BAB III
TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan teknologi in vitro merupakan salah satu upaya peningkatan kualitas produksi cendawan mikorhiza arbuskula (CMA). Teknologi in vitro adalah teknologi perkembangan mikroorganisme steril dalam laboratorium, dengan media khusus dikond usifkan untuk pertumbuhannya (Sarin 1996, Yatim 1999). Kultur aksenik adalah biakan mikroorganisme steril dan murni (Abercrombie et al. 1993, Anonimus 2006 a). Beberapa aspek diuraikan guna mendukung penelitian pemanfaatan teknologi in vitro untuk perkembangan spora Gigaspora margarita dan Acaulospora tuberculata, yaitu aspek teknologi akar rambut oleh Agrobacterium rhizogenes, aspek perkembangan CMA kultur pot dan kultur aksenik CMA in vitro, serta enkapsulasi spora.
A. Agrobacterium rhizogenes A.1. Karakteristik A. rhizogenes. A.
rhizogenes
bakteri
Gram
negatif
termasuk
dalam
kelompok
Rhizobiaceae, hidup di tanah, bersifat aerobik, tidak membentuk spora, motil dan berbentuk batang. Agrobacterium dapat mentransfer T-DNA ke dalam genom tanaman. DNA terintegrasi
stabil pada kromosom tanaman dan mampu
mengubah susunan genetik tanaman, diturunkan ke sel anak dan ekspresi gen TDNA menimbulkan penyakit akar rambut. T-DNA berukuran sekitar 15-30 kb dan memiliki beberapa gen (Twyman 1998). T-DNA terdiri dua bagian yaitu TL dan TR. TR-DNA mengandung gen untuk biosintesis auksin dan membawa gen penyandi sintesis opin, yaitu asam amino derivatif yang tidak ditemukan dalam jaringan normal. Opin dimanfaatkan oleh Agrobacterium sebagai sumber karbon dan nitrogen (Lebowitz 1995). TLDNA mengkode satu set gen lokus, yaitu gen rol A, rol B dan ro1 C. Daerah TLDNA lebih penting menginduksi akar rambut karena gen tersebut menginduksi akar, dan berperan terhadap fenotip akar. Gen TL-DNA selalu ditemukan dalam
12
akar transformasi, sedang gen TR-DNA mengkode biosintesis opin dan auksin meskipun tidak selalu ditemukan (Nasir 2002).
Gambar 2. Plasmid Ri (Jacobsen 2004)
A.2. Transformasi gen oleh A. rhizogenes Sheng & Citovsky (1996) menyatakan bahwa tiga komponen genetik harus dimiliki oleh Agrobacterium untuk melaksanakan transfer T-DNA yaitu: 1) T-DNA ditransfer ke tanaman, 2) berbagai gen virulensi (vir) terdiri atas vir A, vir B, vir D dan vir G berfungsi untuk proses terjadinya transfer T-DNA dari bakteri ke tanaman, vir C dan vir E meningkatkan efisiensi transfer T-DNA ke sel tanaman dan,
3)
beberapa
gen
pada
kromosom Agrobacterium
yaitu
Chromosomal virulence (chv) terdiri dari chv A dan chv B, sebagai penyandi enzim untuk sintesis dan ekspresi β-1,2 glukan dari sel Agrobacterium berfungsi untuk pelekatan bakteri ke dalam sel tanaman. Gelvin (2000) menyatakan sedikitnya terdapat tujuh langkah dalam proses transfer molekul T-DNA sel Agrobacterium ke sel tanaman yaitu : 1) pengenalan sel tanaman rentan, 2) induksi ekspresi gen vir, 3) kopi T-DNA yang ditransfer, 4) transfer kompleks T-DNA ke dalam membran bakteri, 5) transfer kompleks TDNA membran bakteri ke sitoplasma tanaman, 6) tranfer kompleks
T-DNA
sitoplasma tanaman ke membran inti, dan 7) integrasi T-DNA ke dalam genom inti tanaman (Zambryski 1998). Proses transfer T-DNA sel Agrobacterium ke sel tanaman (Gambar 3) Winans (1992) menyatakan bahwa proses inisiasi transfer T-DNA diawali pengenalan Agrobacterium terhadap sel tanaman luka. Interaksi ini merupakan
13
respons kemotaksis terhadap metabolit, dikeluarkan oleh sel tanaman luka berupa monosiklik fenolik seperti asetosiringon dan monosakarida seperti glukosa dan galaktosa, dan Agrobacterium akan bergerak aktif menuju sel tanaman. T-DNA ditransfer lebih dari satu molekul T-DNA, situs kromosom
integrasi
T-DNA
pada
tanaman bersifat acak, dan T-DNA akan terintegrasi stabil pada
kromosom tanaman (Giri & Narasu 2000). Senyawa metabolit dikeluarkan oleh sel tanaman luka, berfungsi sebagai inducer mengaktifkan gen vir. Senyawa gula dan pH bersifat asam merupakan faktor penting dalam proses induksi gen vir, di samping senyawa asetosiringon (Baron & Zambryski 1995). Mekanisme selanjutnya induksi faktor vir mengatur pemotongan dan pemindahan T-DNA ke dalam sel tanaman. Faktor vir terinduksi akibat senyawa fenol yang dikeluarkan oleh tanaman yang dilukai. Beberapa senyawa fenol dapat menginduksi faktor vir yaitu asetosiringon, hidroksi asetosiringon, konifenil alkohol, koniferin (feniproponoid glukosida) dan etil firulat (Winans 1992). Apabila asetosiringon tidak diproduksi, monosakarida seperti glukosa, galaktosa, arabinosa, fr uktosa dan silosa menginduksi faktor vir (Cangelosi et al. 1989). Terdapat enam faktor virulens diketahui berfungsi untuk proses pemindahan T-DNA, yaitu vir A, vir B, vir C, vir D, vir E dan vir G. Senyawa fenolik dikeluarkan menginduksi vir A memproduksi suatu protein vir A. Protein vir A mengalami autofosforilasi dan menginduksi fosforilasi protein vir G. Selanjutnya potein vir G mengaktifkan gen vir lain. Produk berupa protein vir D1, dan vir D2 memotong T-DNA pada daerah flanking (daerah susunan DNA berulang). Daerah tersebut sebagai pembatas kiri (left border) dan pembatas kanan (right border) T-DNA. Komponen pembatas kanan mutlak diperlukan dalam transfer T-DNA. Adanya pemotongan gen vir D menyebabkan terbentuk molekul DNA utas tunggal (ss-DNA) atau disebut T-strand. Struktur T-strand ditransfer sel Agrobacterium ke sel tanaman berupa DNA-protein kompleks (Powell et al. 1989). Transportasi kompleks T-DNA ke sel tanaman dibantu oleh vir D4, 11 protein vir B dan hidrolisis ATP. Protein vir B akan membentuk pori trans membran yang berhubungan dengan sel tanaman.
