Sejarah dan Dokrin Sufisme
BAB II SEJARAH DAN DOKTRIN SUFISME A. Asal Usul Sufisme dan Perkembangannya 1. Pengertian Tasawuf anusia adalah makhluk berpikir dan merasa. Bertasawuf artinya menghidupkan hubungan rasa antara manusia dengan Tuhan. Berbeda dengan kesadaran intelektual tentang adanya Tuhan yang belum tentu mendatangkan ketenangan jiwa, kesadaran rasa berhubungan dengan Tuhan dan menempatkan seseorang berada dalam harmoni sistem sunatullah. Bagi orang yang sudah sampai pada stasion ridha atau mahabbah, apalagi ma’rifat, maka ia tak akan terganggu oleh perubahan zaman hidupnya, karena pusat perhatiannya tidak lagi kepada yang berubah, tetapi kepada yang tetap tidak berubah yaitu Allah. Kesadaran rasa berhubungan dengan Tuhan dapat memupuk fitrah keberagamaan yang hanif dan mempertajam bashirah sehingga seseorang selalu tergelitik untuk memperdekatkan dirinya kepada Allah (Mubarok, 2001: 124). Salah satu ajaran yang dapat mendekatkan diri manusia kepada Tuhan, adalah tasawuf. Tasawuf merupakan nama yang diberikan bagi Mistisisme dalam Islam, yang oleh para orientalis Barat disebut dengan Sufism (sufisme). Menurut Sholikin (2004: 3), kata sufisme dalam literatur Barat khusus dipakai untuk Mistisisme Islam (Islamic mysticism) atau mistik yang tumbuh dalam Islam. Sebagai salah satu disiplin keagamaan, tasawuf merupakan bidang yang oleh sementara kalangan dianggap
M
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 14
Muhamad Nur
sebagai disiplin yang ada pada wilayah yang berbeda dengan ilmu pengetahuan pada umumnya (Muhammad, 2002: 1) Tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan mistisisme di luar agama Islam, mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan (Nasution, 1995: 56). Intisari dari mistisisme, termasuk di dalamnya tasawuf, adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi (Nasution, 2002: 68). Masalah yang muncul apakah yang dimaksud dengan tasawuf itu sendiri? Beberapa ahli merumuskan tasawuf dalam rumusan yang berbeda-beda, akibat sudut pandang dan titik tekan yang berbeda. Adanya perbedaan rumusan tentang pengertian tasawuf bukanlah berarti untuk disiplin ilmu lain rumusannya tidak berbeda-beda. Dalam fiqih (hukum Islam) pun terdapat rumusan yang berbeda-beda. Demikian pula dalam ilmu hukum Barat pun tidak ada kesepakatan para ahli tentang apa itu hukum? Kurang lebih 200 tahun yang lalu Immanuel Kant sebagaimana dikutip Kansil (1986: 35) pernah menulis sebagai berikut: “Noch suchen die Juristen eine Definition zu ihrem Begriffi von Recht” (masih juga para sarjana hukum mencari-cari suatu definisi tentang hukum). Dalam tasawuf pun terdapat berbagai istilah yang mewarnai pengertian tasawuf itu sendiri. Sebutan atau istilah tasawuf tidak pernah dikenal pada masa Nabi maupun Khulafaur Rasyidin, karena pada masa itu para pengikut Nabi saw diberi panggilan sahabat. Panggilan ini adalah yang paling berharga pada saat itu. Kemudian pada masa berikutnya, yaitu pada masa sahabat, orang-orang muslim yang tidak berjumpa dengan beliau disebut tabi’in, dan seterusnya disebut tabi’it tabi’in. Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III hijriyah, oleh Abu Hasyim al-Kufy (w 250 H) dengan meletakkan al-sufi dibelakang namanya, sebagaimana dikatakan Nicholson, bahwa sebelum Abu Hasyim al-Kufy telah ada ahli yang mendahuluinya dalam zuhud, wara, tawakkal, dan dalam mahabbah, akan tetapi dia yang pertama kali diberi nama al-sufi (Kansil, 1986: 8). Secara etimologis, para ahli berselisih pendapat tentang asal kata tasawuf. Namun salah seorang pakar tasawuf yaitu H.M. Syukur terhadap
15 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Sejarah dan Dokrin Sufisme
yang terakhir ini tidak setuju. Beliau cenderung pada pendapat yang mengatakan bahwa kata tasawuf berasal dari Shuf (bulu domba). Selanjutnya orang yang berpakaian bulu domba disebut mutashawwif, perilakunya disebut tasawuf (Nasuton, 1995: 56-58). Secara terminologis, tasawuf atau sufisme diartikan secara variatif oleh para sarjana atau pakar bidang tasawif. Ibrahim Basuni sebagaimana dikutip Syukur, (2002: 14) mengklasifikasikan definisi tasawuf menjadi tiga varian, yakni definisi yang menitik beratkan pada al-Bidayah (tasawuf dalam tataran elementer), al-Mujahadah (tasawuf dalam tataran intermediate), dan al-Madzaqat (tasawuf dalam tataran advance). Definisi tasawuf dari sudut al-Bidayah, antara lain dikemukakan oleh Sahalal-Tustury mendefinisikan tasawuf dengan: Seorang sufi ialah orang yang hatinya jernih dari kotoran, penuh pemikiran, terputus hubungan dengan manusia, dan memandang sama antara emas dan kerikil. Dari sisi al-Mujahadah, Abu Muhammad al-Jaziri mengartikan tasawuf dengan: “masuk kedalam akhlak yang mulia dan keluar dari semua akhlak yang hina (Syukur, 2002: 14). Untuk mencapai tujuan tasawuf seseorang harus melaksanakan berbagai kegiatan (al-Mujahadah dan al-Riyadlah), tidak dibenarkan memisahkan amaliah keruhanian dengan syariat agama Islam. Apabila pada pengertian kedua (dari sisi al-Mujahadah), tasawuf mempunyai pengertian berjuang, menundukkan hawa nafsu/keinginan. Pengertian tasawuf pada sisi al-Madzaqat, tasawuf diartikan dan dititik beratkan rasa serta kesatuan dengan yang mutlak (Allah SWT), sebagaimana dikatakan oleh Ruwaim bahwa tasawuf itu ialah melepaskan jiwa terhadap kehendak Allah SWT. Demikian pula al-Sybli menyatakan bahwa tasawuf adalah bagaikan anak kecil dipangkuan Tuhan. Sedang al-Hallaj menyatakan bahwa tasawuf itu kesatuan dzat. Berdasarkan pengertian di atas secara sederhana, bahwa tasawuf itu ialah suatu sistem latihan dengan kesungguhan (riyadlah mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi dan memperdalam keruhanian dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, sehingga dengan itu segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya. Oleh karena itu, maka al-Suhrawardi mengatakan bahwa semua tindakan (al-akhwal) yang mulia adalah tasawuf (Syukur, 2002: 14). Pengertian seperti itu, Syukur, (2002:
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 16
Muhamad Nur
16-17) merumuskan bahwa tasawuf adalah bagian ajaran Islam, karena tasawuf membina akhlak manusia (sebagaimana Islam juga diturunkan dalam rangka membina akhlak umat manusia) di atas bumi ini, agar tercapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat. Oleh karena itu, siapapun boleh menyandang predikat mutasawwif sepanjang berbudi pekerti tinggi, sangup menderita lapar dan dahaga, bila memperoleh rizki tidak lekat di dalam hatinya, dan begitu seterusnya, yang pada pokoknya sifat-sifat mulia, dan terhindar dari sifat-sifat tercela. Hal inilah yang dikehendaki dalam tasawuf yang sebenarnya. 2. Pembagian Tasawuf Secara keseluruhan ilmu tasawuf menurut Syukur, (1996: 224) bersifat teoritis. Tasawuf yang tercakup pada bagian ini ialah sejarah lahirnya tasawuf dan perkembangannya sehingga menjelma menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Termasuk di dalamnya teri-teori tasawuf menurut berbagai tokoh tasawuf dan tokoh luar tasawuf yang berwujud ungkapan sistematis dan filosofis. Bagian kedua ialah tasawuf Amali atau tathbiqi yaitu tasawuf terapan, yakni ajaran tasawuf yang praktis. Tidak hanya teori belaka, tetapi menuntut adanya pengamalan dalam rangka mencapai tujuan tasawuf. Orang yang menjalankan ajaran tasawuf ini akan mendapat keseimbangan dalam kehidupannya, antara material dan spiritual, dunia dan akhirat (Syukur dan Fatimah, 2004: 5). Sementara ada lagi yang membagi tasawuf menjadi tiga bagian, yakni tasawuf akhlaqi, tasawuf amali, dan tasawuf falsafi. a. Tasawuf Akhlaki Tasawuf Akhlaqi ialah tasawuf yang menitik beratkan pada pembinaan akhlak al-karimah. Akhlak adalah kehendak yang dibiasakan sehingga menimbulkan akhlak (Amin, 1995: 16) Nampak adanya perbuatan itu didorong oleh jiwa, ada motivasi (niat) kuat dan tulus ikhlas, yang dilakukan terus-menerus sehingga menimbulkan akhlak. Tasawuf Akhlaqi merupakan ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat. Guna mencapai kebahagiaan yang optimum manusia harus lebih dahulu
17 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Sejarah dan Dokrin Sufisme
mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui pensucian jiwa raga, bermula dari pembentukan pribadi bermoral dan berakhlak, yang dalam ilmu tasawuf dikenal sebagai takhalli (pengosongan diri dari sikap tercela). Tahalli (menghias diri dengan sifat yang terpuji), dan tajalli (terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan) (Syukur dan Masyaruddin, 2002: 45). b. Tasawuf Amali Tasawuf Amali ialah tasawuf yang menitik berat pada amalan lahiriyah yang didorong oleh qalb (hati) dalam bentuk wirid, hizib, dan doa. Tasawuf ini dikenal dengan tariqat yang berarti jalan menuju Allah, yang selanjutnya menjelma menjadi organisasi ketasawufan yang diikat dalam sebuah organisasi yang dilengkapi dengan aturan-aturan yang ketat dengan mengkaitkan diri kepada seorang guru (mursyid). Pengikut tariqat harus berguru, sebab yang bertariqat tanpa guru, maka gurunya adalah syaitan. Organisasi ini dihimpun dalam suatu wadah yang namanya disesuaikan dengan nama perintisnya, seperti tariqat qadiriyah naqsabandiyah, alawiyah dan sebagainya (Syukur, 2002: 45). Tasawuf amali membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam pengertian ini, tasawuf amali berkonotasikan tarekat, dalam tarekat dibedakan antara kemampuan sufi yang satu daripada yang lain, ada orang yang dianggap mampu dan tahu cara mendekatkan diri kepada Allah, dan ada orang yang memerlukan bantuan orang lain yang dianggap memiliki otoritas dalam masalah itu. Perkembangan selanjutnya, para pencari penuntun semakin banyak dan terbentuklah semacam komunitas sosial yang sepaham, dan dari sini muncullah strata-strata berdasarkan pengetahuan serta amalan yang mereka lakukan. Dari sini maka muncullah istilah murid, mursid, wali dan sebagainya. c. Tasawuf Falsafi Tasawuf Falsafi yaitu tasawuf yang dipadukan dengan filsafat. Dari cara memperoleh ilmu menggunakan rasa, sedang menguraikannya menggunakan rasio, ia tidak bisa dikatakan tasawuf secara total dan tidak bisa disebut filsafat, tetapi perpaduan antara keduanya, selanjutnya
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 18
Muhamad Nur
dikenal tasawuf Falsafi. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa tasawuf falsafi sejenis tasawuf yang ajarannya berusaha memadukan antara visi tasawuf dan filsafat, sehingga cenderung melampaui batasbatas syariah (Masyharuddin, dalam Syukur, 2001: 87).. Tasawuf falsafi ajaranya memadukan antara visi mistis atau intuitif dan visi rasional. Termionologi filosofis yang digunakan berasal dari berbagai ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang (Siregar, 2002: 141) Walaupun demikian tasawuf filosofis tidak bisa dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), dan tidak bisa dikategorikan pada tasawuf (yang murni) karena sering diungkapkan dengan bahasa filsafat. Bahkan ungkapan yang samarsamar (syathahiyyat) dan sulit dipahami, sering terlontar dari ucapan para tokohnya, yang berakibatkan kesalah pahaman dan tragedi. Berbeda dengan pembagian tasawuf di atas, Abd al-Kadir Mahmud sebagaimana dikutip Masyharuddin, mengelompokkan aliran/madzhab tasawuf kedalam tiga aliran; tasawuf Salafi, tasawuf Sunni, dan tasawuf Falsafi (Masyaruddin, dalam Syukur dan Muhayya, 2001: 86-87). a. Tasawuf Salafi Tasawuf Salafi adalah tasawuf yang ajaran dan metodenya berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah nabi serta praktik-praktik keruhanian generasi salaf. Tasawuf Sunni merupakan tasawuf yang ajarannya berusaha memadukan aspek syari’ah dan hakikat namun diberi interpretasi dan metode baru yang belum dikenal pada masa salaf alShalihin (Syukur dan Muhayya, 2001: 87) Pertumbuhan tasawuf Sunni dan Falsafi lebih berkembang dan lebih menarik minat banyak orang. Tasawuf Sunni mencapai puncaknya di tangan al-Ghazali, sedang tasawuf Falsafi mencapai puncaknya di tangan ibn Arabi. Sementara itu, tasawuf Salafi meskipun cikal bakalnya telah ada sejak masa salaf (sahabat dan tabi’in), namun baru menemukan formatnya setelah dikembangkan oleh para tokoh hadits madzab Hanbali, di antaranya adalah Syekh Ibnu Taimiyah. Tasawuf Salafi oleh Fazlur Rahman dipandang sebagai neo sufisme (Syukur dan Muhayya, 2001: 87). Upaya menghidupkan kembali tasawuf Salafi oleh para tokoh madzhab Hanbali dilakukan setelah mereka melihat gerakan tasawuf
