16
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG RADHA’AH DAN JUAL-BELI DALAM HUKUM ISLAM A. Radha’ah Ajaran penyusuan anak atau radha‟ah secara eksplisit dan tegas dikemukakan di dalam Kitab Suci al-Quran dan kemudian mendapatkan penjelasan dari hadis Nabi SAW. Namun sebagaimana umumnya ayat dalam alQur‟ân, ajaran itu masih membuka ruang interpretasi (tafsir) yang luas. Hampir semua kitab fiqh dari berbagai madzhab membahas tentang radha‟ah dalam pasal tersendiri di bawah pembahasan bab “nikâh”. Namun, pembahasan mereka umumnya berkisar pada dua hal pokok. Pertama, pembahasan tentang teknis penyusuan yang menyebabkan menjadi mahram (haram dinikahi). Kedua, pembahasan mengenai hubungan upah penyusuan di antara pihak-pihak terkait. Sementara posisi persusuan sebagai hak anak (haqq ar-radhi‟) untuk menjamin kesehatan dan cara hidup yang baik, serta perlindungan kesehatan bagi ibu yang menyusui (haqq al-murdhi‟ah) belum banyak disinggung, bahkan terkesan “tak dipikirkan”. 1. Pengertian Radha’ah Secara etimologis, radha‟ah atau ar-riḍha‟ah adalah sebuah istilah bagi isapan susu, baik isapan susu manusia maupun susu binatang. Dalam pengertian etimologis tidak dipersyaratkan bahwa yang disusui itu (ar-radhî‟) berupa anak kecil (bayi) atau bukan.1 Adapun dalam pengertian terminologis, sebagian ulama fiqh mendefinisikan radha‟ah sebagai berikut: 1
Abdurrahman al-Jaziri, Kitâb al-Fiqh „alâ al-Madzâhib al-Arba‟ah, Juz IV, [Beirut:
17
“Sampainya [masuknya] air susu manusia (perempuan) ke dalam perut seorang anak (bayi) yang belum berusia dua tahun, 24 bulan.” Mencermati pengertian ini, ada tiga unsur batasan untuk bisa disebut radha‟aha sy-syar‟iyyah (persusuan yang berlandaskan etika Islam). Yaitu, pertama, adanya air susu manusia (labanu adamiyyatin). Kedua, air susu itu masuk ke dalam perut seorang bayi (wushûluhu ilâ jawfithiflin). Dan ketiga, bayi tersebut belum berusia dua tahun (dûna al-hawlayni). Dengan demikian, rukun radha‟ah asy-syar‟iyyah ada tiga unsur: pertama, anak yang menyusu (ar-radhî‟); kedua, perempuan yang menyusui (al-murdhi‟ah); dan ketiga, kadar air susu (miqdâr al-laban) yang memenuhi batas minimal. Suatu kasus (qadhiyyah) bisa disebut radha‟ah asy-syar‟iyyah, dan karenanya mengandung konsekuensikonsekuensi hukum yang harus berlaku, apabila tiga unsur ini bisa ditemukan padanya. Apabila salah satu unsur saja tidak ditemukan, maka radha‟ah dalam kasus itu tidak bisa disebut (radha‟ah asy-syar‟iyyah), yang karenanya konsekuensi-konsekuensi hukum syara‟ tidak berlaku padanya. Adapun perempuan yang menyusui itu disepakati oleh para ulama (mujma‟ „alayh) bisa perempuan yang sudah baligh atau juga belum, sudah menopause atau juga belum, gadis atau sudah nikah, hamil atau tidak hamil. Semua air susu mereka bisa menyebabkan radha‟ah asy-syar‟iyyah, yang berimplikasi pada kemahraman bagi anak yang disusuinya. 2. Landasan Hukum Radha’ah Setidak-tidaknya ada enam ayat dalam al-Quran yang membicarakan perihal penyusuan anak (ar- radha‟ah). Enam ayat ini terpisah ke dalam lima Dar al-Kutub al-‟Ilmiyyah, 1987], hlm.250-251.
18
surat, dengan topik pembicaraan yang berbeda-beda. Namun, enam ayat ini mempunyai keterkaitan (munâsabah) hukum yang saling melengkapi dalam pembentukan hukum. Selain enam ayat ini, radha‟ah juga mendapatkan perhatian dari Nabi Muhammad SAW dalam menjelaskan ayat-ayat tersebut. Baik al-Quran maupun Hadis, kedua-duanya sangat berarti bagi kekokohan landasan hukum dan etika “menyusui”. Berikut ini adalah landasan radha‟ah dalam al-Quran dan Hadis. a.
Landasan al-Quran Pertama, yaitu ayat 233 Surat al-Baqarah :
َُّػهَٗ ْان ًَ ْٕنُٕ ِد ن ِ ٍِْ َكَٛض ْؼٍَ أ َ ْٔالدَ ُْ ٍَّ َد ْٕن َّ ُرِ َّىٚ ٌْ َ ٍِْ ِن ًَ ٍْ أ َ َسادَ أَٛايه َ َٔ َػح َ ضا َ انش ِ ُْشٚ َُٔ ْان َٕا ِنذَاخ َُّاس َٔا ِنذَج ٌ ِت َٕنَ ِذَْا َٔال َي ْٕنُٕدٌ ن ِ ِس ْصقُ ُٓ ٍَّ َٔ ِكغ َْٕذ ُ ُٓ ٍَّ ِت ْان ًَ ْؼ ُش َّ ض ٌ ف ََ ْف ُ َّٔف ال ذ ُ َكه َ ُ ظ إِال ُٔ ْع َؼ َٓا ال ذ ِٓ ًَاْٛ َػه ِ ػهَٗ ْان َٕ ِاس ٍ ػ ٍْ ذ ََش َ َأ ٍس فَال ُجَُا َح َ صاال َ َٔ ِِ ِت َٕنَ ِذ ُ اض ِي ُْ ُٓ ًَا َٔذَش َ ِز ِيصْ ُم رَنِكَ فَإ ِ ٌْ أ َ َسادَا ف َّ ٔف َٔاذَّقُٕا ِ ر ُ ْى تِ ْان ًَ ْؼ ُشْٛ َ عهَّ ًْر ُ ْى َيا آذ َ ضؼُٕا أ َ ْٔالدَ ُك ْى فَال ُجَُا َح ِ َٔ ِإ ٌْ أ َ َس ْدذ ُ ْى أ َ ٌْ ذ َ ْغر َْش َاَلل َ ُك ْى ِإرَاْٛ َػه َّ ٌَّ َ َٔا ْػهَ ًُٕا أ شٛ ٌ ص ِ َاَللَ ِت ًَا ذ َ ْؼ ًَهٌَُٕ ت Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. Secara umum, ayat ini berisi tentang empat hal: pertama, petunjuk Allah SWT kepada para ibu (wâlidât) agar senantiasa menyusui anak-anaknya secara
19
sempurna, yakni selama dua tahun sejak kelahiran sang anak. Kedua, kewajiban suami memberi makan dan pakaian kepada istrinya yang sedang menyusui dengan cara yang ma‟rûf. Ketiga, diperbolehkannya menyapih anak (sebelum dua tahun) asalkan dengan kerelaan dan permusyawaratan suami dan istri. Keempat, adanya kebolehan menyusukan anak kepada perempuan lain (al-murdhi‟ah). Kedua, ayat 23 surat An-Nisâ‟ [4]:
ْ ْ ُد ِ ّش َي ُػ ًَّاذ ُ ُك ْى َٔخَاالذ ُ ُك ْى َٔتََُاخُ األرِ َٔتََُاخ د ِ األخ َ َٔ ُك ْى أ ُ َّي َٓاذ ُ ُك ْى َٔتََُاذ ُ ُك ْى َٔأَخ ََٕاذ ُ ُك ْىْٛ َػه َ د ػ ِح َّ ٍَض ْؼَُ ُك ْى َٔأَخ ََٕاذ ُ ُك ْى ِي َ ضا َ انش َ أ َ ْسَِٙٔأ ُ َّي َٓاذ ُ ُك ُى انالذ Artinya:“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan ....” Ayat ini menjelaskan satu hal bahwa penyusuan anak (radha‟ah) dapat menyebabkan ikatan kemahraman, yakni perempuan yang menyusui (almurdhi‟ah) dan garis keturunannya haram dinikahi oleh anak yang disusuinya (arradhî‟). Ketiga, ayat 2 al-Hajj [22]:
ْ َضؼ اط ِ ض ُغ ُك ُّم رَا َ َ د َٔذ َ ػ ًَّا أ َ ْس َ ضؼَ ٍح ِ َ ْٕ َو ذ ََش ََْٔ َٓا ذ َ ْز َْ ُم ُك ُّم ُي ْشٚ َ َُّخ َد ًْ ٍم َد ًْهَ َٓا َٔذ ََشٖ ان َّ اب ٌذِٚشذ َ ِاَلل ُ ِاسٖ َٔ َيا ُْ ْى ت ُ َ َػز َ ٍَّ اسٖ َٔنَ ِك َ غ َك َ ع َك Artinya: “(ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu Lihat manusia dalam Keadaan mabuk, Padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat kerasnya.”
