BAB II SEJARAH DAN DOKTRIN TAREKAT Tarekat biasanya tumbuh dalam sesuatu zaman di mana dalam kehidupan manusia terdapat kesukaran hidup baik jasmani maupun rohani, yang biasanya dalam masa-masa tersebut terdapat kurang perhatian kepada agama dan ketuhanan, serta diiringi oleh kerusakan moral dan akhlak. Dalam hal demikian tarekat dimaksudkan untuk mengadakan pembaharuan dalam kehidupan rohani dan keyakinan. Tetapi ada juga tarekat didirikan dengan tujuan politik tertentu, karena dengan jalan bertarekat orang dapat membentuk kekuatan secara rahasia sebagai oposisi, seperti yang terjadi pada pemerintahan orangorang Arab dan Turki di Persia (Abubakar Atjeh., 1989: 64-65). Sedangkan menurut Barmawie Umarie (1967: 98) sebabsebab timbulnya tarekat adalah sebagai berikut: Pertama; karena memang dalam diri manusia terselip bakat yang cenderung pada kehidupan kerohanian menjadi kegemarannya (psikologis). Kedua; karena reaksi lingkungan, misalnya sesudah adanya revolusi setempat atau penguasa bertindak sewenang-wenang, sehingga banyak orang bersifat apatis, kemudian menerjunkan dirinya memasuki tarekat atau membentuk tarekat sendiri sebagai pelopor atau sebagai oposisi. Ketiga; karena jemunya orang dengan kemewahan dunia atau kehidupan yang serba enak, ingin menyendiri dan hidup sederhana. A. Asal-usul Tarekat dan Perkembangannya Pada awal Islam, kaum muslim sudah mengetahui dan sekaligus mempraktekkan ajaran di mana suatu perasaan rindu kepada Allah, merasakan lezatnya bercinta dengan Allah, atau dengan kata lain umat muslim sudah mempraktekkan olah rahani yang sudah mencapai pada titik puncaknya. Kemudian, konsep-konsep tentang olah rohani tersebut didiskusikan dan ditulis secara lebih tertata pada
18
generasi berikutnya, guna membantu dalam penelitian dan pemahaman, sampai kemudian mengantarkannya kepada suatu titik di mana dia dapat mengalami secara personal (Fadhlalla Haeri., 2000: 45). Dalam menempuh jalan untuk tujuan tertinggi, seseorang perlu berasumsi bahwa hidup tidak seluruhnya bersifat fisik. Ada suatu aspek yang mendasar, yaitu ada sesuatu yang lain di balik eksistensi kita yang fisik. Hal yang sangat sederhana dan titik mula yang wajar ini secara subjektif dapat ditegaskan ketika seseorang secara personal merasakan asal atau sumber hidup ini melampaui batas-batas ruang dan waktu, serta tubuh merupakan kendaraan untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi. Kemudian seseorang maju menyusuri jalan-jalan spiritual (Fadhlalla Haeri., 2000: 46). Konsep dasar tersebut, menjadi cikal bakal lahirnya tasawuf yang menekankan pada kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan demi mencapai kesempurnaan dan kesadaran yang tertinggi. Kemudian dengan berjalannya waktu, konsep dasar itulah juga melahirkan tarekat yang tentunya sebuah organisasi dalam tasawuf, dengan berbagai eksperimen dan pengalaman. Tarekat berasal dari bahasa Arab thariqah yang secara etimologis berarti “jalan” (Said Aqil Siroj., 2006: 97). Sedangkan secara terminologi yaitu jalan atau cara untuk mencapai tingkatan-tingkatan (maqamat) dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Melalui cara ini seorang sufi dapat mencapai tujuan peleburan diri dengan yang nyata (M. Muhsin Jamil., 2005: 47). Said Aqil Siroj (2006: 97) mengatakan tarekat merupakan bagian kecil praktek peribadatan dan mencoba memasuki dunia tasawuf. Artinya menjalankan ajaran Islam dengan hati-hati, teliti, dan melaksanakan fadlail al-a’mal serta bersungguh-sungguh
19
mengerjakan ibadah dan riyadlah, meninggalkan perkara yang syubhat, yang remang-remang, dan tidak jelas hukumnya. Ada yang mengatakan tarekat berarti jalan yang mengacu pada suatu sistem latihan meditasi maupun amalanamalan (muraqabah, dzikir, wirid dan sebagainya) yang dihubungkan dengan sederet guru sufi (Sri Mulyati dkk., 2006: 8). Tarekat merupakan tuntunan hidup praktis dari pada corak konseptual yang filosofis. Jika salah satu tujuan tasawuf adalah makrifat kepada Allah, maka tarekat adalah metode atau cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan tasawuf tersebut (Mahmud Sujuthi., 2001: 1-6). Dan masih banyak lagi pandangan orang tentang tarekat. Tarekat pada mulanya sebagai tata cara dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dan digunakan dan digunakan untuk sekelompok orang yang menjadi pengikut seorang syaikh. Kelompok ini dalam perkembangannya menjadi lembaga-lembaga yang mengumpul dan mengikat sejumlah pengikut dengan aturan-aturan yang ditentukan oleh syaikh. Tarekat juga merupakan peralihan dari tasawuf yang bermula bersifat personal yang mengalami perkembangan dan perluasan tasawuf itu sendiri1. Dengan semakin meluasnya tasawuf, maka banyak pula yang tertarik untuk mempelajarinya yang tentunya dengan orang yang berpengalaman luas terhadap tasawuf, yang nantinya dapat menuntun mereka. Sebab belajar dari seorang guru dengan metode mengajar yang disusun berdasarkan pengalamannya 1
Banyak perkataan tarekat dianggap sinonim dengan istilah tasawuf, yaitu dimensi esoteris dan aspek mendalam dari agama Islam. Sebagai istilah khusus, perkataan tarekat sering dikaitkan dengan suatu “organisasi tarekat”, yaitu suatu kelompok organisasi yang melakukan amalan-amalan dzikir tertentu dan menyampaikan suatu sumpah yang formulanya telah ditentukan oleh pimpinan organisasi tarekat tersebut (Zamakhsyari Dhofier., 1983: 135).
