BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEGAKAN HUKUM, PERENCANAAN RUANG, DAN RUANG TERBUKA HIJAU
2.1 Penegakan Hukum 2.1.1
Pengertian Penegakan Hukum Penegakan hukum merupakan hal yang sangat esensial dan substansial
dalam negara hukum, penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman prilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum yang berhubungan dengan masyarakat dan bernegara.13 Penegakan hukum dapat ditinjau dari dua sudut yaitu dari sudut subjek dan objek.14 Dari sudut subjek penegakan hukum dapat diartikan sebagai penegakan hukum secara luas dan secara sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum dapat melibatkan seluruh subjek hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif dengan melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti yang bersangkutan telah melakukan atau menjalankan aturan hukum. Dalam arti sempit, penegakan hukum hanya dilaksanakan oleh aparat hukum untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana mestinya, dan dalam memastikan tegaknya hukum itu, aparatur penegak hukum
13
Jimly Assiddiqie, 2009, Penegakan Hukum.(Makalah), Jakarta, makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf), h. 1. 14 Ibid
20
http:// jimly.com/
21
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.15 Uraian di atas memberikan pengertian penegakan hukum adalah upaya yang dilakukan untuk melaksanakan suatu aturan, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman prilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparat penegak hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.16 Tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan.17 Dengan tercapainya ketertiban dalam masyarakat diharapakan kepentingan manusia akan terindungi. Dalam mencapai tujuannya itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiaban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum. Hal tersebut di atas tidak mungkin terwujud dalam masyarakat jika aparat penegak hukum tidak memainkan perannya dengan maksimal sebagai penegak hukum. Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan dan peranan. Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu dalam struktur kemasyarakatan, yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah.
15
Ibid, h. 2. Hans Kelsen, 2011, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, terj.Muttaqien, Raisul. Nusa Media, Bandung, h. 89. 17 Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h. 71. 16
22
Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Suatu hak merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Hak- hak dan kewajiban- kewajiban tertentu tersebut merupakan peran (role). Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya disebut pemegang peranan (role occupant). 2.1.2
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Penegakan hukum baik sebagai hukum materil maupun hukum formil.
Dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah:18 1. Faktor hukum Dalam suatu proses penegakan hukum, faktor hukum adalah salah satu yang menentukan keberhasilan penegakan hukum itu sendiri. Namun tidak terlaksananya penegakan hukum dengan sempurna hal itu disebabkan karena terjadi masalah atau gangguan yang disebabkan karena beberapa hal seperti tidak diikuti asas-asas berlakunya undang-undang yang merupakan dasar pedoman dari suatu peraturan perundang-undangan, hal yang kedua yaitu belum adanya suatu aturan pelaksanaan untuk menerapkan undang-undang.19 2. Faktor penegak hukum Penegak hukum mempunyai peran yang penting dalam penegakan hukum itu sendiri, prilaku dan tingkah laku aparat pun seharusnya mencerminkan suatu kepribadian yang dapat menjadi teladan bagi masyarakat dalam kehidupan seharihari. Aparat penegak hukum yang profesional adalah mereka yang dapat 18 19
Soerjono Soekanto, op.cit, h. 5. Ibid, h. 17-18
23
berdedikasi tinggi pada profesi sebagai aparat hukum, dengan demikian seorang aparat penegak hukum akan dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagai seorang penegak hukum dengan baik.20 Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golongan sasaran atau penegak hukum, halangan-halangan tersebut adalah:21 1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi. 2. Tingkat aspirasi yang relative belum tinggi. 3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi. 4. Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan materiil. 5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme. 3. Faktor sarana dan prasarana Dengan dukungan sarana dan fasilitas yang memadai penegakan hukum akan dapat terlaksana dengan baik. Sarana dan fasilitas yang dimaksud, antara lain, sumber daya manusia, organisasi yang baik, peralatan yang mumpuni, dan sumber dana yang memadai.22 Bila sarana dan fasilitas tersebut dapat dipenuhi maka penegakan hukum akan berjalan maksimal. Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat.23 Oleh karena itu dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Masyarakat
20
Ibid, h. 34. Irfan Islamy, 2001, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Pradnya Paramitha, Jakarta, h.57. 22 Soerjono Soekanto, op.cit, h. 37. 23 Maria Farida, 1998, Ilmu Perundang - Undangan, Kanisius, Yogyakarta, h. 112. 21
24
Indonesia mempunyai kecenderungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut. 4. Faktor masyarakat Penegakan hukum adalah berasal dari masyarakat dan untuk masyarakat. Oleh karena itu peran masyarakat dalam penegakan hukum juga sangat menentukan. Masyarakat yang sadar hukum tentunya telah mengetahui hal mana yang merupakan hak dan kewajiban mereka, dengan demikian mereka akan mengembangkan kebutuhan-kebutuhan mereka sesuai dengan aturan yang berlaku.24 5. Faktor kebudayaan Kebudayaan hukum pada dasarnya mencakup nilai dasar yang mendasari keberlakuan hukum dalam masyarakat, yang menjadi patokan nilai yang baik dan buruk. Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto terdapat pasangan nilai yang berperan dalam hukum yaitu:25 i. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman, ii. Nilai jasmaniah (kebendaan) dan nilai rohaniah (keahlakan), iii. Nilai kelanggengan (konservatisme) dan nilai kebaruan (inovetisme). Nilai ketertiban biasanya disebut dengan keterikatan atau disiplin, sedangkan nilai ketentraman merupakan suatu kebebasan, secara psikis suatu ketentraman ada bila seorang tidak merasa khawatir dan tidak terjadi konflik 24 25
Soerjono Soekanto, op.cit, h. 57. Ibid, h. 60.
