BAB III DEFORMASI BERDASARKAN MODEL DISLOKASI DAN VEKTOR PERGESERAN GPS III.1. Pengamatan Deformasi Akibat Gempabumi dengan GPS Deformasi akibat gempabumi nampak jelas mengubah bentuk suatu daerah yang luas dalam waktu yang lama. Informasi tambahan mengenai gempabumi dan proses yang menyebabkannya dapat diperoleh dengan cara mengukur proses deformasi yang terjadi di permukaan bidang gempa, menggunakan GPS dengan teknik dari Geodesi. Dalam studi Gempabumi, data GPS dapat dengan baik melihat deformasi yang mengiringi tahapan mekanisme terjadinya Gempabumi. Studi mengenai tahapan mekanisme gempa ini akan sangat berguna dalam melakukan evaluasi potensi bencana alam Gempabumi, untuk memperbaiki upaya mitigasi di masa datang. Penggunaan GPS dalam memantau deformasi yang disebabkan oleh Gempabumi tidak terlepas dari sistem referensi yang digunakan, fenomena deformasi di permukaan bumi diamati dengan menggunakan sistem ITRS yang direalisasikan dengan koordinat dan kecepatan dari sejumlah titik yang tersebar di seluruh permukaan Bumi, seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya. Dalam pemantauan gempa, saat ini GPS dengan ketelitian tinggi orde mm digunakan untuk memantau pergerakan tanah dalam setahun. Pemantauan pergerakan tanah berguna untuk memperkirakan terjadinya gempa, baik pergerakan vulkanik ataupun tektonik. Pada lingkup penelitian, GPS digunakan untuk studi geodinamika dengan menempatkan titik-titik pantau di beberapa lokasi yang dipilih secara episodik maupun kontinyu untuk ditentukan koordinatnya dengan teliti menggunakan metode survei GPS. Dalam studi geodinamika umumnya memerlukan penggunaan receiver geodetik dua frekuensi dengan lama pengamatan yang relatif panjang (beberapa hari di suatu titik pengamatan untuk metode episodik) atau sebaiknya kontinyu. Meskipun ketelitian GPS sudah cukup akurat, secara umum ketelitian komponen tinggi GPS lebih rendah sekitar 3 kalinya ketelitian horisontal. Penyebab komponen tinggi GPS mempunyai ketelitian yang lebih rendah dibandingkan komponen horisontal diantaranya disebabkan faktor geometri satelit yang tidak memungkinkan pengamatan di bawah horison, sehingga kekuatan ikatan jaring untuk komponen tinggi lebih lemah, kemudian adanya beberapa bias seperti bias troposfer yang akan mempengaruhi tingkat ketelitian (memperjelek ketelitian) pada komponen tinggi.
19
Seperti yang telah sering disebutkan sebelumnya, Sumatera mempunyai tingkat aktifitas seismik yang sangat tinggi. Zona subduksi Sumatera sudah berulangkali menghasilkan gempa raksasa yang disertai tsunami, termasuk yang baru-baru ini terjadi di Aceh dan Nias. LIPI dan Caltech sudah melakukan penelitian Gempabumi di sana sejak tahun 1992. Hasil penelitian menunjukkan bahwa zona subduksi segmen Mentawai sangat berpotensi untuk menghasilkan gempa raksasa dan tsunami di masa datang.
Setelah
melakukan
penelitian
geologi,
khususnya
paleogeodesi
dan
paleoseismologi dari koral mikroatol sejak tahun 1992, sejak tahun 2002 (September) LIPI dan Caltech sudah mulai memasang jaringan statsiun GPS (Global Positioning System) GPS permanen. Jaringan GPS ini dinamakan SUGAR (Sumatran GPS Array). Sampai tahun 2008, telah dipasang 32 stasiun GPS di daerah sepanjang pantai barat daya Pulau Sumatera. Jaringan SUGAR yang dipasang di Pulau Sumatera (sampai tahun 2006), ditunjukkan pada gambar 3.1.
