BAB II HUKUM JUAL BELI DALAM ISLAM A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli 1. Pengertian Jual Beli Jual beli menurut bahasa (etimologi) mempunyai pengertian sebagaimana dikemukakan oleh Imam Taqiyuddin dalam kitab al-Ahyar, yaitu1 ﺍﻋﻄـﺎﺀ ﺷﻲﺀ ﰱ ﻣﻘﺎﺑﻠﺔ ﺷﻲﺀartinya : Memberikan sesuatu untuk ditukarkan dengan sesuatu yang lain. Perkataan jual beli sebenarnya terdiri dari dua kata yaitu : “ jual dan beli” sebenarnya kata “ jual” dan “ beli” mempunyai arti yang satu sama lain bertolak belakang. Kata jual menunjukkan bahwa adanya perbuatan menjual sedangkan beli adalah perbuatan membeli.2 Sedangkan menurut Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya at-Fiqh ‘al-Madhzahib al-Arba’ah menjelaskan bahwa jual beli adalah 3
ﻣﻘﺎﺑﻠـﺔ
ﺷﻲﺀ ﺑﺸﻰﺀartinya saling menerima sesuatu dengan sesuatu yang lain. Adapun jual beli secara istilah (terminology) menurut ahli fiqh,
diantaranya adalah Zainuddin bin Abdul Azizi al-Malibari al-Fanani yang mengemukakan bahwa jual beli, adalah : 1
Imam Taqiyuddin, Kifayah al-Ahyar, Juz I, Beirut : Dar al-Kutb al-Ilmiyah, t.th, hlm.
239 2
Chairuman Pasaribu, et.all., Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 1996, Cet. II, hlm. 33 3 Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Juz III, Beirut : dar alKutub al-Ilmiyyah, t.th., hlm. 134
12 4
ﻣﻘﺎﺑﻠﺔ ﲟﺎﻝ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻪ ﳐﺼﻮﺹ
Artinya : “ Menukar sejumlah harga dengan harga (yang lain) dengan cara yang khusus” . Sedangkan menurut Muhammad bin Isma’il as-Shan’ani dalam kitabnya Subul al-Salam mendefinisikan : 5
ﲤﻠﻴﻚ ﻣﺎﻝ ﲟﺎﻝ ﺑﺎﻟﺘﺮﺍﺿﻲ
Artinya: “ Suatu pemilikan harta dengan harta yang lain dengan saling merelakan” . Dan definisi di atas dapat diketahui bahwa jual beli adalah proses tukar menukar barang seseorang (penjual) dengan seseorang yang lain (pembeli), yang dilakukan dengan cara-cara tertentu yang menyatakan kepemilikan untuk selamanya dan didasari saling merelakan. 2. Dasar Hukum Jual Beli Dengan demikian, maka dalam jual beli itu akan melibatkan dua pihak, dimana satu pihak menyerahkan uang sebagai pembeli, dan pihak lain menyerahkan barang sebagai ganti atas uang yang diterimanya (penjual). Yang menjadi dasar hukum tentang disyariatkannya jual beli baik di dalam al-Quran maupun hadits Rasulullah Saw, diantara dasar hukum jual beli adalah :
4
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fannani, Fathul Mu’in, Terj. Moch. Anwar,
et.all, Fathul Mu’in, Jilid I, Bandung: Sinar Baru Algensindo, cet. I, 1994, hlm. 763. 5 Imam Muhammad bin Isma’il as-Shan’ani, Subul al-Salam, Juz III, Beirut : Dar al-Fikr, t.th., hlm. 3
13
ﺎﺮﺑ ﻡ ﺍﻟ ﺮ ﺣ ﻭ ﻊ ﻴﺒﻪ ﺍﹾﻟ ﺣﻞﱠ ﺍﻟﱠﻠ ﻭﹶﺃ Artinya : “ Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah: 275).6 Dari ayat tersebut di atas, jelas bahwa Allah telah menghalalkan jual beli kepada hamba-Nya dengan jalan yang baik. Dan melarang keras jual beli yang mengandung riba dan mengarah pada bentuk yang merugikan orang lain, dalam ayat lain Allah juga menegaskan:
ﻦ ﻋ ﺭ ﹰﺓ ﺎﺗﻜﹸﻮ ﹶﻥ ِﺗﺠ ﺎ ِﻃ ِﻞ ِﺇﻟﱠﺎ ﹶﺃ ﹾﻥﻢ ﺑِﺎﹾﻟﺒ ﻨ ﹸﻜﻴﺑ ﻢ ﺍﹶﻟ ﹸﻜﻣﻮ ﺗ ﹾﺄﻛﹸﻠﹸﻮﺍ ﹶﺃ ﻮﺍ ﻟﹶﺎﻣﻨ ﻦ ﺀَﺍ ـﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻳﻬﺎﹶﺃﻳ ﺎﺭﺣِﻴﻤ ﻢ ﻪ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ِﺑ ﹸﻜ ﻢ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ ﺴﻜﹸ ﻧﻔﹸﻠﹸﻮﺍ ﹶﺃﺗ ﹾﻘﺘ ﻭﻟﹶﺎ ﻢ ﻨ ﹸﻜﺽ ِﻣ ٍ ﺍﺗﺮ Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” . (QS. An-Nisaa’: 29).7 Ayat di atas menjelaskan bahwa hukum asal jual beli adalah mubah (boleh). Akan tetapi menurut As-Syatibi hukum jual beli, dapat berubah menjadi wajib pada keadaan tertentu.8 Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa Allah membolehkan jual beli dengan cara yang baik dan sesuai dengan ketentuan hukum Islam, yaitu jual beli yang jauh dan tipu daya, unsur riba, paksaan, kebatilan serta didasarkan atas suka sama suka dan saling merelakan (ikhlas).
