BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SENI LUKIS
A. Pengertian Seni Lukis Seni
dalam
pengertiannya
yang
paling
universal
selalu
diidentifikasikan sebagai sebuah keindahan karena keindahan disini merupakan unsur yang sangat urgen dalam seni. Herber Read menyebutkan bahwa seni merupakan usaha manusia untuk menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan. Bentuk yang menyenangkan disini diartikan sebagai sebagai bentuk yang dapat membingkai perasaan keindahan.1 Lebih lanjut lagi memahami sebuah karya seni Suzanne K. Langer, seorang filsuf Amerika, mengatakan seni merupakan bentuk simbolis dari perasaan manusia, bentuk-bentuk simbolis yang mengalami tranformasi yang merupakan universalisasi dari sebuah pengalaman atau bukan sekedar terjemahan dari sebuah pengalaman tertentu.2 Dalam prosesnya mentransformasikan pengalaman atau perasaan emotifnya, seorang seniman memilih atau menggunakan material
untuk
diolah menjadi sebuah medium. Medium tersebut kemudian diolah lagi menjadi wujud-wujud tertentu sesuai isi gagasan yang ia miliki. Dengan dasar penggunaan material-medium yang berbeda, yang digunakan oleh seniman dalam menciptakan sebuah karya seni inilah yang 1 2
Herbert Read , The Meaning of Art, New York : Pinguin Book, 1959, hlm. 1. Collingwood, R.G., The Principles of Art, New York : Oxford University Press, 1974,
hlm.3.
18
19
kemudian mengakibatkan terjadinya disiplin-disiplin atau cabang-cabang seni. Mengenai hal ini Suzanne K. Langer juga mengatakan: “The interrelation among all the art painting, sculpture and architecture, music, poetry, fiction, dance, film, and any other you may admit have become a venerable old topic in aesthatics. It has lately become acceptable again to assert that all the arts are really just one ‘Art’ whit a capital A; that the apparent differences between painting and poetry, for instance, are supperficial due only to the difference of their materials. One artist paints with pigments. The other with words or one speaks in rhyme, and one in imeges and so forth.”3 Ada hubungan di antara semua seni, semuanya mempunyai masalah yang sama dalam hal estetika. Adapun terjadinya perbedaan di antara semua seni hanyalah secara fisik karena adanya material-medium yang digunakan. Berbicara definisi dari seni lukis, maka ada beberapa pengertian dari pakar yang dapat di jadikan sebagai bahan rujukan, di antaranya adalah : 1. B. S. Mayers menyimpulkannya bahwa melukis adalah membubuhkan cat (yang kental maupun yang cair) di atas permukaan yang datar, yang ketebalannya tidak ikut diperhitungkan, sehingga karya itu sering disebuat karya dua dimensi. Berbagai konfigurasi (kesan) yang diperoleh dari pembubuhan cat itu diharapkan dapat mengekspresikan berbagai makna atau nilai subyektif.4 2. L. H. Chapman, ia memberikan pengertian yang hampir sama dengan definisi
yang
disampaikan
oleh
Mayers,
hanya
saja
mengenai
“permukaan” yang diketengahkan olehnya tidak diberinya embel-embel datar (flat), karena ia rupa-rupanya melihat adanya kemungkinan untuk 3
James Hall, Modern Culture and The Art, Santa Cruz : University of California Press, 1981, hlm. 22. 4 B. S. Mayers, “The History of Art”, dalam Humar Sahman, Mengenali Dunia Seni Rupa, Semarang : IKIP Semarang Press, 1993, hlm. 55.
20
juga melukis atau menggambari permukaan yang melengkung seperti permukaan jembangan, atau karya-karya lainnya yang dibuat dari bahan gips (batu tahu, plaster of paris).5 3. Sanento Yuliman memberikan gambaran dengan menyimpulkan bahwa melukis adalah melahirkan pikiran, gagasan atau angan-angan ke dalam gubahan rupa yang indah atau yang memuskan penglihatan. Gubahan itu dibuat dengan mencoretkan garis dan mengoleskan warna, atau dengan mengukir, dikerjakan dengan alat yang digenggam atau dijepit di antara dua jari. Namun di zaman sekarang, telah terjadi pemisahan tegas antara pengertian mengukir dan pengertian melukis.6 4. Dharsono Sony Kartika menyatakan bahwa Seni lukis merupakan ungkapan pengalaman estetik seseorang (seniman) yang dituangkan dalam bidang dua dimensi (dua matra), dengan menggunakan medium rupa, yaitu garis, warna, tekstur, bangun (shape), dan sebagainya. Medium rupa sendiri dapat dijangkau melalui berbagai macam jenis meterial, seperti tinta, cat/pigmen, dan berbagai aplikasi yang memberi kemungkinan untuk mewujudkan medium rupa.7 Ketika kita berhadapan dengan sebuah karya seni yang berupa lukisan, sebenarnya kita berhadapan sejumlah tanda-tanda visual (visual sign) yang memiliki pesan untuk menyampaikan ide, gagasan ataupun pengalamanpengalaman batin, emosional ataupun pemikiran dan perenungan dari sang pelukis. Di dalam sebuah lukisan ada upaya kreatif dari senimannya untuk 5
Humar Sahman, Ibid, hlm. 55-56. Sanento Yuliman, Dua Seni Rupa, Jakarta : Kalam, 2001, hlm. 8 – 9. 7 Dharsono Sony Kartika, Seni Rupa Modern, Bandung, Rekayasa Sains, 2004, hlm. 36. 6
21
memanfaatkan tanda-tanda visual itu sebagi sebuah bahasa visual (a language of visual sign).8 Seni lukis adalah salah satu kesenian yang mengacu pada bentuk visual, yang merupakan susunan atau komposisi dari unsur-unsur atau elemeneleman rupa yaitu, garis, warna, tekstur, bangun (shape). Unsur-unsur inilah yang membangun tanda-tanda visual dalam seni lukis. Garis yang merupakan dua titik yang dihubungkan, dalam dunia seni rupa (seni lukis) sering dihadirkan bukan saja sebagai garis tetapi terkadang garis dihadirkan sebagai simbol emosi yang diungkapkan lewat garis, atau lebih tepat disebut goresan. Goresan atau garis yang dibuat oleh seorang seniman akan memberikan kesan psikologis yang berbeda pada tiap garis yang dihadirkan.9 Warna dalam seni lukis mempunyai peran yang sangat esensial. Kita boleh mengaitkan warna itu dengan upaya menyatakan gerak, jarak, tegangan (tension), deskripsi alam (naturalisme), ruang, bentuk, ekspresi atau makna simbolik.10 Tekstur (texture) adalah unsur rupa yang menunjukkan rasa permukaan bahan, yang sengaja dihadirkan dalam susunan untuk mencapai bentuk rupa, sebagai usaha untuk memberikan rasa tertentu. Pada prinsipnya
8
Sulebar M. Sukarman, “Berbagai Pengalaman Kreatif”, dalam Katalog Pameran Tunggal II Ari Setiawan (Berbagai Pengalaman Kreatif , Semarang : Museum Ronggowarsito, 28 Nov – 2 Des, 2005, hlm. 5. t.d. 9 Ibid, hlm. 40. 10 Humar Sahman, op.cit., hlm. 64.
