BAB IV ANALISIS
A. Tinjauan Pengarang Karya sastra mempunyai kaitan antara pengarang dan latar belakang sejarah saat karya sastra tersebut diciptakan. Lingkungan disekitar pengarang juga akan berpengaruh terhadap karya sastra yang diciptakan oleh pengarang. Perenungan-perenungan yang mendalam oleh pengarang akan dituangkan lewat kata yang menghasilkan sebuah karya sastra. Imaji, motivasi dan intelektualitas juga mewarnai hasil penciptaan karya sastra.
1. Riwayat Hidup Suwardi Endraswara Suwardi Endraswara adalah salah satu pengarang dari sekian banyak pengarang sastra Jawa yang masih aktif sampai sekarang. Beliau lahir pada tanggal 3 April 1964 di Desa Prangkokan, Kulonprogo, Yogyakarta. Beliau lahir dari pasangan Sumarji dan Suminah. Kedua orang tua Suwardi Endraswara bekerja sebagai petani yang mempunyai perkebunan cengkeh dan panili. Pendidikan yang dienyam oleh Suwardi Endraswara adalah pendidikan formal. Beliau lulus dari SD Negeri Tegalsari, Kulonprogo, Yogyakarta pada tahun 1978. Selepas dari SD Negeri Tegalsari, Suwardi Endraswara melanjutkan pendidikannya ke SMP BOPKRI Samigaluh, Kulonprogo lulus pada tahun 1981. Kemudian, dilanjutkan ke jenjang menengah atas yaitu di SPG BOPKRI yang terletak di Jalan Jendral Sudirman 57 Yogyakarta dan
26
27
lulus pada tahun 1984. Pendidikannya tidak sampai disini, Suwardi Endraswara melanjutkan pendidikan formalnya masuk keperguruan tinggi yaitu di FPBS (Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni) jurusan sastra Jawa IKIP Yogyakarta yang sekarang menjadi UNY (Universitas Negeri Yogyakarta). Lulus pada tahun 1989, lalu beliau mengajar di SPG 17 Bantul. Beliau juga menjadi redaktur di majalah Mekar Sari selama 2 tahun. Pada tahun 1991 beliau diangkat menjadi dosen di FPBS IKIP Karangmalang, Yogyakarta yang sekarang menjadi FBS (Fakultas Bahasa dan Seni) Universitas Negeri Yogyakarta. Setelah pendidikan formalnya lama berhenti, beliau melanjutkan jenjang S2 jurusan Antropologi di Universitas Gajah Mada Yogyakarta, kemudian beliau juga mengambil S3 dengan jurusan yang sama dan di Universitas yang sama.
2. Proses Kreatif Suwardi Endraswara Suwardi Endraswara dalam menciptakan suatu karya sastra tidak secara langsung menulis apa yang ada dalam pikirannya, tetapi beliau melakukan perenungan-perenungan yang berada di sekitarnya. Pengalamanpengalaman yang telah dialami yang dijadikan sebuah karya sastra terutama geguritan yang dikaitkan dengan situasi jaman sekarang ini. Unsur religius yang selalu mewarnai setiap karya yang diciptakan oleh Suwardi Endraswara tidak terlepas dari unsur mistik, unsur sufistik yang di dalam agama islam disebut tasawuf. Beliau menciptakan karya sastra terutama geguritan untuk memberikan auto kritik dan self kritik bagi diri sendiri, orang
28
lain ataupun bangsa dan negara. Geguritan Suwardi Endraswara mengarah untuk pemahaman hidup untuk mencari selffisem keselamatan hidup.
3. Suwardi Endraswara, Karya dan Prestasinya Lelaki berperawakan kecil, sederhana, selalu tersenyum dan ramah kepada siapa saja, logat bicaranya lantang dan berapi-api. Beliau adalah Suwardi Endraswara salah satu pengarang yang konsisten menggeluti dunia sastra Jawa. Suwardi Endraswara memiliki istri bernama Sartini dan dikaruniai empat orang putra dan putri. Beliau tinggal di Ngrukem, Rt 06, Rw 12, Krandohan, Pendowoharjo, Sewon Bantul, Yogyakarta. Suwardi Endraswara sebagai seorang pengarang telah banyak menghasilkan berbagai karya. Karya-karya Suwardi Endraswara sebagian besar berbentuk geguritan dan cerpen, bahkan sudah diterbitkan dalam antologi. Selain geguritan dan cerpen beliau juga menulis dongeng dan certa bersambung. Karya Suwardi Endraswara tidak hanya ditulis dengan bahasa Jawa, namun ada beberapa yang ditulis dengan bahasa Indonesia. Karya sastra dan esai beliau dimuat diberbagai majalah dan surat kabar seperti Mekar Sari, Jaya Baya, Djaka Lodang, Penyebar Semangat, Suara Merdeka dan lain sebagainya. Berikut beberapa contoh karya-karaya yang diciptakan oleh Suwardi Endraswara : a. Cerita Bersambung (cerbung) 1. Kaca-kaca Pengilon, Mekar Sari, Tahun 1991. 2. Kembang Paes, Djaka Lodang, Tahun 1991 3. Kupu-kupu Mabur, Kandha Raharja, tahun 1991
29
4. Gelang Kuning Cakar Macan, Jaya Baya, Tahun 1993 5. Layung-layung Jingga, Penyebar Semangat, Tahun 1995 6. Suket Teki, Penyebar semangat, Tahun 1997 b. Cerita Pendek (cerpen) 1. Ambyare Plinten-plinten Lembut, Mekar Sari, Tahun 1992 2. Mlebu Kandhang Macan, Mekar Sari, Tahun 1992 3. Kembang-kembang Tumelung, Penyebar Semangat, Tahun 1992 4. Kaca-kaca Bening, Djaka Lodang, Tahun, 1992 5. Mripat, Djaka Lodang, Tahun 1992 6. Kagubet Klamat Angga-angga, Penyebar Semangat, Tahun 1993 7. Sepet-sepet Sawo Mentah, Penyebar Semangat, Tahun 1993 8. Kucing Endhase Ireng, Mekar Sari, Tahun 1993 9. Ing Selane Tebu Ngrembang, Mekar Sari, Tahun 1993 10. Bayi Saka Planet, Penyebar Semangat, Tahun 1994 11. Ngulu Salak Sepet, Djaka Lodang, Tahun 1994 12. Togog Dadi Ratu, Penyebar Semangat, Tahun 1996 13. Menara Kristal, Penyebar Semangat, Tahun 1996 c. Geguritan 1. Rasa Sejatining Rasa, Djaka Lodang, Tahun 1992 2. Nasibe Kasim Kasimpar, Djaka Lodang, Tahun 1992 3. Sanepane Jagag, Djaka Lodang, Tahun 1992 4. Lilanana Aku, Djaka Lodang, 1992 5. Sada Lanang, Penyebar Semangat, Tahun 1992 6. Kontul Nglayang Ngetan, Penyebar Semangat, Tahun 1992
30
7. Slendang Biru, Jaya Baya, Tahun 1992 8. Lawang Kalong, Penyebar Semangat, Tahun 1993 9. Pahlawan Kodhok Ngorek, Djaka Lodang, Tahun 1993 10. Laron-laron Mabur, Penyebar Semangat, Tahun 1993 11. Pujangga Tiban, Penyebar Semangat, Tahun 1993 12. Mburu Kebo Ucul, Jaya Baya, Tahun 1993 13. Sapi Ompong, Penyebar Semangat, Tahun 1994. d. Dongeng 1. Eling Janjine Dhewe-dhewe, Mekar Sari, Tahun 1989 2. Oh, Ibu Tiriku, Mekar Sari, Tahun 1990 3. Ngundhuh Wohing Pakarti, Mekar Sari, Tahun 1991 4. Sumur Gumulung, Mekar Sari, Tahun 1990 5. Akal Kalah Karo Okol, Mekar Sari, Tahun 1990 e. Antologi (kumpulan dongeng, cerita pendek, esai dan geguritan) 1. Sega Rames (kumpulan dongeng) 2. Kaca-kaca Bening (antologi cerita pendek) 3. Mutiara Segegem (antologi cerita pendek) 4. Niskala (antologi cerita pendek) 5. Jangka (antologi cerita pendek) 6. Senthir (antologi cerita pendek) 7. Kembang Ing Mangsa Ketiga (kumpulan esai sastra) 8. Kristal Emas (antologi geguritan)
31
f. Buku –buku 1. Metode Penelitian Sastra, Penerbit FBS UNY, Tahun 2003 2. Mistik Kejawen, Penerbit Narasi, Tahun 2003 3. Falsafah Hidup Jawa, Penerbit Cakrawala, Tahun 2003 4. Mutiara Wicara Jawa, Penerbit Gajah Mada University Press 5. Metode Pengajaran Apresiasi Sastra, Penerbit Radhita Buana 6. Budi Pekerti Dalam Budaya Jawa, Penerbit Hanindita, Tahun 2003 7. Metode Penelitian Kebudayaan, Penerbit Gajah Mada University Press 8. Membaca, Menulis dan Mengajarkan Sastra : Sastra Berbasis Kompetensi, Penerbit Kuta Kembang 9. Mutiara Adiluhung Orang Jawa, Penerbit Gelombang Pasang, Tahun 2005. 10. Sampyuh Seks : Jawa Agung, Penerbit Kuntul Press, Tahun 2009 11. Tuntunan Tembang Jawa, Penerbit (masih dirahasiakan), Tahun 2009 12. Metode Penelitian Foklor, Penerbit (masih dirahasiakan), Tahun 2009 Suwardi
Endraswara
juga
mempunyai
prestasi
yang
cukup
membanggakan ada salah satu karyanya yang mendapatkan penghargaan yaitu cerita pendek berjudul ”Ke Bukit Klamat Angga-angga” mendapatkan juara II dari sastra Triwida di tahun 1992, ada lagi cerita bersambungnya ”Suket Teki” juga menyabet juara dua dari DKJT tahun 1995. Juara harapan I lomba menulis Esai Sastra Yogyakarta, Juara II lomba menulis Cagar Budaya Yogyakarta, Juara harapan I menulis Artikel Budaya Jaranitra, Juara I lomba artikel koran pusat bahasa Jakarta.
32
B. Analisis Struktural Geguritan Suwardi Endraswara
Analisis struktural adalah langkah pertama untuk menelaah suatu karya sastra, yang bertujuan untuk mengetahui unsur-unsur yang membangun atau membentuk karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur puisi tersebut tidak saling berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling berkaitan satu dengan yang lainnya yang berada dalam satu kesatuan dan membentuk totalitas. Berikut ini analisis struktur geguritan Suwardi Endraswara, diawali dengan struktur fisik kemudian dilanjutkan dengan analisis struktur batin.
1. Struktur Fisik Geguritan Suwardi Endraswara Unsur-unsur bentuk atau struktur fisik puisi dapat diuraikan dalam metode puisi, yakni unsur estetik yang membangun struktur luar dari puisi. Unsur-unsur itu meliputi diksi, pengimajian, kata konkret, versifikasi, dan tata wajah puisi. Berikut ini kajian satu per satu unsur-unsur tersebut : a. Diksi Diksi adalah pemilihan kata, dalam hal ini pemilihan kata-kata oleh penyair dalam membangun karya (puisi), selanjutnya diksi dalam kesepuluh geguritan ini akan di kaji mengenai perbendaharaan kata, ungkapan kata-kata, dan daya sugesti kata-kata.
33
1. Perbendaharaan Kata Perbendaharaan kata dalam puisi penting untuk kekuatan ekspresi dan hal ini dilakukan erat kaitannya dengan makna yang akan disampaikan. Kesepuluh geguritan Suwardi Endraswara mengandung tema religius maka kata-kata yang mendominasi adalah Kata-kata yang bermakna religius : syariat ’syariat’, tarekat ’tarekat’, hakikat ’hakikat’, makrifat ’makrifat’, swarga ’surga’, neraka ’neraka’ kodrat ’kodrat’, iroda ’irodat’, haram ’haram’, pati ’mati’, urip ’hidup’, wirid ’wirid’, supiah ’supiah, mutmainah ’mutmainah’, aluamah ’aluamah’ , ayat-ayat ’ayat-ayat’, suci ’suci’, raga ’raga’, sukma ’sukma’, jagad ’dunia’, batal ’batal’, sukma ’sukma’. Kata-kata tersebut di atas dipergunakan dalam kesepuluh geguritan Suwardi Endrasawara. Penyair sangat cermat dan pandai dalam memilih kata untuk menyampaikan pesan religius. Kata-kata tersebut memang lazim dan sering dipakai dalam ranah wacana Religius sehingga akrab bagi pembaca. 2. Urutan Kata-kata Urutan-urutan kata yang terdapat dalam kesepuluh geguritan Suwardi Endraswara disusun dengan baik dan rapi, sehingga menimbulkan harmonisasi kata yang indah. Kutipan di bawah ini terdapat dalam geguritan ”Sadurunge Teka; Apa Sing Lunga” Sadurunge angin ngelus godhong nglinthing apa wis kok tekem susuhe angin? sadurunge srengenge sesingidan apa wis kok lari kumleyange ayang-ayang?(g. 2, b.1, l. 1-4) ….
34
Terjemahan ..... Sebelum angin membelai daun melipat apa sudah kau genggam sarang angin? sebelum matahari bersembunyi apa sudah kau kejar perginya bayang-bayang? (g. 2, b.1, l.1-4) ..... Pada kutipan di atas mengandung rima a-b-b-a yang menunjukkan harmonisasi kata-kata pengarang. Kata-kata tersebut susunannya tidak bisa diubah, bila diubah akan berpengaruh kepada makna dan susunan kata geguritan. Kutipan di bawah ini juga menununjukkan susunan kata yang harmonis yakni dalam geguritan yang berjudul ”Teka-Teki 4:4 = ?”
sesawanganku kaya-kaya; ketutupan teka-teki raga lan sukma ing ngendi; (g. 4, b.1, l. 7-10) ….. Terjemahan ….. penglihatanku seperti terhalangi teka-teki jiwa dan raga di mana (g. 4, b.1, l. 7-10) …… jika kalimat diatas diubah susunannya menjadi .... kaya-kaya sesawanganku teka-teki ketutupan sukma lan raga ing ngendi;
35
Terjemahan ..... seperti penglihatanku teka-teki terhalangi jiwa dan raga dimana; Susunan kata di atas akan mengurangi keindahan geguritan walaupun masih menggunakan rima yang sama yaitu a-b-a-b tetapi, bila dicermati dengan seksama makna geguritan juga akan berkurang. dak terak daklari dakpecaki (g. 8, b.1, l. 1-4) …… Terjemahan saya langgar saya cari saya jalani (g. 8, b.1, l. 1-4) ....... Bentuk rima di atas dikutip dari geguritan yang berjudul ”Sasmita: Kiwa-Tengen” yang mempunyai rima a-a-b-b yang menunjukkan harmonisasi kata-kata pengarang. Susunan katanya sederhana tetapi memiliki pengaruh yang besar dalam geguritan. Kutipan di bawah ini adalah geguritan ”Siklus: Apa-Ana” yang juga mengandung harmonisasi kata pada bait pertama larik ketujuh sampai larik kesepuluh. ..... tanpa paes endahe wanita tanpa kaca pangilone jiwa tanpa ukum-kamuse susila tanpa rumus aksara wuta (g. 9, b.1, l. 7-10) .....
36
Terjemahan ...... tanpa bersolek indahnya wanita tanpa kaca cerminnya jiwa tanpa hukum kamusnya kesusilaan tanpa rumus huruf buta (g. 9, b.1, l. 7-10) ..... Bila diceramati kutipan di atas mempunyai rima a-a-a-a yang memberikan nilai keindahan dalan geguritan. Walaupun rimanya bisa diubah tetapi akan berpengaruh dengan makna dan susunan kata. Geguritan Suwardi Endraswara menggunakan pola rima yang teratur dan saling berkaitan sehingga menimbulkan kepaduan yang harmonis. 3. Daya Sugesti Kata Ketetapan pemilihan kata-kata dapat menimbulkan sugesti yang mampu membuat pembaca merasakan seperti yang dirasakan penyair. Untuk melukiskan tentang tema religius penyair memberikan gambaran sebagai berikut: Simbah; geneya malah gedheg? apa kuwi sasmita simbah wis nyingkirake pepinginan wadhag pepinginan ireng malih putih, kaya owahe rambutmu ning ireng rambutmu lunga menyang ngendi (g. 1, b. 3, l. 1-4) Terjemahan Nenek; kenapa malah menggeleng? apa itu teka-teki nenek sudah menghilangkan keinginan tubuh keinginan hitam berbalik putih, seperti tapi hitamnya rambutmu pergi ke mana (g. 1, b. 3, l. 1-4) Kutipan di atas adalah dalam geguritan ”Simbah Ayumu Ing Ngendhi” yang diindikasi mempunyai daya sugesti kata-kata yakni pengarang memberikan perumpamaan bahwa nafsu manusia ada dua yakni hitam (lambang kejelekan) dan putih (lambang kebaikan). Tetapi nafsu tersebut
37
dapat berubah sesuai dengan perjalanan waktu, yang dulu nafsu hitam selalu digunakan akan berubah menjadi nafsu putih yang digunakan karena manusia tersebut telah mendapatkan pengalaman dan pelajaran hidup. Kutipan di bawah ini merupakan geguritan ”Sadurunge Teka; Apa Sing Lunga” yang mempunyai sugesti kata-kata bagi pembaca. ....... sadurunge srengenge sesingidan apa wis kok lari kumleyange ayang-ayang? sadurunge rembulan kari sacliritan apa sing kudu diindhit, kanggo gawan? :nun, sadurunge teka-apa sing bakal lunga?(g. 2, b.1, l. 3-7) ....... Terjemahan ....... sebelum matahari bersembunyi apa sudah kau kejar perginya bayang-bayang? sebelum bulan tinggal segaris apa yang harus dibawa, buat bawaan? :ya, sebelum datang apa yang akan pergi (g. 2, b.1, l.3-7) Pada kutipan tersebut penyair berusaha mengingatkan pembaca untuk selalu mengingat bahwa dunia ini hanya sementara dan kematian dapat datang sewaktu-waktu. Apakah manusia sudah siap dengan semua itu?. Apakah amal sholeh kita didunia sudah cukup untuk menjadi bekal diakherat nanti?. bumi-geni-banyu-angin, sawise urip kuruan pati-rejekijodho-jangkah rumpil? Jer tangan iki lagi ngusap artawisma-curiga lan kudha during ning (g. 4, b. 2, l. 1-9) ??
38
Terjemahan bumi-api-air-angin, sesudah hidup mati-rejekijodoh- langkah lepas? sesungguhnya tangan ini baru mengusap uangrumah- keris dan kuda belum tapi (g. 4, b. 2, l.1-9) ?? Kutipan di atas diambil dari geguritan yang berjudul Teka-Teki 4:4 = ?”. Kehidupan di Dunia tidak terlepas dari beberapa unsur yakni ada bumi (tanah), api, air, angin yang kesemuanya akan menjadi satu dan saling melengkapi. Penyair juga mengingatkan kepada pembaca bahwa hidup, mati, rejeki, jodoh akan terlepas setelah dunia ini berakhir walupun kita hanya menikmatinya sebentar. Kutipan di bawah ini dalam geguritan yang berjudul ”Kaca Rasa”. gumunku, kena apa kowe bias nggambar tanpa kertas kowe bisa crita tanpa gurit tuwa bias nglukis alaku, wangiku, ayuku, tanpa kuas yen ngono, kowe ya ngerti wadiku, lan endi napasku? (g. 5, b. 3, l. 1-5) Terjemahan Saya heran, mengapa kamu bisa menggambar tanpa kertas kamu bisa bercerita tanpa puisi lama bisa melukis kejelekkanku, harumku, cantikku, tanpa kuas kalau begitu, kamu juga tahu rahasiaku, dan mana nafasku? (g. 5, b. 3, l. 1-5) Penyair mencoba memberikan daya sugesti kata-kata kepada pembaca pada kutipan di atas yakni bahwa Tuhan akan mengetahui segalanya manusia miliki termasuk rahasia, walaupun Tuhan tidak bertegur sapa langsung dengan manusia.