6
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1996, hlm. 36 7 Ibid., hlm. 6 8 Abdul Aziz Dahlan, et.all., Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 828
14 Sedangkan
dalam
sebuah
hadits
Nabi
Muhammad
Saw,
diantaranya adalah:
ﻋـﻦ ﺭﻓﺎﻋـﺔ ﺑﻦ ﺭﺍﻓﻊ ﺍﻥ ﺭﺳﻮ ﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺳﺌﻞ ﺃﻱ ﺍﻟﻜﺴﺐ ﻋﻤﻞ ﻟﺮﺟﻞ ﺑﻴﺪﻩ ﻭﻛﻞ ﺑﻴﻊ ﻣﱪﻭﺭ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ ﻭﺻﺤﺤﻪ: ﺃﻃـﻴﺐ؟ ﻗـﺎﻝ 9
(ﺍﳊﺎﻛﻢ
Artinya : “ Dari Rifa’ah bin Rufi’ sesungguhnya Rasulullah Saw pernah bersabda saat ditanya tentang usaha apakah yang paling baik? Rasulullah menjawab : usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (jujur). (HR. al-Hazar dan disahkan oleh al-Hakim). Dan hadits tersebut dapat dipahami bahwa usaha yang paling baik adalah usaha sendiri tanpa menggantungkan diri pada orang lain dan setiap jual beli yang dilakukan dengan kejujuran tanpa ada kecurangan. Sehingga mendapat berkah dan Allah.
B. Rukun dan Syarat Jual Beli Setiap aktivitas apapun namanya baik yang berkaitan dengan ibadah maupun muamalah dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Muhtar Yahya dan Fathurahman bahwa setiap sesuatu yang telah ditetapkan oleh Syar’i terdapat beberapa persyaratan, maka ia tidak akan berwujud jika tidak ada syarat-syarat tersebut, sebagaimana halnya ia tidak akan berwujud jika tidak terwujudnya rukun-rukunnya.10
9
Imam Muhammad bin Ismai’il as-Sha’ani, op.cit., hlm. 4 Muhtar Yahya dan Fatturahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung : al-Ma’arif, Cet. I, 1998, hlm. 149 10
15 Oleh karena perjanjian jual beli merupakan perbuatan hukum yang mempunyai konsekuensi terjadinya peralihan hak atas sesuatu barang dari pihak penjual kepada pihak pembeli, maka dengan sendirinya dalam perbuatan hukum ini haruslah dipenuhi rukun dan syarat sahnyajual beli. Menurut penulis pada prinsipnya jual beli dapat dikatakan sah apabila memenuhi rukun dan syarat-syaratnya yaitu: 1. Rukun Jual Beli Adapun yang menjadi rukun dalam jual beli menurut Jumhur ulama’ itu ada tiga : a. Sighat (lafal ijab dan qahul) b. Orang yang berakad (penjual dan pembeli) c. Ada barang yang dibeli11 Dalam suatu perbuatan jual beli, tiga rukun ini hendaklah dipenuhi, apabila salah satu rukun tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut tidak dikategorikan sebagai perbuatan jual beli. 2. Syarat Sahnya Jual Beli Agar suatu jual beli yang dilakukan oleh pihak penjual dan pihak pembeli sah, maka harus memenuhi syarat-syarat yaitu: a. Tentang subyeknya b. Tentang obyeknya, dan c. Tentang lafad 2.a. Tentang Subyeknya 11
Abdurrahman al-Jaziri, op.cit., hlm. 141