vir D2
dan vir E2
memungkinkan masuknya kompleks T-DNA ke inti sel melalui nuclear pore
14
complex (NPC). T-DNA berintegrasi dengan genom tanaman dan ekspresi gen membentuk opin dan hormon pertumbuhan menyebabkan terjadinya proliferasi akar melimpah pada bagian tanaman terinfeksi (Baron & Zambryski 1995).
O
Transfer T -D N A dari A.rhizogenes ke tanaman
C
CH3
Asetosiringon pH asam Gula
OCH3
OCH3 OH
Pelukaan
Integrasi
Vir A
Hairy root
Vir G
Plasmid R i
Opine Induksi gen vir
Vir D4 Eksisi ATP TDNA Vir D2
Vir E 2
NPC Sitoplasmik transport
Vir B Reseptor tanaman
Sitokinin Auksin
A.rhizogenes S e l Tanaman
Gambar 3. Mekanisme transfer T-DNA Agrobacterium ke dalam sel tanaman (Gelvin 2000) A.3. Ekspresi T-DNA pada genom tanaman T-DNA mengandung gen berperan biosintesis senyawa opin yaitu turunan gula dan asam amino. Opin diekskresikan tanaman ke lingkungan, dan dimetabolisasi oleh Agrobacterium. Opin dimanfaatkan Agrobacterium sebagai sumber karbon dan nitrogen. Tujuan Agrobacterium menginfeksi sel tanaman adalah untuk mensintesis senyawa opin (Nillson & Olsson 1997). Selain gen sintesis opin, T-DNA mengandung onkogen yaitu gen penyandi pembentukan hormon pertumbuhan auksin dan sitokinin. Integrasi T-DNA di dalam kromosom tanaman mengakibatkan ketidak seimbangan hormon sel tanaman, sehingga terjadi over produksi hormon. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan sel tidak terkontrol, dan ekspresi gen tersebut membentuk akar rambut.
15
A.4. Faktor yang mempengaruhi kultur akar rambut Faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan akar rambut antara lain, medium tumbuh, nutrisi,
lingkungan biotik dan abiotik.
Medium tumbuh di
dalam kultur jaringan ada tiga jenis yaitu padat, semi padat dan cair. Medium tumbuh harus dicukupi unsur makro dan mikro nutrien, baik kualitatif maupun kuantitatif tergantung keadaan fisiologi jaringan atau eksplan yang dikultur. Susunan nutrien, tekanan osmosis dan kekuatan ion timbul di dalam sel berpengaruh pada pertumbuhan akar rambut (Sikuli & Demeyer 1997). Ernawati (1990) memperoleh media terbaik perangsang pertumbuhan akar rambut P. tinchlorium. Ait., pada media Marashige dan Skoog (MS) (1962) yang mengandung 2mM NH4 NO3 1650 mg/l. Di samping itu dengan penurunan unsur fosfor media dapat meningkatkan kandungan flavonoid. Vitamin sering digunakan dalam kultur jaringan, di antaranya tiamin (vitamin B1 ), asam nikotinat (niasin) dan pyridoksin (B6). Vitamin berfungsi sebagai koenzim dalam metabolisme karbohidrat dan protein. Kecuali susunan medium buatan, pilihan penggunaan medium padat atau cair menentukan keberhasilan suatu kultur tumbuhan. Pilihan medium padat atau cair umumnya dilakukan sesuai kebutuhan dan tujuan penelitian serta fasilitas yang tersedia (Gunawan 1992). Lingkungan tumbuh mencakup suhu, kelembaban udara, pH dan cahaya, berpengaruh pada pertumbuhan kultur akar rambut. Lingkungan tumbuh optimum untuk pertumbuhan kultur akar bervariasi antar spesies. Toivonen et al. (1992) memperoleh pertumbuhan akar rambut Catharanthus roseus paling cepat apabila dikulturkan pada suhu 32 o C dibandingkan dengan suhu 19,5 o C dan 24 o C. Pada kedua suhu tersebut akar berwarna cokelat dan terbentuk kalus. Selain gen penyandi sintesis auksin dan sitokinin di dalam sel akar rambut, gen tersebut adalah gen ipt berasal dari transformasi bakteri A. rhizogenes dan rantai samping isopentil asam mevalonat. Biosintesis zeatin terutama terjadi di ujung akar dalam bibit yang berkecambah. Translokasi zeatin terutama melalui xilem (Wattimena 1992). Sitokinin sintetik terdiri dari zeatin, benzil adenin purin (BAP), 2- iP, dan Kinetin.