25
batiniah. Nilai kebendaan dan keakhlakan merupakan pasangan nilai yang bersifat universal. Akan tetapi dalam kenyataan karena pengaruh modernisasi kedudukan nilai kebendaan berada pada posisi yang lebih tinggi dari pada nilai keakhlakan sehingga timbul suatu keadaan yang tidak serasi.26 Berdasarkan teori Friedman berhasil atau tidaknya penegakan hukum bergantung pada: Substansi Hukum, Struktur Hukum/Pranata Hukum dan Budaya Hukum.27 1. Substansi hukum: hal ini disebut sebagai sistem substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan.28 Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law in books). Sebagai negara yang masih menganut sistem Civil Law System atau sistem Eropa Kontinental (meski sebagaian peraturan perundang-undangan juga telah menganut Common Law System atau Anglo Sexon) dikatakan hukum adalah peraturan-peraturan yang tertulis sedangkan peraturan-peraturan yang tidak tertulis bukan dinyatakan hukum. Sehingga bisa atau tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan tersebut telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan.
26
Ibid, h. 65. Lawrence Meir Friedman, 2001, Hukum Amerika: Suatu Pengantar, diterjemahkan oleh Wishnu Basuki,PT. Tata Nusa, Jakarta, h .8. 27
28
Ibid
26
2. Struktur Hukum/Pranata Hukum: hal ini disebut sebagai sistem Struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. 29 Struktur hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 meliputi; mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Badan Pelaksana Pidana (Lapas). Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Hukum tidak dapat berjalan atau tegak bila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen. Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan. Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum
tidak
berjalan
sebagaimana
mestinya.
Banyak
faktor
yang
mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih terbuka.
29
Ibid, h. 9.
27
3.
Budaya Hukum: Kultur hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya.30 Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum. Hubungan antara tiga unsur sistem hukum itu sendiri tak berdaya, seperti
pekerjaan mekanik. Struktur diibaratkan seperti mesin, substansi adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin, sedangkan kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan. Dikaitkan dengan sistem hukum di Indonesia, Teori Friedman tersebut dapat kita jadikan patokan dalam mengukur proses penegakan hukum di Indonesia.
2.2
Tinjauan Tentang Perencanaan Ruang
2.2.1
Pengertian dan Dasar Hukum Tata Ruang Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, mennyebutkan “Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan
30
Ibid
28
wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.” Dilanjutkan dengan Pasal 1 angka 2 menyebutkan “Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang”. Penataan
ruang menyangkut
seluruh
aspek
kehidupan
sehingga
masyarakat perlu mendapat akses dalam proses perencanaan penataan ruang. Konsep dasar hukum penataan ruang terdapat dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 aliniea ke-4, yang menyatakan “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum,
mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan
ikut
serta
melaksanakan ketertiban dunia”. Selanjutnya, dalam Pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar 1945 menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Ketentuan tersebut memberikan “hak penguasaan kepada Negara atas seluruh sumber daya alam Indonesia, dan memberikan kewajiban kepada Negara untuk menggunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.” Kalimat tersebut mengandung makna, Negara mempunyai kewenangan untuk melakukan pengelolaan,
mengambil
dan
memanfaatkan
sumber
daya
alam
guna
terlaksananya kesejahteraan yang dikehendaki. Untuk dapat mewujudkan tujuan Negara tersebut, khususnya untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa berarti Negara harus dapat melaksanakan pembangunan sebagai penunjang dalam tercapainya tujuan tersebut dengan suatu perencanaan yang cermat dan terarah.
