BAB II KAJIAN SEJARAH SENI RUPA DAN SUNDA A. Tinjauan Umum Tentang Seni Rupa 1. Pengertian Seni “Berbicara tentang seni adalah berbicara tentang kehidupan manusia” (Iskandar, J. 2000: 39). Pendapat di atas menyatakan bahwa manusia dengan seni adalah dua unsur yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Seni adalah salah satu unsur kehidupan yang dapat dikelola sesuai kebutuhan manusi. Seni adalah salah satu hal yang membuat hidup manusia lebih indah. Seni memiliki pengertian yang beragam. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993) yang dimaksud dengan seni adalah “ Kesanggupan akal untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi”. Dharsono Soni Kartika (2004: 2) memberikan penjelasan tentang seni sebagaimana yang dikutipnya dari buku yang berjudul The Meaning of Art (1959) bahwa : Seni merupakan usaha manusia untuk menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan. Bentuk yang menyenangkan dalam arti bentuk yang dapat membingkai perasaan keindahan dan perasaan keindahan itu dapat terpuaskan apabila dapat menangkap harmoni atau satu kesatuan dari bentuk yang disajikan (Read, Herbert, 1959:1).
Dalam buku yang sama, yaitu buku Seni Rupa Modern, Dharsono mengutip pernyataan seni menurut Suzanne K. Langer yang dirujuk dalam bukunya yang berjudul The Principles of Art karya Collingwood (1974), mengatakan bahwa :
11
Seni merupakan simbol dari perasaan. Seni merupakan kreasi bentuk simbolis dari perasaan manusia. Bentuk-bentuk simbolis yang mengalami transformasi yang merupakan universalisasi dari pengalaman, dan bukan merupakan terjemahan dari pengalaman tertentu dalam karya seninya melainkan formasi pengalaman emosionalnya yang bukan dari pikirannya semata (Langer, S.K. 1974).
Bila kita tinjau pendapat di atas, pengertian seni tersebut memiliki pandangan pemahaman yang berbeda-beda. Seni adalah alat, ungkapan emosi, perbuatan manusia, kemampuan akal dan sebagainya. Perbedaan pendapat tersebut, karena perbedaan orientasi yang mereka pegang. Walau demikian, semua pendapat tersebut mengarah pada satu tujuan, bahwa seni adalah unsur kebutuhan hidup yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Kesenian memiliki keragaman isi di dalamnya, dalam artian dapat dinikmati oleh inderawi manusia. Unsur inderawi manusia, tidak hanya sebatas indera penglihatan, akan tetapi meliputi pendengaran, penciuman, peraba, dan indra perasa. Ungkapan dapat kita lukiskan sebagai pernyataan suatu maksud perasaan atau pikiran dengan suatu medium indera atau lensa, yang dapat dialami lagi oleh yang mengungkapkan dan ditujukan atau dikomunikasikan kepada orang lain. Dalam arti seperti itu, maka suatu sajak (puisi) merupakan suatu ungkapan sekelumit pengalaman yang dilahirkan lewat kata-kata. Lukisan dan patung adalah ungkapan, sebab merupakan perwujudan dalam warna yang bentuk-bentuk ruang tentang gagasan seniman penciptaannya, mengenai manusia dan alam yang nampak (De Witt H. Parker, 1946: 13).
12
Menurut De Witt H. Parker, seni adalah ekspresi suatu ungkapan, yang dapat disampaikan kepada orang lain, yang bersumber dari pengalaman seniman tersebut. Jakob Sumardjo (2000: 38) juga berpendapat bahwa : Kebersenian suatu benda seni bergantung pada kesepakatan bersama masyarakatnya. Seni merupakan konsep yang mendapat kesepakatan masyarakat sezaman. … Dengan demikian, hakikat seni konstektual tak dapat dipisahkan dari ideologi sosial, masalah infrastruktur, struktur, perkembangan sejarah seni, tradisi seni, akulturasi budaya, masalah seni, elit budaya, seni popular, seni massa, seni rakyat, seni elit istana dan seterusnya (Sumardjo, J. 2000: 38).
Melalui definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa seni adalah proses penciptaan suatu karya yang indah yang lahir dari perasaan dan merupakan bentuk universal dari pengalaman artistik atau estetik seseorang. Seni tercipta tidak hanya oleh seniman saja, akan tetapi seni bisa lahir dari setiap individu. Individu yang menciptakan seni, adalah individu yang mengetahui bagaimana cara menuangkan perasaannya kedalam sebuah media yang tepat. Seni adalah sesuatu yang lahir dari ekspresi manusia, pengalaman estetik maupun artistik, dan imajinasi atau pemikiran, yang sangat bergantung dengan lingkungan di mana seni tersebut diciptakan, mampu memberikan kontribusi, tidak hanya bagi pencipta, tapi juga bagi penikmat seni (masyarakat). Seni juga tidak terbatas dengan zaman, seni modern maupun seni tradisi, memiliki kedudukan yang sama sebagai wujud dari kreasi manusia dalam menuangkan ide serta gagasannya.
13
2. Pengertian Dasar Seni Rupa “Seni rupa merupakan salah satu cabang seni, yang mengungkapkan karyanya melalui media rupa (garis bidang/bentuk, warna)” ( Tarjo, E. 2004: 16). Seni memiliki orientasi yang berbeda-beda sesuai dengan cabangnya. Seni rupa adalah seni yang diciptakan dengan menitik beratkan pada indra penglihatan. “Seni murni (fine art, pure art) yang mengutamakan kebebasan ungkapan jiwa/perasaan seperti: seni lukis, seni patung, seni grafis, seni keramik murni” ( Tarjo, E. 2004: 16). Seni rupa dilihat dari fungsi atau penggunaannya dapat dikelompokan ke dalam dua kelompok, seni murni (fine art) dan seni terapan (applied art). Kedua kelompok seni ini, sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari manusia. Seni murni adalah seni yang tidak mengutamakan sisi komersil. Berbeda dengan seni terapan yang dapat difungsikan sebagai karya produktif yang dapat menghasilkan uang. Seni murni tidak demikian, seni murni lebih kepada media untuk mengungkapkan ekspresi atau emosi tanpa adanya dorongan untuk tujuan materi. Seni murni (fine art) adalah kelompok karya seni rupa yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan spiritual. Artinya bahwa kelahiran karya seni tersebut lahir dari adanya ungkapan atau ekspresi jiwa, tanpa adanya faktor pendorong untuk tujuan materil. Dengan kata lain bahwa seni tersebut bukan lagi merupakan kebutuhan praktis bagi masyarakat tetapi hanya mengejar nilai untuk kepentingan estetika seni yang dimanfaatkan dalam lingkungan seni itu sendiri atau disebut seni untuk seni (Soedarso, Sp. 1990: 21).
14
Seni rupa terapan, adalah seni yang lebih dekat dengan kehidupan manusia secara luas. seni rupa terapan (applied art), yang terikat kepada fungsi guna/pakai/praktis, seperti seni ilustrasi, seni mebel, dekorasi ruangan serta berbagai benda kerajinan (Tarjo, E. 2004: 16).