19 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Sejarah dan Dokrin Sufisme
dapat menguasai dunia Islam selama abad VI dan VII Hijriyah, baik secara emosional, spirituial maupun intelektual. Melihat kenyataan tersebut, mereka sampai pada suatu kesimpulan bahwa sama sekali tidak mungkin mengabaikan kekuatan-kekuatan sufisme secara keseluruhan. Karena itu mereka berusaha menggabungkan kedalam metodologi mereka, warisan para sufi sebanyak mungkin yang dapat dikompromikan dengan doktrindoktrin Islam ortodok, sehingga dapat memberi kontribusi positif kepadanya. Ada dua cara yang mereka tempuh, yaitu: Pertama, motif moral sufisme lebih ditekankan dan sebagaian dari teknik dzikir dan murakabah diterima pula. Tetapi obyek dan kandungan muraakabah tersebut, kini diidentifikasikan dengan doktrin ortodok dan selanjutnya didefinisikan kembali sebagai peneguhan keimanan sejalan dengan ajaran-ajaran dogmatis dan kesucian moral jiwa. Kedua, formulasi tasawuf yang diperbaharui ini diarahkan untuk memperbaharui aktifisme ortodoks dan menanamkan kembali sikap positif terhadap dunia. Dalam makna ini maka ibn Taimiyah sebagai salah satu penerus madzhab Hanbali walaupun banyak mengkritik tasawuf, namun ia termasuk perintis tasawuf Salafi atau neo sufisme. b. Tasawuf Sunni Menurut ‘Abd al-Qadir Mahmud, (t.th.: 150-151) tasawuf sunni adalah suatu ajaran tasawuf yang secara epistimologis, ajarannya berusaha memadukan antara aspek eksoterik (syari’ah) dan dimensi esoterik (haqiqah) dengan berdasarkan pada al-Quran dan al-Sunnah, serta masih diwarnai dengan berbagai interpretasi baru dan menggunakan metode-metode baru pula yang belum banyak dikenal pada masa generasi pertama Islam (slafiyin). Tasawuf sunni merupakan produk dari sikap akomodatif para ulama’ terhadap dinamika budaya yang nota bene berasal dari luar Islam, dalam rangka memperkaya (enrichment) metode-metode internalisasi ajaran-ajaran Islam yang terhimpun dalam al-Quran dan al-Sunnah alNabawiyah, agar berbagai dimensi keislaman normative yang ada terasa lebih fungsional dalam kehidupan berketuhanan dan berkemanusiaan secara harmonis-dialogis. Secara histories, tasawuf sunni ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari model tasawuf generasi awal Islam abad pertama dan kedua
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 20
Muhamad Nur
Hijriyah,1 seiring dengan berkembang dan menghegemoninya tauhid Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah,2 yang dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dengan didukung penguasa abad ketiga Hijriyah dan seterusnya, maka wacana tasawuf pun akhirnya terpengaruh pada epistimologi paham ahl al sunnah tersebut (Mahmud, t.th.: 78-79). Menurut Taftazani, (1985: 95), pada abad ke tiga Hijriyah sudah nampak adanya perbedaan dua model aliran tasawuf. Pertama aliran para sufi yang pendapat-pendapatnya moderat. Tasawufnya selalu merujuk kepada al-Quran dan al-Sunnah. Atau dengan kata lain tasawuf aliran ini selalu bertandakan timbangan syari’ah. Sebagaian para sufinya merupakan ulama terkenal dan tasawufnya didominasi ciri-ciri moral. Kedua, aliran para sufi yang terpesona oleh keadaan-keadaan fana’. Para sufi aliran kedua ini sering mengucapkan kata-kata atau kalimat yang terkesan ganjil yang terkenal dalam dunia tasawuf sebagai shathahat. Para sufi menumbuhkan konsep-konsep hubungan manusia dengan Allah, seperti penyatuan atau hulul. Dan sedikitnya tasawuf mereka bertandakan beberapa kecenderungan metafisis. Model pertama itulah yang kemudian dikenal sebagai tasawuf sunni, sedangkan yang kedua merupakan tasawuf falsafi/semi-falsafi. Selama abad kelima Hijriyah, aliran yang pertama terus tumbuh dan berkembang. Sebaliknya aliran yang kedua mulai tenggelam dan muncul kembali dalam bentuk lain pada pribadi-pribadi para sufi yang juga filosof pada abad keenam Hijriyah dan setelahnya. Tenggelamnya aliran yang kedua pada abad kelima Hijriyah itu, pada dasarnya hanya dimungkinkan oleh berjayanya aliran teologi Ahl alSunnah wa al-Jama’ah, 3 atau aliran lainnya, dengan kritiknya yang tajam 1 Model tasawuf pada masa abad tersebut, meskipun belum dapat dikatakan sebagai tasawuf yang sebenarnya, oleh beberapa tokoh dikategorikan sebagai tasawuf salafi, yaitu tasawuf yang hanya berpegang pada sumber al-Qur‟an dan al-Sunnah dengan merefer pada praktik-praktik kehidupan Nabi dan para sahabatnya 2 Ahl al-Sunnah wa al-Jama‟ah sering dikonotasikan sebagai ajaran atau madzab dalam Islam yang berkaitan dengan konsep aqidah, shari‟ah dan tasawuf yang bercorak moderat. Ciri intrinsic golongan ini adalah (1) keseimbangan pada penggunaan dalil aqli dan naqli; (2) Mempunyai kenetralan dasar dalam politik, moderasi dan toleran, dan (3) Akomodatif atas berbagai perubahan yang berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan demikian golongan ini mampu menumbuhkan semacam relatifisme internal Islam. Lihat (Madjid, 1984: 16-17). Dan (Mahfudh, 1994: 107). Dalam pengertian histories-teologis, lihat (Nasution, 1986: 61-76). 3 Para sufi yang menyimpang dan menyatakan hulul, mendukung nihilisme, dan melihat Tuhan Allah di dunia, mendapat kecaman keras dari pendiri aliran ahl al-Sunah
21 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Sejarah dan Dokrin Sufisme
dan keras terhadap keekstriman tasawuf Abu Yazid al-Bustami,4 dan alHallaj,5 maupun para sufi-sufi yang lain yang ungkapan-ungkapannya terkenal ganjil, termasuk kecamannya terhadap semua bentuk berbagai penyimpangan lainnya, yang mulai timbul di kalangan tasawuf falsafi di masa lalu. Kalau pada abad sebelumnya terjadi ketegangan antara fiqh dan tasawuf, (Taftazani, 1985: 92-95) di tambah juga dekatnya kaum sufi dengan kaum Syi’ah yang semakin menambah buruknya pandangan kaum sunni terhadap tasawuf, maka pada abad ke-5 Hijriyah timbullah kembali pengintegrasian antara figh dan tasawuf, antara syariat dan hakikat (Hamka, 1994: 130-132) Selain itu, tasawuf pada masa ini menurut pengamatan sarjana dari Barat, Schimmel, (1986: 78) merupakan masa konsolidasi dengan karakteristik yang mempunyai kecenderungan mengadakan pembaruan yaitu ditandai dengan pemantapan dan pengembalian tasawuf kepada landasannya. Dengan demikian tasawuf sunni itu yang sebenarnya, secara kronologis-historis terdapat di abad ke-5 Hijriyah. Tokoh-tokoh pada waktu ini antara lain adalah al-Qusyairi, al-Harawi, keduanya dipandang sebagai tokoh sufi pada abad tersebut yang sangat menonjol yang membawa tasawuf ke arus aliran sunni, dan metode keduanya tersebut dalam hal pembaharuan akan diikuti oleh al-Ghazali. Juga termasuk alHujwiri, (1992: 8) pengarang ”Kashful Mahjub” yang menurut Nicholson hidup sezaman dengan al-Qusyairi, dan Abu ‘Abd Rahman al-Sulami, penyusun al-Thabawat al-Kubra. Abu Hasan al-Asy‟ari (al-Asy‟ari, 1920:.5). Hal ini kemudian diikuti oleh para tokoh yang sealiran dengannya. Diantara mereka ialah Fakhruddin al-Razi. Lihat (al-Razi, 1328: 357). 4 Nama lengkapnya Thaifur ibn „Isa ibn Sarusyn, berasal dari Bustahm. Meninggal tahun 261 H. Dia merupakan penganut aliran tasawuf yang tunduk pada kondisi-kondisi intuitif dan kefanaan, sehingga sering mengucapkan ungkapan-ungkapan yang dalam lahirnya tampak ilusif dan dibuat-buat. (al-Thosi, t.th: 478). Lihat juga (Nicholson, 1969: 22-25). 5 Nama lengkapnya Abu al-Mughith al-Husain ibn Mansur ibn Muhammad alBaidhawi, seorang tokoh sufi yang hidup pada akhir abad ketiga Hijriyah. Dia digelari alHallaj karena kehidupannya diperoleh dari memintal wol. Da dituduh menyebarkan aliran sesat, akhirnya dia dijatuhi hukuman mati lewat tiang salib, dipotong kedua tangan dan kakinya, juga kepalanya, lalu mayatnya dibakar dan dibung ke sungat Tigris. Kesufian al-Hallaj banyak didominasi keadaan fana‟, sehingga wajar ia sering mengucapkan ungkapan ganjil, dan secara harfiah merupakan ucapan ingkar. Ucapannya yang terkenal adalah “Aku inilah yang Maha Besar” (Nicholson, 1969: 130139) Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 22
Muhamad Nur
c. Tasawuf Falsafi Semenjak abad ke-3 Hijriyah telah nampak kecenderungan sebagian kaum sufi kepada ungkapan-ungkapan yang ganjil (syathahiyyah) serta bertolak dari keadaan fana menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan ataupun hulul. Itulah awal dari terbentuknya tasawuf falsafi, yang menurut al-Taftazani terlebih dahulu disebutnya aliran semi-filosofis. Tokoh-tokoh aliran yang berkembang pada abad IV Hijriyah ini diantaranya adalah Abu Yazid al-Busthami, alJunaid dan al-Hallaj. Menurut al-Hujwiri, (1992: 106-139) Mereka telah mengembangkan teori-teori hulul, fana’, penyatuan, dan penggunaan simbul-simbul dalam ungkapan sufistiknya, namun semuanya masih tetap dalam rambu-rambu dan kontrol syari’ah. Seiring dengan hegemoni paham ahl al-sunnah wal jama`ah, maka pada abad 5 Hijriyah model tasawuf semi filosofi tenggelam, dan baru pada abad 6 Hijriyah menemukan momen dan kesempatan yang tepat dalam perkembangannya menjadi benar-benar tasawuf filosofis yang mencapai puncaknya ditangan Ibnu Arabi. Pada awal abad 6 Hijriyah, parallel dengan perkembangan filsafat di dunia Islam, ajaran tasawuf dimasuki unsur-unsur filsafat, sehingga sebagian para sufi berhasil memadukan visi mistis dan visi rasional. Mereka memiliki objek kajian tersendiri, yang menurut Ibn Khaldun, 6 terdapat empat hal yang menjadi perhatian mereka, yaitu: Pertama, latihan-latihan ruhaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri yang timbul darinya. Kedua, iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam ghaib, misalnya sifat-sifat rabbani, ‘arys, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, ruh, hakikat realitas segala yang wujud, yang ghaib maupun yang nampak, dan susunan kosmos, terutama tentang penciptaan dan penciptaan-Nya. Ketiga, peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan (mirade). Keempat, penciptaan ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (shatahiyyah), yang telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya, menyetujui, menginterpretasikannya (Khaldun, t.th.,: 332). 6
Ibn Khaldun (1332-1406 M) dilahirkan di Tunis dan meninggal di Kairo. Dia dikenal sebagai filosof sejarah dan penemu sosiologi. Bukunya yang terkenal adalah Muqaddimah yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa
23 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Sejarah dan Dokrin Sufisme