29
Ruang
harus
dimanfaatkan
secara
arif
dan
efisien,
sehingga
memungkinkan pemanfaatan sumber daya alam yang terkandung di dalamnnya dapat secara optimal dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bila pemanfaatan ruang tidak diatur dengan baik, kemungkinan besar terdapat penerobosan pemanfaatan ruang dan penurunan kualitas ruang. Diperlukan penataan ruang untuk mengatur pemanfaatannya berdasarkan besaran kegiatan, jenis kegiatan, fungsi lokasi, kualitas ruang dan estetika lingkungan. Untuk menjaga kelangsungannya, maka ruang perlu ditata dan dikendalikan serta direncanakan sehingga dapat memberikan dampak positif bagi mahluk hidup di atasnya untuk jangka panjang dan berkelanjutan. Konsep
pengembangan
wilayah
di
Indonesia
lahir
dari
suatu
penggabungan dasar-dasar pemahaman teoritis (teori faktor pembentuk ruang dari Walter Down Effect dan Polarization Effect dari Hirschman, Teori Backwash and Spread Effect dari Myrdal, teori Growth Pole dari Friedman, teori Urban and Rural Linkages dari Douglas, teori pembangunan infrastruktur dari Sutami dan lain-lain) dengan pengalaman-pengalaman praktis sebagai bentuk penerapannya yang bersifat dinamis.31 Dalam teori Walter Down Effect dan Polarization Effect dari Hirschman ia berpandapat bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan.32 Dalam teori ini terdapat sistem polarisasi perkembangan suatu wilayah yang kemudian akan memberikan efek ke wilayah lainnya, atau dengan kata lain, suatu wilayah yang berkembang akan membuat wilayah di 31
S. Ernaw, 2008, Kebijakan Ruang Berdasarkan UU NO.26 Tahun 2007 dalam Rangka Penyelenggaraan Infrastruktur Pekerjaan Umum. Available from www. Penataan Ruang.net. 32 Adisasmita,R, 2008, Pengembangan Wilayah Konsep dan Teori, Graha Ilmu. Yogyakarta, h. 68.
30
sekitarnya akan ikut berkembang; Teori Backwash and Spread Effect dari Myrdal, dalam teori ini ia memberikan kesan pesimisti yang berpendapat bahwa polarisasi muncul lebih kuat dari pada penyebaran pembangunan, permintaan faktor-faktor produksi akan menumpuk di daerah-daerah perkotaan yang memberikan manfaat kepadanya, dan sebaliknya di daerah perdesaan yang tidak menguntungkan akan menipis.33 Contohnya adalah makin bertambahnya permintaan masyarakat suatu wilayah kaya atas hasil-hasil dari masyarakat miskin berupa bahan makanan pokok seperti beras yang sumbernya dari pertanian masyarakat wilayah miskin. Sementara Spread effects contohnya adalah makin berkurangnya kualitas pertanian masyarakat miskin akibat dampak negatif dari polusi yang disebabkan oleh masyarakat wilayah kaya; teori Growth Pole dari Friedman, teori ini lebih menekankan pada pembentukan hirarki guna mempermudah pengembangan system pembangunan dengan asumsi bahwa dengan adanya pusat pertumbuhan akan lebih memudahkan dan pembangunan akan lebih terencana; teori Urban and Rural Linkages dari Douglas, teori ini menekankan hubungan antara urban dan rural area dalam bidang ekonomi, sosial, dan keterkaitan lingkungan, dan juga membutuhkan suatu keseimbangan dan pendekatan-pendekatan yang saling menguntungkan.34 Tidak sepenuhnya pembangunan daerah rural karena pembangunan dari daerah urban. Pandangan baru tentang ini mengacu kepada rural urban linkage yang berarti aliran peningkatan atau kemajuan dari ibukota, masyarakat (contoh: migrasi dan nglaju) dan barang antara wilayah rural dan urban. Sangat penting dalam menambahkan atau mensertakan aliran ide, aliran 33 34
Ibid. Ibid, h. 69.