39
...... Tatarana dalane pasuwitan, dalan pasujudan, lan dalane pangu ripan. Padhangana dalane pati, dalane kaswargan, lan kamulyan ( g. 6, b. 4, l. 1-6) ….. Terjemahan ..... berilah jalannya mengabdi, jalan pasujudan, dan jalan kehidupan. Terangkanlah jalan kematian, jalan ke surga, dan kemuliaan ( g. 6, b. 4, l. 1-6) …… Kutipan di atas merupakan dalam geguritan ”Dalan; Abang-KuningIreng-Putih” Bila bait di atas dibaca dengan seksama akan menimbulkan perasaan yang haru. Si Aku lirik mempunyai pengharapan kepada Tuhan supaya dibukakan segala jalan untuk menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Daya sugesti kata-kata dalam geguritan Kristal Emas ditampilkan dengan baik untuk mewakili perasaan penyair dan menyampaikan kepada para pembaca. Berdasarkan uraian di atas diksi dari kesepuluh geguritan karya Suwardi Endraswara
dipilih
dengan
cermat
dan
memperhitungkan
makna,
perbendaharaan kata, rima dan sugesti kata-kata sehingga menghasilkan komposisi geguritan yang baik. b. Pengimajian Herman J.Waluyo mengatakan ”Pengimajian adalah kata atau susunan kata-kata
yang
dapat
mengungkapkan
pengalaman
sensoris
seperti
penglihatan, pendengaran, dan perasaan (1995: 78). Geguritan Suwardi Endraswara mengandung 2 macam pengimajian yakni benda yang nampak
40
(imaji visual), dan sesuatu yang dapat diraba atau disentuh (imaji taktil). Berikut ini kutipan benda yang nampak (imaji visual): Simbah; wis sirah pira kang kok pande? usus pirang ukel sing kok ulur njur, ing ngendi bedane bayi ndhuwur dalan lan ngisor dalan bayi liwat dalan lan nyolong dalan (g. 1, b.1, l. 1-5) .... Terjemahan Nenek; sudah kepala berapa yang kamu pande? usus berapa gulung yang sudah kamu ulur lalu, dimana bedanya: bayi atas jalan dan bayi bawah jalan bayi lewat jalan dan mencuri jalan (g. 1, b.1, l. 1-5) .... Geguritan ”Simbah; Ayumu Ing Ngendhi” pada bait pertama menunjukkan imaji visual yakni kata sirah ’kepala’, usus ’usus’, bayi ’bayi’, dalan ’jalan’. Kata-kata tersebut mewakili imaji visual. ..... wit-witan lan kasusastran, siji padhadene ngoyot, ngepang, lan kembang (g. 3, b.1, l.17-18) ….. terjemahan ...... tumbuh-tumbuhan dan kesusastraan, satu sama saja berakar, bercabang, dan berbunga (g. 3, b.1, l.17-18) ….. Kutipan geguritan di atas diambil dalam geguritan yang berjudul ”1 X 1 = 1”. Kutipan tersebut memberikan imaji visual yang dapat kita lihat. Penyair memberikan sebuah gambaran yang jelas, ada imaji visual berupa struktur pohon yaitu akar, cabang dan bunga. Ada pengibaratan dari si penyair bahwa tumbuhan dan kesusastraan itu sama, berakar, bercabang dan berbunga.
41
Geguritan ”Kaca Rasa” dalam bait kedua larik ketiga dan keempat juga mengandung imaji visual. ….. ing ati, ing jantung, ing sirah apa ing sadawane otot getih mili (g. 5, b. 2, l. 3-4) Terjemahan ….. di hati, di jantung, di kepala apa di panjangnya otot darah mengalir (g. 5, b. 2, l. 3-4) Kata ati ‘hati’, jantung ‘jantung’, sirah ‘kepala’, otot ‘otot’ dan getih ‘darah’ menunjukkan yang nampak (imaji visual) yang dituangkan penyair kedalam geguritannya. Hati, jantung, kepala, otot dan darah mempunyai makna sesuatu yang bisa dilihat. …. Jer tangan iki lagi ngusap artawisma-curiga lan kudha (g. 4, b. 2, l. 4-7) .... Terjemahan ..... sesungguhnya tangan ini baru mengusap uangrumah- keris dan kuda (g. 4, b. 2, l. 4-7) ..... Kutipan di atas diambil dari geguritan ”Teka-Teki 4:4 = ?” yakni pada bait kedua larik keempat sampai ketujuh yang memberikan gambaran bahwa kita dapat melihat, meraba apa yang menjadi keinginan kita yaitu uang, rumah, senjata dan kendaraan.
42
Sesuatu yang dapat diraba atau disentuh (imaji taktil) ...... kok slempitke ing selane kriputmu kok ukel ing gelung kondhe (g. 1, b. 2, l. 5-6) .... Terjemahan ..... kamu sisipkan di sela keriputmu kamu gulung di gelung kondhe (g. 1, b. 2, l. 5-6) ..... Kutipan di atas terdapat dalam geguritan ”Simbah; Ayumu Ing Ngedhi”. Kata kriput ’keriput’ yang mewakili imaji taktil. Karena keriput merupakan sesuatu yang dapat disentuh ataupun diraba. .... raga-sukma kuwi siji, bedane kasar-alus----papane ing kulit kalam (g.3, b.1, l.3-4) .... Terjemahan .... raga-sukma itu satu, perbedaannya kasar-halus---tempatnya di kulit kalam (g.3, b.1, l.3-4) .... Kutipan di atas diambil dari geguritan ”1 X 1= 1” yakni kata raga ’raga’, sukma ’sukma’, kasar ’kasar’ dan alus ’halus’ yang memberikan perbedaan yang mendasar pada setiap diri mahluk hidup. Ada raga yang berwujud dan sukma yang berarti nyawa atau jiwa. Dan diterangkan selanjutnya dengan sangat jelas yaitu kasar dan halus yang dapat diraba (imaji taktil)
43
....... Jer tangan iki lagi ngusap artawisma-curiga lan kudha (g. 4, b. 2, l. 4-7) ….. Terjemahan ..... sesungguhnya tangan ini baru mengusap uangrumah- keris dan kuda (g. 4, b. 2, l. 4-7) ….. Geguritan ”Teka-Teki 4: 4 = ?” pada bait kedua larik keempat sampai ketujuh menunjukkan imaji taktil dan imaji visual. Kata arta ’uang’, wisma ’rumah’, curiga ’keris’ dan kudha ’kuda’ menunujukkan benda yang dapat disentuh ataupun diraba dan dapat dilihat. ..... Empuk atose adhem panas laras + blero peret lunyu ( g. 8, b.1, l. 15-18) ….. Terjemahan ..... Lunak keras dingin panas laras + blero keset licin ( g. 8, b.1, l. 15-18) ..... . Kutipan di atas dari geguritan ”Sasmita Kiwa-Tengen” yakni pada bait pertama larik kelima belas sampai delapan belas. Imaji taktilnya yaitu empuk ’lunak’, atos ’keras’, peret ’keset’ dan lunyu ’licin’.
44
Uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam kesepuluh geguritan pilihan karya Suwardi Endraswara mempunyai pengimajian yang baik. Hal ini didukung oleh diksi yang tepat sehingga mampu menghasilkan suatu penghayatan melalui imaji visual, dan imaji taktil. Seperti kita hayati secara konkret melalui penglihatan ataupun citarasa. c. Kata Konkret Kata konkret erat sekali hubungannya dengan penggunaan kiasan dan lambang. Penyair seolah-olah mengajak para pembaca untuk ikut merasakan, mendengar dan melihat. Berikut ini analisis kata konkret dalam geguritan Suwardi Endraswara yang berjudul ”Sadurunge Teka’ Apa Sing Lunga”. nun, sadurunge; durung kesusul uwis lekas ketinggal wekas urip kejujul mati legi ketundhung pait :sadurunge seka ngendi? :sawise menyang ngendi? (g. 2, b. 2, l. 1-6) Terjemahan ya, sebelumnya; belum kedahuluan sudah mulai tertinggal pesan hidup terjemput ajal manis tertutup pahit :sebelum dari mana? :sesudah mau kemana? (g. 2, b. 2, l. 1-6) Kutipan di atas menjelaskan bahwa penyair memberikan pertanyaan yang ditujukan untuk dirinya sendiri dan orang lain. Ada rasa kebingungan dalam hati penyair tentang kehidupan ini, dengan mempertegas hidup terjemput ajal sebelum dari mana dan sesudah mau kemana. Ada juga penggambaran kesusahan hidup yang dialami oleh penyair. Geguritan yang berjudul ”Dalan ; Abang-Kuning-Ireng-Putih terdapat kata kongkret yakni
45
pada bait pertema, larik kedua sampai kelima, penggambarannya pada kutipan di bawah ini: ...... Mara enggal unggalna, lurunge dalanmu sing sesimpangan, cecawangan. tuduhna dalanmu kang mengangah; dalan kebak gegambaran, wewayangan (g. 6, b.1, l. 2-5) ….. Terjemahan ….. lekas engkau perlihatkan, lorong jalanmu yang bersimpangan, bercabang-cabang. Perlihatkan jalanmu yang membara: jalan penuh lukisan, bayang-bayang (g. 6, b.1, l. 2-5) ...... Dijelaskan di atas bahwa penyair memberikan gambaran kesusahan hidup, berbagai macam persoalan yang harus dihadapi. Penyair mengibaratkan dengan jalan yang bersimpangan dan bercabang-cabang. Manusia diberi kebebasan untuk memilih jalan yang akan dilalui. Kutipan di bawah ini penggambaran permintaan seorang penyair (hamba) kepada Tuhan supaya diberi kemudahan dalam hidup didunia dan akhirat. Lihat kutipan berikut: ...... Tatarana dalane pasuwitan, dalan pasujudan, lan dalane pangu ripan. Padhangana dalane pati, dalane kaswargan, lan kamulyan (g. 6, b. 4, l. 2-6) ..... Terjemahan ..... berilah jalannya mengabdi, jalan pasujudan, dan jalan kehidupan. Terangkanlah jalan kematian, jalan ke surga, dan kemuliaan (g. 6, b. 4, l. 2-6)
46
...... Kutipan di bawah ini merupakan geguritan yang berjudul ”Siklus ApaAna” yaitu bait pertama, larik kesatu sampai keempat yang menunujukkan kata kongkret. Penyair memberikan pengibaran api yang terasa panas, berbuat benar endapatkan kebenaran, dan apabila kita tersenyum alan membuat orang lain jatuh hati. gawe geni-krasa panas gawe bener bisa bener gawe kalam bisa sinulan gawe esem bisa sengsem (g. 9, b.1, l. 1-4) ...... Terjemahan membuat api terasa panas berbuat benar bisa benar membuat sabda bisa jalan terang membuat senyum bisa jatuh hati (g. 9, b.1, l. 1-4) ...... Pengkonkretan dimaksudkan agar pembaca membayangkan dengan secara jelas dan lebih hidup peristiwa atau keadaan yang dilukiskan oleh Suwardi Endraswara. Dengan demikian pembaca dapat memahami apa yang dimaksud oleh penyair dalam karyanya. d. Versifikasi Rima Versifikasi yakni bunyi dalam puisi yang menghasilkan rima dan ritma. Versifikasi rima ada tiga kekhususan purwakanthi ‘persajakan’, yaitu asonansi atau purwaknthi swara ‘persamaan bunyi vokal’, purwakanthi sastra ‘persamaan bunyi konsonan’ dan purwakanthi lumaksita ‘pengulangan kata atau suku kata yang telah digunakan pada bagian sebelumnya’. Contohnya sebagai berikut :
47
a. Purwakanthi Swara ’Asonansi’ Purwakanthi swara yaitu persamaan bunyi vokal. Geguritan Suwardi Endrasawara banyak ditemukan purwakanthi swara kutipannya sebagai berikut : ..... sadurunge srengenge sesingidan apa wis kok lari kumleyange ayang-ayang (g. 2, b.1, l. 3-4) .... Terjemahan .... sebelum matahari bersembunyi apa sudah kau kejar perginya bayang-bayang (g. 2, b.1, l. 3-4) ..... Kutipan di atas diambil dari geguritan yang berjudul ”Sadurunge TekaApa sing Lunga” yaitu pada bait pertama, larik ketiga dan keempat. Kutipan di atas menunjukkan vokal /e/ yang dikuti kata /ng/ membentuk kata /nge/ dimaksudkan untuk mempertegas kata-kata. Berbeda dengan kutipan dibawah ini : ..... pasaran-minggon, ya siji mung seje ing etungane, dununge ing mangsa kala awan-bengi uga siji, gumantung cahya enom-tuwa (g. 3, b.1, l. 5-7) ...... terjemahan ..... pasaran-mingguan, ya satu hanya beda di hitungan, tempatnya di mangsa kala siang-malam juga satu, tergantung cahaya muda-tua (g. 3, b.1, l. 5-7) ….. Pemanfaatan vokal /a/ dan vokal /e/ pada kutipan di atas menunjukkan kejelasan perbedaan antara pasaran ’pasaran’ dan minggon ’mingguan’, awan
48
’siang’ dan bengi ’malam’. Kutipan di atas dapat dilihat dalam geguritan ”1 X 1 = 1”. Kutipan di bawah ini diambil dari geguritan ”Teka-Teki 4;4 =?” ...... Mangka, aku isih wawang nyawang watese wetan (g. 4, b. 3, l. 3-4) ..... Terjemahan …… Padahal, aku masih bingung melihat batas timur (g. 4, b. 3, l. 3-4) ...... Purwakanthi swara pada kutipan di atas mampu menimbulkan rasa kebingungan seorang manusia untuk melihat batas-batas antara timur, barat, selatan dan utara. Penyair sangat jeli dalam memilih vokal /a / dan bunyi –ang dari kata wawang dan nyawang. Ada variasi antara asonansi suku tertutup bunyi sengau /ng/ dengan variasai huruf vokal /a/ . Mara enggal ungalna, lurunge dalanmu sing sesimpangan, cecawangan. tuduhna dalanmu kang mengangah; dalan kebak gegambaran, wewayangan….. (g. 6, b.1, l. 1-4) Terjemahan lekas engkau perlihatkan, lorong jalanmu yang bersimpangan, bercabang-cabang. Perlihatkan jalanmu yang membara: jalan penuh lukisan, bayang-bayang…..(g. 6, b.1, l. 1-4) Kutipan di atas diambil dari geguitan yang berjudul ”Dalan; AbangKuning-Ireng-Putih. Vokal /a/ dan vokal /e/ yang mendominasi untuk memberikan gambaran dalam geguritan tersebut.
49
b. Purwakanthi Sastra ’Aliterasi’ Purwakanthi Sastra yaitu persamaan bunyi konsonan. Geguritan Suwardi Endraswara juga mengandung purwakanthi sastra kutipannya di bawah ini : Simbah; wis sirah pira kang kok pande? usus pirang ukel sing kok ulur (g.1, b.1, l.1-2) .....
Terjemahan Nenek; sudah kepala berapa yang kamu pande? usus berapa gulung yang sudah kamu ulur (g.1, b.1, l.1-2) ..... Purwakanthi sastra di atas ada rentetan huruf konsonan yaitu /s/, /p/, dan /k/ dimaksudkan untuk memberikan rasa ketegasan. Kutipan di atas dapat dilihat dalam geguritan ”Simbah; Ayumu Ing Ngendhi” pada bait pertama. Berbeda dengan kutipan di bawah ini dalam geguritan ”Sadurunge Teka; Apa Sing Lunga”. ........ :nun, sadurunge teka-apa sing bakal lunga? sawise lemah iki emoh ketumpangan sikil, nun kepriye mamah klimah sing adil? sawise rapal tansaya papal (g. 2, b.1, l. 7-10) ..... Terjemahan ...... ya, sebelum datang-apa yang akan pergi? sesudah tanah ini tidak mau tertindih kaki, ya bagaimana mengunyah kata yang adil sesudah kepalan semakin patah (g. 2, b.1, l. 7-10) Pemanfaatan konsonan /s/ dan konsonan /l/ pada kutipan di atas untuk memberikan rasa ketidakpercayaan oleh si aku lirik.
50
dak terak daklari dakpecaki ( g. 8, b.1, l. 1-4) ….. Terjemahan saya langgar saya cari saya jalani ( g. 8, b.1, l. 1-4) ….. Kutipan dari geguritan yang berjudul ”Sasmita; Kiwa-Tengen” pada bait pertama ada pemanfaatan konsonan /d/ dan konsonan /k/ untuk memberikan penekanan kata-kata dan makna. Kutipan di bawah ini dari geguritan “Silkus; Apa-Ana” yaitu sebagai berikut : …… yen tuntunan dadi tontonan, yen drajat tanpa martabat (g. 9, b.1, l. 18-22) ?. Terjemahan ….. kalau tuntunan menjadi tontonan, kalau drajat tanpa martabat (g. 9, b.1, l. 18-22) ?. konsonan /n/ dan konsonan /t/ mendominasi dalam kutipan di atas. Pemanfaatannya selain sebagai penekanan huruf konsonan juga sebagai penekanan makna geguritan.
51
c. Purwakanthi Lumaksita ’Pengulangan’ Purwakanthi Lumaksita ’pengulangan’ yaitu pengulangan kata atau suku kata yang telah digunakan pada bagian sebelumnya. Berikut ini kutipan dari geguritan ”Kaca Rasa” pada bait kedua dan bait ketiga. aku kepengin ngaca ing pangilonmu kowe ana ngendi? ing ati, ing jantung, ing sirah apa ing sadawane otot getih mili (g. 5, b. 2, l.1-4) Terjemahan aku kepengin ngaca ing pangilonmu kowe ana ngendi? di hati, di jantung, di kepala apa di panjangnya otot darah mengalir (g. 5, b. 2, l.1-4) Kata ’ing’ menjadi penghubung atau memperjelas maksud kata yang mengikutinya. Pola rima kutipan diatas adalah ab ab. Yang menonjolkan vokal /i/, yang menjadikan satu kesatuan adalah kata ’ing’. Penyair ingin mengetahui letak dimana Tuhan ada sangkaan apakah ing ati ’di hati’, ing jantung ’di jantung’, ing sirah ’di kepala’ atau bahkan ing sadawane otot getih mili ’di sepanjang otot darah mengalir’. gumunku, kena apa kowe bias nggambar tanpa kertas kowe bisa crita tanpa gurit tuwa bisa nglukis alaku, wangiku, ayuku, tanpa kuas yen ngono, kowe ya ngerti wadiku, lan endi napasku (g. 5, b. 3, l. 1-5) Terjemahan Saya heran, mengapa kamu bisa menggambar tanpa kertas kamu bisa bercerita tanpa puisi lama bisa melukis kejelekkanku, harumku, cantikku, tanpa kuas kalau begitu, kamu juga tahu rahasiaku, dan mana nafasku? (g. 5, b. 3, l. 1-5)
52
Kutipan di atas menunjukkan perulangan suku kata /ku/ yang berulang pada larik-larik berikutnya. Suku kata /ku/ mengandung makna dimiliki oleh sosok pribadi atau individual. Si aku lirik merasa keheranan, mengapa Tuhan bisa mengetahui segala seluk beluk kehidupan dan rahasia si aku lirik. Kutipan di bawah ini diambil dari geguritan ”Sasmita; Kiwa-Tengen”. dak terak dak lari dak pecaki (g. 8, b.1, l. 1-4) ..... Terjemahan saya langgar saya cari saya jalani (g. 8, b.1, l. 1-4) ….. Kutipan di atas penyair sebagai pelaku atau memposisikan dirinya sebagai aku. Si Aku lirik menjalani sebuah larangan yang dijalani. Ada kata dak ’tak’ yang menjadikan satu kesatuan. Manusia tidak bisa terlepas dari kesalahan dan kekhilafan, ada pantangan yang dilanggar, dilakukan entah dengan sengaja maupun tidak sengaja. Kutipan di bawah ini diambil dari geguritan yang berjudul ”Silkus; Apa-Ana” secara keseluruhan. gawe geni-krasa panas gawe bener bisa bener gawe kalam bisa sinulan gawe esem bisa sengsem gawe wirid apa bisa nyanggit (g. 9, b.1, l. 1-5) Terjemahan membuat api terasa panas berbuat benar bisa benar membuat sabda bisa jalan terang membuat senyum bisa jatuh hati membuat wirid apa bisa menggarang (g. 9, b.1, l. 1-5)
53
Kata gawe ’membuat’ dijadikan pengikat antara larik pertama sampai dengan larik kelima. Penyair mencoba ingin mengungkapkan kesederhanaan seseorang itu perlu dilakukan dan keterbukaan menjadi yang utama. Seseorang bila berbuat kejelekan mesti akan menuai dengan kejelekan pula atau sebaliknya. Bila kita tersenyum akan membuat orang lain jatuh hati. tanpa ilat rasane suruh tanpa paes endahe wanita tanpa kaca pangilone jiwa tanpa ukum-kamuse susila tanpa rumus aksara wuta tanpa godha kandele dhadha tanpa bedil tekad kumendhel tanpa jeneng ana jejer ngaluhur (g. 9, b.1, l. 6-13) Terjemahan tanpa lidah rasanya suruh tanpa bersolek indahnya wanita tanpa kaca cerminnya jiwa tanpa hukum kamusnya kesusilaan tanpa rumus huruf buta tanpa goda tebalnya dada tanpa senapan tekad berani tanpa nama ada bersanding keluhuran (g. 9, b.1, l. 6-13) Pada kutipan di atas, untuk mengikat menjadi satu kesatuan larik pertama dengan larik seterusnya digunakan kata tanpa ’tanpa’. Kutipan di atas dimaksudkan bahwa kita harus hidup dalam keterusterangan alias blaka, karena dengan begitu kita akan menjadi manusia yang unggul. ing ngendi sasmita wantah ing ngendi wahyu keplayu ing ngendi pandom bujel ing ngendi-gelar siwer (g. 9, b.1, l. 14-17)
54
Terjemahan di mana pertanda tawar di mana wahyu berlari di mana jarum jam tumpul di mana-gelar siwer (g. 9, b.1, l. 14-17) Kata ing ngendi ’di mana’ menjadikan keruntutan pada baris di atas. Kata ing ngendi ’dimana’ merupakan kalimat pertanyaan yang diungkapkan oleh si aku lirik tetapi tak perlu mendapatkan jawaban. Melihat uraian di atas versifikasi rima yang terdiri dari purwakanthi swara, purwakanthi sastra dan purwakanthi lumaksita berperan penting dalam memberikan nilai keindahan dalam puisi atau geguritan. e. Tata wajah (Tipografi) Tipografi dalah hal penting untuk membedakan puisi dengan drama walaupun keduanya sama-sama karya sastra. Kumpulan geguritan Suwardi Endraswara banyak sekali variasi dari penyair tentang bentuk-bentuk bait yang didesain sedemikian rupa. Baris puisi tidak bermula dari tepi kiri dan berakhir ke tepi kanan baris. Tepi kiri atau tepi kanan dari halaman yang memuat puisi belum tentu terpenuhi tulisan, tidak berlaku bagi tulisan yang berbentuk prosa. Ciri yang demikian menunjukkan eksistensi sebuah puisi. Geguritan Suwardi Endraswara banyak sekali menggunakan tipografi. Tipografi Suwardi Endraswara termasuk dalam tipografi yang tidak konvensional artinya tidak sesuai dengan pada umumnya. Baris-baris puisi atau lariknya tidak harus dimulai dari awal atau tepian baris buku. Untuk lebih jelasnya pada Geguritan ”Sadurunge Teka; Apa Sing Lunga”, ”Teka-Teki 4:4 = ?”, geguritan ”Sasmita Kiwa-Tengen”.