16
B. Cendawan Mikorhiza Arbuskula (CMA) B.1. Struktur umum CMA Mikorhiza merupakan asosiasi cendawan dengan akar tanaman dalam bentuk simbiosis. Pada kondisi alami, hampir sebagian besar tanaman darat di dunia bersimbiosis dengan mikorhiza. Namun, CMA adalah tipe mikorhiza paling umum dijumpai sekitar 80% spesies tanaman darat (de-Souza 2005, Heijden & Sanders 2002, Smith & Read 1997). Pada saat ini sudah diakui secara luas peran penting simbiosis mikorhiza pada ketersediaan hara tumbuhan. Pada pertanian berkelanjutan, simbiosis CMA dengan tanaman memainkan peran kunci membantu tidak hanya ketahanan hidup tanaman, tetapi menjadikan lebih produktif pada kondisi tanah marjinal (Jeffries et al. 2003) Banyak sekali jenis CMA dalam tanah, misalkan Gigaspora margarita dan Acaulospora tuberculata. CMA tersebut telah diteliti untuk tanaman perkebunan dan buah di antaranya adalah, kelapa sawit, kakao (Widiastuti 2004, Baon 1995), dan tanaman
manggis
(Lucia 2005). CMA tersebut digunakan untuk
perkembangan in vitro, yaitu G. margarita dan A. tuberculata.
A
A
B
D
C
D
Gambar 4. Spora CMA genus Acaulospora dan Gigaspora (Lucia 2005). A. Acaulospora tuberculata, B. Acaulospora rehmi, C. Gigaspora microsporophora, D. Gigaspora margarita
17
B.2. Karakteristik interaksi CMA dan simbion Genus Gigaspora dan Acaulospora, merupakan CMA yang mempunyai ciri specifik yaitu, Gigaspora dengan bulbus suspensor, dan substanding hifa (sporophore), dinding luar terdiri dari satu lapis, dan halus. Sedang ciri specifik Acaulospora adanya hyphal terminus, pada spora matang terdapat lubang kecil disebut ciatrik, sebagai penghubung spora dan hifa terminus. Dinding luar terdiri tiga lapis, dan permukaan kasar seperti kulit jeruk (Gambar 3). Kedua genus tersebut disebut azygospora, karena spora terbentuk tidak langsung, berasal dari hifa, tetapi spora berkembang dari suspensor (Delvian et al. 2001, Lucia 2005).
B.3. Mekanisme infeksi CMA Sebelum terjadi infeksi, spora CMA berkecambah dan terjadi pertumb uhan hifa. Selanjutnya terjadi kontak antara hifa dengan permukaan akar inang dan menghasilkan apresoria. Jaringan akar yang terinfeksi akan membentuk hifa interseluler dan intraseluler, hifa eksternal, dan arbuskula. Sedang beberapa spesies lain membentuk vesikula. Jaringan akar spesifik seperti epidermis dan korteks membentuk koloni, karena CMA tidak mempunyai enzim untuk degradasi lignin dan suberin. Secara umum proses infeksi CMA akar tanaman melewati empat tahap yaitu, 1) induksi perkecambahan spora dan pertumbuhan hifa, 2) kontak hifa dan permukaan akar, menyebabkan pengenalan dan pembentukan apresorium, 3) penetrasi hifa ke dalam akar, dan 4) perkembangan struktur arbuskula internal, sehingga terjadi simbiosis fungsional (Bonfante & Perotto 1995). Mekanisme infeksi akar, baik secara in vitro maupun konvensional (in vivo) hampir tidak berbeda. Perbedaan hanya pada perlakuan inokulum, untuk in vitro proses sterilisasi permukaan spora, dan stratifikasi pendinginan untuk mencegah dormansi, sedang untuk in vivo tanpa melalui proses tersebut. Untuk spora in vitro spora yang dihasilkan steril, dan sebaliknya secara konvensional sering tercemar. Juge et al. (2001) menyatakan bahwa perawatan dengan stratifikasi dingin dapat memecahkan spora dorman, dan perawatan tersebut tidak hanya mempengaruhi perkecambahan spora, tetapi dapat mempercepat pemecahan tabung perkecambahan, sehingga mampu mendorong percepatan perkecambahan
18
sampai 14 hari. Sumber karbon di dalam kultur pot berasal dari hasil fotosintesis, sedang pada sistem in vitro bersumber pada metabolisme proses siklus glikolisis.