16 Termasuk syarat jual beli adalah adanya aqid, yaitu adanya penjual dan pembeli atau dengan kata lain bahwa jual beli tidak akan terlaksana jika tidak ada keduanya. Bahwa kedua belah pihak yang melakukan jual beli tersebut haruslah memenuhi beberapa persyaratan, antara lain: 1) Orang yang melakukan transaksi tersebut sudah mumayyiz, yaitu dapat membedakan antara mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan demikian tidak sah jual beli yang dilakukan oleh anak yang belum mumayyiz. 2) Jual beli dilakukan orang yang berakal/tidak hilang kesadarannya karena hanya orang yang sadar dan berakal yang sanggup melangsungkan transaksi jual beli secara sempurna dan mampu berfikir secara logis. 3) Transaksi ini didasarkan pada prinsip-prinsip taradli, yang di dalamnya tersirat makna mukhtar, bebas melakukan transaksi jual beli dan bebas dan paksaan dan tekanan. 4) Keduanya tidak mubazir, maksudnya para pihak yang mengikatkan din dalam perjanjian jual beli tersebut bukanlah manusia yang bodoh di dalam hukum dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap bertindak, maksudnya dia tidak dapat melakukan sendiri perbuatan hukum walaupun kepentingan hukum itu menyangkut kepentingan sendiri.12 2.bTentang Obyeknya 12
Chairuman Pasaribu, et.all, op.cit., hlm. 35-36
17 Yang dimaksud dengan jual beli disini adalah benda yang menjadi sebab terjadinya perjanjian jual beli. Benda yang dijadikan sebagai obyek jual beli ini haruslah memenuhi beberapa persyaratan pada saat jual beli itu berlangsung. Tentang syarat-syarat yang boleh dan sah diperjualbelikan barang yang dijadikan sebagai obyek akad atau ma‘qud alaihnya adalah sebagai berikut : 1) Barang yang Halal Dipergunakan Segala barang yang halal dipergunakan menurut syara’ pada prinsipnya boleh diperjualbelikan. Sesuatu barang tidak boleh diperdagangkan apabila ada nash Syara’ yang melarang dipergunakan atau memang dengan tegas dilarang diperjualbelikan. Hal ini kita pegangi kaidah yang berkaitan dengan mu’amalah : “ Ashal sesuatu adalah mubah.” Adapun benda yang dipandang kotor atau berlumuran najis selama dapat dimanfaatkan, misalkan sebagai pupuk tanam-tanaman maka,
menurut
sebagian
fuqaha
hal
itu
tidaklah
terlarang
diperdagangkan.13 2) Barang yang Bermanfaat Pada asalnya segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini mengandung manfaat, bersandar kepada firman Allah SWT:
13
Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang menurut Islam, Bandung : Diponegoro, 1984, Cet. Ke-I, hlm. 88
18
ﺎ ِﺀﺴﻤ ﻯ ِﺇﻟﹶﻰ ﺍﻟﺘﻮﺳ ﺍﺎ ﹸﺛﻢﺟﻤِﻴﻌ ﺽ ِ ﺭ ﺎ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟﹶﺄﻢ ﻣ ﻖ ﹶﻟ ﹸﻜ ﺧﻠﹶـ ﻮ ﺍﻟﱠـﺬِﻱ ـﻫ ﻢ ﻋﻠِﻴ ﻲ ٍﺀ ﺷ ﻮ ِﺑ ﹸﻜﻞﱢ ﻭﻫ ﺕ ٍ ﺍﻤﻮ ﺳ ﻊ ﺒﺳ ﻫﻦ ﺍﺴﻮ ﹶﻓ Artinya : “ Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit.” (QS. Al-Baqarah: 29).14 Dengan prinsip ini, maka barulah sesuatu benda dipandang tidak berguna, jika ditegaskan oleh nash atau menurut kenyataan atau hasil penelitian ilmiah menunjukkan bahwa barang itu berbahaya seperti racun, ganja, candu, dan sebagainya. 3) Barang yang Dimiliki Barang yang boleh dijualbelikan ialah milik sendiri atau mendapatkan kuasa dan si pemilik untuk menjualnya. Prinsip ini didasarkan pada kaidah, “ Tidak boleh memakan harta dengan cara yang bathil.”