geguritan
55
SADURUNGE TEKA; APA SING LUNGA Sadurunge angin ngelus godhong nglinthing apa wis kok tekem susuhe angin? sadurunge srengenge sesingidan apa wis kok lari kumleyange ayang-ayang? sadurunge rembulan kari sacliritan apa sing kudu diindhit, kanggo gawan? :nun, sadurunge teka-apa sing bakal lunga? sawise lemah iki emoh ketumpangan sikil, nun kepriye mamah klimah sing adil? sawise rapal tansaya papal primbon apa sing isih kena dicekel? sawise bocah angon, ora keprungu sulinge apa isih ana gurit pepeling? nun, sadurunge; durung kesusul uwis lekas ketinggal wekas urip kejujul mati legi ketundhung pait :sadurunge seka ngendi? :sawise menyang ngendi? Tipografi pada geguritan ”Sadurunge Teka; Apa Sing Lunga” yaitu penyair memberikan bentuk pada kedua bait yaitu bait pertama dan bait kedua. Pada bait pertama membentuk belah ketupat yang pada tengah-tengah bait yang mengkerucut judul geguritan dijadikan sebagai puncak bait lalu membentuk simetris dengan larik
pertama dan seterusnya. Penyair
memberikan tipografi dengan sangat fariatif, solah-olah mampu bercerita dengan bentuk tipografi tersebut. Bait kedua hanya membentuk seperempat belah ketupat, dan penyair memberikan sebuah pertanyaan retoris untuk para pembaca. Bisa juga dimaksudkan pembaca untuk melanjutkan geguritan tersebut menjadi belah ketupat yang utuh. Geguritan Sadurunge Teka; Apa Sing Lunga juga memberikan isyarat bahwa hidup manusia akan menemui titik puncaknya. :Nun, sadurunge teka-apa sing bakal lunga? Kutipan baris tersebut
56
menandakan keragu-raguan manusia tentang kehidupan dan kematian. Tragedi-tragedi hidup akan dilalui manusia untuk mengejar akan makna dari kehidupan dan kematian. Setengah dari ketupat juga bisa menandakan manusia menjalankan hidup dengan setengah-setengah dan tidak dengan sepenuhnya menjalankan kehidupan ini, dikarenakan masih ada keragu-raguan tentang kehidupan ataupun kehidupan setelah kematian. Berbeda dengan bentuk tipografi geguritan yang berjudul ”Sasmita Kiwa-Tengen”. Bentuk tipografinya sebagi berikut: SASMITA: KIWA-TENGEN ! dak terak daklari dakpecaki batal haram ireng putih tengen kiwane swarga neraka butheg bening kodrat iradat cenges tangis pedhes anyepe kulon wetan pati urip empuk atose adhem panas laras + blero peret lunyu arang kerep sikil sirah enom tuwa pratela nerak ora ? ***
57
Pada geguritan Sasmita Kiwa – Tengen di atas terlihat sekali tipografi yang di buat oleh pengarang. Baris pertama geguritan dimulai dari tengah, kemudian berurut-urutan turun kebawah membentuk sebuah perlambangan membentuk ketupat bertingkat dua. Puncak dari penggabungan kedua ketupat tersebut menggunakan kata-kata yang berlawanan yaitu kulon dan wetan. Pembaca bisa merasakan atau memaknai kata-kata kulon dan wetan sebagai arah yang tidak dapat disatukan atau bertolak belakang. Penyair juga memberikan makna yang berbeda. Kanan merupakan simbol kebaikan dan kiri merupakan simbol keburukan, tetapi penyair berusaha membalikkan keadaan tersebut. Kanan dimaknai sebagai keburukan dan kiri dimaknai sebagai kebaikan. Manusia akan memiliki berbagai macam pandangan untuk menjalankan kehidupan ini dan manusia itu kadang akan memberikan penilaian yang bertolak belakang yang diartikan kanan sebagai kiri dan kiri sebagai kanan. Penyair ingin memberikan sindiran kepada para pembaca bahwa kadang-kadang pembaca tahu bahwa itu adalah sebuah keburukan tetapi akan tetap dilakukan untyuk mencapai suatu tujuan. Tipografi dibawah ini juga membrikan makna yang berbeda. Kutipannya sebagai berikut: TEKA-TEKI 4:4 = ? dhuh landhepe pecahan kaca rasa rosing bumbung wang dakliling endi tumpimu? sing ngaling-alingi lelamunan sesawanganku kaya-kaya; ketutupan teka-teki raga lan sukma ing ngendi; lungane ana-
58
sir ? bumi-geni-banyu-angin, sawise urip kuruan pati-rejekijodho-jangkah rumpil? Jer tangan iki lagi ngusap artawisma-curiga lan kudha durung ning ?? apa kudu ngramut sarengat-tarekat-hakikat sarta makrifat? Mangka, aku isih wawang nyawang watese wetan kulon kidul lor! endi kuncine minyak angka; 4 : 4 iki ? Geguritan yang berjudul ”Teka-Teki 4:4 =?” juga memiliki tipografi yang variatif. Pada bait pertama penyair membentuk susunan lariklarik membentuk ketupat yang utuh. Pada bait kedua penyair membentuk larik-larik menjadi kerucut terbalik diteruskan dengan bait ketiga. Pada puncak kerucut penyair. Dipuncak kerucut penyair memberikan simbol yaitu tanda tanya. Panyair pada geguritan di atas bermaksud ingin mengutarakan kegelisahannya akan menjalani kehidupan. Penggalan-penggalan perbait mengisyaratkan jalannya kehidupan ini.
Bait pertama merupakan bentuk
ketupat yang utuh artinya bahwa kehidupan ini penuh dengan teka-teki sampai akhir hayat kita belum tentu bisa memecahkan teka-teki tersebut. Tidak hanya pada ketiga geguritan pada kutipan di atas yang terdapat tipografi, tetapi hampir kesepuluh geguritan Suwardi Endraswara disusun dengan tipografi yang unik.
59
Rangkuman hasil analisis struktur fisik dari kesepuluh geguritan karya Suwardi Endraswara yakni diksi yang dipilih oleh pengarang sangat cermat dan pengarang memperhitungkan makna, perbendaharaan kata dan sugesti kata-kata sehingga dapat menghasilkan komposisi geguritan yang baik. Pengimajian yang dihasilkan oleh pengarang mampu dihayati secara konkret melalui penglihatan ataupun citarasa. Versifikasi rima yang digunakan oleh pengarang mampu memberikan nilai keindahan dalam geguritan. Tata wajah atau tipografi geguritan menambah keberagaman nilai keindahan dalam letak penyususunan kata-kata. 2. Struktur Batin geguritan Suwardi Endraswara a. Tema Tema merupakan pikiran pokok penyair untuk menciptakan sebuah geuguritan atau karya sastra. Penyair mempunyai bisikan jiwa yang kuat untuk membuat geguritan dengan bertemakan religius. Kesepuluh geguritan yang dipilih peneliti tersebut bertemakan religius. Tema religius akan terlihat pada kesepuluh geguritan Suwardi Endraswara. Lebih jelasnya akan dikupas satu persatu sebagai berikut: geguritan pertama berjudul ”Simbah Ayumu Ing Ngendhi” kutipannya : Simbah; geneya malah gedheg? apa kuwi sasmita simbah wis nyingkirake pepinginan wadhag pepinginan ireng malih putih, kaya owahe rambutmu ning ireng rambutmu lunga menyang ngendi (g.1, b. 3, l. 1-4) Terjemahan nenek; kenapa malah menggeleng? apa itu teka-teki nenek sudah menghilangkan keinginan tubuh keinginan hitam berbalik putih, seperti tapi hitamnya rambutmu pergi ke mana (g.1, b. 3, l. 1-4)
60
Pada kutipan geguritan pertama dijelaskan bahwa adanya proses peralihan kehidupan yang dulunya muda menjadi tua atau yang dulu rambutnya hitam menjadi putih. Tetapi, oleh penyair ada pengkaitan yaitu keinginan atau hawa nafsu dengan peralihan yang disimbolkan hitam menjadi putih seiring dengan umur yang bertambah tua. Manusia harus mempunyai perubahan pandangan hidup ketika usia senja telah dirasakan, dan kematian pun semakin mendekati. Geguritan berjudul ”Sadurunge Teka; Apa Sing Lunga” juga bertemakan religius untuk lebih jelasnya sebagai berikut : Sadurunge angin ngelus godhong nglinthing apa wis kok tekem susuhe angin? sadurunge srengenge sesingidan apa wis kok lari kumleyange ayang-ayang? sadurunge rembulan kari sacliritan apa sing kudu diindhit, kanggo gawan? :nun, sadurunge teka-apa sing bakal lunga? (g. 2, b.1, l. 1-7) ....... Terjemahan Sebelum angin membelai daun melipat apa sudah kau genggam sarang angin? sebelum matahari bersembunyi apa sudah kau kejar perginya bayang-bayang? sebelum bulan tinggal segaris apa yang harus dibawa, buat bawaan? :ya, sebelum sebelum matahari bersembunyi (g. 2, b.1, l. 1-7) ....... Unsur religius yang terdapat pada kutipan di atas adalah kehidupan di dunia merupakan sementara. Penyair membayangkan dunia ini akan segera berakhir dan penyair mencoba mengingatkan kepada pembaca. Manusia harus bisa mengkoreksi dirinya sendiri dengan apa yang telah dilakukannya. Amal sholeh di Dunia dijadikan sebagai bekal di akherat nanti. Sebenarnya
61
kehidupan di Dunia ini saling silih berganti diperkuat dengan kutipan dibawah ini: nun, sadurunge; durung kesusul uwis lekas ketinggal wekas urip kejujul mati legi ketundhung pait :sadurunge seka ngendi? :sawise menyang ngendi? (g. 2, b. 2, l. 1-6) Terjemahan ya, sebelumnya; belum kedahuluan sudah mulai tertinggal pesan hidup terjemput ajal manis tertutup pahit :sebelum dari mana? :sesudah mau kemana? (g. 2, b. 2, l. 1-6) Kutipan geguritan di atas memberikan gambaran tentang siklus kehidupan. Manusia diingatkan bahwa hidup ada kelahiran dan ada kematian. Si Aku lirik mempertanyakan sebelum kita darimana dan sesudah kita mau kemana (sebelum lahir dan sesudah mati). Geguritan ketiga berjudul “1 X 1 = 1” yang mengisahkan bahwa setiap ciptaan Tuhan selalu berpasangan. Laki-perempuan itu satu, perbedaannya hanya di cetakkannya X-Y---letaknya di mata raga-sukma kuwi siji, bedane kasar-alus----papane ing kulit kalam (g. 3, b.1, l.1-4) Terjemahan Laki-perempuan itu satu, perbedaannya hanya di cetakkannya X-Y---letaknya di mata raga-sukma itu satu, perbedaannya kasar-halus---tempatnya di kulit kalam(g. 3, b.1, l.1-4) Maksud dari kutipan di atas adalah manusia diciptakan laki-laki dan perempuan yang menjadi satu pasangan dan yang membedakan adalah
62
kelaminnya (lingga dan yoni) dan tempatnya dimata (penglihatan). Raga dan sukma adlah satu yang membedakan adalah yang berujud dan tidak berujud. ....... titah-kang nitahake siji, bedane penguwasane dununge ing alam pepesthen pesthi lan pestha, ora beda gumantung pangulahe budi (g. 3, b.1, l. 11-14) …… Terjemahan ....... perintah-yang memerintah satu, beda kekuasaannya tempatnya di alam pasti dan pesta, tidak beda tergantung pengolahan budi (g. 3, b.1, l. 11-14) …… Segala yang dilakukan oleh manusia merupakan perintah dari Tuhan. manusia mendapatkan perintah yakni menjauhi larangan Tuhan dan menjalankan perintah Tuhan, dalam artian lakukanlah hal yang baik dan jangan melakukan kejelekan. Geguritan keempat berjudul “Teka-Teki 4:4 = ?”. Kutipannya sebagai berikut : bumi-geni-banyu-angin, sawise urip kuruan pati-rejekijodho-jangkah rumpil? Jer tangan iki lagi ngusap artawisma-curiga lan kudha durung ning (g. 3, b. 2, l. 1-9) ?? Terjemahan bumi-api-air-angin, sesudah hidup mati-rejekijodoh- langkah lepas? sesungguhnya tangan ini baru mengusap uang-
63
rumah- keris dan kuda belum tapi (g. 3, b. 2, l. 1-9) ?? Kehidupan manusia tidak terlepas dari unsur-unsur yang diciptakan oleh Tuhan. Kesemuanya akan saling menopang dan melengkapi. Anasir bumi, api, air, angin merupakan satu kesatuan yang ada di dalam kehidupan ini., tetapi unsur-unsur tersebut akan terlepas sesudah kematian, seperti juga dengan hidup, mati, rejeki dan jodoh semuanya telah diatur oleh Tuhan. ….. apa kudu ngramut sarengat-tarekat-hakikat sarta makrifat? Mangka, aku isih wawang nyawang watese wetan kulon kidul lor! (g. 4, b. 3, l. 1-5) ..... Terjemahan ..... apa harus memelihara sarengat-tarekat-hakikat serta makrifat? Padahal, aku masih bingung melihat batas timur barat selatan utara! (g. 4, b. 3, l. 1-5) ....... Kutipan di atas memperlihatkan kebingungan seorang penyair tentang apa yang harus diperbuat untuk mengetahui batas-batas antara timur, barat, selatan, dan utara. Apakah harus menjalankan sarekat, tarekat, hakikat dan makrifat untuk mengetahui batas-batas itu. Geguritan yang kelima berjudul ”Kaca Rasa” secara garis pengakuan penyair tentang kedekatannya dengan Tuhan. Kutipannya sebagai berikut:
64
Satemene wis suwe nggonku cedhak nanging rasane isih adoh :wis suwe lehku nglinthing :wis sawetara lehku ngudang, sesenggolan (g. 5, b.1, l. 1-4) Terjemahan Sesungguhnya sudah lama aku dekat tetapi rasanya masih jauh (g. 5, b.1, l. 1-4) : sudah lama saya mendidik : sudah beberapa lama saya menyanjung, bertegur sapa (g. 5, b.1, l. 1-4) ........
Bila kita membaca kutipan di atas sesungguhnya merupakan penggambaran yang selalu menjadi perbincangan hangat bahwa penyair merasa sudah lama mengenal Tuhan tetapi terasa masih jauh, itu menandakan tingkat ketaqwaan kita terhadap Tuhan masih kurang sempurna atau kita kurang bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Tuhan. Maka si penyair merasa heran dengan Tuhan mengapa bisa mengetahui segala tentang kehidupannya. Seperti kutipan di bawah ini : gumunku, kena apa kowe bias nggambar tanpa kertas kowe bisa crita tanpa gurit tuwa bisa nglukis alaku, wangiku, ayuku, tanpa kuas yen ngono, kowe ya ngerti wadiku, lan endi napasku? (g. 5, b. 3, l.1-5) Terjemahan Saya heran, mengapa kamu bisa menggambar tanpa kertas kamu bisa bercerita tanpa puisi lama bisa melukis kejelekkanku, harumku, cantikku, tanpa kuas kalau begitu, kamu juga tahu rahasiaku, dan mana nafasku? (g. 5, b. 3, l.1-5) Geguritan yang keenam berjudul “Dalan; Abang-Kuning-Ireng-Putih” merupakan geguritan yang berisi pengharapan kepada Tuhan.
65
Dalan Ireng Tablegen dalan butulan; dalane wong julig kang dhemen nyidhat dalan, seneng ngumpetke dalan, nyolong dalan, lan dodol dalan. Kuncinen dalane tikus mbobol dluwang lunges, dalane macan ngingis siyung, lan dalane tlapukan ngumbar mripat angujiwat!! (g. 6, b. 3, l. 1-8) Terjemahan Jalan Hitam tutuplah jalan simpangan: jalannya orang julig yang suka memotong jalan, suka menyembunyikan jalan, mencuri jalan, dan menjual jalan. Kuncilah jalannya tikus membobol kertas kumal, jalannya harimau memperlihatkan taringnya, dan jalannya kelopak mata membiarkan mata mengerling (g. 6, b. 3, l. 1-8) Jalan Hitam mempunyai arti jalan kejelekan. Pengharapan penyair supaya orang-orang yang melakukan kejelekan segera insyaf dan kembali kejalan yang benar, sesuai dengan kutipan dibawah ini : Dalan Putih Tatarana dalane pasuwitan, dalan pasujudan, lan dalane pangu ripan. Padhangana dalane pati, dalane kaswargan, lan kamulyan (g. 6, b. 4, l.1-6) Terjemahan Dalan Putih berilah jalannya mengabdi, jalan pasujudan, dan jalan kehidupan. Terangkanlah jalan kematian, jalan ke surga, dan kemuliaan (g. 6, b. 4, l.1-6) ..... Kutipan di atas mengisayarakan permohonan kepada Tuhan untuk memberikan jalan kecerahan di dalam kehidupan ini yaitu jalan mengabdi
66
kepada Tuhan, jalan pasujuttan, dan jalan kehidupan. Geguritan ketujuh berjudul ”Tembang: 3-M” merupakan geguritan yang menceritakan siklus kehidupan manusia di dunia ini yakni lahir, menikah dan mati. Manusia tidak dapat terlepas dari itu semua yaitu lahir, menikah dan mati. Untuk lebih jelasnya kutipannya sebagai berikut: U rip Mijil cumiprate cahya putih pupus warna ireng Sinom pangename rasa trubus mbabar cepaka mulya (g. 7, b.1-2, l. 1-10) ….. Terjemahan Hi dup Mijil terpantulnya cahaya putih memupus warna hitam Sinom terjalinnya rasa tunas membuka cempaka mulia (g. 7, b.1-2, l. 1-10) ….. Kutipan di atas memberikan penggambaran siklus kehidupan. Bahwa manusia tercipta dari nur (cahaya) yang berwarna putih yang memupus warna hitam. …… Asmaradana anetepi kodrat jejere jalu wanita (g. 7, b. 4, l. 1-3) ……
67
Terjemahan …… Asmarandana sesuai kodrat bersandingnya laki-laki dan perempuan (g. 7, b. 4, l. 1-3) Laki-laki dan perempuan akan mengikat dirinya menjadi satu dalam sebuah prosesi pernikahan. Keduanya akan saling menyerahkan dan saling memberi, sampai akhirnya kematian datang menjemput yang terdapat dalam kutipan di bawah ini: Megatroh mupus pisang anepusi pesthi anetepi janji suci (g. 7, b. 10, l. 1-4) Terjemahan Megatruh pupus pisang mengukur takdir menepati janji suci (g. 7, b. 10, l. 1-4) .... Geguritan kedelapan berjudul ”Sasmita; Kiwa-Tengen”. Tema religius dalam geguritan ini sangat kental sekali. Salah satunya kutipan di bawah ini : dak terak daklari dakpecaki batal haram ireng putih tengen kiwane swarga neraka (g. 8, b.1, l. 1-9) ..... Terjemahan saya langgar saya cari saya jalani batal haram
68
hitam putih kanan kiri surga neraka (g. 8, b.1, l. 1-9) ......
Kehidupan di dunia setiap orang tidak akan lepas dari segala kesalahan. Tuhan menciptakan segala sesuatu berpasangan ada hitam, putih, kanan, kiri dll, walaupun manusia kadangkala melakukan semuanya yaitu antara kebaikan dan keburukan. Geguritan kesembilan berjudul “Siklus; ApaAna”. Geguritan Siklus Apa-Ana mengingatkan manusia untuk berbuat kebaikan sesuai dengan pepatah jawa sapa nandur bakal ngunduh. gawe geni-krasa panas gawe bener bisa bener gawe kalam bisa sinulan gawe esem bisa sengsem gawe wirid apa bisa nyanggit (g. 9, b.1, l. 1-5) ....... Terjemahan membuat api terasa panas berbuat benar bisa benar membuat sabda bisa jalan terang membuat senyum bisa jatuh hati membuat wirid apa bisa menggarang (g. 9, b.1, l. 1-5) ..... Maksud dari kutipan di atas yaitu bila kita berbuat kejelekan kita juga akan menuai kejelekan atau sebaliknnya. Pengibaratan lain bila kita tersenyum mebuat orang laian akan jatuh hati kepada kita atau bersimpatik. Membuat wirid dalam artian menyebut asma Allah, sedangkan apa bisa mengarang mempunyai arti kita tidak boleh menutup-nutupi kesalahan kita. Geguritan yang kesepuluh berjudul ”Sketsa: Endhog Sapetarangan”. Geguritan ini menceritakan perjalanan manusia untuk mencari kesejatian
69
hidup. Si aku lirik mencoba memilah-milah antara kebaikan dengan keburukan seperti pada kutipan di bawah ini: Sukmaku nunggal welat sing ketlincut uninga, nalika drijiku natah nasib; dalan iki katon mengkol lan sisip. Dak bringkali ayat-ayat, sepi!! (g.10, b.1, l. 1-5) ….. Terjemahan Sukmaku menyatu yang hilang perlu diketahui, pada saat jari-jari ini menatah nasib; jalan ini terlihat membelok dan tidak beraturan. Saya pilah-pilah ayat-ayat, sunyi!! (g.10, b.1, l. 1-5) Akhirnya ditemukannya empat hawa nafsu yang terdapat dalam diri manuisa yakni sufiah, mutmainah, aluamah dan amarah. Kutipannya sebagai berikut : kuning nepsu supiah (pengawak Togog) putih dununge nepsu mutmainah (pengawak Semar) klamudan loyang kuwi dadi aluamahmu (ragane Saraita) lan cengkorongane kuwi minangka amarahmu (raga Manikmaya) (g. 10, b. 4, l. 1-8) …… Terjemahan kuning nafsu supiah (berbadan Togog) putih tempatnya nafsu mutmainah (berbadan Semar) klamudan itu menjadi aluamahmu (badannya Saraita) dan cangkangnya itu sebagai amarahmu (badan Manikmaya) (g. 10, b. 4, l. 1-8) .........