22
membuat permukaan wajah menjadi rasa tertentu secara perabaan atau secara visual.11 Bangun (shape) adalah suatu bidang kecil yang terjadi karena dibatasi oleh sebuah kontur (garis) atau juga dibatasi oleh adanya warna yang berbeda atau karena adanya tekstur. Di dalam karya seni bangun digunakan sebagai simbol perasaan seniman di dalam menggambarkan obyek hasil rangsang cipta
seniman
dalam
usahanya
menciptakan
bentuk-bentuk
yang
menyenangkan (subjek metter) sesuai gaya dan cara pengungkapan secara pribadi senimannya.12 Terkadang terjadi kesimpangsiuran pengertian antara seni lukis dan seni gambar. Lukisan dan gambar tidak bisa dibedakan dengan sekedar memilahkan material yang digunakan. Tetapi lebih jauh lagi untuk memilahkan keduanya memerlukan pertimbangan estetik, latar belakang pembuatan karya, dan sebagainya. Menggambar pada tingkat yang paling sederhana adalah dasar bagi segala hal. Dalam seni rupa gambar ternyata berdiri sebagai fakta kasat mata yang memperlihatkan pikiran dan rencana seniman di setiap wilayah kreatifitasnya. Gambar pada garis besarnya memiliki tiga kegunaan. Pada tingkat pertama, gambar merupakan notasi (catatan) tentang benda atau situasi yang pada saat tertentu dianggap menarik oleh si penggambar. Notasi sebagai hasil gambar umumnya bermuatan garis yang sekaligus gambaran sekilas dan dikerjakan dalam tempo cepat. Kedua, gambar hadir dan membuktikan dirinya 11 12
Soegeng TM. Ed, Pengantar Apresiasi Seni Rupa, Surakarta : ASKI, 1987, hlm. 76. Dharsono Sony Kartika, loc. cit., hlm. 42.
23
sebagai karya seni yang utuh dan berdiri sendiri. Pada fungsi ini gambar telah memperlihatkan kelengkapan pernyataan seniman. Perlakuan gambar pada fungsi ini kadang kerap pula dipadu dengan inovasi tehnik lainnya, ketika gambar berpadu dengan cerita (sastra) maka disebut komik. Terakhir adalah gambar berfungsi sebagai media studi yang melandasi pekerjaan berikutnya seperti lukis, patung, artsitektur, ilmu pengetahuan dan lain-lainnya.13 Pada mulanya seni gambar merupakan karya ilustrasi , yaitu untuk menerangkan atau memberi keterangan terhadap orang lain. Di sisi lain menggambar merupakan medium untuk mencapai simbol figuratif dalam pencapaian bentuk seni lukis atau dengan kata lain seni lukis adalah sebuah pengembangan yang lebih utuh dari gambar. Secara sepintas seni gambar merupakan seni lukis yang menonjolkan unsur garis sedangkan seni lukis sendiri lebih menonjolkan pada warna. Namun pada penerapan dan perkembangan seni gambar pada kurun selanjutnya mengabaikan pendapat tersebut, dan seni gambar bukan lagi sebagai karya ilustrasi, bahkan kini seni gambar menggunakan medium seperti yang berlaku pada seni lukis.14 Selanjutnya, yang dimaksud lukisan mahluk bernyawa pada persoalan ini adalah lukisan yang menampilkan sosok-sosok atau tubuh baik manusia atau binatang sebagai obyek atau pokok soal (subyek metter) sebuah lukisan.
13
Mike Susanto, Diksi Rupa : Kumpulan Istilah Seni Rupa, Yogyakarta : Kanisius, 2002, hlm. 34 – 35. 14 Dharsono Sony Kartika, op.cit, hlm. 36.