20
Keempat, ayat 7 surat al-Qashash [28]:
ِإََّاَِٙ َ َٔال ذَذْ ضِٙ ِ ّى َٔال ذَخَافَٛ ْانٙ ِّ ِفٛ ِّ فَؤ َ ْن ِقْٛ َػه ِ ِّ فَإِرَا ِخ ْفٛض ِؼ َ د ِ عٗ أ َ ٌْ أ َ ْس َ َُٕا ِإنَٗ أ ُ ِ ّو ُيْٛ َٔأ َ ْٔ َد ٍَِٛعه َ ِْك َٔ َجا ِػهُُِٕ ِيٍَ ْان ًُ ْشََٛسادُُِّٔ ِإن Artinya: “dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah Dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah seorang) dari Para rasul.” Kelima, ayat 12 surat al-Qashash [28]:
ْ َاض َغ ِي ٍْ قَ ْث ُم فَقَان َُّ ْكفُهََُُّٕ نَ ُك ْى َٔ ُْ ْى نَٚ د ٍ ْٛ ػهَٗ أ َ ْْ ِم َت َ د ْ َْم أَدُنُّ ُك ْى ِ ِّ ْان ًَ َشْٛ َػه َ َٔ َد َّش ْيَُا ٌََٕاص ُذ ِ َ Artinya: “Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuanperempuan yang mau menyusui[nya] sebelum itu; maka berkatalah saudara Musa: “Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?” Tiga ayat terakhir ini menjelaskan kisah para perempuan yang menyusui anaknya dalam sejarah, terutama berkaitan dengan masa kecil Nabi Musa. Dijelaskan betapa pentingnya air susu ibu (kandung) untuk anaknya, hingga Nabi Musa kecil dicegah oleh Allah untuk menyusu kepada perempuan lain. Dan dijelaskan pula kedahsyatan goncangan hari kiamat, bahwa semua perempuan yang tengah menyusui anaknya akan lalai tatkala terjadi kegoncangan hari kiamat tersebut. Keenam, ayat 6 surat ath-Thalaq [65]:
21
ُ ٛأ َ ْع ِكُُٕ ُْ ٍَّ ِي ٍْ َد خ َد ًْ ٍم ِ ِٓ ٍَّ َٔإِ ٌْ ُك ٍَّ أُٔالْٛ َػه ُّ ض َ ّقُٕاِٛ ض َ ُ اسٔ ُْ ٍَّ ِنر َ ُ ع َك ُْر ُ ْى ِي ٍْ ُٔجْ ِذ ُك ْى َٔال ذ َ ْس ٍَُ ُك ْى ِت ًَ ْؼ ُشٔفْٛ َٕس ُْ ٍَّ َٔأْذ ًَِ ُشٔا ت َ ض ْؼٍَ َد ًْ َه ُٓ ٍَّ فَإ ِ ٌْ أ َ ْس َ َٚ َّٗ ِٓ ٍَّ َدرْٛ ػ َه َ فَؤ َ َْ ِفقُٕا َ ض ْؼٍَ َن ُك ْى فَآذُٕ ُْ ٍَّ أ ُ ُج ٖض ُغ نَُّ أ ُ ْخ َش ِ غر ُ ْش َ َع ْشذ ُ ْى ف َ َٔ ِإ ٌْ ذَؼَا Arinya:“Tempatkanlah mereka [para istri] di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan [hati] mereka. Dan jika mereka [istri-istri yang sudah ditalak] itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan [anak-anak]mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu [segala sesuatu] dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan [anak itu] untuknya.” Sementara ayat ini menjelaskan dua hal penting berkaitan dengan penyusuan anak. Pertama, dalam ayat ini ditekankan adanya jaminan hak upah dari sang suami bagi sang istri muthallaqah (yang sudah ditalak) jika ia menyusukan anak-anaknya, di luar kewajiban nafkah yang memang harus diberikan selama belum habis masa „iddah. Kedua, adanya kebolehan dan sekaligus hak upah bagi seorang perempuan yang menyusukan anak orang lain, asalkan di musyawarahkan secara baik dan adil. b. Landasan Hadis Hadis-hadis yang terkait dengan radha‟ah adalah sebagai berikut:
ْ ع ًِ َؼ َّ َّٗصه َّ عٕ َل ص ْٕخَ َس ُج ٍم ُ ض أ َ ٌَّ َس.ػٍ ػائشح س َ ُاَلل َ عهَّ َى َكاٌَ ِػ ُْذََْا َٔأَََّ َٓا َ َٔ ِّ ْٛ ػ َه َ د َ ِاَلل ْ َصحَ قَان َّ عٕ َل َّٗصه ِ ْٛ َتٙ ْغر َؤْر ٌُِ ِفَٚ ُ ا َسَٚ ُد فَقُ ْهد َ ٙ َ د َد ْف ُّ ِرِكَ فَقَا َل انَُّثْٛ َتٙ ْغر َؤْر ٌُِ ِفَٚ اَللِ َْزَا َس ُج ٌم ٌ ُشحُ نَ ْٕ َكاٌَ ف ْ َػ ِح قَان َّ ٍْ ًّا ِن َؼ ِ ًّ َٓا ِيٛالٌ َد َ ػا ِئ َّ ٍْ صحَ ِي َ د َ ضا َ انش َ ُاَلل َ َٔ ِّ ْٛ َػه َ عهَّ َى أ ُ َساُِ فُالًَا ِن َؼ ِ ّى َد ْف )٘ػحُ ذ ُ َذ ِ ّش ُو َيا ذ ُ َذ ِ ّش ُو ْان ِٕالدَج ُ(سٔاِ انثخاس َّ فَقَا َل ََؼَ ْىٙ َّ َ ضا َ انش َ ػ ِح دَ َخ َم َ ضا َ انش َّ َػه
22
Dari Aisyah RA, bahwa suatu ketika Rasulullah berada dirumah Aisyah. Saat itu Aisyah mendengar suara laki-laki yang meminta izin masuk kerumah Hafshah. Aisyah berkata , “Ya Rasulullah! laki-laki itu meminta izin kerumah engkau .” lalu beliau menjawab, “aku lihat dia adalah anak si fulan, (anak paman Hafshah dari saudara susuan)”. kata Aisyah,” aku berkata, “wahai Rasulullah! seandainya fulan hidup (paman Aisyah dari saudaran susuan) apakah dia boleh masuk kerumahku?” beliau menjawab, “ Ya boleh, karna susuan itu menyebabkan mahram sebagaimana hubungan kelahiran.”