20
dalam suatu ilmu yang bersifat praktikal, adalah suatu keharusan. Dan di sinilah seorang guru tasawuf memformulasikan sistem pengajaran tasawuf berdasarkan pengalamannya sendiri. Sistem pengajaran inilah yang menjadi ciri khas bagi satu tarekat dan yang membedakan dari tarekat lain (Usman Said dkk., 1983: 274-275). Tarekat ditinjau dari segi historisnya 2, kapan dan tarekat mana yang mula-mula muncul sebagai suatu ordo sufi, sulit untuk diketahui dengan pasti. Tetapi menurut Hamka, tarekat Thaifuriyah yang timbul pada abad IX M di Persia, adalah tarekat yang pertama kali muncul sebagai lembaga pengajaran tasawuf. Tarekat ini 2
Menurut Mulyadhi Kartanegara (2006: 241-242), tarekat dilihat dari perspektif sejarah mulai muncul di masyarakat Islam pada awal abad XI M, ditandai munculnya tarekat Qadiriyah. Sebelum ini sufi-sufi besar alBusthami, al-Hallaj, bahkan al-Ghazali belum bisa dikatakan memiliki tarekat, sekalipun ia barangkali memiliki banyak pengikut.adapun beberapa faktor yang mendorong terbentuknya tarekat dalam pengertian sekarang, sebagai lembaga yang baku adalah sebagai berikut: 1) Pengakuan yang diberikan kepada tasawuf oleh para ulama, berkat tulisan-tulisan al-Ghazali, 2) Hilangnya otoritas kekhalifahan bersama dengan kerancuan dan ketidakpastian yang disebabkab oleh invasi-invasi bangsa Mongol, dan 3) Penundukan kaum muslim pada masa berikutnya oleh non-muslim. Sedangkan sejarah mencatat bahwa timbulnya tarekat yaitu pada akhir abad III dan awal abad IV H (Barmawie Umarie., 1967: 98). Sedangkan menurut M. Amin Syukur (2003: 10), tarekat dalam perkembangannya telah melalui berbagai tahapan, pertama; tahap khanaqah (pusat pertemuan). Ini terjadi pada abad III H atau X Masehi. Pada tahap ini, seorang guru telah mempunyai murid yang harus mengikuti aturan-aturan yang ketat. Ia seorang yang harus ditaati, hidup bersama mereka di sebuah tempat untuk mengajarkan suatu ilmu kerohanian. Kedua; tahap thariqah, sekitar abad V H atau XII Masehi. Pada tahap ini sudah berbentuk ajaran, peraturan, dan metode tasawuf. Pada periode ini muncul pusat-pusat yang mengajarkan tasawuf dengan silsilahnya masing-masing. Ketiga; tahap thaifah, yaitu sekitar abad VII H atau XV Masehi. Pada masa ini terjadi transmisi (silsilah) ajaran dan peraturan. Dan lama kelamaan tarekat menjadi sebuah organisasi tasawuf.
21
dinisbatkan kepada Abu Yazid al-Busthami karena fahamnya bersumber dari ajaran al-Busthami (Hamka., 2005: 102). Pendapat ini dapat diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa tarekat-tarekat yang berada di Persia terutama daerah Khurasan pada umumnya penganut faham al-Busthami (Usman Said dkk., 1983: 275). Meskipun demikian, perkembangan yang nyata dari tarekat baru pada abad XII M yang berkembang dari dua daerah, yaitu Khurasan (Iran) dan Mesopotamia (Irak). Tarekat-tarekat yang berberada di Khurasan selalu bertalian dengan al-Busthami, sedangkan yang timbul di Mesopotamia bertalian dengan Junaid al-Baghdadi. Pada pereiode ini mulai timbul tarekat Yasaviyah 3 yang didirikan oleh Ahmad al-Yasavi (w. 562 H/ 1169 M) dan disusul oleh tarekat Khawajaqawiyah 4 yang disponsori oleh Abdul alKhaliq al-Ghuzdawani (w. 617 H/ 1220 M). Kedua tarekat ini menganut paham tasawuf Abu Yazid al-Busthami (w. 425 H/ 1034 M) dan dilanjutkan oleh Abu Ali al-Farmadhi (w. 477 H/ 1084 M) yang diteruskan oleh Yusuf Ibnu Ayyub
3
Tarekat Yasaviyah berkembang ke berbagai daerah antara lain di Turki. Tarekat Yasaviyah yang berkembang di Turki berganti nama dengan tarekat Bektashiyah yang diidentikkan dengan pendirinya Muhammad Ata‟ Ibnu Ibrahim Hajji Bektash (w. 1335 M). Tarekat ini sangat populer dan pernah memegang peranan penting di Turki yang dikenal dengan korps Janissari yang diorganisir oleh Murod I pada masa Turki Osmani (Usman Said dkk., 1983: 276). 4
Tarekat ini menumbuhkan cabang tarekat Naqsyabandiyah yang didirikan oleh Muhammad Bahauddin al-Naqsyabandi al-Awisi al-Bukhari (w. 1389 M) di Turkistan. Dalam perkembangannya tarekat ini menyebar ke Anatolia (Turki) kemudian meluas ke India dan Indonesiadengan berbagai nama baru yang disesuaikan dengan pendirinya di daerah setempat seperti tarekat Khalidiyah, Muradiyah, Mujaddidiyah, Ahsaniyah dan lain-lain (Usman Said dkk., 1983: 276).
