh, Jilid II, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, cet. II, 1985. Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 2001. Eclosh, Jhon. M. dan Hasan Shadaly, Kamus Inggris Indonesia (An EnglishIndonesian Dictionary), cet. XVII. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1990. Ghazali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. III, 2008.
87
Mas‟ud, Ibnu dan Zainal Abidin S, Fiqih Madzab Syafi‟i, buku 2 (Muamalat, Munakahat, Jinayat), Cet. II, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007. Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet. XVII, 2002. Mugniyah, Muhammad Jawad, Al-fiq „ala al- madzahib al-khamsah, penerjemah Masykur A.B., Aif Muhammad, Idrus Al-Kaff. “Fiqh Lima Madzab”, Cet. 2. Jakarta: PT.Lentera Basritam, 1996. Muslim, Imam, Shohih Muslim, Juz I, Semarang: Toha Putra. Nazir, Moh., Metode Penelitian, Jakarta Timur: Ghalia Indonesia, cet. III, 1988. Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, cet.37, 2004. Rofiq, Ahmad, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 2000. Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid Analisa Fikih Para Mujtahid, Jilid II, Jakarta : Pustaka Amani, cet. III, 2007. Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 4, Abdurrahim, Masrukhin (penerj), Jakarta: Cakrawala Publishing, cet. I, 2009. Simongkir, J.C.T., dkk, Kamus Hukum, hlm. 78: Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, hlm. 927-928. Strauss, Anselm dan Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997. Sulaiman, Syaikh, Bujraimai, Beirut: Darul Fikr, 2007. Syafi‟i, Imam, Al-Umm, Jilid VIII, Prof. TK. Ismail Yakub SH. MA. (penerj), Jakarta: CV Faizan, cet. I, 1984. Thalib, Muhammad, Manajemen Keluarga Sakinah, Yogyakarta: Pro U, cet. II, 2008. Tollanaere, C. Kruyskampen F. De, Van Dale‟s Xileuw Groart Waardenbook Der Nederlandse Taal, Gravenhage: Martimus Nijhoff, 1950, hlm. 345. Undang-undang perkawinan di Indonesia dan dilengkapi Kompilasi hukum islam di Indonesia. Surabaya: Arkola. Tth. Wahid, Marzuki dan Rumadi, Fiqih Madzab Negara Kritik Atas Politik Hukum Negara Islam di Indonesia. cet,1, Yogyakarta: LKIS, 2001.
88
Wahyudi, Muhammad Isna, Fikih „Idah Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, cet. I, 2009. Wojowasito, S. dan W. J. S. Poerdarminta, Kamus Lengkap Inggris IndonesiaIndonesia Inggris, Jakarta: Hasta, 1982. Wojowasito, S., Kamus umum Belanda Indonesia, Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1981. Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008. Zahrah, Muhammad Abu, Al-Ahwal as-Syakhshiyyah, Darul Fikr Al-Arabi, 1957. http://muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-8-iddah.html. http://rokhman.page.tl/Hukum-dan-masail-haid.htm.
89
90