31
informasi, dan aliran dari difusi informasi; teori pembangunan infrastruktur dari Sutami, teori ini mengungkapkan manfaat pembangunan infrastruktur yang intensif untuk mendukung pemanfaatan potensi sumber daya alam akan mampu mempercepat pengembangan wilayah sehingga perkembangan wilayah tergantung pada sumber daya alam yang terdapat di daerah tersebut. 35 Dengan kata lain, konsep pengembangan wilayah di Indonesia merupakan penggabungan dari berbagai teori dan model yang senantiasa berkembang yang telah diuji terapkan dan kemudian dirumuskan kembali menjaadi suatu pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pembangunan di Indonesia. Pengembangan wilayah bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas lingkungan. Secara konseptual pengertian pengembangan wilayah dapat dirumuskan sebagai rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan
berbagai
sumber
daya,
merekatkan
dan
menyeimbangkan
pembangunan nasional dan kesatuan wilayah nasional, meningkatkan keserasian antar kawasan, keterpaduan antar sektor pembangunan melalui proses penataan ruang dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Dalam rangka mewujudkan konsep pengembangan wilayah yang didalamnya tujuan dan sasaran yang bersifat kewilayahan di Indonesia, 36 maka dilaksanakan penataan ruang yang terdiri dari 3 (tiga) rangkaian proses utama yang saling berkaitan satu dengan lainnya sesuai Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yakni:
35 36
Ibid Dit.Jen. Agraria, 1997, Penggunaan tanah (Land use), h. 75.
32
a. Proses perencanaan tata ruang merupakan suatu proses untuk menentukan struktur dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang, yang menghasilkan rencana wilayah (RTRW). Disamping itu RTRW pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar manusia/ mahluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/ makhluk hidup kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability). b. Proses pemanfaatan ruang merupakan upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya, yang merupakan wujud operasionalisasi rencana ruang atau pelaksanaan itu sendiri. c. Proses pengendalian pemanfaatan ruang merupakan upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang yang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya. Pembangunan wilayah bukan sekedar upaya untuk memenuhi tujuan-tujuan sektoral atau daerah yang bersifat parsial, namun untuk memenuhi tujuan-tujuan pengembangan wilayah yang bersifat komprehensif dan holistic perlu mempertimbangkan keserasian antara berbagai sumber daya sebagai unsur utama pembentuk ruang, didukung oleh sistem hukum dan sistem kelembagaan yang melingkupinya. Di samping itu, pengembangan wilayah dilakukan sebagai langkah strategis untuk mengatasi kesenjangan wilayah. Sehingga dalam hal ini, pengembangan wilayah dilakukan dalam paying “penataan ruang” untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat (city as engine of economic growth) yang berkeadilan sosial (social justice) dalam lingkungan hidup yang lestari (environmentaly sound) dan berkesinambungan (sustainability sound). Pengembangan wilayah melalui penataan ruang adalah rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan penggunaan berbagai sumber daya, merekatkan dan menyeimbangkan pembangunan nasional dan kesatuan wilayah nasional, meningkatkan keserasian antar kawasan, keterpaduan antar sektor pembangunan melalui proses penataan ruang dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan dalam wadah Negara Republik Indonesia.37
37
Ibid
33
Salah satu konsep dasar pemikiran tata ruang menurut hukum Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Sesuai dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, tentang pengertian hak menguasai dari negara terhadap konsep tata ruang, Pasal 2 UUPA memuat wewenang untuk: (1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. (2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa. (3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Ketentuan tersebut memberikan hak penguasan kepada negara atas seluruh sumber daya alam Indonesia, dan memberikan kewajiban kepada negara untuk menggunakan
sebesar-besarnya
bagi
kemakmuran
rakyat
dalam
rangka
masyarakat yang adil dan makmur (Pasal 2 ayat (2) dan (3)). Kalimat tersebut mengandung makna, negara mempunyai pengelolaan,
mengambil
dan
kewenangan untuk melakukan
memanfaatkan
sumber
daya
alam
guna
terlaksananya kesejahteraan rakyat yang dikehendaki. Adapun, kekuasaan Negara yang dimaksudkan itu mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak. Kekuasaan Negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya sampai disitulah batas kekuasaan Negara tersebut.
34
Untuk dapat mewujudkan tujuan negara tersebut, khususnya untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa berarti negara harus dapat melaksanakan pembangunan sebagai penunjang dalam tercapainya tujuan tadi dengan suatu perencanaan yang cermat dan terarah. Apabila dicermati dengan seksama, kekayaan alam yang ada dan dimiliki oleh negara, yang kesemuanya itu memiliki suatu nilai ekonomis, maka dalam pemanfaatannya pun harus diatur dan dikembangkan dalam pola tata ruang yang terkoordinasi, sehingga tidak akan adanya perusakan terhadap lingkungan hidup.
