BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAJI DAN IDDAH A. Haji 1. Pengertian haji Menurut bahasa, haji (ُ )انحَطberarti
ُ انمَظْذyaitu menyengaja atau
menuju.1 Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan bahwa pada dasarnya arti haji ialah maksud. Sedangkan al-Khalil mengatakan: “Arti haji adalah banyaknya tujuan yang diagungkan”.2 Sedangkan menurut istilah syara‟ pengertian haji antara lain sebagai berikut: Menurut syaikh Zainuddin Abdul Aziz al-Malibari, haji adalah menyengaja mengunjungi Ka‟bah untuk melakukan manasik yang merupakan syari‟at bagi umat yang terdahulu.3 Sayid Sabiq berpendapat bahwa haji adalah mengunjungi Mekkah untuk mengerjakan ibadah thawaf, sa‟i, wuquf di Arafah dan ibadahibadah lain demi memenuhi perintah Allah swt dan mengharap keridhoanNya.4 Menurut Abdul Karim Zaidan, haji ialah menuju ke Bait al-Haram, dengan melakukan amalan-amalan khusus pada waktu-waktu yang di
1
Lahmuddin Nasution, fiqih 1 (Jakarta: Logos, tt), hlm. 207. Abdul Karim Zaidan, Ensiklopedi Hukum Wanita dan Keluarga, alih bahasa Bahrudin Fannani (Jakarta: Robbani Press, 1999), hlm.1. 3 Zainudin Abdul Aziz, Fathul Mu‟in (Indonesia: al- Haramain, 2006), hlm. 60. 4 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 5 (Bandung: Alma‟arif,1978), hlm 31. 2
17
18
tentukan, di tempat-tempat tertentu; seperti thawaf di Ka‟bah dan wukuf di Arafah pada hari kesembilan bulan Dzulhijah.5 Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa haji adalah menziarahi atau mengunjungi Ka‟bah di Makkah, dengan niat yang tertentu, dalam waktu yang tertentu, dan dengan cara-cara yang tertentu pula.6
2. Dasar hukum haji Seluruh kaum muslimin sepakat atas wajibnya haji, pada sebagian landasan pokoknya diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. a. Al-Qur‟an Kewajiban berhaji bagi umat Islam telah ditegaskan dalam beberapa ayat al-Qur‟an, di antaranya sebagai berikut: 1. Surat Al-Baqarah ayat 196-197
5 6
Abdul Karim Zaidan, op.cit. , hlm.2 Idris Ahmad, Fiqh Syafi‟i, cet. Ke-5 (Jakarta: Karya Indah, 1984), hlm. 518.
19
Artinya: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umroh karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) qurban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum qurban sampai ditempat penyembelihannya. Jika ada diantaramu yang sakit, atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berqurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umroh sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) qurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang qurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (disekitar) masjidil haram (orang-orang yang bukan penduduk kota makkah). Dan bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya. (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasiq dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal.”7 Ayat di atas jika dilihat dari redaksi bunyi teksnya diawali dengan kata perintah. Yang mana setiap kata perintah di dalam ayat al-Quran pada dasarnya menunjukkan arti kewajiban. Sehingga jelaslah bahwa ayat tersebut mewajibkan setiap muslim baik laki-
7
QS. al-Baqarah (2) : 196-197
20
laki maupun perempuan agar menyempurnakan (menunaikan) ibadah haji.
2. Surat Ali-Imran ayat 97
Artinya: “Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata (diantaranya) maqam ibrohim, barang siapa memasukinya (baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah; barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam 8 Ayat ini menegaskan kepada kita bahwa melakukan ibadah haji di Baitullah merupakan salah satu ibadah yang wajib bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan yang mampu.
3. Surat Al-Hajj ayat 27
Artinya: “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” 9 8 9
QS. Ali Imran (3) : 97 QS. Al-Hajj (22) :27
21
Ayat di atas juga memerintahkan kepada setiap manusia baik yang berada jauh maupun yang dekat dari Makkah untuk melakukan ibadah haji. b. Sunnah Dalam Sunnah Nabi saw yang dijadikan sebagai dasar hukum tentang ibadah haji antara lain: 1. Hadis dari Abu Hurairah ra.
