BAB III TAREKAT NAQSYABANDIYAH
A. Asal Usul dan Sejarah Tarekat Naqsyabandiyah Kata tarekat secara harfiah berarti “jalan” mengacu baik kepada sistem latihan meditasi maupun amalan-amalan (muraqabah, dzikir, wiriddan sebagainya) yang dihubungkan dengan guru-guru sufi. 1Tarekat artinya jalan, petunjuk dalam melakukan
sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang
ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh sahabat dan tabi’in, turun menurun sampai kepada guru-guru, sambung menyambung dan rantai-berantai. 2Tarekat adalah pengamalan syariat dengan sungguh-sungguh, menjauhi semua larangan Allah baik lahir maupun batin serta menjalankan perintahnya secara maksimal; menjauhi segala yang haram dan makruh, tidak berlebihan dalam yang mubah, serta menunaikkan hal-hal yang fardhu dan amalan-amalan sunnah secara maksimal. 3 Pendiri tarekat Naqsyabandiyah4 adalah seorang pemuka tasawuf terkenal yakni, Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-
1
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1996),
hlm. 15. 2
Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, Kajian Historis Tentang Mistik (Solo: Ramadhani, 1996), hlm. 67. 3 Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwirul Qulub, Menerangi Qalbu Manusia Bumi Manusia Langit. Alih Bahasa: M. Nur Ali (Bandung: Pustaka Hidayah, 2013), hlm. 183. 4 Diambil dari nama pendirinya Baha’ al-Din Naqsyabandi.Dalam dunia tarekat diakui bahwa pendiri tarekat adalah para tokoh yang mensistematisasikan ajaran-ajaran, metode, ritus, dan amalan secara eksplisit tarekat tersebut.Tetapi tokoh tersebut tidaklah dipandang sebagai pencipta tarekat itu, melainkan hanya mengolah ajaran-ajaran yang telah diturunkan kepada mereka melalui garis keguruan terus sampai kepada Nabi sendiri.
40
41
Bukhari Naqsyabandi5 (717H/1318M-791H-1389M), dilahirkan di sebuah desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara tempat lahir Imam Bukhari. Ia berasal dari keluarga dan lingkungan yang baik. Ia mendapat gelar Syaikh yang menunjukkan posisinya yang penting sebagai seorang pemimpin spiritual. Setelah ia lahir segera dibawa oleh ayahnya kepada Baba al-Samasi. Ia belajar tasawuf kepada Baba al-Samasi ketika berusia 18 tahun. Kemudian ia belajar tarekat pada Amir Sayyid Kulal al-Bukhari (w.772/1371). Kulal adalah seorang khalifah Muhammad Baba al-Samasi. Dari Kulal inilah ia pertama belajar tarekat yang didirikannya. Selain itu Naqsyabandi pernah juga belajar pada seorang arif bernama al-Dikkirani selama satu tahun. 6 Pendidikan syaikh Muhammad Baha’ al-Din Naqsyabandi dari kedua guru utamanya, yakni Baba al-Samasi dan Amir Kulal, membuat ia mendapatkan mandat yang cukup sebagai pewaris tradisi Khwajagan(dibaca Khojagan). 7Khwajagan memopulerkan tarekatnya di Asia Tengah dan banyak menarik orang dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda. Walaupun ia mempunyai jalinan dan hubungan dengan kalangan penguasa dan bangsawan, namun ia membatasi diri dalam pergaulannya dengan mereka. Sekalipun demikian ia tetap sangat dihormati oleh para penguasa. Di kampung halamannya ia memiliki sepetak tanah yang dikelola dengan bantuan orang, 5
Naqsyaband secara harfiah berarti “pelukis”, penyulam, penghias”. Jika nenek moyang mereka adalah penyulam, nama itu mungkin mengacu pada profesi keluarga; jika tidak hal itu menunjukkan kualitas spiritualnya untuk melukis nama Allah di atas hati seorang murid. 6 Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), hlm. 89-90. 7 Khwajagan berasal dari bahasa Persia yaitu bentuk majemuk dari kata Khwajah, maknanya adalah syaikh.
42
tetapi tidak pernah terlibat sendiri dalam pengelolaannya. Ia hidup sederhana, ia pun sangat memperthatikan latihan moral dan spiritual murid-muridnya.8 Pada suatu malam Syaikh Muhammad Baha al-Din Naqsyabandi mengunjungi (ziarah) ke makam Syaikh Ahmad al-Ajgharawa untuk membacakan surat al-Fatihah untuknya. Ketika beliau tiba, beliau mendapati dua orang pria yang belum pernah ditemui sebelumnya. Mereka menunggu Syaikh Baha’ al-Din Naqsyabandi dengan seekor kuda. Mereka lalu menaikkan beliau ke atas dan mengikatkan dua bilang pedang di sabuknya. Mereka lalu mengarahkan kudanya ke makam Syaikh Mazdakhin. Ketika beliau tiba, kemudian masuk ke dalam kompleks makam dan masjid tersebut, lalu duduk menghadap kiblat, bertafakur dan berwasilah kepada syaikh tersebut. Selama muraqabah(keadaan memalingkan hati dari semua makhluk dan hanya tertuju kepada Allah) ini sebuah penglihatan spiritual dibukakan baginya dan beliau melihat sebuah dinding yang menghadap kiblat tiba-tiba runtuh. Sebuah singasana raksasa muncul. Seorang yang sangat besar, begitu besarnya hingga tidak ada kata-kata yang dapat melukiskannya—duduk di singgasana tersebut. Beliau merasa bahwa beliau mengenalinya. Kemanapun beliau berpaling wajahnya di alam semesta ini, yang dilihat adalah wajahnya. Di sekelilingnya ada sekelompok orang termasuk syaikh beliau, Syaikh Muhammad Baba as-Sammasi dan Sayyid Amir Kulal. Kemudian beliau merasa takut akan sosok yang tinggi besar tersebut, tetapi pada saat yang sama beliau juga mersakan cinta padanya. Beliau merasa takut akan
8
Sri Mulyati, Op. Cit., hlm. 90-91.