22
al-Hamdani (w. 535 H/ 1140 M) kepada kedua pendiri tarekat tersebut di atas. Tarekat yang berasal dari rumpun Khurasan ini selain kedua induknya di atas masih ada lagi yang cukup terkenal seperti tarekat Khalwatiyah 5 yang didirikan oleh Umar al-Khalwati (w. 1397 M), tarekat Safawiyah yang didirikan oleh Safiyuddin al-Ardabili (w. 1334 M), tarekat Bairaniyah yang didirikan oleh Hijji Bairan (w. 1430 M) dan lain-lain. Dari rumpun Mesopotamia yang berpusat di Irak, paham tarekatnya bersumber dari Abdul Qasim al-Junaid (w. 298 H/ 910 M) yang melahirkan berbagai tarekat dari berbagai garis silsilah. Tetapi yang terkenal adalah tarekat Suhrawardiyah yang didirikan oleh Abu Hafs al-Suhrawrdi (632 H/ 1234 M), tarekat Kubrawiyah yang didirikan oleh Najamuddin Kubra (618 H/ 1221 M), dan tarekat Maulawiyah6 yang didirikan oleh Jalaluddin al-Rumi. Masing-masing tarekat ini kemudian menumbuhkan berpuluh-puluh cabang dengan berbagai nama baru sesuai dengan nama pendirinya di mana ia tumbuh dan tersebar ke seluruh dunia Islam. Dalam periode ini, di daerah Mesopotamia juga banyak tarekat muncul dan cukup terkenal tapi tidak
5
Tarekat ini berkembang diberbagai negeri seperti di Turki, Siria, Mesir, Hijaz, dan Yaman. Di Mesir tarekat Khalwatiyah didirikan oleh Ibrahim Gulsheini (w. 940 H/ 1534 M) yang kemudian terbagi berbagai cabang antara lain tarekat Samaniyah yang didirikan oleh Muhammad Ibnu Abd. al-Karim al-Samani (1718-1775 M). Di Turki tarekat Khalwatiyah didirikan oleh Amir Sultan (w. 1439 M). Lihat juga (Usman Said dkk., 1983: 276). 6
Tarekat Kubrawiyah berkembang pesat di India, sedangkan tarekat Maulawiyah berkembang subur di kawasan Turki.
23
termasuk rumpun al-Junaid yaitu: tarekat Qadiriyah7 yang didirikan oleh Muhyiddin Abd. Qadir al-Jailani8 (471 H/ 1078 M), tarekat Syadziliyah yang dinisbahkan kepada Nuruddin Ahmad al-Syadzili (593-656 H/ 1196-1258 M), dan tarekat Rifaiyah yang didirikan oleh Ahmad Ibnu Ali alRifai (1106-1182 M). Pada abad VI, VII, dan VIII Hijriah, fitnah sufisme dalam hal ini tarekat mencapai puncaknya. Di berbagai tempat dibangun kubah-kubah di atas kuburan seseorang yang dianggap keramat. Semua itu terjadi setelah tegaknya Daulah Fathimiyah di Mesir, dan setelah perluasan kekuasaan ke wilayah-wilayah dunia Islam. Kemudian, kuburan-kuburan palsu muncul, seperti kuburan Husain bin Ali di Mesir, dan kuburan Zainab. Setelah itu, mereka melakukan bid’ah dan khurafat yang pada akhirnya mereka menuhankannya. Propaganda yang dilakukan oleh Daulah Fathimiyah tersebut berasal dari Maghrib (Maroko), mereka 7
Tarekat yang tergolong kepada group Qadiriyah ini cukup banyak dan tersebar ke seluruh negeri Islam. Tarekat Faridiyah di Mesir yang dinisbahkan kepada Umar Ibnu al-Farid (1234 M) yang mengilhami tarekat Sanusiyah yang dipelopori oleh Muhammad Ibnu Ali al-Sanusi (1787-1859 M) melalui tarekat Idrisiyah (Ahmad Ibnu Idris) di Afrika Utara dan tarekattarekat yang termasuk grup Qadiriyah yang bersumber dari Dzu Nun alMishri (w. 860 H). Sedangkan tarekat Qadiriyah masuk ke India dibawa oleh Muhammad al-Ghawth (1517 M) yang kemudian dikenal dengan tarekat Ghawthiyah atau al-Mi‟rajiyah, ada pula yang mengatakan tarekat Qadiriyah pertama kali dibawa ke India (di negara Bidar bagian barat India Tengah) oleh Mir Nurullah cucu tokoh sufi besar Iran Syah Ni‟matullah Wali (Sri Mulyati dkk., 2004: 49), dan di Turki dikembangkan oleh Ismail al-Rumi (1041 H/ 1631 M). 8
Para Orientalis sangat meragukan apakah tarekat Qadiriyah didirikan oleh Abd. Qadir sendiri; mereka umumnya menduga bahwa tarekat ini baru muncul pada beberapa generasi berikutnya. Meskipun demikian, sangat mungkin bahwa Abd. Qadir juga mempunyai ajaran khusus yang tidak disebarkan melalui ceramahnya tetapi disampaikan kepada murud-murid terdekatnya saja (Martin van Bruinessen., 1995: 212).