24
B. Sejarah dan Perkembangan Seni Lukis Seni lukis sebagai salah satu cabang dari seni rupa termasuk salah satu kesenian yang paling tua dalam sejarah peradaban manusia. Peninggalanpeninggalan prasejarah memperlihatkan bahwa sejak ribuan tahun yang lalu nenek moyang manusia telah mengenal yang namanya seni lukis. Pada masamasa primitif, nenek moyang manusia telah mulai membuat gambar sebagai media pencatat untuk diulangkisahkan, untuk menceritakan bagian-bagian penting dari kehidupan mereka. Cara komunikasi dengan menggunakan gambar seperti itu jugalah yang pada akhirnya merangsang pembentukan sistem tulisan, karena huruf sebenarnya berasal dari simbol-simbol gambar yang kemudian disederhanakan dan dibakukan. Salah satu teknik terkenal gambar prasejarah yang dilakukan orangorang gua adalah dengan menempelkan tangan di dinding gua, lalu menyemburnya dengan kunyahan daun-daunan atau batu mineral berwarna. Hasilnya adalah jiplakan tangan berwana-warni di dinding-dinding gua. Para arkeolog dan ahli antropologi telah menemukan juga bahwa pada zaman Paleoliticum seni rupa juga berfungsi sebagai media sakral atau sebagai alat-alat ritual untuk mengusir atau berkomunikasi dengan roh-roh gaib. Dari pengamatan yang teliti menunjukkan bahwa ruang gua telah diisi dengan garis-garis yang menjelma menjadi bentuk yang merupakan kesatuan yang ekspresif, dan menjadikan obyek binatang sebagai bentuk yang utuh, bentuk
25
seni yang digerakkan oleh emosi yang berupa goresan-goresan (cavd art) seperti yang terdapat di gua Leang-leang dan Altamira Spanyol.15 Dalam sejarah keemasan Yunani. Pada masa ini seni lukis berkembang sejalan dengan paradigma berfikir manusianya dalam melihat kehidupan, dimana pada zaman ini manusia menghendaki kelestarian eksistensinya. Satu jalan yang mereka tempuh adalah melawan kemauan dewa-dewa. Manusia dalam kreasinya yang paling indah pada zaman ini selalu mencerminkan pertarungan antara dewa-dewa dan manusia.16 Ciri lain seni lukis pada masa Yunani ini adalah adanya pemujaan kepada tubuh. Pemujaan paganisme memandang bentuk yang indah sebagai dewa yang perlu disanjung, perlu diberi sesaji dan qurban. Mereka mengatakan, bahwa pemujaan tubuh bukan nafsu syahwat, melainkan seni. Anwar al-Jundi menyatakan bahwa konsep seni Yunani coraknya bersifat materialis dan berhalais.17 Konsep kesenian yang berkembang pada zaman Yunani ini kemudian meninggalkan pengaruhnya yang lama pada perjalanan seni selanjutnya. Pada awal kedatangan Islam kehidupan masyarakat Islam ditandai oleh dua karakteristik, yaitu sederhana dan banyak berbuat untuk jihad untuk
15
Kasman K.S., “Kondisi Seni Patung di Mata Masyarakat Islam di Zaman Modern”, dalam Jabrohim dan Saudi Berlian (eds.), Islam dan Kesenian, Yogyakarta; PP. Muhammadiyah, 1995, hlm.88 – 89. 16 Muhammad Quthub, Jahiliyah Abad Dua Puluh, Bandung; Mizan, 1990, hlm. 241. 17 Anwar al-Jundi, Pembaratan di Dunia Islam, Bandung; PT. Remaja Rosdakarya, 1993, hlm.117.
26
meluaskan Islam. Sehingga hampir tidak ada waktu untuk bersenang-senang menciptakan atau menikmati bentuk-bentuk keindahan (seni).18 Seperti juga kesenian yang lain, seni lukis pada awal kedatangan Islam tidak mengalami perkembangan karena orang-orang dengan kepercayaan barunya lebih tertarik oleh seruan jihad dari pada upaya penciptaan bentukbentuk artistik. Sebagaimana pandangan para sejarawan seni secara umum bahwa pada masa-masa awal kedatangan Islam, tanah Arab terlalu gersang dan tandus bagi penciptaan segala kreasi artistik. Baru setelah penaklukan Syria orang-orang Arab mulai menyadari keindahan seni kreatif yang sesuai dengan semangat Islam. Tepatnya ketika mereka mulai berhubungan dengan Romawi Timur (Byzantium).19 Selain itu juga, kedatangan Islam dengan aqidah barunya (tauhid) menimbulkan konsekuensi logis yang harus diemban oleh Islam demi mempertahankan kemurnian aqidah yang ia bawa. Kebudayaan yang dimiliki masyarakat pra-Islam, yang memperlakukan patung dan gambar yang berobyekkan mahluk bernyawa sebagai bentuk yang dipuja dan diagungkan menjadi persoalan yang sangat serius diperhatikan Islam. Islam melarang mempersonofikasikan kepahlawanan dalam gambaran yang bersifat meterial, bukan hanya demi memelihara konsep tauhid sebagaimana ini ajaran islam, dari bahaya keterkaitan dengan patung-patung dan berhala-berhala yang
18
UNESCO, Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Kebudayaan, Bandung; Penerbut Pustaka, 1997, hlm. 18. 19 Isharul Haque, Menuju Renaisance Islam, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 139 – 140. Anwar al-Jundi, Ibid, hlm. 118.