2.2.2
Asas dan Tujuan Penataan Ruang Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang ditegaskan dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia, penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas: 1) Keterpaduan Penataan ruang diselenggarakan dengan mengintegrasikan, berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah dan lintas pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan antara lain pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat 2) Keserasian, keselarasan dan keseimbangan Penataan ruang diselenggarakan dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungannya, keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antar daerah serta antara kawasan perkotaan dan kawasan pedesaan. 3) Keberlanjutan Penataan ruang diselenggarakan dengan menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan memperlihatkan kepentingan mendatang 4) Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan Penataan ruang diselenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat ruang dan sumber daya yang terkandung didalamnya serta menjamin terwujudnya tata ruang yang berkualitas
35
5) Keterbukaan Penataan ruang diselenggarakan dengan memberikan akses yang seluasluasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penataan ruang 6) Kebersamaan dan kemitraan Penataan ruang diselenggarakan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan 7) Perlindungan kepentingan umum Penataan ruang diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat 8) Kepastian hukum dan keadilan Penataan ruang diselenggarakan dengan berlandaskan hukum atau ketentuan peraturan perundang-undangan dan bahwa penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil dengan jaminan kepastian hukum. 9) Akuntabilitas Penyelenggaraan penataan ruang dapat dipertanggungjawabkan, baik prosesnya, pembiayaan maupun hasilnya.38 Perencanaan
tata
ruang
perkotaan
seyogyanya
dimulai
dengan
mengidentifikasi kawasan-kawasan yang secara alami harus diselamatkan (kawasan lindung) untuk menjamin kelestarian lingkungan, dan kawasan-kawasan yang secara alami rentan terhadap bencana alam seperti gempa, longsor, banjir, maupun bencana alam lainnya. Sesuai dengan yang disebutkan pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pentaan Ruang: Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
38
h. 133
Hasni, 2008, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah, Rajawali Pers, Jakarta,
36
Dari pasal tersebut dapat dipahami bahwa rumusan tujuan (pengaturan penataan
ruang)
merupakan
penerapan
bagaimana
konsep
asas-asas
penyelenggaraan penatan ruang mengendalikan arah dan sasaran yang hendak ditujui oleh suatu pengaturan Undang-Undang Penataan Ruang ini.
2.3 Tinjauan Umum Tentang Ruang terbuka Hijau 2.3.1
Pengertian Umum dan Ruang Lingkup Terbuka Hijau Menurut Pasal 1 butir 31 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Dalam ruang terbuka hijau pemanfatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta dapat meningkatkan nilai estetika kota. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (selanjutnya disingkat RTHKP) adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. RTHKP Publik adalah
37
RTHKP yang penyediaan dan pemeliharaannya menjadi tanggungjawab Pemerintah Kabupaten/Kota. Pemanfaatan RTHKP publik dikelola oleh Pemerintah Daerah dengan melibatkan para pelaku pembangunan. RTHKP publik tidak dapat dialihfungsikan. Pemanfaatan RTHKP publik dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga ataupun antar pemerintah daerah. Tujuan pengadaan dan penataan RTH di wilayah perkotaan menurut Permendagri Nomor 1 Tahun 2007, yaitu : menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan, mewujudkan keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan bagi kepentingan masyarakat, meningkatkan kualitas lingkungan yang sehat, indah, bersih, dan nyaman. Jenis RTH kawasan perkotaan (Permendagri Nomor 1 Tahun 2007) yaitu : (1) pertamanan meliputi taman kota, taman wisata, taman rekreasi, taman lingkungan perumahan dan permukiman, taman lingkungan perkantoran, taman hutan raya, (2) hutan kota, hutan lindung, dan cagar alam sebagai tempat rekreasi dan konservasi, (3) kebun raya dan kebun binatang, (4) lapangan olah raga seperti golf, sepak bola dan sebagainya, (5) pemakaman umum, (6) lahan pertanian, (7) jalur hijau meliputi koridor utilitas, blueway meliputi bantaran sungai dan kanal/danau, water front meliputi pantai, (8) daerah penyangga (buffer zone), dan (9) taman atap (roof garden)
2.3.2
Peran dan Fungsi Ruang Terbuka Hijau Fungsi pokok ruang terbuka hijau adalah pelaksanaan pengembangan
ruang terbuka hijau yang dilakukan dengan pengisian hijau tumbuhan secara
38
alami ataupun dengan tanaman budidaya. Namun demikian, ditinjau dari kondisi ekosistem pada umumnya, apapun sebutan bagian-bagian ruang terbuka hijau kota tersebut hendaknya semua selalu mengandung tiga fungsi pokok yaitu: 39 1. Fisik-ekologis (termasuk perkayaan jenis) 2. Ekonomis (nilai produktif dan penyeimbang untuk kesehatan lingkungan) 3. Sosial budaya (termasuk pendidikan, dan nilai budaya dan psikologisnya) Menurut Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 fungsi RTH di wilayah perkotaan, antara lain : pengaman keberadaan kawasan lindung perkotaan, pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air, dan udara, tempat perlindungan plasma nutfah dan keanekaragaman hayati, pengendali tata air, dan sarana estetika kota. Peranan RTH bagi pengembangan kota dapat dilihat dalam beberapa aspek sebagai berikut : 40 a.