43
hadiratnya yang mulia tetapi cinta dengan keindahan dan daya tariknya. Beliau berkata kepada dirinya sendiri, ‘Siapa gerangan manusia itu?’ beliau mendengar suara di antara kerumunan orang itu menyatakan, ‘Manusia agung yang telah membesarkanmu di jalur spiritualmu ini adalah Syaikhmu. Beliau melihat jiwamu ketika masih berupa atom di Hadratillah. Engkau berada di bawah bimbingannya. Beliau adalah Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani dan kerumunan orang yang engkau lihat adalah khalifah-khalifah yang membawa rahasia besarnya, rahasia dari silsilah keemasan.’ Kemudian Syaikh itu mulai menunjuk pada setiap syaikh di sana sambil berkata, ‘Ini adalah Syaikh Ahmad; ini adalah Kabir al-Awliya; ini adalah ‘Arif Riwakri; ini adalah Syaikh Ali Ramitani; ini adalah syaikhmu, Muhammad Baba asSammasi, yang semasa hidupnya pernah memberikan jubahnya kepadamu. Apakah kamu mengenalinya?’ beliau menjawab. ‘Ya.’9 Tarekat Naqsyabandiyah berasal dari ajaran-ajaran yang diberikan Nabi kepada sayyidina Abu Bakar, sedangkan tarekat lain seperti tarekat Qadiriyah, tarekat Syattariyah dan banyak tarekat lainnya berasal dari ajaranajaran yang disampaikan beliau kepada sayyidina ‘Ali. Rasulullah diriwayatkan telah mengajarkan teknik-teknik mistik kepada para Sahabat sesuai dengan pembawaan mereka, dan hal ini dipercayai sebagai alasan utama mengapa sekarang ini terdapat perbedaan-perbedaan di antara tarekat.10 Salah satu contoh perbedaan antara tarekat Naqsyabandiyah dengan tarekat lainnya, misalnya tarekat Qadiriyah, adalah cara mengucapkan dzikir; 9
Naqshbandi Sufi Way, http:/naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/muhammadbahauddin-shah-naqshband-qaddasa-l-lahu-sirrah/ (Diakses tanggal 07 Maret 2016). 10 Martin van Bruinessen, Op. Cit., hlm. 48.
44
pada Qadiriyah disuarakan keras dan ekstatis, pada Naqsyabandiyah diucapkan dalam hati. Menurut penjelasan beberapa guru Naqsyabandiyah, hal itu adalah karena ‘Ali itu seorang yang periang, terbuka, serta suka menantang orang-orang kafir dengan mengucapkan kalimah syahadat dengan suara keras. Sebaliknya, Abu Bakar menerima pelajaran spiritualnya pada malam hijrah, ketika ia dan Rasulullah sedang bersembunyi di sebuah gua tak jauh dari Makkah. Karena di seputar tempat itu banyak musuh, mereka tidak dapat berbicara keras-keras, dan Rasulullah mengajarinya untuk berdzikir dalam hati. Dzikir diam inilah, dan sikap-sikap spiritual dasar lainnya, dipercayai kaum Naqsyabandi telah diturunkan oleh Abu Bakar kepada murid-muridnya, dan akhirnya dijadikan sebuah sistem oleh Baha’ al-Din Naqsyaband. 11 Karena dasar-dasar pemikiran dan pengamalan sebuah tarekat berasal dari Nabi sendiri, para pengikut tarekat memandang penting sekali urutanurutan nama para guru yang telah mengajarkan dasar-dasar tarekat itu secara turun temurun. Garis keturunan itu biasa disebut silsilah. Setiap guru sebuah tarekat dengan hati-hati menjaga silsilah yang menunjukkan siapakah gurunya dan siapa guru-guru sebelum dia. Dimulai dengan Nabi Muhammad SAW., tercantum nama-nama sebagai berikut:
SILSILAH GURU-GURU NAQSYABANDIYAH MENGIKUTI GARIS NABI MUHAMMAD SAW.
11
Ibid.,hlm. 48.
45
Muhammad SAW. ↓ Abu Bakr al-Shiddiq ↓ Salman al-Farisi ↓ Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq ↓ Ja’far al-Shiddiq (w. 148H/765M) ↓ Abu Yazid Thaifuq al-Bisthami (w. 260H/874M) ↓ Abu al-Hasan al-Kharaqani (w. 425H/1034M) ↓ Abu Ali al-Farmadni (w. 477H/1084M) ↓ Abu Ya’qub Yusuf al-Hamadani (w.535H/1140M) ↓ ‘Abd. Al-Khaliq al-Ghujdwani (w. 617H/1220M) ↓ ‘Arif al-Riqwari (w. 657H/1259M) ↓ Mahmud Anjir Faghnawi (w. 670H/1272M) ↓ ‘Azizan ‘Ali al-Ramitani (w. 721H/1321M) ↓ Muhammad Baba al-Sammasi (w. 755H/1354M) ↓ Amir Sayyid Kulal al-Bukhari (w. 772H/1371M) ↓
46
Muhammad Baha’ al-Din Naqsyaband (717-792H/1318-1389M)12
B. Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah Ada beberapa penanaman istilah dari tarekat Naqsyabandiyah, hal ini dibagi dalam beberapa julukan sesuai kurun waktu tarekat tersebut. Di zaman Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq r.a. sampai asy-Syaikh Thayfur bin ‘Isa bin Abu Yazid Basthami Rahmatullah ‘alaih dinamakan sebagai Shiddiqiyyah dan amalan khususnya adalah zikir khafi.Di zaman Hadhrat asy-Syaikh Thayfur bin ‘Isa bin Abu Yazid Basthami sampai ke zaman alKhojah asy-Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghajdawani Rahmatullah ‘alaih tarekat ini dinamakan Thayfuriyyah, dan tema khusus yang ditampilkan adalah cinta dan ma’rifat.Kemudian pada zaman al-Khojah asy-Syaikh ‘Abdul Khaliq alGhajdawani Rahmatullah ‘alaih hingga ke zaman Hadhrat Imam At-Tariqah Syaikh Muhammad Baha’uddin Naqsyabandi al-Bukhari Rahmatullah ‘alaih Tarekat ini dinamakan sebagai Khojikaniyyah. Pada zaman tersebut Tarekat ini telah diperkuatkan dengan delapan prinsip asas tarekat yaitu: 1. menjaga nafas dari kelalaian,2. melihat kearah kaki saat berjalan,3. perpindahan dari sifat-sifat manusiawi yang jelek kepada sifat-sifat malakuti yang mulia, 4. pengosongan hati dari makhluk di keramaian, 5. mengulangi zikir terus menerus, 6. kembali bermunajat, 7. menjaga hati, pikiran dan perasaan,dan 8. tawajuh/menghadapkan diri kepada nur dzat Allah Yang Maha Esa. (Delapan asas akan ini dijelaskan secara rinci pada sub-bab berikutnya).