27
mencerminkan paganisme pra-Islam. Islam memisahkan antara materi dan spiritualitas. Dalam dustur kebudayaan Islam, seni lukis sebagai cabang seni rupa Islam
berkembang sejajar dengan perkembangan hasil seni rupa lainnya
seperti seni bangunan (arsitektur), seni kerajinan (Craft), kaligrafi maupun dekorasi. Namun apabila ditelisik lebih jauh lagi maka dapatlah diketahui bahwa perkembangan seni lukis Islam tidaklah sesubur seperti perkembangan hasil seni rupa lainnya tersebut. Dari beberapa hadits shahih ditemukan beberapa hadits yang dianggap oleh para ulama ahli hukum memberi petunjuk tentang adanya larangan melukis atau menggambar (taswir). Di mana disebutkan Rasulullah SAW. Melarang pembuatan lukisan atau gambar dan patung, dengan alasan dapat mendatangkan madharat karena dapat menyekutukan Allah SWT sebagai maha pencipta seperti yang dilakukan masyarakat Jahiliyyah. Maka dalam hal ini para pengamat Barat mengatakan bahwa Islam sangat dikenal menganut faham ikonoklastik, yakni anti gambar mahluk hidup.20 Berangkat
dari
diketemukannya
hadits-hadits
yang
melarang
penggambaran mahluk hidup sebagai obyek lukisan. Hal ini menimbulkan ambivalensi (pertentangan) di kalangan ulama dan ahli hukum Islam. Dengan
berdasarkan
dari
hadits-hadits
Nabi
SAW,
yang
mengisyaratkan akan pelarangan pelukisan makhluk hidup, banyak dari para ulama klasik menyatakan pandangannya bahwa syara telah mengharamkan 20
Budhi Munawar Rahman, “Dimensi Esoterik dan Estetik Budaya Islam”, dalam Zakiyuddin Baidhawi dan Mutohharun Jinan (eds.), Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta; Penerbi Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS, 2003, hlm. 97.
28
yang demikian itu. Sedangkan hal yang diperbolehkan untuk dijadikan obyek gambaran adalah sesuatu yang tidak memiliki ruh atau nyawa, seperti bunga, tumbuhan, gunung dan pemandangan alam Pemberatan yang diberikan oleh para ulama klasik bagi para seniman lukis dalam penciptaan lukisan atau gambar mahluk bernyawa mengakibatkan terhambatnya kreatifitas para seniman muslim. Mereka lebih memilih bersikap menghindar dari kemungkinan menuangkan ide-ide kreatifnya ke dalam bentuk lukisan mahluk bernyawa. Selain terdapat sebagian para ulama memberatkan atau mengharamkan pelukisan atau penggambaran mahluk-mahluk bernyawa, ada juga sebagian ulama yang membolehkan penciptaan gambar atau lukisan setiap mahluk bernyawa, asalkan para pencipta (seniman) itu tidak mempunyai niat atau maksud untuk menyelewengkan hasil gambar atau lukisan itu kepada hal-hal yang merusak aqidah dan keimanan umat Islam terhadap ke-Esa-an Allah sebagai Maha Pencipta.21 Hasil-hasil ciptaan itu semata-mata hanyalah untuk hiasan saja. Jadi kebolehan mencipta lukisan dan gambar mahluk bernyawa di dasarkan pada niat baik dan tujuan hasilnya, ini adalah termasuk pendapat minoritas ulama. Namun dalam rentan waktu selanjutnya, pada masa pemerintahan daulat Ummayah (622 – 750 M) hingga pemerintahan dulat Abbasiyah (750 – 1258 M) seni lukis dapat dikatakan mengalami perkembangan secara murni. Dengan sikap moderatnya kedua pemerintahan ini mendorong dalam 21
Drs. Oloan Situmorang, Seni Rupa Islam, Pertumbuhan dan Perkembangannya, Angkasa: Bandung, 1993, hlm. 134.
29
perumbuhan dan perkembangan seni lukis Islam dengan obyek lukisan obyek bernyawa. Sikap ini dibuktikan dengan memerintahkan seniman-seniman membuat lukisan di dinding istananya yang indah dan megah yakni istana Qusayir Amra (724 M), istana Qasr al-Hair (728 M), maupun istana Jusaq alKhagani (833 M). Secara murni seni lukis Islam benar-benar tumbuh dan berkembang adalah pada awal-awal abad ke-11 M. Hingga abad ke-18 M yang dimulai di Mesopotamia dan persia dan kemudian berlanjut ke Turki, Syria dan India.22 Seni lukis sebagai hasil seni rupa Islam untuk pertama kali ditemukan di istana Umayyah di padang pasir Syria yakni Istana Qusayr Amra (724 M), istana Qasr al-Hair ash Sharqi (728 M), istana Khirbat al-Mafjah (743 M), berupa lukisan dinding (fresco), yang melukiskan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Lukisan dinding yang terdapat di istana Qusayr Amra, melukiskan raja Visigoth dari Byzantine dan raja Negus dari Abessina serta lukisan manusia penari dan pemusik serta lukisan kuda yang dikombinasikan dengan gambar tumbuh-tumbuhan. Lukisan dinding di istana Qasr al-Hair, melukiskan manusia yang bermain musik serta lukisan manusia yang sedang menaiki kuda dengan memegang busur panah, sedang lukisan yang ada di istana Khirbat al-Mafjah, adalah berupa lukisan mozaik, menggambarkan sebuah pohon dengan gambar rusa dan seekor singa menangkap rusa. Kemudian sebuah lukisan dinding diketemukan di sebuah istana Abbasiyah di Sammara Mesopotamia, yakni istana Jusaq al-khagani (883 M), yang
22
Ibid, hlm 135.