B.4. Induksi perkecambahan spora dan pertumbuhan hifa Beberapa peneliti mengemukakan bahwa eksudat akar mempengaruhi perkecambahan spora dan pertumbuhan hifa, yaitu pembengkakan dan percabangan hifa (Giovannetti et al. 1993). Orcutt & Nielsen (2000) mengelompokkan
senyawa
organik
yang
dikeluarkan
akar
berdasarkan
pergerakannya di tanah ke dalam tiga kelompok yaitu 1) larut air dan berdifusi, 2) volatil dan berdifusi, dan 3) tidak dapat berdifusi. Kemampuan eksudat akar volatil menarik tabung perkecambahan lebih tinggi dibandingkan dengan yang larut air, sebab eksudat volatil dapat menarik tabung perkecambahan pada jarak lebih dari 10 mm, sedang eksudat yang larut air aktivitas biolo ginya hilang pada jarak 1 mm. Selanjutnya ditunjukkan bahwa eksudat volatil bukan berasal dari inang yang menghambat perkecambahan spora CMA. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa eksudat akar tanaman inang tidak hanya menstimulasi pertumbuhan hifa, tetapi juga memberikan pengaruh morfogenetik terhadap cendawan. Beberapa flavonoid seperti kuersetin yang terdapat dalam eksudat akar dapat menginduksi perkecambahan spora dan pemanjangan hifa Glomus etunicatum (Tsai & Phillips 1991). Selanjutnya Bécard et al. (1995) mengemukakan bahwa sebagian besar metabolit termasuk flavonoid menstimulasi pertumbuhan CMA, walaupun dalam
pengembangan simbiosis
flavonoid tidak diperlukan lagi. Isoflavon sebagai molekul penanda dalam simbiosis CMA dengan tanaman dapat menginduksi pertumbuhan hifa, percabangan, dan diferensiasi serta penetrasi hifa ke sel inang, karena mempengaruhi permiabilitas membran akar. Pinior et al. (1999) mengemukakan bahwa eksudat akar paling sedikit terdapat dua sinyal yaitu 1) sinyal untuk panjang hifa jumlah menurun pada tanaman bermikorhiza, dan 2) sinyal pertumbuhan hifa terdapat baik pada tanaman bermikorhiza maupun tidak bermikorhiza. Konsentrasi P dan genotip tanaman dapat mempengaruhi kemampuan eksudat akar dalam menarik tabung perkecambahan. Pinior et al. (1999) mengemukakan bahwa, terdapat perbedaan
19
baik secara kuantitatif maupun kualitatif komponen eksudat akar tanaman yang tidak dipupuk P dan dipupuk P. Pada konsentrasi P eksternal rendah, jumlah eksudat lebih banyak bila dibandingkan dengan keadaan P tinggi. Hubungan antara tingkat efisiensi P empat kultivar jagung dan kemampuan menarik tabung perkecambahan menunjukkan, bahwa kultivar efisien kurang mampu menarik tabung perkecambahan spora, sedang kultivar tidak efisien lebih mampu menarik tabung perkecambahan (Suriyapperuma & Koske 1995).
B.5. Pembentukan apresorium Hasil penelitian Giovannetti et al. (1993, 1994, 1995), dan Nagahashi et al. (1995) menunjukkan bahwa tanaman mengeluarkan sinyal kimia dalam bentuk eksudat akar yang penyebabkan perubahan morfologi hifa, berupa proliferasi dan percabangan hifa sebelum pembentukan apresorium. Sinyal ini tidak diinduksi oleh cendawan, namun merupakan komponen konstitutif eksudat inang (Nagahashi et al. 1995). Perkembangan hifa ekstensif berasosiasi dengan akar tanaman inang, menyebabkan terbentuknya apresorium. Apresorium merupakan ujung hifa berbentuk elips, rata dan terbentuk pada permukaan akar inang.
B.6. Mekanisme penetrasi hifa ke dalam akar Mekanisme penetrasi hifa ke dalam akar sistem pot (konvensional) dengan sistem in vitro tidak berbeda, yaitu diawali dengan induksi perkecambahan spora dan pertumbuhan hifa, serta pengenalan inang diawali dengan pembentukan apresorium. Tetapi mekanisme penetrasi hifa ke dalam akar berbeda dengan patogen, proses infeksi cendawan dicirikan dengan produksi enzim pendegradasi dinding sel, dalam jumlah kecil dan terkontrol. Infeksi G. mosseae menghasilkan enzim pendegradasi dinding sel seperti pektinase dan selulase (Garcia et al. 1991). Kitinase dan kalkonsintetase terdapat pada Phaseolus vulgaris, peroksidase dan kitinase pada Allium porrum. Rendahnya produksi dan adanya lokalisasi enzim, memungkinkan viabilitas sel inang tetap terjaga dan mekanisme pertahanan tidak terinduksi, sehingga terjadi kompatibilitas (Saizer & Boller 2000).
20
Penetrasi CMA ke jaringan inang di samping secara enzimatis juga secara mekanik. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya tekanan dihasilkan oleh apresorium. Tekanan mekanis menyebabkan cendawan mampu menembus dinding sel khususnya me lalui pembentukan kaki penetrasi. Beberapa komponen dinding sel seperti, melanin berperan penting dalam meningkatkan tekanan hidrostatik,
karena komponen dinding sel tersebut menangkap cairan dalam
apresoria, dapat menyebabkan terjadinya peningkatan gradien osmose dan penyerapan air (Bonfante & Perotto 1995). Apresoria menghasilkan hifa cenderung tumbuh di antara sel epidermis dan tidak memotong dinding luar. Masuknya apresoria ke dalam akar, terbentuk hifa interseluler tumbuh dalam saluran banyak udara (Brundrett & Kendrick 1990). Memotong dinding sel korteks menjadi hifa intraseluler, menghasilkan kaki penetrasi dan hanya sedikit menyebabkan perubahan struktur dinding sel inang (Bonfante & Vian 1989). Sedikitnya perubahan struktur dinding sel inang menunjukkan penetrasi CMA ke akar merupakan kombinasi mekanik dan enzimatis (Bonfante & Perotto 1995). Di sisi lain penetrasi CMA ke akar tanaman melakukan serangkaian mekanisme pertahanan. Salah satunya adalah dengan akumulasi protein berkaitan dengan patogenesis melalui aktivitas antimikroba. Enzim yang berkaitan dengan pertahanan tanaman seperti kitinase dapat dilawan dengan penyebaran hifa cendawan. Kitinase berperan dalam melawan cendawan patogen melalui reaksi hidrolisis (Pozo et al. 2002). Infeksi mikorhiza akar tanaman meningkatkan kemampuan menyerap hara terikat, tidak tersedia bagi tanaman, dan meningkatkan kemampuan menyerap air, sehingga tanaman dapat hidup baik pada kondisi tanah kering (Jeffries et al. 2003). Mekanisme penyerapan hara pada tanama n terinfeksi CMA adalah bertambah luas permukaan absorbsi dan meningkatkan volume daerah penyerapan hifa eksternal, serta kemampuan hifa lebih tinggi mengabsorbsi zat makanan dibandingkan dengan bulu akar (Abbott et al. 1992). Kondisi demikian menyebabkan tanaman bermikorhiza mampu menyerap hara lebih banyak dan lebih baik dibandingkan dengan tanaman tidak bermikorhiza.