Dengan kata lain bahwa tidak boleh menjual harta
kepunyaan orang lain tanpa seizinnya, karena hal itu merupakan perbuatan yang bathil dan dapat dituntut oleh si pemilik.15 4) Barang yang Dapat Diserahterimakan Sesungguhnya dengan prinsip ini, maka tidaklah dapat diperjualbelikan barang yang tidak berada dalam kekuasaan sekalipun pemilik
14 15
sendiri.
Misalnya
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 6 Hamzah Ya’qub, op.cit., hlm. 90
barang
yang
terlepas
dari
19 sangkamya, ikan dalam air yang sukar ditangkap, harta yang jatuh ke tangan perampok. Prinsip ini logis dan sejalan dengan garis ketentuan tidak bolehnya
gharar
(kesamaran
dan
ketidakpastian)
yang
bisa
menimbulkan kerumitan dan mengandung persengketaan dikemudian hari.16 5) Barang dan Harga yang Jelas Salah satu syarat dalam jual beli adalah kejelasan barang dan harganya. Kejelasan yang dimaksud di sini adalah meliputi ukuran, takaran, dan timbangan. jenis dan kualitas barang. Barang-barang tidak dapat dihadirkan dalam majlis transaksi, diisyaratkan
agar
penjual
menerangkan
segala
sesuatu
yang
menyangkut barang tersebut sampai jelas bentuk dan ukuran, sifat dan kualitasnya. 6) Barang yang Dipegang Selain syarat-syarat tersebut di atas, maka barang yang boleh dijual adalah yang dipegang atau dikuasai. Hikmah larangan Syara’ menjual barang yang belum ditangan ialah untuk kemaslahatan semua pihak yang melakukan transaksi agar terhindar dari kesamaran, resiko kerugian dan pertentangan yang tidak diinginkan.17 . 16 17
Ibid., hlm. 91 Ibid., hlm. 96
20 2.c. Tentang Lafadz (Kailmat Ijab Qabul) Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedang qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Ijab qabul itu diadakan dengan maksud untuk menunjukkan adanya sukarela timbal balik terhadap perikatan yang dilakukan oleh dua pihak yang bersangkutan.18 Apabila ijab dan qabul telah diucapkan dalam akad jual beli, maka pemilikan barang atau uang telah berpindah tangan. Barang yang berpindah tangan itu menjadi milik pembeli dan nilai tukar/uang berpindah tangan menjadi milik penjual. Ulama fiqh mengemukakan bahwa syarat ijab dan qabul itu adalah sebagai berikut: 1) Orang yang mengucapkan telah akil balig dan berakal menurut jumhur ulama, atau telah berakal, menurut ulama Mazhab Hanafi, sesuai dengan perbedaan mereka dalam syarat-syarat orang yang melakukan akad seperti disebutkan di atas. 2) Qabul sesuai dengan ijab. Misalkan, penjual mengatakan: Saya jual baju ini seharga sepuluh ribu,” lalu pembeli menjawab: “ Saya beli dengan harga sepuluh ribu.” Apabila antara ijab dengan qabul tidak sesuai, maka jual beli tidak sah.
18
Ahmad Azhar Bashir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta : UNIversitas Islam Indonesia, 2000, hlm. 65
21 3) Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis, artinya kedua belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topik yang sama.19 Dengan ijab qabul tersebut, jual beli menjadi sah. Unsur utama dan jual beli adalah kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan ini bisa dilihat dan ijab qabul yang dilangsungkan. Ijab qabul perlu diungkapkan secara jelas dalam transaksi bersifat mengikat kedua belah pihak. Apabila ijab dan qabul telah diucapkan dalam akad jual beli, maka pemilikan barang atau uang telah berpindah tangan. Barang yang berpindah tangan itu menjadi milik pembeli dan nilai tukar atau yang berpindah tangan menjadi milik penjual. C. Hal-hal yang Terkait dengan Etika