Gambar 3.1. Jaringan SUGAR di Pulau Sumatera. [Natawidjaja, 2006]
Enam dari stasiun GPS ini sudah dilengkapi oleh seismograf digital yang dipasang di Siberut, Air Bangis (Pasaman), Sikuai (Padang), Gunung Talang (Solok), Silabu, Sikakap, dan Nias. Empat diantaranya juga dilengkapi accelerographs (strongmotion seismographs) di Silabu dan Nyang-Nyang (Mentawai), di Pulau Batu, Nias
20
serta sebelah utara Simeulue. Jaringan seismograf ini diharapkan dapat membantu menentukan lokasi dan mekanisme kejadian Gempabumi di daerah barat Sumatra dengan lebih akurat. [Natawidjaja, 2006] SUGAR dimaksudkan untuk mendapatkan data pergerakan permukaan bumi yang berhubungan dengan proses Gempabumi secara sangat akurat dan juga kontinyu di daerah-daerah sepanjang pesisir pantai barat Sumatera, dan di daerah Kepulauan Mentawai (gambar 3.2). Untuk melihat mekanisme dari Gempabumi Bengkulu 2007 maka dimanfaatkan teknologi SUGAR yang dipasang untuk mengamati secara kontinyu pergerakan lempeng. Data vektor pergeseran dari Sumatran GPS Array dapat dengan baik melihat deformasi yang mengiringi tahapan mekanisme terjadinya Gempabumi di sekitar wilayah stasiun pengamatan.
Studi mengenai tahapan
mekanisme Gempa ini akan sangat berguna dalam melakukan evaluasi potensi Bencana Alam Gempabumi, untuk memperbaiki upaya mitigasi.
Gambar 3.2. Stasiun SUGAR di Sepanjang Pantai Barat Sumatera dan Kepulauan Mentawai
Berkaitan dengan upaya mitigasi bencana gempabumi diatas, bahwa pada kenyataannya prediksi gempabumi meliputi parameter lokasi, waktu dan skala gempabumi tersebut. Ketiga paremeter tersebut harus ada, sehingga penanggulangan bencana bisa dilakukan dengan tepat dan proporsional. Namun sampai saat ini, prediksi Gempa yang tepat dan teliti belum bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah karena
21
tanda-tandanya (precursor) tidak pasti. Gejala yang banyak diamati berdasarkan pada sifat-sifat batuan yang mengalami stress akibat tekanan yang ditimbulkan dari pergerakan lempeng tektonik. Gejala tersebut terlihat pada perubahan posisi satu titik relatif terhadap titik lainnya yang dapat diamati dengan menggunakan GPS.
III.2. Dasar-dasar Pemodelan Deformasi III.2.1. Teori Elastisitas Hampir semua bahan teknik memiliki sifat tertentu yaitu elastisitas. Apabila gaya luar menghasilkan perubahan bentuk (deformasi) tidak melebihi batas tertentu, maka perubahan bentuk hilang sesudah gaya dilepas. Secara konsep, elastisitas terdiri dari tegangan dan regangan. Tegangan adalah gaya persatuan luas permukaan tempatnya bekerja. Umumnya, arah tegangan miring terhadap luas tempatnya bekerja dan dapat diuraikan menjadi dua komponen yaitu tegangan normal (stress normal) tegak lurus terhadap luas dan tegangan geser (stress geser) yang bekerja pada bidang luas. Regangan adalah perubahan dimensi/bentuk karena stress. Di bawah ini dijelaskan komponen-komponen yang menyusun stress dan strain, ini terkait dengan fenomena subduksi yang merupakan proses awal terjadinya aktivitas seismik yaitu gempa di dalam permukaan bumi. Komponen stress dan tegangan itu antara lain : Stress (tegangan) : σ = Gaya/Luas =
...................................... 1)
Komponen stress (matriks tensor stress) di bawah ini, dapat dijelaskan pada gambar 3.3 :
Komponen diagonalnya (σxx , σyy , σzz) merupakan komponen untuk stress normal, sedangkan komponen lainnya (σxy, σxz, σyx, σyz, σzx, σzy) merupakan komponen untuk stress geser.