70
Berdasarkan uraian di atas dapat di tarik kesimpulan sementara bahwa tema dari kesepuluh geguritan Suwardi Endraswara adalah religius yaitu adanya bermacam-macam aspek persoalan didalam kehidupan yang membuat orang untuk lebih taqwa dan mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan kepada kita. b. Perasaan (Feeling) Penyair mengekspresikan karyanya dipengaruhi oleh suasana perasaan dan pembaca perlu menghayati. Geguritan Suwardi Endraswara bertemakan religius dan penyair mengekspresikan suasana perasaan pada waktu itu ada suasana perasaan sedang berkecamuk kutipannya sebagai berikut yaitu pada geguritan berjudul ”Sadurunge Teka-Apa Sing Lunga”: ......... sawise lemah iki emoh ketumpangan sikil, nun kepriye mamah klimah sing adil? sawise rapal tansaya papal primbon apa sing isih kena dicekel? (g. 2, b.1, l. 8-11) …….. Terjemahan …… sesudah tanah ini tidak mau tertindih kaki, ya bagaimana mengunyah kata yang adil sesudah kepalan semakin patah primbon apa yang masih bisa dipegang (g. 2, b.1, l. 8-11) ……. Kutipan di bawah ini juga merupakan ekspresi perasaan penyair yaitu dalam geguritan ”Teka-Teki 4:4=?” . Kutipannya sebagai berikut : apa kudu ngramut sarengat-tarekat-hakikat sarta makrifat? Mangka, aku isih wawang nyawang watese wetan kulon kidul lor! (g. 4, b. 3, l. 1-5)
71
Terjemahan apa harus memelihara sarengat-tarekat-hakikat serta makrifat? Padahal, aku masih bingung melihat batas timur barat selatan utara! (g. 4, b. 3, l. 1-5)
Perasaan di atas mempunyai kebingungan tentang apa yang harus dilakukan. Apa harus memelihara sarengat ‘syariat’, tarekat ‘tarikat’, hakikat ‘hakikat’ serta makrifat ‘makrifat’ untuk mengetahui batas-batas arah yang masih belum jelas. Geguritan “Kaca Rasa” juga menggambarkan perasaan penyair. Kutipannya sebagai berikut: gumunku, kena apa kowe bias nggambar tanpa kertas kowe bisa crita tanpa gurit tuwa bias nglukis alaku, wangiku, ayuku, tanpa kuas yen ngono, kowe ya ngerti wadiku, lan endi napasku? (g. 5, b. 2, l. 1-5) Terjemahan heran saya, mengapa kamu bisa menggambar tanpa kertas kamu bisa bercerita tanpa puisi lama bisa melukis kejelekkanku, harumku, cantikku, tanpa kuas kalau begitu, kamu juga tahu rahasiaku, dan mana nafasku? (g. 5, b. 2, l. 1-5) Kutipan di atas menjelaskan bahwa di dalam perasaan penyair ada rasa ketidakpercayaan atau merasa takjub dengan sifat Tuhan Yang Maha Tahu, bisa mengetahui segala yang dimiliki oleh penyair. ..... ing ngendi sasmita wantah ing ngendi wahyu keplayu ing ngendi pandom bujel ing ngendi-gelar siwer (g. 9, b. 1, l.14-17) ......
72
Terjemahan ........ di mana pertanda tawar di mana wahyu berlari di mana jarum jam tumpul di mana-gelar sewer (g. 9, b. 1, l.14-17) ….. Kutipan di atas diambil dari geguritan yang berjudul “Silkus; ApaAna”. Penyair mempunyai rasa kebingungan kemana harus mengutarakan pertanyaan yang berada di dalam benaknya. Berdasarkan analisis diatas maka sementara dapat disimpulkan bahwa perasaan penyair mempengaruhi penciptaan geguritan. c. Nada dan suasana (tone) Nada bisa diartikan sebagai sikap penyair terhadap pembaca. Dalam menulis puisi, penyair mempunyai sikap tertentu terhadap pembaca apakah dia ingin bersikap menggurui, menasehati, mengejek, menyindir atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca, ini disebut sebagai nada (tone) (Herman J. Waluyo, 1995 : 125). Nada dan suasana berhubungan puisi saling berhubungan karena nada puisi menimbulkan suasana terhadap pembacanya. Geguritan ”Sadurunge Teka Apa Sing Lunga salah satu baitnya mengekspresikan nada dan suasana. Kutipannya di bawah ini: ....... sadurunge rembulan kari sacliritan apa sing kudu diindhit, kanggo gawan? :nun, sadurunge teka-apa sing bakal lunga? sawise lemah iki emoh ketumpangan sikil, nun (g. 2, b.1, l. 5-8) ........
73
Terjemahan ....... sebelum bulan tinggal segaris apa yang harus dibawa, buat bawaan? ya, sebelum datang-apa yang akan pergi? sesudah tanah ini tidak mau tertindih kaki, ya (g. 2, b.1, l. 5-8) ........ Kutipan di atas bila dibaca akan menimbulkan pemikiran dan perenungan bagi para pembaca. Penyair mengingatkan bagi pembaca seandainya kehidupan di dunia ini tinggal sebentar apakah sudah ada yang buat bawaan? dan tanah (dunia) ini sudah tidak mau tertindih oleh kaki (ditempati). Suasana bagi pembaca akan merasa mencekam ketika mengetahui dunia ini akan berakhir. Kutipan di bawah ini diambil dari geguritan yang berjudul ”Teka-Teki 4:4 = ?” ........ Jer tangan iki lagi ngusap artawisma-curiga lan kudha durung ning (g. 4, b. 2, l. 4-9) ?? Terjemahan ..... sesungguhnya tangan ini baru mengusap uangrumah- keris dan kuda belum tapi (g. 4, b. 2, l. 4-9) ?? Nada dalam kutipan di atas pelan mengisyaratkan orang yang bersedih dan kecewa, karena baru saja kehilangan uang, rumah, keris dan kuda. Kutipan di bawah ini juga masih menimbulkan nada dan suasana bagi
74
pembaca. Kutipan diambil dari geguritan ”Kaca Rasa”. Kutipannya sebagai berikut : Satemene wis suwe nggonku cedhak nanging rasane isih adoh (g. 5, b.1, l. 1-2) …… Terjemahan Sesungguhnya sudah lama aku dekat tetapi rasanya masih jauh (g. 5, b.1, l. 1-2) Kutipan di atas mempunyai maksud bahwa ada pengakuan dan keterusterangan dari penyair. Sesungguhnya penyair sudah lama dekat dengan Tuhan tetapi rasanya masih jauh. Penyair memberikan suasana yang gundah gulana dikarenakan masih jauh dengan Tuhan. Kutipan di bawah ini dari geguritan ”Tembang 3-M”. Kutipannya sebagai berikut: ...... Asmaradana anetepi kodrat jejere jalu wanita Kinanthi kumanthile ati sajuga kenthel (g. 7, b. 3-4, l. 1-6) …… Terjemahan ...... Asmarandana sesuai kodrat bersandingnya laki-laki dan perempuan Kinanthi tertariknya sebuah hati kental (g. 7, b. 3-4, l. 1-6) …… Penyair pada kutipan di atas mencoba menghadirkan suasana yang bahagia, yaitu dengan bersandingnya laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan pernikahan.
75
Uraian di atas menjelaskan tentang nada dan suasana penyair atau pengarang pada waktu penciptaan geguritan. Nada dan suasana mempengaruhi terhadap hasil karya penyair. d. Amanat (Pesan) Amanat dalam sebuah karya sastra dapat tersirat dan tersurat, tergantung kepada penyair yang menciptakan karya sastra tersebut. Herman J.Waluyo juga mengatakan bahwa
amanat tersirat dibalik kata-kata yang
disusun dan juga berada di balik tema yang diungkapkan (1995: 130). Amanat yang terdapat geguritan Simbah Ayumu Ing Ngendhi” adalah sebgai berikut : ...... apa kuwi sasmita simbah wis nyingkirake pepeningan wadhag pepinginan ireng malih putih, kaya owahe rambutmu ning ireng rambutmu lunga menyang ngendi (g. 1, b. 3, l. 2-4) Terjemahan …… apa itu teka-teki nenek sudah menghilangkan keinginan tubuh keinginan hitam berbalik putih, seperti tapi hitamnya rambutmu pergi ke mana (g. 1, b. 3, l. 2-4) Penyair mengisyaratkan kepada kita bahwa kita harus dapat mengendalikan hawa nafsu kita di dunia. Sesuai dengan perpindahan atau evolusi perubahan fisik yang muda menjadi tua yang semula rambut kita hitam menjadi putih. Kutipan di bawah ini merupakan amanat dari geguritan ”Sadurunge Teka Apa Sing Lunga” : ….. sadurunge rembulan kari sacliritan apa sing kudu diindhit, kanggo gawan? :nun, sadurunge teka-apa sing bakal lunga? (g. 2, b.1, l. 5-7) …..
76
Terjemahan ….. sebelum bulan tinggal segaris apa yang harus dibawa, buat bawaan? ya, sebelum datang-apa yang akan pergi? (g. 2, b.1, l. 5-7) ….. Penyair dari kutipan di atas mengajukan sebuah pertanyaan mengumpamakan bahwa dunia ini hanya tinggal sebentar, apakah ada yang sudah kita punya untuk bekal tentunya amalan ibadah kita, lalu dilanjutkan dengan pertanyaan yang sangat menggelitik seperti ketika orang datang silih berganti sebelum datang apa yang akan pergi?. ....... sawise lemah iki emoh ketumpangan sikil, nun kepriye mamah klimah sing adil? sawise rapal tansaya papal primbon apa sing isih kena dicekel? sawise bocah angon, ora keprungu sulinge apa isih ana gurit pepeling? (g. 2, b.1, l. 8-13) Terjemahan ....... sesudah tanah ini tidak mau tertindih kaki, ya bagaimana mengunyah kata yang adil sesudah kepalan semakin patah primbon apa yang masih bisa dipegang sesudah anak kecil mengembala, tidak terdengar sulingnya apa masih ada puisi pesan? (g. 2, b.1, l. 8-13) Amanat dari kutipan di atas adalah manusia harus berusaha untuk bisa mencari pegangan hidup sebagai bekal mengarungi kehidupan. Rasa optimis harus selalu dijunjung untuk memperoleh sesuatu yang berguna sebagai pedoman hidup, walapun sudah tidak yang dijadikan sebagai pedoman. Berikut ini kutipan dari geguritan ”1 X 1 = 1” ;
77
....... pesthi lan pestha, ora beda gumantung pangulahe budi ubenge kitiran lan donya, nyakramanggilingan mung seje arahe (g. 3, b.1, l. 13-16) ……. Terjemahan …… pasti dan pesta, tidak beda tergantung pengolahan budi putaran kincir dan dunia, berputar hanya beda arahnya (g. 3, b.1, l. 13-16) ...... Manusia harus bisa mengolah budi dan mengolah hidup, harus bisa membedakan antara yang baik dengan yang buruk. Kehidupan di dunia merupakan kepastian dari Tuhan dan segala mahluk yang diciptakan Tuhan adalah berpasang-pasangan. Manusia juga harus percaya bahwa kehidupan ini berputar seperti roda, kadang ada di atas dan kadang bisa juga di bawah. ...... wit-witan lan kasusastran, siji padhadene ngoyot, ngepang, lan kembang mung seje rumambate tumangkare sastra lan astronot, siji mung seje cengkoke tunggal sedyane, tebane (g. 3, b.1, l. 17-22) Terjemahan …… tumbuh-tumbuhan dan kesusastraan, satu sama saja berakar, bercabang, dan berbunga hanya beda beranak sastra dan astronot, satu hanya beda iramanya satu niat, tiba saatnya Perjalanan kehidupan di Dunia kadang terasa menyenangkan dan kadang menyedihkan. Manusia hanya bisa menjalani dan berserah diri kepada
78
Tuhan. Setiap orang akan mendapatkan cobaan dari Tuhan dengan tingkat kesukaran yang berbeda-beda, tetapi pada saatnya sama-sama akan kembali kepada Tuhan. Kutipan di bawah ini diambil dari geguritan “Teka-Teki 4:4 = ?”. ..... sesawanganku kaya-kaya; ketutupan teka-teki raga lan sukma (g. 4, b.1, l.7-9) ….. Terjemahan .... penglihatanku seperti terhalangi teka-teki jiwa dan raga (g. 4, b.1, l.7-9) Manusia harus mempunyai rasa kepercayaan diri yang kuat supaya tidak ragu-ragu dalam mengarungi kehidupan ini. Dalam kehidupan memang banyak sekali bayangan-bayangan yang semu dan manusia harus bisa memilah-milah agar tidak tersesat kejalan yang salah. apa kudu ngramut sarengat-tarekat-hakikat sarta makrifat? Mangka, aku isih wawang nyawang watese wetan kulon kidul lor! (g. 4, b. 3, l. 1-5) ….. Terjemahan apa harus memelihara sarengat-tarekat-hakikat serta makrifat? Padahal, aku masih bingung melihat batas timur barat selatan utara! (g. 4, b. 3, l. 1-5) ...... Amanat dari kutipan di atas adalah manusia harus bersungguh-sungguh menjalankan empat tingkatan ketaqwaan kepada Tuhan, supaya memperoleh
79
keselamatan dunia dan akherat. Geguritan kelima yaitu ”Kaca Rasa” mengamanatkan seperti kutipan di bawah ini: Satemene wis suwe nggonku cedhak nanging rasane isih adoh :wis suwe lehku nglinthing :wis sawetara lehku ngudang, sesenggolan (g. 5, b.1, l. 1-4) Terjemahan Sesungguhnya sudah lama aku dekat tetapi rasanya masih jauh : sudah lama saya mendidik : sudah beberapa lama saya menyanjung, bertegur sapa (g. 5, b.1, l. 1-4) Amanat yang dapat diambil dari kutipan di atas yaitu manusia telah lama mengenal Tuhan tetapi belum jaminan untuk dapat mengenal Tuhan. Hanya keyakinan yang ada pada diri manusia untuk mempercayai bahwa Tuhan itu ada. gumunku, kena apa kowe bias nggambar tanpa kertas kowe bisa crita tanpa gurit tuwa bias nglukis alaku, wangiku, ayuku, tanpa kuas yen ngono, kowe ya ngerti wadiku, lan endi napasku? (g. 5, b. 2, l. 1-5) Terjemahan heran saya, mengapa kamu bisa menggambar tanpa kertas kamu bisa bercerita tanpa puisi lama bisa melukis kejelekkanku, harumku, cantikku, tanpa kuas kalau begitu, kamu juga tahu rahasiaku, dan mana nafasku? (g. 5, b. 2, l. 1-5) Amanat dalam kutipan di atas mengingatkan kita bahwa Tuhan adalah Maha Tahu. Segala yang kita lakukan akan diketahui oleh Tuhan, termasuk rahasia kita. Geguritan keenam ”Dalan; Abang-Kunig-Ireng-Putih” amanatnya adalah:
80
Mara enggal unggalna, lurunge dalanmu sing sesimpangan, cecawangan. tuduhna dalanmu kang mengangah; dalan kebak gegambaran, wewayangan…..(g. 6, b.1, l. 2-5) ...... Terjemahan lekas engkau perlihatkan, lorong jalanmu yang bersimpangan, bercabang-cabang. Perlihatkan jalanmu yang membara: jalan penuh lukisan, bayang-bayang. …..(g. 6, b.1, l. 2-5) Penyair memberikan gambaran bahwa hidup seseorang harus menentukan sikap dan berani mengambil keputusan karena di dalam kehidupan banyak sekali cobaan-cobaan yang harus dijalani. Tablegen dalan butulan; dalane wong julig kang dhemen nyidhat dalan, seneng ngumpetke dalan, nyolong dalan, lan dodol dalan. (g. 6, b. 3, l. 1-4) …… Terjemahan tutuplah jalan simpangan: jalannya orang julig yang suka memotong jalan, suka menyembunyikan jalan, mencuri jalan, dan menjual jalan. (g. 6, b. 3, l. 1-4) ...... Kehidupan di Dunia sangat berwarna dan bermacam-macam terutama sifat seseorang. Banyak sekali yang salah jalan hanya untuk mengejar hawa nafsu semata tanpa mempedulikan manusia yang ada disekitarnya. Berikut ini kutipan dari geguritan ketujuh ”Tembang 3-M”. Kutipannya sebagai berikut: Dhandhanggula anetes idu manis angombak analangsa Maskumambang kembange donya awoh deduga-bebeka Durma
81
arum banger angeker sesuker ngukur raga peper (g. 7, b. 6-8, l. 1-10) …… Terjemahan Dhandhanggula membuahkan ludah manis bergelombang kesedihan Maskumambang bunganya dunia menghasilkan Durma bau sekali menyembunyikan kotoran mengukur raga rusak (g. 7, b. 6-8, l. 1-10) …… Manusia hidup di Dunia membuahkan kebahagiaan yang luar biasa, tetapi manusia juga harus mengingat bahwa hidup banyak sekali cobaan yang harus dihadapi. Manusia harus bisa menghindari segala sesuatu yang dapat merusak kehidupan yang ada di Dunia. Megatruh mupus pisang anepusi pesthi anetepi janji suci (g. 7, b. 10, l. 1-4) ...... Terjemahan Megatruh pupus pisang mengukur takdir menepati janji suci (g. 7, b. 10, l. 1-4) ...... Megatruh dalam macapat mempunyai sifat yang susah, sedih dan keranta-ranta. Sebenarnya penyair memberikan ingatan kepada pembaca supaya tidak bersedih tetapi kita harus berusaha untuk bisa membaca takdir dari Tuhan walaupun sebenarnya tidak bisa. Tuhan hanya meminta suapaya
82
manusia untuk selalu menepati janji bahwa harus selalu melaksanakan perintah agama dan menjauhi larangan agama. Geguritan kedelapan berjudul “Sasmita Kiwa-Tengen” amanatnya sebagai berikut : ! dak terak daklari dakpecaki batal haram ireng putih (g. 8, b.1, l. 1-7) ….. Terjemahan ! saya langgar saya cari saya jalani batal haram hitam putih (g. 8, b.1, l. 1-7) ..... Ada sebuah keterusterangan dari penyair bahwa segala perbuatan baik dan buruk pernah dilakukannya. Bila pembaca jeli akan merasa ada sindiran yang halus dari penyair. Memang, manusia tidak akan terlepas dari itu semua, tetapi manusia harus mempunyai kontrol untuk tidak melakukan yang buruk yaitu dengan mendekatkan diri kepada Tuhan dan bertawakal setiap waktu. ...... pati urip empuk atose adhem panas laras + blero peret lunyu arang kerep sikil sirah enom tuwa pratela nerak ora (g. 8, b.1, l. 14-24)
83
Terjemahan …… mati hidup lunak keras dingin panas laras + blero keset licin jarang rapat kaki kepala muda tuwa jelas dekat tidak (g. 8, b.1, l. 14-24) ? Pada kutipan di atas dapat terlihat jelas bahwa setiap manusia akan mengalami segala sesuatu yang telah digariskan oleh Tuhan, walaupun hal-hal tersebut akan saling bertentangan. Berikut ini kutipan diambil dari geguritan yang kesembilan yang berjudul “Siklus; Apa-Ana”. gawe geni-krasa panas gawe bener bisa bener gawe kalam bisa sinulan gawe esem bisa sengsem (g. 9, b.1, l. 1-4) ….. Terjemahan membuat api terasa panas berbuat benar bisa benar membuat sabda bisa jalan terang membuat senyum bisa jatuh hati (g. 9, b.1, l. 1-4) ….. Kutipan di atas menjelaskan bahwa apa yang kita lakukan akan membuahkan hasil sesuai dengan apa yang kita lakukan. Seperti ungkapan jawa yang mengatakan sapa nandur bakal ngundhuh.
84
..... tanpa ilat rasane suruh tanpa paes endahe wanita tanpa kaca pangilone jiwa tanpa ukum-kamuse susila (g. 9, b.1, l. 6-9) ....... Terjemahan tanpa lidah rasanya suruh tanpa bersolek indahnya wanita tanpa kaca cerminnya jiwa tanpa hukum kamusnya kesusilaan (g. 9, b.1, l. 6-9) ...... Manusia di dalam kehidupan ini harus saling terbuka, tanpa harus ada yang ditutup-tutupi atau dilebih-lebihkan, karena Tuhan telah mengatur dan menggariskan untuk manusia itu sendiri. Kutipan di bawah ini dari geguritan yang kesepuluh yang berjudul ”Sketsa Endhog Sapetarangan”. .... o, apa kowe wis weruh yen endhog iku jejere uripmu kuning nepsu supiah (pengawak Togog) putih dununge nepsu mutmainah (pengawak Semar) (g. 10, b. 3, l. 5-12) ..... Terjemahan ...... O, apa kamu sudah tau kalau telur itu sanding hidupmu kuning nafsu supiah (berbadan Togog) putih tempatnya nafsu mutmainah (berbadan Semar) (g. 10, b. 3, l. 5-12) .....