21
Secara umum peningkatan pertumbuhan tanaman bermikorhiza disebabkan oleh penyerapan P, khusus dari sumber P tersedia. Selain daya jelajah hifa sangat tinggi dibandingkan dengan akar, mikorhiza mampu meningkatkan enzim fosfatase, yang berfungsi menguraikan unsur P terfiksasi atau terikat. Selain itu diameter hifa sangat kecil (2–4 µm) menyebabkan daya terobos lebih besar (Bolan 1991, Marschner & Dell 1994). Marschner & Dell (1994) menyatakan bahwa pengambilan dan tansport N15 oleh hifa pada tanaman seledri, menunjukkan peningkatan N total sebesar 2,5 % dan 3,5 % setelah 30 hari. Kondisi ini terjadi pada tanaman bermikorhiza. Arbuskula adalah struktur paling berarti dalam CMA berfungsi komplek sebagai tempat pertukaran metabolit antara cendawan dan tanaman. Bonfante & Scannerini (1992) menyatakan bahwa arbuskula sangat penting untuk identifikasi terjadinya infeksi pada akar tanaman. Seluruh endofit termasuk genus Gigaspora, Scutellospora, Glomus, Sclerocystis, dan Acaulospora mampu membentuk arbuskula. Vesikula menurut Abbott & Gazey (1994) berbentuk globus berasal dari gelembung hifa internal CMA. Vesikula ditemukan baik di dalam maupun di luar lapisan kortek parenkhim, dan tidak semua CMA membentuk vesikula dalam akar inang. Pada umumnya vesikula berfungsi sebagai organ reproduktif atau organ tempat menyimpan makanan, kemudian diangkut ke dalam sel dimana metabolisme berlangsung. Pendapat la in menganggap vesikula sebagai organ istirahat, karena jumlahnya meningkat pada saat tanaman tua atau tanaman menuju kematian (Abbott & Gazey 1994, Bonfante & Vian 1989).
B.7. Perubahan struktur cendawan dan tanaman selama proses infeksi Pengamatan morfologi menunjukkan terjadinya perubahan struktur CMA ekstensif selama proses infeksi dan pembentukan arbuskula. Pembentukan arbuskula diawali dari suatu struktur batang, selanjutnya pada batang terjadi percabangan hifa, dan tipe percabangannya dipengaruhi oleh tanaman inang. Analisis morfologi dan morfometrik menunjukkan bahwa arbuskula melengkapi perkembangannya dalam 2,5 sampai 4 hari (Alexander et al. 1989). Selanjutnya akan hancur membentuk gumpalan (Bonfante 1994). Aari et al. (2003)
22
mengemukakan bahwa umur arbuskula Scutellospora, Acaulospora dan Glomus caledonium berkisar antara 16 hari. Pengujian ultra struktur menunjukkan bahwa sebagian besar modifikasi terjadi pada bagian sel cendawan, seperti dinding sel secara progresif menjadi lebih tipis dengan adanya infeksi di akar dan sitoplasma (Bonfante & Scannerini 1992). Selain itu aktivitas enzimatis cendawan spesifik dimulai selama infeksi jaringan tanaman seperti ekspresi alkalin fosfatase. Bagaimanapun juga, mekanisme pengendali diferensiasi struktur CMA khususnya arbuskula belum dikenal. Ruang interfase adalah tempat terjadinya pertukaran hara dua arah (Smith & Smith 1990). Hasil analisis aktivitas ATPase menunjukkan bahwa kemungkinan membran di sekitar cendawan (perifungi) sangat berperan dalam transport hara. Sebagian aktivitas ini disebabkan adanya H+/ATPase terdapat di membran perifungi mengalami invaginasi di sekitar arbuskula. Membran cendawan merupakan bagian penting karena pada bagian ini terjadi transfer dua arah antara tanaman dan cendawan. Menurut Gianinazzi-Pearson (1994), berdasarkan konsistensi aktivitas H+/ATPase, pertukaran terjadi baik pada interfase arbuskula maupun interfase dinding sel korteks dan hifa interseluler. Adanya aktivitas H+ /ATPase mencirikan simbiosis mutualisme,
sebagaimana
dijumpai membran tanaman sekitar bakteri bintil akar. Hal ini tidak dijumpai pada membran haustoria di sekitar interaksi patogen-tanaman (Bonfante & Perotto 1995).
B.8. Peningkatan serapan P tanaman sebagai respons kolonisasi CMA Eksploitasi fisik difasilitasi oleh kecilnya diameter hifa yaitu berkisar 2-15 µm (Friese & Alien 1991) dengan rata rata 3-4 µm (O'Keefe & Sylvia 1992). Ukuran hifa lebih cocok untuk memanfaatkan P di ruang pori mikro tanah yang tidak dapat dicapai oleh akar dan rambut akar (diameter >10 µm). Selain itu, hifa juga dapat menyerap air. Hanya pori kurang dari 20 µm dapat diisi air pada kapasitas lapang dengan kandungan liat 70 % (O'Kefee & Sylvia 1992). Smith et al. (2003) menyatakan bahwa simbiosis CMA dengan tanaman dapat menyediakan jalur dominan penyediaan P tanaman.