30
didirikan Calips al-Mutasim. Lukisan ini menggambarkan dua orang wanita sedang menari.23 Negara persia merupakan salah satu negara Islam yang banyak menggunakan lukisan bermotifkan manusia dan hewan sebagai bentuk hiasan pada setiap benda-benda kerajinan yang diproduksi. Seni lukis persia mempunyai corak realis maupun sedikit dekoratif. Dengan adanya penemuan-penemuan lukisan tersebut di atas kemudian memberi dorongan kuat terhadap pertumbuhan serta perkembangan seni lukis Islam yang pada permulaan abad ke-11 M muncul untuk pertama kalinya dengan dengan pola-pola gambar mahluk bernyawa, dan lukisan inilah yang disebut seni lukis miniatur. Lukisan tersebut tidak lagi berupa lukisan dinding atau lukisan pada benda-benda kerajinan tetapi berkembang pada lukisan di atas keras sebagai ilustrasi pada buku-buku. Buku-buku atau naskah yang banyak memuat gambar-gambar miniatur adalah : Maqamat, Kalila wa Dimmah, dimana kedua buku ini dianggap sebagai karya seni lukis miniatur terbesar dalam sejarah kesenian Islam. Kemudian buku-buku yang memuat gambar-gambar miniatur yang tidak kalah pentingnya adalah, seperti kitab Kitab al-Ghani (buku pengatahuan tentang seni musik dan seni suara), Kitab Manafi al-Hayavan (buku ilmu pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan), Dawat al-Tibba (buku pengetahuan tentang ketabiban), dan masih banyak lagi lainnya.
23
Ibid, hlm. 138.
31
Tokoh-tokoh seniman pelukis miniatur yang terkenal di anataranya adalah Al-Hariri, Diyarbakir, Ahmed Musa, Memed Siyah Kalem, Ibn Baktishu, Rasyid al-Din, Muhamad Husayin, Mir Sayid Ali, Abd-as-Samad, dan lain-lain. Disamping dikenal sebagai pelukis miniatur, mereka juga terkenal sebagai pujangga dan pengarang yang banyak melahirkan naskah dan buku-buku. Karya-karya mereka juga banyak dijadikan bahan rujukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan.24 Pada abad ini, seperti halnya di Indonesia sendiri, setelah terjadinya “boom” pasar lukisan (yang marak diperbincangkan pada awal tahun 90-an), menjadi penanda yang cukup penting bagi perkembangan seni lukis (Indonesia). Pada fase ini bisa dikatakan bahwa kemajuan seni lukis mencapai peningkatan yang sangat signifikan. Dengan hadirnya Galeri-galeri bak cendawan yang tumbuh dimusim penghujan, mengakibatkan lahirnya karyakarya lukisan dalam jumlah besar, begitu juga dengan lahirnya generasigenarasi baru para perupanya. Di tengah perdebatan ulama tentang hukum lukisan mahluk bernyawa, yang sampai sekarang tidak menampakkan adanya kesepakatan tentang persoalan ini, ternyata tradisi seni rupa (lukisan) – dari berbagai budaya dan segala zaman – yang mengangkat tubuh atau mahluk hidup sebagai obyek atau juga pokok soal (subyek metter) hampir tidak pernah berhenti. Banyak perupa telah memindahkan tubuh-tubuh sebagai pokok soal dan menjadikannya sebagai sebuah sistem representasi atas zaman, gaya hidup, idiologi kreatif,
24
Ibid, hlm 131-138.
32
patronase politik bahkan bahkan dunia dalam sang perupa sendiri, dan tidak jarang pula tubuh-tubuh itu hadir sebagai subyek (tema) perbincangan yang amat dominan.25 C. Dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah Tentang Hukum Lukisan Mahluk Bernyawa. Islam sebagai suatu sistem terdiri atas komponen-komponen dan fundamen-fundamen aqidah (tata keimanan), syari’ah (kaidah hukum) dan akhlak (tata kaidah moral). Setiap pandangan dan sikap kultural seorang muslim tentang persoalan kehidupan dan penghidupan manusia sudah seharusnya tidak melepaskan nilai-nilai asasi yang terkandung dalam kaidah fundamen-fundamen Islam. Segala fisi hidup dari seorang muslim harus berdasarkan dan mengacu pada kaidah fundamen-fundamen Islam tersebut, termasuk juga dalam berkebudayaan dan berkesenian. 1. Al-Qur’an Islam melalui sumber utamannya Al-Qur’an sangat menghargai seni, bukankah seni atau kesenian tidak lain kecuali ekspresi ruh dan budaya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Dalam surat Qaaf : 6 terlihat jelas bahwa Al-Qur’an ingin menggugah akal dan hati setiap mukmin untuk menyelami keindahan bumi dan seisinya.26
25
Kuss Indarto, “Meta-Etalase, Reading Bodies”, dalam Katalog Pameran, Meta-Etalase, Semarang : Galeri Semarang, 25 Juni – 9 Juli, 2005, hlm. 5-7. t.d. 26 Yusuf Qardlawi, Fiqh Musik dan Lagu, Bandung : Mujahid Press, 2002, Cet. ke-1, hlm. 19.
33
اﻓﻠﻢ ﻳﻨﻀﺮوااﻟﻰ اﻟﺴﻤﺎء ﻓﻮﻗﻬﻢ آﻴﻒ ﺑﻨﻴﻨﻬﺎ وزﻳﻨﻬﺎ وﻣﺎﻟﻬﺎﻣﻦ ﻓﺮوج Artinya: “Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana kami meninggikan dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun” (Q.S. Qaaf : 6)27 Allah SWT meyakinkan manusia tentang ajarannya dengan menyentuh seluruh totalitas manusia, termasuk menyentuh hati mereka melalui seni yang ditampilkan Al-Qur’an yakni melalui kisah-kisahnya yang nyata atau simbolik yang dipadu oleh imajinasi, melalui gambarangambaran konkrit dari idea abstrak yang dipaparkan dalam bahasa seni yang mencapai puncaknya.28 Dalam al-Qur’an tidak terdapat ayat yang secara jelas melarang kaum muslimin dalam membuat lukisan baik secara eksplisit maupun emplisit, termasuk membuat lukisan mahluk bernyawa sebagai obyeknya. Hanya ada paling tidak tiga istilah dalam al-Qur’an yang dapat dihubungkan dengan istilah lukisan, yaitu “al-ansab”, “al-asnam” dan “timthal”.29 Istilah “al-ansab” dapat ditemukan dalam al-Qur’an surat 5 : 90 yang menyatakan :
ﻳﺎاﻳﻬﺎاﻟﺬﻳﻦ اﻣﻨﻮااﻥﻤﺎاﻟﺨﻤﺮواﻟﻤﻴﺴﺮواﻻﻥﺼﺎب واﻻزﻟﻢ رﺟﺲ ﻣﻦ ﻋﻤﻞ اﻟﺸﻴﻄﺎن ﻓﺎﺟﺘﻨﺒﻮﻩ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﻔﻠﺤﻮن
27
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang : CV. Toha Putra, 1996, hlm. 413. 28 M. Quraish Shihab, “Islam dan Kesenian”, dalam Jabrohim dan Saudio Berlian (eds), Islam dan Kebudayaan, Yogyakarta : PP. Muhammadiyah, Cet. ke-1, 1995, hlm. 9. 29 Abu Hapsin, op.cit., hlm. 1.