Seni terapan adalah seni yang biasa diterapkan dalam kehidupan yang dibuat untuk mempermudah manusia dalam menjalani hidupnya. Seni terapan merupakan kelompok karya seni yang memiliki fungsi sebagai pemenuh kebutuhan hidup manusia. Seni rupa terapan ini lahir karena dorongan manusia untuk melengkapi kebutuhan hidup yang beragam, mulai dari kebutuhan yang bersifat sehari-hari, maupun kebutuhan yang lebih khusus. Seni rupa terapan dengan seni murni memiliki kecenderungan yang sama, yaitu estetika atau keindahan. Perbedaannya terletak pada tujuan pembuatannya. Seni rupa terapan selalu mementingkan fungsi/daya pakai, keadaan pasar, serta kerajinan. Seni murni lebih kepada pengungkapan ekspresi saja. Seni rupa dapat dikelompokan atas (1) Seni rupa dua dimensional, yaitu yang karyanya bersifat datar: lukisan, relief, motif hias kain, ornamen pada bidang datar. (2) Seni Rupa tiga dimensional, yang memiliki kepejalan atau memakan ruang seperti: seni pahat/patung, mebel, kerajinan boneka, dsb (Tarjo, E. 2004: 16).
Dilihat dari dimensinya, seni rupa dapat dikelompokan kembali ke dalam dua kelompok, yakni kelompok dua dimensi dan tiga dimensi. Bendabenda seni rupa, baik itu yang bersifat murni dan terapan, telah dihasilkan sejak dari masa lampau. Produk-produk seni rupa yang diciptakan dari masa
15
lalu, dilihat dari sifat kegunaannya, terdiri dari fungsi sakral dan fungsi profan. Kedua fungsi tersebut, disejajarkan dalam aktivitas hidup sehari-hari. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (PDF), kata sakral berarti suci atau
keramat, dan dapat diartikan sebagai sesuatu yang memiliki
hubungan dengan sisi spiritual; dalam hal ini adalah keagamaan atau kepercayaan. Sistem kepercayaan, sudah dianut sejak zaman prasejarah. Kepercayaan manusia akan adanya zat yang lebih tinggi darinya, sudah dimiliki oleh masyarakat prasejarah. Kepercayaan yang dianut pada masa prasejarah, meliputi Animisme dan Dinamisme. Kata Profan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (PDF) adalah lawan kata dari sakral atau tidak bersangkutan dengan keagamaan, akan tetapi lebih bersifat kebutuhan fungsional. Produk seni rupa yang bersifat profan, terlihat pada benda-benda seperti tembikar, perhiasan, dan kebutuhan rumah tangga. Kedua unsur sifat ini, telah dipakai dari sejak zaman prasejarah, sampai saat ini. “Kehidupan masyarakat prasejarah ditentukan oleh kepercayaan animisme dan dinamisme yang melahirkan berbagai upacara. Karya seni dalam hal ini merupakan media upacara ini ” (Yudoseputro, W. tanpa tahun: 3). Seni prasejarah, sangat berkaitan dengan kepercayaan. kepercayaan akan roh nenek moyang (animisme), atau kepercayaan pada benda-benda gaib (dinamisme).
16
“Seni prasejarah Indonesia memperlihatkan fungsi seninya untuk keperluan agama, seni yang dituntut oleh petunjuk-petunjuk adat upacara ” (Yudoseputro, W. tanpa tahun: 3). Kedudukan seni dalam hal ini difungsikan ke dalam media-media upacara keagamaan, atau upacara yang sifatnya tradisi, seperti pernikahan, tolak bala, dan sebagainya. Memasuki zaman sejarah, sistem kepercayaan mulai mengalami sinkretisme. Agama Hindu yang datang ke Indonesia, dicampurkan dengan agama asli Indonesia. Kepercayaan Hindu/Budha dipakai tanpa meninggalkan tradisi Indonesia yang sebelumnya sudah digunakan. Contoh dari produkproduk seni rupa yang bersifat sakral, adalah candi, arca, dolmen, dan lainlain. Salah satu situs keperbukalaan di Indonesia yang bersifat sakral, terdapat di daerah Ciamis, diantaranya adalah di Situs Astana Gede Kawali, dan Situs Karangkamulyan. Kedua situs tersebut masuk ke dalam daftar daerah wisata kabupaten Ciamis yang dilindungi keberadaannya. Situs-situs tersebut, menjadi saksi keberadaan budaya zaman dulu yang pernah menetap dan berjaya di Ciamis.
3. Fungsi Seni Seni yang dibuat memiliki fungsi yang sesuai dengan tujuan dibuatnya benda seni tersebut. Seni dibuat sesuai dengan laju perkembangan zaman, tapi tidak menutup kemungkinan, orientasi seni juga bisa mundur ke 17
zaman-zaman sebelumnya. Meski demikian, fungsi seni tetap berlaku dan tidak terbatas dengan zaman. Fungsi seni secara umum, seperti yang ditulis oleh tim dari Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan/ DPMK (1983: 89) terbagi kedalam dua kategori, yaitu fungsi spiritual dan fungsi fisikal. a.
Fungsi Spiritual Fungsi spiritual tersebut berakar pada pandangan manusia terhadap sesuatu yang gaib, yang ingin dipuja, segala sesuatu yang serba rahasia yang dapat kita kenal pada segala bentuk kepercayaan dan agama serta falsafah hidup (DPMK, 1983: 89).
Melihat pendapat di atas, fungsi spiritual adalah fungsi yang berlandaskan pada pandangan hidup manusia akan sesuatu yang tidak kasat mata. Fungsi spiritual ini bersumber dari dua pandangan hidup manusia : 1). Sumber kepercayaan Kebudayaan masyarakat yang masih sederhana atau yang sering disebut primitif ditandai dengan kepercayaan kepada kekuatan gaib atau magis dan kepercayaan kepada arwah atau rokh yang disebut animisme (DPMK, 1983: 89).
Masyarakat zaman dahulu, sangat mempercayai hal-hal yang bersifat gaib, baik itu kepercayaan terhadap arwah nenek moyang, ataupun bendabenda yang dianggap memiliki kekuatan tertentu. Sumber kepercayaan tersebut membentuk tiga nilai mendasar tentang kepercayaan. ketiga nilai tersebut yaitu nilai magis atau nilai terhadap benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan tertentu, nilai animistik atau nilai terhadap kepercayaan
18
kepada arwah nenek moyang dengan segala bentuk media pemujaannya, dan nilai yang terakhir adalah nilai adat atau nilai yang bersumber dari tradisi masyarakat di zaman dulu yang ditunjukan dalam upacara-upacara tertentu. 2). Sumber keagamaan Sumber keagamaan ini, dilihat dari periodisasinya, dimulai dari masuknya agama Hindu-Budha, serta Agama Islam. Sumber keagamaan tersebut, dipresentasikan ke dalam bentuk simbol-simbol atau lambanglambang tertentu yang biasa terlihat pada benda hasil kesenian yang bersumber dari agama tersebut.
b. Fungsi Fisikal Cara penggunaan benda pakai tidak dapat dilepaskan dari cara-cara hidup masyarakat. kebiasaan bergerak di rumah, pada waktu bekerja, pada waktu makan dan sebagainya akan berpengruh pada cara penggunaan benda pakai. Karenanya benda yang memiliki fungsi pakai yang sama belum tentu memiliki bentuk yang sama DPMK, 1983: 89). Fungsi fisikal atau fungsi fisik sangat berkaitan dengan fungsi praktis. Fungsi fisik dari sebuah karya seni, dalam penerapannya disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan sekitar, seperti lingkungan agraris atau maritim, kota atau pedesaan. Meski demikian, fungsi fisik ini tidak hanya didasarkan pada sikap hidup/ kebutuhan masyarakat, tetapi juga sangat mempertimbangkan sisi praktis pribadi.