23
Serapan P oleh hifa sangat dipengaruhi oleh jarak dan kualitas hifa. Semakin dekat hifa terhadap sumber P, maka serapan P semakin tinggi demikian pula hifa yang matang akan lebih mampu menyerap P dibandingkan dengan hifa belum matang. Bago (2004) menyatakan bahwa morfogenesis, arsitektur, percabangan,
struktur
penyerapan,
dan
sporulasi
miselia
ekstraradikal
dipengaruhi oleh senyawa kimia dalam medium. Respons ditimbulkan dengan adanya PO4 3- sama dengan respons yang ditumbuhkan pada medium agar murni, yaitu hifa jelajah (hifa runner) meluas secara radial di sekitar koloni. Sedangkan adanya NO3- akan menambah jumlah hifa runner meningkatkan percabangan struktur penyerapan, meningkatkan jumlah spora dan derajat kebasaan. Pemberian NH4 + berlebih menyebabkan penurunan sporulasi, dan induksi perubahan morfologi. Peningkatan ketersediaan P organik kemungkinan berkaitan dengan produksi fosfatase asam dan alkalin CMA di rhizosfir maupun hifosfer yang diinokulasi G. mosseae (Tarafdar & Marschner 1994). Namun pada medium yang diinokulasi G. caledonium dan G. inverinaium dengan penambahan 1 % bahan organik tidak terjadi peningkatan fosfatase. Hifa eksternal CMA dapat menghasilkan fosfatase yang berperan dalam mineralisasi P organik secara langsung (Joner & Johansen 2000) ataupun tidak langsung (Joner et al. 1995). Hasil penelitian Joner & Johansen (2000) me nunjukkan bahwa hifa eksternal Glomus intraradices dan Glomus claroideum mampu menghasilkan fosfatase. Mekanisme transport senyawa P dalam CMA atau mekanisme efluks P pada cendawan masih belum banyak diketahui. Pi dan P organik (seperti polifosfat) melalui aliran sitoplasma dibawa dalam cendawan atau dengan aliran bongkahan ke akar tanaman dari hifa eksternal yang terdapat di tanah. Menurut Smith & Read (1997) fosfat dimasukkan ke dalam vakuola dan diubah menjadi polifosfat oleh polifosfat-kinase dan ditransport ke interfase simbiotik. Pi adalah bentuk utama efluks cendawan melewati membran interfase, dan membran ini merupakan kunci translokasi P cendawan ke inang (Jakobsen et al. 1992).
Tanaman
bermikorhiza mengalami peningkatan serapan N khususnya pada tanah dengan tingkat hara rendah (Cruz et al. 2004). Perubahan atau kenaikan kapasitas serapan hara tergantung pada perubahan morfologi akar.
24
C. Kultur Aksenik CMA secara in vitro Kultur aksenik CMA adalah kultur CMA tidak terkontaminasi mikroba lain disebut biakan murni dan atau steril (Abercrombie et al. 1993, Anonimus 2006 a). Di Indosesia teknik tersebut belum dikembangkan, sehingga inovasi produksi CMA asli Indonesia perlu dilakukan. Kultur aksenik merupakan salah satu inovasi untuk meningkatkan kualitas produksi spora, maupun spora CMA yang dihasilkan. Produksi spora masal kultur aksenik in vitro umum menggunakan inang akar rambut, tetapi juga dapat dilakukan dengan eksplan tanaman untuk penyediaan inokulum, dan teknik tersebut berpotensi dikembangkan (Becard & Piche 1992, Becard & Fortin 1988, Dalpe & Declerck 2002). Tidak semua CMA dapat dikembangkan dengan kultur tersebut, namun pada umumnya Glomus dan Gigaspora, Acaulospora rehmii (Dalpe & Declerck 2002) dan Scutellospora (de-Souza 2005). Kultur aksenik secara in vitro dengan menggunakan akar rambut dapat digunakan sebagai alat penyederhanaan dalam mempelajari tahapan CMA bersimbiosis. Fortin et al. (2002) menyatakan bahwa akar rambut telah digunakan sebagai terobosan baru ke arah interaksi langsung CMA dan jasad renik tanah, pengambilan bahan nutrisi oleh CMA (Jolicoeur 2002, Bago et al. 2000, Toussaint 2002), meningkatkan produksi CMA dan propagul (Jolicoeur 1999). Pada umumnya percobaan secara in vitro dilakukan dengan menggunakan akar rambut wortel (Becard & Fortin 1988), akar rambut arbei (Nuutile et al. 2001) dan tomat (Khaliq & Bagyaraj et al. 2000). Untuk kultur aksenik CMA diperlukan informasi tentang beberapa hal yang berpengaruh terhadap kultur aksenik yaitu sterilisasi spora, dan produksi spora CMA in vitro.
C.1. Sterilisasi spora CMA Hal penting dalam perbanyakan spora secara in vitro di antaranya adalah sterilisasi spora. Ada beberapa tahap penting dalam pelaksanaan sterilisasi spora, di antaranya jenis sterilan, sumber spora dan teknik sterilisasi. Sumber spora umum diperoleh dari kultur pot terbuka, sehingga kontaminasi mikroorganisme lain sangat tinggi. Hal tersebut menyebabkan permukaan spora harus disterilkan.