Jual Beli 1. Hukum-hukum Jual Beli Dan kandungan ayat-ayat dan hadits-hadits yang dikemukakan di atas sebagai dasar jual beli, para ulama fiqh mengambil suatu kesimpulan, bahwa jual beli itu hukumnya mubah (boleh). Namun menurut Asy-Syatibi (ahli fiqh mazhab Imam Maliki), hukumnya bisa berubah menjadi wajib dalam situasi tertentu.20 Menurut Imam Asy-Syatibi, hukumnya bisa berubah menjadi wajib. Beliau memberi contoh ketika terjadinya praktek ihtikar (penimbunan barang sehingga stok hilang dan pasar dan harga melonjak
19
Abdul Aziz Dahlan, et.all, op.cit., hlm. 829-830 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003, Cet. I, hlm. 117 20
22 naik). Apabila seseorang melakukan ihtikar dan mengakibatkan layaknya harga barang yang ditimbun atau disimpan tersebut, maka pihak pemerintah boleh memaksa pedagang untuk menjual barangnya itu sesuai dengan harga sebelum terjadinya pelonjakan harga.21 Hukum-hukum dalam jual beli ada yang mubah (boleh), wajib, haram dan sunnah. Adapun hukum jual beli haram sebagaimana yang telah melanggar rukun dan syarat dalam jual beli maka hukum jual beli itu haram dilakukan, hukum jual beli sunnah, seperti jual beli kepada sahabat atau famili yang dikasihi, dan kepada orang yang sangat berhajat kepada barang itu maka hukum dalam jual beli itu termasuk sunnah. 2. Bentuk Etik mat Beli dalam Islam Adapun bentuk-bentuk etika jual beli dalam Islam diantaranya sebagai berikut : a. Kejujuran dãlam Jual Beli Dalam perdagangan dan bisnis, kejujuran dam kebenaran (hak) harus ditegakkan secara adil sebagaimana diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya:
ﺍ ﹶﻥﻭﺍ ﺍﹾﻟﻤِﻴﺰﺴﺮ ِﺨ ﻭﻟﹶﺎ ﺗ ﻂ ِﺴ ﺯ ﹶﻥ ﺑِﺎﹾﻟ ِﻘ ﻮ ﻮﺍ ﺍﹾﻟﻭﹶﺃﻗِﻴﻤ Artinya : “ Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca.” (QS. Ar Rahman: 9)22 Tiap orang Islam hendaknya jujur dalam setiap tindakan, sebagaimana timbangan yang tepat ketika berjualan dan dalam semua 21 22
Abdul Aziz Dahlan, et.all, loc.cit., hlm. 828 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 425
23 kegiatan yang berkenaan dengan orang lain. Orang Islam tidak boleh melakukan tipu daya dengan cara : misalnya menunjukkan contoh kualitas barang yang baik, lalu menjual barang-barang yang rendah mutunya, atau mengurangi timbangan.23 Sebagaimana sabda Nabi Saw: 24
( ﻣﻦ ﻏﺶ ﻓﻠﻴﺲ ﻣﻨﺎ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻯ: ﻋﻦ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ Artinya : “ Dari Nabi Muhammad Saw bersabda : Barang siapa yang curang maka bukan umatku (Nabi Saw) (HR. Thirmidzi). Para pedagang jujur, benar dan sesuai dengan ajaran Islam
dalam berdagangnya, didekatkan dengan para Nabi, para sahabat dan orang-orang yang mati syahid, pada hari kiamat, Rasulullah Saw bersabda:
ﺍﻟﺘﺎﺟﺮ ﺍﻟﺼﺪﻭﻕ ﺍﻷ ﻣﲔ ﻣﻊ: ﻋﻦ ﺍﰉ ﺳﻌﻴﺪ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ 25 ( ﺍﻟﻨﺒﻴﲔ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﲔ ﻭﺍﻟﺸﻬﺪﺍﺀ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻯ Artinya : Abu Said meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw, bersabda : “ Pedagang yang jujur dan dapat dipercaya beserta para Nabi dan orang yang jujur dan para syuhada” . (HR. Tirmidzi). Pedagang yang tulus dan jujur bekerja untuk kemaslahatan kemanusiaan, karenanya menemukan tempat bersama para hamba23