ْ َع إِ َّال َيا أ َ َْشَضَ ا َ ْنؼ َ َٔأ َ َْثَد,ظ َى ُ قَا َل َس:َ هللا ػُّ قَالٙػ ٍِ اِت ٍِْ َي ْغؼُٕ ٍد سض َ ضا َ َال َس:عٕ ُل ا َ ََّللِ ملسو هيلع هللا ىلص َ َٔ ( ) َس َٔاُِ أَتُٕ دَ ُأد.اَنهَّذْ َى Artinya: “Tidak disebut penyusuan kecuali yang menguatkan tulang dan menumbuhkan daging.” (HR. Abu Daud) 2
3.
Syarat Dan Rukun Radha’ah
1. Syarat Radha‟ah Menurut jumhur ulama, syarat susuan yang mengharamkan nikah ada 6 (enam) syarat yaitu :3 a) Air susu harus berasal dari manusia, menurut jumhur baik perawan atau sudah mempunyai suami atau tidak mempunyai suami; b) Air susu itu masuk kerongkongan anak, baik melalui isapan langsung dariputing payudara maupun melalui alat penampung susu seperti gelas, botoldan lain-lain; Menurut ulama Mazhab empat, terjadinya radha‟ah tidak harus melalui penyedotan pada puting susu, namun pada sampainya air susu kelambung bayi yang dapat menumbuhkan tulang dan daging. Namun mereka berbeda pendapat mengenai jalan lewatnya ASI, menurut Imam
2
Imam Muhammad bin Ismail Al Amirul Zaman Ash Shan‟any, Subulussalậm Syarah Bulụghul Marrậm, cet. ke-4 (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2006), Jilid III, hlm. 221 3 Wahbah Zuhaily,al-Fiqh …,hlm. 7283.
23
Malik dan Hanafi harus melewati rongga mulut, sedangkan menurut Hanbali adalah sampai pada lambung dan pada perut atau otak besar: c) Menurut mayoritas ulama, penyusuan yang dilakukan melalui mulut (wajur ) karena bersifat mengenyangkan sebagaimana persusuan atau melalui hidung (sa‟ut ) karena adanya sifat memberi makan, karena otak mempunyai perut seperti lambung, namun sifat memberi makan tidak disyaratkan harus melalui lubang atas, akan tetapi sampainya susu pada lambung dianggap cukup untuk menimbulkan hukum mahram. Ulama Hanafiyyah, Syafi‟iyyah dan Hanabilah mengatakan apabila susu itu dialirkan melalui alat injeksi, bukan mulut atau hidungmaka tidak menimbulkan kemahraman. Sedangkan menurut ulama Malikiyyah meskipun dengan cara ini tetap haram. Begitu juga menurut Imam Muhammad, penyuntikan ini tetap menimbulkan hukum mahram seperti batalnya puasa karena persusuan.4 d) Menurut ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah, air susu itu harus murni, tidak bercampur dengan yang lainnya. Apabila susu itu bercampur dengan cairan lainnya, maka menurut mereka harus diteliti manakah yang lebih dominan. Apabila yang dominan adalah susu, maka bisa mengharamkan nikah. Apabila yang dominan adalah cairan lain, maka tidak mengharamkan nikah.Menurut ulama Syafi‟iyyah dan Hanabilah, susu yang dicampur dengan cairan lain itu pun dianggap sama saja hukumnya dengan susu murni dan tetap mengharamkan nikah, termasuk apabila susu itu dicampur dengan susu wanita lain. Menurut Abu Hanifah dan Imam Abu Yusuf, yang haram dinikahi adalah wanita yang air susunya lebih banyak dalam campuran itu.5 Akan tetapi, menurut Muhammad bin Hasan 4
Ibnu Hammam,Syarh Fath al-Qadir , Juz III, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1995)hlm. 436, Burhanuddin, al-Hidayah Syarh Bidayah al-Mubtadi, juz II, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1990) hlm. 235 5 Wahbah Zuhaily,Op Cit …,hlm. 7284-7285
24
asy-Syaibani dan Zufar bin Hudail bin Qaisy al-Kufi, seluruh pemilik susu yang dicampur itu haram dinikahi anak tersebut, baik jumlah susu mereka sama atau salah satunya lebih banyak, karena dua susu yang dicampur masih sejenis.6 e) Menurut mazhab fikih empat dan jumhur ulama, susuan itu harus dilakukan pada usia anak sedang menyusu. Oleh sebab itu, menurut mereka apabila yang menyusu itu adalah anak yang sudah dewasa di atas usia dua tahun, maka tidak mengharamkan nikah. f) Menurut mazhab Syafi‟i dan Hanbali, penyusuan harus dilakukan dengan lima kali isapan yang terpisah, karena yang dianggap kuat dalam hal persusuan adalah persusuan menurut adat istiadatnya („urf ), ketika si bayi memisahkan diri dari penyusuan karena sudah enggan menyusu, maka dihitung menjadi radha‟ah hal itu didasarkan pada 'urf . Adapun ketika bayi memutuskan berpisah dari menyusu walau hanya sekedar istirahat, bernafas, bermainmain atau berpindah-pindah pada puting susu satu keyang satunya dari satu wanita ke wanita yang lain, kemudian dia kembali menyusu lagi maka tidak masuk dalam hitungan radha‟ah, melainkan seluruhnya dihitung satu kali isapan saja. Apabila penyusuan tersebut kurang dari lima kali isapan, maka tidak ada hukum mahram. Apabila ada keraguan (syak) dalam hitungannya, maka harus dibangun adanya keyakinan dalam penyusuan tersebut karena hal itu pada asalnya adalah tidak adanya persusuan yang menimbulkan mahram, namun meninggalkan keraguan lebih diutamakan, karena syak merupakan hal yang samar. 2. Rukun Radha‟ah Jumhur Ulama selain Abu Hanifah menetapkan bahwa rukun radha‟ah ada tiga,7 yaitu: a) Wanita yang menyusui. 6
7
Ibnu Hammam,Op Cit…,hlm. 435 Wahbah Zuhaily,al-Fiqh …,hlm. 7273
25
Wanita yang menyusui menurut beberapa pendapat ulama disyaratkan adalah seorang wanita, baik dewasa, dalam keadaan haid, hamil atau tidak. Namun, ulama berbeda pendapat tentang air susu dari wanita yang sudah meninggal.8 Menurut Syafi‟i, air susu harus berasal dari wanita yang masih hidup, sedangkan menurut Imam Hanafi dan Malik boleh meskipun wanita tersebut sudah mati.9 b) Kadar air susu. Berdasarkan Hadis Muslim dan Ahmad Nabi bersabda:
ْ ُ َذ ِ ّش ْيٍَ ش ُ َّى َُغٚ خ ٍ ِخٍَ ِت َخ ًْ ٍظ َي ْؼهُٕ َيا ٍ خ َي ْؼهُٕ َيا ٍ ض َؼا ٙ َ ػ ْش ُش َس َ ٌآ ِ ًَا أ ُ َْ ِض َل ِي ٍْ ْانقُ ْشَِٛكاٌَ ف َ ّخ فَر ُ ُٕ ِف َّ َّٗصه َّ عٕ ُل ٌآ ُ َس َ ُاَلل َ َٔ ِّ ْٛ َػه َ ِاَلل ِ ُ ْق َشأ ُ ِي ٍْ ْانقُ ْشٚ ًَاِٛعهَّ َى َٔ ُْ ٍَّ ف "Dahulu dalam Al Qur`an susuan yang dapat menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu Rasulullah saw wafat, dan ayat-ayat Al Qur`an masih tetap di baca seperti itu." (HR Muslim)
c) Anak yang menyusu; Mayoritas ulama mengatakan bahwa yang penting adalah sampainya air susu tersebut ke dalam perut bayi, sehingga membentuk daging dan tulang, baik dengan cara menghisap puting payudara dari perempuan langsung, ataupun dengan cara “”انغؼٕطas su’uth (memasukkan susu ke lubang hidungnya), atau dengan cara “”انٕجٕس/al- wujur (menuangkannya langsung ke tenggorakannya), atau dengan cara yang lain.