19
4. Komponen Dasar Seni Rupa Benda-benda hasil seni rupa tidak terbentuk begitu saja. Terdapat unsur – unsur yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Menurut Dharsono Sony Kartika (2004: 28), dalam seni rupa dikenal adanya tiga komponen sebagai landasan dalam berkarya seni. Ketiga komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang saling terikat satu sama lainnya. Ketiga komponen dasar tersebut adalah : a. Tema/ Subject Matter Dalam sebuah karya seni hampir dapat dipastikan adanya subject matter, yaitu inti atau pokok persoalan yang dihasilkan sebagai akibat adanya pengolahan objek (baik objek alam atau objek image) yang terjadi dalam ide seorang seniman dengan pengalaman pribadinya (Kartika, D.S. 2004: 28).
Tema/ Subject Matter dapat dikatakan sebagai awal, tujuan, atau sesuatu yang melatar belakangi terciptanya karya seni tersebut. Tema/ Subject Matter sangat tergantung dengan sisi personal seniman yang akan menentukan wujud dari karya seni yang akan diciptakan. b. Bentuk Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (PDF), bentuk adalah bangun, gambaran, atau wujud yang ditampilkan. Dharsono Sony Kartika (2004: 28) kembali mengatakan bahwa ada dua macam yang dimaksud dengan bentuk. Kedua bentuk tersebut adalah visual form, dan special form.
20
Ada dua macam bentuk: pertama visual form, yaitu bentuk fisik dari sebuah karya seni atau satu kesatuan dari unsur-unsur pendukung karya seni tersebut. Kedua special form, yaitu bentuk yang tercipta karena adanya hubungan timbal balik antara nilai-nilai yang dipancarkan oleh fenomena bentuk fisiknya terhadap tanggapan kesadaran emosionalnya (Kartika, D.S. 2004: 30).
Kartika, D.S. juga menambahkan, bahwa bentuk fisik sebuah karya dapat diartikan sebagai perwujudan dari subject matter dan bentuk psikis karya yang merupakan susunan dari kesan hasil tanggapan. c.
Isi atau makna Isi atau arti sebenarnya adalah bentuk psikis dari seorang penghayat yang baik. Perbedaan bentuk dan isi hanya terletak pada diri penghayat. Bentuk hanya cukup dihayati secara indrawi tetapi isi atau arti dihayati dengan mata batin seorang penghayat secara kontemplasi (Kartika, D.S. 2004: 30).
Setiap orang bisa saja memiliki tanggapan yang berbeda tentang isi atau makna yang ingin disampaikan oleh seniman. Tanggapan-tanggapan tersebut, dapat menghasilkan bobot sebuah karya. Ketiga komponen tersebut, merupakan satu kesatuan dalam berkarya seni. Ide yang direalisasikan ke dalam sebuah karya dengan bentuk-bentuk tertentu, memiliki isi atau arti untuk dihayati, baik dihayati oleh penghayat maupun oleh pembuat seni. Selain komponen visual, di dalam seni rupa juga dikenal dengan unsur-unsur seni. Unsur-unsur seni rupa tersebut, menurut Dharsono Sony Kartika adalah:
21
1). Garis. “… Pada dunia seni rupa sering kali kehadiran ‘garis’ bukan saja hanya sebagai garis tetapi kadang sebagai simbol emosi yang diungkapkan lewat garis… (Kartika, D.S. 2004: 40). 2). Shape/Bangun. “ Shape (bidang) yang terjadi: (a) shape yang menyerupai wujud alam(figur); dan (b) shape yang tidak sama sekali menyerupai wujud alam (non figur)…. Di dalam pengolahan objek akan terjadi perubahan wujud sesuai dengan selera maupun latar belakang sang senimannya (Kartika, D.S. 2004: 42). 3). Texture (rasa permukaan bahan) Tekstur adalah permukaan paling atas dari sebuah benda. “ Sifat permukaan bidang ini dapat bersifat halus, polos, kasar, licin, mengkilap, berkerut, lunak, lembut, keras, dan sebagainya. Jadi untuk mengetahui tekstur dapat melalui indera penglihatan maupun rabaan (Sunaryo, 1993: 10). Permukaan sebuah karya seni rupa, sangat bergantung dengan media yang digunakan. Tekstur batu, kayu, plastik, kertas, dan lain-lain, memiliki tingkat rabaan yang berbeda-beda. 4). Warna. “ Wujud warna merupakan suatu hal yang tak lepas dari peran cahaya. Secara hakiki warna tak akan terlihat tanpa adanya cahaya (Toekiyo, 1987: 11)”. Warna adalah kesan visual yang mudah ditangkap dari sebuah benda, seperti hijau, kuning, biru, hitam, putih, dan sebagainya.
22
B. Historiografi Seni Rupa Indonesia 1. Zaman Prasejarah Seni prasejarah adalah seni yang menjadi tonggak perkembangan seniseni di era selanjutnya. Seni prasejarah, menjadi titik peradaban munculnya kreativitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. “Seni prasejarah Indonesia merupakan dasar-dasar pertumbuhan dari seni Indonesia yang masih selalu berperan dalam perkembangan seni kemudian di Indonesia” (Yudoseputro, W. tanpa tahun: 3). Pernyataan di atas, menunjukan bahwa Indonesia sangat memegang tradisi budaya yang diwariskan dari masa ke masa, termasuk di dalamnya adalah kesenian. Seni prasejarah yang berkembang di Indonesia, menunjukan identitas yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya. Latar kebudayaan bangsa Indonesia yang berbeda-beda sesuai geografisnya, menjadi bukti keanekaragaman seni tradisi yang dapat dijadikan sebagai sumber kajian pengetahuan. Pada dasarnya, kebudayaan asli Indonesia adalah kebudayaan agraris. Seni dari kebudayaan bercocok tanam bangsa Indonesia, melahirkan bentuk-bentuk ungkapan seni yang bersifat simbolik dan abstrak. Seni ornamen mulai dikenal sejak zaman ini, dimulai dari ornamen geometris sampai ornamen dengan nilai-nilai dekoratif yang melambangkan sesuatu, seperti lambang fauna, flora, atau lambang dewa, serta lambanglambang kepercayaan lainnya. Kepandaian mereka terlihat pada benda-benda yang mereka buat, seperti pada tembikar, dan benda-benda logam. Mereka
23
sudah mengenal teknik-teknik dalam pembuatan alat-alat kebutuhan rumah tangga, seperti dari batu, kayu, dan logam perunggu. Menurut Soekmono, dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1, zaman prasejarah ada sejak manusia dan kebudayaannya lahir, dan berakhir sekitar abad ke 5 masehi. Periode yang begitu panjang, tentu akan banyak peninggalan-peninggalan manusia yang dibuat, dari benda sakral untuk keperluan keagamaan, sampai pada bendabenda yang sifatnya fungsional/ profan. Soekmono (1987: 23) dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1, menyatakan bahwa zaman prasejarah terbagi ke dalam dua periode, yaitu zaman batu, dan zaman logam. 1.1 Zaman Batu Zaman batu berada pada periode sebelum ditemukannya logam. Ciri khas dari zaman batu adalah peralatan hidupnya yang menggunakan batu, dari mulai batu berukuran kecil, sampai yang berukuran besar. Walaupun berada pada zaman batu dengan perabotan dari batu, akan tetapi kemungkinan penggunaan kayu atau bambu, tetap ada. Zaman batu terbagi ke dalam tiga periode, yaitu : a. Palaeolithikum (zaman batu tua) Palaeolithikum adalah babakan awal dari zaman batu. Zaman batu tua dikenali dengan produk-produknya yang masih berbentuk kasar, tanpa adanya proses penghalusan. Pada masa ini, manusia masih hidup
24
mengembara. Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka berburu binatang, meramu, atau menangkap ikan. Sistem hidup mereka, dikenal dengan foodgathering atau budaya mengumpulkan makanan. Kebudayaan Palaeolithikum, dikenal dengan ditemukannya kebudayaan tertua di Indonesia, yaitu kebudayaan Pacitan, dan kebudayaan Ngandong. 1.a Kebudayaan Pacitan Kebudayaan Pacitan dikenali dari kapak-kapak genggam tanpa tangkai yang ditemukan oleh Von Koenigswald, tahun 1935 di daerah Pacitan. Kapak-kapak tersebut, ada yang dibuat dengan permukaan yang sangat kasar, namun ada juga yang dibuat dengan permukaan yang sedikit kasar.