85
Pengibaratan dari penyair untuk kehidupan manusia adalah dengan menyamakan dengan struktur telur. Kuning telur dijadikan sebagai nafsu mutmainah yaitu nafsu yang baik. Putih telur sebagai nafsu sufiah yaitu nafsu yang baik. Manusia harus mempunyai nafsu yang baik yakni mutmainah dan sufiah supaya mendapatkan keselamatan di dunia dan di akherat. Puisi mempunyai struktur batin yang terdiri dari tema, perasaan, nada dan suasana, serta amanat. Tema merupakan gagasan pokok yang dikemukakan penyair, perasaan adalah perasaan yang disampaikan penyair, nada ialah sikap batin penyair yang hendak disampaikan penyair kepada pembaca dan amanat adalah pesan yang ingin disampaikan penyair kepada pembaca. Pemisahan satu persatu hanya dimaksud untuk memahami pengertian, keempatnya merupakan jiwa puisi yang padu merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh. Demikianlah analisis struktural kesepuluh geguritan karya Suwardi Endraswara.
C. Analisis Nilai Estetik Geguritan Suwardi Endraswara Nilai estetik karya sastra terdapat didalam permainan kata-kata atau dengan
memberikan
sebuah
pengimajian,
perumpamaan.
Penyair
menggunakan kata-kata juga untuk memberi variasi atau ciri khas masingmasing.
86
A. Gaya Bahasa Kiasan Gaya bahasa terdapat dihampir semua karya sastra. Bermacam-macam gaya bahasa yang digunakan oleh penyair untuk memberi warna yang berbeda dalam karyanya. Gaya bahasa ada beberapa macam yaitu gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa berdasarkan Nada, gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, dan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna dibagi lagi menjadi dua yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Penyair menggunakan bahasa yang bersusun-susun atau berpigura sehingga disebut bahasa figurative. Biasanya penyair menggunakan bahasa figurative untuk mengatakan atau mengungkapkan sesuatu. Geguritan dalam penelitian ini mengandung bahasa figurative seperti yang telah diuraikan diatas. Adapun majas-majas yang terkandung dalam kumpulan geguritan ini adalah: 1. Majas Metafora Metafora adalah kiasan langsung artinya benda yang dikiaskan itu tidak disebutkan. Jadi kiasan itu langsung diungkapkan. Majas metafora dalam geguritan karya Suwardi Endraswara berjudul “Dalan; Abang-KuningIreng-Putih” yang terdapat pada kutipan sebagai berikut: Tablegen dalan butulan; dalane wong julig kang dhemen nyidhat dalan, seneng ngumpetke dalan, nyolong dalan, lan dodol dalan (g. 6, b. 3, l. 1-4)
87
Terjemahan tutuplah jalan simpangan: jalannya orang julig yang suka memotong jalan, suka menyembunyikan jalan, mencuri jalan, dan menjual jalan (g. 6, b. 3, l. 1-4) ….. Kata
memotong,
menyembunyikan,
mencuri
dan
menjual
mengisayaratkan hal yang bisa diperbuat oleh manusia, tetapi kata-kata tersebut digunakan penyair untuk mengkiaskan sesuatu. Berikut ini kutipan dari geguritan “Kaca Rasa” yang mengandung majas Metafora. ….. dongengna, yen donya kari saumure jamur kuping! (g. 5, b. 4, l. 3) ….. Terjemahan ….. dongengkan, kalau dunia tinggal seumur jamur kuping! (g. 5, b. 4, l. 3) ….. Ada sebuah pengkiasan dengan kutipan di atas yaitu bahwa dunia diibaratkan tinggal seumur jamur kuping dalam artian dunia ini akan segera berakhir atau kiamat. ....... primbon apa sing isih kena dicekel? sawise bocah angon, ora keprungu sulinge apa isih ana gurit pepeling? (g. 2, b. 2, l. 11-13) Terjemahan ........ primbon apa yang masih bisa dipegang sesudah anak kecil mengembala, tidak terdengar sulingnya apa masih ada puisi pesan? (g. 2, b. 2, l. 11-13)
88
Kutipan di atas diambil dari geguritan ”Sadurunge; Teka Apa Sing Lunga”. Kata primbon, bocah angon, keprungu sulinge, merupakan pengkiasan dari pegangan hidup, Tuhan, sabda atau ajaran untuk kehidupan. ....... Kuncinen dalane tikus mbobol dluwang lunges, dalane macan ngingis siyung, lan dalane tlapukan ngumbar mripat angujiwat! (g. 6, b. 3, l. 4-7) ..... Terjemahan ..... Kuncilah jalannya tikus membobol kertas kumal, jalannya harimau memperlihatkan taringnya, dan jalannya kelopak mata membiarkan mata mengerling! (g. 6, b. 3, l. 4-7) ……. Pengkiasan dalam kutipan di atas yaitu sifat manusia yang dikiaskan dengan tikus ‘tikus’ , harimau ‘harimau’, siyung ‘taring’, dan dluwang lunges ‘kertas kumal’. 2. Majas Personifikasi Personifikasi adalah suatu gaya bahasa yang menganggap benda mati diibaratkan sebagai persona atau manusia, hal ini digunakan untuk memperjelas penggambaran peristiwa dan keadaan. Sadurunge angin ngelus godhong nglinthing apa wis kok tekem susuhe angin? (g. 2, b.1, l. 1-2) ….. Terjemahan Sebelum angin membelai daun melipat apa sudah kau genggam sarang angin? (g. 2, b.1, l. 1-2) …..
89
Kata membelai dan mengenggam adalah perbuatan yang dilakukan oleh tangan. Dalam puisi dikatakan untuk membelai daun melihat dan mengenggam sarang angin untuk memperjelas maksud dari penyair. Kutipan di atas dapat dilihat dalam geguritan ”Sadurunge Teka-Apa Sing Lunga”. Kutipan di bawah ini dari geguritan ”Simbah; Ayumu Lunga Ing Ngendhi”. ….. pepinginan ireng malih putih, kaya owahe rambutmu ning ireng rambutmu lunga menyang ngendi. (g.1, b. 3, l. 3-4) Terjemahan …… keinginan hitam berbalik putih, seperti tapi hitamnya rambutmu pergi ke mana (g.1, b. 3, l. 3-4) Maksud dari kutipan di atas adalah keinginan yang simbolkan dengan warna hitam dan warna warna putih. Komposisi warna tersebut untuk mempersonakan keinginan atau kehendak dari seseorang. Lebih jelasnya lihat kutipan di bawah ini dari geguritan “Sketsa Endhog Sapetarangan”. nalika drijiku natah nasib; dalan iki katon mengkol lan sisip….(g. 10, b.1, l. 2-4) Terjemahan ….. pada saat jari-jari ini menatah nasib; jalan ini terlihat membelok dan tidak beraturan….(g. 10, b.1, l. 2-4) ‘drijiku natah nasib’ (jari-jariku menatah nasib) kalimat tersebut memberikan pengertian jari adalah bagian dari tangan yang melakukan kegiatan menatah nasib. Nasib adalah rahasia dari sang pencipta. Setiap orang sudah memiliki nasib sendiri-sendiri tinggal orang tersebut mau berusaha atau tidak. Kutipan dibawah ini juga mengandung majas personifikasi untuk lebih
90
jelasnya sebagai berikut dari geguritan yang berjudul “Sadurunge; Teka Apa Sing Bakal Lunga” yen nyata kowe awas, jajal wacanen awakku sejati tulung tapakna sikile jaman iki (g. 5, b. 4, l.1-2) ….. Terjemahan kalau nyata kamu melihat, coba baca badanku sejati tolong, aturlah kaki zaman ini (g. 5, b. 4, l.1-2) ….. Pada kutipan di atas terdapat kata badan dan kaki. Kedua kata tersebut merupakan anggota dari tubuh manusia tetapi oleh penyair digunakan untuk penjelasan penggambaran peristiwa. 3. Majas Hiperbola Hiperbola
adalah
suatu
kiasan
yang
berlebih-lebihan
dalam
melukiskan sesuatu. Penyair dalam proses penciptaan karyanya perlu melakukannya agar mendapat perhatian seksama dari pembaca. Berikut kutipan dari geguritan “Simbah Ayumu Ing Ngendhi” ..... bayi ndhuwur dalan lan ngisor dalan bayi liwat dalan lan nyolong dalan (g. 1, b.1, l. 4-5) ..... Terjemahan ..... bayi atas jalan dan bayi bawah jalan bayi lewat jalan dan mencuri jalan (g. 1, b.1, l. 4-5) ...... Kutipan di atas penyair melebih-lebihkan kata-kata yaitu bayi yang bisa berjalan, padahal bayi adalah anak kecil yang belum bisa apa-apa. Ada pengungkapan lain yaitu bayi yang lewat jalan dan mencuri jalan.
91
…. aku kepengin ngaca ing pangilonmu kowe ana ngendi? ing ati, ing jantung, ing sirah apa ing sadawane otot getih mili (g. 5, b. 2, l. 1-4) Terjemahan ….. aku ingin bercermin di cerminmu kamu ada di mana? di hati, di jantung, di kepala apa di panjangnya otot darah mengalir (g. 5, b. 2, l. 1-4)
Kutipan di atas menerangkan bahwa ada keinginan dari penyair untuk mengetahui letak Tuhan. Si Penyair menebak-nebak dimana letak Tuhan apakah ing ati ’di hati’, ing jantung ’di jantung’, ing sirah ’di kepala’ atau bahkan sak dawane oto getih mili ’disepanjang otot darah mengalir’?. Kutipan tersebut dari geguritan ”Kaca Rasa”. Kutipan berikut ini masih menggunakan majas Hiperbola, yaitu dari geguritan ” Dalan; Abang-Kuning-Ireng-Putih” kutipannya sebagai berikut : ...... leburen para santriya sing bali ndalan! Tuduhna da -lane bayi kowar, nyasar dalan ke -lir. Kegiles dalan? (g. 6, b. 4, l. 7-14)
92
Terjemahan ....... leburlah para satriya yang pulang ke jalanNya! Perlihatkanlah jajannya bayi haram, tersesat ke jalan sesat. Tergilas Jalan (g. 6, b. 4, l. 7-14) Kutipan di atas mengunakan kata yang dilebih-lebihkan yaitu bayi ’bayi’, satriya ’satria’, bayi kowar ’bayi haram’. 4. Majas Sinekdoke Sinekdoke adalah suatu istilah penting yang diturunkan dari kata Yunani synekdechesthai yang berarti menerima bersama-sama. Sinekdoke adalah semacam bahasa figurative yang mempergunakan sebagian dari sesuatu
hal
untuk
menyatakan
keseluruhan
(pars
pro
toto)
atau
mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte) (Gorys Keraf, 2004; 142). Kutipan di bawah ini diambil dari geguritan yang berjudul ”Simbah Ayumu Ing Ngendhi”.
Simbah; wis sirah pira kang kok pande? usus pirang ukel sing kok ulur (g.1, b.1, l. 1-2) ..... Terjemahan Nenek; sudah kepala berapa yang kamu pande? usus berapa gulung yang sudah kamu ulur (g.1, b.1, l. 1-2) ….. Kutipan di atas adalah sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada seorang ‘nenek’. Ada hal yang menarik dengan pertanyaannya yaitu penyamaan antara benda mati dengan benda hidup. Geguritan ”Dalan; Abang-
93
Kuning-Ireng-Putih” juga mengandung majas sinekdoke. Kutipannya di bawah ini : Mara enggal unggalna, lurunge dalanmu sing sesimpangan, cecawangan. tuduhna dalanmu kang mengangah; dalan kebak gegambaran, wewayangan. (g. 6, b.1, l. 1-4) ….. Terjemahan lekas engkau perlihatkan, lorong jalanmu yang bersimpangan, bercabang-cabang. Perlihatkan jalanmu yang membara: jalan penuh lukisan, bayang-bayang. (g. 6, b.1, l. 1-4) ….. maksud dari kutipan di atas adalah bahwa kehidupan ini banyak sekali jalan yang harus dilalui dan kita harus memilih atau menentukan sikap, tetapi oleh penyair berharap kepada Tuhan untuk menunjukkan jalan yang terbaik. Kata-kata yang mewakili untuk semua yakni jalan yang bersimpangan, jalan yang membara, lukisan dan gambaran. kuning nepsu supiah (pengawak Togog) putih dununge nepsu mutmainah (pengawak Semar) klamudan loyang kuwi dadi aluamahmu (ragane Saraita) lan cengkorongane kuwi minangka amarahmu (raga Manikmaya) (g.10, b. 4, l. 1-8) ...... Terjemahan kuning nafsu supiah (berbadan Togog) putih tempatnya nafsu mutmainah (berbadan Semar) klamudan itu menjadi aluamahmu (badannya Saraita) dan cangkangnya itu sebagai amarahmu (badan Manikmaya) (g.10, b. 4, l. 1-8) ......
94
Kutipan di atas dari geguritan ”Sketsa Endhog Sapetarangan”. Penyair berusaha memberikan penjelasan bahwa komposisi telur merupakan simbol dari kehidupan, ada kuning telur yang mewakili nafsu sufiah, putih telur mewakili nafsu mutmainah, kalmudan mewakili nafsu aluamah dan cangkang telur mewakili nafsu amarah manusia. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sementara bahwa gaya bahasa kiasan memang selalu digunakan penyair untuk memberikan nilai keindahan pada hasil karyanya, dan tidak semua gaya bahasa kiasan digunakan oleh penyair. B. Gaya Bahasa berdasarkan Struktur Kalimat Struktur sebuah kalimat dapat dijadikan landasan untuk menciptakan gaya bahasa. Kesepuluh geguritan Suwardi Endraswara juga mengandung beberapa gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat yaitu repetisi dan antitesis. 1. Gaya Bahasa Repetisi Ada beberapa geguritan Suwardi Endraswara yang menunjukkan gaya bahasa repetisi. Kutipannya sebagai berikut, dari geguritan yang berjudul :”Simbah Ayumu Ing Ngendhi”. bayi ndhuwur dalan lan ngisor dalan bayi liwat dalan lan nyolong dalan (g. 1, b.1, l. 4-5) ..... Terjemahan ..... bayi atas jalan dan bayi bawah jalan bayi lewat jalan dan mencuri jalan (g. 1, b.1, l. 4-5) ….
95
Perulangan kata pada kutian di atas menunjukkan adanya repetisi yaitu kata bayi ’bayi’ dan dalan ’jalan’. Kata-kata tersebut untuk memberikan penekanan apa yang menjadi maksud dari penyair. Kutipan di bawah ini dari geguritan berjudul ”Kaca Rasa” yang juga menunjukkan repetisi : ........ :wis suwe lehku nglinthing :wis sawetara lehku ngudang, sesenggolan (g. 5, b.1, l. 3-4) terjemahan : sudah lama saya mendidik : sudah beberapa lama saya menyanjung, bertegur sapa ....... Perulangan kata wis ’sudah’ dan lehku ’saya’ menunjukkan repetisi dalam bait pertama. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan repetisi : tau nantang awakmu tau nyandiwara ing ngarepmu, tanpa pakem tau pamer ing ngarepmu, kliwat wates (g. 6, b. 4, l. 5-7)
Terjemahan ..... pernah menantang kamu pernah bersandiwara di depanmu, tanpa aturan pernah pamer di depanmu, kelewat batas (g. 6, b. 4, l. 5-7) Kata tau ’tahu’ menjadi repetisi kata yang berulang untuk penekanan. Kutipan berikut diambil dari geguritan ”Dalan; Abang-Kuning-Ireng-Putih”. ....... Saponana dalane guna lan sekti, dalane sandhang, lan dalane pangan; bukaken sewu dalan: dalane kamukten, dalan kalungguhan, dalane kabagyan, dalan katentreman. Wengakna dalane banyu kaluhuran, dalane gegayuh -an. Encerna dalane mangsi lan getih gurit (g. 7, b. 2, l. 1-7) ......
96
Terjemahan ....... sapulah jalannya orang pandai dan sakti, jalannya sandang, dan jalannya pangan; bukalah seribu jalan: jalannya kemulyaan, jalan kepangkatan, jalannya kebahagiaan, jalan ketentraman. Bukalah jalan air keluhuran, jalan keinginan. Cairkanlah jalan tinta dan darah puisi (g. 7, b. 2, l. 1-7) ........ Kutipan di atas mempunyai perulangan kata yaitu ”jalan” oleh penyair digunakan sebagai penekanan untuk kata selanjutnya maupun sebelumnya. Penyair mengharapkan Tuhan membersihkan jalannya orang yang pandai dan sakti supaya jalannya sandang dan pangan terbuka lebar. Tidak hanya itu penyair juga meminta kepada Tuhan supaya dibukakan seribu jalan kemulyaan, kepangkatan, kebahagiaan dan ketentraman. Kutipan dibawah ini juga menunjukkan gaya bahasa yang berdasarkan struktur kalimat. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut dari geguritan ”Sasmita KiwaTengen”. dak terak daklari dakpecaki (g. 8, b.1, l. 1-4) Terjemahan saya langgar saya cari saya jalani (g. 8, b.1, l. 1-4) ….. Kata dak ’saya’ dijadikan repetisi oleh pengarang karena baris ke tiga dan ke empat terdapat perulangan kata yang sama yaitu dak ’saya’.
97
gawe geni-krasa panas gawe bener bisa bener gawe kalam bisa sinulan gawe esem bisa sengsem (g. 9, b.1, l. 1-4) ….. Terjemahan membuat api terasa panas berbuat benar bisa benar membuat sabda bisa jalan terang membuat senyum bisa jatuh hati (g. 9, b.1, l. 1-4) ….. Kata gawe ’membuat’ ditekankan oleh pengarang. Orang akan menyadari apa yang telah diperbuat sesuia dengan apa yang dihasilkan oleh perbuatannya. Apabila kita berbuat yang tidak baik tentu hasilnya juga tidak akan baik atau mengecewakan, sebaliknya kalau kita berbuat baik tentu kita akan mendapatkan kebaikan juga. Kutipan di atas dari geguritan ”Siklus ApaAna” . Perulangan bunyi atau repetisi juga terdapat kutipan di bawah ini dari geguritan ”Siklus Apa-Ana”. ..... tanpa paes endahe wanita tanpa kaca pangilone jiwa tanpa ukum-kamuse susila tanpa rumus aksara wuta (g. 9, b.1, l. 7-10) ..... Terjemahan ..... tanpa bersolek indahnya wanita tanpa kaca cerminnya jiwa tanpa hukum kamusnya kesusilaan tanpa rumus huruf buta (g. 9, b.1, l. 7-10) Kutipan di atas ada perulangan kata ”tanpa”. Penyair memberikan perulangan kata ’tanpa’ dimaksudkan untuk menekankan atau untuk
98
memperjelas maksud dari penyair. Manusia akan terasa lebih baik bila sesuai dengan apa adanya, tanpa harus ada yang ditutup-tutupi. ....... ing ngendi sasmita wantah ing ngendi wahyu keplayu ing ngendi pandom bujel ing ngendi-gelar siwer (g. 9, b.1, l. 14-17) ….. Terjemahan ........ di mana pertanda tawar di mana wahyu berlari di mana jarum jam tumpul di mana-gelar siwer (g. 9, b.1, l. 14-17) Kata ing ngendhi ’di mana’ memperoleh penekanan perulangan pada baris-baris berikutnya. Penyair mempertanyakan tentang dimana pertanda dan wahyu berlari. 2. Gaya Bahasa Antitesis Gaya bahasa antitesis merupakan salah satu gaya bahasa yang digunakan oleh Suwardi Endraswara dalam antologi kesepuluh geguritan Kristal Emas. Untuk lebih jesanya sebagai berikut bayi ndhuwur dalan lan ngisor dalan bayi liwat dalan lan nyolong dalan (g. 1, b.1, l. 4-5) ..... Terjemahan ..... bayi atas jalan dan bayi bawah jalan bayi lewat jalan dan mencuri jalan (g. 1, b.1, l. 4-5) …. Kata dhuwur ’atas’ dan kata ngisor ’bawah’ menunjukkan gaya bahasa antitesis karena memberikan isyarat bertolak belakang. Kutipan di atas dan di bawah ini diambil dari geguritan “Simbah Ayumu Ing Ngendhi”.