25
Fortin et al. (2002) menyatakan bahwa sterilisasi permukaan spora sangat penting untuk keberlanjutan pertumbuhan dan perkembangan spora secara in vitro, atau penyediaan kultur aksenik CMA. Pada umumnya penggunaan bahan sterilan dari beberapa metode memberikan hasil kurang memuaskan. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat kontaminasi sangat tinggi. Dalam waktu singkat hampir semua kultur terkontaminasi oleh bakteri. Frances et al. (1996) memperlihatkan permukaan spora belum disterilisasi memberikan kenampakan permukaan berlendir, membentuk pupil atau tonjolan mengkilat diindikasikan bakteri. Bakteri tersebut menempel di permukaan spora, namun ada beberapa bakteri yang tinggal di dalam dinding spora. Kondisi ini menyebabkan sulit memperoleh spora steril. Will & Sylvia (1990) melaporkan bahwa organisme yang berhubungan dengan permukaan spora CMA dapat saling merangsang, dapat pula menghalangi dan atau menunda perkecambahan spora. Pada prinsipnya sterilisasi dilakukan untuk membersihkan permukaan spora, dilanjutkan dengan membunuh mikroba dalam epidermis CMA dengan antibiotik. Namun ada beberapa sterilan menggunakan perlakuan menekan terjadinya dormansi spora. Buce et al. (2000) menggunakan MgSO4 .7H2 O 0,1 % dan Tween 20 steril untuk sterilisasi permukaan spora. MgSO4 .7H2 O berfungsi mencegah dormansi spora (Frances et al.1996). Menurut Fortin et al. (2002) Tween 20 berfungsi pelembut spora, sehingga
antibiotik berfungsi sebagai
pembunuh organisme pencemar dengan baik. Antibiotik streptomisin sering digunakan untuk membunuh bakteri Gram negatif. Antibiotik lainnya adalah penisilin pembunuh bakteri Gram positif, gentamisin dan tetrasiklin mempunyai spektrum lebih luas berfungsi pembunuh kuman bersifat Gram negatif maupun positif dan kemoterapi. Banyak jenis antibiotik yang digunakan diharapkan fungsi antibiotik semakin luas. Di dalam proses sterilisasi perlu dipertimbangkan beberapa hal, di antaranya karakteristik spora bergantung pada jenis CMA. Karakteristik tersebut meliputi permukaan dan ketebalan dinding spora (Frances et al. 1996). Sterilisasi spora dapat mempengaruhi perkecambahan spora, baik menghambat maupun mematikan, terjadi pecahnya spora dan spora kosong. de-Souza & Declerck
26
(2003) menyatakan bahwa kegagalan perkecambahan mungkin disebabkan kerusakan tabung perkecambahan atau fisiologi CMA, misalkan spora belum matang, juga kemungkinan faktor lingkungan kurang mendukung. Di samping itu adanya pengaruh bahan kimia digunakan untuk sterilisasi dan lama waktu sterilisasi kurang tepat, sehingga dapat mempengaruhi tabung perkecambahan dan akhirnya spora tidak mampu berkecambah. Bahan kimia adalah salah satu faktor yang dapat menghambat perkecambahan (Giovanetti et al. 1993, Bianciotto & Bonfante 1993). Diop et al. (1994) menyatakan bahwa konsentrasi Zn dan Mg di dalam media agar menghambat perkecambahan spora. Di satu sisi kehadiran eksudat tanaman sangat diperlukan, karena bersifat kemoatraktif terhadap hifa CMA.
C.2. Produksi CMA in vitro Produksi CMA in vitro menggunakan kultur ga nda yaitu media MM dan MSR, pada umumnya inang yang digunakan akar rambut wortel. Banyak faktor mempengaruhi produksi CMA in vitro. Jenis CMA, karena tidak semua CMA dapat dikultur in vitro, sampai saat ini yang sudah dapat dikultur in vitro pada umumnya Glomus, Gigaspora dan Acaulospora rehmii (Dalpe & Declerck 2002) dan Scutellospora (de-Souza 2005). Produksi spora dapat terjadi apabila kedua simbion sudah membentuk asosiasi mantap dan stabil. Asosiasi tersebut diawali dengan spora berkecambah, hifa dapat berkembang dengan baik, terbentuk arbuskula dan vesikula. Terbentuknya struktur organ tersebut sebagai ciri spesifik suksesnya simbiosis antara inang dan CMA (Dalpe & Declerck 2002). Akhirnya dapat dikatakan bahwa simbiosis telah terjadi dan stabil, CMA dapat berkembang maka produksi spora CMA bisa diperoleh. G. margarita memproduksi banyak spora dewasa per tahun, spora pertama diproduksi setelah 2 bulan. Rata-rata produksi 3 spora baru Gigaspora margarita setelah 2 bulan, Diop et al. (1992), Wideman & Watrud (1984) menggunakan tanaman tomat sebagai inang, diinokulasi sebanyak 10 butir spora berkecambah G. margarita. Cendawan secara langsung mengubah material biotropik melalui intraradikal. Studi menunjukkan bahwa sistem kultur akar merupakan metode menghasilkan inokulum CMA bersih dari kontaminan. Dengan hanya 3 spora
27
sebagai inokulum, akar terinfeksi
tinggi dan menghasilkan 450 spora G.