12
Ibid., hlm. 50.
47
Kemudian pada zama Imam asy-Syaikh Muhammad Baha’uddin sampai ke zaman asy-Syaikh ‘Ubaidillah al-Ahrar tarekat ini disebut Naqsyabandiyah. Dinisbatkan pada naqsya band, artinya adalah ikatan naqsy. Naqsy adalah gambar cap (stempel). Karena Sayyid Muhammad Baha’uddin berzikir dengan hati hingga lafadz jalalah mengecap dan timbul di luar hatinya. Karena itu dinamakan Naqsyaandiyah. Imam asy-Syaikh Muhammad Baha’uddin Naqsyabandi kemudian menambahkan tiga asas lainnya yaitu:1. memeriksa penggunaan waktu, 2. memeriksa hitungan zikir,dan 3. menjaga hati tetap terkontrol. (Tiga asas ini akan dijelaskan secara rinci pada sub-bab berikutnya). Selanjutnya dari asy-Syaikh Ubaidillah al-Ahrar sampai Hadhrah alImam ar-Rabbani asy-Syaikh Ahmad al-Faruqi Sirhindi disebut Ahrariyyah. Dari al-Imam ar-Rabbani sampai Hadrah Maulana asy-Syaikh Khalid disebut Mujaddidiyyah. Dari asy-Syaikh Khalid sampai kepada murid-muridnya sekarang dinamakan Khalidiyyah. 13 Di
Indonesia
sendiri
berkembang
berbagai
macam
tarekat
Naqsyabandiyah yang kebanyakan hasil dari penggabungan dengan unsurunsur tarekat lain dan atau nama tarekat yang ada sudah ditambah dengan julukan atau nama dari pemuka (mursyid) dalam tarekat Naqsyabandiyah tersebut. Seperti halnya tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah, yaitu (gabungan
dari
ajaran
tarekat
Naqsyabandiyah-Khalwatiyah
13
Qadiriyyah
(gabungan
tarekat
Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi, Op. Cit., hlm.411.
dan
Naqsyabandiyah),
Naqsyabandiyah
dan
48
Khalwatiyah), kemudian tarekat Khalwatiyyah Yusuf (dalam tarekat ini Syaikh
Yusuf
menggabungkan
unsur-unsur
Syattariyah
dan
Naqsyabandiyah). Selain itu juga terdapat tarekat Naqsyabandiyah Haqqani yang nama Haqqani diambil dari nama belakang mursyid dan pemuka tarekat tersebut yaitu Syaikh Nazim Adil Al-Haqqani, kemudian terdapat juga nama Naqsyabandiyah Syaikh Abdul Wahab Rokan yang berkembang di Sumatera yang mana nama Syaikh Abdul wahab Rokan adalah sebagai pemimpin dari ajaran sufi tersebut.
C. Awal Mula Tarekat Naqsyabandiyah di Nusantara Perkembangan tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia boleh dikatakan sangat pesat. Masuknya tarekat Naqsyabandiyah ke Indonesia, berawal dari para pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di Makkah. Syaikh Yusuf Makassari
(1626-1699M)
dianggap
sebagai
orang
pertama
yang
memperkenalkan tarekat Naqsyabandiyah di Nusantara. Seperti disebutkan dalam bukunya, Safinah al-Najah, ia menerima ijazah dari syaikh Muhammad ‘Abd. al-Baqi di Yaman kemudian mempelajari tarekat ketika berada di Madinah di bawah bimbingan Syaikh Ibrahim al-Kurani. 14 Syaikh Yusuf berasal dari kerajaan Gowa, sebuah kerajaan kecil di Sulawesi Selatan, dan ia mempunyai pertalian darah dengan keluarga kerajaan di daerah itu. Pada tahun 1644M dalam usianya yang relatif masih muda ia pergi ke Yaman diteruskan ke Makkah lalu ke Madinah untuk
14
Sri Mulyati, Op. Cit.,hlm. 95.
49
menuntut ilmu dan naik Haji. Pada tahun 1672M ia kembali ke Indonesia, namun situasi politik di Makassar pada waktu itu menyebabkan ia mengurungkan niat untuk pulang ke kota kelahirannya, dan ia memilih untuk menetap di Banten Jawa Barat, hingga menikah dengan putri Sultan Banten dan menjadi seorang syaikh bersuara lantang dan sangat berpengaruh. Kehadiran Syaikh Yusuf merupakan sumbangan besar dalam mengangkat nama Banten sebagai pusat pendidikan Islam. 15 Meskipun Syaikh Yusuf adalah pengarang Nusantara yang masuk dan mengajar tarekat Naqsyabandiyah, tarekat ini sudah dikenal di Banten sebelum ia kembali dari Tanah Suci. Syaikh Yusuf memang sangat terkenal dan berpengaruh, tetapi tidak beralasan untuk menganggap bahwa ia satusatunya orang Banten yang masuk tarekat ini di Madinah. Di bawah Sultan Ageng Tirtayasa, Banten menjadi sangat kuat berorientasi ke Makkah. Sultan bahkan meminta pengakuan gelarnya dari Syarif Makkah, dan putra mahkota sendiri
pergi
berhaji
ke
Makkah,
serta
kota
Banten
didorong
perkembangannya menjadi pusat pendidikan Islam tempat pemuda-pemuda Muslim Nusantara berdatangan untuk menimba ilmu; sementara di sisi lain, tentu saja kota itu tetap mantap sebagai bandar niaga terkemuka. Mestilah ada orang-orang lain yang pergi berhaji di samping putra mahkota, dan bukan tidak mungkin mereka kembali dengan pengetahuan kenaqsyabandian seperti yang diajarkan di kedua kota tersebut.16
15 16
Ibid.,hlm.95-96. Martin van Bruinessen, Op. Cit., hlm. 43.