99
........ pepinginan ireng malih putih, kaya owahe rambutmu (g.1, b. 4, l. 3) ....... Terjemahan ….. keinginan hitam berbalik putih, seperti (g.1, b. 4, l. 3) ..... Antitesis kutipan di atas adalah kata ireng ’hitam’ dan putih ’putih’ yang menunjukkan kata berlawanan. ..... urip kejujul mati legi ketundhung pait :sadurunge seka ngendi? :sawise menyang ngendi? (g. 2, b. 2, l. 3-6) Terjemahan ...... hidup terjemput mati manis tertutup pahit :sebelum dari mana? :sesudah mau kemana? (g. 2, b. 2, l. 3-6) Kutipan di atas jelas sekali menunjukkan gaya bahasa antitesis. Katakata yang berlawanan banyak sekali di temui antara lain kata urip ’hidup’ dengan mati ’mati’, kata legi ’manis’ dengan pait ’pahit’, dan kata sadurunge ’sebelumnya’ dengan sawise ’sesudah’. Berikut kutipan dari geguritan ”1 X 1 = 1”. Lanang-wadon iku siji, bedane mung ing chithakan X-Y---dununge ing mripat raga-sukma kuwi siji, bedane kasar-alus----papane ing kulit kalam (g. 3, b.1, l.1-4) ……
100
Terjemahan Laki-perempuan itu satu, perbedaannya hanya di cetakkannya X-Y---letaknya di mata raga-sukma itu satu, perbedaannya kasar-halus---tempatnya di kulit kalam (g. 3, b.1, l.1-4) ...... Penyair memberikan penjelasan yang cukup gamblang akan perbedaan segala ciptaan Tuhan dengan gaya bahasa antitesis. Lanang ’laki-laki’ dengan wadon ’perempuan’. Ada juga raga ’raga’ dengan sukma ’sukma’. Ada kasar ’kasar’ dengan alus ’halus’. Geguritan ”Kaca Rasa” juga menunjukkan gaya bahasa antitesis. Kutipannya sebgai berikut : Satemene wis suwe nggonku cedhak nanging rasane isih adoh (g. 5, b.1, l.1-2) ….. Terjemahan Sesungguhnya sudah lama aku dekat tetapi rasanya masih jauh (g. 5, b.1, l.1-2) …… Antitesis pada kutipan di atas adalah kata cedhak ’dekat’ dengan kata adoh ’jauh’. Dua kata tersebut menunjukkan saling berlawanan. Seperti yang juga yang terlihat kutipan di bawah ini dari geguritan ”Sasmita Kiwa-Tengen” ...... ireng putih tengen kiwane swarga neraka butheg – bening (g. 8, b.1, l. 6-9) ....... Terjemahan ....... hitam putih kanan kirinya surga neraka kotor – bening (g. 8, b.1, l. 6-9)
101
Melihat uraian di atas gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat juga berpengaruh terhadap karya sastra yang diciptakan oleh penyair atau pengarang. Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat merupakan penambahan nilai estetika bagi sebuah karya sastra terutama karya sastra geguritan. C. Gaya Bahasa Retoris Geguritan Suwardi Endraswara juga mengandung gaya bahasa retoris. Ada beberapa macam dari gaya bahasa retoris salah satunya yang termasuk di dalam geguritan Suwardi Endraswara adalah Aliterasi, dan Asonansi. Pembahasannya sebagai berikut: 1. Aliterasi Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang dalam prosa, untuk perhiasan atau penekanan (Gorys Keraf, 2004: 130). Berikut ini kutipan dari geguritan ”Simbah Ayumu Ing Ngendhi” :
Simbah; wis sirah pira kang kok pande? usus pirang ukel sing kok ulur (g.1, b.1, l. 1-2) ...... Terjemahan Nenek; sudah kepala berapa yang kamu pande? usus berapa gulung yang sudah kamu ulur (g.1, b.1, l. 1-2) ...... Kutipan di atas ada beberapa huruf konsonan yang berulang yaitu huruf /s/ dan huruf /k/. Perulangan konsonan diatas dimaksudkan untuk memberikan nilai keindahan di dalam geguritan. Kutipan dibawah ini juga masih menggunakan penekanan huruf konsonan.
102
........ :nun, sadurunge teka-apa sing bakal lunga? sawise lemah iki emoh ketumpangan sikil, nun kepriye mamah klimah sing adil? sawise rapal tansaya papal (g. 2, b.1, l. 7-10) ..... Terjemahan ...... ya, sebelum datang-apa yang akan pergi? sesudah tanah ini tidak mau tertindih kaki, ya bagaimana mengunyah kata yang adil sesudah kepalan semakin patah (g. 2, b.1, l. 7-10) ……. Konsonan yang di ulang-ulang oleh penyair pada kutipan di atas yaitu huruf /s/ dan huruf /l/. Pengulangan konsonan tersebut dimaksudkan untuk memberikan perhiasan atau variasi didalam geguritan. Berikut ini kutipan dari geguritan ”Tembang 3-M” yang mengandung aliterasi : ...... Durma arum banger angeker sesuker ngukur raga peper (g. 7, b. 8, l.1-4) ....... Terjemahan ...... Durma bau sekali menyembunyikan kotoran mengukur raga rusak (g. 7, b. 8, l.1-4) ....... Kutipan di atas aliterasinya yaitu kosonan huruf /g/ dan konsonan huruf /r/. Konsonan huruf /r/ mempunyai pengaruh untuk memperjelas dan mempertajam kata-kata dan maksud dari penyair. Kutipan di bawah ini juga
103
menggandung aliterasi dari geguritan “Sasmita; Kiwa-Tengen”. Kutipannya sebagai berikut: dak terak daklari dakpecaki (g. 8, b.1, l. 1-4) …… Terjemahan saya langgar saya cari saya jalani (g. 8, b.1, l. 1-4) Perulangan konsonan /d/ dan konsonan /k/ sangat terlihat jelas pada kutipan di atas. Penggunaan konsonan /d/ dan konsonan /k/ dimaksudkan untuk memberikan penekanan pada awal bait geguritan tersebut. ...... yen tuntunan dadi tontonan, yen drajat tanpa martabat (g. 9, b.1, l. 18-22) ? Terjemahan ...... kalau tuntunan menjadi tontonan, kalau drajat tanpa martabat (g. 9, b.1, l. 18-22) ? Aliterasi yang terdapat pada kutipan di atas yaitu konsonan /y/, /n/, dan /t/. Konsonan /n/ dan konsonan /t/ menjadi konsonan yang mempunyai penekanan.
104
Berdasarkan uraian singkat di atas dapat disimpulkan sementara bahwa pengulangan huruf
konsonan (Aliterasi) juga dapat memberikan nilai
keindahan di dalam geguritan atau karya sastra. 2. Asonansi Asonansi semacam gaya bahasa yang berujud perulangan bunyi vokal yang sama. Dipergunakan dalam puisi maupun prosa untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan (Gorys Keraf, 2004: 130). Berikut ini kutipan dari geguritan “Simbah Ayumu Ing Ngendhi”. ..... kok slempitke ing selane kriputmu kok ukel ing gelung kondhe (g.1, b. 2, l. 5-6) ..... Terjemahan ..... kamu sisipkan di sela keriputmu kamu gulung di gelung kondhe (g.1, b. 2, l. 5-6) ..... Kutipan di atas merupakan perulangan huruf vokal yaitu huruf /e/ dan huruf /u/. Perulangan huruf vokal diatas dimaksudkan untuk memberikan warna yang berbeda di dalam geguritan, bisa juga sebagai salah-satu nilai keindahan geguritan. Geguritan ”Sadurunge Teka Apa Sing Lunga” juga mengandung Asonansi. Kutipannya sebagai berikut : Sadurunge angin ngelus godhong nglinthing apa wis kok tekem susuhe angin? sadurunge srengenge sesingidan apa wis kok lari kumleyange ayang-ayang? (9. 2, b.1, l.1-4) …….
105
Terjemahan Sebelum angin membelai daun melipat apa sudah kau genggam sarang angin? sebelum matahari bersembunyi apa sudah kau kejar perginya bayang-bayang? (9. 2, b.1, l.1-4) ….. Kutipan di atas memberikan perulangan huruf vokal yang hampir semuanya dipakai yaitu huruf /a/, huruf /u/, huruf /e/, huruf /i/ dan huruf /o/. Berikut ini kutipan dari geguritan ”Kaca Rasa”. …… raga-sukma kuwi siji, bedane kasar-alus----papane ing kulit kalam pasaran-minggon, ya siji mung seje ing etungane, dununge ing mangsa kala (g. 3, b.1, l. 3-6) ....... Terjemahan ...... raga-sukma itu satu, perbedaannya kasar-halus---tempatnya di kulit kalam pasaran-mingguan, ya satu hanya beda di hitungan, tempatnya di mangsa kala (g. 3, b.1, l. 3-6) ..... Pada kutipan di atas terlihat jelas penggunaan huruf vokal yakni huruf vokal /a/, /u/, /i/, dan vokal /e/. Huruf vokal tersebut digunakan untuk penekanan pada geguritan terutama pada huruf vokal /e/. Geguritan ”TekaTeki 4:4 =? juga mengandung Asonansi. Untuk lebih jelasnya lihat kutipan berikut ini : ...... sesawanganku kaya-kaya; ketutupan teka-teki raga lan sukma ing ngendi; lungane anasir (g.4, b.1,l. 7-13)
106
Terjemahan ....... penglihatanku seperti terhalangi teka-teki jiwa dan raga di mana perginya anasir (g.4, b.1,l. 7-13) Perulangan vokal pada kutipan di atas yakni vokal /e/, /a/, /u/, dan /i/. Huruf vokal digunakan untuk memberikan kesan hidup di dalam kalimat atau kata. Perulangan huruf vokal atau huruf konsonan memberikan maksud dan tujuan tersendiri bagi geguritan atau karya sastra yang lain. Kesimpulannya adalah kesepuluh geguritan pilihan karya Suwardi Endraswara menggunakan beberapa macam gaya bahasa yakni gaya bahasa kiasan, gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, dan gaya bahasa retoris. Gaya bahasa kiasan
digunakan untuk memberikan warna atau nilai-nilai
estetik di dalam geguritan walaupun tidak semua pengarang menggunakan gaya bahasa kiasan. Metafora sebagai pengkiasan langsung, ada juga personifikasi pengibaratan benda mati sebgai persona atau manusia dll. Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat yakni ada repetisi dan antitesis. Repetisi merupakan perulangan untuk memberikan penekanan apa yang ingin disampaikan oleh penyair. Antitesis adalah macam gaya bahasa yang mengisyaratkan bertolak belakang atau berlawanan. Sedangkan gaya bahasa retoris adalah penyimpangan-penyimpangan dari kontruksi biasa untuk mecapai efek tertentu. Ada aliterasi perulangan bunyi konsonan dan ada juga asonansi perulangan bunyi vokal.
107
Gaya bahasa ada bermacam-macam dan gaya bahasa tersebut memberikan kontribusi untuk nilai-nilai estetik (nilai keindahan) di dalam geguritan maupun puisi. Setiap pengarang atau penyair bisa menyampaikan eskpresi atau amanat melalui gaya bahasa dan menjadikannya lebih efektif.
D. Analisis Makna Religius Geguritan Suwardi Endraswara Semiotik merupakan salah satu ilmu untuk membedah karya sastra. Semiotik menganalisis karya sastra dengan cara tafsir atau mengungkapkan makna didalam karya sastra. Penelitian kesepuluh geguritan Suwardi Endraswara ini juga menggunakan analisis semiotik. Analisis semiotik yang digunakan adalah Charles Sanders Peirce yaitu segi tiga semiotic ikon, indeks dan simbol. Ikon (icon), yakni tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat persamaan bentuk alamiah; (2) indeks (index) yakni tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah penanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat; (3) simbol (symbol), yakni tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya arbriter berdasarkan perjanjian (konvensi) masyarakat.
108
Pembacaan Semiotik Kesepuluh Geguritan Suwardi Endraswara 1. Pembacaan Semiotik Geguritan “Simbah: Ayumu Ing Ngendi” SIMBAH: AYUMU ING NGENDI Simbah; wis sirah pira kang kok pande? usus pirang ukel sing kok ulur njur, ing ngendi bedane bayi ndhuwur dalan lan ngisor dalan bayi liwat dalan lan nyolong dalan Simbah; ayumu biyen kae, kok simpen ing ngendi apa kok dum marang bayi-bayi kiyu apa wis payu dituku priyayi iki ora guyon, mengko gek: kok slempitke ing selane kriputmu kok ukel ing gelung kondhe apa wis diusung Dewi Ratih Makayangan apa rontoge untu emas tiron Simbah; geneya malah gedheg? apa kuwi sasmita simbah wis nyingkirake pepinginan wadhag pepinginan ireng malih putih, kaya owahe rambutmu ning ireng rambutmu lunga menyang ngendi
Geguritan “Simbah: Ayumu Ing Ngendi” merupakan geguritan yang mengundang pembaca untuk merenungkan sejenak perjalanan kehidupan. Geguritan ini menjadi gambaran bahwa keadaan fisik akan mempengaruhi seseorang di dalam berpikir, berpandangan dan berinteraksi sosial. Nenek menunjukkan sebuah indeksikal. Kata ’Nenek’ merupakan
sebutan bagi
perempuan yang sudah berumur atau sudah tua, dapat ditandai dengan adanya perubahan fisik yang sangat signifikan dari kulit, rambut, sampai kepada keinginan-keinginan tubuh yang dibatasi. Nenek di pandang sebagai seseorang yang telah mengetahui pahit manis kehidupan. Nenek diimplementasikan sebagai seorang guru atau panutan hidup.
109
Pada bait pertama merupakan pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada seorang nenek. Pertanyaan pertama Simbah; wis sirah pira kang kok pande?. Pertanyaan tersebut mempunyai makna yang sangat mendalam. Ada kata-kata sirah ’kepala’ dan pande ’sebutan bagi tukang besi’ yang tidak ada sangkut pautnya. Sirah dalam artian kepala dan pande sebutan bagi tukang besi. Kedua kata tersebut dijadikan sebagai simbol. Sirah ’kepala’ merupakan organ vital dari tubuh manusia. Segala sesuatu yang dilakukan oleh bagianbagian tubuh sampai yang terkecil berasal dari dalam kepala yaitu otak. Otak sebagai motor dari segala keinginan manusia. Sirah ’kepala’ juga bisa menunjukkan jumlah orang. Sedangkan ’pande’ adalah sebutan bagi orang yang membuat kerajinan dari besi. ’Pande’ juga bisa diartikan memperbaiki atau mengubah dari bentuk asli. Kedua kata ’sirah’ dan ’pande’ merupakan makna konotatif (nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang umum). Maksudnya bahwa nenek akan selalu mengajarkan dan memberikan nasehat atau petuah-petuah kepada orang lain supaya menuju kedalam kepencerahan hidup yang lebih baik. Bisa dikatakan nenek melakukan pencucian otak dengan nasehat- nasehatnya. Pertanyaan yang kedua usus pirang ukel sing kok ulur. Bila dicermati pertanyaan kedua ini hampir sama dengan pertanyaan yang pertama. Ada kata usus ’usus’ dan ulur ’di urai’ dijadikan sebagai simbol. Makna harafiahnya (denotatif) Usus merupakan salah satu organ tubuh manusia. Makna konotatifnya usus mengacu kepada sifat sabar. Sedangkan ’ulur’ memberikan pengertian dibuat panjang (di urai). Maksudnya adalah bahwa manusia hidup di dunia ini harus mempunyai rasa sabar untuk menghadapi segala cobaan dari
110
Tuhan. Ada pepatah Jawa mengatakan dadi uwong sing dawa ususe (jadi orang harus panjang ususnya) artinya manusia harus mempunyai rasa sabar yang tiada batasnya. Pada pertanyaan ketiga Si Aku lirik mencoba memberikan pertanyaan yang berbeda. Apa perbedaan bayi nduwur dalan lan ngisor dalan / bayi liwat dalan lan nyolong dalan. Kata bayi ’bayi’, ndhuwur ’atas’, ngisor ’bawah’, liwat ’lewat’, nyolong ’mencuri’ dijadikan sebagai simbol. Bayi makna harfiahnya (denotatif) adalah anak yang baru lahir. Bayi juga bisa diasumsikan sebagai sifat manusia yaitu orang yang polos, belum atau tidak dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Kata ndhuwur ’atas’ dan liwat ’lewat’ mempunyai makna konotatif sebagai sifat manusia yang dapat mempengaruhi seseorang atau manusia untuk berkelakuan yang baik, sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Sedangkan kata ngisor ’bawah’ dan nyolong ’mencuri’ dijadikan sebagai sifat manusia yang buruk, tidak sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Maksudnya adalah manusia memiliki beragam sifat, ada yang baik dan ada yang buruk. Dua sifat tersebut memang sudah menjadi satu kesatuan dan tergantung manusia itu sendiri untuk mengkelolanya. Bila sifat yang baik dikelola dengan sungguh-sungguh tentunya juga akan menghasilkan yang baik atau sebaliknya. Bait kedua simbah ’nenek’ masih menunjukkan indeksikal. Si Aku lirik mencoba memberikan pertanyaan yang berbeda. Kecantikan ’ayu’ dijadikan
sebuah
simbol
dan
menjadikan
sebuah
polemik
yang
berkepanjangan. Simbah; ayumu biyen kok simpen ing ing ngendi?. Kata ayu ’cantik’ mengacu kepada fisik seseorang (makna denotatif). Ayu ’cantik’ juga
111
bisa mengacu kepada hal yang baik. Si Aku lirik mencoba menebak tentang hilangnya ’kecantikan’ nenek, dengan mengajukan pertanyaan apa kok dum marang bayi-bayi kiyu / apa wis payu dituku priyayi. Kata bayi-bayi kiyu ’bayi-bayi raksasa’ dan kata priyayi ’priyayi’ dijadikan sebagai simbol. Bayibayi kiyu ’bayi-bayi raksasa mengacu kepada seorang manusia dewasa. Priyayi diasumsikan sebagai seorang bangsawan, penuh wibawa, mempunyai kedudukan dan disegani. Si aku lirik mempunyai anggapan bahwa kebaikan-kebaikan nenek seakan-akan disembunyikan ’disimpen’ atau dimiliki oleh orang lain ’dituku’. Ada anggapan lain dari si aku lirik atau malah disembunyikan ing selane kriputmu / kok ukel ing gelung kondhe / apa wis diusung dewi Ratih Makayangan?. Dewi Ratih Makayangan juga dijadikan sebagai simbol, diasumsikan dewi yang memiliki kecantikan yang luar biasa atau dewi kecantikan. Manusia diwajibkan untuk berbuat kebaikan karena hal tersebut yang disukai oleh Tuhan. Dengan kebaikan manusia juga akan mendapatkan ketentraman hidup, tetapi kebaikan ataupun kebenaran di jaman sekarang memang harus dipertanyakan. Hukum bisa dibeli dengan uang. Yang benar dikatakan salah dan yang salah bisa dikatakan benar. Bait ketiga nenek mencoba membela diri. Simbah ; geneya malah gedheg ?. Gedhek dalam artian menggelengkan kepala yang menandakan tidak adanya persetujuan dengan tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh si aku lirik. Karena tidak mendapatkan persetujuan, si aku lirik membuat kesimpulan apa kuwi sasmita simbah wis nyingkirake pepinginan wadhag / pepinginan ireng malih putih, kaya owahe rambutmu. Wadhag ‘tubuh’, ireng
112
‘hitam’ dan putih ‘putih’ dijadikan sebuah simbol. Wadhag ‘tubuh’ dikonotasikan sebagai keinginan ragawi. Ireng ‘hitam dan putih ‘putih’ mengacu kepada sifat manusia. Ireng ‘hitam’ mengisyaratkan kejelekan sedangkan putih ‘putih’ mengisyaratkan kebaikan. Manusia akan merubah keinginan bila menjelang usia tua, mereka akan menggunakan sisa umur untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Keinginan-keinginan ragawi sudah mereka tinggalkan. Keinginan batin yang akan mereka asah dan diperdalam supaya mendapatkan ampunan oleh Tuhan dengan segala apa yang telah mereka lakukan di massa lalu. Akhirnya si aku lirik membuat pertanyaan retoris. Apakah itu menjadi sebuah makna bahwa nenek telah menghilangkan keinginan tubuh (ragawi) seperti rambut yang dulu hitam sekarang menjadi putih. Tetapi masih ada pertanyaan yang mengganjal oleh si aku lirik yaitu hitam rambut nenek pergi kemana?. Kesimpulan keseluruhan geguritan Simbah; Ayumu Ing Ngendhi yaitu setiap manusia akan mengalami perubahan dari bentuk fisik sampai kepada pandangan hidup. Bentuk fisik merupakan bentuk alamiah yang mesti terjadi kepada setiap manusia yang disertai dengan perubahan keinginan-keinginan atau pandangan hidup. Pengibaratan seperti rambut yang dulu hitam menjadi putih. Hitam yang mewakili dari keinginan yang buruk menjadi putih yang mewakili kebaikan.