34
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya (minuman) khamr, berjudi, (berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS. Al-Maidah : 90).30 Menurut Al-Nasafi, seperti yang dikutip oleh Muhammad Isa, bahwa kata “al-ansab” dapat ditafsirkan sebagai “al-asnam” ( berhala). Mereka boleh jadi hanya berhala, tidak benar-benar gambar atau patung, yang telah ditempatkan di sekitar Ka’bah.31 Selain kata “al-ansab”, al-Qur'an surat 6:74 juga menyebutkan " berhala" dengan kata “al-asnam” :
واذﻗﺎل اﺑﺮهﻴﻢ ﻻﺑﻴﻪ ازراﺗﺘﺤﺬاﺹﻨﺎﻣﺎاﻟﻬﺔ اﻥﻲ ارﻳﻚ وﻗﻮﻣﻚ ﻓﻰ ﺽﻠﻞ ﻣﺒﻴﻦ Artinya: “Dan (Ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Azzar : “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-An’am : 74).32 Kata lain yang mempuyai korelasi dengan melukis atau seni lukis adalah " timthal". Di dalam al-Qur'an surat 34:13 dinyatakan:
ﻳﻌﻤﻠﻮن ﻟﻪ ﻣﺎ ﻳﺸﺎء ﻣﻦ ﻣﺤﺎرﻳﺐ وﺗﻤﺎﺛﻴﻞ وﺟﻔﺎن آﺎﻟﺤﻮاب وﻗﺪوررﺱﻴﺖ اﻋﻤﻠﻮا ا ل داود ﺵﻜﺮا وﻗﻠﻴﻞ ﻣﻦ ﻋﺒﺎدي اﻟﺸﻜﻮر Artinya: ”Para Jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piringpiring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit dari hamba-hambaku yang berterimakasih.” (QS. Saba’ : 13).33 30 31
hlm. 3.
32 33
Depertemen Agama RI, op.cit, hlm. 176. Al-Nasafi, dalam Muhammad Isa “Muslim and Taswir”, melalui Abu Hapsin, loc.cit., Ibid, ¸hlm. 199. Ibid, hlm. 685.
35
Menurut al-Naysaburi, kata "tamathil" di dalam ayat tersebut mempunyai arti reprsentasi atau gambaran para malaikat dan para nabi, yang telah ditempatkan sebagai pengganti pemujaan. Mereka telah dibuat dari perunggu, gelas/kaca dan pualam dalam rangka menarik orangorang.34 Istilah-istilah yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an tersebut di atas hanya menyiratkan penyajian lukisan yang digunakan sebagai sarana pemujaan. Al-Qur’an tentunya sangat mengecam hal tersebut karena jika lukisan dibuat dan kemudian dipuja atau diagungkan, maka hal itu akan menimbulkan syirik yang dosanya tidak akan diampuni oleh Allah SWT.35 Sebagaimana telah difirmankan Allah :
ان اﷲ ﻻﻳﻐﻔﺮان ﻳﺸﺮك ﺑﻪ وﻳﻐﻔﺮﻣﺎدون ذﻟﻚ ﻟﻤﻦ ﻳﺸﺎء وﻣﻦ ﻳﺸﺮك ﺑﺎﷲ ﻓﻘﺪ ﺽﻞ ﺽﻠﻼ ﺑﻌﻴﺪا Artinya: “Sesunggunya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa’ : 116)36 2. Al-Hadits As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah AlQur’an telah memberikan patokan-patokan mengenai berbagai aktifitas sosiokultural manusia dalam seluruh sisi kehidupan.
34
Muhammad Isa, “Muslims and Taswir”, dalam Kenneth Cragg & Edwin E.Calverley, The Muslim World, vol. XLV, Hartford : The Hartford Seminary Foundation, 1995, hlm. 251. t.d. 35 Dewan Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Untuk Pelajar, Jilid 3, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001, hlm. 83. 36 Depertemen Agama RI, op. cit, hlm. 141.