8
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz II, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1988) hlm.39-40 Abdurrahman al-Jaziriy, al-Fiqh … , 221-223, Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid II,(Beirut: Dar al-Fikr, tt) hlm. 191 9
26
Adapun Madzhab Dhahiriyah mengatakan bahwa persusuan yang mengharamkan hanyalah dengan cara seorang bayi menghisap puting payu dara perempuan secara langsung. Selain itu, maka tidak dianggap susuan yang mengharamkan. Mereka berpegang kepada pengertian secara lahir dari kata menyusui yang terdapat di dalam firman Allah swt:
َّ َٔأ ُ َّي َٓاذ ُ ُك ُى ػ ِح َّ ٍَض ْؼَُ ُك ْى َٔأَخ ََٕاذ ُ ُك ْى ِي َ ضا َ انش َ أ َ ْسِٙانالذ Artinya: “(Diharamkan atas kamu mengawini) Ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuan sepersusuan “ (QS.An-Nisa’: 23)
4.
Kewajiban Menyusui Dijelaskan oleh Ahmad Mushthafa al-Maraghiy, dalam kitab tafsirnya,
para ahli hukum Islam (Islamic jurists) bersepakat bahwa menyusui dalam pandangan syara‟ hukumnya wajib bagi seorang ibu kandung. Kelak sang ibu dimintai pertanggungan jawab (almas‟ûliyyah) di hadapan Allah atas kehidupan anaknya.10 Oleh Wahbah az-Zuhaily diperjelas, kewajiban ini terkena baik bagi ibu yang masih menjadi istri dari bapak anak yang disusui (ar-radhî‟) maupun istri yang sudah ditalak (al-muthallaqah) dalam masa „iddah.
11
Ibnu Abi Hatim
dan Sa‟id Ibn Zubair ketika membicarakan surat al- Baqarah [2] ayat 233 juga mengatakan hal yang sama bahwa laki-laki yang menceraikan istrinya dan memiliki seorang anak, maka ibu anak itulah yang lebih berhak untuk menyusukan
10
anaknya.
Demikian
juga
Waliyullah
ad-Dihlawy,
dengan
Ahmad Mushthafa al-Maraghiy, Tafsîr al-Marâghiy, Juz I, [Beirut: Dar Ihya‟ atTurats al-„Arabiy, t.t.], hlm. 185. 11 Wahbah az-Zuhayli, Op. Cit., hlm. 698.
27
pertimbangan rasional menyatakan bahwa ibu adalah orang yang diberi otoritas untuk memelihara bayi dan lebih menyayangi anak. Dari sejumlah pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa “menyusui” dianggap sebagai kewajiban syara‟ yang harus dipenuhi oleh setiap perempuan (ibu kandung). Pendapat ini tentu mengagetkan karena dari sejumlah ayat alQuran yang berbicara tentang persusuan tak satu pun yang menunjukkan kewajiban ini. Karena itu, perlu klarifikasi tentang bentuk kewajiban itu: apakah itu kewajiban legal-formal normative ataukah kewajiban moral-kemanusiaan? Dan dalam posisi tersebut, apakah hakim bisa memaksa kaum ibu atau tidak untuk memenuhi kewajiban itu? Pada tataran ini, para ulama juga masih berbeda pendapat. Madzhab Malikiyah, misalnya, berpendapat bahwa hakim boleh memaksa sang ibu untuk menyusui anaknya. Akan tetapi, berdasarkan surat athThalâq [65] ayat 6 madzhab Malikiyyah bersikap bahwa hukum menyusui tidak wajib bagi sang ibu yang sudah ditalak bâ`in oleh sang suami. Sementara jumhur ulama mempunyai pendapat lain, bahwa hakim tidak boleh memaksakannya, kecuali dalam kondisi dharûrat.12 Dalam pandangan jumhur ulama, kewajiban menyusui anak bagi seorang ibu lebih merupakan kewajiban moral kemanusiaan (diyânatan) ketimbang legal-formal (qadhâ`an). Maksudnya, kalau si ibu tidak mau melakukannya, suami atau pengadilan sekalipun tidak berhak memaksanya untuk menyusui. Menurut mereka, surat alBaqarah [2] ayat 233 adalah perintah anjuran (mandûb) bagi sang ibu untuk 12
Menurut al-Hamawy, darurat merupakan limit akhir keterpaksaan yang jika tidak menerjang sesuatu meski dilarang ia terancam jiwanya. Baca Hâsyiyah al-Hamawy „alâ al-Asybah wa an-Nadhâ‟ir li Ibn Nujaym, hlm. 108. Pendapat ini juga selaras dengan sebagian pendapat dari kalangan ulama Malikiyyah, Syafi‟iyyah, dan Hanabilah.