113
2. Pembacaan Semiotik Geguritan ”Sadurunge Teka; Apa sing Lunga” SADURUNGE TEKA; APA SING LUNGA Sadurunge angin ngelus godhong nglinthing apa wis kok tekem susuhe angin? sadurunge srengenge sesingidan apa wis kok lari kumleyange ayang-ayang? sadurunge rembulan kari sacliritan apa sing kudu diindhit, kanggo gawan? :nun, sadurunge teka-apa sing bakal lunga? sawise lemah iki emoh ketumpangan sikil, nun kepriye mamah klimah sing adil? sawise rapal tansaya papal primbon apa sing isih kena dicekel? sawise bocah angon, ora keprungu sulinge apa isih ana gurit pepeling? nun, sadurunge; durung kesusul uwis lekas ketinggal wekas urip kejujul mati legi ketundhung pait :sadurunge seka ngendi? :sawise menyang ngendi? Geguritan ”Sadurunge Teka; Apa Sing Lunga” akan selalu mengingatkan pembaca bahwa hidup di dunia ini hanya sementara dan kematian dapat datang sewaktu-waktu. Pada bait pertama terdapat banyak sekali petuah-petuah yang disampaikan oleh penyair. Sadurunge angin ngelus godhong nglinthing / apa wis kok tekem susuhe angin?. hal tersebut akan mustahil bila dilakukan. Angin dijadikan sebagai simbol kehidupan. Angin merupakan udara, sedangkan udara adalah yang kita hirup untuk bernafas. Nafas yang menjadikan kehidupan manusia di dunia. Godhong nglinting mengacu kepada simbol yang bermakna berakhirnya dunia. Sedangkan susuhe angin juga menjadi simbol yaitu tujuan hidup. Dalam artian manusia di tuntut untuk mengerti akan makna dan tujuan hidup sebelum dunia ini berakhir. Ada pengibaratan lain sebelum dunia ini berakhir yaitu sadurunge srengenge
114
sesingidan (sebelum matahari bersembunyi) maksudnya adalah matahari juga menjadi simbol sebagai sumber kehidupan manusia. Sebelum matahari bersembunyi (dunia berakhir) apa wis kok lari kumleyange ayang-ayang?( apa sudah kau kejar perginya bayang-bayang?). ayang-ayang atau bayangbayang adalah pantulan dari wujud fisik yang terkena sinar. Bayang-bayang diartikan sebagai segala tindakan manusia yang berupa kebaikan dan keburukan. Bayang-bayang juga merupakan simbol. Manusia harus selalu menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi yang menjadi larangan Tuhan sebelum bulan tinggal segaris (sadurunge rembulan kari sacliritan). Pilihan-pilihan akan muncul ketika ada pertanyaan apa sing kudu diindhit, kanggo gawan?( apa yang harus dibawa, buat bawaan?). Gawan ’bawaan’ dalam artian bekal, tentunya amal sholeh kita terhadap Tuhan. Gawan merupakan simbol yakni amal sholeh atau amalan manusia. Kehidupan di dunia silih berganti. Sadurunge teka apa sing bakal lunga?. Teka ’datang’ mengandung makna simbolis yaitu lahir, sedangkan lunga ’pergi’ bisa diartikan sebagai kematian. Kelahiran dan kematian merupakan proses di dalam kehidupan. Setiap manusia tidak dapat menolak untuk tidak melewati hal tersebut. Manusia akan merasa di dalam kebimbangan ketika dunia ini sudah tidak mau ditempati. Manusia juga memperkarakan bagaimana mencari tentang keadilan, sawise rapal tansaya papal (sesudah kepalan tangan semakin patah). Papal ’kepalan’ mengandung simbol yakni tekad yang kuat. Tekad yang kuat sekarang semakin mengecil karena sudah tidak ada yang menjadi panutan atau tauladan. Bagaimana manusia akan menjalankan
115
kehidupan dengan baik kalau tidak ada pegangan hidup. Sawise bocah angon, ora keprungu sulinge (sesudah anak kecil mengembala, tidak terdengar sulingnya). Bocah angon ’penggembala’ simbol dari Tuhan, sedangkan keprungu sulinge ’terdengar suara serulingnya’ diartikan sebagai sabda atau ajaran Tuhan. Apa masih ada yang akan mengingatkan manusia untuk berbuat kebaikan (Apa isih ana gegurit pepeling?). Pada bait kedua ada rasa kepasrahan yang mendalam. Kehidupan di dunia selalu memberikan misteri yang tidak bisa ditebak oleh manusia. Durung kesusul uwis ‘sebelum kedahuluan sudah’. Lekas ketinggal wekas ‘mulai tertinggal akhir’. Hidup akan terjemput ajal. Legi ketundhung pait. Legi ‘manis’ mengandung simbol akan kebaikan dan pait ‘pahit’ diartikan sebagai keburukan dimaksudkan bahwa kebaikan akan tertutup oleh keburukan. Manusia tidak boleh menyia-yiakan waktu , harus bekerja, berpikir dan beribadah secara giat. Juga ditonjolkan agar seseorang itu mandiri dalam hidupnya, tidak terlalu menggantungkan hidupnya kepada orang lain, tak kenal putus asa mengahadapi cobaan dan kegagalan, teguh dalam keyakinan, dan hendaknya segala apa yang dikerjakan oleh individu datang dari kesadaran bukan paksaan dari luar, hingga akhirya manusia milik Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Kesimpulan dari geguritan Sadurunge Teka ; Apa Sing Lunga yakni manusia tidak akan kekal hidup di Dunia. Ada yang datang yaitu lahir dan ada yang pergi yaitu kematian. Setiap manusia tidak akan mengetahui kapan dunia ini berakhir oleh sebab itu manusia harus selalu bertaqwa dan mendekatkan diri kepada Tuhan untuk berjaga-jaga bila kematian sewaktu-waktu datang
116
menjemput. Manusia hanya menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan Tuhan karena manusia adalah milik Tuhan. 3. Pembacaan Semiotik Geguritan ”1 X 1 = 1” 1X1=1 Lanang-wadon iku siji, bedane mung ing chithakan X-Y---dununge ing mripat raga-sukma kuwi siji, bedane kasar-alus----papane ing kulit kalam pasasran-minggon, ya siji mung seje ing etungane, dununge ing mangsa kala awan-bengi uga siji, gumantung cahya enom-tuwa dununge ing pengimpen bumi-langit iku siji, bedane papane gumantung ubenge jantra titah-kang nitahake siji, bedane penguwasane dununge ing alam pepesthen pesthi lan pestha, ora beda gumantung pangulahe budi ubenge kitiran lan donya, nyakramanggilingan mung seje arahe wit-witan lan kasusastran, siji padhadene ngoyot, ngepang, lan kembang mung seje rumambate tumangkare sastra lan astronot, siji mung seje cengkoke tunggal sedyane, teban Geguritan ”1 X 1 = 1” adalah geguritan yang mengingatkan manusia bahwa di dunia ini segala mahluk ciptaan Tuhan saling berpasangan dan tidak dapat saling dipisah-pisahkan. Lanang wadon iku siji, bedane / mung ing cethakan X-Y---dununge ing mripat. Lanang ’Laki-laki’ dan wadon ’perempuan’ menunjukkan indeks. Huruf X dan Y merupakan simbol. X mewakili simbol laki-laki dan Y mewakili simbol perempuan. Si Aku lirik mencoba memberikan pengertian bahwa laki-laki dan perempuan adalah satu pasang dan yang dapat membedakan adalah penglihatan (bentuk fisik). Ragasukma kuwi siji, bedane / kasar- alus----papane ing kulit kalam. Raga dalam
117
artian fisik dan sukma (jiwa) adalah satu pasang mengacu kepada indeksikal menyatu. Sedangkan kasar dan halus juga menjadi sebuah simbol. Raga disimbolkan dengan kasar karena sesuatu yang bisa dilihat dengan mata (ragawi) sedangkan sukma (jiwa) merupakan roh yang ada di dalam raga, keduanya tidak dapat dipisahkan kecuali kalau sudah mengalami kematian. Pasaran dan mingguan juga merupakan satu pasang tidak dapat dipisahkan, yang membedakan adalah dalam hitungannya (neptu), tempatnya di mangsakala. Pasaran merupakan rangkapan hari dalam satu minggu. Contohnya ada Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Pahing. Budaya Jawa menggunakan pasaran untuk melihat weton atau rangkapan hari pada waktu kelahiran. Siang dan malam berpasangan menunjukkan indeksikal menyatu, tergantung cahaya muda dan tua. Siang disamakan dengan muda sedangkan tua disamakan dengan malam. Muda dan tua mengacu kepada simbol. Mimpi menunjukkan sebagi tempat untuk membedakan antara siang dan malam, muda dan tua. Siang dan malam merupakan rotasi perputaran bumi. Keduanya akan saling berkaitan dan silih berganti mengatur waktu di kehidupan ini. Bumi dan langit berpasangan mengacu kepada indeksikal menyatu, hanya yang membedakan adalah tempatnya, tergantung perputaran kehendaknya. Bumi adalah tempat yang kita pijak, sedangkan langit adalah di atas kita, yang begitu luas dan tak terhingga. Perintah dan yang memerintah adalah satu kesatuan hanya berbeda kekuasannya. Perintah adalah hal yang harus dilaksanakan sedangkan memerintah adalah subjek yang menghasilkan perintah. Tempatnya di dunia ini. Takdir adalah sebuah kepastian, sudah
118
menjadi kersaning Gusti Allah. Kepastian adalah hal yang pasti terjadi. Pestha ’pesta’ merupakan hura-hura menjadi satu pasang tergantung pengolahan budi (ahlaq) setiap manusia dan individu. Pesta merupakan hal yang dilakukan oleh manusia. Dunia berputar seperti nyakramanggilingan hanya saja arahnya yang berbeda. Nyakramanggilingan artinya berputar terus, silih berganti, tidak pernah berhenti. Pengibaratan pohon dengan kesusastraan adalah satu, samasama memiliki struktur atau tingkat-tingkatan, hanya berbeda jalannya. Sastra dan astronot itu satu hanya berbeda iramanya tetapi sama-sama satu niat pada saatnya. Kesimpulan geguritan 1 X 1 = 1 adalah setiap ciptaan Tuhan berpasangan dari laki-laki dengan perempuan itu satu pasang, langit dan bumi satu pasang dll. Hanya ada perbedaan yang mendasar dari kesemuanya itu yakni tergantung bagaimana manusia itu memandang dan memahaminya. Setiap pasangan akan mempunyai hal yang bertolak belakang atau berlawanan. Walaupun berlawanan kesemuanya akan saling melengkapi untuk menjadi satu kesatuan yang utuh. 4. Pembacaan Semiotik Geguritan ”Teka; Teki 4: 4 = ?” TEKA-TEKI 4:4 = ? dhuh landhepe pecahan kaca rasa rosing bumbung wang dakliling endi tumpimu? sing ngaling-alingi lelamunan sesawanganku kaya-kaya; ketutupan teka-teki raga lan sukma ing ngendi;
119
lungane anasir ? bumi-geni-banyu-angin, sawise urip kuruan pati-rejekijodho-jangkah rumpil? Jer tangan iki lagi ngusap artawisma-curiga lan kudha durung ning ?? apa kudu ngramut sarengat-tarekat-hakikat sarta makrifat? Mangka, aku isih wawang nyawang watese wetan kulon kidul lor! endi kuncine minyak angka; 4 : 4 iki ?
Geguritan ”Teka; Teki 4:4 = ?” menghadirkan sebuah peristiwa yang harus dijadikan sebagai pelajaran bahwa hidup di dunia ini penuh dengan tekateki. Sebenarnya geguritan ini juga menjadi keluh kesah dari penyair. Bait pertama menggambarakan bahwa kehidupan ini dipenuhi dengan teka-teki. Dhuh / landhepe pecahan kaca rasa. Pecahan kaca rasa merupakan simbol cobaan dari Tuhan. Landhep ‘tajam’ merupakan kata sifat benda dijadikan sebagai metafora untuk mewakili rasa bahwa cobaan dari Tuhan terasa menyakitkan (landhep). Rosing bumbung wang / dakliling endi tumpimu / sing ngaling-ngalingi lelamunan. Bumbung ‘bambu’ dimaknai sebagai simbol dari keadaan keduniawian. Tumpi adalah penutup ruas yang menghubungkan ruas satu dengan ruas yang lain. Lamunan dimaksudkan sebagai kepasrahan diri
120
atas nasib yang menimpa. Manusia tidak harus menyerah ketika kegagalan melanda. Walaupun raga dan jiwa menjadi penghalang. Manusia harus mempunyai rasa optimistis menghadapi kenyataan hidup. Kehidupan manusia tidak terlepas dari adanya unsur-unsur yang diciptakan oleh Tuhan. Sangkan paraning dumadi yang menjadikan manusia akan mempunyai rasa tanggung jawab terhadap kehidupan ini. Bumi adalah tempat yang kita pijak dan kita tinggali. Kosmologi Jawa menggambarkan anasir hidup manusia yaitu angin, air, tanah dan api. Angin, air, tanah, dan api merupakan simbol. Anasir-anasir ini akan membentuk struktur nafsu yang merepresentasikan dorongan dalam diri manusia untuk memenuhi kebutuhan badaniah dan rohaniah. Api yang menjadikan untuk memperoleh cahaya dan kehangatan. Unsur air sebagai sumber kehidupan yang dapat memberikan ketentraman di dalam raga dan jiwa. Angin adalah udara yang manusia hirup. Angin yang menjadikan nafas kehidupan, tetapi kesemuanya unsur tersebut akan terlepas sesudah manusia mengalami kematian. Kehidupan manusia telah diatur oleh Tuhan, dari nasib, rejeki, jodoh, kematian dll. Manusia juga harus melepaskan kesemuanya itu sesudah mati walaupun, hanya sebentar menikmati, nasib, rejeki dan jodoh. Kematian tidak akan menyertakan apa-apa kecuali hanya amal sholeh manusia terhadap Tuhan. Tingkatan-tingkatan ketaqwaan manusia harus mempunyai tahapan yang berbeda-beda. Agama Islam mengajarkan tingkat ketaqwaan kepada Tuhan ada 4 tingkatan yakni syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Syariat, tarekat, hakikat dan makrifat menunjukkan indeks menyatu. Tingkatan pertama yaitu syariat. Pada tingkat pertama manusia harus
121
menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan Tuhan. Menjalankan perintah Tuhan yaitu dengan melaksanakan sholat 5 waktu dengan teratur dan sungguh-sungguh. Kedua menjalankan puasa terutama puasa wajib di bulan Ramadhan. Yang ketiga tidak menjalankan perbuatan yang tercela istilah dalam ungkapan jawa yaitu ma lima (5 M) yaitu mendem, main, medok, maling dan madat (mabuk-mabukan, bermain judi, mencari perempuan nakal, mencuri dan candu). Tingkatan pertama yang menjadi dasar untuk melanjutkan ketahapan atau tingkatan yang kedua yaitu tingkatan terekat. Terekat adalah tingkatan yang kedua yang harus ditempuh oleh umat manusia untuk menuju keridhoan Tuhan. Pada tingkatan tarekat manusia harus melepaskan sedikit demi sedikit keduniawiaan. Mistik Jawa mengajarkan bahwa dalam tingkatan terekat manusia akan melaksanakan laku. Laku dalam artian menyiksa diri untuk memberikan kepekaan terhadap pancaindera dan batin. Sebagai contoh laku adalah puasa ngebleng 3 hari 3 malam, puasa mutih (tidak makan garam dan lauk pauk kesemuanya serba hambar yakni nasi putih dan air putih), puasa ngrowot, tidak makan nasi hanya makan dari ubi-ubian. Setelah tingkatan tarekat manusia harus melewati tingkatan yang ketiga yaitu hakikat. Tingkatan Hakikat yakni mengenal Tuhan dengan jalan berdoa dengan teratur dan khusuk, meninggalkan kenikmatan dan kesedihan keduniawian. Tingkatan hakikat membuat manusia untuk selalu mengingat Tuhan setiap waktu dan setiap detik. Manusia akan berdoa terus menerus untuk berpasrah diri kepada Tuhan. Tingkatan Hakikat menjadikan manusia akan mengalami keduniawian yang lain yaitu akan dapat melihat jin, setan dan
122
mahluk ciptaan Tuhan yang lain dunia. Pada tingkatan terakhir atau yang disebut dengan tingkatan Makrifat yang berarti muksa atau bersatu dengan Tuhan dalam istilah jawanya Manunggaling Kawula lan Gusti. Tingkatan makrifat menjadikan manusia akan terlepas dari segala perihal kehidupan. Manusia akan bersatu dengan Tuhan untuk selamanya. Tetapi, si aku lirik masih merasa kebingungan untuk melihat batas antara timur dengan barat dan selatan dengan utara. Mana kunci untuk mengungkap angka 4 : 4. Angka 4 menunjukkan simbol yakni simbol dari syariat, tarekat, syariat dan makrifat dan juga simbol dari timur, barat, selatan dan utara. Angka 4 juga menyimbolkan dari hidup, mati, rejeki, dan jodoh. Kesimpulan dari geguritan yang berjudul Teka-Teki 4:4 = ? adalah manusia harus bisa mencari jati diri di dalam kehidupan. Jangan sampai ada rasa kebimbangan dan keragu-raguan untuk menentukan arah yang akan ditempuh, walaupun harus dilalui dengan perlahan-lahan. 5. Pembacaan Semiotik Geguritan ”Kaca Rasa” KACA RASA Satemene wis suwe nggonku cedhak nanging rasane isih adoh :wis suwe lehku nglinthing :wis sawetara lehku ngudang, sesenggolan aku kepengin ngaca ing pangilonmu kowe ana ngendi? ing ati, ing jantung, ing sirah apa ing sadawane otot getih mili gumunku, kena apa kowe bias nggambar tanpa kertas kowe bisa crita tanpa gurit tuwa bias nglukis alaku, wangiku, ayuku, tanpa kuas yen ngono, kowe ya ngerti wadiku, lan endi napasku?
123
yen nyata kowe awas, jajal wacanen awakku sejati tulung tapakna sikile jaman iki dongengna, yen donya kari saumure jamur kuping! nanging aja kok kojahke, yen aku….. tau nantang awakmu tau nyandiwara ing ngarepmu, tanpa pakem tau pamer ing ngarepmu, kliwat wates
Geguritan ”Kaca Rasa” adalah geguritan pengakuan dan perlawanan terhadap Tuhan. pada bait pertama adalah pengakuan dari seseorang yang merasa sudah lama mengenal tetapi rasanya masih jauh. Pengakuan tersebut menandakan bahwa kurang bertaqwanya seseorang kepada Tuhan. Manusia tahu bahwa Tuhan itu ada dan dalam waktu lama manusia mengenal Tuhan. walaupun Tuhan itu ada dan manusia percaya Tuhan itu ada belum jaminan bahwa orang tersebut akan memiliki kedekatan dengan Tuhan. Tetapi, ada pembelaan yang dilakukan wis suwe lehku nglinthing (sudah lama saya mendidik). Mendidik mempunyai arti belajar untuk lebih mengenal Tuhan. wis sawetara lehku ngudang, sesenggolan (sudah beberapa lama saya menyanjung, bertegur sapa). Ngudang dijadikan sebagai simbol yakni ada sebuah sanjungan atau memberikan penilaian yang baik. Sesenggolan dalam artian saling bersentuhan (sangat intim). Bait kedua tokoh ’si aku lirik’ memiliki keinginan untuk bercermin. Bercermin dijadikan sebagai simbol untuk menatap diri dalam artian instropeksi diri. Tokoh si aku lirik kebingungan ketika ingin bercermin karena cermin yang akan digunakan adalah cerminnya Tuhan. Padahal si aku lirik belum mengetahui letak Tuhan. Penebakan atau spekulasi dilakukan oleh si aku lirik. Tuhan Apakah ada di hati, di jantung, di kepala, apa di sepanjang otot tempat darah mengalir (indeksikal).
124
Pada bait ketiga tokoh ’si aku lirik’ merasa heran. Tuhan bisa menggambar tanpa kertas. Menggambar dalam artian imitasi (tiruan). Lalu keheranan tokoh ’si aku lirik’ masih berlanjut. kowe bisa crita tanpa gurit tuwa (kamu bisa bercerita tanpa puisi lama). Gurit tuwa ’puisi lama’ diartikan sebagai petuah-petuah yang diajarkan oleh Tuhan. Segala rahasia yang dimiliki oleh tokoh ’si aku lirik’ di ketahui oleh Tuhan. Bait keempat tokoh ’saya’ masih merasakan ketidakpercayaan. Akhirnya tokoh ’si aku lirik’ memberikan tantangan jajal wacanen awakku sejati (coba baca badanku sejati). Badanku sejati . badanku sejati diartikan . manusia harus mempunyai pijakan yang kuat, karena dunia hanya seumur jamur kuping artinya perputaran bumi akan berakhir atau kiamat. Tetapi sebelum dunia ini berakhir tokoh ’si aku lirik’ mempunyai permintaan karena ada ketakutan yang luar biasa. Bahwa pernah ada perlawanan terhadap Tuhan, bersandiwara tanpa ada aturannya hingga rasa sombong yang terlewat batas. Kesimpulan dari geguritan Kaca Rasa adalah manusia harus bisa mengenal karakter Tuhan, dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan menjalankan ajaran agama dengan sungguh-sungguh. 6. Pembacaan Semiotik Geguritan ”Dalan; Abang-Kuning-Ireng-Putih” DALAN; ABANG-KUNING-IRENG-PUTIH Dalan Abang Mara enggal unggalna, lurunge dalanmu sing sesimpangan, cecawangan. tuduhna dalanmu kang mengangah; dalan kebak gegambaran, wewayangan. Urungen mendhake, keprasen mendhukule, lurusna enggak-enggoke. Obongen, wong sing jirih getih, wedi mawa liwat!
125
Dalan Kuning Saponana dalane guna lan sekti, dalane sandhang, lan dalane pangan; bukaken sewu dalan: dalane kamukten, dalan kalungguhan, dalane kabagyan, dalan katentreman. Wengakna dalane banyu kaluhuran, dalane gegayuh -an. Encerna dalane mangsi lan getih gurit Dalan Ireng Tablegen dalan butulan; dalane wong julig kang dhemen nyidhat dalan, seneng ngumpetke dalan, nyolong dalan, lan dodol dalan. Kuncinen dalane tikus mbobol dluwang lunges, dalane macan ngingis siyung, lan dalane tlapukan ngumbar mripat angujiwat!! Dalan Putih Tatarana dalane pasuwitan, dalan pasujudan, lan dalane pangu ripan. Padhangana dalane pati, dalane kaswargan, lan kamulyan leburen para santriya sing bali ndalan! Tuduhna da -lane bayi kowar, nyasar dalan ke -lir. Kegiles dalan?