A. Rahman I, Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. Ke-I, hlm. 447 24 Imam Jalaluddin Abdurrahman Ibu Abu Bakar as-Syuyuti, Jami’uz Shahih, Juz II, Beirut :D ar al-Fikr, t.th., hlm. 626 dikutip dalam buku Maulana Muhammad Ali, al-Maual of Hadits, terj. Imam Musa Prodjosiswoyo, Kitab Hadits Perdagangan, Jakarta : CV. Kuning Mas, Cet. I, 1992, hlm. 299 25 Abi Isa Muhammad Ibnu Isa Ibn Surut, al-Jami’us Shohih, Sunan Tirmidzi, Juz III, Beirut : Dar al-Kitab al-Ilmiyah, t.th, hlm. 493
24 hamba Allah yang tulus yang kehidupannya diabdikan untuk kemaslahatan umat manusia.26 Islam mengharamkan seluruh macam penipuan, baik dalam masalah jual beli, maupun dalam seluruh macam muamalah. Seorang muslim dituntut untuk berlaku jujur dalam seluruh urusannya. Oleh karena itu setiap muslim harus dapat berlaku adil (jujur), sebab keadilan sebenamya jarang bisa diwujudkan. Dikaitkan dengan yang lebih moral dan dibandingkan dengan sifat hukumnya. b. Ramah Tamah dalam Jual Beli Allah merahmati seseorang yang ramah dan toleran dalam menjual, membeli dan menagih. Sebagaimana sabda Rasulullàh Saw:
, ﺭﺣﻢ ﺍﷲ ﻋﺒﺪﺍﲰﺤﺎ ﺇﺫﺍﺑﺎﻉ: ﻋـﻦ ﺍﻟـﱯ ﺻـﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﲰﺤﺎ ﺇﺫﺍ ﺍﻗﺘﻀﻰ )ﺭﻭﺍﻩ ﻟﺒﺨﺎﺭﻯ ﻭﺍﺑﻦ, ﺇﺫﺍﻗﻀﻰ,ﲰﺤﺎﺇﺫﺍ ﺍﺷﺘﺮﻯ ﲰﺤﺎ 27 ( ﻛﻼ ﳘﺎ ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ,ﻣﺎﺟﺔ Artinya: “ Dan Nabi Muhammad Saw bersabda : Allah memberi rahmat kepada hamba-Nya ketika berjualan., ketika memberi, dan ketika memberi keputusan harga (transaksi), ketika menerima keputusan harga dengan hati yang lega suka sama suka toleransi dalam jual beli” (HR. Bukhori dan Ibnu Majjah, Kalahuma an Jabiir). Allah merahmati seseorang yang ramah dan toleran dalam menjual, membeli dan menagih. Dan dengan itulah kita sebagai umat Islam dalam berjual beli yang baik maka ramah tamahlah dan
26
Maulana Muhammad Ali, al-Maual of Hadits, terj. Imam Musa Prodjosiswoyo, Kitab Hadits Perdagangan, Jakarta : CV. Kuning Mas, Cet. I, 1992, hlm. 299 27 Imam Jalaluddin Abdurrahman Ibu Abu Bakar as-Syuyuti, op.cit., hlm. 12
25 bertoleransi dalam berjual beli dan menagih hutang (pembeli) dengan cara tidak memaksa atau memberi waktu untuk membayar hutangnya. c. Ketepatan Timbangan Kecelakaan besar bagi yang curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dan orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila
menakar atau menimbang untuk
orang lain mereka
mengurangi.28 Allah memerintahkan agar jual beli dilangsungkan dengan menyempumakan takaran dan timbangan, firman-Nya :
...ﻂ ِﺴ ﺍ ﹶﻥ ﺑِﺎﹾﻟ ِﻘﺍﹾﻟﻤِﻴﺰﻴ ﹶﻞ ﻭﻭﻓﹸﻮﺍ ﺍﹾﻟ ﹶﻜ ﻭﹶﺃ ... Artinya : “ Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil” (QS. Al-An’am: 152).29
ﺴﻦ ﺣ ﻭﹶﺃ ﺮ ﻴﺧ ﻚ ﺘﻘِﻴ ِﻢ ﹶﺫِﻟﺴ ﻤ ﺱ ﺍﹾﻟ ِ ﺴﻄﹶﺎ ﻮﺍ ﺑِﺎﹾﻟ ِﻘﻭ ِﺯﻧ ﻢ ﺘﻴ ﹶﻞ ِﺇﺫﹶﺍ ِﻛ ﹾﻠﻭﻓﹸـﻮﺍ ﺍﹾﻟ ﹶﻜ ﻭﹶﺃ ﺗ ﹾﺄﻭِﻳﻠﹰﺎ Artinya : “ Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar, itulah yang lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (QS. Al-Isra’: 35)30 Di samping itu Allah SWT mencegah mempermainkan timbangan dan takaran serta melakukan kecurangan dalam menakar dan menimbang, firman Allah: 28
Muhammad Quraish Shihab, Etika Bisnis dalam Wawasan Al-Qur'an, Jurnal Ulumul Qur’an, Jakarta : PT. Grafika Matra Tata Media, 1997, hlm. 9 29 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 117 30 Ibid., hlm. 228
26