28
meyusui anaknya. Dengan kata lain, menyusui anak adalah hak bagi ibu, tetapi juga hak bagi anak untuk memperoleh susuan yang memadai. Kecuali kalau si anak tidak mau menerima air susu selain ibunya, atau si ayah tidak sanggup membayar upah ibu susuan, maka baru menjadi wajib bagi ibu untuk menyusuinya. Argumentasi bahwa menyusui adalah hak bagi ibu sekaligus juga hak bagi anak terdapat dalam surat ath-Thalâq [65] ayat 6 Dalam ayat itu dinyatakan “jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” Memperkuat pendapatnya, yang oleh ulama lain dijadikan landasan hukum wajib “menyusui”, jumhur ulama menafsiri ayat (yurdhi‟na awlâdahunna), ke dalam dua pengertian yang berkaitan. Pertama, sebagian mereka menyatakan bahwa kendatipun kalimat tersebut berbentuk kalâm khabar, tetapi bermakna insyâ`. Artinya, meski ayat tersebut memiliki arti perintah, namun, kedua, arti perintah yang terkandung dalam kalimat tersebut tidak termasuk perintah wajib. Dengan demikian, meskipun “menyusui” diperintahkan oleh Allah SWT, tetapi perintah
itu
menunjukkan
pada
dorongan
moral
kemanusiaan
untuk
menyelamatkan dan memberikan perlindungan kesehatan bagi sang anak. Meski begitu, para ahli hukum Islam memberikan ketegasan lain. Mereka bersepakat bahwa pekerjaan menyusui bisa menjadi wajib bagi seorang ibu kandung secara pasti jika terjadi dalam tiga keadaan berikut. Pertama, jika si anak tidak mau menerima air susu selain air susu ibunya sendiri. Kewajiban ini tentu lebih untuk menyelamatkan kehidupan anak dari kerusakan jasmani maupun rohani. Kedua, jika tidak ditemukan perempuan lain yang bisa meyusui, maka
29
wajib bagi ibu kandung untuk menyusui anaknya agar kehidupan dan kesehatan anak terjamin. Dan ketiga, jika tidak diketahui bapak anak itu, dan si anak itu tak memiliki biaya untuk membayar perempuan yang menyusuinya, maka ibu kandung wajib menyusuinya agar si anak tersebut tidak meninggal dunia. Ketegasan preferensial ini dikuatkan oleh pendapat ulama Syafi‟iyyah. Menurut mereka, sang ibu kandung justru wajib memberikan air susunya kepada sang bayi, terutama, pada masa awal keluarnya dari rahim. Sebab, sang bayi yang baru lahir biasanya tidak bisa hidup tanpa air susu ibunya. Dari perbincangan para ulama di sini jelaslah bahwa tugas “menyusui” adalah tugas para ibu (kaum perempuan), karena secara biologis merekalah yang dapat mengalirkan air susu sebagai minuman atau makanan bagi para bayi (anak).13 Namun, apakah tugas ini semata-mata tugas kemanusiaan yang didorong oleh kesadaran regenerasi umat manusia atau kewajiban legal-normatif kodrati selaku orang yang melahirkannya, ternyata para ulama bersilang pendapat. Dari kompilasi pendapat yang terlacak, ada benang merah yang bisa kita tarik atas perbedaan pandang ini. Kita bisa memahami bahwa meskipun dikatakan wajib syar‟iy, tetapi kewajiban ini dalam kerangka moralitas kemanusiaan. Demikian juga kita bisa memahami, meskipun dinyatakan sebagai tugas kemanusiaan, tetapi mempertimbangkan kebutuhan dlarûry bagi sang anak untuk mempertahankan kehidupannya, tugas moral ini bisa menjadi kewajiban legal bagi perempuan 13
Ini berkaitan dengan sabab an-nuzûl ayat 233 Surat al-Baqarah [2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Sa‟id bin Jubair, bahwa firman Allah “wal wâlidâtu yurdli‟na awlâdahunna hawlayni kâmilayni” berkaitan dengan seorang laki-laki yang mentalak istrinya, sementara ia memiliki seorang anak dari istri tersebut. Dalam posisi ini, maka sang istri lebih berhak dengan anak tersebut karena ia menyusuinya. Jalal ad-Din as-Suyuthiy, Op. Cit, Juz I, hlm. 687
30
(bukan ibu kandung). Tetapi di atas semua itu, adalah suatu kebajikan yang patut dilakukan oleh kaum perempuan untuk menyusui seorang anak. Dan adalah pemaksaan yang tidak manusiawi jika ibu kandung serta merta dikenai kewajiban legal menyusui anaknya, tanpa ada keseimbangan kewajiban pertanggungan dengan sang bapak. Al-Quran menjelaskan bahwa penyusuan tidak boleh menjadi sumber kesusahan bagi kedua orang tua. Asalkan suami isteri mempunyai keinginan yang sama dengan cukup tersedianya perbekalan (jaminan) untuk si ibu dalam menyusui, mereka bisa memungut perempuan lain untuk menyusui anaknya. Mempertegas konteks hukum di atas, di manakah posisi anak dan bapak kandung dalam tugas penyusuan ini? Seperti telah disebutkan berkali-kali di muka, tidak ada makanan atau minuman yang tepat bagi seorang anak yang baru lahir selain air susu ibu. Dengan begitu, kebutuhan air susu ibu betul-betul mempertaruhkan kehidupan sang anak. Maka, adalah menjadi hak (asasi) bagi seorang anak untuk memperoleh air susu ibu secara memadai. Posisi ini haruslah disesuaikan dengan penempatan radhâ‟ah pada konteks hak-hak anak dalam literatur fiqh. Sementara posisi bapak yang secara biologis tidak mungkin bisa “menyusui” adalah memberikan perlindungan kepada keduanya (ibu dan anak), baik yang bersifat ekonomi maupun non-ekonomi, sehingga penyusuan ini dapat berjalan sesuai dengan kebutuhan anak. Bapak (suami) secara ekonomi wajib memberikan nafkah baik kepada ibu (istrinya) maupun kepada anaknya.14 Kepada anaknya, bapak mempunyai lima kewajiban nafkah, yaitu [1] upah susuan, [2] 14
Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghi, Juz I [Beirut: Dar Ihya` at-Turats al-„Arabiy, t.t.], hlm. 185
31
upah pemeliharaan, [3] nafkah kehidupan sehari-hari, [4] upah tempat pemeliharaan, dan [5] upah pembantu jika membutuhkannya. Lima hal ini diberikan kepada siapa saja yang melakukan kerja “menyusui” dan memelihara anak, termasuk kepada istrinya sendiri. 5.
Hak Upah Susuan Jika seorang perempuan menyusui anaknya sendiri, apakah ia berhak
menuntut upah atas susuannya itu? Kepada siapakah sang perempuan itu menuntut upahnya? Jawabannya, tentu tergantung dari kondisi sang perempuan itu sendiri dalam hubungannya dengan suami. Wahbah az-Zuhaily dalam konteks ini menjelaskan tiga kondisi sang perempuan ketika menyusui, dan masingmasing terdapat hukumnya, yang semuanya berkaitan dengan kewajiban nafkah. 15 Kondisi pertama, menurut ulama Hanafiyyah, Syafi‟iyyah, dan Hanabilah, jika sang perempuan yang menyusui itu masih dalam ikatan perkawinan atau di tengah-tengah „iddah dari talak raj‟iy, maka ia tidak berhak menuntut upah secara spesifik dari susuannya. Karena dalam kondisi ini, sang suami masih berkewajiban memberikan nafkah kepada sang istri, maka istri tidak boleh menuntut upah ujrah yang lain meskipun sebagai imbangan menyusui. Kebutuhan menyusui bisa dimasukkan ke dalam jumlah besarnya nafaqah sehari-hari. Akan tetapi, pada kondisi kedua, jika sang perempuan yang menyusui sudah ditalak dan selesai dari „iddah, atau dalam „iddah wafat, disepakati oleh para ulama bahwa sang perempuan boleh menuntut upah atas susuannya itu, dan ayah dari anak yang disusuinya wajib memberikan upah itu secara adil. Sebab, 15
Ibn ar-Rusyd al-Qurthubiy al-Andulusiy, Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid, Juz I, [t.tp.: t.p., t.t.], hlm. 30. Baca juga Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid II, hlm. 700-701.
32
bagi istri yang sudah ditalak dan habis „iddahnya atau dalam „iddah wafat dalam ketentuan fiqhsudah tidak ada lagi nafkah yang harus diterimanya dari sang suami. Hal ini didasarkan pada ayat 6 Surat Ath-Thalâq [65]:
ٍَُ ُك ْى تِ ًَ ْؼ ُشٔفْٛ َٕس ُْ ٍَّ َٔأْذ ًَِ ُشٔا ت َ فَإ ِ ٌْ أ َ ْس َ ض ْؼٍَ نَ ُك ْى فَآذُٕ ُْ ٍَّ أ ُ ُج Artinya:… kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik… ). Menurut sebagian ulama Hanafiyah, pada kondisi ketiga, jika sang perempuan yang menyusui itu masih dalam „iddah talak bâ`in, maka ia berhak menuntut upah dari susuannya. Ini didasarkan pada kenyataan hukum bahwa status perempuan yang ditalak bâ‟in sama dengan perempuan yang tidak memiliki hubungan perkawinan (al-ajnabiyyah): ia tidak lagi memperoleh hak nafkah. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh ulama Malikiyyah. Alasan mereka, surat ath-Thalâq [65] ayat 6 diatas, adalah pernyataan yang tegas tentang tuntutan hak upah atas susuan bagi perempuan yang ditolak bâ`in. Dalam ayat yang sama, terutama pada lafadz [ٖض ُغ نَّ ُ أ ُ ْخ َش ِ غر ُ ْش َ َع ْشذ ُ ْى ف َ ] َٔ ِإ ٌْ ذَؼَا (…dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya), sang ayah juga wajib memberikan upah yang adil kepadanya, apabila mereka memang istirdhâ‟ (meminta bantuan orang lain untuk menyusukan anaknya). Sampai kapan hak upah susuan itu berlaku? Mengenai batasan waktu pemberlakuan hak upah susuan, para ahli hukum Islam bersepakat hanya dua tahun saja dari usia anak. Tidak adanya perbedaan ini karena ketegasan surat al-Baqarah [2] ayat 233. Ayat ini menegaskan bahwa seorang ayah wajib
33
memberikan upah susuan kepada perempuan yang menyusuinya sampai dengan usia anak dua tahun. Ini dibebankan karena sang ayah berkewajiban memberikan nafkah kepada anak dan istrinya. Sedangkan mengenai besar upah susuan, fiqh tidak mengaturnya secara rinci dalam bentuk angka atau prosentase. Ditentukan bahwa upah susuan yang harus diberikan adalah upah mitsil, yakni upah kepatutan-sosial yang pada umumnya diterima oleh perempuan lain ketika ia menyusui seorang bayi di tempat dan di mana upah itu diberikan. Keputusan tentang jumlah besar soal ini sepertinya
diserahkan
pada
keputusan
masyarakat
sendiri
dengan
mempertimbangkan keadilan sosial yang berlaku pada masanya dan saatnya. Tentu saja ukuran keadilan menurut satu masyarakat dengan masyarakat lain berbeda-beda, karena itu besar upah pun dapat berbeda-beda asalkan memenuhi rasa keadilan di antara pihak yang terlibat. 6.