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diambil pengertian bahwa tasawuf filosofis adalah tasawuf yang berusaha memadukan antara visi mistis-tasawuf dan visi filsafat yang rasional-kritis dengan cara mengambil elemen-elemen lain non-Islam, baik pemikiran Yunani (Barat), maupun Timur, sehingga ajaran-ajarannya cenderung melampaui batasbatas syariah. Pemaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf filosofis ini, dengan sendirinya telah membuat ajaran tasawuf jenis filosofis ini bercampur dengan sejumlah ajaran-ajaran di luar Islam, seperti ajaran dari Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani. Akan tetapi orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang, karena para tokohnya meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beaneka ragam, sejalan dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu, tetap berusaha menjaga kemungkinan ajaran aliran mereka, terutama bila dikaitkan dengan kedudukan mereka sebagai ummat Islam. Sikap ini dengan sendirinya bisa menjelaskan mengapa para tokoh tasawuf jenis tasawuf filosofis ini berasal dari luar Islam tersebut ke dalam tasawuf mereka, serta menggunakan terminilogi-terminologi filsafat, tetapi yang maknanya telah diselesaikan dengan ajaran tasawuf yang telah dianut. Ciri umum tasawuf falasafi menurut Ibnu Nadhim, (t.th.: 308) ialah kesamar-samaran ajarannya, akibatnya banyak ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Selanjutnya tasawuf ini tidak bisa dipandang sebagai filsafat, meskipun nuansa filsafatnya sangat kental sekali,7 karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), dan sebaliknya. Tidak pula dapat dikatakan tasawuf yang sebenarnya murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat, dan berkecenderungan mendalam pada panteisme. 7 Keakraban mereka pada filsafat tidak hanya sebatas filsafat plato, Aristoteles dan ajaran emanasi Neo-Platonisme, namun juga akrab dengan tradisi filsafat bermetisme,bermetisme, yang sudah banyak diterjemahkan ke bahasa Arab. Filsafat bermeneutisme ini sering dijadikan sumber-sumber rujukan Islam karena dianggapnya sebagai penggagas segala ilmu pengetahuan. Juga merupakan filsafat yang memainkan peran penting pada pemikiran Hellenisme. Kecenderungan umumnya ialah kembali pada masa lampau, terlalu mengagungkan Plato dan Pytagoras dan lebih mendahulukan wahyu dan ilham ketimbang kajian intelektual rasional dalam pengetahuan (alSyahrastani,1317: 17)
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 24
Muhamad Nur
Bagi kaum sufi filosofis, pandangannya mengenai maqam (station), keadaan (hal) ruhaniah serta rasa (dzauq) yang ditimbulkan, menurut Ibnu Khaldun, (t.th.: 508) sepaham dengan para sufi sebelumnya. Mengenai iluminasi,8 menurut mereka dapat diperoleh melalui dzikir. Mereka juga memperbincangkan realitas dan wujud yang atas dan bawah. Namun mereka menutup mata terhadap tujuan, sebab perbincangan mereka yang terutama ialah apa-apa yang termasuk di dalam ruang lingkup rasa serta intuisi yang tidak tunduk di bawah pengamatan atau pembuktian. Para sufi falsafi memang sengaja menimbulkan teka-teki dengan meminjam terminologi-terminologi filosofis, yang umumnya tidak dimengerti kalangan mainstream, sehingga ungkapan mereka pun seringkali sulit dimengerti kaum rasionalis sekalipun, saking samar dan tertutupnya ungkapan tersebut (Al-Ghazali, t.th.: 7). Berdasarkan pembahasan tentang eksistensi dan konsepsi tentang tasawuf falsafi di atas dapat dirumuskan karakteristik tasawuf filosofis sebagai berikut: 1) Tasawufnya didasarkan pada latihan-latihan ruhaniah, sebagai upaya peningkatan moral dan pencapaian kebahagiaan. 2) Iluminasi sebagai metode untuk mengetahui berbagai hakikat realitas, yang dapat dicapai dengan fana. 3) Selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan tentang hakikat realitas ajaran mereka dengan berbagai simbul (Taftazani, 1995: 193). 4) Dalam hal metode pemahaman terhadap Tuhan, kaum sufi filosofis cenderung pada paham antropomorphisme (tajsim) ataupun tashbih, 9 dan tentu tidak menggunakan ta’wil 10 dalam interpretasi wahyu.11 8
Iluminasi atau dalam istilah tasawuf sering disebut kasyf, menurut al-Thusi adalah uraian tentang apa yang tertutup bagi pemahaman, yang tersingkap bagi seseorang, seakan seseorang melihat di mata telanjang. Menurut al-Ghazali, merupakan kebalikan dari pembuktian rasional menurut para teolog maupun filosof dalam mana pemikiran, bergerak dari satu pengertian menuju ke pengertian lain atau dari suatu premis-premis menuju pada kesimpulan (al-Thusi, 1960: 442). 9 Taskbih bermakna penyerupaan, taskbih ini merujuk penyerupaan Tuhan dengan alam. Pembicaraan para mutakallimin tentang tasbih terbatas pada ayat al-Quran dan nas-nas Hadits menggunakan kata-kata yang dipahami sebagai Tuhan yang mempunyai sifat-sifat jasmani. Misalnya QS. Thaha: 39 “Tuhan Yang Maha Pemurah,
Yang bersemaayam di atas „Arsy” 10 Ta‟wil atau interpretasi metaforis adalah pemahaman atau pemberian
pengertian atas fakta-fakta tekstual dari sumber-sumber suci (al-Quran dan al-Sunnah) sedemikian rupa, sehingga yang diperlihatkan bukan makna lahiriah kata-kata pada teks sumber suci itu, tetapi pada “makna dalam” (batin, isward meaning) yang dikandungnya
25 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Sejarah dan Dokrin Sufisme
Semenjak abad ke-3 Hijriyah telah nampak kecenderungan sebagian kaum sufi kepada ungkapan-ungkapan yang ganjil (syath ahiyyah) serta bertolak dari keadaan fana menuju pernyataan terjadinya penyatuan ataupun hulul. Itulah awal dari terbentuknya tasawuf falsafi, yang menurut al-Taftazani terlebih dahulu disebutnya aliran semifilosofis. Tokoh aliran yang berkembang pada abad IV Hijriyah ini diantaranya Abu Yazid al-Busthami, al-Junaid dan al-Hallaj. Mereka telah mengembangkan teori-teori hulul, fana’, penyatuan, dan penggunaan simbul-simbul dalam ungkapan sufistiknya, (Mahmud, t.th.: 78-79) namun semuanya masih tetap dalam rambu-rambu dan kontrol syari’ah. Seiring hegemoni paham ahl al-sunnah, maka pada abad 5 Hijriyah model tasawuf semi filosofi tenggelam, dan baru pada abad 6 Hijriyah menemukan momen dan kesempatan yang tepat dalam perkembangannya menjadi benar-benar tasawuf filosofis. Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian tasawuf filosofis adalah suatu tasawuf yang berusaha memadukan antara visi mistis-tasawuf dan visi filsafat yang rasional-kritis dengan cara mengambil elemen-elemen lain non-Islam, baik pemikiran Yunani (Barat), maupun Timur, sehingga ajaran-ajarannya cenderung melampaui batas-batas syariah. Adanya pemaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf filosofis ini, dengan sendirinya membuat ajaran tasawuf jenis ini bercampur dengan sejumlah ajaran-ajaran di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani. Akan tetapi orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang, karena para tokohnya meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beaneka, sejalan dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu, tetap berusaha menjaga kemungkinan ajaran aliran mereka, terutama bila dikaitkan dengan kedudukan mereka sebagai ummat Islam. Sikap ini dengan sendirinya bisa menjelaskan mengapa para tokoh tasawuf jenis berasal dari luar Islam tersebut ke dalam tasawuf mereka, serta menggunakan terminilogi-terminologi filsafat, tetapi yang maknanya telah diselesaikan dengan ajaran tasawuf yang mereka anut. 11
Metode ini menurut „Abd Qadir Mahmud (t.th.: 78-79) merupakan pembeda dengan kaum sufi sunni yang mau menggunakan ta‟wil dan menjauhi tajsim maupun
tasyih
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 26
Muhamad Nur
Ciri umum tasawuf ini adalah kesamar-samaran ajarannya, akibatnya banyak ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Selanjutnya tasawuf tersebut tidak bisa dipandang sebagai filsafat, meskipun nuansa filsafatnya sangat kental,12 karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), dan sebaliknya, tidak dapat dikatakan tasawuf yang sebenarnya murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat, dan berkecenderungan mendalam pada panteisme. Bagi kaum sufi filosofis, mengenai maqam (station), keadaan (hal) ruhaniah serta rasa (dzauq) yang ditimbulkan, sepaham dengan para sufi sebelumnya (Khaldun, t.th.,: 508). Mengenai iluminasi, 13 menurut mereka dapat diperoleh melalui dzikir. Mereka dalam hal ini juga memperbincangkan realitas dan wujud yang atas dan bawah. Namun para sufi menutup mata terhadap tujuan, sebab perbincangan mereka yang terutama adalah apa-apa yang termasuk di dalam ruang lingkup rasa serta intuisi yang tidak tunduk di bawah pengamatan atau pembuktian. Para sufi falsafi memang sengaja menimbulkan teka-teki dengan meminjam terminologi-terminologi filosofis, yang umumnya tidak dimengerti kalangan mainstream, sehingga ungkapan mereka pun seringkali sulit dimengerti kaum rasionalis sekalipun, saking samar dan tertutupnya ungkapan tersebut (Khaldun, t.th.,: 332). Karakteristik tasawuf filosofis didasarkan pada latihan-latihan ruhaniah, sebagai upaya peningkatan moral dan pencapaian kebahagiaan. Iluminasi sebagai metode untuk mengetahui berbagai 12
Keakraban mereka pada filsafat tidak hanya sebatas filsafat plato, Aristoteles dan ajaran emanasi Neo-Platonisme, namun juga akrab dengan tradisi filsafat bermetisme,bermetisme, yang sudah banyak diterjemahkan ke bahasa Arab. Filsafat bermeneutisme ini sering dijadikan sumber-sumber rujukan Islam karena dianggapnya sebagai penggagas segala macam ilmu pengetahuan. Juga merupakan filsafat yang telah memainkan peran penting dalam pemikiran Hellenisme. Kecenderungan umumnya adalah kembali ada masa lampau, terlalu mengagungkan Plato dan Pytagoras dan mereka lebih mendahulukan wahyu dan ilham ketimbang kajian intelektual rasional dalam pengetahuan. Lebih lanjut mengenai hal ini Syarastani, (1317: 308). Lihat juga (alNadim, t.th.:.308). 13 Iluminasi atau sering disebut kasyf, menurut al-Thusi adalah uraian tentang apa yang tertutup bagi pemahaman, yang tersingkap bagi seseorang, seakan dia melihat di mata telanjang. Menurut Muhammad Muhyidin Abdul Hamid al-Ghazali, merupakan kebalikan dari pembuktian rasional menurut para teolog maupun filosof dalam mana pemikiran, bergerak dari satu pengertian menuju ke pengertian lain maupun dari premispremis menuju kesimpulan.
27 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Sejarah dan Dokrin Sufisme
hakikat realitas, yang dapat dicapai dengan fana. Selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan tentang hakikat realitas ajaran mereka dengan berbagai simbul (Taftazani, 1997: 193). Kaum sufi filosofis dalam hal metode pemahaman terhadap Tuhan, cenderung kepada paham antropomorphisme (tajsim) ataupun tashbih, 57 dan tidak menggunakan ta’wil,58 dalam hal interpretasi wahyu.59 B. Ajaran Dasar Sufisme Ajaran-ajaran tasawuf demikian sangat luasnya, namun yang paling penting/urgen dan paling esensial pada saat ini adalah ajaran tasawuf yang formulasinya sebagai perbaikan moral atau budi pekerti. Konsep ini sejalan dengan konsep pendidikan karakter yang saat ini sedang diprioritaskan negara Indoensia sebagai solusi alternatif memperkokoh moral bangsa. Berpijak dari konsep di atas ajaran tasawuf Akhlaqi nampaknya membahas disiplin tersebut secara lebih komprehenship. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa tasawuf Akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang dirumuskan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku seseorang, guna mencapai kebahagian yang optimal. Manusia harus lebih dahulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan sifat-sifat ketuhanan melalui pensucian jiwa raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna, dan berakhlak mulia, yang dalam ilmu tasawuf dikenal dengan istilah takhalli, tahalli, dan tajalli. 1. Takhalli Mengenai takhalli terdapat berbagai rumusan yang redaksinya berbeda namun intinya sama. Misalnya, Amin Syukur, (2002: 45) 57 Taskbih bermakna penyerupaan, taskbih ini merujuk pada penyerupaan Tuhan dengan alam. Di kalangan mutakallimin biasanya pembicaraan tentang tasbih terbatas pada ayat-ayat al-Quran dan nas-nas Hadits yang menggunakan kata-kata yang dapat dipahami sebagai Tuhan yang mempunyai sifat-sifat jasmani. Misalnya QS. Thaha: 39 “Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemaayam di atas „Arsy”. 58 Ta‟wil atau interpretasi metaforis adalah pemahaman atau pemberian pengertian atas fakta-fakta tekstual dari sumber-sumber suci (al-Quran dan al-Sunnah) sedemikian rupa, sehingga yang diperlihatkan bukan makna lahiriah kata-kata pada teks sumber suci itu, tetapi pada “makna dalam” (batin, isward meaning)yang dikandungnya. 59 Metode inilah yang menurut „Abd Qadir Mahmud merupakan pembeda dengan kaum sufi sunni yang mau menggunakan ta‟wil dan menjauhi tajsim maupun tasyih lebih lanjut lihat „Abd Qadir Mahmud, op.cit, hlm.78-79.