36
Berbeda dari al-Qur’an, di dalam as-sunnah banyak ditemukan hadits-hadits sahih sahih yang memiliki korelasi langsung atau bersentuhan langsung dengan persoalan melukis terutama melukis mahluk bernyawa. Namun, dari banyaknya hadits yang memiliki korelasi langsung dengan
persoalan
melukis
mahluk
bernyawa
tersebut
dapat
diklasifikasikan dalam tiga kelompok.37 Kelompok pertama adalah hadits yang menerangkan bahwa Malaikat Jibril tidak akan masuk rumah yang di dalamnya terdapat anjing atau lukisan dan atau patung, sebagaimana hadits berikut ini:
وﻋﺪ رﺱﻮل اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺱﻠﻢ ﺟﺒﺮﻳﻞ ان ﻳﺎﺗﻴﻪ:وﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ رﺽﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎل :ﻓﻘﺎل,ﻓﺮاث ﻋﻠﻴﻪ ﺡﺘﻰ اﺵﺘﺪ ﻋﻠﻰ رﺱﻮل اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺱﻠﻢ ﻓﺨﺮج ﻓﻠﻘﻴﻪ ﺟﺒﺮﻳﻞ ﻓﺸﻜﺎ اﻟﻴﻪ (اﻥﺎﻻﻥﺪﺥﻞ ﺑﻴﺘﺎ ﻓﻴﻪ آﻠﺐ وﻻﺹﻮرة )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري Artinya: “Dari Ibn Umar radhiyallahu’anhuma, ia berkata: “Jibril berjanji kepada Rasulullah SAW akan datang kepada beliau. Tetapi Jibril ra. tidak kunjung datang sehingga terasa gelisah oleh Rasulullah SAW. Kemudian beliau keluar rumah. Lalu ditemui oleh Jibril seraya mengadu kepada beliau dan berkata: “Kami tidak memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing ataupun lukisan.” (HR. Bukhari).38 Dalam hal ini yang dimaksud dengan malaikat adalah hal yang ditunggu-tunggu setiap orang ke dalam rumanhnya, tetapi di karenakan sebab adanya anjing atau lukisan atau juga patung maka hal yang baik itu tidak bersedia masuk, sehingga lukisan dan sejenisnya dianggap hal yang
37 38
Abu Hapsin, op.cit., hlm. 2. Imam Nawawi, Shahih Muslim bi Syahri An-Nawawi, hlm.48
37
buruk. Tetapi dari sini tidak dikatakan lukisan dan sejenisnya dilarang, hanya saja tidak disukai. Kelompok kedua adalah hadits yang menyatakan bahwa nabi menjadi terganggu kekhusukan shalatnya karena sebuah lukisan yang tertempel di dinding, lalu nabi menyuruh Aisyah untuk menyingkirkannya ke samping. Dalam kelompok kedua ini Nabi SAW tidak sampai menjatuhkan larangan secara tegas pada lukisan mahluk bernyawa, beliau hanya menyuruh Aisyah ra untuk menyingkirkan lukisan mahluk bernyawa karena lukisan tersebut mengganggu kekhusukan shalatnya, sebagaimana hadits berikut ini:
ﻓﻘﺎل ﻟﻬﺎاﻟﻨﺒﻲ, آﺎن ﻗﺮام ﻟﻌﺎﻟﺌﺸﺔ ﺱﺘﺮت ﺑﻪ ﺟﺎﻥﺐ ﺑﻴﺘﻬﺎ:ﻋﻦ اﻥﺲ رﺽﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎل ﻓﺎﻥﻪ ﻻﻥﺰال ﺗﺼﺎوﻳﺮﻩ ﺗﻌﺮض ﻟﻲ ﺹﻼ ﺗﻲ )رواﻩ, اﻣﻴﻄﻰ ﻋﻨﻰ:ﺹﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺱﻠﻢ (اﻟﺒﺨﺎري Artinya: ”Dari Anas ra., berkata: ‘Bahwa gorden Aisyah dipakai untuk menutupi samping rumahnya, Nabi SAW bersabda: ‘Singkirkandalh gorden itu dariku kerna gambar-gambarnya selalu tampak dalam sembahyangku.” (HR. Bukhari).39 Kelompok yang terakhir adalah hadits-hadits yang berisi tentang sabda Nabi SAW tentang hukuman dan adzab bagi para pelukis. Berdasarkan hadits ini Nabi SAW memperingatkan kepada kaum muslimin agar tidak meniru ciptaan Tuhan, jika ini dilakukan maka Tuhan akan memberikan hukuman yang sangat berat. Dijelaskan lebih lanjut pula, jika ingin melukis hendaknya melukis tanaman atau benda yang 39
Ahmad Ali bin Hajar al-Asqolani , Fath al-Bari Sharh Sahih Bukhari, Beirut : Dar alMarfi’ah, tt., hlm. 391.
38
tidak mempunyai ruh atau nyawa, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits berikut ini:
ﺱﻤﻌﺖ رﺱﻮل اﷲ ﻟﻪ ﺹﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺱﻠﻢ:وﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس رﺽﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻓﻘﺎل . ﻓﺘﻌﺬﺑﻪ ﻓﻲ ﺟﻬﻨﻢ, ﻳﺠﻌﻞ ﻟﻪ ﺑﻜﻞ ﺹﻮرة ﺹﻮرهﺎ ﻥﻔﺲ, آﻞ ﻣﺼﻮر ﻓﻲ اﻟﻨﺎر:ﻳﻘﻮل ( ﻓﺎن آﻨﺖ ﻻﺑﺪ ﻓﺎﻋﻼ ﻓﺎﺹﻨﻊ اﻟﺸﺠﺮوﻣﺎﻻروح ﻟﻪ )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ:ﻗﺎل اﺑﻦ ﻋﺒﺎس Artinya: “Dari Ibn Abbas radiyallahu’anhuma, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabd: ‘Setiap pelukis di neraka. Masing-masing lukisan yang pernah dilukisnya akan diberi nyawa, lalu akan menyiksanya di neraka jahannam.’ Ibn Abbas berkata: ‘Sekiranya kalian tetap akan melukis, lukislah pohon atau barang-barang yang tidak bernyawa.’ (HR. Bukhari dan Muslim).40 Dari pengelompokan hadits ke dalam tiga kelompok tersebut di atas dapatlah dipahami bahwa hadits-hadits nabi yang bersinggungan langsung terhadap persoalan melukis tersebut ada yang mengindikasikan pelarangan melukis mahluk bernyawa, ada juga yang membolehkan dan beberapa
lagi
bersifat
netral.