Gambar 2.1 Chopper dari Pacitan yang dilihat dari Berbagai Sisi (Sumber: Buku Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1, 1987: 31)
1.b Kebudayaan Ngandong Kebudayaan Ngandong, ditemukan di daerah Ngandong dan Sidorejo (Ngawi, Madiun). Penemuan-penemuan dari kebudayaan ngandong, sama dengan kebudayaan Pacitan yaitu kapak-kapak genggam 25
dari batu. Di luar itu, kebudayaan Ngandong juga menggunakan tulang sebagai alat lain selain batu. Masyarakat Ngandong menggunakan tulang sebagai pisau, belati, alat tusuk, alat korek untuk mengorek umbi-umbian, maupun tombak yang digunakan untuk berburu hewan. Di daerah Sangiran yang berada dekat dengan Ngandong, ditemukan batu-batu kecil yang diberi nama Flakes. Dalam buku Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1, disebutkan bahwa flakes tidak hanya ditemukan Jawa, tapi juga ditemukan di Sulawesi Selatan.
Gambar 2.2 Flakes dari Sulawesi Selatan (Sumber : Buku Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1, 1987: 46)
b. Mesolithikum ( zaman batu menengah) Zaman Mesolithikum memiliki pola hidup yang hampir sama dengan masa Palaeolithikum. Masyarakat Mesolithikum hidup dengan berburu binatang dan mengumpulkan makanan, akan tetapi mereka sudah
26
hidup dengan menetap di daerah-daerah tertentu. Melihat keadaan demikian, dapat diperkirakan bahwa mereka sudah mengenal cara bercocok tanam dan membuat kerajinan dengan pola dan bentuk sederhana. Pada masa ini, ditemukan benda-benda yang sama dengan budaya Palaeolithikum, yaitu kapak genggam dan flakes yang lebih beraneka ragam. Masa ini diduga sebagai sebagai masa dimana seni rupa, khususnya seni lukis muncul. Salah satunya seperti lukisan-lukisan yang berada di gua-gua yang diperkirakan dibuat diakhir peradaban Mesolithikum. Gambar tersebut menjadi bukti bahwa manusia mulai mengenal seni dan kepercayaan. Karya seni dari zaman ini, disebut sebagai karya seni tertua di Indonesia. c. Neolithikum Neolithikum adalah periode yang disebut sebagai zaman revolusi peradaban
manusia.
Kebudayaan
yang
sudah
ada
dari
zaman
Palaeolithikum dan Mesolithikum, dilanjutkan dengan perkembangan yang lebih halus. Manusia sudah mengenal seni dengan lebih baik. Benda-benda dari batu sudah diasah halus dengan permukaannya yang dihias. Manusia sudah mulai mengenal wadah penyimpanan makanan, yaitu tembikar. Cara bercocok tanam yang lebih baik, beternak hewan, serta membuat rumah yang lebih baik, sudah mulai dikenal dan diterapkan. Di luar itu, masyarakat sudah menganut aliran Animisme dan Dinamisme.
27
Kebudayaan Neolithikum, dikenal dengan golongan kapak persegi yang sangat indah. Benda-benda yang indah dari masa Neolithikum ini, tidak terlihat pernah digunakan. Diduga, benda-benda tersebut dianggap sebagai benda berharga atau hanya digunakan saat upacara. Golongan yang lainnya adalah kapak lonjong atau yang biasa disebut dengan Neolithikum Papua.
Gambar 2. 3 Dua Jenis Kapak di Zaman Neolitikhum a)Kapak Persegi, b) Kapak Lonjong (Sumber : Buku Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1, 1987: 50 dan Buku Sejarah 1 A,1994: 19)
Benda-benda
seni
yang
dihasilkan
di
masa
Neolithikum,
diantaranya adalah perhiasan dan tembikar. Perhiasan yang ditemukan dari peninggalan masa ini adalah yang berbentuk manik-manik, gelang, dan
28
batu-batuan yang indah. Mereka juga sudah mengenal pakaian sebagai penutup badan. Tembikar yang dihasilkan, diawali dengan pembuatan gerabah sederhana, sampai akhirnya tembikar dibuat dengan dihiasi ornamen-ornamen dekoratif yang indah. 1.2 Zaman Logam/ Perunggu Zaman logam disebut juga sebagai zaman perundagian atau Dongson. Zaman logam adalah periode saat manusia sudah mengenal logam, serta dapat membuat benda-benda dari logam. Zaman ini diperkirakan muncul sekitar 500 SM sampai awal masehi. Kebudayaan zaman ini, lebih maju dibandingkan dengan zaman batu, karena pemikiran manusia untuk mengolah logam menjadi alat-alat pemenuh kehidupan semakin baik. Produk-produk yang terbuat dari logam, memiliki sisi ketahanan yang lebih baik dibandingkan dengan batu. Pola hidup masyarakatnya yang sudah menetap sebagai tradisi dari zaman Neolitikum, manusia sudah lebih mengenal lingkungan dimana dia tinggal dengan lebih baik. Salah satunya adalah dikenalnya biji-biji logam yang dapat diolah menjadi berbagai benda. Mereka memanaskan logam, kemudian ditempa menjadi bentuk-bentuk yang mereka inginkan. Pola
pikir
yang
lebih
maju,
menuntut
mereka
untuk
mengembangkan teknik pembuatan benda-benda logam, hingga akhirnya dikenal sistem cetakan. Sistem cetak ini, membuat hasil kerajinan logam terlihat lebih rapih dan indah. Dikenal dua jenis teknik cetak yang digunakan di zaman logam, yaitu cetak setangkup atau sekali pakai yang
29
dikenal dengan istilah a cire perdue, dan teknik cetak berulang atau bivalve.
Gambar 2.4 Hasil Kerajinan Budaya Perunggu, Kapak Corong (Kiri), Bejana Gepeng (Tengah), dan Kapak Upacara (Kanan) (Sumber: Buku Sejarah 1a, 1994: 24)
Pada berkembang.
periode
selanjutnya,
Kebudayaan
kebudayaan
Megalitik
adalah
Megalitik
mulai
kebudayaan
yang
menghasilkan bangunan-bangunan besar sebagai bentuk ungkapan seni mereka. Periode batu besar ini merupakan zaman batu sebagai kelanjutan dari budaya Dongson/ logam. “… Maka sesungguhnya Megalithikum atau kebudayaan batu besar itu bukanlah membawa arti timbulnya kembali zaman batu sesudah zaman logam. Memang Megalithikum itu akarnya terdapat dalam zaman neolithikum, tetapi baru berkembang betul-betul dalam zaman logam ” (Soekmono, 1987: 72).