50
D. Ajaran-Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah Dapat kita ketahui bahwa agama Islam adalah agama tauhid, dan keimanan merupakan hal pokok dan hal utama yang harus dimiliki seorang muslim. Iman adalah membenarkan dengan hati, yaitu tunduk patuh dan menerima perkara yang niscaya dari agama Nabi Muhammad SAW. Yakni yang tampak dan masyhur yang diketahui umum, seperti keesaan Sang Pencipta Yang Mahasuci, kenabian Muhammad SAW., adanya yang gaib (seperti malaikat, jin, neraka, surga), adanya qadha’ dan qadar dan lainnya. Dalam tarekat Naqsyabandiyah keimanan merupakan hal mutlak harus dimiliki oleh setiap orang yang mukallaf17.Seorang tokoh Naqsyabandiyah Syaikh Amin al-Kurdi menyebutkan bahwa, setiap mukallafwajib beriman dengan adanya Allah dan rasul-Nya. Beriman berarti harus berma’rifah18 terhadap sifat-sifat Allah dan rasul-Nya, serta tunduk, patuh dan menerima semua yang dikabarkan Allah melalui rasul-Nya dan menerima semua yang disampaikan oleh rasul dari-Nya.19 Allah SWT. berfirman:
$pkš‰r'¯»tƒtûïÏ%©!$#(#þqãYtB#uä(#qãè‹ÏÛr&©!$#(#qãè‹ÏÛr&urtAqß™§•9$#’Í<'ré&urÍ•öDF{$#óOä3ZÏB(bÎ*sù÷Läêô ãt“»uZs?’Îû&äóÓx«çnr–Šã•sù’n<Î)«!$#ÉAqß™§•9$#urbÎ)÷LäêYä.tbqãZÏB÷sè?«!$$Î/ÏQöqu‹ø9$#urÌ•ÅzFy$#4y 7Ï9ºsŒ×Žö•yzß`|¡ômr&ur¸xƒÍrù's? 17
Mukallaf adalah semua yang mempunyai nalar, berakal dan sehat inderanya, walaupun hanya pendengaran atau penglihatannya saja, yang sudah menerima dakwah, laki-laki maupun perempuan, merdeka maupun budak, dari golongan manusia maupun jin. 18 Berma’rifah berarti berkeyakinan yang mantap yang sesuai dengan
kenyataan berdasarkan dalilnya. 19
Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi, Op. Cit., hlm.155.
51
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 59).20 Selain beriman kepada Allah dan rasul-Nya, kita juga harus beriman dengan adanya hal-hal yang Gaib, seperti mempercayai adanya malaikat, mempercayai keberadaan jin, adanya kematian dan adanya akhirat, adanya hari kiamat, adanya hari kebangkitan, mahsyar dan hisab, ampunan dan siksa, adanya timbangan amal, adanya jembatan, surga dan neraka, adanya syafa’at dan sebagainya. Allah SWT. berfirman :
øŒÎ)ur!$oYøùuŽ|Ày7ø‹s9Î)#\•xÿtRz`ÏiBÇd`Éfø9$#šcqãèÏJtGó¡o„tb#uäö•à)ø9$#$£Jn=sùçnrçŽ|Øym(#þqä9$s %(#qçFÅÁRr&($£Jn=sùzÓÅÓè%(#öq©9ur4’n<Î)OÎgÏBöqs%z`ƒÍ‘É‹Y•B Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan al-Quran, Maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: "Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)". ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.” (Q.S. Al-Ahqaf [46]: 29).21 Selain itu, kita harus mengimani dengan adanya qadha dan qadar Allah Ta’ala. Qadha adalah hubungan azali kehendak Allah dengan segala sesuatu apa adanya dalam kesinambungan sesuai ilmu-Nya, dan ini merupakan sifat Dzat. Sedangkan qadar adalah perwujudan sesuatu dengan ukuran tertentu
20 21
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Hati Emas, 2014), hlm. 87. Ibid., hlm. 506.
52
dan arah tertentu yang dikehendari oleh Allah Ta’ala. Qadhabersifat qadim, sedangkan qadar bersifat hadits.22 Berkaitan dengan qadha dan qadar, ada seorang ulama berkata: Apabila seseorang dicipta tidak untuk bahagia prasangka pengasuhnya akan tertinggal, dan si pengharap pun jadi frustasi Musa yang diasuh Jibril ternyata kafir Sedang Musa yang diasuh Fir’aun ternyata rasul Allah23 Dari ungkapan diatas mengandung makna bahwa orang yang bahagia adalah orang yang dalam azalinya telah ditentukan oleh Allah mati dalam keadaan iman-Islam, walaupun sebelumnya dia sempat kafir. Sedangkan orang yang celaka adalah orang yang dalam azalinya telah ditentukan dia mati dalam keadaan kafir, walaupun sebelumnya dia sempat Islam. Kondisi di akhir hayat (al-khatimah) menjadi petunjuk akan ketentuan Allah yang terdahulu (as-sabiqah). Apabila usia seseorang ditutup dengan keIslaman, itu menunjukkan bahwa dalam ketentuan azalinya dia tercatat sebagai orang yang bahagia, walaupun di dunia didahului dengan kekufuran. Apabila usia hamba ditutup dengan kekafiran-na’udu billah min dzalik-itu menunjukkan bahwa di azalinya dia tercatat sebagai orang yang celaka, meskipun di dunianya sempat mengalami keislaman.24
1.
Ajaran Dasar 22
Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi, Op. Cit., hlm.165. Ibid.,hlm. 170. 24 Ibid.,hlm. 170. 23
53
Ajaran dasar tarekat Naqsyabandiyah didirikan atas sebelas asasdalam pengamalan kata bahasa Persia. Delapan kata didapat secara turun-menurun dari Hadrat asy-Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghajdwani dan tiga berikutnya terambil secara turun temurun dari asy-Syaikh al-Akbar as-Sayyid Muhammad Baha’uddin Naqsyabandi. Delapan kata tersebut yaitu: a.