24
menggantikan kekuasaan Abbasiyah yang Sunni. Daulah Fathimiyah berhasil menggerakkan kelompok sufi untuk memerangi dunia Islam yang pada akhirnya pasukan kebatinan tersebut pula yang menyebabkan berkuasanya pasukan salib ke dunia Islam (Hartono Ahmad Jaiz., 1999: 29). Oleh karena banyaknya muncul cabang-cabang tarekat dari tiap-tiap tarekat induk, maka terasa sulit untuk mengidentifikasi dan menelusuri sejarah perkembangan tarekat itu secara sistematis dan konsepsional. Tetapi yang jelas, cabang-cabang itu muncul sebagai akibat dari tersebarnya alumnus dari suatu tarekat yang mempunyai ijazah dari gurunya untuk membuka perguruan baru sebagai perluasan dari ilmu yang diperolehnya. Alumnus tadi meninggalkan ribath gurunya dan membuka ribath baru di daerah lain. Dengan cara ini maka dari satu ribath induk menumbuhkan ribath cabang, dan ribath cabang menumbuhkan ribath ranting dan seterusnya. Namun demikian ribath-ribath tersebut masih mempunyai ikatan kerohanian ketaatan dan amalan-amalan dengan syaikhnya yang pertama. Dan lama kelamaan semakin kuatnya kedudukan tarekat sebagai organisasi tasawuf. B. Ajaran Dasar dan Unsur Tarekat Pada dasarnya semua ajaran tarekat tidak ada perbedaan yang mendasar dengan pokok ajaran Islam, yaitu tauhid, akhlak terpuji, dan pelaksanaannya tetap menempuh jalur syariat. Tarekat mengajarkan kepada penganutnya untuk tidak melakukan bid’ah. Seperti ucapan Abd Qadir alJilani, “Jika padamu berlaku sesuatu yang telah menyimpang dari batas-batas syariat, ketahuilah bahwa kalian dilanda fitnah, setan telah mempermainkanmu. Maka kembalilah kepada hukum syariat dan berpeganglah, tinggalkan hawa
25
nafsu, karena segala sesuatu yang tidak dibenarka syariat adalah bathil (Muhammad Aqil Ali al-Muhdali., 2002: 201). Tarekat berupaya untuk mengendalikan nafsu tercela dan dengan melatih nafsu terpuji untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah. Namun demikian, untuk mencapai jalan kedekatan kepada Allah, para pelaku tarekat harus menempu perjalanan panjang. Rumusan mengenai tahap-tahap perjalanan rohani itu antara satu tarekat memiliki persamaan dan perbedaan. Untuk satu tarekat tertentu terkadang juga merupakan gabungan dari dua unsur atau lebih dari ajaran tarekat. Akan tetapi secara garis beasar, perjalanan rohani itu dirumuskan menjadi takhalli, tahalli, dan tajalli9. Namun demikian, perjalanan yang dirumuskan para sufi sangat komplek dan bervariasi. Yang kemudian dikenal dengan istilah maqam (station) yang merupakan evolusi tahap-tahap peningkatan rohani (M. Muhsin Jamil., 2005: 61). Sementara semua sufi mempraktekkan ritual sufisme, masing-masing tarekat melembagakan pengaturan ritualnya sendiri. Yang pertama dan yang lazim adalah ritual dzikir. Ritual ini terdiri dari doa dan wirid yang berulang yang terkadang cepat dan sederhana, dengan menyebut satu nama Allah. Kadang-kadang lebih mendetail dan mendalam. Dzikir dilaksanakan sampai kesadaran pelaku hilang atau pingsan akibat kelelahan. Dzikir bermanfaat untuk mengosongkan kesadaran dari semua kepedulian dan pemikiran tentang kehidupan manusia dan berkonsentrasi kepada Allah, firman dan hukum-Nya atau Nabi Muhammad. Praktek ini dilakukan kaum sufi dan juga kaum
9
Menurut Mustafa Zahri (1979: 65), takhalli yaiut, membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela dari maksiat lahir batin. Tahalli yaitu, mengisi diri dengan sifat-sifat yang terpuji yaitu taat secara lahir dan batin. Sedangkan tajalli yaitu, memperoleh kenyataan Tuhan .
26
mistik dibanyak tradisi keagamaan lain (Ismail al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi., 2003: 329). Pertumbuhan dan perkembangan tasawuf sebagai ordo dengan sendirinya melembagakan aturan atau disiplin dan merupakan jalan dan aturan yang dengan mengikutinya murid diharapkan dapat memurnikan nafsunya untuk mencapai insan kamil. Tarekat kemudian melahirkan tata ritual dan seremonial. Adapun ritual dan seremonial yang harus dilakukan seseorang apabila ingin memasuki tarekat cukup bervariasi, akan tetapi dalam tarekat terdapat unsurunsur yang melekat dan merupakan bagian dari disiplin dalam bertarekat. Di antaranya adalah: 1. Baiat Pada tahap permulaan seseorang yang ingin memasuki dunia tarekat harus melakukan baiat yang tidak lain adalah sumpah atau pernyataan kesetiaan yang diucapkan oleh seorang murid kepada guru mursyid sebagai simbol penyucian serta keabsahan seseorang mengamalkan ilmu tarekat. Jadi, baiat merupakan upacara sakral yang harus dilakukan oleh setiap orang yang ingin mengamalkan tarekat. Dalam upacara baiat ini, murid diajarka kewajiban untuk mentaati guru yang telah membaiatnya. Dengan berbaiat, maka seseorang memperoleh status keanggotaan secara formal, membangun ikatan spiritual dengan mursyidnya, dan membangun persaudaraan mistis dengan anggota lainnya (M. Muhsin Jamil., 2005: 64-65). Menurut M. Amin Syukur (2003: 53), dalam tarekat baiat dibagi menjadi tiga, yaitu baiat li altabarruk (untuk mengambil berkah), baiat ini kebanyakan disalahartikan oleh banyak pengamal tarekat sebagai modal pengkultusan yang berlebihan kepada syaikh, mereka beramal, tunduk dengan tujuan untuk mendapatkan berkah dari sang syaikh di kala masih
27