ﻭ ﻢ ﹶﺃ ﻫ ﻭِﺇﺫﹶﺍ ﻛﹶﺎﻟﹸﻮ ,ﻮﻓﹸﻮ ﹶﻥ ﺘﺴ ﻳ ﺱ ِ ﺎﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟﻨ ﺎﻟﹸﻮﺍﻦ ِﺇﺫﹶﺍ ﺍ ﹾﻛﺘ ﻟﱠـﺬِﻳ,<ﲔ ﻤ ﹶﻄ ﱢﻔﻔِـ ـ ﹲﻞ ِﻟ ﹾﻠﻭﻳ ﺱ ﺎﻡ ﺍﻟﻨ ﻳﻘﹸﻮ ﻡ ﻮ ﻳ,ﻋﻈِﻴ ٍﻢ ﻮ ٍﻡ ﻴِﻟ,ﻮﺛﹸﻮ ﹶﻥﺒﻌﻣ ﻢ ﻬ ﻧﻚ ﹶﺃ ﺃﹸﻭﹶﻟِﺌﻳ ﹸﻈﻦ ﹶﺃ ﹶﻻ,ﻭ ﹶﻥﺴﺮ ِﺨ ﻳ ﻢ ﻫ ﻮﺯﻧ ﻭ ﲔ ﺎﹶﻟ ِﻤﺏ ﺍﹾﻟﻌ ﺮ ِﻟ Artinya : Kecelakan besarlah bagi orang orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.” (QS. Al Muthofifin: 1-6)31 Al-Qur’an telah mengisahkan kepada kita tentang cerita suatu kaum yang curang dalam jual beli dan menyimpang dari kejujurannya dalam hal takaran atau timbangan. Kepunyaan orang lain selalu dikurangi. Kemudian oleh Allah dikirimnya seorang rasul untuk mengembalikan mereka itu kepada kejujuran dan kebaikan di samping dikembalikannya kepada tauhid. Jual beli seperti ini merupakan contoh yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim dalam perilaku jual belinya. Mereka tidak diperkenankan menakar dengan dua takaran atau menimbang dengan dua timbangan; timbangan pribadi dan timbangan umum; timbangan yang menguntungkan diri dan orang yang disenanginya, dan timbangan untuk orang lain. Kalau untuk dirinya sendiri dan
31
Departemen Agama RI, op.cit., hlm.883
27 pengikutnya dia penuhi timbangan, tetapi untuk orang lain dia menguranginya.32 Tentang hal ini sesuai dengan hadits Nabi Saw sebagai berikut:
ﻋﻦ ﺑﻴﻊ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﺣﱴ: ﻋـﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﻗﺎﻝ ﻬﻧﻰ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﳚـﺮﻯ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺼﺎﻋﺎﻥ ﺻﺎﻉ ﺍﻟﺒﺎﺋﻊ ﻭﺻﺎﻉ ﺍﳌﺸﺘﺮﻯ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ ﻭﺍﻟﺪﺍﺭﻭ 33 (ﻗﻄﲎ Artinya :“ Jabir meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda Rasulullah Saw melarang jual beli makanan sehingga sudah ditakar dengan dua macam takaran, yaitu takaran penjual dan takaran pembeli.” (HR. Ibnu Majjah dan Daru Quthni). Hadits tersebut menunjukkan bahwa apabila sesuatu dibeli dengan takaran dan sudah dipegang tangan, kemudian dia menjualnya lagi maka tidak boleh dia menyerahkannya kepada pembeli lain dengan berdasarkan takaran pertama (dari penjual sebelumnya) sehingga dia takar lagi untuk pembeli yang kedua. Demikian menurut jumhur ulama.34 d. Open Prices (Keterbukaan Harga) dalam Jual Beli Islam memberikan kebebasan pasar, dan menyerahkannya kepada hukum naluri yang kiranya dapat melaksanakan fungsinya selaras dengan penawaran dan pemintaan.35 Bukan berarti mutlak
32
Syeikh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal Haram dalam Islam, alih Bahasa : HM. Mu’ammal Hamidy, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1980, hlm. 362-363 33 Ibnu Majjah, Sunan Ibnu Majjah, Juz II, Beirut : Dar al-Fikr, t.th, hlm. 750 34 Imam Muhammad bin Isma’il as-Shan’ani, Subul al-Salam, terj. Abu Bakar Muhammad, Subul al-Salam, Juz III, Surabaya : Dar a-Fikr, t.th, hlm. 55-56 35 Syek Muhammad Yusuf Qardhawi, op.cit., hlm. 357
28 dilarang
menetapkan
harga,
sekalipun
dengan
maksud
demi
menghilangkan bahaya dan menghalang setiap perbuatan zalim. Bahkan menurut pendapat para ahli, bahwa menetapkan harga itu ada yang bersifat: zalim dan terlarang, dan ada pula yang bijaksana dan halal. Oleh karenanya, jika penetapan harga itu mengandung unsurunsur kezaliman dan pemaksaan yang tidak betul; dengan menetapkan suatu harga yang tidak dapat diterirna, atau melarang sesuatu yang oleh Allah dibenarkan., maka jelas penetapan harga semacam itu hukumnya haram. Tetapi jika penetapan harga itu penuh dengan keadilan, misalnya dipaksanya mereka menunaikan kewajiban rnembayar harga mitsil dan melarang mereka menambah dan harga mitsil, maka hal itu dipandang halal, bahkan hukunmya wajib.36
Artinya: “ Dan Nabi Muhammad Saw bersabda : Allahlah yang menentukan harga, yang mencabut, yang meluaskan dan yang memben rezeki. Saya mengharap ingin bertemu Allah sedang tidak ada seorang pun diantara kamu yang meminta saya supaya berbuat zalim baik terdapat darah maupun harta benda.” (Riwayat Ibnu Majah).37