Husy dardam, adalah menjaga nafas dari kelalaian, saat nafas keluar, saat masuk, dan saat di antara keluar dan masuk. Agar hatinya senantiasa hadir bersama Allah di dalam setiap nafas. Sebab setiap nafas yang masuk dan keluar disertai kehadiran Allah, dia hidup dan sampai kepada Allah. Sedangkan setiap nafas yang keluar dan masuk tanpa disertai kehadiran Allah (lalai), dia mati dan terputus dari Allah.
b.
Nazhar barqadam, artinya seorang salik harus melihat kearah kakinya saat berjalan. Begitu juga saat duduk, dia hanya diperbolehkan melihat apa yang ada di kedua tangannya. Sebab melihat berbagai macam benda dan warna dapat merusak kondisi ruhaninya dan mencegatnya dari tujuan yang sedang ditempuhnya. Karena pezikir tingkat pemula, bilapandangannya berhubungan dengan banyak perkara yang dilihatnya, hatinya akan sibuk dengan keterpecahan yang dihasilkan dari penglihatannya terhadap berbagai pemandangan itu, karena belum memiliki kemampuan untuk menjaga hati.
54
c.
Safar dar wathan, artinya perpindahan dari sifat-sifat manusiawi yang jelek kepada sifat-sifat malakuti yang mulia. Seorang pesuluk harus menelisik dirinya: apakah di dalam hatinya masih tersisa kecintaan pada makhluk? Bila dia mengetahui masih ada tersisa sedikit saja kecintaan kepada makhluk, dia harus segera berjuang melenyapkannya.
d.
Khalwat dar anjuman, artinya pengosongan hati dari makhluk (khalwat) di keramaian makhluk (jalwat). Yang dimaksud adalah hati si pesuluk harus selalu hadir bersama Allah al-Haqq di dalam segala keadaan. Dia gaib dari makhluk sementara dirinya berada di tengah-tengah mereka. Khalwat ada dua. Pertama khalwat lahir, yaitu penyepian diri si pesuluk di sebuah rumah yang sunyi dari manusia. Kedua, khalwat batin, yaitu batin senantiasa berada dalam penyaksikan asrar Allah meskipun lahiriahnya berinteraksi dengan makhluk.
e.
Yad karad, adalah mengulang-ulangi zikir secara terus menerus, baik zikir dengan asma Dzat (lafazh Allah) maupun dengan kalimah tahlil(la ilaha illallah), sampai dia memperoleh kehadiran Dia yang dizikirkannya.
f.
Baz kasyat, adalah kembali kepada munajat di dalam penafian dan penegasan-dengan kalimat mulia berikut: ilahi anta maqshudi wa ridhaka mathlubi25-setelah pembebasan jiwanya. Munajat ini bisa
25
Ya Tuhanku, Engkaulah tujuanku dan ridha-Mu buruanku.
55
menguatkan penafian dan penegasan, dan akan meresapkan inti tauhid hakiki ke dalam hati si pezikir hingga wujud seluruh makhluk sirna dari pandangannya. g.
Nakah dasyat, adalah menjaga hati agar tidak sesaat pun dimasuki bisikan-bisikan gaib. Karena hal ini merupakan masalah besar menurut para pemuka tarekat Naqsyabandiyah. Asy-Syaikh Abu Bakr al-Kattani r.a. berkata, “Aku telah menjaga pintu hatiku selama empat puluh tahun. Aku tidak membukanya selain Allah SWT, sampai hatiku tidak mengenal selain Allah SWT.” Sebagian pemuka lainnya berkata, “Aku menjaga hatiku selama sepuluh malam, dan hatiku menjaga diriku selama dua puluh tahun.”
h.
Yad dasyat, adalah tawajuh (menghadapkan diri) kepada nur dzat Allah Yang Maha Esa, tanpa berkata-kata. Pada hakikatnya menghadapkan diri dan mencurahkan perhatian kepada nur dzat Allah itu tiada lurus, kecuali sesudah fana (hilang kesadaran diri) yang sempurna. Hal ini semua dikaitkan pada pengalaman langsung Kesatuan dengan Yang Ada (wahdat al-wujud). Ahmad Sirhindi dan pengikut-pengikutnya bahkan mengemukakan dalil adanya tingkat yang lebih tinggi, yakni seorang sufi sadar bahwa kesatuan (kemanunggalan) ini hanya bersifat fenomenal, bukan ontologis (wahdat al-syuhud). Adapun tiga asas lainnya adalah:
56
a.
Wuquf zamani, adalah memeriksa penggunaan waktu, yaitu orang yang bersuluk senantiasa selalu mengamati dan memperhatikan dengan teratur keadaan dirinya setiap dua atau tiga jam sekali. Bila pesuluk mendapati kondisi dirinya hadir bersama Allah, maka bersyukur kepada-Nya atas taufiq ini. Namun kalaupun demikian, dia tetap harus menganggap dirinya masih sangat kurang di dalam kehadirannya bersama Allah, lalu memulai kembali kehadiran yang lebih sempurna. Apabila ternyata dirinya lalai, segeralah beristighfar atas kelalaiannya, dan kembali pada kehadiran yang sempurna.
b.
Wuquf ‘adadi, adalah memelihara hitungan ganjil dalam zikir nafyi dan itsbat (la ilaha illallah). Misalnya hitungan tiga atau lima, sampai hitungan dua puluh satu.
c.
Wuquf qalbi, adalah kehadiran hati bersama Allah Ta’ala hingga tak tersisa sesuatu pun untuk tujuan hati selain al-Haqq, dan hati tidak lalai dari makna lafazh zikir, sebab hal ini merupakan syarat zikir yang harus dipenuhi dan intisari zikir yang menjadi tujuan zikir adalah wuquf qalbi.26
2.
Zikir Teknik dasar tarekat Naqsyabandiyah adalah zikir. Zikir dibagi menjadi dua, zikir qalbi dan zikir lisan. Zikir lisan adalah zikir dengan lafazh yang tersusun dari suara dan huruf. Zikir lisan tidak mudah dilakukan setiap saat oleh pezikir, karena jual beli dan kegiatan lain bisa
26
Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi, Op. Cit., hlm. 357-359.