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 28
Muhamad Nur
menegaskan takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, kotoran, dan penyakit hati yang merusak. Sementara Zahri, (1995: 74) merumuskan takhalli yaitu mengosongkan diri dari segala sifat-sifat yang tercela. Sedangkan adz-Dzaky, (2002: 259) mengemukakan bahwa takhalli yaitu metode pengosongan diri dari bekasan kedurhakaan dan pengingkaran (dosa) terhadap Allah dengan jalan melakukan pertaubatan yang sesungguhnya (nasuha). Ramayulis, (2002: 138) mengetengahkan bahwa takhalli pada umumnya diartikan sebagai membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, dari maksiat lahir dan maksiat batin, mengosongkan diri dari sifat-sifat ketergantungan terhadap kelezatan hidup duniawi. Cara pencapiannya ialah dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu jahat. Kemaksiatan pada dasarnya dapat dibagi dua, maksiat lahir dan maksiat batin. Maksiat lahir ialah segala sifat tercela yang dikerjakan oleh anggota lahir seperti tangan, mulut dan mata. Maksiat batin ialah segala sifat tercela yang diperbuat oleh anggota batin yaitu hati. Pada tahap takhalli ini, seseorang berjuang keras untuk dapat mengosongkan jiwa mereka dari segala sifat tercela yang dapat mendatangkan kegelisahan pada jiwanya. Di antara sifat-sifat yang mengotori jiwa/hati manusia ialah hasad (dengki), hiqd (rasa mendongkol), su’ al-zan (buruk sangka), takabbur (sombong), gadab (sifat pemarah), riya (pamer), `ujub (membangkan diri), bukhl (kikir) dan sebagainya. Firman Allah surat al-Syams ayat 9-10: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Q.S. alSyams: 9-10) (Soenarjo, 2003: 617). Takhalli yang berarti mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan hidup duniawi. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu jahat. Menurut orang-orang sufi, kemaksiatan pada dasarnya dapat dibagi 2 (dua) yaitu maksiat lahir dan maksiat batin. Maksiat lahir ialah segala sifat tercela yang dikerjakan oleh anggota lahir seperti tangan, mulut dan mata. Maksiat batin ialah segala sifat tercela yang diperbuat
29 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Sejarah dan Dokrin Sufisme
oleh anggota batin, yaitu hati. Imam Gazali menyebut sifat-sifat tercela ini dengan sebutan sifat-sifat muhlikah, yaitu segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya kepada kebinasaan. Ia juga menyebutkan sebagai suatu kehinaan (razilah). Karena itu, Imam Gazali menamakan marah dengan razilah al-gadab (kehinaan marah), dengki dengan razilah al-hasad (kehinaan dengki) dan lain sebagainya. Pembicaraan tentang sikap atau kelakuan yang tercela ini dalam tasawuf atau akhlak lebih didahulukan daripada pembicaraan tentang sikap atau kelakuan yang terpuji karena ia termasuk usaha takhliyah (mengosongkan diri dari sifatsifat tercela) sambil mengisinya (tahliyah) dengan sifat-sifat terpuji. Membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela, oleh orang-orang sufi dipandang penting karena sifat-sifat itu merupakan najis maknawi. Adanya najis-najis ini pada diri seseorang menyebabkan ia tidak mungkin dekat kepada Allah SWT, sebagaimana kalau mempunyai najis zati, ia tidak mungkin dapat mendekati atau melakukan ibadah yang diperintah Allah SWT (al-Kurdi, t.th.: 429). Dalam hal menanamkan rasa benci kepada kehidupan duniawi serta mematikan hawa nafsu, kaum sufi berbeda pendapat. Kelompok sufi yang moderat berpendapat, rasa kebencian terhadap kehidupan dunia cukuplah sekedar jangan sampai lupa kepada tujuan hidup; tidak perlu meninggalkannya sama sekali. Demikian pula dengan penguburan hawa nafsu, cukup dengan sekedar dikuasai melalui pengaturan disiplin kehidupan (riyadah). Golongan ini tetap memanfaatkan dunia sesuai perannya sebagai khalifah di muka bumi dengan mengatur dan mengontrol dorongan hawa nafsu (mujahadah al-nafs) yang dapat mengganggu stabilitas akal dan perasaan. Dengan pola hidup serasi dan seimbang, sufi kelompok moderat ini merasa menemukan kebebasan menempatkan Allah SWT sebagai inti dari segala cita-citanya. Kesibukannya terarah kepada pengabdian dan selalu berpegang pada garis kebijaksanaan yang relevan dengan tujuan hidupnya (Madjid, 1995: 27). Kelompok sufi yang ekstrem berkeyakinan, kehidupan duniawi benar-benar sebagai “racun pembunuh” kelangsungan cita-cita sufi. Dunia merupakan penghalang perjalanan, karena itu nafsu duniawi harus dimatikan dari diri manusia agar manusia bebas berjalan menuju tujuan; mencapai kenikmatan spiritual yang hakiki. Bagi sufi ektrem,
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 30
Muhamad Nur
memperoleh keridaan Allah tidak sama dengan kenikmatan-kenikmatan material. Pengingkaran pada ego dengan meresapkan diri pada kemauan Allah SWT merupakan perbuatan utama (Anshori, 2011: 140). Jika diri atau hati telah dihinggapi penyakit atau sifat-sifat yang buruk, ia harus diobati. Obatnya ialah menunjukkan sebab-sebab penyakit itu, menginsafkan akan akibat-akibat yang berbahaya, melatih membersihkannya serta mengembalikannya kepada keadaan fitrahnya, sembari mengisinya dengan sifat-sifat baik, yang dapat menumbuhkan amal-amal yang baik pula. Usaha-usaha ke arah ini dengan segala upaya yang sungguh-sungguh akan melahirkan perbuatan baik yang oleh Imam Gazali dinamakan munjiyat, yakni tingkah laku yang dapat menyelamatkan dan membahagiakan. Sifat-sifat tercela yang merupakan maksiat lahir, akan merusak diri seseorang dan orang lain. Sifat ini menimbulkan kejahatan-kejahatan yang merugikan seseorang atau diri sendiri dan merusak masyarakat, seperti mencuri, mencopet, merampok, korupsi, menganiaya, menyiksa, membunuh dan kejahatan lainnya, atau yang diperbuat dengan mulut, seperti memaki, mencela, menghasud, memfitnah dan lain sebagainya. Maksiat batin yang bersemayam atau terdapat pada manusia tentu lebih berbahaya lagi, karena tidak kelihatan seperti maksiat lahir; dan kadang-kadang kurang disadari. Maksiat ini lebih sukar untuk dihilangkan. Perlu diketahui, jika maksiat baț in ini belum bisa dihilangkan pada diri seseorang, maka selama itu pula maksiat lahir tidak bisa dibersihkan. Selanjutnya, maksiat batin secara tidak langsung menciptakan manusia tidak bermoral, jahat dan inkar kepada Allah SWT. Pendek kata, kedua macam maksiat itu selalu mengganggu keselamatan dan ketentraman masyarakat. Kedua macam maksiat itulah yang mengotori jiwa manusia setiap waktu, terutama maksiat batin yang merupakan penyakit hati. Semua kotoran dan penyakit itu merupakan dinding tebal yang membatasi diri manusia dengan Allah SWT, karena itu kedua maksiat tersebut harus dibersihkan lebih dahulu, yaitu melepaskan diri dari sifat-sifat yang tercela agar dapat mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji untuk memperoleh kebahagiaan hakiki. 2. Tahalli Menurut Amin Syukur, (2002: 47) tahalli adalah menghias diri dengan jalan membiasakan dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang
31 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Sejarah dan Dokrin Sufisme
baik. Sementara Zahri, (1998: 89) mengartikan tahalli yaitu menghias diri dengan sifat-sifat terpuji. Untuk melakukan tahalli langkahnya ialah membina pribadi, agar memiliki akhlak al-karimah, dan senatiasa konsisten dengan langkah yang dirintis sebelumnya (dalam takhalli). Melakukan latihan kejiwaan yang tangguh untuk membiasakan berprilaku baik, yang pada gilirannya akan menghasilkan manusia yang sempurna (insan kamil). Langkah pengosongan dalam takhalli secara langsung dan disinari sifat-sifat terpuji (mahmudah), dan sifat-sifat ketuhanan yang dikenal dalam dunia tasawuf disebut maqomat dengan urutan al-tauhid (pengesaan Tuhan secara mutlak), al-taubah (kembali kejalan yang baik), al-wara (memelihara diri dari barang-barang yang haram dan syubhat), alzuhdu (sikap hati mengambil jarak dengan dunia materi), al-hub al-llah (cinta Tuhan), al-shabru (tabah dan tahan) dalam menghadapai segala situasi dan kondisi, al-fakr (merasa butuh kepada Tuhan) al-syukru (sikap terima kasih dengan menggunakan nikmat dan rahmat Allah SWT secara fungsional dan proporsional), al-ridha (rela terhadap apa yang diterimanya), al-tawakal (pasrah diri kepada Allah SWT setelah berusaha maksimal), al-qan’ah (menerima pemberian Allah SWT secara ikhlas) dan sebagainya. Tahalli ini merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap Takhalli. Dengan kata lain, sesudah tahap pembersihan diri dari segala sifat dan sikap mental yang tidak baik dalam Takhalli, usaha itu harus berlanjut terus ke tahap berikutnya yang disebut Tahalli. Sebab, apabila satu kebiasaan telah dilepaskan tetapi tidak ada penggantinya, maka kekosongan itu dapat menimbulkan frustasi. Praktiknya, pengisian jiwa pada diri seseorang dengan sifat-sifat yang baik setelah dikosongkan dari sifat-sifat yang buruk, tidaklah berarti bahwa jiwa harus dikosongkan lebih dulu, baru kemudian diisi. Akan tetapi harus dengan cara, ketika menghilangkan kebiasaan yang buruk bersamaan dengan itu diisi dengan kebiasaan yang baik. Atau seperti mengobati suatu penyakit, bahwa hilangnya suatu penyakit pada seseorang karena adanya atau masuknya obat ke dalam tubuhnya. Bersifat, berperilaku, atau berakhlak baik dan terpuji artinya menghilangkan semua kebiasaan yang tercela yang telah dijelaskan oleh ajaran agama, dan bersamaan dengan itu membiasakan sifat yang baik,
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 32
Muhamad Nur
mencintai dan melakukannya. Untuk merehabilitis sikap mental yang tidak baik, menurut orang sufi tidak akan berhasil apabila usahanya hanya dari aspek lahiriah saja. Itulah sebabnya pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seorang diharuskan melakukan amalan dan latihan spiritual dalam rangka untuk menguasai hawa nafsu. Sesungguhnya jiwa manusia itu dapat dilatih, dikuasai, diubah dan dapat dibentuk sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri. Dari satu latihan akan menjadi suatu kebiasaan dan dari kebiasaan tersebut selanjutnya akan menghasilkan kepribadian. Sikap mental dan perbuatan luhur yang sangat penting diisikan ke dalam jiwa dan dibiasakan dalam perbuatan dalam rangka pembentukkan manusia paripurna, antara lain adalah taubah, sabar, kefakiran, zuhud, tawakkal, cinta dan kerelaan. Apabila manusia mampu mengisi hatinya (setelah dibersihkan dari sifat-sifat tercela) dengan sifat-sifat terpuji, maka ia akan menjadi cerah dan terang, sehingga dapat lagi menerima Cahaya Ilahi. Jadi hati yang belum dibersihkan tidak akan dapat menerima cahaya tersebut. Manusia yang mampu mengosongkan hatinya dari sifat-sifat yang tercela (Takhalli) dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji (Tahalli), segala perbuatan dan tindakannya sehari-hari selalu berdasarkan niat yang ikhlas. Ia ikhlas melakukan ibadah kepada Allah SWT, ikhlas mengabdi kepada kepentingan agamanya, ikhlas bekerja untuk melayani kepentingan masyarakat dan negaranya. Ikhlas berbuat kebaikan, memberi pertolongan dan bantuan kepada sesama. Artinya tanpa mengharapkan suatu balasan atau embel-embel lain seperti kata pribahasa: “Ada udang di balik batu”. Seluruh hidup dan gerak kehidupannya diikhlaskan untuk mencari keridaan Allah SWT semata. Karena itulah manusia yang seperti ini dapat mendekatkan diri kepadaNya. 3. Tajalli Menurut Zahri, (1998: 245) tajalli merupakan lenyapnya atau hilangnya hijab dari sifat-sifat basyari’ah pada diri manusia, jelasnya nur yang selama itu ghaib, fana/lenyapnya segala yang lain ketika nampaknya wajah Allah. Sementara Muhammad, (2002: 9) menyatakan, tajalli adalah lenyapnya sifat-sifat kemanusiaan yang digantikan dengan sifat-sifat ketuhanan.
33 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Sejarah dan Dokrin Sufisme
Menurut adz-Dzaky, (2002: 328) tajalli ialah kelahiran atau munculnya eksistensi yang baru dari manusia yaitu perbuatan, ucapan, sikap dan gerak-gerik yang baru; martabat dan status yang baru; sifatsifat dan karakteristik yang baru; dan esensi diri yang baru. Itulah yang disebut dengan kemenangan dari Allah SWT. Telah lahirnya seseorang dari kelahiran yang baru dan di dalam hidup dan kehidupan yang baru adalah semata-mata karena pertolongan dari Allah SWT, syafa’at Rasulullah saw. dan doanya para Malaikat di sisinya melalui upaya, perjuangan, pengorbanan dan kedisiplinan yang sangat tinggi dari diri sendiri dalam melaksanakan ibadah-ibadah berupa menjalankan segala perintah Allah SWT., menjauhi larangan-Nya, dan tabah terhadap ujianNya. Adapun indikasi-indikasi tentang kelahiran baru seorang manusia menurut adz-Dzaky yaitu: a. Tingkat dasar, yaitu hadirnya rasa aman, tenang, tentram baik secara psikologis, spiritual maupun fisik; sebagai indikasi telah lenyapnya bekasan-bekasan hitam sebagai akibat dari pengingkaran (maksiat) kepada Allah, yang melekat pada akal fikiran, qalb, inderawi, jiwa, jasad dan kehidupan. b. Tingkat menengah, yaitu hadirnya sifat, sikap dan perilaku yang baik, benar, sopan santun, tulus, istiqomah, yaqin, kesatria dan sebagainya secara otomatis bukan rekayasa. c. Tingkat atas, yaitu hadirnya potensi menerima mimpi yang benar, ilham yang benar dan kasyaf yang benar. d. Tingkat kesempurnaan, yaitu hadirnya ketiga tingkatan itu ke dalam diri (adz-Dzaky, 2002: 328-329). Dalam konteks pandangan kaum sufi terhadap ajaran tajalli, kaum sufi mendasarkan pendapatnya pada firman Allah SWT pada surat al-Nur, ayat 35:
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 34
Muhamad Nur
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, 14 yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya),15 yang minyaknya (saja) Hampirhampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaanperumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu (Q.S. An Nuur: 35) (Soenarjo, 2003: 317). Berdasarkan ayat di atas, kaum ș ufi merasa yakin bahwa seseorang dapat memperoleh pancaran Nur Ilahi. Demikian Allah nampak dengan af`al (perbuatan), sifat dan zat-Nya, mustahil orang dapat menutupi cahaya, sedang cahaya itu terpancar dalam segala yang tertutup, apalagi Allah adalah cahaya langit dan bumi. Imam Gazali mengatakan bahwa tersingkapnya hal-hal yang gaib menjadi pengetahuan yang hakiki karena Nur yang dipancarkan oleh Allah SWT ke dalam dada (hati) seseorang, tidaklah didapat dengan menyusun dalil dan menata argumentasi, tetapi karena Nur yang dipancarkan Allah SWT ke dalam hati; dan Nur ini merupakan kunci untuk sekian banyak pengetahuan. Maka barangsiapa mengira bahwa tersingkapnya itu tergantung pada dalil-dalil semata, maka sesungguhnya dia telah menyempitkan rahmat Allah SWT yang luas. Ketika Rasulullah saw ditanya tentang arti “melapangkan dada” dalam firman Allah SWT pada surat al-An`am, ayat 125:
14
Yang dimaksud lubang yang tidak tembus ( misykat) ialah suatu lobang di dinding rumah yang tidak tembus sampai kesebelahnya, biasanya digunakan untuk tempat lampu, atau barang-barang lain (Soenarjo, 2003: 317). 15 Maksudnya: pohon zaitun itu tumbuh di puncak bukit ia dapat sinar matahari baik di waktu matahari terbit maupun di waktu matahari akan terbenam, sehingga pohonnya subur dan buahnya menghasilkan minyak yang baik (Soenarjo, 2003: 317).
35 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Sejarah dan Dokrin Sufisme
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. dan Barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya,16 niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman (Q.S. Al-An`am: 125) (Soenarjo, 2003: 201). Berdasarkan konsep tajjali yang terkandung dengan jelas pada ayat al-Quran di atas, setiap calon ș ufi mengadakan latihan-latihan jiwa (riyadah al-nafs) sebagai usaha untuk membersihkan dirinya dari sifatsifat yang tercela, mengosongkan hati dari sifat-sifat yang keji, melepaskan segala sangkut paut dengan dunia, lalu mengisi dirinya dengan sifat-sifat yang terpuji, segala tindakannya selalu dalam rangka ibadah, memperbanyak żikir, menghindarkan diri dari segala yang dapat mengurangi kesucian diri, baik lahir maupun baț in. Seluruh jiwa / hati hanya semata-mata untuk memperoleh tajalli, untuk menerima pancaran Nur Ilahi. Apabila Allah SWT telah menembus hati hamba-Nya dengan NurNya, maka berlimpah ruahlah rahmat dan karunia-Nya. Pada tingkat ini hati hamba akan bercahaya terang benderang, dadanya terbuka luas dan lapang, terangkatlah tabir rahasia Alam Malakut dengan karunia rahmat itu. Pada saat itu jelaslah segala hakikat ketuhanan yang selama ini terdinding oleh kotoran jiwanya. Berdasarkan uraian tentang ajaran dasar tasawuf di atas, tampak pentingnya ketiga jenjang pembinaan dalam tasawuf yakni takhalli, tahalli, dan tajalli untuk diamalkan dalam kehidupan manusia di dunia ini sebagai dasar membina peradaban Islam dalam kanvas peradaban dunia. C. Pembaruan Tasawuf Melacak asal-usul dan sumber munculnya sufisme telah dilakukan para orientalis maupun kalangan muslim sendiri sejak permulaan abad ke19. Sungguhpun asal-usul dan sumber sufisme merupakan masalah yang sangat kompleks dan tidak bisa dijawab secara sederhana, banyak di 16 Disesatkan Allah berarti: bahwa orang itu sesat berhubung keingkarannya dan tidak mau memahami petunjuk-petunjuk Allah. dalam ayat ini, karena mereka itu ingkar dan tidak mau memahami apa sebabnya Allah menjadikan nyamuk sebagai perumpamaan, Maka mereka itu menjadi sesat (Soenarjo, 2003: 201).