Berkembangnya budaya Megalit, membuktikan bahwa kebudayaan yang telah digunakan dimasa sebelumnya, tidak dihilangkan begitu saja. Pada periode seterusnya, kebudayaan batu tersebut dikembangkan lebih luas lagi menjadi budaya batu besar. Sejalan dengan pendapat di atas,
30
Wikipedia menyebutkan bahwa Megalitik adalah struktur yang dibuat dengan menggunakan batu besar. Pendapat selanjutnya mengatakan bahwa kebudayaan Megalitik bukanlah zaman yang berkembang sendiri, akan tetapi merupakan hasil budaya yang akarnya muncul pada zaman Neolitikum, namun berkembang pesat pada zaman logam. Kebudayaan Megalithikum adalah kebudayaan yang utamanya menghasilkan bangunan-bangunan monumental yang terbuat dari batu-batu besar dan masif. Bangunan Megalithikum ini dipergunakan sebagai sarana penghormatan dan pemujaan terhadap arwah nenek moyang (Mustopo, M. Habib, 2003: 89).
Dari pernyataan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kebudayaan Megalithikum adalah kebudayaan batu yang mengalami perkembangannya pada zaman logam. Pada zaman ini, sistem kepecayaan yang semakin kuat, menuntut manusia untuk membuat sarana pemujaan yang lebih baik dari masa sebelumnya. Bangunan-bangunan besar dibuat sebagai pelengkap peribadatan mereka. Pada zaman batu besar (megalitik), selain dikenal bangunan dari kayu dan bambu, dikenal pula bangunan batu untuk keperluan upacara agama. Antara lain dikenal bangunan makam (dolmen), bangunan berundak (punden), bangunan tugu lambang kesuburan (menhir), dan perabot upacara seperti meja batu, kursi batu, tahta batu, dan sebagainya. (Yudoseputro, W. tanpa tahun: 4)
Zaman Megalitik terkenal dengan bangunannya yang besar-besar dan terbuat dari batu. Bangunan tersebut, banyak diantaranya yang memiliki nilai sakral yang besar, seperti sarkopagus, menhir, dolmen, peti kubur dan sebagainya. Dilihat dari sistem kepercayaannya yang menganut 31
animisme dan dinamisme, bangunan-bangunan tersebut dapat dikatakan sebagai wujud penghormatan kepada nenek moyang atau arwah leluhur yang dipercaya sangat menentukan perkembangan hidup mereka. Dapat ditarik kesimpulan kembali, bahwa zaman logam adalah periode awal manusia mulai mengenal teknologi pembuatan benda-benda dari logam. Pada masa ini, budaya zaman batu mulai terlihat kembali dengan adanya kebudayaan Megalitik. Pemujaan kepada arwah nenek moyang, mendapat perhatian yang lebih besar dengan dibangunnya bangunan Megalitik yang berukuran besar. Benda-benda seni yang tercipta pada masa ini adalah, nekara, perhiasan, kapak, serta bangunan-bangunan batu, seperti menhir, dolmen, peti kubur, dan lain-lain.
2.
Zaman Sejarah Zaman sejarah diawali dengan masuknya kebudayaan Hindu yang
berasal dari India. Masuknya budaya Hindu, diperkirakan dimulai sejak awal masehi. Menurut Tanudirjo dan Suhartono (1994: 31), masuknya kebudayaan India, berawal dari hubungan perdagangan antara bangsa Indonesia dengan bangsa India yang semakin erat pada awal 1 M. Pendapat yang lain, menurut Yudoseputro, W. dalam Pokok-Pokok Kuliah Sejarah Seni Rupa Indonesia, masuknya kebudayaan Hindu ke Indonesia, karena empat faktor. Faktor tersebut adalah :
32
a. Faktor ekonomi. Pendapat ini, sama dengan pendapat yang pertama, bahwa hubungan India dan Indonesia terjadi karena hubungan ekonomi. Hubungan ini, menimbulkan adanya proses akulturasi budaya antara kedua Negara. b. Faktor agama. Pemimpin agama di India, berkeinginan untuk menyebarkan agama India, salah satunya ke Indonesia. Tanpa meninggalkan tradisi asli, raja-raja Indonesia yang menganut agama India, mulai mempelajari agama tersebut, dan berusaha memperdalamnya dengan mengirim utusan untuk belajar langsung di India. c. Faktor politik. Hubungan politik yang dilakukan, kemungkinan adalah politik ekspansi dan politik perdamaian. Kedua politik ini, terutama politik perdamaian, menghasilkan proses pencampuran budaya yang lebih baik dan bertahan dalam jangka waktu yang lama. d. Faktor petualangan. Adanya kerajaan-kerajaan kecil dari India yang mencari tempat di Indonesia dengan membawa serta kebudayaannya. Proses asimilasi ini, menghasilkan akulturasi antara budaya asli Indonesia dengan budaya India. Dari keempat faktor diatas, faktor agama diduga memiliki peranan yang paling besar dalam menghasilkan proses akulturasi India-Indonesia yang bernilai tinggi. Meski awalnya, ajaran Hindu hanya berada dalam
33
lingkup yang terbatas, pada perkembangannya, ajaran ini diikuti pula oleh masyarakat yang lebih luas. Pada awalnya, pengaruh budaya Hindu itu, hanya berkembang di lingkungan masyarakat yang mempunyai kedudukan tinggi, seperti golongan bangsawan dan pemimpin agama. Namun dalam perkembangan selanjutnya agama ini juga dianut oleh masyarakat kebanyakan. Dan, budaya bercorak Hindu ini semakin kuat pengaruhnya pada kehidupan masyarakat Indonesia dalam kurun waktu dari abad V samapai XVI Masehi. (Tanudirjo, D.A. dan Suhartono, 1994: 32).
Hubungan kebudayaan dengan bangsa India tersebut, menambah kekayaan budaya bangsa Indonesia. Budaya asing yang masuk, dikelola dengan baik, sehingga tradisi asli tidak hilang. Kemampuan ini disebut juga dengan istilah local genius, yang sudah dilakukan sejak zaman dahulu. Unsur-unsur budaya asli Indonesia masih sangat kuat tertanam pada masyarakat Indonesia ketika itu. Kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia diatur menurut susunan organisasi sosial yang ada sejak zaman prasejarah. Walaupun agama Hindu dan Budha dianut, namun unsur-unsur pemujaan leluhur tetap ada. (Tanudirjo, D.A. dan Suhartono, 1994: 32).
… budaya Hindu telah memperkaya khasanah budaya Indonesia masuk ke masa sejarah, yaitu dengan digunakannya aksara Pallawa dan pre-nagari serta bhasa Sansakerta untuk menulis prasasti-prasasti tertua di negeri kita ini. (Tanudirjo, D.A. dan Suhartono, 1994: 32).
Dari pendapat di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa masa sejarah di Indonesia dimulai saat bangsa Hindu membawa budaya menulis, sehingga bangsa Indonesia mengenal tulis-menulis dan menggunakannya 34
sebagai media untuk berkomunikasi atau menyampaikan berita. Masih dalam Pokok-Pokok Kuliah Sejarah Seni Rupa Indonesia, proses akulturasi budaya India dengan Indonesia dalam perkembangannya terbagi ke dalam dua tahap. 1. Seni Indonesi-Hindu adalah seni feudal-agraris yang berpusat di pusat kerajaan (disebut juga seni istana). 2. Seni Indonesia-Hindu berlandaskan kehidupan agama (seni sakral), yaitu percampuran dari agama Hindu/ Budha dengan agama asli Indonesia (sinkretisme). (Yudoseputro, W. tanpa tahun : 9)
Pernyataan di atas menyebutkan bahwa seni yang terjadi pada masa Indonesia-Hindu, lebih dikuatkan kepada unsur sakralnya dibandingkan dengan unsur profan. Dapat dikatakan, faktor agama atau kepercayaan memegang posisi tertinggi sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Kepercayaan asli Indonesia yang digabungkan dengan kepercayaan India, dijalankan beriringan dengan baik. Proses akulturasi yang berjalan dengan baik tersebut, tidak dipungkiri membawa pengaruh yang besar bagi seni budaya Indonesia, khususnya dari segi rupa. Candi-candi sebagai bangunan sakral bergaya India, prasasti sebagai bentuk tradisi menulis, dan beragam ornamen bergaya Hindu-Budha, menjadi ragam kekayaan seni rupa bangsa Indonesia, hasil dari local genius yang dikelola dengan bijak oleh masyarakat Indonesia zaman dahulu.