Waktu Penyapihan Dalam tradisi kita, dikenal luas istilah “penyapihan anak” yaitu masa
pemutusan atau pemberhentian penyusuan anak dari ibunya. Oleh masyarakat, cara ini dilakukan dengan berbagai bentuk. Di antaranya adalah dengan memisahkan (paksa) anak dari pergaulan ibunya sehari-hari, atau sang ibu memakan makanan yang membuat rasa air susunya tidak disukai oleh anak, sehingga sang anak tidak lagi mau menyusu. Ini dilakukan dengan berbagai motif, diantaranya adalah karena memang sudah tiba saatnya anak untuk disapih, akibat ada masalah dengan payudara ibu, atau karena keengganan ibu untuk menyusui anaknya.
34
Berkaitan dengan kasus ini, al-Quran tegas menyatakan bahwa batas waktu boleh menyapih sebaiknya adalah ketika anak telah berusia dua tahun.
Batas
waktu
ini berkait dengan batas maksimum kesempurnaan
menyusui. Karena itu, sifat batas waktu ini tidak imperatif (ghairu mulzimun bih), tetapi lebih sebagai hendak
disapih
dimusyawarahkan
keutamaan
sebelum dan
dan
batas
dipertimbangkan
kesempurnaan. Apabila memang
maksimum secara
ini,
maka
sebaiknya
matang antara bapak dan
ibunya. Musyawarah penting dilakukan untuk menjamin hak-hak anak dalam memperoleh kehidupan dan kesehatan yang layak, dan jangan sampai penyusuannya membuat kesengsaraan (madlarat) bapak maupun ibu anak itu. Ini ditegaskan dalam surat al-Baqarah [2] ayat 233, surat Luqmân [31] ayat 14, dan surat al-Ahqâf [46] ayat 15. Padahal boleh jadi penyapihan ini, terutama apabila kurang dari dua tahun, biasa berdampak negatif bagi anak. Oleh karena itu, ketentuan Allah di atas menjadi penting baik dalam konteks pemeliharaan hak-hak anak untuk memperoleh susuan maupun dalam konteks penghargaan hakhak ibu untuk menikmati kesehatan dan kenyamanan dalam kehidupannya. Atas dua pertimbangan ini, Allah swt memberikan keringanan (rukhshah), bisa menyapih anak kurang dari usia dua tahun asalkan telah dimusyawarahkan di antara bapak dan ibu. Sebab diakui dalam kenyataan kehidupan anak-anak ada di antara mereka yang sudah mampu memakan makanan yang keras (taghaddi) sebelum berusia dua tahun. Akan tetapi, dalam konteks ini diperlukan pertimbangan yang masak dan kehati-hatian yang tinggi dari orang tua. Karena merekalah yang paling menyayangi dan mengetahui rahasia anak. Orang tua
35
dilarang melakukan hal-hal yang memadharat-kan anak. Demikian juga anak tidak boleh menjadi madlarat bagi kehidupan orang tuanya.
B. JUAL-BELI DALAM HUKUM ISLAM 1. Pengertian Jual-Beli Jual-beli menurut bahasa artinya menukar sesuatu dengan sesuatu, sedang menurut syara‟ artinya menukar harta dengan harta menurut cara-cara tertentu („aqad)16 Jual-beli secara lughawi adalah saling menukar. Jual-beli dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah al-bay‟. Menurut syari‟at Islam jual-beli adalah pertukaran harta atas dasar saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan ganti yang dapat dibenarkan.17 Menurut
terminologi,
para
ulama
berbeda
pendapat
dalam
mendefinisikannya, antara lain : 1. Menurut ulama Hanafiyah : jual –beli adalah pertukkaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).” 2.
Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu‟ : Jua-beli adalah “ pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.”
3.
Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-mugni : Jual- beli adalah “ pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.” Pengertian lainnya jual-beli ialah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak
yang
menyerahkan/menjual
yang
16
barang) dan
pembeli
(sebagai
pihak
Moh Rifa‟i,Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Toha Putra,Semarang:1978), hlm. 402 Ali Imran,Fikih Taharah, Ibadah Muamalah, (Cipta Pustaka Media Perintis, Bandung:2011), hlm.23 17
36
membayar/membeli barang yang dijual).Pada masa Rasullallah SAW harga barang itu dibayar dengan mata uang yang terbuat dari emas (dinar) dan mata uang yang terbuat dari perak (dirham). 2. Landasan Hukum Jual Beli Landasan atau dasar hukum mengenai jual-beli ini disyariatkan berdasarkan al-Quran, Hadis Nabi, dan Ijma‟ yaitu: 1. Al-quran. Dasar dari jual-beli itu tercantum dalam al_Quran surat Al-Baqarah ayat: 275:
َّ َٔأ َ َد َّم انشتَا ّ ِ َغ َٔ َد َّش َوْٛ َاَللُ ْانث Artinya: “ Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. Kemudian dalam al-quran surat An-Nisa ayat 29 :
اض ِي ُْ ُك ْى َٔال ِ َُ ُك ْى ِت ْان َثْٛ ٍََ آ َيُُٕا ال ذ َؤ ْ ُكهُٕا أ َ ْي َٕانَ ُك ْى تُِّٚ َٓا انَّزَٚا أَٚ ٍ ػ ٍْ ذ ََش َ ً اسج َ اط ِم ِإال أ َ ٌْ ذ َ ُكٌَٕ ِذ َج َّ ٌَّ ِغ ُك ْى إ ًًاٛاَللَ َكاٌَ تِ ُك ْى َس ِد َ ُذ َ ْقرُهُٕا أ َ َْف Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
2. Sunah/Hadis
َ ٖملسو هيلع هللا ىلصَََّ ا ْشر ََش ََُُّْ ٘ ِإنَٗ أ َ َج ٍم َٔ َس ِ ٙ ٍّ َ ُٕٓ ِدٚ ٍْ طؼَايا ً ِي ََّ ُِػٍ ػائشح سضٗ هللا ذؼانٗ ػُٓا أ َ ٌَّ انَُّث ٍذِٚد ِْسػا ً ِي ٍْ َدذ
37
Artinya: Dari „Aisyah radliyallaahu „anhaa : “Bahwasannya Nabi shallallaahu „alaihi wasallam pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran tertunda dan menggadaikan baju besinya sebagai boroh atau gadai” [HR. Bukhari no. 2068]