b.
c.
d. e.
39
Alat pengukur iklim amplitude (klimatologis). Penghijauan memperkecil amplitude variasi yang lebih besar dari kondisi udara panas ke kondisi udara sejuk Penyaring udara kotor (protektif). Penghijauan dapat mencegah terjadinya pencemaran udara yang berlebihan oleh adanya asap kendaraan, asap buangan industri dan gas beracun lainnya Sebagai tempat hidup satwa. Pohon peneduh tepi jalan sebagai tempat hidup satwa burung/unggas Sebagai penunjang keindahan (estetika). Tanaman ini memiliki bentuk teksur dan warna yang menarik Mempertinggi kualitas ruang kehidupan lingkungan. Ditinjau dari sudut planologi, penghijauan berfungsi sebagai pengikat dan pemersatu elemen-elemen (bangunan) yang ada
Ibid, h. 230. Hakim dan Utomo, 2004, Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap, Bumi Aksara, Jakarta, h. 57. 40
39
disekelilingnya. Dengan demikian, dapat tercipta lingkungan yang kompak dan serasi.
Menurut Permendagri No. 1 Tahun 2007, lokasi RTH terbagi menjadi enam kawasan peruntukan ruang kota, yaitu : kawasan pusat perdagangan meliputi taman lingkungan sekitar pusat perdagangan, kawasan perdagangan meliputi taman lingkungan kantor, dan jalur hijau jalan, kawasan pendidikan (sekolah/kampus) meliputi jalan lingkungan kampus, pusat lingkungan dan taman, kawasan industri dan fasilitasnya meliputi jalur hijau jalan, taman lingkungan pabrik, kawasan permukiman meliputi halaman rumah, taman lingkungan, fasilitas perumahan, bantaran sungai, daerah rawan erosi, jalur hijau jalan raya dan jalan lingkungan, kawasan pertanian dan perkebunan meliputi ladang, kebun, sawah, hutan, cagar alam, daerah rawan erosi, bantaran sungai dan konservasi pesisir pantai. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, manfaat RTHKP adalah sebagai berikut: a. Sarana untuk mencerminkan identitas daerah b. Sarana penelitian, pendidikan dan penyuluhan c. Sarana rekreasi aktif dan pasif serta interkasi sosial d. Meningkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan e. Menumbuhkan rasa bangga dan meningkatkan prestise daerah f. Sarana aktivitas sosial bagi anak-anak, remaja, dewasa dan manula g. Sarana ruang evakuasi untuk keadaan darurat h. Memperbaiki iklim mikro i. Meningkatkan cadangan oksigen di perkotaan. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 Manfaat RTH secara langsung dan tidak langsung, sebagian besar dihasilkan dari
40
adanya fungsi ekologis, atau kondisi ’alami’ ini dapat dipertimbangkan sebagai pembentuk berbagai faktor. Berlangsungnya fungsi ekologis alami dalam lingkungan perkotaan secara seimbang dan lestari akan membentuk kota yang sehat dan manusiawi. Secara langsung, manfaat RTH adalah berupa bahan-bahan yang untuk dijual dan kenyamanan fisik. Sedangkan RTH yang manfaatnya tidak langsung adalah bermanfaat dalam perlindungan tata air dan konservasi hayati/untuk keanekaragaman hayati. Selain itu, RTH dapat bermanfaat bagi kesehatan dan ameliorasi iklim.