35
C. Pengertian dan Jenis Artefak Menurut kamus besar bahasa Indonesia (2009: 71) Artefak adalah benda-benda, seperti alat, perhiasan yang menunjukan kecakapan kerja (terutama pada zaman dulu) yang ditemukan melalui penggalian arkeologi ; benda (barang-barang) hasil kecerdasan manusia, seperti perkakas, senjata.
Artefak adalah benda-benda peninggalan hasil kecerdasan manusia pada zaman dahulu, dari ukuran paling kecil seperti perhiasan, sampai ukuran yang paling besar seperti bangunan. Dalam istilah cagar budaya, semua peninggalan yang berusia lima puluh tahun dan dilindungi oleh pemerintah serta undang-undang, dapat digolongkan ke dalam kategori artefak. Arkeologi adalah ilmu tentang kehidupan dan kebudayaan zaman kuno berdasarkan benda-benda peninggalan seperti patung-patung dan perkakas rumah tangga; ilmu purbakala. (Tim Pustaka Phoenix, 2009: 70). Artefak dan arkeologi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan. Artefak sering kali berhasil ditemukan dengan penggalian arkeologi oleh arkeolog. Artefak yang ditemukan di Indonesia memiliki jenis yang beragam, berupa kebutuhan rumah tangga, perhiasan, benda-benda upacara, makam, menhir dan lain-lain. Jacob Sumardjo mengatakan dalam bukunya yang berjudul ‘Arkeologi Budaya Indonesia’ (2007: 211) bahwa:
36
Zaman prasejarah Indonesia meninggalkan budaya material itu berupa bangunan-bangunan terbuat dari batu, atau benda-benda terbuat dari perunggu. Dalam studi prasejarah, kedua jenis material tersebut diproduksi pada zaman megalitikum dan zaman perunggu (Dong Son). Bangunan-bangunan batu terdiri dari batu berdiri (Menhir) dan batu duduk, peti batu, sarkopah, patung, punden berundak, batu bergambar dll (Sumardjo, J. 2007: 211).
Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa menhir, linggga, prasasti, termasuk kedalam seni bangunan zaman prasejarah. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1993) “Seni bangunan adalah seni tentang keindahan dalam membuat bangunan”. “Bangunan adalah sesuatu yang didirikan atau sesuatu yang dibangun, seperti rumah, gedung, menara”. Seni arsitektur ini merupakan bagian dari seni terapan yang mementingkan fungsi, tujuan serta sisi ergonomis. Seni arsitektur merupakan karya seni yang bersifat masif. “Masif adalah (1) utuh dan padat, di dalamnya tidak berongga (seperti batu dsb); (2) kuat atau kokoh” (W.J.S Poerwadarminta, 1993: 57). Seni arsitektur ini adalah seni yang tidak dapat diubah karena sifatnya yang tetap dan merupakan karya monumental (seperti candi, tugu, atau prasasti). Monumental adalah sesuatu yang menimbulkan kesan peringatan pada sesuatu yang agung. Monumen adalah bangunan dan tempat yang mempunyai nilai sejarah yang penting dan karena itu dipelihara dan dilindungi Negara” (W.J.S Poerwadarminta, 1993: 665).
Peninggalan-peninggalan tersebut, merupakan bentuk kecerdasan pemikiran bangsa Indonesia pada masa lalu yang masih dapat kita lihat hingga sekarang. Benda-benda artefak tersebut, dapat digolongkan ke dalam
37
kelompok seni rupa terapan, apabila kita melihat penjelasan mengenai pengertian seni rupa terapan.
1. Prasasti “Prasasti adalah piagam yang tertulis pada batu, tembaga, dan sebagainya” (W.J.S Poerwadarminta, 1993: 786). Prasasti di bangun sebagai media untuk menyampaikan amanat, sebagai tanda kekuasaan, dan sebagai media yang lainnya. Prasasti merupakan sumber tertulis dan benda yang menjadi bukti keberadaan seni bangunan di zaman dahulu. Zaman dahulu, prasati biasa ditulis di atas batu dengan ukuran tertentu. Prasasti merupakan salah satu karya seni rupa hasil akulturasi dengan budaya dari India, khususnya dalam seni menulis. Prasasti, apabila dilihat dari budaya zaman batu, dapat digolongkan ke dalam seni arsitektur. Prasasti adalah sumber sejarah yang termasuk kedalam kategori sumber tertulis dari zaman dahulu, yang dapat dijadikan sebagai media kajian budaya di zaman sekarang. Peninggalan-peninggalan tersebut yang lazimnya disebut sebagai sumber sejarah. Sumber sejarah terdiri dari sebagai berikut. a. Sumber Tertulis (sumber dokumen) Sumber tertulis misalnya prasasti, kronik, babad, hikayat, suratsurat, laporan notulen, piagam, naskah, arsip, dan surat kabar. b. Sumber Benda (artefak) Sumber benda (artefak) berupa antara lain fosil, senjata, peralatan hidup, perhiasan, prasasti, candi, stupa, foto, patung, nisan, dan bangunan. c. Sumber Lisan
38
Sumber lisan adalah keterangan langsung dari pelaku atau saksi sejarah. … d. Sumber Rekaman Sumber rekaman berupa baik rekaman kaset audio maupun rekaman kaset video (Mustopo, 2003: 33).
Pendapat lain yang hampir sama dengan pernyataan diatas, dan harus diperhatikan karena berfungsi sebagai data untuk mengkaji zaman klasik adalah: 1. Data arkeologis, seperti bangunan candi, petirtaan, goa, pertapaan, relief cerita, arca-arca dewata, dan lainnya lagi yang bersifat artefaktual. 2. Data yang tersirat dalam berbagai sumber tertulis, misalnya dalam prasasti, karya-karya sastra, dan berita asing. 3. Tradisi lisan yang masih mengendap dan merupakan ingatan bersama (collective memory) dalam masyarakat, baik di lingkungan kebudayaan Sunda kuna, Jawa kuna, bahkan Bali kuna. (Munandar, A.A. 2010: 166-167) Prasasti umumnya terbuat dari batu, akan tetapi prasasti juga ada yang terbuat dari logam dan biasa disebut dengan Tamra. Salah satu contoh prasasti atau batu tulis yang terbuat dari batu, adalah prasasti yang terdapat di situs Astana Gede Kawali yang terletak di kabupaten Ciamis. Contoh prasasti Tamra, adalah prasasti kebantenan yang dibuat sekitar abad ke 15. Prasasti di situs ini, diduga berasal dari masa Hindu pra-Islam dengan menggunakan metode yang ada sejak zaman Megalitikum, yaitu batu dengan ornamennya (dalam hal ini adalah tulisan) dibuat dengan teknik pahat. Seperti pernyataan dari A. A. Munandar, (2010: 123). bahwa “Sampai sekarang di wilayah Jawa bagian barat banyak didapatkan peninggalan yang apabila diperhatikan secara
39
fisik (artefaktual) termasuk jenis monumen yang menggunakan batu-batu besar (megalitik).”