َّ ػ ْث ِذ ُ ْ ٍُْ ذُ تٚ ِضَٚ ٗ َدذَّشََُاَٛ ْذَٚ ٍُْ َدذَّشََُا مَحُمََُّ ت ِاَلل َ ٍِْ ػ ٍْ َجا ِت ِش ت َ َ ََض َْشجِٙػ ٍْ أَت َ ِ٘ َ ٌََٔاس ّ ِْشٚػ ٍْ ْان ُج َش َّ َٔ َاس َّ َّٗصه ْغ ِف ُشَٚ ُاَلل ِ َ ُغٛ أَذ َ ِثٙ غ َْض َٔجٍ فَقَا َل ِنِٙعهَّ َى ف َ ُاَلل ٍ َُِٚاض َذكَ َْزَا ِتذ َ َٔ ِّ ْٛ َػه َ ِٙ ّ قَا َل ُك ُْدُ َي َغ انَُّ ِث َّ َٔ ٍِْ َٚاس َّ عٕ َل ْغ ِف ُش نَكَ قَا َل فَ ًَاَٚ ُاَلل ُ ا َسَٚ ُنَكَ قُ ْهد ِ َ َٕ ُْ ِاَلل َ ُِٚؼُُّ ِتذَُٛحَ قَا َل فَر َ ِثِْٚدُ ْان ًَذََٛاض ُذ ُك ْى ِإرَا أَذ َّ َٔ َاس َاسا فَهَ ًَّا ً ٍَُِٚ دٚ ْغ ِف ُش َنكَ َدرَّٗ َتهَ َغ ِػ ْش ِشَٚ ُاَلل ً َُِٚاسا د ً ُِٚ دَِٙ ُذٚ ِضَٚ صَ ا َل ٍ َُِٚقُٕ ُل َي َكاٌَ ُك ِّم دَٚٔ َاسا َّ َّٗصه ٍْ ْط ِّ ِي ِ ا ِت َال ُل أَػَٚ عهَّ َى فَقَا َل َ ُاَلل ِ ََُُّحَ أ َ َخ ْزخُ ِت َشأْ ِط انِْٚدُ ْان ًَذَٛأَذ َ َٔ ِّ ْٛ َػه َ ٙ َّ ْدُ ِت ِّ انَُّ ِثَٛ اضخِ فَؤَذ َ َْ َاسا َٔقَا َل ا ََاض ِذكَ فَا ْرَْةْ ِت ِّ ِإنَٗ أ َ ْْهِك ً ٍَُِٚ دٚ ًَ ِح ِػ ْش ِشُِٛ َْانغ ِ ُط ِه ْق ِت Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun dari Al Jurairi dari Abu Nadlrah dari Jabir bin Abdullah ia berkata, "Ketika aku bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam satu peperangan, beliau bertanya kepadaku: "Apakah kamu bersedia menjual alat penyiram ini dengan satu dinar, dan Allah akan mengampunimu?" Aku menjawab, "Wahai Rasulullah, alat itu akan menjadi milikmu jika aku telah sampai Madinah." Beliau bersabda: "Apakah kamu bersedia menjualnya dengan dua dinar, dan Allah akan mengampunimu?" Jabir berkata, "Beliau terus saja menambah harga satu dinar demi satu dinar, dan di setiap penambahan satu dinar beliau mengatakan: 'Dan Allah akan mengampunimu', hingga mencapai dua puluh dinar. Ketika aku sampai Madinah, aku mengambil kepala alat penyiram dan membawanya menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau lalu bersabda: "Wahai Bilal, beri dia dua puluh dinar dari harta rampasan perang." Kemudian beliau bersabda lagi: "Ambillah alat penyiram itu, dan bawalah kepada keluargamu." [ H,R. Ibnumajah no. 2196]
3.Ijma‟ Ulama telah sepakat bahwa jual -beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang
38
lainnya yang sesuai. Mengacu kepada ayat-ayat Al Qur‟an dan hadist, hukum jualbeli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum jual-beli itu bisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan makruh. Berikut ini adalah contoh bagaimana hukum jual-beli bisa berubah menjadi
sunnah,
wajib,
haram,
atau
makruh.
Jual-beli
hukumnya
sunnah,misalnya dalam jual-beli barang yang hukunya menggunakan barang yang diperjual-belikan itu sunnah seperti minyak wangi. Jual-beli hukumnya wajib, misalnya jika ada suatu ketika para pedagang menimbun beras, sehingga
stok
beras
sedikit
dan
mengakibatkan
harganya
pun
melambung tinggi. Maka pemerintah boleh memaksa para pedagang beras untuk menjual beras yang ditimbunnya dengan harga sebelum terjadi pelonjakan harga. Menurut Islam, para pedagang beras tersebut wajib menjual beras yang ditimbun sesuai dengan ketentuan pemerintah. Jual-beli hukumnya haram, misalnya jual-beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat yang diperbolehkan dalam Islam, juga mengandung unsur penipuan. Jual-beli hukumnya makruh, apabila barang yang dijual-belikan ituhukumnya makruh seperti rokok.
3. Rukun dan Syarat Jual-Beli
39
Rukun dan syarat jual-beli adalah ketentuan-ketentuan dalam jual-beli yang harus dipenuhi agar jual belinya sah menurut syara‟ (hukum Islam). Rukun jual-beli 3 yaitu sebagai berikut:18 1. Dua pihak membuat akad penjual dan pembeli. 2. Objek akad (barang dan harga). 3. Ijab qabul (perjanjian/persetujuan). a)
Orang yang melaksanakan akad jual-beli ( penjual dan pembeli ).
Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh penjual dan pembeli adalah : 19 1. Berakal, jual belinya orang gila atau rusak akalnya dianggap tidak sah. 2.
Baligh, jual belinya anak kecil yang belum baligh dihukumi tidak sah. Akan tetapi, jika anak itu sudah mumayyiz (mampu membedakan baik atau buruk), dibolehkan melakukan jual-beli terhadap barang-barang yang harganya murah seperti : permen, kue, kerupuk, dll.
3.
Berhak menggunakan hartanya. Orang yang tidak berhak menggunakan harta milik orang yang sangat bodoh (idiot) tidak sah jual belinya.
b) Sighat atau Ucapan Ijab dan Kabul. Ulama fikih sepakat, bahwa unsur utama dalam jual-beli adalah kerelaan antara penjual dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkan melalui ucapan ijab (dari pihak penjual) dan kabul (dari pihak pembeli). Adapun syarat-syarat ijab kabul adalah : 1. Orang yang mengucap ijab kabul telah akil baliqh. 18
Rahmat Syafe‟i,Fiqih Muamalah untuk UIN,STAIN, PTANIS, dan Umum, (Pustaka Setia, Bandung:2006), hlm: 74-75 19 Ibid, hal: 76
40
2. Kabul harus sesuai dengan ijab. 3. Ijab dan kabul dilakukan dalam suatu majlis. c)
Barang Yang Diperjual Belikan
Barang yang diperjual-belikan harus memenuhi syarat-syarat yang diharuskan, antara lain : 1. Barang yang diperjual-belikan itu halal. 2 . B a r a n g i t u a d a m a n f a a t n ya . 3. Barang itu ada ditempat, atau tidak ada tapi ada ditempat lain. 4. Barang itu merupakan milik si penjual atau dibawah kekuasaanya. 5. Barang itu hendaklah diketahui oleh pihak penjual dan pembeli dengan jelas, baik zatnya, bentuknya dan kadarnya, maupun sifat-sifatnya. d) Nilai tukar barang yang dijual Adapun syarat-syarat bagi nilai tukar barang yang dijual itu adalah : 1. Harga jual disepakati penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya. 2. Nilai tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli, walaupun secara hukum, misalnya pembayaran menggunakan kartu kredit. 3. Apabila jual-beli dilakukan secara barter atau Al-muqayadah (nilai tukar barang yang dijual bukan berupa uang tetapi berupa uang).