hidup maupun sesudah matinya, padahal barakah yang dimaksud adalah mendapatkan berkah dari Allah setelah berjanji kepada-Nya untuk melakukan hal-hal yang baik, baiat husnu al-dhan (baik sangka), artinya barangkali suatu saat bisa mengamalkan dan melaksanakannya, dan baiat li al-tarbiyah (untuk pendidikan), artinya sebagai proses pembelajaran murid. Murid setelah baiat belajar untuk konsekuen, istiqamah, dan menepati janjinya. Sedangkan hukum melanggar baiat dalam bertarekat tidak secara tegas dijelaskan dalam al-Qur‟an dan hadits Nabi saw, yang jelas apabila melanggar janji tersebut, maka Allahlah yang mengetahui sanksi apa yang harus ditimpakannya. Dan perlu diingat sebagaimana dalam alQur‟an surat al-Fath ayat 10 yang artinya: “Bahwa sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu, sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janji niscaya akibatnya ia melanggar janji itu ia akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati janji kepada Allah, maka Dia akan memberinya pahala yang besar.” Berdasarkan uraian tersebut, terlihat dengan jelas bahwa baiat seorang murid harus taat kepada syaikh atau guru, dan ketaatan kepadanya merupakan syarat mutlak yang harus berlaku di dalam tarekat. Apabila ketentuanketentuan semacam ini – patuh secara mutlak kepada syaikh tanpa memandang syariat - bertentangan dengan ketentuan syariat Islam, maka merupakan perbuatan bid’ah dan syirik. Dalam ajaran Islam, ketaatan mutlak bagi seorang muslim hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, atau dengan kata lain taat dan patuh secara mutlak hanya kepada al-Qur‟an dan Sunnah. Sebagaimana yang dijelaskan dalam surat al-Nur ayat 51 yang artinya,
28
“Sesungguhnya jawaban orang-orang yang beriman, apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, ialah (mereka) mengucapkan: Kami dengar dan kami patuhi.” (Abdul Qadir Djaelani., 1996: 149-154). 2. Ajaran Ajaran dalam setiap tarekat berbeda-beda. Akan tetapi, dalam bertarekat dzikir merupakan ajaran utama yang harus ada, walaupun bacaan, jumlah, serta ekspresi dalam berdzikir sangat beragam. Dzikir merupakan praktik sekaligus keadaan esoteris. Sebagai keadaan esoteris, dzikir mengandung paradoks: sekalipun dzikir berarti “ingat,” tetapi pengalaman puncak yang dituju praktik dzikir merupakan pengalaman lupa segalanya kecuali Allah. Dalam keadaan segenap perhatian tercurah kepada menyebut nama Allah, segalanya hilang dari orbit persepsi dan imajinasi. Seluruh perhatian tercurah kepada suatu ketiadaan yang meliputi segalnya (Sara Sviri., 2002: 159). Dzikir juga bisa dikatakan sebagai formulasi gabungan dari ajaran tasawuf tentang pandangannya terhadap Tuhan, manusia, dan dunia yang tentunya mempunyai pandangan berbeda dengan fiqih, kalam, ataupun keilmuan lainnya. Ingat kepada Allah secara alami telah berada dalam setiap jiwa, baik orang itu menyadarinya atau tidak. Melalui bimbingan dari guru spiritual, pencari diajak untuk mencapai suatu tingkatan di mana tidak ada pengingatan kepada segala sesuatu yang bersifat fisik, duniawi, atau inderawi. Kemudian para pencari itu diajak untuk menghidupkan kembali dzikir yang secara alami telah ada di dalam jiwanya, kesadarn kepada Dzat yang meliputi segala sesuatu, hingga kesadarn itu dapat dialami dan dihayati dengan ketenangan jiwa (Fadhlalla Haeri., 2000: 108).
29
Dzikir adalah kunci dan sekaligus menempati posisi yang amat penting bagi tarekat, karena dzikir bagaikan anak kunci yang mampu membuka pintu gerbang dunia spiritual yang tidak terbatas. Apabila pintu hati telah terbuka, muncullah dari dalamnya pikiranpikiran yang arif untuk membuka mata hati. Ketika mata hati telah terbuka, maka tampaklah sifat-sifat Allah melalui mata hati itu. Kemudia mata hati akan melihat refleksi kasih sayang, kelembutan, keindahan, dan kebaikan Allah dalam cermin hati yang bersih dan berkilauan (Sri Mulyati dkk., 2005: 46). Dzikir merupakan bentuk komitmen dan kontinuitas untuk meninggalkan kondisi lupa kepada Allah dan memasuki wilayah musyahadah, dan untuk mengalahkan rasa takut bersamaan dengan rasa kecintaan yang mendalam (Said Aqil Siroj., 2006: 86). Menurut M. Amin Syukur (2003: 278-279), dalam dunia sufistik ada empat macam dzikir 10 yaitu, pertama; dzikir jahri, yaitu dzikir yang jelas dan nyata. Artinya, suatu perbuatan mengingat kepada Allah dalam bentuk ucapan-ucapan lisan, yang lebih menampakkan suara yang jelas untuk menuntun gerak hati. Tujuannya lebih kepada mendorong agar hatinya hadir menyertai ucapan-ucapan lisan. 10
Banyak pendapat yang membagi tingkatan dzikir, seperti pendapat Said Aqil Siroj dzikir dibagi dua yaitu, pertama dzikir bi al-lisan, yaitu mengucapkan sejumlah lafal yang dapat menggerakkan hati untuk mengingat Allah. Dzikir dengan pola ini dapat dilakukan pada saat-saat tertentu dan tempat-tempat tertentu. Kedua, dzikir bi al-qalb, yaitu keterjagaan hati untuk selalu mengingat Allah. Dzikir ini dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja, tidak ada batasan ruang dan waktu. Pelaku sufi lebih lebih mengistimewakan model dzikir seperti ini karena implikasinya yang hakiki. Meskipun demikian, seseorang yang berdzikir dapat mencapai kesempurnaan apabila ia mampu berdzikir dengan lisan sekaligus dengan hatinya (Said Aqil Siroj., 2006: 86).