margarita dalam 30 ml medium. Produksi spora sistem in vitro menghasilkan spora sangat banyak, pertumbuhan akar lebih aktif jika nutrisi dalam kultur dikurangi (miskin). Oleh sebab itu penting sekali dibuat suatu sistem untuk meningkatkan produksi inokulum CMA (Douts & Schenk 1990). Perkecambahan spora terlihat setelah 2 minggu inokulasi. Kolonisasi akar rambut wortel dan tomat terlihat setelah 40 hari, dan kolonisasi akar wortel lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kolonisasi tomat, dan meningkat cepat antara hari ke 36–72 hari dan mencapai 2,5 % - 3,35 % (Klironomos & Hart 2002). Selain itu ditemukan juga konsentrasi fosfat rendah (22:7), tetapi dapat memacu proses simbiosis, sedang dengan P awal tinggi dapat menghambat pembentukan mikorhiza, dengan kata lain konsentrasi P awal dalam media merupakan faktor penentu proses simbiosis. Peranan fosfat dalam simbiosis CMA masih belum jelas, ketersediaan P lebih rendah dalam medium dan pengambilan sangat cepat, diduga awal penetapan simbiosis. Selanjutnya konsentrasi N, sukrosa, fosfat dan Na2 SO4 di dalam sistem in vitro infeksi CMA mengalami penurunan. Pengaruh pengurangan unsur-unsur tersebut akan meningkatkan produksi eksudat akar rambut, sebagai faktor petunjuk terbentuknya simbiosis lebih luas. Namun demikian eksudat akar juga dapat merangsang percabangan hifa CMA (Nagashi & Douds 2000). Eksudat akar hidrofobik, fosfat rendah dapat merangsang pertumbuhan hifa sebelum terjadinya kolonisasi (Nagahashi 2000). Tahir (2003)
menyatakan bahwa
produksi spora CMA secara in vitro mempunyai prospek penting
untuk
mendapatkan spora dan propagul steril. Medium digunakan adalah medium kultur ganda, yaitu media pertumbuhan dan
perkembangan
dua
organisme
berbeda
(makroorganisme
dan
mikroorganisme) dan bersimbiosis. Konsep dasar kultur ganda adalah kultur dapat dipakai untuk pertumbuhan dua jenis organisme, dalam hal ini CMA yang bersifat obligat, dan inang adalah akar rambut dan atau tanaman lain. Diop et al (1994) menyatakan bahwa media kultur ganda digunakan untuk perkecambahan CMA yaitu media miskin dan konsentrasi unsur P sangat rendah yaitu 4,8 mg/l, sedang media al in rata-rata lebih dari 600 mg/l. Diop et al (1994) menyatakan bahwa
28
media kultur ganda adalah media miskin untuk perkecambahan CMA. Ada dua macam media kultur ganda yaitu MM (Becard & Fortin 1988), dan MSR (Strullu & Romand 1986). Sedang Strullu & Romand (1986) menyatakan bahwa kultur ganda adalah medium yang digunakan untuk perkembangan CMA in vitro dengan kadar P 44 mg/l. Faktor yang berpengaruh dalam kultur ganda, seperti kultur umumnya, yaitu komposisi nutrisi media, jenis media, cahaya dan suhu. Jenis medium berpengaruh nyata terhadap induksi akar rambut (Giri & Narasu 2000).
D. Enkapsulasi spora Enkapsulasi spora adalah spora dibungkus dengan Na-alginat atau sodium alginat. Maggies et al. (2005) menyatakan bahwa mikroenkapsulasi adalah suatu pendekatan alternatif gen terapi. Sel genetikal dimasukkan ke dalam mikrokapsul untuk pengiriman produk obat rekombinasi efektif untuk manusia. Umumnya mikrokapsul menggunakan alginat dimasukkan dalam zat kapur. Anonimus (2006 c) menyatakan bahwa alginat dihasilkan dari tanaman hidup di laut dalam atau ganggang cokelat. Fungsi utama alginat adalah sebagai agen gelasi. Beberapa jenis ganggang cokelat menghasilkan alginat antara lain Microcystis pyryfera dan Ascophyllum nodosum berasal dari lautan Atlantis Utara dan Selatan. Struktur ganggang penghasil alginat berbentuk linier tidak bercabang, bersifat polimer berisi ß-1 asam D- mannuronic 4 (M) dan a-1 asam L-guluronic 4(G). Calvet et al. (1996) menyatakan bahwa sodium alginat digunakan untuk pengemasan dan penyimpanan mikroorganisme termasuk Glomus mosseae dan Glomus intraradices. Dalam percobaan digunakan sodium alginat 2 %. Setelah diinkubasi pada suhu 25
o
C selama 4 hari dapat berkecambah. Pengamatan
perkecambahan dengan membuka lapisan sodium alginat di bawah mikroskop binokuler. Persentase perkecambahan 44 % untuk G. mosseae dan 28 % untuk G. intraradices. Spora enkapsulasi diujikan pada tanaman bawang Bombay diperoleh spora infektif dan kolonisasi akar G. mosseae sebanyak 35,8 % ± 20,5 % sedang G. intraradices 13,3 % ± 6 %. Hasil tersebut disimpulkan bahwa spora terbungkus dalam sodium-alginat 2 % digunakan sebagai sumber inokulum dan sodium-
29
alginat tidak menghambat perkecambahan cendawan mikorhiza arbuskula, khususnya G. mosseae dan G. intraradices (Calvet 1996). Keuntungan Na alginat sebagai pengemas spora cendawan mikorhiza arbuskula di antaranya (i) material carrier (pembawa) berbobot masa rendah, (ii) spora terlihat jelas dalam pembungkus, (iii) melindungi propagul (akar yang terinfeksi hifa) dan bahan mudah larut, (iv) pengemasan dan transportasi lebih mudah (Giovanetti & Mosse 1980).