57
menghalangi dari zikir ini. Berbeda halnya dengan zikir qalbi. Zikir qalbi dilakukan dengan cara pengawasan hati terhadap Dia yang dinamai dengan lafazh zikir, Dia yang sepi huruf dan suara. Karena itu, tidak ada hal yang bisa menghalangi si pezikir dari zikir qalbi. 27 Khalid ibn Ma’dan berkata, “Setiap hamba memiliki dua mata kasar yang melihat masalah dunia. Dia juga memiliki dua mata hati yang melihat urusan akhirat. Apabila Allah menghendaki seorang hamba baik, Dia akan membukakan mata hatinya. Dengannya dia akan melihat apa yang Allah janjikan secara gaib. Apabila Allah menghendaki tidak demikian, maka Dia akan membiarkannya sebagaimana adanya.”28 Ahmad ibn Hadhrawaih berkata, “Hati itu adalah wadah. Bila ia penuh dengan kebenaran, maka luapan cahaya kebenaran akan muncul pada anggota badan. Bila ia penuh dengan kebatilan, luapan gulita kebatilan pun akan muncul pada anggota badan.” Al-arif al-Kabir Abu Hasan asy-Syadzili juga berkata, “Secuil perbuatan hati setimbang dengan segunung perbuatan anggota badan.”29 Hakikat zikir adalah mengusir kelalaian. Abu Sa’id al-Kharraz r.a berkata, “Orang yang sempurna bukanlah orang yang darinya lahir banyak jenis keramat. Akan tetapi, orang yang sempurna adalah orang yang duduk bersama orang-orang, jual-beli, menikah, dan bergaul bersama mereka namun mereka tidak sesaat pun dia lalai dari Allah.”30
27
Ibid., hlm. 360. Ibid., hlm. 363. 29 Ibid.,hlm. 363. 30 Ibid.,hlm. 356. 28
58
Karena alasan tersebut para pemuka tarekat Naqsyabandiyah memilih zikir hati sebagai amalan utamanya. Selain itu juga, karena hati merupakan tempat memandang Allah Yang Maha Pengampun, tempat iman bersarang, kotak penyimpan rahasia, tempat memancarkan segala cahaya. Dalam tarekat Naqsyabandiyah mempunyai dua macam zikir utama yaitu: a.
Zikir Ism al-Dzat, artinya mengingat nama Yang Haqiqi dengan mengucapkan nama “Allah” berulang-ulang dalam hati, sambil memusatkan perhatiannya kepada Allah.
b.
Zikir Tauhid, artinya mengingat keesaan. Zikir ini terdiri atas bacaan perlahan diiringi dengan pengaturan nafas, kalimah “La ilaha illallah”, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh. Caranya, bunyi “la” digambar dari daerah pusar terus ke atas sampai ke ubun-ubun; bunyi “ilaha” turun ke kanan dan berhenti di ujung bahu sebelah kanan; kata berikutnya ”illa” dimulai dan turun melewati bidang dada sampai ke jantung, dan ke arah jantung inilah kata terakhir “Allah” dihujamkan sekuat tenaga. Orang
yang
sedang
berzikir
membayangkan
jantung
mendenyutkan nama Allah, dan memusnahkan segala kotoran.31
3.
Adab
31
Ibid.,hlm. 370.
itu
59
Orang yang menempuh jalan ruhani haruslah dapat mengosongkan diri dari akhlak dan sifat-sifat yang buruk, dan menghiasi diri dengan perilaku yang terpuji.Perilaku terpuji tersebut salah satunya adalah beradab. Adab yang harus dilakukan antara lain: adab terhadap syaikh, adab terhadap diri sendiri dan adab terhadap sesama murid dan kaum muslimin. a.
Adab Murid terhadap Syaikh Dalam bertarekat adab terhadap syaikh adalah sesuatu yang harus dan mesti dilakukan oleh seorang murid, karena syaikh merupakan sumber yang dapat mengalirkan kemanfaatan ilmu dan ridha Allah SWT. Ada banyak adab yang harus dipenuhi murid terhadap syaikh yang menjadi gurunya. Di antaranya adab yang paling penting adalah menghormati dan mengagungkan syaikh lahir batin, serta menyakini bahwa tujuan dirinya akan tercapai melalui bantuan dan bimbingan syaikhnya. Adab-adab lainnya yang harus dipenuhi murid terhadap syaikhnya sebagai berikut: 1) Pasrah, teguh dan rela menerima pengaturan yang dilakukan syaikh terhadap dirinya. 2) Tidak protes terhadap syaikh menyangkut perbuatan yang dilakukannya, mesti secara lahiriah tampak perbuatan yang dilakukannya itu tampak tidak baik.
60
3) Berkumpul dengan syaikh hanya untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT. 4) Melebur pilihan dirinya kepada pilihan syaikhnya, dalam urusan ibadah maupun adat, yang global maupun rinci. 5) Tidak memata-matai kondisi atau tingkah laku syaikh secara mutlak. 6) Senantiasa menjaga syaikh di ketidak hadirannya seperti menjaga dia di kehadirannya. 7) Memandang bahwa berkah dunia dan akhirat yang diperolehnya itu didapat melalui berkah syaikhnya. 8) Tidak menyembunyikan sesuatu pun dari syaikhnya. 9) Tidak mengira-ira sendiri makna peristiwa atau mimpi atau ketersingkapan yang didapatnya, meskipun jelas. 10) Tidak membeberkan rahasia syaikh, walaupun tubuhnya sampai di gergaji. 11) Tidak menikahi perempuan yang hendak dinikahi syaikhnya, atau perempuan yang dicerai syaikhnya, tidak pula janda syaikhnya. 12) Tidak
memberikan
pendapat
bila
diajak
musyawarah
meninggalkan sesuatu atau mengerjakan sesuatu oleh syaikhnya. 13) Tetap memperhatikan keluarga syaikhnya ketika sang syaikh pergi, dengan terus berbuat baik kepada mereka.