30
Kebanyakan dzikir jenis pertama ini dilakukan oleh orang awam. Dengan kata lain, dzikir jenis ini pada hakikatnya masih dalam tahap awal, belum menyentuh tahapan kesadaran, apalagi tahapan mahabbah. Sehingga tidak menutup kemungkinan tahapan ini rentan akan bahaya lalai, yang mengakibatkan tertutupnya mata batin. Namun demikian, tahap ini harus dilalui untuk sampai pada tahap berikutnya. Kedua;dzikir khafi, yaitu dzikir yang samarsamar. Dzikir ini dilakukan secara khusuk oleh ingatan hati, baik disertai dzikir lisan atau tidak. Orang yang sampai tahapan ini, hatinya merasa senantiasa memiliki hubungan dengan Allah. Setiap sesuatu yang dilihat, hatinya juga menyadari akan adanya Allah. Ketiga;dzikir haqiqi, yaitu dzikir yang sebenarnya. Jenis yang terakhir ini dilakukan oleh seluruh jiwa raga, baik lahir maupun batin, kapan dan di mana saja berada. Pada tahap ini, seseorang dapat mungkin memelihara jiwa dan raganya dari larangan Allah. Jenis yang ketiga ini, juga disebut dzikir ruhi, dan merupakan tingkatan tertinggi. Dan keempat adalah dzikir fi’li (action); dzikir yang direpresentasikan melalui perbuatan-perbuatan baik. Karena segala yang ada di langit dan di bumi berdzikir kepada Allah. Namun kebanyakan majlis tarekat, dzikir dilakukan secara terbuka. Majlis murid menyimak dari sang syaikh, yang tengah membaca atau memainkan kalimat-kalimat yang menggugah perasaan atau ingatan. Dampak dari menyimak ini berupa bergeloranya emosi sedemikian rupa sehingga tanpa sadar tubuh terseret ke dalam pengalaman batin. Atau murid membaca namanama Allah dan membaca bacaan, dengan melafalkan suku kata tertentu. Dan ini juga membangkitkan emosi dan getaran tubuh yang kuat sehingga terjadi gerakan
31
ekstatis bergairah, terkadang sampai pada titik kehilangan kesadaran (Sara Sviri., 2002: 168). Dengan demikian, orientasi dzikir adalah pada penataan hati yang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, konsepsi dzikir merupakan pelatihan hati untuk ber-musyahadah kepada Allah. Musyahadah adalah upaya pengabdian manusia terhadap segenap yang destruktif, sekaligus menjadi obsesi untuk menjadi pribadi yang sempurna. Musyahadah inilah yang merupakan makna hidup yang telah lama menghilang dari kehidupan, sehingga manusia terperangkap ke dalam berbagai krisis sosial, krisis struktural, hingga krisis moral. Hilangnya musyahadah dalam diri manusia beriringan dengan orientasi hidup yang serba materialistis. Kehidupan manusia pun tidak lagi berkualitas karena pengabaiannya atas makna dan nilai (value). Kerja keras banyak diukur seberapa besar produk yang dihasilkan dan seberapa lama waktu yang dihabiskan. Padahal kerja keras juga mencakup nilai seberapa besar manfaat produk yang dihasilkan bagi kehidupan dan seberapa lama manfaat produk memberi manfaat bagi derajat kemanusiaan (Said Aqil Siroj., 2006: 88). Ajaran dalam tarekat menurut Abubakar Aceh (1996: 126-128) antara lain adalah takwa, yaitu meninggalkan segala maksiat secara lahir maupun batin, dan mengerjakan taat secara lahir maupun batin. Takwa menurut ahli tarekat merupakan bekal yang sangat penting dalam suluk. Dan ajaran tarekat yang fungsinya sebagai kendaraan dalam mengembara adalah himmah, yaitu kesungguhan hati dan i‟tikad bulat akan menjalani suluk itu terus menerus, tidak lalai, tidak lupa, tidak segan-segan merasa letih, sampai kepada martabat yang tinggi, dan percaya bahwa seorang yang berjihad di atas
32
jalan Allah, maka Allah akan menunjukkan jalan yang mulia di sisi Allah. Selain ajaran-ajaran di atas, tentunya seorang murid yang sedang menjalankan suluk itu tidak boleh lengah dari kewajiban agama, baik yang fardhu maupun yang sunnat, baik yang berhubungan dengan ilmu tauhid dan aqidah, maupun yang bersangkutan dengan ilmu fiqih. 3. Mursyid Selain baiat dan dzikir, yang perlu dicatat dalam dunia tarekat terdapat unsur mursyid. Istilah ini ikut andil dalam dunia tarekat yang keberadaanya sangat penting. Tanpa mursyid, suatu tarekat bisa dikatakan ghairu mu’tabarah (pseudo-tarekat). Mursyid adalah istilah yang biasanya diidentikkan dengan tarekat. Artinya, mursyid (syaikh, guru spiritual) yang membimbing para murid menelusuri jalan kesufian untuk sampai pada puncak. Sedangkan fungsi mursyid adalah mendorong muridnya secara gradual sesuai dengan kemampuannya untuk sampai pada level di mana murid mampu membaca sendiri “buku pokok” yang ada dalam hatinya. Apabila penempuh berupaya mempelajari ini dengan tegar, niscaya dia akan terus berkembang dan mengalami peningkatan. Objek kerja mursyid adalah mentransfer apa yang telah dicapainya (Fadhlalla Haeri., 2000: 6768). Syaikh atau guru ataupun mursyid, mempunyai kedudukan penting dalam tarekat. Ia tidak saja merupakan seorang pemimpin yang mengawasi muridmuridnya dalam kehidupan lahir dan pergaulan seharihari, agar tidak menyimpang dari ajaran Islam dan terjerumus ke dalam maksiat, berbuat dosa besar maupun
33
dosa kecil, yang segera ditegurnya, tetapi ia merupakan pemimpin kerohanian yang tinggi sekali kedudukannya dalam tarekat. Ia merupakan perantaraan dalam ibadat antara murid dan Tuhan. Oleh karena itu, jabatan ini tidaklah dapat dipangku oleh sembarang orang, meskipun ia mempunyai lengkap pengetahuannya tentang tarekat, tetapi yang terpenting adalah ia harus mempunyai kebersihan rohani dan kehidupan batin yang murni (Abubakar Aceh., 1996: 79). Tujuan paling pokok dari mursyid adalah membantu para muridnya untuk menyingkap kebenaran dalam kedirian sebelah dalam, dan agar tercerahkan dalam menghadapi realitas, dan menghindarkan murid dari pengaruh-pengaruh iblis yang akan membawa ke jalannya. Syarat seorang mursyid yaitu secara spiritual telah mendapatkan mandat dari mursyidnya untuk menjadi guru dan telah teruji secara praktis dalam kehidupan sehari-hari, di samping secara syar’i telah menguasai ilmu-ilmu agama secara baik, suluk, paham tentang politik, dan paham tentang filsafat. Syarat-syarat mutlak bagi pembimbing tarekat agar tidak terjerumus ke dalam praktek-praktek yang tidak dibenarkan agama (M. Amin Syukur., 2003: 50). Atau dengan kata lain, seorang mursyid harus sudah mencapai maqamrijal al-kamal; seorang yang sudah sempurna suluknya dalam ilmu syariat dan hakikat menurut al-Qur‟an, Sunnah dan Ijma’, dan yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna pengajarannya dari seorang mursyid, ada ikatan janji dan wasiat, serta memperoleh izin dan ijazah untuk menyampaikan ajaran suluk kepada orang lain (Abubakar Aceh., 1996: 79).