Geguritan ”Dalan; Abang-Kuning-Ireng-Putih adalah geguritan doa dalam artian penyair memberikan sebuah pengharapan kepada Tuhan untuk mempermudahkan kehidupan di Dunia ini. Beberapa komposisi warna dimasukkan kedalam geguritan yang dijadikan simbol untuk mewakili rasa (perasaan) dari penyair. Pada bait pertama warna merah yang diartikan sebagai amarah. Tokoh ’si aku lirik’ meminta supaya Tuhan segera membuka jalan, dan menutup jalan yang bercabang dalam artian ada rasa kebimbangan oleh
126
tokoh ’si aku lirik’ untuk memastikan jalan mana yang akan dipilih. Manusia memang harus memiliki keberanian untuk menentukan sikap. Bait kedua mengisahkan bahwa tokoh ’si aku lirik’ mempunyai pengharapan supaya Tuhan memberikan jalan untuk orang yang taat dan bertaqwa kepada Tuhan. Pengharapan tersebut untuk memberikan kontribusi menuju kepada kehidupan yang lebih baik dan berguna bagi sesama. Derajat, harkat dan martabat dijadikan sebuah tolak ukur untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Manusia akan mencari kemulyaan,
ketentraman dan
kebahagiaan hidup di Dunia. Tokoh ’si aku lirik’ juga meminta di dalam doanya bahwa hilangkanlah kesukaran di dalam hidup. Kesemuanya disimbolkan dengan warna kuning. Bait ketiga menceritakan keinginan dari toko ’si aku lirik’ untuk menutup dan menghilangkan segala kejelekan dan keburukan didalam kehidupan ini. Tablegen dalan butulan; dalane wong julig/kang dhemen nyidhat dalan, seneng ngum-/petke dalan, nyolong dalan, lan dodol dalan (tutuplah jalan simpangan: jalannya orang julig/ yang suka memotong jalan, suka menyem-/bunyikan jalan, mencuri jalan, dan menjual jalan). Bait keempat merupkan sifat warna putih yang berarti kesucian dan ketulusan. Tokoh ’si aku lirik’ masih berharap bahwa Tuhan memberikan jalan kebaikan untuk menuju kepencerahan hidup yang lebih baik. Terangkanlah jalan kematian, jalan ke Surga dan jalan kemuliaan. Tokoh ’si aku lirik’ juga mempunyai keyakinan bahwa kejelekan akan terhapus oleh kebaikan, diibaratkan bayi haram, tersesat ke jalan sesat. Tergilas jalan.
127
Kesimpulan dari geguritan di atas adalah kehidupan di Dunia ada berbagai macam cobaan yang harus dilalui. Berbagai macam keadaan coba dihadirkan oleh si aku lirik yang memberikan simbol dengan komposisi warna yakni warna merah, warna kuning, warna hitam dan warna putih. Manusia selalu dihadapkan pada persoalan-persoalan hidup yang harus diselesaikan. Manusia hanya bisa berusaha dan berikhtiar kepada Tuhan supaya diberikan jalan yang terbaik. 7. Pembacaan Semiotik Geguritan ”Tembang: 3-M” TEMBANG: 3-M U rip Mijil cumiprate cahya putih pupus warna ireng Sinom pangename rasa trubus mbabar cepaka mulya Asmaradana anetepi kodrat jejere jalu wanita Kinanthi kumanthile ati sajuga kenthel Gambuh gambir suruh anyadhong kinang Dhandhanggula anetes idu manis angombak analangsa Maskumambang kembange donya awoh deduga-bebeka Durma arum banger angeker sesuker ngukur raga peper Pangkur
128
mungkur jagad ngungkret wewaler Megatroh mupus pisang anepusi pesthi anetepi janji suci Pocung kocak pakeme slenco pathete Geguritan ”Tembang 3-M” akan membawa kita untuk mengingat kembali perjalanan hidup manusia seperti di dalam sifat tembang macapat Jawa. Manusia akan merayakan hidupnya hanya pada 3 hal yaitu metu (lahir), manten (pernikahan) dan mati (kematian). Kata urip ’hidup’ dijadikan sebagai indeksikal. Hidup dalam berarti bernafas dan berfikir. Mijil mempunyai sifat trenyuh ’kasihan’. Mijil dalam geguritan Tembang 3 M menandakan sebuah awal kehidupan manusia. Manusia dilahirkan seiring cahaya putih yang menandakan simbol kesucian memupus warna hitam. Sinom menggambarkan sifat yang asih. Setelah menjadi dewasa ada keinginan untuk membuka hati kepada lawan jenis. Akhirnya persandingan laki-laki dengan perempuan (pernikahan) yang diibaratkan dengan tembang asmarandana yaitu untuk mengungkapkan rasa kangen atau mesra. Kinanthi / kumanthile / ati sajuga kenthel diartikan sebagai penyatuan dua hati yang berbeda yaitu laki-laki dan perempuan, seperti gambir suruh menginginkan kina. Setiap kehidupan akan membuahkan kebahagiaan dan juga kesedihan. Itulah yang dinamakan kehidupan. Kesemuanya harus dijalani dengan rasa ikhlas dan tulus. Kinanthi sebagai indeksikal.
129
Manusia harus selalu membatasi dan membentengi diri untuk melakukan hal yang tidak sesuai dengan aturan agama, walaupun hal tersebut tidak sesuai dengan keinginan kita. Gambuh mengisyaratkan sifat yang tanpa ragu-ragu, lugas dan jujur. Gambuh menunjuk sebagai indeks. Gambir suruh merupakan perlambangan adanya saling melengkapi satu dengan yang lainnya yaitu laki-laki dan perempuan, menginginkan kinang mengandung arti setelah ada persandingan laki-laki dan perempuan menginginkan kebahagiaan. Tetapi, kehidupan di dunia tidak seperti yang dibayangkan. Ada cobaan dan rintangan yang harus dilalui. Dhandhanggula / anetes idu manis / angombak analangsa. Dhandhanggula menunjukkan indeks. Cobaan-cobaan dari Tuhan adalah sebagai kembang donya pengibaratan sebgai bumbu di dalam kehidupan yang tentu akan menghasilkan Durma. Durma sebagai indeks. Setelah melewati cobaan kehidupan, manusia harus lebih mendarmakan diri kepada Tuhan untuk tidak melupakan hal-hal keduniawiaan yang diibaratkan dengan pangkur.. Manusia akan menepati janji suci yaitu dengan datangnya kematian dengan pengibaratan mengatruh walaupun tidak tahu kapan kematian itu akan datang. Kesimpulan gegruitan Tembang 3 M adalah manusia menjalankan siklus kehidupan ada lahir, pernikahan dan kematian. Kesemuanya tidak dapat dihindari, lambat laun manusia akan menjalani hal tersebut karena sudah menjadi takdir atau jalan hidup dari Tuhan.
130
8. Pembacaan Semiotik Geguritan ”Sasmita: Kiwa-Tengen” SASMITA: KIWA-TENGEN ! dak terak daklari dakpecaki batal haram ireng putih tengen kiwane swarga neraka butheg bening kodrat iradat cenges tangis pedhes anyepe kulon wetan pati urip empuk atose adhem panas laras + blero peret lunyu arang kerep sikil sirah enom tuwa pratela nerak ora ? Geguritan ”Sasmita: Kiwa-Tengen” merupakan geguritan yang mengingatkan pembaca supaya untuk tidak melakukan hal yang tidak baik dan menjalankan hal - hal yang baik. Kanan simbol kebaikan sedangkan kiri simbol keburukan. Manusia sebagian besar mesti pernah melakukan kebaikan dan keburukan. Padahal keburukan melanggar norma agama yang berlaku. Batal dan haram merupakan aliran kiri, hitam berpasangan dengan putih. Hitam melambangkan kekacauan dan putih melambangkan ketentraman. tangan kanan melakukan perbuatan yang baik, tangan kanan yang paling aktif melakukan perkerjaan. Tangan kiri mengikuti tangan kanan hanya sebagai
131
pembantu. Tangan kiri biasanya untuk hal yang kotor atau tidak sopan. Begitupun dalam hal agama surga merupakan tempat untuk orang yang menaati perintah Tuhan sedangkan neraka tempat bagi orang yang tidak menjalankan
perintah
agama
dengan
benar.
Butheg
dan
bening,
mengisyaratkan hal yang berlawanan. Butheg adalah terkesan kotor. Bening mengimplementasikan sebagai keadaan yang bersih dan suci. Kodrat menunjukkan indeksikal. Kodrat adalah kehendak Tuhan. Kodrat manusia di dunia ini yakni menaati perintah Tuhan dan menjauhi larangan Tuhan. Iradat dibuat untuk mempertentangkan kodrat. Iradat menimbulkan sisi lain dalam kehidupan ini. Iradat adalah usaha atau ikhtiar yang dilakukan oleh manusia. Cenges melambangkan kegembiraan dan perlawanannya menangis yang berarti kesedihan. Panas dan dingin menjadikan satu kesatuan yang harus bisa dirasakan. Panas menyimbolkan amarah dan harus bisa dikendalikan dengan hawa nafsu mutmainah (kebaikan). Hidup dan mati adalah sebuah kepastian. Setiap manusia akan mengalaminya. Itulah takdir kehidupan. Seperti barat dengan timur yang saling berlawanan. Kesemuanya adalah perlambangan hidup yang harus manusia jalani di dalam kehiduan ini. Kesimpulan dari geguritan di atas adalah setiap manusia pernah melakukan hal-hal yang baik ataupun yang buruk. tetapi, manusia harus bisa untuk meminimalkan untuk melakukan hal yang buruk dan tidak dianjurkan untuk melakukan hal-hal yang menyimpang. Manusia hanya berusaha untuk menjalankan hidup dengan benar dan dijalan Tuhan.
132
9. Pembacaan Semiotik Geguritan ”Siklus; Apa-Ana” SIKLUS: APA-ANA gawe geni-krasa panas gawe bener bisa bener gawe kalam bisa sinulan gawe esem bisa sengsem gawe wirid apa bisa nyanggit tanpa ilat rasane suruh tanpa paes endahe wanita tanpa kaca pangilone jiwa tanpa ukum-kamuse susila tanpa rumus aksara wuta tanpa godha kandele dhadha tanpa bedil tekad kumendhel tanpa jeneng ana jejer ngaluhur ing ngendi sasmita wantah ing ngendi wahyu keplayu ing ngendi pandom bujel ing ngendi-gelar siwer yen tuntunan dadi tontonan, yen drajat tanpa martabat ? Geguritan ”Siklus; Apa-Ana” berbicara tentang apa yang manusia harus lakukan dan hasilnya apa. Pepatah jawa mengatakan sopo nandur bakal ngundhuh (sapa yang menanam bakal menuai). Penyair ingin mengungkapkan kesederhanaan seseorang itu perlu dilakukan dan keterbukaan yang utama. Gawe geni-krasa panas (membuat api terasa panas) artinya bila kita memuat orang lain marah tentunya kita juga akan terkena imbasnya. Lain lagi kalau kita berbuat kebenaran mesti hasilnya akan baik buat semuanya. Ada pepatah mengatakan ”utang budi dibawa sampai mati” maksudnya bahwa kebaikan itu akan dibawa selamanya sampai kematian datang menjemput. Membuat petuah bisa berguna untuk menjalani kehidupan ibarat tersenyum yang membuat
133
orang lain akan jatuh hati. Membuat wirid apa bisa mengarang. Dalam artian wirid adalah hal yang bersifat religius, menyebut asma Tuhan. Melakukan wirid akan membuat hati tenang. Kita akan melupakan sejenak masalah yang sedang merundung dan memikirkan jalan atau solusi yang terbaik yang harus di tempuh. Apa bisa mengarang?. Kita harus saling terbuka mengakui kesalahan yang telah kita perbuat. Tidak harus membuat ceritra lain untuk menutupi kesalahan kita. Pengibaratan lain adalah tanpa ilat rasane suruh (tanpa lidah rasa suruh). Tanpa lidah diartikan harus berterus terang, jangan bersilat lidah. Rasa suruh adalah pait. Bila kita mengakui kesalahan memang terasa berdosa dan tidak mengenakkan. Manusia harus selalu dengan apa adanya, ibarat indahnya perempuan tanpa riasan. Riasan diartikan untuk menyembunyikan keadaan yang sesungguhnya. Setiap manusia harus berinstropeksi diri, mendekatkan diri kepada Tuhan. Manusia harus bisa mengendalikan hawa nafsu tanpa harus ada peraturan yang mengikat, itu menandakan nilai moral seorang manusia. tanpa rumus aksara wuta (tanpa rumus huruf buta). Rumus adalah sebuah kunci, sedangkan buta tidak dapat melihat. Maksudnya setiap manusia harus mempunyai kunci atau rumus untuk bisa menjalani kehidupan ini, kalau tidak manusia tidak akan tahu apa-apa. Keimanan merupakan hal yang paling utama. Walaupun cobaan akan datang bertubi-tubi, harus tetap selalu menerima dengan hati yang terbuka. tanpa bedil tekad kumendhel (tanpa senapan tekad berani). Bedil mempunyai makna
persenjataan
atau
gaman,
kumendhel
merupakan
keberanian
maksudnya manusia harus mempunyai tekad dan berani menghadapi
134
kenyataan hidup yang sesungguhnya, walau tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kepasrahan kepada Tuhan harus selalu dilakukan, agar keluhuran di dalam hidup tercapai. Kesimpulan geguritan yang berjudul Siklus ; Apa-Ana yaitu manusia harus bisa menempatkan diri di dalam kehidupan ini. Jangan sampai hal-hal yang kita lakukan akan melaukai atau kurang berkenan dengan orang lain. pepatah Jawa mengatakan sapa nandur bakal ngundhuh atrinya apa yang kita perbuat sekarang mesti kita akan menuai hasilnya, jadi bila kita menanam hal yang baik mesti kita akan menuai kebaikan atau sebaliknya. 10. Pembacaan Semiotik Geguritan ”Sketsa: Endhog Sapetarangan” SKETSA: ENDHOG SAPETARANGAN Sukmaku nunggal welat sing ketlincut uninga, nalika drijiku natah nasib; dalan iki katon mengkol lan sisip. Dak bringkali ayat-ayat, sepi!! Tinemu endhog sapetarangan. Ora terang nuraniku apa kuwi endhog seka si Bangkok? Seka si Kate, si Jago Kluruk Si Jenggerwilah, si SangGardlima?? Apa pancen Si Blorok nggegem sejumput wadi dadi eman temen O yen endhog kuwi nganti nguwok kanigaya yen nganti kopyak tanpa netes sarta nitis o, apa kowe wis weruh yen endhog iku jejere uripmu kuning nepsu supiah
135
(pengawak Togog) putih dununge nepsu mutmainah (pengawak Semar) klamudan loyang kuwi dadi aluamahmu (ragane Saraita) lan cengkorongane kuwi minangka amarahmu (raga Manikmaya) yen sira isih wuta; golekana endhog susuhe angin ing tengah segara Geguritan ”Sketsa: Endhog Sapetarangan” mengisahkan perjalanan hidup yang berliku-liku, penuh tantangan dan penuh ketidakpastian. Tetapi, kesemuanya mempunyai makna religius yang mendalam. Tokoh-tokoh pewayangan juga dilibatkan di dalam geguritan ini. Bait pertama menceritakan perjalanan hidup manusia yang masih mencari kesejatian hidup. ’si aku lirik’ sebagai pelaku mencoba menjalani hidup dengan sungguh-sungguh. Ketika jiwa ini menyatu kembali si aku lirik mencoba untuk menata kembali kehidupan, walaupun banyak sekali rintangan yang harus dihadapi. ’si aku lirik’ mencoba untuk memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk. Dak bringkali/ayat-ayat, sepi (saya pilah-pilah/ ayat-ayat sepi) diartikan sebagai usaha untuk mencari ketenangan hidup dan mencoba untuk lebih mendekatkan
diri
dengan
Tuhan,
tetapi
malah
kutemukan
endhog
sakpetarangan. Endhog menunjukkan indeksikal. Endhog sapetarangan adalah wujud dari kehidupan ini. ’si aku lirik’ merasa kebingungan apakah ”telur” itu milik si Bangkok, si Kate, si Jenggerwilah atau si Sanggardlima. Kehidupan di dunia membuat manusia untuk selalu menerka dan berusaha mencari sesuatu kebenaran. Tetapi kesemuanya itu adalah menjadi rahasia Tuhan. tokoh ’si aku lirik’ hanya berusaha untuk tidak merusak kehidupan ini,
136
kanigaya yen nganti kopyak/tanpa netes sarta nitis (sayang sekali kalau sampai kocak/ tidak menetas serta menurunkan keturunan). Manusia memiliki bebarapa nafsu yang diantaranya yaitu sufiah, mutmainah, aluamah, dan amarah. Nafsu-nafsu tersebut juga dilambangkan dengan tokoh-tokoh pewayangan yaitu Togog, Semar, Saraita (Bilung anak Togog) dan manikmaya. Nafsu sufiah merupakan raga dari togog. Nafsu sufiah disimbolkan dengan raga togog. Mutmainah merupakan raga dari Semar yang merupakan simbol kemantapan dan keteguhan hati. Aluamah adalah badan dari saraita. Saraita merupakan tokoh pewayangan putra dari togog. Saraita juga merupakan simbol dari nafsu aluamah. Nafsu aluamah menjadikan manusia untuk selalu berbuat kejelekan. Manikmaya merupakan nafsu amarah artinya hawa nafsu yang harus dijauhi untuk mencapai ketentaraman hidup yang sejati. Tokoh ’si aku lirik’ masih memiliki kebimbangan. maka, carilah sarang telur angin ditengah lautan artinya bahwa jangan pernah mengenal putus asa untuk mencari kebenaran dan kehidupan sejati. Kesimpulan dari geguritan di atas adalah manusia harus bisa mengolah hawa nafsu yakni hawa nafsu mutmainah, sufiah, aluamah dan amarah. Kesemua hawa nafsu tersebut harus dikelola dengan baik. Nafsu mutmainah dan nafsu sufiah adalah nafsu yang harus diutamakan karena merupakan hawa nafsu untuk kebaikan sedangkan amarah dan aluamah harus bisa dihindari supaya tidak mendapatkan keburukan atau hal yang tidak baik. Kesimpulan keseluruhan dari kesepuluh geguritan karya Suwardi Endaswara adalah setiap manusia akan mengalami perubahan-perubahan di
137
dalam hidupnya, dari perubahan fisik sampai kepada perubahan batin. Tetapi keadaan tesebut tidak akan membuat patah semangat seseorang untuk selalu mengabdi kepada Tuhan. Pengibaratkan seperti warna rambut yang dulu hitam menjadi putih. Kehiduan di Dunia mengalami perputaran dalam artian datang dan pergi silih berganti. Ada kematian dan ada kelahiran. Manusia tidak dapat mengetahui kapan dunia ini akan berakhir, yang bisa manusia lakukan adalah selalu mendekatkan diri kepada Tuhan. Tuhan telah menciptakan ciptaannya dengan berpasang-pasangan. Laki-laki dengan perempuan, langit dengan bumi, kanan dengan kiri, surga dengan neraka dll. Manuisa harus bisa menerima dan menyadari itu, walaupun bertolak belakang tetapi kesemuanya dapat saling melengkapi satu dengan lainnya. Kehidupan ini merupakan sebuah teka-teki yang harus bisa dijawab dan dijalani. Banyak sekali rintangan dan cobaan yang harus bisa disingkirkan, jangan sampai ada rasa kebimbangan dan keragu-raguan untuk menentukan arah yang akan dilalui walaupun harus dilalui dengan perlahanlahan. Manusia harus bisa introspeksi diri dan mengenal sifat-sifat Tuhan supaya diberikan kemudahan dalam menjalankan kehidupan ini. Berbagai persoalan hidup harus bisa diselesaikan dengan baik, oleh karena itu manusia harus
menumbuhkan semangat dan keyakinan. Jangan sampai ada rasa
keputusasaan yang berkepanjangan. Manusia hidup di Dunia hanya menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan Tuhan, selebihnya hanya sebagai bumbu di dalam kehidupan ini. Manusia sendiri yang bisa menentukan dan Tuhan hanya
138
sebagai hakim yang memutuskan manusia itu berhak ke surga atau ke neraka. Dengan demikian manusia harus berbuat kebaikan dan meminimalkan berbuat keburukan. Mistik Islam atau kepercayaan agama Jawa Islam meliputi empat hal yang utama yakni pertama sangkan paraning dumadi, asal penciptaan, segala sesuatu yang bersifat illahiah. Konsep tersebut mengajarkan bahwa Tuhan ada dimana-mana (omnipresent) atau dalam konsep senada panteisme. Kedua ajaran tentang manunggaling kawula lan Gusti, menyatunya hamba dengan Tuhan. Konsep terpenting dari ajaran ini adalah suatu tujuan untuk manunggal dengan cara membebaskan diri dari nafsu-nafsu duniawi, yang kesemuanya dianggap semu karena yang abadi hanyalah Gusti. Tahapan kemanunggalan tertinggi adalah atman, yang dalam konteks tertentu dapat disamakan dengan brahman, atau dalam bahasa mistisisme islamnya ana al-Haqq. Ketiga, ajaran tentang etika merupakan ajaran tentang kepatutan dan ketidakpatutan, kecocokan atau tidak kecocokan. Ajaran ini banyak diperkenalkan dalam serat Wulangreh dan serat Wedhatama. Keempat ajaran tentang okultisme adalah ajaran tentang ilmu kadigdayaan, jaya kewijayaan, kesaktian. Pada umumnya ajaran ini berguna dalam pergaulan sesama manusia. (Aprinus Salam, 2004: 88-89).