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 36
Muhamad Nur
antara orientalis yang merujukkan sufisme pada satu sumber. Misalnya, ada yang berpendapat sufisme berasal dari Persia. Pendapat ini didasarkan pada alasan bahwa di antara tokoh sufisme, banyak berasal dari Persia, seperti Ma'ruf al-Kharkhi dan Abu Yazid al-Busthami. Di samping kenyataan bahwa sebagian pendiri aliran sufisme angkatan pertama berasal dari kelompok orang majusi (Teba, 2004: 177). Orientalis lain sebagaimana dikemukakan Hamka, (1984: 104) beranggapan bahwa sufisme berasal dari Kristen, dengan argumentasi sebagai berikut. Pertama, adanya suatu interaksi antara orang-orang Arab dan kaum Nasrani dan zaman jahiliyah maupun zaman Islam. Kedua, adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para sufi dalam ajaran serta tata caranya dengan kehidupan al-Masih serta ajarannya, dan dengan para rahib dalam cara mereka sembahyang dan berpakaian. Nicholson misalnya, berkata: “Jelas kecenderungan-kecenderungan asketisme dan kontemplasi bersesuaian dengan ide Kristen, bahkan di antaranya dapat dijadikan titik tolaknya. Banyak teks injil dan ungkapan-ungkapan yang diatributkan sebagai ucapan al-Masih, yang ternukil dalam bibliografi para sufi angkatan pertama. Bahkan, seringkali muncul para biarawan Kristen, dalam kedudukannya sebagai guru yang menasihati dan memberi pengarahan pada para asketis muslim. Kita pun dapat melihat bagaimana baju bulu domba itu berasal dari umat Kristen. Nadzar untuk tidak berbicara, zikir, dan latihanlatihan ruhaniah lainnya yang berasal dari sumber yang sama. Begitu juga dengan hal-hal yang berkaitan dengan kerinduan Ilahiah” (Nicholson, 1990: 124). Ada pula yang berpendapat bahwa sufisme ditimba dari sumber India. Mereka merujuk pada sebagian teori sufisme dan bentuk tertentu dari praktik latihan ruhaniah pada praktik yang serupa dalam mistisisme orang-orang India. Di samping itu, banyak pula orientalis yang berpendapat bahwa sufisme berasal dari tradisi pemikiran Yunani, khususnya filsafat Platonis. Pengaruh dari luar tentu memainkan peranan tambahan yang tak bisa diingkari oleh siapa pun, tetapi pengaruh tersebut tentunya hanya merupakan unsur-unsur tambahan saja pada kecenderungan pembawaannya yang semula. Trimingham, (1980: 62) menjelaskan bahwa Sufisme berkembang secara wajar dalam batas-batas Islam. Sekalipun Sufisme menerima pancaran kehidupan dan pemikiran dari Kristen, para sufi itu tidak mengadakan kontak sedikit pun dengan
37 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Sejarah dan Dokrin Sufisme
sumber-sumber yang bukan Islam. Bahkan, suatu sistem mistis yang berkembang luas justeru terdapat dalam Islam. Seorang orientalis yang ilmiah dan jujur, Louis Masignon, sampai pada simpulan bahwa sumber sufisme ada empat: Pertama al-Quran, sebagai sumber yang terpenting, kedua. ilmu-ilmu Islam, seperti hadis, fiqh, nahwu dan lain-lain. Ketiga, terminologi para ahli ilmu kalam angkatan pertama; keempat, bahasa ilmiah yang terbentuk di Timur sampai enam abad permulaan Masehi, seperti bahasa Yunani dan Persia yang menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat. Hakim Moinuddin Chihti, seorang Syeikh tarikat Chistiyah, Shabiriyah, Naqsabandiyah, Qodiriyah, dan al-Rizaqiyah yang menetap di New York, menyatakan bahwa Sufisme mengambil benih-benihnya dari Islam, dibesarkan oleh Islam, dan mencapai kedewasaan dalam Islam (Simuh, 1992: 25). Memang dalam perjalanannya ada beberapa tarikat atau tokoh sufisme yang tidak konsisten terhadap aturan-aturan syari'at (dalam pengertian umum) sehingga muncullah istilah nomistis, yaitu sufi yang konsisten terhadap aturan-aturan syariat dan juga istilah anomistis, yaitu sufi yang tidak konsisten terhadap aturan-aturan yang ditetapkan syariat. Sufisme pada tahap awalnya (abad ke-2 H) merupakan fenomena individual yang spontan dari pengaruh kehidupan spiritual Nabi yang mendalam. Ibadah shalat dan bangun untuk ibadah di tengah malam merupakan bagian normal dari kehidupan Nabi. Muslim yang mengikuti jejak kehidupan spiritual Nabi dan memusatkan diri pada jalur kehidupan dan tingkah laku yang asketis saat itu dikenal dengan sebutan zuhad atau nusak (kaum pertapa), qura (pembaca-pembaca al-Quran) atau baqa'un (para penangis bila membaca al-Quran). Perkembangan paling awal dari sufisme, sebagai disiplin formal Islam, ditandai oleh kegiatan berkumpul secara tidak resmi untuk membicarakan masalah agama dan melakukan latihan spiritual. Acara berkumpul seperti itu disebut halaqah. Sampai pada tahap ini, kegiatan halaqah belum dipandang sebagai saingan atau tantangan bagi perkembangan hukum dan politik dalam Islam. Kemudian para sufi pada saat itu tidak puas dengan kesalehan dan tingkah laku asketisnya terusmenerus. Setelah pandangan umumnya memperoleh pengikut, para sufi mengembangkan metodologi; jalan spiritual menuju Tuhan (Syakir, 2003:
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 38
Muhamad Nur
49). Dzunun al-Misri (w. 240 H/859 M) berusaha mengklasifikasikan tahapan atau stasion perkembangan spiritual yang dipinjam seluruhnya dari al-Quran, mencakup istilah-istilah seperti tobat, sabar, syukur, tawakal, dan ridha. Hal ini merangsang para sufi untuk memperbincangkan pengetahuan intuitif berikut sarana dan metodenya, tentang dzat Ilahi hubungannya dengan manusia, kemudian disusul perbincangan tentang fana, khususnya oleh Abu Yazid al-Bustami (w. 260 H/874 M) (Nata, 2002: 269). Sejak saat itu, sufisme menjadi suatu himpunan ilmu. Pada abad itu istilah sufi perlahan-lahan menggantikan nama yang terdahulu (zuhhad, mussaak, qurra, dsb). Sejumlah tokoh sufisme, seperti al-Junaid, al-Sirri, al-Saqathi, al-Kharraz mempunyai banyak murid. Inilah cikal bakal terbentuknya tarikat-tarikat sufi. Akhirnya, kaum intelegensia keagamaan orang Islam terbagi menjadi dua golongan, yaitu kaum ulama atau ahli hukum dan teologi murni di satu pihak dan mereka yang memberikan dasar keagamaan yang lebih bersifat pribadi (sufi) di pihak lain (Hawa, 1998: 90). Menurut Madjid, (1997: 56-57) pada abad ke-6 dan ke-7 Hijrah Tarikat banyak bermunculan ketika tasawuf menempati posisi penting dalam kehidupan umat Islam. Perkembangan selanjutnya tarikat menjadi semacam organisasi yang kegiatannya tidak hanya terbatas pada wirid dan zikir tetapi pada masalah-masalah yang bersifat duniawi. Jumlahnya lebih dari 44 buah dan tersebar di seluruh negara berpenduduk muslim. Dengan demikian, sufisme yang tadinya merupakan gerakan esoteris keagamaan berubah menjadi fenomena gerakan sufisme yang lebih luas. Kemajuan gerakan sufi ini cepat sekali meluas. Dalam masa lima puluh tahun saja, semua gerakan batin di Irak, kecuali gerakan mistik Malamatiyah di Khurasan, telah memakai perkataan sufi. Dua abad kemudian, istilah sufi mempunyai pengertian tertentu sebagaimana yang biasa dipakai zaman sekarang. Fazlurahman mengemukakan bahwa perkembangan sufisme sekarang boleh dikatakan sebagai neo-sufisme yang lebih menitikberatkan pada ajaran berupa tekanan kepada motif moral dan penerapan metode dzikir dan muraqabah atau konsentrasi spiritual guna mendekati Tuhan. Objek dan kandungan konsentrasi itu diidentikkan dengan doktrin ortodoks dan tujuannya didefinisikan kembali sebagai penguat iman pada akidah yang benar dan kemurnian
39 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Sejarah dan Dokrin Sufisme
moral. Jenis neo-sufisme ini cenderung untuk menghidupkan kembali aktivisme salafi dan menanamkan kembali sikap positif terhadap dunia. Berbeda dengan salafisme klasik yang lebih menekankan aspek individu ketimbang masyarakat (sosial), neo-sufisme mengalihkan pusat perhatian pada rekonstruksi sosio-moral masyarakat muslim. Sufisme yang sebenarnya bukanlah sufi yang mengalienasikan diri dari masyarakat, melainkan sufi yang menyeru pada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran membantu orang sakit dan orang miskin, dan membebaskan kaum yang tertindas. Sufi yang sebenarnya adalah sufi yang melaksanakan ta'awun (tolong-menolong) dengan muslim lain untuk kemajuan masyarakat. Inilah beberapa contoh yang harus dilakukan oleh setiap sufi yang berharap untuk menjadi manusia sempurna (insan al-Kamil). Akhirnya, Fazlurrahman (2000: 189) menyimpulkan bahwa karakter keseluruhan dari neo-sufisme adalah dinamisme moral, aktivisme, dan puritanisme. Dari ungkapan itu, tampak jelas apa yang dimaksud dengan neo-sufisme. Meskipun disebut neo (baru atau modern), sesungguhnya, seperti dikemukakan oleh para tokoh pemikiran modern, seperti Hamka, Fazlurahman, dan Said Rahman, Sirhindi, serta pemikir pembaharu Klasik seperti Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim, neo-sufisme justru menegaskan konsistensinya dengan ajaran Islam yang salih. Neo-sufisme terlihat lebih relevan dengan kecenderungan postmodernisme; karena eksoterismenya yang cenderung sangat inklusif dan pluralistis. Dalam idiom, sufisme dikenal al-Hanafiyyah al-Samhah, yaitu semangat mencari kebenaran yang lapang, toleran, tidak sempit, tanpa kefanatikan dan tidak membelenggu jiwa. Berbeda dengan keberagaman yang menekankan aspek eksoterik, sufisme tidak mengklaim dirinya sebagai satu-satunya pandangan yang benar dan absah, serta tidak menegasi keselamatan lewat pandangan lain. Menurut Ibnu Arabi, Tuhan akan hadir dan menyapa manusia sesuai dengan persepsi manusia tentang-Nya. Kini pada era modern (akhir abad ke-20), muncul gejala baru yang berbeda dari era sebelumnya, dan disinyalir bahwa tarikat kesufian bermunculan di tempat yang tidak diduga sebelumnya, seperti di Manhattan dan New York, pusat kajian sufisme lengkap dengan sufi book-store. Di Indonesia sendiri dalam beberapa tahun terakhir, gejala
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 40
Muhamad Nur
munculnya penghayatan sufisme ke panggung kehidupan keagamaan juga terlihat dengan jelas. Media massa sering melaporkan, misalnya bahwa literatur sufisme termasuk buku-buku yang terlaris di pasaran. Kursus-kursus tasawuf bagi kalangan sosial menengah ke atas yang diselenggarakan oleh lembaga semacam LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) dan Paramadina Jakarta yang didirikan oleg Nurcholis Madjid menarik minat cukup tinggi bagi, terutama kaum kota yang terdidik secara modern. Bahkan, salah satu stasion TV swasta menyelenggarakan Talk Show sufisme yang menyedot banyak pemirsa. Kehidupan sufistik ini juga merambah ke dunia kepenyiaran. Ada seniman atau penyair yang tidak malu-malu lagi memproklamasikan diri sebagai penyair sufistik (Anwar, 1999: 170). Seorang penulis dan peneliti Islam, Seyyed Husain Nasr, (1991: 54) dalam suatu surveinya menyimpulkan, dalam beberapa dekade terakhir ini, terjadi peningkatan signifikan dalam minat terhadap sufisme, terutama di kalangan terdidik. Sufisme mengalami kebangkitan di dunia muslim Syiria, Iran, Turki, Pakistan, sampai Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Menurutnya, sebagian kebangkitan tersebut berkaitan dengan meningkatnya kegiatan tarikat-tarikat sufi semacam Syadzilliyah atau Ni’matullah yang sangat aktif. Lebih dari itu, terdapat usaha serius untuk menggali kembali pemikiran tokoh-tokoh sufi, khususnya Ibnu Arabi. Fazlurrahman menamakan sufisme yang muncul pada era modern kali ini dengan neo-sufisme, atau sufisme yang telah diperbaharui (reformed sufisme). Sebagian besar sifat ekstatik-metafisis serta kandungan mystiko-filosofis yang sebelumnya dominan dalam sufisme klasik, kini digantikan dengan postulat-postulat Islam ortodoks yang lebih aplikabel (Fazlurrahman, 2000: 189). Dan pada kenyataannya membuktikan dalam situasi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian marak justru semakin banyak orang yang tertarik pada sufisme Apabila kemunculannya pertama pada periode pertengahan, sufisme dianggap sebagai penyebab kemunduran peradaban Islam dan ketertinggalan umat Islam, sementara kemajuan Islam yang dirintis sejak awal periode modern (1800-seterusnya) telah menunjukkan perkembangan yang cukup berarti. Jangan sampai hal ini merupakan indikasi terjadinya kemunduran dan ketertinggalan umat Islam yang
41 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Sejarah dan Dokrin Sufisme