34
4. Murid Selain mursyid, dalam dunia tarekat juga tidak asing dengan istilah murid (pencari, salik, penempuh), yaitu orang yang menghendaki pengaetahuan dan petunjuk dalam segala amal dan ibadatnya. Murid-murid terdiri dari laki-laki dan perempuan, baik masih belum dewasa maupun sudah lanjut usia. Murid tidak hanya berkewajiban mempelajari segala sesuatu yang diajarkan atau melakukan segala sesuatu yang dilatihkan mursyid kepadanya, yang berasal dari ajaran-ajaran tarekat, tetapi harus patuh kepada beberapa adab dan akhlak yang ditentukan untuknya, baik terhadap mursyidnya, baik terhadap diri sendirinya, maupun terhadap saudarasaudaranya setarekat, serta orang-orang Islam yang lain (Abubakar Aceh., 1996: 84). Murid sebagaimana mursyid juga mempunyai syarat tersendiri yaitu memdapat bimbingan resmi dari mursyid agar tidak salah jalan. Untuk menjadi murid resmi atau formal, dalam tarekat biasanya calon murid harus melakukan baiat terlebih dahulu, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Selain itu murid juga mempunyai bekal ilmu syariat yang kuat dan memadai. Artinya murid telah siap untuk masuk dan mempelajari ilmu tasawuf. Selain itu seorang murid juga mempunyai kewajiban untuk patuh dan taat kepada mursyid sebagaimana yang telah diucapkan dalam baiat. Adapun adab murid terhadap gurunya menurut Abubakar Aceh (1996: 85) banyak sekali, tetapi yang paling utama dan terpenting adalah bahwa seorang murid tidak boleh sama sekali menentang gurunya, sebaliknya harus membesarkan kedudukan gurunya baik secara lahir maupun batin. Ia tidak boleh meremehkan, apalagi mencemoohkan, mengecam gurunya di depan dan di belakang. Salah satu yang harus diyakini adalah bahwa
35
maksudnya itu hanya akan tercapai karena didikan dan asuhan guru. Oleh karena itu, jika pandangannya terpengaruh oleh pendapat guru-guru lain, maka yang demikian itu akan menjauhkan dia dari gurunya, dan tidak akan terlimpah percikan cahaya dari sang guru. Hubungan antara mursyid dan murid sewaktuwaktu bisa terputus apabila seorang mursyid dan murid mencapai suatu titik di mana kontrak -tak tertulis- yang ada pada mereka dipandang sudah tidak sah, dan hubungan mereka pun terputus. Murid meninggalkan mursyid dan menyoroti bahwa segala yang nampak tidak menyenangkan dari mursyidnya, artinya murid tidak puas dengan mursyidnya, baik disebabkan dari mursyidnya yang cara membimbing, atau mungkin dalam keseharian sang mursyid dianggap oleh muridnya telah menyalahi ajaran agama. Bahkan mungkin juga sebaliknya, kesalahan tersebut datang dari murid yang tidak taat kepada peraturan dari mursyid, atau sang murid telah menyeleweng dari ajaran agama (Fadhlalla Haeri., 2000: 65). 5. Silsilah Adapun dalam tarekat, silsilah mempunyai peranan penting. Silsilah bagi seorang syaikh atau mursyid, merupakan syarat penting untuk mengajarkan atau memimpin suatu tarekat, karena ia memberi petunjuk kepada murid-muridnya. Mereka yang akan menggabungkan diri kepada suatu tarekat, hendaklah mengetahui sungguh-sungguh nisbah atau hubungan guru-gurunya itu bersambung antara satu dengan yang lain sampai kepada Nabi Muhammad. Karena itu merupakan keharusan, sebab bantuan kerohanian yang diambil dari guru-gurunya itu harus benar dan sampai kepada Nabi, dan jika tidak benar atau tidak sampai
36
kepada Nabi, maka bantuan itu dianggap terputus dan tidak merupakan warisan Nabi (Abubakar Aceh., 1996: 97). Silsialah merupakan hubungan nama-nama yang sangat panjang, yang satu bertali dengan yang lain, biasanya tertulis dengan rapi dengan bahasa Arab di atas sepotong kertas, yang diserahkan kepada seorang murid tarekat sesudah mereka melakukan latihan dan amalamal, dan sesudah menerima petunjuk, irsyad dan peringatan-peringatan, talqin, dan sesudah membuat janji untuk tidak melakukan maksiat yang dilarang oleh mursyidnya, sumpah, dan menerima ijazah atau khirqah11, sebagai tanda boleh meneruskan lagi pelajaran tarekat itu kepada orang lain (Abubakar Aceh., 1996: 97).