36 37
Ibid., hlm. 352 Ibnu Majjah, Sunan Ibnu Majjah, op.cit., hlm. 737
29 Nilai tukar barang adalah termasuk unsur yang terpenting. Zaman sekarang disebut uang, harga yang dapat dipermainkan para pedagang adalah harga tsaman atau harga pasar yang berlaku di
30 tengah-tengah masyarakat. Sedang modal yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual kepada konsumen. Dengan demikian, ada dua harga, yaitu harga antara sesama pedagang dan harga antara pedagang dan konsumen (harga jual pasar). Ulama fiqh mengemukakan syarat harga pasar yang berlaku di tengah-tengah masyarakat sebagai berikut: 1) Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya 2) Dapat diserahkan pada saat waktu akad (transaksi), sekalipun secara hukum seperti pembayaran dengan cek atau kartu kredit. Apabila barang itu dibayar kemudian (berhutang maka waktu pembayarannya pun harus jelas waktunya.38 Bila antara penjual dan pembeli berselisih pendapat dalam suatu benda yang diperjualbelikan, maka yang dibenarkan ialah katakata yang punya barang, bila diantara keduanya tak ada saksi dan bukti lainnya. Rasulullah Saw, bersabda:
38
H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 84
31 Artinya:” Dari Nabi Muhammad Saw bersabda : Bila penjual dan pembeli berselisih dan antara keduanya tak ada saksi, maka yang dibenarkan adalah perkataan yang punya barang atau dihalalkan.” (Riwayat Abu Dawud).39
39
Imam Khafidh al-Masnaf al-Muttaqin, Ibnu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud Juz II, Beirut : dar al-Kitab al-Ilmiyah, t.th, hlm. 535
32 e. Pembelian yang Kesulitan Diberi Waktu Tenggang Pembeli yang kesulitan dalam membayar maka mereka harus dikasih waktu tenggang untuk melunasi hutangnya. Firman Allah SWT :
Artinya: “ Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).40 Rasulullah Saw, bersabda:
Artinya: “ Jabir meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: Allah mengasihi orang yang memberikan kemudahan bila ia menjual dan membeli serta di dalam menagih haknya. “ (HR. Bukhori)41 Al-Qur’an dan hadits di atas menjelaskan bahwa dalam berjual beli (penjual) memberikan waktu kepada pembeli dalam menagih hutangnya atau pembeli yang kesulitan membayar diberi tenggang waktu untuk melunasi hutangnya. Pembeli yang masih berhutang kepada penjual diberi tenggang waktu, maka pembayarannya harus jelas waktunya. Dalam tenggang waktu itu bisa dibayar ketika membeli/mengambil lagi dagangannya
40
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 37 Imam Abi Abdullah Muhammad Ibnu Ismail Ibn Ibrahim, Shahih Bukhari Juz III, Beirut : Dar al-Kutb al-Ilmiyah, t.th, hlm. 13 41
33 dan keduanya bersepakat dalam pembayaran berikutnya atau melunasi hutang-hutangnya. Rasulullah Saw bersabda:
Artinya:” Kuhdzaifah berkata bahwa Nabi Saw bersabda : Para malaikat bertemu dengan jiwa seorang laki-laki dan antara mereka sebelum kamu (dan) mereka berkata: Apakah engkau telah berbuat sesuatu kebajikan?” Dia berkata: “ Saya bisa memberikan kelonggaran kepada orang yang dalam kemudahan dan memanfaatkan mereka yang dalam kesempitan, maka para malaikat itu memanfaatkannva.” 42 Maulana Muhammad All, A Manual of Hadits, teij. Imam Musa Prodjosiswoyo, Aitab Hadits Perdagangan, op.ciL, hIm. 299.
42
Maulana Muhammad Ali, A Manual of Hadits, terj. Imam Musa Prodjosiswoyo, Kitab
Hadits Perdagangan, op.cit, hIm. 299.