61
14) Apabila murid mendapati diri merasa bangga dengan amalnya (‘ujub), atau merasa hebat dengan kondisi dirinya, hendaknya ia segera melapor kepada syaikhnya, agar syaikh memberikan penawarnya. 15) Menghargai sesuatu yang diberikan syaikh, tidak menjualnya kepada seseorang, apa pun yang diberikannya. 16) Tidak mengurangi keyakinan terhadap syaikhnya jika melihat sang syaikh kurang (turun) dari maqam-nya. 17) Tidak banyak berbicara di hadapan syaikhnya, meskipun syaikh memberinya keleluasaan untuk bicara. 18) Merendahkan suara di majlis syaikh. 19) Tidak duduk bersila atau duduk di atas sajadah ketika berada di hadapan syaikh. 20) Bersegera melaksanakan perintahnya, tidak menunda-nunda atau berleha-leha sebelum selesai melaksanakannya. 21) Menghindari hal-hal yang tidak disenangi syaikhnya. 22) Tidak berteman dengan orang-orang yang tidak disenangi syaikhnya dan mencintai orang yang dicintai syaikhnya. 23) Bersabar menerima kemarahan dan keberpalingan syaikhnya, entah dari dirinya maupun orang lain. Jangan sampai bertanya, “Mengapa syaikh bersikap demikian kepada si fulan?” atau “Mengapa syaikh bersikap demikian kepada saya?”.
62
24) Tidak duduk di tempat yang disediakan khusus syaikhnya. Tidak bepergian, tidak menikah dan tidak melakukan sesuatu kerjaan yang penting tanpa seizing syaikhnya. 25) Tidak memindai ucapan syaikhnya untuk diungkapkan kepada orang-orang selain yangs sesuai dengan kadar pemahaman dan akal mereka.32 b.
Adab Murid terhadap Diri Sendiri Adab paling utama seorang murid terhadap dirinya sendiri adalah menyadari kenyataan bahwa Allah SWT.senantiasa melihat dan mengawasi dirinya dalam segala situasi dan kondisi. Oleh karena itu hendaklah dia selalu sibuk mengingat-Nya dengan hati, entah dia sedang duduk, berjalan maupun saat sibuk dengan pekerjaannya.Sebab semua aktifitas keseharian tidak menjadi halangan bagi seseorang untuk senantiasa berdzikir dalam makna untuk mengalirkan lafazh Allah di hatinya. Selain itu ada sejumlah adab yang harus dipenuhi murid berkenaan dengan dirinya sendiri, di antaranya: 1) Meninggalkan para pelaku keburukan dan berkawan dengan orang-orang pilihan. 2) Apabila dia mempunyai anak istri, hendaknya dia menutup pintu saat hendak berzikir. 3) Tidak berlebihan dalam segala hal, tetapi alakadarnya.
32
Ibid.,hlm. 391-396.
63
4) Tidak mencintai dunia dan selalu memandang akhirat. 5) Tidak tidur dalam keadaan junub (berkewajiban mandi besar). 6) Tidak mengharap-harap harta benda milik orang lain serta selalu menutup pintu hasrat mendapatkan perhatian makhluk. 7) Apabila rezekinya sempit dan orang-orang tidak berbelas kasih kepadanya, hendaknya ia bersabar dan tidak gelisah. 8) Senantiasa mawas diri. 9) Menyedikitkan tidur, terutama di waktu suhur. 10) Menjaga diri untuk hanya memakan makanan yang halal. 11) Membiasakan diri makan yang sedikit, yakni berhentii makan sebelum kenyang dan cukup dengan makanan yang sedikit. Kondisi ini bisa menumbuhkan semangat untuk melakukan ketaatan dan menghilangkan kemalasan. 12) Berusaha maksimal mungkin menjaga mata agar tidak sampai melihat hal-hal yang diharamkan. 13) Tidak bergurau, karena bergurau dapat mematikan hati dan menyelimutinya dengan gelap. 14) Meninggalkan perdebatan dengan para pelajar. Sebab berdebat bisa mewariskan kelupaan dan membuat hati keruh. 15) Menghampiri saudaranya sesama murid ketika hati sedang susah. Duduklah bersama mereka sambil membahas adab-adab tarekat.
64
16) Tidak tertawa terbahak-bahak, sebab tawa terbahak-bahak dapat mematikan hati. 17) Tidak membalas keadaan orang lain dan tidak pula berbantahan dengan mereka. 18) Tidak cinta pangkat dan jabatan, karena dapat memutus dari jalan kebenaran. 19) Rendah hati (tawadhu’), karena rendah hati akan menambah derajat seorang hamba. 20) Senantiasa takut
kepada Allah dan berharap mendapat
ampunannya. 21) Membiasakan diri menggantungkan ucapan dan perbuatannya kepada Allah, dengan mengucap “insya Allah”. 22) Menyempatkan waktu khusus untuk menyendiri dan berdzikir dengan
dzikir
yang
diajarkan
oleh
gurunya,
tanpa
menguranginya dan tidak pula menambahnya. 23) Tidak kendur melaksanakan ibadah. 33 c.
Adab Murid terhadap Sesama Murid dan Kaum Muslimin Al-Imam ‘Ali k.w. menuturkan, “Kalian harus bersaudara, karena saudara merupakan bekal hidup di dunia dan akhirat.”Abu asSu’ud berkata, “Barang siapa ingin diberi derajat teratas, maka bersahabatlah dalam ikatan Allah.”34
33 34
Ibid.,hlm. 396-401. Ibid.,hlm. 342.
65
Apabila satu ikatan persahabatan telah terjalin, ada sejumlah hak persahabatan yang harus dipenuhi. Di antaranya adalah: 1) Engkau mencintai mereka seperti mencintai diri sendiri. 2) Setiap kali menjumpai mereka, engkau harus bersedua memulai salam, mengajak bersalaman dan berbicara manis. 3) Memperlakukan mereka dengan akhlak yang baik. 4) Rendah hati terhadap sesama muslim. 5) Meminta ridha mereka dan memandang mereka lebih baik daripada dirimu. 6) Mengasihi dan menyayangi semua saudara sesama muslim. 7) Bersikap lembut dalam menasihati mereka apabila engkau melihat mereka menyalahi aturan. 8) Selalu berprasangka baik kepada mereka. 9) Menerima permintaan maaf saudaramu apabila dia meminta maaf, walaupun dia berbohong. 10) Mendamaikan
saudara
yang
terlibat
perselisihan
tanpa
keberpihakan kepada salah satunya. 11) Senantiasa bersikap jujur dan benar bersama mereka, dalam kondisi apapun. 12) Memberikan kelapangan kepada mereka di dalam majelis. 13) Menanyakan dirinya dan nama bapaknya. 14) Menjaga kehormatan mereka di dalam ketidak hadiran mereka sehingga kehormatan mereka tidak tercemar.