4. Hukum Jual Beli
41
Secara asalnya, jua-beli itu merupakan hal yang hukumnya mubah atau dibolehkan. Sebagaimana ungkapan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah : dasarnya hukum jual-beli itu seluruhnya adalah mubah, yaitu apabila dengan keridhaan dari kedua-belah pihak. Kecuali apabila jual-beli itu dilarang oleh Rasulullah SAW. Atau yang maknanya termasuk yang dilarang beliau SAW.20
5. Macam-Macam Jual Beli Menurut para jumhur ulama jual-beli dapat ditinjau dari beberapa segi, di lihat dari segi hukumnya, jual-beli ada 3 macam yaitu :21 1) Jual-beli yang sah, adalah jual-beli yang telah memenuhi ketentuan syara‟, baik rukun maupun syaratnya, syarat jual-beli antara lain : 1. Barangnya suci 2. Bermanfaat 3. Milik penjual (dikuasainya ) 4. Bisa di serahkan 5. Di ketahui keadaannya 2) Jual-beli yang batal, adalah jual-beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun sehingga jual-beli menjadi rusak (fasid). Dengan kata lain, menurut jumhur ulama, rusak dan batal memiliki arti yang sama. Adapun ulama hanafiyah membagi hukum dan sifat jual-beli menjadi sah, batal, dan rusak. 3) Jual-beli yang di larang dalam Islam Jual-beli yang dilarang dalam Islam sangatlah banyak menurut jumhur ulama. Berkenaan dengan jual-beli yang di larang dalam Islam, Wahbah Al-Juhalili meringkasnya sebagai berikut : a) Terlarang Sebab Ahliah (Ahli Akad )
20
Mahmud Yunus, dan Nadlrah Naimi,Fiqih Muamalah, (CP. Ratu Jaya, Medan: 2011), hlm.104-105 21 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2010), hlm. 292
42
Ulama telah sepakat bahwa jual-beli dikategorikan sahih apabila dilakukan oleh orang yang baligh, berakal, dan dapat memilih, dan mampu bertasharruf secara bebas dan baik. Mereka yang di pandang tidak sah jual belinya adalah berikut ini : 1. Jual-beli orang gila Ulama fiqih sepakat bahwa jual-beli orang gila tidak sah. Begitu pula sejenisnya, seperti orang mabuk, sakalor, dan lain-lain. 2. Jual-beli anak kecil Menurut ulama fiqih jual-beli anak kecil di pandang tidak sah, kecuali dalam perkara – perkara yang ringan atau sepele. Menurut ulama Syafi‟iyah, jual-beli anak mimayyiz yang belum baligh, tidak sah sebab tidak ada ahliyah. Adapun menurut ulama Malikiyyah, Hanafiyyah, dan Hanabilah, jual-beli anak-anak kecil dianggap sah jika diizinkan walinya. Mereka antara lain beralasan, salah satu cara untuk melatih kedewasaan adalah dengan cara memberikan keleluasaan untuk jual beli, juga pengamalan atas firman Allah, yang artinya:
ِٓ ْى أ َ ْي َٕانَ ُٓ ْىْٛ َر َا َيٗ َدرَّٗ ِإرَا َتهَغُٕا انُِّ َكا َح فَإ ِ ٌْ آََ ْغر ُ ْى ِي ُْ ُٓ ْى ُس ْشذًا فَا ْدفَؼُٕا ِإنَٛ َٔا ْترَهُٕا ْان َ ٌَ ْك َث ُشٔا َٔ َي ٍْ َكاَٚ ٌْ َ اسا أ شاٛ ْ َ ْغر َ ْؼ ِفًّٛا فَ ْهُِٛغ ً ف َٔ َي ٍْ َكاٌَ فَ ِق ً ََٔال ذ َؤ ْ ُكهَُْٕا ِإع َْشافًا َٔ ِتذ َّ ِٓ ْى َٔ َكفَٗ ِتْٛ َػه ثًاِٛاَللِ َدغ ِ ؤ ْ ُك ْم ِت ْان ًَ ْؼ ُشَٛ فَ ْه َ ِٓ ْى أ َ ْي َٕانَ ُٓ ْى فَؤ َ ْش ِٓذ ُٔاْٛ َٔف فَإِرَا دَفَ ْؼر ُ ْى ِإن Artinya: “ dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapat mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. (Q.S. An-Nisa‟ :6) 3. Jual-beli orang buta Jual-beli orang buta di kategorikan sahih munurut jumhur ulama jika barang yang dibelinya diberi sifat ( diterangkan sifat-sifatnya ). Menurut Safi‟iyah, jual-beli orang buta tidak sah sebab ia tidak dapat membedakan barang yang jelek dan yang baik. 4. Jual-beli terpaksa
43
Menurut ulama Safi‟iyah dan Hanabilah, jual-beli ini tidak sah , sebab tidak ada keridaan ketika akad. 5. Jual-beli fudhul Adalah jual-beli milik orang tanpa seizinnya. Munurut Hanafiyah dan Malikiyah, jual-beli di tangguhkan sampai ada izin pemilik. Menurut Safi‟iyah dan Hanabilah, jual-beli fudhul tidak sah. 6. Jual-beli orang yang terhalang Maksudnya adalah terhalang karena kebodohan, bangkrut ataupun sakit. b) Terlarang Sebab Ma‟qud Alaih ( barang jualan ) Secara umum, ma‟qud alaih adalah harta yang di jadikan alat pertukaran olah orang yang akad, yang biasa di sebut mabi‟ (barang jualan) dan harga. 1
Jual-beli benda yang tidak ada atau di khawatirkan tidak ada
2
Jual-beli barang yang tidak dapat di serahkan
3
Jual-beli gharar atau di sebut juga dengan jual-beli yang tidak jelas (majhul)
4
Jual-beli barang yang najis dan yang terkena najis.
5
Jual-beli barang yang tidak ada ditempat akad (ghaib), tidak dapat dilihat.
c) Terlarang sebab syara‟ 1. Jual-beli riba 2. Jual-beli barang yang najis Barang yang diperjual belikan harus suci dan bermanfaat untuk manusia. Tidak boleh (haram) berjual-beli barang yang najis atau tidak bermanfaat seperti: arak, bangkai, babi, anjing, berhala, dan lain-lain. Nabi saw. Bersabda ;
)ٌغاٛ (سٔاِ انش. صُ َِاو ْ َ ِْش َٔاألٚر َ ِح َٔ ْان ِخ ُْ ِضْٛ ًَ َغ اْن َخ ًْ ِش َٔ ْانْٛ َا ٌِّ ا هللَ ذؼانٗ َد َّشو ت
44
Artinya : “ Nabi bersabda : Allah ta‟ala melarang jual-beli arak, bangkai, babi, anjing, dan berhala.”(bukhari dan muslim)22 3. Jual-beli dengan uang dari barang yang diharamkan 4. Jual-beli barang dari hasil pencegatan barang 5. Jual-beli waktu ibadah sholat jum‟at, 6. Jual-beli anggur untuk dijadikan khamar 7. Jual-beli induk tanpa anaknya yang masih kecil 8. Jual-beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain 9. Jual-beli memakai syarat.
22
Moh. Rifa‟i,dkk, Terjamah khulasah kifayatul akhyar, (cv.Toha putra ,Semarang, 1978), hlm. 184