Gambar 2.5 Prasasti Kebon Kopi yang Merupakan Prasasti Batu Peninggalan Kerajaan Tarumanegara. (Sumber : http://indonesiadulu.wordpres.com: 2011)
Prasasti yang terdapat di Astana Gede ini, di perkirakan berasal dari abad ke 14-15 M. Prasasti-prasasti tersebut umumnya menceritakan amanat dari raja yang berkuasa pada saat itu. Sebagian lagi, hanya berupa inskripsi yang terdiri dari beberapa kalimat saja. Prasasti tersebut, ada yang berbentuk dan diposisikan seperti tugu, dan ada yang direbahkan. Dari segi tulisan, prasasti yang terdapat di Astana Gede Kawali menggunakan huruf sunda kuno (ngalagena) dengan bahasa kuno. Berbeda dengan kerajaan Tarumanegara yang merupakan nenek moyang kerajaan Sunda/ Galuh, mereka menggunakan aksara Pallava dengan bahasa sansakerta sebagai bahasa penyampaian. Hal itu diperkirakan
40
karena kerajaan Tarumanegara adalah kerajaan pertama di Pulau Jawa yang bercorak India, jadi unsur kebudayaan India asli masih dipakai. Adapun bahasa Sunda kuno yang dipakai oleh kerajaan Padjajaran, adalah perkembangan dalam segi tulis menulis dan bahasa yang menurut Tim Wacana Nusantara, diberlakukan sekitar abad ke 14-18 M. Aksara dan bahasa Sunda kuna, juga dipakai oleh kerajaan Banten, yang berkembang pada periode yang sama. Kedudukan bahasa Sunda kuna ini mulai tersisihkan saat agama islam mulai menyebar di Jawa Barat yang juga merubah tulisan Sunda menjadi aksara arab atau Pegon.
Gambar 2.6 Tabel Akasara ngalagena Sunda (Sumber : http://www.wacananusantara.org/2/511/aksara-sunda: 2011)
Dua dari enam prasasti yang terdapat di Astana Gede Kawali, terdapat tanda berbentuk lingkaran dengan dua garis yang saling memotong, membentuk jari-jari roda. Terdapat lambang bunga kuncup tiga lembar disetiap ujung jari-jari. Menurut A. N. J. Th, Van Der Hoop (1949 : 295),
41
lambang tersebut adalah lambang kuno untuk matahari. Pada masa Hindu, lambang itu dikenal dengan nama Tjakra/ Cakra.
Gambar 2.7 Lambang Tjakra yang terdapat pada dua Prasasti di Astana Gede (Sumber: A. N. J. Th. Van Der Hoop, 1949: 295)
2.
Menhir Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “ Menhir adalah tonggak
batu besar yang mirip tugu, sebagai lambang atau peringatan terhadap nenekmoyang, berasal dari kebudayaan Megalit.” (Tim Pustaka Phoenix, 2009: 577). Menhir atau tiang/ tugu batu, biasanya terbuat dari batu tunggal yang ditempatkan pada suatu tempat. Dalam buku Sejarah untuk kelas satu SMA, disebutkan bahwa fungsi menhir ada tiga, yaitu : - Sebagai sarana pemujaan terhadap arwah nenek moyang atau leluhur. - Sebagai sarana untuk memperingati orang penting yang telah meninggal. - Sebagai tempat untuk bersemayamnya roh.
42
Gambar 2.8 Salah Satu Menhir yang Berada di Prancis (Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Menhir: 2011)
Menhir ini tidak hanya berada di Indonesia saja, menurut situs wikipedia.com, menhir tersebar juga dibeberapa belahan dunia, seperti di Prancis, Inggris, Italia, dan sebagainya.
3.
Dolmen “Dolmen adalah meja batu sebagai tempat sesaji.” (Mustopo, M.
Habib, 2003: 89). Dolmen adalah batu berbentuk meja hasil kebudayaan Megalitik yang diperkirakan sebagai tempat untuk meletakan sesaji. Dolmen ada yang berkaki seperti menhir, salah satunya seperti yang terdapat didaerah Pasemah, Sumatra Selatan. Menhir juga ada yang merangkap sebagai kubur batu, contohnya seperti yang terdapat di daerah di Jawa Timur, lebih tepatnya di daerah Bondowoso dan Jember.
43
Gambar 2.9 Salah Satu Dolmen Berkaki Menhir (Sumber: http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Dolmen&action=edit: 2011)
4. Kuburan/ Makam Dari sejak zaman Megalitik, manusia sudah mengenal kuburan sebagai tempat penyimpanan mayat. Masyarakat zaman batu menggunakan peti batu, sarkofagus, serta waruga untuk menyimpan jenazah. Pada zaman Hindu-Budha, mayat dikremasikan mengikuti adat kebudayaan India yang saat itu dipakai. Abu kemudian ada yang disimpan di bawah menhir seperti yang terdapat di situs Astana Gede Kawali.
Gambar 2.10 Kubur Batu yang Berada di Daerah Kuningan (Sumber: http://sainsteknologi.webs.com/sejarah.html: 2011)
44
“ Makam adalah bangunan sebagai sarana dari sistem penguburan jenazah orang Muslim” (Yudoseputro, W. 1986: 15). Bagi umat Muslim, makam memiliki peranan yang sangat penting dan disakralkan. Di situs Astana Gede Kawali, terdapat 11 makam yang dibuat dengan gaya Islam yaitu memiliki dua nisan sebagai penanda dan Kijing/ Jirat sebagai bangunanya. Bagi Dari sebelas makam tersebut, yang memiliki ciri khas dan mudah dikenali adalah makam Adipati Singacala yang di kelilingi pagar bambu serta tumpukan batu-batu kecil disekitarnya. Makam selanjutnya adalah makam Pangeran Usman yang memiliki panjang sekitar 5 meter dan merupakan makam terpanjang yang terdapat di situs tersebut. 5. Punden Berundak “ Punden berundak adalah bangunan pemujaan yang bertingkattingkat (Berundak-undak)” (Mustopo, M.H. 2003: 89). Pada situs Wacana Nusantara disebutkan, bahwa punden berundak adalah pengubahan bentanglahan atau undak-undakan yang menyerupai tangga raksasa, dan bukan bangunan dalam arti yang sebenarnya. Dalam buku Tatar Sunda Masa Silam, disebutkan bahwa punden berundak yang ada di Tatar Sunda dapat dimasukan ke dalam periode sejarah. Meski demikian, punden berundak di Jawa Barat, masih diragukan dari zaman mana punden-punden tersebut berasal.
45
Gambar 2.11 Ilustrasi Punden Berundak-Undak dari Lebak Sibedug Banten Selatan (Sumber : Buku Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1,1987: 76)
Hasil kajian tentang punden berundak di Jawa Barat seperti yang tertulis di dalam buku Tatar Sunda Masa Silam, menunjukan beberapa ciriciri dari peninggalan tersebut. Ciri-ciri punden berundak adalah : - Bentuknya berupa teras-teras yang terdiri dari dua tingkat atau lebih. - Terbuat dari timbunan tanah yang dibuat bertingkat dengan bebatuan di sisinya yang berfungsi sebagi penguat. Selain itu, ada juga teras yang dibuat dengan campuran tanah, pecahan batu, serta batu-batu alami. - Adanya objek-objek sakral yang diletakan di teras tertinggi dan terkadang juga terletak di teras bawah. - Objek sakral tersebut ada yang berupa menhir, dolmen, arca sederhana, dan lain-lain. - Terdapat susunan batu yang dibuat untuk menuju ke teras yang lebih tinggi. - Umumnya didirikan di dataran tinggi dengan posisi menghadap utaraselatan, atau timur-barat.