kedua kalinya. Akan tetapi, jika ternyata kebangkitan kembali pada era post-modernisme ini harus dianggap taken for granted dikarenakan gejala eskapisme dalam dunia modern, diperlukan pandangan yang lebih proporsional dan apresiatif terhadap sufisme. Banyak yang menyebut zaman sekarang ini dengan istilah pascamodernisme atau post-modernisme. Sebutan itu tidak lagi merupakan tahapan khusus sejarah manusia setelah modernisme sehingga secara tentatif disebut post-modernisme. Dari segi kebahasaan, bahkan dari sudut pandang sejarah zaman yang sekarang disebut post-modernisme ini tidak sepenuhnya terpisah dari zaman modern sebelumnya. Para sarjana pun menyimpulkan bahwa lebih banyak kontinuitas dari perbedaan, antara sejarah luas modernisme dengan post-modernisme. Namun di pihak lain, disinyalir post-modernisme justru menawarkan beberapa kemungkinan positif yang belum ada sebelumnya. Berdasarkan pemaparan kemunculun neo-sufisme sebagai gerakan purifikasi tasawuf di atas dapat diambil suatu refleksi bahwa selama ini para peminat kajian tasawuf cukup kesulitan memberikan batasan definitif tentang makna tasawuf dan sumber-sumber dari tasawuf itu sendiri. Oleh karenanya, tidak heran bila dari diskursus tasawuf lahirlah mazhab intepretasi yang beragam, baik yang dilakukan oleh pengkaji tasawuf dari umat Islam sendiri maupun kajian dari para orientalis. Tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini selalu ada kesan negatif dalam ranah tasawuf. Contohnya adalah ajaran mengenai kesalehan individual yang lebih mementingkan dimensi ketuhanan ketimbang care pada aspek kemanusiaan dan kemasyarakatan. Dengan karakter yang demikian, tasawuf kemudian menjadi cenderung, meminjam bahasa Hasan Hanafi, (2001: 23) teosentris. Seolah-olah hidup di dunia hanya untuk kepentingan Tuhan saja. Akibatnya adalah dimensi hablu min al-nas menjadi banyak terabaikan.17 Contoh lain dari kesan negatif pada tasawuf adalah ajaran non-egaliter dan irasional. Sebagaimana banyak disebutkan dalam literatur-literatur tasawuf bahwa seorang murid ketika 17
Ide rekonstruksi terhadap tasawuf salah satunya dapat ditemukan dalam pemikiran Hasan Hanafi. Secara mendasar dia menolak tasawuf yang asketis dan mengingkaran dunia sebagai penyebab dekadensi kaum Muslimin. Hanafi berusaha merekonstruksi nilai mistik jenjang-jenjang moral, kondisi-kondisi psikologis dan kesatuan mutlak untuk membantu generasi-generasi modern menghadapi tantangantantangan yang sedang dihadapi (Hanafi, 2001: 24). Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 42
Muhamad Nur
berhadapan dengan syaikh bagaikan seorang mayit yang terbujur kaku di depan orang yang memandikannya (al-Junaid, t.th.: 26). Ini tentu bertentangan dengan semangat tauhid Islam yang menekankan kesetaraan antar sesama. Di sisi lain, diperlukan pengakuan jujur bahwa tasawuf telah melahirkan banyak hal positif. Dari tasawuf inilah lahir konsep sistematis tentang zuhud, sabar, ikhlas, qana’ah dan urusan akhlak lainnya. Di samping itu apabila tasawuf digunakan sesuai dengan porsinya dan bisa diharmonisasikan secara tepat dengan tarekat, maka dari tasawuf ini akan lahir kekuatan revolusi melawan despotisme, imperialisme dan diktatorisme seperti yang dilakukan gerakan Sanusiyah di Libiya. Jadi intinya tasawuf memang tidak hanya memiliki sisi negatif saja. Tasawuf, sama seperti entitas lain, juga memiliki sisi positif. Kemunculan neosufisme merupakan indikasi ke arah tasawuf positip. D. Akar Sufisme Nusantara Corak pemikiran Islam di Indonesia, terkenal sangat berwarna kesufian yang pekat. Ini tidak mengherankan jika dilihat dari sejarah datangnya Islam ke kawasan Indonesia, ke Asia Tenggara dan Afrika Hitam, ternyata banyak ditangani oleh kaum sufi sekaligus pedagang. Jaringan gilda-gilda perdagangan mereka yang luas yang berpusat pada pusat-pusat penginapan mereka dekat masjid sekaligus padepokanpadepokan kesufian mereka yang disebut zawiyah, khaniqah, ribath, dan funduq (pondok) telah memberi mereka fasilitas menyebarkan Islam melalui perembesan yang damai (penetration pacifique). Karena watak kesufian yang banyak mengandalkan intuisi pribadi dan perasaan (dzauq), pemikiran Islam yang diwarnainya tampil dengan sikap yang cukup reseptif (berpembawaan yang mudah menerima) unsur-unsur budaya lokal. Melalui kebijakan para “wali” (khususnya Walisongo), gaya pemikiran Islam di Indonesia dan di Jawa khususnya menjadi mudah sekali diterima oleh masyarakat. Keberhasilan penyebaran Islam di Indonesia dilaksanakan oleh para juru dakwah yang merupakan para sufi atau guru tarikat. Di Jawa misalnya, penyebaran Islam dilaksanakan oleh para sufi yang tergabung dalam “dewan Walisongo” itu diakui tidak saja oleh masyarakat Jawa tetapi juga oleh para orientalis, bahwa dalam tempo yang relatif pendek
43 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Sejarah dan Dokrin Sufisme
dan hampir tanpa menggunakan kekuatan senjata telah membuat agama Islam menggantikan dua agama besar yang telah dianut oleh masyarakat Indonesia selama berabad-abad, yakni agama Hindu dan Budha. Metode topo ngeli yang membawa keberhasilan itu bagaimanapun membawa sedikitnya dua macam ekses. Pertama, dakwah dengan penekanan sufi pada masa kemudian juga membentuk suatu ajaran yang memandang rendah pelaksanaan syariat. Ini sebagaimana terlihat pada gerakan Islam abangan. Kedua, menimbulkan hidupnya paham pantheisme, sebagaimana terlihat pada beberapa serat Jawa (Sofwan, 2000: 296). Menurut M.C. Ricklefs, (1989: 81-82) dan Six Centers of Islamization of Java, bahwa: “Dalam isi teologisnya, Islam di Indonesia pada abad ke17 dan ke 18 boleh dikatakan bersifat mistik, suatu perkembangan yang alamiah mengingat arah utama yang bersifat mistik dari agama-agama terdahulu di Indonesia. Walau ada masalah-masalah dalam hal dokumentasi abad-abad pertama Islam, jelaslah bahwa pada abad ke-16 (atau barangkali lebih awal) ajaran-ajaran sufistik lebih dikenal di Jawa dan Sumatera”. Bahkan pengaruh ajaran tarekat Wahdatul Wujud (Pantheistik atau Manunggaling Kawula Gusti), cukup mewarnai penyebaran Islam di Jawa dan Sumatera, antara lain seperti Syekh Siti Jenar, Pangeran Pengging, Ki Cabolek, dan Syekh Among Rogo di Jawa dan Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Syamsuddin as-Samantrani, Syekh Nuruddin ar-Raniri, dan Abdurrauf as-Singkeli di Sumatera (Sangidu, 2003: 1). Demikian pula perkembangan tarekat di Indonesia membawa pengaruh yang amat terasa dalam perkembangan Islam. Para tokoh tasawuf dan tarekat cukup berjasa dalam perkembangan Islam di Indonesia. Karena dengan melalui pendekatan tasawuf ini, Islam justeru bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat di Indoensia, dan proses Islamisasi berjalan dengan damai tanpa ada kekerasan. Hal ini menunjukkan bahwa para penyebar Islam, amat luwes (fleksibel) dalam menggunakan pendekatan untuk penyebaran Islam di Indonsia, karena dalam konsep dakwah Islam mereka menggunakan metode hikmah, mau’idhah hasanah dan mujadalah yang baik. Betulkah para penyebar Islam di Indonesia pada waktu itu para wali sufi ? Mengapa orang Indonesia begitu mudah dan cepat menerima seruan dakwah mereka ? Dan kalau memang betul bahwa mereka itu
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 44
Muhamad Nur
adalah para sufi, lalu corak tasawuf apa yang mereka kembangkan di Indoensia pada waktu itu? Itulah beberapa pertanyaan mendasar (urgen) yang tepat untuk dikedepankan ketika ingin melihat hubungan antara tasawuf dan islamisasi yang terjadi Indonesia pada masa lalu. Corak tasawuf telah memperlihatkan wujudnya di Indonesia setidak-tidaknya sejak abad ke-16. Pada waktu itu, Aceh menjadi pusat agama Islam di Nusantara dan hubungan lalu lintas Jawa Sumatera telah ramai. Di akhir abad ke-16 dan pertengahan kedua abad ke-17 ada empat orang tokoh kebatinan dari Sumatera Utara, yaitu: Syamsuddin dari Pasai (sebelum tahun 1575-1630), Hamzah Fansuri (sezaman dengan Syamsuddin, tahun kematian dan kelahirannya tidak dikenal), Nuruddin al-Raniri (ia berada di Indonesia diantara tahun 1637-1644) dan Abdul Rauf al-Sinkili ( + 1620-1693) (Hadiwijono, t.th.: 14). Mengingat lancarnya lalu lintas antara Sumatra Utara dan Jawa pada waktu itu, maka tidak mengherankan jika duacorak tasawuf Sunni dan non-Sunni (falsafi) itu juga muncul di Jawa. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tasawuf Sunni banyak dianut umat Islam bagian pesisir utara (daerah “pantura”), sementara tasawuf non-Sunni banyak dianut umat Islam di “pedalaman” dan Keraton, lebihlebih setelah Amangkurat I memusuhi para ulama Sunni (John dan Abdullah, 1985: 116-138). Dua corak tasawuf Sunni dan non-Sunni itu bukan saja tercermin dalam kelompok sosial manusia, tapi juga dalam konsep pemikiran yang terdapat dalam berbagai literatur jawa (Islam). Konsep pemikiran sufistik dalam literatur jawa berkaiatan dengan tema hubungan manusia dengan Tuhan dan sebaliknya, memperlihatkan perbedaan yang tajam antara kedua aliran itu. Konsep tentang manunggaling kawulo Gusti (bersatunya manusia dengan Tuhan), baik dalam arti manunggal dalam benar-benar, maupun dalam arti manunggal tan tunggal (bersatu tapi tidak dalam arti sebenarnya), cukup mewarnai kandungan isi Serat-serat dan Suluk-suluk dalam literatur Jawa. Adapun konsep budi luhur seperti suci hati dan perbuatan jujur, dapat dipercaya, rajin, tabah, syukur, rela hati, tawakkal, dan sifat-sifat utama lainnya tidak terdapat pertentangan antara Sunni dan non-Sunni. Demikian pula mereka juga tidak berbeda pendirian tentang keharusan menjauhi budi pekerti yang tercela seperti berhati jahat, khianat, dusta, suka berfoya-foya, pemalas dan lain-lainnya. Mereka sepakat akan
45 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Sejarah dan Dokrin Sufisme
pentingnya menghiasi diri dengan sifat terpuji, dan menjauhkan diri dari sifat tercela dengan jalan melatih dan menahan diri serta menekan keinginan hawa nafsu (Ardani, 1995: 5). Itulah beberapa contoh pandangan yang berbeda secara tajam antara aliran Sunni dan non-Sunni dalam literatur Jawa (Islam Nusantara) tentang konsep sembah manusia kepada Tuhan dalam kaitannya dengan pemikiran ketuhanan, sedangkan dalam konsep budi luhur tidak terdapat perbedaan pandangan antara keduanya. 1. Islamisasi Nusantara Martin van Bruinessen, (1999: 188) peneliti dari Belanda, membenarkan anggapan umum yang menyatakan bahwa tasawuf dan berbagai tarekat telah memainkan peranan yang menentukan dalam proses penyebaran Islam di Indonesia pada umumnya. Kehadiran tasawuf berikut lembaga-lembaga tarekatnya di Indonesia, sama tuanya dengan kehadiran Islam itu sendiri sebagai agama yang masuk di kawasan ini. Sebagian mubaligh yang menyebarkan Islam di Nusantara, telah mengenal ajaran Islam dalam kapasitas mereka sebagai guru-guru sufi.18 Tradisi tasawuf telah menanamkan akar yang fundamental bagi pembentukan karakter dan moralitas kehidupan sosial masyarakat Islam d Indonesia (Dhofier, 1983: 140). Para pengarang muslim yang paling awal namanya di Indonesia, adalah tokoh-tokoh penyebar Islam dan sekaligus tokoh-tokoh sufi. Hamzah Fansuri misalnya, adalah pengarang pertama dikalangan para sufi dan penyair besar. Sufi terkenal kedua adalah Samsuddin alSamatrany (W. 1630 M). Murid Hamzah Fansuri, yang menulis buku-buku berbahasa Arab dan Melayu utara (daerah Pantura), sementara tasawuf non-Sunni banyak dianut umat Islam di “pedalaman” dan Keraton, lebihlebih setelah Amangkurat I memusuhi para ulama Sunni (Ardani, 1995: 5). 18 Banyak teori berbeda tentang masuknya tarekat di Nusantara. Ada yang mengatakan tasawuf beserta lembaga tarekatnya masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedagang yang sebenarnya juga seorang sufi dan berhasil membumikan Islam di Nusantara pada abad 13 dan 14 M. Tepat setelah kehancuran Bagdad pada tahun 1258 M (Azra, 1998: 35). Teori para pedagang sufi ini tidak dengan serta merta dapat menujukkan siapa dan kapan di Nusantara. Mengenai jenis ajaran apakah yang berkembang pada awal penyebaran Islam masih membutuhkan kajian mendalam. Namun ada hipotesis yang masih perlu ditelusuri bahwa ajaran tasawuf al-Ghazali telah lebih lama dan kuat di Indonesia dari pada ajaran wahdat al wujud (Jamil, 2005: 72).