66
15) Menunaikan janji jika engkau berjanji. 35
4.
Jalan Spiritual Menurut Syaikh Muhammad Baha’ al-Din Naqsyabandi, ada tiga jalan di mana orang-orang ‘Arif mencapai ilmu mereka, yaitu: a.
Muraqabah – Kontemplasi Dalam keadaan muraqabah, seorang salik melupakan makhluk dan hanya mengingat Sang Pencipta.
b.
Musyahadah - Penglihatan Dalam keadaan musyahadah, seorang salik memperoleh ilham dari alam gaib yang masuk ke dalam kalbunya.
c.
Muhasabah – Introspeksi diri Dalam keadaan muhasabah, seorang salik mengevaluasi setiap waktu yang telah ia lewati, apakah ia hadir sepenuhnya bersama Allah atau hadir sepenuhnya bersama dunia.36 Syaikh Muhammad Baha’ al-Din Naqsyabandi berkata: Seorang salik dalam tarekat ini harus menyibukkan diri dalam menolak bisikan setan dan godaan egonya.Ia dapat menolaknya sebelum mereka sampai padanya; atau ia menolaknya setelah mereka sampai padanya tetapi sebelum mereka dapat menguasainya. Namun demikian ada juga salik yang tidak menolaknya setelah mereka sampai padanya dan menguasainya.Ia tidak akan memperoleh buahnya, karena pada saat itu mustahil untuk mengeluarkan bisikan itu dari dalam kalbunya.37
35
Ibid.,hlm. 403-410. Naqshbandi Sufi Way, http:/naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/muhammadbahauddin-shah-naqshband-qaddasa-l-lahu-sirrah/ (Diakses tanggal 07 Maret 2016). 37 Ibid., (Diakses tanggal 07 Maret 2016). 36
67
Beliau juga mengungkap makna di balik hadits Nabi SAW., “Menghilangkan sesuatu yang membahayakan dari jalan adalah bagian dari iman.”Apa yang beliau maksud ‘sesuatu yang membahayakan’ adalah ego (nafs), dan yang beliau maksud dengan ‘Jalan’ adalah jalan menuju kepada Allah SWT. Syaikh Muhammad Baha’ al-Din Naqsyabandi mengatakan dalam sebuah syairnya: Setiap orang mendambakan kebaikan, Tetapi tidak ada yang meraih Kenaikan, Kecuali dengan mencintai Sang Pencipta kebaikan. Beliau juga berkata, “Setiap orang yang menyukai dirinya sendiri, harus menyangkal dirinya, dan barang siapa yang menginginkan selain dirinya, pada hakikatnya ia hanya menginginkan dirinya sendiri.”38
5.
Doa Khatam Para Syaikh Khatam artinya penutup, atau akhir.Doakhatam para Syaikh artinya serangkaian wirid, ayat, shalawat, dan doa yang menutup setiap zikir berjamaah.
Doakhatam
ini
dianggap
sebagai
tiang
ketiga
Naqsyabandiyah setelah zikir Allah dan kalimat la ilaha illallah. Untuk membaca doakhatam ini harus memenuhi delapan etika, yaitu:
38
Ibid., (Diakses tanggal 07 Maret 2016).
68
a.
Suci dari hadats dan najis.
b.
Menempati ruang yang sunyi dari manusia.
c.
Dilakukan dengan penuh kekhusyukan dan kehadiran hati, beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan bila engkau tidak melihat-Nya, Dia sungguh melihatmu
d.
Orang-orang yang ikut hadir dalam majlis ini semuanya telah mendapat ijin dari syaikh tarekat Naqsyabandiyah.
e.
Mengunci pintu. Dengan alasan hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim, yang menceritakan bagaimana Rasulullah SAW. masuk ke dalam Ka’bah. Ketika Rasulullah dan orang-orang yang bersamanya telah masuk ke dalam Ka’bah, beliau menyuruh seseorang untuk mengunci pintu, sehingga tidak diganggu oleh orang-orang yang memusuhi kaum muslimin yang berkeliaran di sekitar Masjidil Haram. Al-Imam Nawawi berkata di dalam Syarh Muslim, “Rasulullah SAW. mengunci pintu itu agar lebih terasa nyaman bagi hatinya, dan lebih menghimpun kekhusyukannya.”
f.
Memejamkan mata dari awal bacaan doakhatam sampai selesai.
g.
Berusaha semaksimal mungkin mengusir semua bisikan dari hati, agar tidak disibukkan oleh yang selain Allah.
h.
Duduk tawaruk dalam posisi balik tawarruk shalat.39 Menurut Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi dalam kitabnya
Tanwirul Qulub, rukun doakhatam ada sepuluh, yaitu:
39
Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi, Op. Cit.,hlm. 379-380.
69
a.
Membaca istighfar sebanyak 15 atau 25 kali, didahului oleh sebuah doa pendek.
b.
Berasosiasi kepada syaikh (rabithah asy-syaikh).
c.
Membaca surah al-Fatihah sebanyak 7 kali.
d.
Membaca shalawat kepada Nabi sebanyak 100 kali, misalnya Allahumma shalli ‘ala sayyidina muhammadin an-nabiiyil-ummiyyi wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
e.
Membaca surah al-Insyirah sebanyak 79 kali.
f.
Membaca surah al-Ikhlash sebanyak 1001 kali.
g.
Membasa surah al-Fatihah sebanyak 7 kali.
h.
Bershalawat kepada Nabi sebanyak 100 kali.
i.
Membaca doakhatam para syaikh.
j.
Membaca al-Qur’an yang dirasa mudah (surat-surat pendek).40 Dalam pelaksanaan khatam ini membutuhkan waktu yang cukup
lama, sehingga biasanya dalam pelaksanaannya menggunakan khatam dalam bentuk yang sudah diperingkas.
40
Ibid.,hlm. 380-381.