Indikasi
inilah
yang
kemudian
mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat di antara golongan ulama dan ahli fiqh tentang boleh dan tidaknya atau halal-haramnya melukis mahluk bernyawa. D. Pendapat Para Ulama Tentang Hukum Lukisan Mahluk Bernyawa. Seperti halnya karya seni yang lain, seperti patung, musik, dan sebagainya, seni lukis juga mendapat banyak pembahasan dari para ulama atau ahli hukum Islam tentang boleh atau tidak bolehnya, haram atau halalnya seni 40
Ibid, hlm. 490.
39
lukis, yang menjadikan mahluk hidup sebagai obyek lukisannya. Diantaranya adalah : 1. Imam Nawawi. Dengan berdasarkan beberapa hadits sahih yang ditemukan memberi petunjuk tentang adanya larangan pelukisan mahluk bernyawa dan pendapat para sahabat serta para ulama ia berpendapat bahwa syara’ telah melarang lukisan mahluk bernyawa, dan itu adalah sekeras-kerasnya pelarangan. Di mana disebutkan bahwa Rasulullah SAW melarang pembuatan lukisan dan patung, karena hal tersebut menunjukkan perbuatan yang menyamai aktivitas Allah sebagai maha pencipta. Pelarangan akan lukisan mahluk bernyawa adalah mutlak sifatnya, baik itu pada pakaian, permadani, uang logam, emas, perak, dan dinding atau lainnya. Bagi setiap orang yang menciptakan gambar atau lukisan mahluk bernyawa, Allah akan memberikan azab yang pedih, akan diperintahkan kepada mereka untuk memberikan nyawa terhadap apa yang sudah mereka ciptakan itu.41 2. Ibn Bathal berkata, bahwa hadits-hadits yang berisi larangan Nabi SAW tentang lukisan mahluk bernyawa tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah SAW menolak keberadaan gambar, baik gambar itu memiliki bayangan atau tidak, baik gambar itu dibuat untuk dihinakan atau tidak, serta baik gambar itu ditempelkan pada baju, dinding, permadani, maupun pada kertas-kertas lainnya.
41
Imam Nawawi, shahih Muslim bi Sarh an-Nawawi, hlm. 84.
40
3. Imam Thabari mengatakan bahwa orang-orang yang menggambar sesuatu yang disembah selain Allah, sedangkan dia mengetahui dan sengaja. Orang yang berbuat demikian adalah kufur. Tetapi kalau tidak ada maksud seperti di atas, maka dia tergolong orang yang berdosa sebab menggambar saja.42 4. Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz bin Baz, seorang ulama dan ketua Dewan Fatwa kerajaan Arab Saudi mengatakan bahwa yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas. Menurutnya pelarangan lukisan yang dilakukan nabi adalah untuk merukhsah kebolehan membuat lukisan, maka untuk lebih amannya lebih meninggalkannya, kecuali yang tidak utuh atau dihinakan.43 5. Yusuf al-Qardlawi membolehkan pelukisan mahluk bernyawa walaupun ia mengatakan bahwa hukumnya hanya makruh saja. Ia mengatakan bahwa subyek gambar mempunyai pengaruh soal haram dan halalnya. Misalnya gambar yang subyeknya menyalahi aqidah dan syari’at serta tata kesopanan agama dan yang semua orang Islam mengharamkannya, begitu juga lukisan yang dibuat dengan maksud untuk menandingi ciptaan Allah.44 6. Ath-Thahawi, salah seorang dari ulama madzhab Hanafi berpendapat: Syara' melarang semua gambar pada permulaan waktu, termasuk lukisan pada pakaian. Karena pada waktu itu adalah fase dimana aqidah harus
42
Ibid Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz bin Baz, Fatwa Ulama tentang Hukum Gambar. Terj. Ustadz Idral Harits, www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detail&id_artikel=351[1]. 44 Yusuf al-Qardlawi, al-Halal wa al-Haram, hlm. 110. 43
41
benar-benar ditancapkan dalam jiwa orang Islam, mereka pada waktu itu baru saja meninggalkan syirik. Tetapi setelah larangan itu berlangsung lama, kemudian dibolehkan gambar yang ada pada pakaian karena suatu dharurat. Syara' pun kemudian membolehkan gambar yang tidak berjasad karena sudah dianggap orang-orang bodoh tidak lagi mengagungkannya, sedang yang berjasad tetap dilarang. Yang dimaksud gambar yang berjasad di sini adalah gambar dengan wujud 2 dimensi seperti gambar pada kertas atau lukisan, sedangkan yang dimaksud dengan gambar yang berjasad adalah seperti patung. Namun apabila gambar yang tidak berjasad tersebut dikultuskan dan diagung-agungkan maka tetap saja haram.45 7. Dr. Tsarwat ’Ukashah seorang sarjana ahli hukum Islam berpendapat bahwa adanya pelarangan melukis mahluk bernyawa adalah untuk tujuan melindungi orang Islam dari kembali kepemujaan berhala. Larangan terhadap pelukisan mahluk bernyawa adalah tidak mutlak, tetapi terbatas oleh situasi dan kondisi. Ketika keadaan dimana keyakinan orang islam sudah aman atau tidak kembali kepada penyembahan berhala maka lukisan menjadi sah hukumnya.46
45
At-Thahawi, dalam Achmad Sunarto, Halal dan Haran Dalam Islam, hlm. 122. Tharwat ‘Ukashah, Tarikh al-Fan al-Taswir al-Islam, Beirut : al-Muassasah alArabiyah, 1997, hlm. 14. 46