22
Z
σzz
σyz
σxz σyz
σzx σxx
σxy
σyy
σyz
X
Gambar 3.3. Komponen Stress
Y
Strain (regangan) : ε = u +
............................................. 2)
Komponen strain (matriks tensor stress) antara lain :
Dengan komponen strain normal du, dv, dan dw (gambar 3.4) antara lain : ..................... 3) Dan komponen strain geser nya antara lain : ............ 4) dengan rotasi benda akibat strain :
Y dv
du X Gambar 3.4. Komponen Strain
23
Ada dua jenis gaya luar yang bisa bekerja pada benda, gaya permukaan (gaya terbagi merata sepanjang permukaan benda, tekanan salah satu benda terhadap yang lain atau tekanan hidrostatis), dan gaya benda/gaya inersia (gaya terbagi sepanjang volume sebuah benda seperti gaya gravitasi, gaya magnetis, atau dalam kasus benda bergerak). Tegangan normal diambil positif apabila tegangan tersebut menghasilkan tarik dan negatif bila tegangan menghasilkan tekan. Hubungan linier (relasi) antara komponen tegangan (stress, persamaan 1) dan regangan (strain, persamaan 2) umumnya dikenal sebagai hukum Hooke, dapat dijelaskan bahwa semakin besar strees yang terjadi maka akan semakin besar strain nya, demikian sebaliknya. Parameter-parameter elastik antara lain [Timoshenko dan Goodier, 1986]: 1. Modulus Young, yaitu merupakan stress normal/strain normal, modulus ini disebut juga modulus normal. 2. Modulus Geser, yaitu stress geser/strain geser. 3. Modulus Bulk, yaitu berhubungan dengan incompressibility suatu benda yang mengalami tegangan, hal ini bergantung pada wujud benda tersebut (cair atau padat), semakin cair maka semakin incompress. 4. Poisson’s Ratio, yaitu suatu konstanta, untuk sebagian besar benda dapat diambil sama dengan 0,25. Parameter-parameter ini menjadi dasar untuk menentukan model yang terjadi pada zona subduksi sehingga mengakibatkan gempabumi.
III.2.2. Model Dislokasi 2-D Pada kejadian gempabumi ini sebenarnya merupakan gelombang yang merambat pada medium elastik (batuan) secara divergen (menyebar) akibat suatu gaya yang diberikan (terjadi di dalam permukaan tanah). Dengan menghubungkan hukum newton (gaya merupakan massa berbanding lurus dengan percepatan) dan hukum hooke yang telah dijabarkan di atas , maka akan diperoleh relasi yang berkaitan dengan komponen pergeseran (displacement : u, v, dan w) dari pressure wave (gelombang tekan) dan shear wave (gelombang geser) yang dihasilkan, melalui penurunan (diferensial) pada relasi ini akan diperoleh pergerakan suatu benda elastis terhadap waktu (kecepatan).
24
Prediksi deformasi pada model bumi separuh elastic sederhana tidak menghasilkan deformasi yang diamati sepanjang zona subduksi Jepang keseluruhan bila pergeseran terbatas pada zona patahan utama. Shimazaki, Seno, dan Kato mengakui bahwa profil kenaikkan
dapat dijelaskan bila pergeseran terbentuk di sepanjang
pertemuan lempeng pada zona patahan sampai pada kedalaman sekitar 100km, tetapi pernyataan lain menjelaskan bahwa pergeseran tidak mungkin terjadi pada kedalaman tersebut. [J.C. Savage, 1983] Dalam model dislokasi oleh J.C. Savage dijelaskan bahwa zona patahan utama adalah suatu unit (kumpulan). Pada beberapa tempak (seksi) sepanjang Pulau Jepang zona patahan utama terbentuk dari dua segmen, yaitu zona patahan dangkal kedalaman 0-40km dan zona patahan dalam dengan kedalaman 40-60km, zona dangkal menjadi sumber dari gempabumi besar berkekuatan sebanding dengan M8 sedangkan segmen zona dalam adalah sumber Gempabumi dengan besar kekuatan M7.4. [J.C. Savage, 1983] Model dari akumulasi tegangan dan pelepasannya pada zona subduksi dianggap sebagai gangguan sederhana terhadap subduksi secara terus-menerus. Dalam penyelesaian masalahnya, deformasi dianggap dipicu oleh terjadinya pergerakan pada zona subduksi utama maka selanjutnya diperkenalkan teori dislokasi, ujung dislokasi ini berada pada bagian bawah dari zona patahan utama dengan vector Burgers paralel dengan zona yang menghasilkan kembali efek dari patahan akibat pergerakan turun (X2) dan sebangun dengan dislokasi yang sifatnya rotasi (skrew) yang dihasilkan dari efek patahan akibat pergerakan saling bertabrakan. Solusi permasalahan ini membutuhkan spesifikasi dari model bumi, yang disebut elastis half space, model ini digunakan dalam bahasan peregangan yang mengakibatkan terjadinya gempabumi. Subduksi antara lempeng indo-australia dan lempeng eurasia ini (gambar 3.5) dipantau untuk memahami aktivitas seismik yang terjadi di sepanjang pantai barat Pulau Sumatera.