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 46
Muhamad Nur
Dua corak tasawuf Sunni dan non-Sunni itu bukan saja tercermin dalam kelompok sosial manusia, tapi juga dalam konsep pemikiran yang terdapat dalam berbagai literatur Jawa (Islam). Konsep pemikiran tentang hubungan manusia dengan Tuhan dan sebaliknya, memperlihatkan perbedaan yang tajam antara kedua aliran itu. Konsep tentang manunggaling kawulo Gusti (bersatunya manusia dengan Tuhan), baik dalam arti manunggal dalam benar-benar, maupun dalam arti manunggal tan tunggal (bersatu tapi tidak dalam arti sebenarnya), cukup mewarnai kandungan isi Serat-serat dan Suluk-suluk dalam literatur Jawa. Adapun konsep budi luhur seperti suci hati dan perbuatan jujur, dapat dipercaya, rajin, tabah, syukur, rela hati, tawakkal, dan sifat-sifat utama lainnya tidak demikian pula mereka juga tidak berbeda pendirian tentang keharusan menjauhi budi pekerti yang tercela seperti berhati jahat, khianat, dusta, suka berfoya-foya, pemalas dan lain-lainnya. Mereka sepakat akan pentingnya menghiasi diri dengan sifat terpuji, dan menjauhkan diri dari sifat tercela dengan jalan melatih dan menahan diri serta menekan keinginan hawa nafsu (Ardani, 1995: 5). Beragamnya apresiasi masyarakat Indonesia pada masa lalu tentang konsep hubungan manusia dengan Tuhan (hablun min Allah) dalam bentuk manunggaling kawulo Gusti (bersatunya manusia dengan Tuhan) di atas merupakan beberapa contoh pandangan yang berbeda secara tajam antara aliran Sunni dan non-Sunni dalam literatur Jawa (Islam) tentang konsep sembah manusia kepada Tuhan dalam kaitannya dengan pemikiran ketuhanan, sedangkan dalam konsep budi luhur tidak kedua adalah Samsuddin al-Sumatrany (w. 1630 M), murid Hamzah Fansuri, yang menulis buku-buku berbahasa Arab dan Melayu. Kemudian Nuruddin Ar-Raniry, dikenal terutama karena polemiknya yang tajam dengan para murid Syamsuddin, yang dituduhnya menganut paham Pantheisme. Abdurauf Singkel, sufi besar Aceh yang jasanya sangat besar dalam penyebaran Islam di Serambi Mekah Burhanuddin Ullan (w. 1111 H/1691 M) dari Minangkabau, murid Abd. Al-Rouf al-Sinkily Aceh. Tokoh lainnya adalah Syekh Yusuf al-Makassary (lahir 1629 M), seorang sufi yang amat berjasa dalam penyebaran Islam di daerah Makassar, Banten, Srilanka, dan Afrika Selatan. Syekh Yusuf meninggal di Afrika Selatan dalam pengasingan oleh Penjajah Belanda (Ardani, 1995: 189)
47 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Sejarah dan Dokrin Sufisme
Perkembangan tasawuf semakin marak dengan hadirnya para tokoh tasawuf dan tarekat dalam pengembangan tasawuf di Indonesia, seperti: Syekh Abdussomad al-Falimbany, Syekh Muhammad Nafis alBanjary, Syekh Ismail al-Khalid al-Minangkabawi, Syekh Ahmad Khotib alSambasi, Syekh Abdul Karim Banten, dan lain-lain. Secara historis, Islamisasi di Negara Indonesia menurut Koentjaraningkrat, (1994: 50-51) dengan mensitir pendapat para peneliti Barat seperti B.J.O. Schrieke yang mempelajari proses masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-13 sampai ke-16 M. Tome Pires yaitu seorang pegawai perkumpulan dagang Portugis, yang pada tahun 1512 M. pernah mengunjungi kota-kota pelabuhan di Jawa dan Sumatera mengatakan bahwa kaum bangsawan di kota-kota pelabuhan Jawa dan Sumatera itu telah memeluk agama Islam. Demikian juga dengan ahli filologi Australia, A.H. Johns, menjelaskan bahwa persebaran agama Islam ke Indonesia yang terjadi sejak abad ke 13 M. terjadi berkat usaha para penyiar ajaran mistik Islam (sufi). Gagasan-gagasan para sufi pada saat itu berasal dari kota Baghdad yang melarikan diri karena serbuan orang-orang dari bangsa Mongol dalam tahun 1258 M. Sehingga pada abad ke-13 dapat mempengaruhi para sufi di Sumatra Utara dan Jazirah Melayu dan pada abad ke-14 hingga ke-16 M. gagasan itu telah masuk di pulau Jawa (Koentjaraningrat, 1994: 50-53). Ada suatu hal yang perlu dicatat tentang masuknya Islam ke Indonesia, yaitu pada masa tersebut hampir secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ummat Islam dalam keadaan mundur, yang antara lain ditandai jatuhnya Baghdad ke tangan orang Mongol pada 1258 M. Sebelum jatuhnya kota Baghdad, dunia Islam disemarakkan munculnya para tokoh sufi dan tarekat beserta murid-muridnya. Mereka misalnya Abu Hamid al-Ghazali (meninggal 1111), Ibnu Arabi (meninggal 1240), Abd al-Qadir al-Jilani, pendiri tarekat Qadariyyah (meninggal 1221), pendiri tarekat Kubrawiyyah yang kemudian mempunyai pengaruh yang besar terhadap tarekat Naqsabandiyyah (Bruinessen, 1994: 3). Peran penting yang dimainkan oleh para sufi dan tarekat pasca jatuhnya kota Baghdad adalah memelihara keutuhan dunia dari disintegrasi kawasankawasan kekhalifahan ke dalam wilayah-wilayah linguistik Arab, Persi dan Turki. Pada masa itu terekat secara bertahap menjadi institusi yang stabil dan disiplin serta mengembangan afiliasi dengan kelompok-kelompok
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 48
Muhamad Nur
dagang dan kerajinan tangan yang turut membentuk masyarakat urban (Azza, 1999: 31). Afiliasi tersebut memungkinkan para guru dan murid memperoleh sarana pendukung untuk melakukan perjalanan dari pusat-pusat dunia Islam ke wilayah-wilayah periferi termasuk ke Indonesia. Mereka disebut sebagai penyiar Islam pengembara, membawa keimanan dan ajaran Islam melintasi berbagai batas bahasa dan mempercepat ekspansi Islam. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila proses Islamisasi secara massal yang terjadi pada sekitar abad ke-13 banyak diwarnai oleh ajaran-ajaran dan praktik-praktik sufi (Azza, 1999: 33-34). Di Jawa, tradisi lokal Hindu-Budha sudah berakar kuat di masyarakat sebelum Islam datang. Namun kedatangan Islam di Jawa pada waktu itu tidak pernah menimbulkan gejolak, bahkan Islam berkembang dengan pesat Hal ini bisa terjadi karena ada persamaan antara pandangan hidup mistik local dengan pandangan hidup mubaligh. Sebelum kedatangan Islam di Jawa sudah ada ajaran mengenai pertapaan dan kezuhudan yang ajaran-ajaran tersebut juga terdapat di dalam ajaran tasawuf. Di samping itu keberhasilan konversi yang disampaikan oleh para sufi dalam menampilkan Islam dalam bentuk kemasan yang menarik, khususnya menekankan kesesuaian tradisi local dengan Islam, ketimbang merubah kepercayaan dan praktik keagamaan lokal (Azza, 1999: 32). Kesamaan watak antara orang-orang muslim, sebagai pendatang baru, dan masyarakat Nusantara dalam menghayati mistik, lebih memudahkan Islam untuk diteima oleh kelompok terakhir ini dengan tanpa goncangan yang berarti. Tetapi akibatnya, penerimaan mulus ini harus dibayar dengan sinkretisme antara dua ajaran yang berbeda serta pelestarian nilai-nilai lama dengan wadah dan baju baru. Cerita-cerita tentang Walisongo dalam tradisi Jawayang penuh legenda dan masih berkembangnya tradisi-tradisi lama, pada hakikatnya adalah kompromi antara nilai-nilai lama dan nilai baru. 2. Corak Tasawuf pada Awal Islamisasi di Nusantara Islamisasi masyarakat Nusantara merupakan hasil dakwah dan perjuangan guru Sufi. Para guru sufi adalah figur juru dakwah yang andal yang berbudi luhur, halus, lemah-lembut berkata ramah dan penyayang
49 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Sejarah dan Dokrin Sufisme
kepada umat sebagaimana dianjurkan oleh Allah kepada Rasul-Nya. Allah berfirman dalam al-Quran surat Ali Imran: 159. “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. 19. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang bertawakkal kepada-Nya (Q.S. Ali Imran: 159) (Soenarjo, 2003: 67). Dijelaskan oleh Zarkasyi, (1996: 82-83) bahwa kesuksesan dakwah pada awal masuknya Islam di Nusantara itu karena dipengaruhi oleh situasi kondisi yang bersamaan dengan kacaunya kerajaan Majapahit dan akhirnya runtuh sama sekali. Suasana masyarakat (sosial budaya), politik, dan ekonomi di akhir masa kejayaan kerajaan Majapahit itu telah usang dan lapuk. Kemudian dalam kondisi seperti itu, akhirnya orang mulai gelisah dan rindu kepada pembaharuan, dan kerinduan itu bisa dipenuhi oleh para guru sufi seperti Walisongo yang membawa Islam sebagai alat pembaruan. Hinduisme mengajarkan adanya kasta-kasta atau tingkat derajat manusia. Sedangkan Islam mengajarkan kesamaan, Islam telah mampu memberi inspirasi baru dan memperluas pandangan rakyat di Nusantara. Islam memberi optimisme (harapan baik) setelah lama diikat oleh suasana himpitan budaya Hindu, Budha, dan feodalisme budaya lokal kuno (Zarkasyi, 1996: 82-83). Oleh karena kedatangan Islam ke Nusantara adalah melalui hubungan perdagangan dan pengembaraan ulama-ulama sufi yang merupakan juru-juru dakwah yang paling bersemangat sesudah kehalifahan Baghdad runtuh pada tahun 1258 M karena serangan 19 Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya. Lihat (Soenarjo, 2003: 67).
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 50
Muhamad Nur
pasukan Tartar, sementara alam pikiran Islam yang dibawa oleh mereka itu dikenal dengan corak tasawuf, maka nyatalah bahwa kedatangan Islam di pulau Jawa tak dirasakan oleh rakyat sebagai sesuatu yang asing. Sebenarnya, di antara faktor penentu keberhasilan gerakan Islamisasi di pulau Jawa dewasa itu adalah karena penggunaan seni, adat istiadat, dan tradisi kebudayaan setempat (budaya Jawa). Dalam kaitan ini Johns menegaskan, “Kecenderungan menggunakan unsur-unsur kebudayaan non-Islam adalah salah satu faktor keunggulan metode dakwah yang dikembangkan di anak Benua India Kepulauan Indonesia (John, 1961: 8). Semua itu menunjukkan kearifan para da’i dan kemampuan memahami spirit Islam sehingga dapat berbicara sesuai dengan kapasitas para audien-nya. Mereka melakukan modifikasi adat istiadat dan tradisi setempat sedemikian rupa agar tidak bertentangan dengan dasar-dasar Islam. Orang-orang Indonesia khususnya masyarakat Jawa sejak dahulu kala mempunyai kebiasaan “begadang semalam suntuk” dalam acaraacara tertentu yang tidak jarang diisi dengan upacara-upacara ritual keagamaan. Fenomena ini oleh para da’i dipahami sebagai kecenderungan religius yang tinggi. Oleh karena itu, dengan kearifan dan cara pengajaran yang baik dan santun, mereka berhasil meyakinkan penduduk bahwa Islam menawarkan hubungan yang lebih intensif dengan Allah SWT dan bahwasanya upacara-upacara ritual amat menentukan dalam mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dengan demikian, mereka berhasil mengalihkan kebiasaan “begadang” yang diisi dengan upacara ritual tertentu menjadi sebuah halaqah zikir (Shihab, 2001: 41). Demikian pula tradisi pada malam menjelang acara pernikahan dan khitanan, para da’i memperbolehkan pergelaran musik mengiringi lagulagu pujian kepada Nabi saw., disamping musik tradisional gamelan yang merupakan seni klasik Indonesia dan paling digemari penduduk lokal. Para da’i menggunakan gambelan sebagai alat dakwah yang sangat efektif untuk memperkenalkan ajaran-ajaran Islam yang fleksibel. Dituturkan oleh Abdul Hadi, (2000: 100-102) di antara sekian nama para Wali khususnya di pulau Jawa tidak ada yang kreatifitasnya melebihi Sunan Bonang dan muridnya Sunan Kalijaga dalam memanfaatkan seni dan budaya sebagai media syiar Islam di pulau Jawa.