46
Kajian selanjutnya menyatakan bahwa punden berundak yang terdapat di Jawa Barat, dibuat pada masa kerajaan Sunda, yang berarti berada dalam periode sejarah. Dari kajian diatas, punden berundak masuk kedalam kategori arsitektur bangunan suci. Melihat pernyataan-pernyataan tentang punden berundak, teras sederhana di Astana Gede Kawali, dapat digolongkan juga kedalam istilah punden berundak. Punden berundak di Kawali ini, termasuk kawasan suci atau yang disakralkan dengan tiga teras, serta terdapat makammakam, meja sesaji atau dolmen, tempat pertapaan, dan sebagainya. Di Indonesia, kawasan yang di sakralkan dengan budaya Hindu biasanya dikelilingi oleh sungai atau kali. Sama halnya dengan candi-candi seperti yang terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur, situs Astana Gede Kawali juga terdapat kali yang dikenal dengan istilah juritan dan mata air yang disebut Ci Kawali. Melihat kategori artefak yang terdapat di Astana Gede Kawali, semuanya dibuat sangat sederhana dengan sedikit tambahan ornamenornamen. Berbeda dengan bangunan dan peninggalan yang terdapat di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kesederhanaan tersebut, diduga karena masyarakat Sunda di masa lalu, hanya membuat sesuai dengan kebutuhan. Keyakinan untuk menyembah Sanghyang, tidak perlu dibuat dengan berlebihan, walaupun tradisi Hindu yang diidentikan dengan bangunan yang indah, turut mereka anut (Agus Aris Munandar). Keberadaan Sanghyang, dianggap lebih tinggi dibandingkan dengan dewa-dewa Hindu, dengan alasan
47
demikian, diperkirakan candi-candi, bangunan atau tempat-tempat ibadah, maupun keraton yang dibuat dimasa kerajaan Tatar Sunda/ Galuh/ Padjajaran, dibuat dari media yang mudah lapuk, seperti kayu, bambu, dan bukan batu seperti yang terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
D. Kronologi Sejarah Sunda/Galuh
Kebudayaan Sunda diawali dengan kerajaan yang pertama muncul di Tatar Sunda. Dalam jurnal Sunda, http://www.kasundaan.org/id disebutkan bahwa naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan seorang pendeta Hindu Sunda bernama Bujangga Manik, saat mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke16. Naskah tersebut saat ini disimpan di Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), Kerajaan Sunda di sebelah timur dibatasi oleh Ci Pamali (Saat ini disebut sebagai Kali Brebes) dan sungai Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.
Pendapat lain dari Naskah Wangsakerta bahwa wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung yang terjalin melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dengan kerajaan Lampung.
Bukti Arkeologi menyatakan bahwa masyarakat pada masa itu menjalankan kebudayaan asli (masa prasejarah) yang dipengaruhi oleh
48
budaya Hindu-Buddha. Hasil penelitian yang mengkaji bahwa kebudayaan Hindu-Buddha tersebut hanya menjadi pelengkap, dan tidak mempengaruhi secara keseluruhan. Dalam konteks keagamaan Sunda kuna, pemujaan kepada Sanghyang Widi bukan berasal dari India, akan tetapi merupakan konsep asli masyarakat Tatar Sunda kuna yang lahir karena pengalaman Hidup. Kerajaan Tarumanagara adalah kerajaan pertama yang berdiri di Tatar Sunda. Pengaruh dari luar yang pertama datang adalah kebudayaan India Kuna, yaitu seperti pemahaman yang tertulis di ajaran Veda-Brahmana. Bukti kerajaan Tarumanegara sebagai kerajaan pertama Tatar Sunda, tertulis dalam prasasti-prasasti peninggalan kerajaan Tarumanegara. Berdasarkan prasasti-prasasti yang dipahatkan sekitar abad ke-4 M, dapat diketahui bahwa di wilayah Jawa bagian Barat, yang kelak disebut Tatar Sunda, berdiri kerajaan pertama kali di Tanah Jawa yang meninggalkan bukti tertulis…. Memiliki isi dan sebaran prasastiprasastinya Tarumanegara dalam zaman pemerintahan Purnnavarmman berupaya menyebarkan pengaruh kekuasaannya hingga sejauh-jauhnya ke pedalaman Jawa bagian Barat. (Munandar, A.A. 2010: 2)
Tarumanagara merupakan kerajaan yang memberikan pengaruh yang besar bagi penduduk yang mendiami Jawa bagian barat pada masa itu dengan pencapaian
yang
dilakukannya.
Pencapaian
tersebut
menjadi
awal
perkembangan Sunda kuna.
Beberapa pencapaian itu adalah (a) penggunaan aksara Sunda pertama kali terjadi di Jawa bagian Barat, dalam hal ini aksara Pallava dari India, (b) di Tanah Jawa masyarakat Jawa bagian Barat yang pertama kali mengenal institusi kerajaan, (c) penduduk Jawa bagian Barat secara tradisi selalu terbuka terhadap pengaruh asing yang bernilai baik. Masyarakat yang extrovert akan mudah menerima pengaruh luar dan dengan segera mengembangkan kebudayaan serta menularkannya ke wilayah tetangga. (Munandar, A. A. 2010: 2) 49
Kerajaan
ini
terpecah
saat
raja
terakhir
Tarumanegara,
raja
Linggawarman (666-669 M) meninggal. Tarumanegara terbagi menjadi dua yaitu kerajaan Sunda dan Galuh. Pusat Ibukota kerajaan Sunda terletak di Bogor, sedangkan pusat kerajaan Galuh berada di Kawali, Ciamis. Kedua kerajaan tersebut, dibatasi oleh sungai Citarum yang juga menjadi saksi kejayaan kerajaan Tarumanagera sebagai kerajaan pertama di Jawadwipa.
Gambar 2.12 Peta Yang Memperlihatkan Pembagian Wilayah Kerajaan Sunda dan Galuh (Sumber: Munandar, 2010: 4. Digambar kembali oleh penulis)
Mengenai sejarah Situs Kawali, pada zaman dahulu, Astana Gede bernama Kabuyutan Sanghyang Lingga Hiyang. Kepercayaan yang dianut oleh raja-raja Kawali pada masa itu adalah agama Hindu, akan tetapi kepercayaan tersebut berubah sejak Adipati Singacala yang merupakan keturunan Sultan Cirebon dan beragama Islam memerintah sejak tahun 16431718 M.
50
Mengenai Kerajaan Kawali, kerajaan ini biasa disebut sebagai kerajaan Galuh, kerajaan Sunda, maupun kerajaan Sunda-Galuh, serta kerajaan Kawali. Disebut kerajaan Galuh, karena letak kerajaannya berada di wilayah Galuh (Ciamis) Disebut sebagai kerajaan Sunda, karena apabila dilihat dari silsilah atau alur kerajaan, kerajaan kawali memiliki hubungan kekerabatan dengan kerajaan Sunda, dan disebut sebagai kerajaan Kawali karena kerajaan ini terletak di daerah Kawali. Pada zaman dahulu, nama kerajaan biasanya sama dengan nama tempat di mana kerajaan tersebut berdiri. Pendapat yang lebih diakui sesuai dengan alur pada saat ini bahwa kerajaan Kawali adalah kerajaan Sunda Galuh, karena merupakan kerabat kerajaan Sunda yang berada di Galuh. Tokoh yang sering disebut dalam sejarah kerajaan Kawali yang juga merupakan raja yang berkuasa paling lama, yaitu sekitar 104 tahun adalah Rahyang Niskala Wastu Kencana(1371-1475). Prabu Niskala dipercaya sebagai raja yang meninggalkan beberapa prasasti di Astana Gede.
51