25
Gambar 3.5. Penujaman di dasar laut Wilayah Pantai Barat Sumatera
Model yang dipakai adalah Model Dislokasi, yang dikembangkan oleh Segall, 1966. Secara sederhananya bumi dibagi menjadi dua bagian, yaitu upper-space (atmosfir) dan lowwer-space (di dalam permukaan bumi). Model ini menjelaskan bahwa perambatan gelombang akibat gempabumi yang terjadi di dalam permukaan tanah dianggap melewati medium yang homogen. Rumus ini dapat dijelaskan sebagai berikut (gambar 3.6):
Gambar 3.6. Parameter-parameter Dislokasi.
Keterangan : X1 = gaya nomal ke atas (sama dengan nol). X2 = paralel dengan arah pergerakan patahan. X3 = posisi vertikal (ke bawah=positif) = D/tan α D = kedalaman α adalah dip. W adalah lebar bidang Gempa. s adalah panjang bidang slip.
26
Model ini menghubungkan komponen vektor slip dengan magnitude slip dan dip patahan. Dengan rumus :
Disesuaikan dengan gambar 3.6 di atas, maka komponen dari rumus dislokasi diatas adalah : x1 = X2 x2 = -X3 Untuk :
dengan ζ adalah parameter jarak dari dislokasi (diskalakan dengan kedalaman). Pergerakan secara sederhana dimodelkan terhadap bumi untuk mengetahui dislokasi. Pada model bumi elastic murni, siklus deformasi terdiri dari offset coseismic linear dengan waktu didapat nilai tertentu selama interval gempabumi. Pada model bumi elastic-viscoelastic (diasumsikan litosfer yang elastis di atas asthenosfer yang viskoelastis), pemulihan gempa susulan terjadi tidak linear dengan waktu. Secara sederhana model d-Ax dijelaskan, dengan : d=
u1 ; u2
A = matriks desain ∂u1 ∂s1
∂u1 ∂α1
∂u1 ∂ζ 1
∂u 2 ∂s 2
∂u 2 ∂α 2
∂u 2 ∂ζ 2
=
s
x= α ;
ζ dengan s adalah slip, α adalah dipping atau sudut yang dibentuk antara kedua lempeng yang bertemu , dan ζ adalah jarak dari dislokasi akibat gempa. Pada kenyataannya, konfigurasi dislokasi akibat gempa di dalam permukaan tanah tidak dapat diamati secara langsung sehingga dibangun sebuah model patahan
27
yang terjadi atas dasar ketersediaan sedikit fakta di permukaan (contoh : panjang patahan, dan penjalarannya selama gempabumi). Bentuk segiempat untuk bidang patahan, dengan salah satu pasang sisi paralelnya pada permukaan bebas, seringkali diasumsikan. Pengasumsian ini dapat diakui sebagai perkiraan pertama, karena kerusakan permukaan biasanya lurus. Displacement di wilayah sekitar patahan dijelaskan secara beralasan melalui model dislokasi ini. Dalam model ini penentuan lebar bidang gempa dan slip dilakukan secara bersamaan karena diasumsikan sebagai parameter yang dipecahkan, sedangkan jarak dan nilai α (dipping) merupakan parameter yang telah ditentukan terlebih dahulu, dari estimasi sebaran gempa dan jarak stasiun pengamatan (SUGAR) dari dislokasi.
28