51 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Sejarah dan Dokrin Sufisme
Tidak ada nama-nama wali di Negera Indoensia yang diabadikan dalam alat kesenian musik Jawa kecuali Sunan Bonang. Berkat inovasinya dalam bidang gamelan Jawa, seperti dikenal sekarang, mengalami perubahan mendasar secara estetis dan berbeda dari gamelan Majapahit yang perkembangannya dilanjutkan gamelan Bali. Gamelan Bali adalah prototype gamelan Majapahit Hindu yang menekankan pada ekstase dan digunakan untuk pertunjukan drama/tarian dramatik. Sementara gamelan Jawa sangat kontemplatif dan meditative, sejalan estetika sufi. Estetika sufi melihat musik sebagai sarana tafakkur dan perjalanan mendaki menuju alam transendental (alam malakut). Lagi pula dalam gamelan Bali tidak terdapat rangkaian gong kecil seperti kempul dan boning. Alat music rebab juga tidak digunakan pada alat musik Bali. Kedudukan musik dalam tradisi sufi menunjukkan bahwa fungsi utama musik adalah sebagai tajarrud atau transendensi, yaitu pembebasan yang material melalui yang material itu sendiri; dan sebagai sarana tawajjud atau meditasi, yaitu pemusatan pikiran terhadap Yang Satu yang sekaligus adalah Yang Transenden yaitu Allah SWT. Berdasarkan konsep demikian, musik dapat membantu pendengarnya melakukan ritual penyucian diri (tazkiyah al-nafs) dan membebaskan keterikatannya dari kungkungan alam material (Hadi, 2001: 96). Alat musik lain yang digunakan para sufi adalah Rebab. Rebab merupakan alat musik Arab yang dimasukkan sebagai instrumen musik Jawa pada abad ke-16 M sebagai pengaruh dari Islam. Dalam perkembangannya rebab memainkan peranan penting dalam keseluruhan simfoni gamelan. Munculnya instrumen kempul dan boning dalam gamelan Jawa dinisbahkan khusus kepada Sunan Bonang. Menurut cerita penambahan instrumen boning diilhami oleh instrumen serupa dari Campa. Alat musik ini dibawa dari Campa sebagai hadiah perkawinan Prabu Kertabumi dengan Puri Campa (Hadi, 2000: 101). Sunan Bonang sendiri nampaknya memiliki kepiawaian tersendiri melebihi wali Jawa yang lain dalam penulisan karya sastra. Terdapat banyak tembang suluk,28 yang berasal dari abad ke-16 dipercaya sebagai karya atau memuat ajaran sunan Bonang. Menurut Drewes, tidak kurang 28
Suluk merupakan bentuk ekspresi sastra bernafas Islam yang mulai ditulis di Jawa pada akhir abad ke-15 dan 16 M. bersamaan dengan runtuhnya Majapahit dan makin banyak orang Jawa memeluk agama Islam. Lihat (Hadi, 2001: 96) Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 52
Muhamad Nur
dari 20 suluk panjang dalam koleksi naskah Musium Perpusatakaan Universitas Leiden dan Musium Jakarta (sekarang Perpustakaan Nasional) dapat diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau ajaran sang Wali yang sempat dicatat oleh murid-muridnya (Hadi, 2001: 96). Simak misalnya kisah Wujil, bekas aktor dan pelawak di istana Majapahit yang terpelajar, dalam sebuah suluknya. Setelah 10 tahun berguru kepada Sunan Bonang dan mempelajari agama dan sastra Arab secara mendalam dia akhirnya jenuh dan merasa sia-sia. Jiwanya merasa kerontang dan gelisah, hatinya menjerit dan kebingungan. Suatu ketika dia menghadap Sunan Bonang dan berkata: Ya marma lunga ngikis ing wengi angulati sarahyaning tunggal sampunaning lampah kabeh sing pandhita sundunung angulati sarining urip wekasing jati-wenang wekasing lor kidul suruping raditya wulan reming netra kalawan suruping pati wekasing ana-ora (Purbatjaraka, 1954: 57). Terjemahan bebasnya: Agama dan sastra telah kupelajari Tetapi saya masih terus mencari-cari Uraian kesatuan huruf, dulu dan sekarang Tak berbeda. Musik masih digunakan Bahasa tetap bahasa, Saya meninggalkan Majapahit dan semua yang dicintai Namun tak menemukan apa-apa sebagai penawar. Diam-diam saya pergi malam-malam Mencari rahasia yang satu Mencari jalan sempurna Semua pendeta, bikhsu dan ulama saya temui Agar berjumpa hakikat hidup, akhir kuasa sejati Ujung utara selatan, tempat matahari dan bulan terbenam Akhir mata tertutup dan inti maut Akhir ada dan tiada. Tidak tega melihat penderitaan batin muridnya, Sunan Bonang kemudian mengajarinya masalah syariat, tarekat dan hakikat. Dia
53 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Sejarah dan Dokrin Sufisme
menguraikan rukun Islam dengan rinci. Dia mengatakan bahwa dalam Islam ibadah dilakukan melalui aspek batin dan lahir. Kedua jalan itu dapat dilakukan oleh siapa pun, tidak ada perbedaan untuk orang kaya maupun miskin, makmum maupun imam. Islam memandang bahwa kedudukan manusia adalah sama. Kemuliaannya hanya dilihat dari ketakwaannya kepada Tuhan. Apabila pada zaman Majapahit seseorang harus melakukan tapa brata dan semedi sampai berbulan-bulan untuk mencapai moksa atau persatuan mistik, maka dalam Islam seseorang tidak perlu menyiksa badan dan memencilkan diri dari masyarakat untuk menjalankan ibadah. Seseorang hanya perlu melaksanakan syariat agama dengan salat lima waktu dan menampuh tarekat dengan memperbanyak ibadah dan dzikrullah. Berdzikir dapat dilaksanakan dimana saja, tidak perlu di tempat sunyi sebagaimana lazim dilakukan dalam agama Hindu dan Budha (Hadi, 2000: 100-102). Menurut Hadi, (2001: 97) selain suluk Wujil, masih banyak lagi karya Sunan Bonang yang relevan. Diantaranya adalah suluk Khalifah, suluk Bentur, suluk Jebeng dan Gita Suluk ing Aewuh. Sunan Bonang yang berperan besar dalam penyebaran agama Islam di Nusantara, diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-15 sampai awal abad ke16 M. Pada masa hidupnya, dia menyaksikan perubahan besar masyarakat Jawa yang mulai meninggalkan agama Hindu dan berbondong-bondong memeluk agama Islam. Dari uraian di atas, jelas bahwa pengaruh tasawuf Sunni sangat kuat pada cara yang ditempuh oleh para Wali dalam menyebarkan paham keislaman kepada rakyat. Ini terlihat misalnya ketika para wali itu dengan mudah memanfaatkan seni dan budaya sebagai media dakwah dewasa ini. Kesimpulan ini diperkuat oleh Shihab, (2001: 41) yang menuturkan bahwa para wali kala itu menjadikan karya-karya Al-Ghazali sebagai referensi dalam menentukan kebijakan dan strategi gerakan dakwah terutama dalam memanfaatkan musik dan kebudayaan lokal sebagai sarana dalam mendakwahkan Islam. Karena dalam tasawuf Sunni, musik diperbolehkan sebagai cara yang lebih cepat menggugah perasaan karena derajat sensitivitas tinggi yang ditimbulkan dalam jiwa. Al-Ghazali misalnya pernah berfatwa, “Barang siapa yang tidak terpengaruh oleh irama lagu, berarti dia menderita kekurangan dalam jati diri, tidak
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 54
Muhamad Nur
memiliki semangat, dan akan selalu kasar.” (al-Ghazali, t.th.: 1132). Lebih tegas Al-Ghazali menyatakan, “Sesungguhnya lagu dapat menjadi cara mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan jika demikian halnya, nyanyian merupakan anjuran agama (mustahab).” (al-Ghazali, t.th.: 1183) Sehingga, meskipun para wali itu tidak membawa bendera tertentu kecuali Islam dan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, metode dakwah yang digunakan Walisongo tersebut jelas-jelas adalah penerapan metode yang dikembangkan para sufi Sunni. Karena itu masih tetap menjaga kontinuitas dengan apa yang digariskan oleh ideologi tasawuf Sunni baik al-Qusyairi maupun al-Ghazali. Kenyataan bahwa corak Islam yang diajarkan oleh para wali itu sejalan dan terus menjaga kontinuitas dengan corak tasawuf Sunni, adalah diperkuat oleh temuan-temuan berikut ini: Pertama, diketemukannya manuskrip tua peninggalan zaman Islam awal, yang diperkirakan berasal dari abad ke-15 atau 16. Karena tersimpan lama, kurang lebih 300 tahun di Biblioteca Cummunale Ariostes di Ferrara, Italia, manuskrip ini disebut “Keropak Ferrara” (Hadi, 2000: 226) Selama 300 tahun tidak seorang pun menyentuh dan memperhatikan manuskrip tua tersebut. Manuskrip tersebut terdiri 23 lembar lontar, berukuran 40 x 3,5 cm. Dengan teks bahasa Jawa Madya sebagaimana bahasa Jawa yang digunakan dalam kitab Pararaton. Karena usianya yang tua dan teksnya ditulis sebelum teks-teks yang dicirikan sebagai karya Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati, maka manuskrip ini dapat dijadikan bahan penting untuk mengkaji perkembangan ilmu fikih dan tasawuf pada abad ke-15 M., termasuk kitab-kitab yang digunakan sebagai bahan pengajaran. Dalam satu isi teks tersebut dijelaskan: Inilah jalan mengenal Tuhan dan menjauhkan diri dari perbuatan dosa yang ditulis dalam bahasa sastra oleh khlifah dan disarikan dari kandungan kitab bidayah al-Hidayah karangan al-Ghazali dan diperluas dengan bahan dari kitab masadullah, yang memuat doa-doa dari Nabi Isa; Raudat al-Ulama’; dari Kitab Tafsir, Hadits dan Ushuluddin dan dari Kitab Salamat. (Puniko tingkahing angaweruhi ing pangeran, tingkahing andohing maksiat, antukiro khalifah angawi, saking wirasaning kitab al-Bidayah) (Hadi, 2000: 226). Manuskrip tersebut, menurut Drewes sebagaimana dikutip Hadi, (2000: 227) dibawa oleh pelaut-pelaut Belanda yang mengunjungi Nusantara pada tahun 1585 dan ditemukan di Sedayu sebelah barat pulau
55 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Sejarah dan Dokrin Sufisme
Madura. Masih menurut Drewes, manuskrip Ferrara ini memuat ajaran Syekh Ibrahim alias Syekh Maulana Malik Ibrahim, wali pertama di Jawa yang wafat tahun 822 H, makamnya terletak di Kota Gresik, Jawa Timur. Setelah lama terlantar pada tahun 1962, foto copy naskah itu dikirim ke Leiden dan ditransliterasikan ke dalam tulisan latin oleh J. Soegiarto. Kini, baik foto copy maupun salinannya di simpan di perpustakaan Universitas Leiden dengan No. Kode manuskrip MS. Leiden Cod. Or. 10811. tidak lama kemudian, transliterasi teks tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh GWJ. Drewes, bersama ulasannya diterbitkan dalam buku, An Early Javanese Code on Moslem Ethiks (Hague, 1978). Dalam manuskrip Ferrara tersebut banyak dibicarakan masalah seputar syariat, figh dan tasawuf Islam yang bersumber dari kitab Bidayatul Hidayah karya al-Ghazali. Dari sini jelaslah, bahwa pengaruh pemikiran al-Ghazali, khususnya tasawuf Sunni, sudah mulai tertanam di Indonesia justru pada saat awal-awal islamisasi di Nusantara (abad 14 - 15 M) dan tokoh pembawanya adalah para guru sufi (Jamil, 2005: 72). Kedua, diketemukannya buku: Het Boek Van Bonang, yakni teks primbon wejangan Sunan Bonang yang dijadikan bahan desertasi oleh DR. B.J.O. Schrieke dan tertuang pula dalam buku: Een Javanche Geschrift nit de 16 de Eeuw, bahan disertasi DR. J.G.H Gunning. Dua buah naskah itu secara ilmiah diakui setidaknya sebagai ajaran yang berlaku luas abad ke-16, masa ketika Sunan Bonang hidup. Ajaran yang termuat dalam kedua naskah itu mewakili ajaran wali sembilan mengingat bahwa semua wali yang ada itu bersatu darah dengan Syekh Jumadil Kubro. Syekh Jumadil Kubro sebagaimana sudah dituturkan, merupakan ayah dari Syeikh Maulana Malik Ibrahim, yang menurunkan wali-wali: Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga dan Sunan Muria. Sedangkan Syeikh Maulana Ishaq menurunkan Sunan Gunung Jati, Sunan Giri dan Sunan Kudus. Di samping itu, Sunan Bonang adalah putera dari murid Sunan Ampel, teman se-almamater dengan Sunan Giri dan Sunan Drajat yang bersama-sama berguru pada Maulana Ishaq. Sunan Bonang adalah guru pertama Sunan Kalijaga sehingga terdapat kesamaan di antara mereka. Selanjutnya, Sunan Gunung Jati adalah murid dari Syeikh Maulana Ishaq sehingga dapat dibayangkan pula persamaannya dengan Sunan Bonang (Sofwan, 2000: 77-78).
Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 56
Muhamad Nur
Atas dasar pertimbangan itu semua, maka ajaran Sunan Bonang merupakan corak dari ajaran tasawuf Islam Sunni pada abad ke-16. Kesimpulan ini didukung pula oleh buku-buku yang dijadikan rujukan oleh Sunan Bonang dan termuat dalam Het Boek Van Bonang, yaitu: Ihya Ulumuddin dari Al-Ghazali. Tahmid dari Abu Syakur bin Su’aib as Sulami. Talkis al-Minhaj dari Nawawi. Quth al-Qulub dari Abu Thalib al-Maliki. Risallah al-Makiyyah fi Thariq al-Sad al-Sufiyah dari Al-Tamami. Al-Anthaki dari Dawud al-Anthaki. Hayatul Auliya dari Abu Nuaim al-Asfahani (Saksono, 1995: 154). Ketiga, Hukuman mati terhadap Shekh Siti Jenar yang begitu popular dalam berbagai periwayatan tentang “Walisongo”, mencerminkan puncak pergumulan dan konflik antara Islam eksoteris / tasawuf sunni (yang dalam Babad tersebut diwakili oleh Walisongo) dan Islam eksoteris / tasawuf falsafi (yang dalam kisah Babad tersebut ditokohi oleh Syekh Siti Jenar). Episode tragis yang dialami Syekh Siti Jenar itu menunjukkan supremasi tasawuf Sunni di atas segala-galanya, yang ini justru terjadi pada awal-awal Islamisasi di Jawa dan dimotori oleh para walisongo itu (Madjid, 2003: 29-31) Islamisasi masyarakat Jawa pada khususnya dan Indonesia bagian timur pada umumnya dapat disimpulkan memang merupakan hasil dakwah dan perjuangan para Wali sufi terutama yang tergabung dalam “Walisongo”. Dan ternyata pengaruh tasawuf Sunni sangat kuat pada cara yang ditempuh oleh para Wali di Jawa dalam menyebarkan paham keislaman kepada rakyat. Ini terlihat misalnya ketika para wali itu dengan mudah memanfaatkan seni dan budaya sebagai media dakwah di Jawa dewasa itu. Para wali di Nusantara kala itu menjadikan karya-karya Al-Ghazali sebagai referensi penting dalam menentukan kebijakan dan strategi gerakan dakwah terutama dalam memanfaatkan musik dan kebudayaan lokal sebagai sarana dakwah Islam. Karena dalam tasawuf Sunni, musik diperbolehkan sebagai cara yang lebih cepat menggugah perasaan karena derajat sensitivitas tinggi yang ditimbulkan dalam jiwa. Sehingga, meskipun para wali yang menyebarkan agama Islam di Indonesia itu tidak membawa bendera tertentu kecuali Syiar Islam,
57 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid
Sejarah dan Dokrin Sufisme
metode dakwah yang digunakan Walisongo tersebut adalah penerapan metode yang dikembangkan para sufi Sunni. Dan oleh karena itu, mereka tetap menjaga kontinuitas dengan yang digariskan oleh ideologi tasawuf Sunni baik al-Qusyairi maupun al-Ghazali. Kenyataan bahwa corak Islam yang diajarkan para sufi Nusantara seperti halnya Walisongo,20 sejalan dan terus menjaga kontinuitas dengan corak tasawuf sunni al-Ghazali, adalah diperkuat dengan ditemukannya dua manuskrip kuno: (1) Keropak Ferrara, manuskrip ini diyakini sebagai peninggalan Maulana Malik Ibrahim, wali pertama di Jawa yang menyebarkan Islam di daerah Sedayu, Gresik; (2) Het Boek van Bonang, yakni teks primbon yang diperkirakan berasal dari wejangan Sunan Bonang. Dari sini jelaslah, bahwa pengaruh pemikiran al-Ghazali, khususnya tasawuf sunni, sudah mulai tertanam di Nusantara justru pada saat awal islamisasi di Indonesia (abad 14-15 M) dan tokoh pembawanya adalah para guru sufi dan juga pedangang dari manca negara (Madjid, 2003: 26).
20
Jasa Walisongo yang besar dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara diabadikan menjadi nama Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, seperti IAIN Walisongo Semarang, IAIN Sunan Gunungjati Cirebon, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, UIN Sunan Ampel Surabya, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, IAIN Raden Patah Palembang, dan sebagainya. Neo Sufisme Nurcholish Madjid
| 58