C. Akar Tarekat Nusantara Kehadiran tasawuf berikut lembaga-lembaga tarekatnya di Indonesia, sama tuanya dengan kehadiran Islam itu sendiri sebagai agama yang masuk di kawasan ini. Sebagian mubaligh yang menyebarkan Islam di Nusantara, telah mengenal ajaran Islam dalam kapasitas mereka sebagai guru-guru sufi.12 Tradisi tasawuf telah menanamkan akar 11
Perbedaan antaraijazah dan khirqah terletak pada perbedaan bentuk, ijazah biasanya merupakan surat keterangan yang memberikan kekuasaan kepada seseorang untuk selanjutnya mengajarkan tarekat itu kepada orang lain, baik bersama-sama dengan beberapa wasiat dan nasehat, sedangkan khirqah merupakan sepotong kain atau pakaian dari bekas pakaian gurunya, yang biasanya oleh murid dianggap setengah suci dan menjadi kenang-kenangan baginya (Abubakar Aceh., 1996: 98-99). 12 Banyak teori yang berbeda tentang masuknya tarekat di Nusantara. Ada yang mengatakan tasawuf beserta lembaga tarekatnya masuk di Nusantara dibawa oleh para pedagang yang sebenarnya mereka juga seorang sufi. Para sufi yang sekaligus pedagang berhasil membumikan Islam
37
yang fundamental bagi pembentukan karakter dan moralitas kehidupan sosial masyarakat Islam di Indonesia (Zamakhsyari Dhofier., 1983: 140). Dengan demikian peran tasawuf dengan lembaga-lembaga tarekatnya sangat besar dalam rangka mengembangkan dan menyebarkan Islam di Indonesia. Namun tampaknya, dari sekian banyak tarekat yang ada di dunia, hanya ada beberapa tarekat yang bisa masuk dan berkembang di Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena adanya faktor kemudahan sistem komunikasi dalam kegiatan trasmisinya. Tarekat yang masuk di Indonesia adalah tarekat yang populer di Makkah dan Madinah, dua kota yang saat ini menjadi pusat kegiatan dunia Islam. Faktor lain adalah karena tarekat-tarekat itu dibawa langsung oleh tokoh-tokoh pengembangnya yang umumnya berasl dari Persia dan India. Kedua negara itu mempunyai hubungan yang khas dengan komunitas muslim pertama di Indonesia (Ajid Thohir., 2002: 27-28). Beberapa tarekat yang masuk dan berkembang di Indonesia sejak abad XVI atau abad XVII hingga abad XIX, di antaranya adalah tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syattariyah, Khalwatiyah, Samaniyah, dan Alawiyah. Juga ada tarekat yang lebih dikenal dengan sebutan Haddadiyah Nusantara sekitar abad XIII sampai abad XIV. Tepat setelah kehancuran Bagdad pada tahun 1258 yang menyebabkan dunia intelektual terpuruk kehilangan jati dirinya (Azyumardi Azra., 1998: 35). Teori para pedagang sufi ini tidak dengan serta merta dapat menunjukkan siapa dan kapan serta tarekat apa yang dibawa sufi ke Nusantara. Mengenai jenis ajaran apakah yang berkembang pada awal persebaran Islam masih membutuhkan kajian mendalam. Namun ada hipotesis yang masih harus ditelusuri lebih lanjut mengenai hal ini yaitu bahwa ajaran tasawuf al-Ghazali telah lebih lama dan kuat di Indonesia dari pada ajaran wahdat al-wujud. Hipotesis ini didukung atas penelusuran atas karya-karya tertua tentang Islam. Kajia Drewes atas karya-karya berbahasa Jawa membuktikan adanya karya yang muncul pada periode transisi dari agama Hindu ke agama Islam di antaranya kitab Bidayah al-Hidayah. Melihat karya itu bisa dipastikan pengarangnya merupakan penganut tasawuf al-Ghazali (M. Muhsin Jamil., 2005: 72).
38
dan sejenisnya, yang muncul berkat kreativitas umat Islam Indonesia, terutama para habib turunan Arab. Pada periode berikutnya, tarekat Tijaniyah masuk pada awal abad XX yang dibawa oleh para jama‟ah haji Indonesia (Ajid Thohir., 2002: 28). Ciri yang menonjol yang menjadikan jaringan ulama tarekat di Haramain menjadi pangkal titik temu isnad dari berbagai tarekat. Yaitu tarekat-tarekat pada masa itu adalah, bahwa mereka semua ternyata diorganisasi secara longgar, tidak ada batasan-batasan jelas di antara berbagai tarekat yang jumlahnya cukup banyak, baik dalam doktrin-doktrin maupun praktek-praktek ata keanggotan mereka. Para syaikh dan murid-murid sufi tidak harus setia pada satu tarekat saja; mereka bisa menjadi pemimpin dan murid dari sejumlah tarekat. Lebih jauh lagi, mereka dapat berhubungan bukan hanya dengan tarekat-tarekat tertentuyang berasal atau yang kebanyakan berkembang di satu wilayah tertentu dunia Islam, tetapi juga dengan tarekat yang datang dari berbagai wilayah lain, kenyataan ini menunjukkan karakter kosmopolitanisme para mursyid tarekat saat itu (Azyumardi Azra., 1998: 128). Posisi strategis tarekat ini dalam perkembangannya tentu sangat rentan mengandung ketidak jelasan. Di samping itu, tarekat sebagai metode pendekatan diri kepada Allah sangat berpotensi menimbulkan faksi-faksi tarekat. Dalam tataran ini, menuntut kemungkinan muncul tarekat-tarekat yang diragukan autentitasnya. Dari berbagai kalangan yang ada di Indonesia, perbedaan mengenai tarekat-tarekat mana yang dianggap sah, keautentikannya telah lazim terjadi. Misalnya tarekat-tarekat yang mu’tabarah (tarekat yang mempunyai sanad yang bersambung kepada Rasulullah; dan absah untuk diamalkan), antara lain: Rumiyah, Rifa‟iyah, Sa‟diyah, Bakriyah, Justiyah, Umariyah, Alawiyah, Abbasiyah, Zainiyah, Dasuqiyah, Akbariyah, Bayumiyah,
39
Malamiyah, Ghaiyah, Tijaniyah, Uwaisiyah, Idrisiyah, Samaniyah, Buhuriyah, Usyaqiyah, Kubrawiyah, Maulawiyah, Jalwatiyah, Bairumiyah, Ghazaliyah, Hamzawiyah, Haddadiyah, Madbuliyah, Sumbuliyah, Idrusiyah, Usmaniyah, Syadziliyah, Sya‟baniyah, Qalqasyaniyah, Khadliriyah, Syathariyah, Khalwatiyah, Bakdasyiyah, Syuhriwiyah, Ahmadiyah, „Isawiyah, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, Khalidiyah wa Naqsyabandiyah (Said Aqil Siroj., 2006: 98).
40