ٓا انُاط لذ فشع اهللٚ أ: ّ ٔعهى فمالٛخطثُا سعٕل اهلل طهٗ اهلل عه ّٗا سعٕ ل اهللِ؟ فكَغَدَ حرٚ ٍ أكمّ عاو: كى انحط فحعٕا فمال سظمٛعه ْ نٕ لهدُ َعىْ نَٕظثد: ّ ٔعهىٛلانٓا شالشاً فمال سعٕل اهلل طهٗ اهلل عه ِ يا ذشكْركى فئًَا َْهَك يٍَ لثهكى تكَصشخَٙٔ رَس: ٔنًا اعْرطعْرى شىّ لال ُّئٍ فأْذْٕا يٛ فئرا ايشْذُكى تش. ا ئٓىٛعُؤانِٓى ٔاخرِال فٓى عهٗ أَث ٙئٍ فذَعِٕ (سٔاِ يغهى ٔانُغائٛركى عٍ شَٛٓ يااعرطعرى ٔإرا )٘ٔانرشيز Artinya: “Rasulullah saw berhkotbah kepada kami, beliau bersabda: „Hai manusia, sesungguhnya Allah telah memfardhukan atas kalian ibadah haji, maka berhajilah kalian‟, Lalu seorang lagi bertanya, “Apakah setiap tahun, wahai rasulullah?” Nabi saw diam, hingga lelaki itu mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali, maka barulah ia bersabda, „Seandainya aku katakana ya, niscaya diwajibkan (tiap tahun), dan niscaya kalian tidak akan mampu‟, selanjutnya Nabi saw bersabda: “Lakukan apa yang aku perintahkan kepada kalian, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa hanyalah karena mereka banyak bertanya dan banyak menentang nabi-nabi mereka. Karena itu apabila aku perintahkan sesuatu kepada kalian, maka kerjakanlah dengan semampu kalian, dan apabila aku mencegah sesuatu dari kalian maka tinggalkanlah ia oleh kalian.” (Riwayat Muslim, Nasai dan Turmudzi)10 10
Manshur Ali Nashif, Mahkota Pokok-pokok Hadis Rasulullah saw, jilid 2, alih bahasa Bahrun Abu Bakar (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1993), hlm. 322.
22
Hadist ini menunjukkan bahwa ibadah haji merupakan ibadah yang diperintahkan oleh Allah SWT. Oleh Karena itu Rasulullah
SAW
memerintahkan
kepada
umatnya
agar
menunaikan ibadah haji bagi setiap umatnya baik laki-laki maupun perempuan yang mampu meskipun hanya sekali di masa hidupnya. 2. Hadits dari Siti Aisyah ra.
ٍِّ ال نك: ا سعٕل اهلل َشٖ انعٓاد أفؼم انعًمِ أفال َُعاْذُ؟ لالٚ ٍُ ٔنكٍِ أحغ: ُّ ٔنفظٙم انعٓا ِد حطٌ يثشٔ ٌس سٔاِ تخش٘ ٔانُغائ َ أفؼ ِدٛط انث ُ انعٓا ِد ٔأظًَْهُّ ح Artinya: “Wahai rasulullah, kami melihat bahwa jihad adalah amal yang paling utama, bolehkah kami berjihad? Nabi saw menjawab, “tidak, tetapi jihad yang paling utama adalah haji yang mabrur” (Riwayat Bukhari dan Nasai). Menurut lafadz Imam Nasai disebutkan, “Tetapi jihad yang paling baik dan paling indah ialah haji ke Baitullah”.11 Hadits ini menunjukkan keutamaan menunaikan ibadah haji. telah jelas bahwa ibadah haji merupakan salah satu jihad bagi seorang laki-laki maupun perempuan yang paling utama.
3. Syarat dan rukun haji a. Syarat haji Syarat-syarat ibadah haji ada yang bersifat umum bagi laki-laki dan wanita, dan ada juga yang bersifat khusus bagi wanita.12 Adapun syarat-syarat yang bersifat umum antara lain sebagai berikut:13 11
Ibid., hlm. 316 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. Ke-1, jilid 2 (Jakarta: Ichtiar van Hoeve, 1996), hlm. 474. 12
23
1. Muslim Seperti ibadah lainnya, haji tidak diwajibkan dan tidak sah jika dilakukan oleh orang kafir. 2. Baligh dan, 3. Berakal Anak-anak dan orang gila tidak dikenakan taklif, maka yang berkewajiban menunaikan ibadah haji yaitu seseorang yang telah baligh dan berakal. 4. Merdeka Tuan seorang budak berhak atas manfaat dirinya, dan membebankan kewajiban haji atas budak dapat merugikan tuannya. Nabi saw bersabda:
ّٖ حعح اخشًٛا عثذ حط شى اعطك فعهٚا Artinya: “Seorang hamba yang telah berhaji, dimerdekakan, maka wajib atasnya haji sekali lagi.”
kemudian
5. Mampu Allah swt menyatakan bahwa haji itu adalah bagi mereka yang mampu. Para ulama menafsirkan kemampuan (istita‟ah) itu dengan: a. Tersedianya bekal untuk perjalanan pergi dan kembali serta selama berada di tanah suci b. Tersedianya kendaraan bagi yang tempat tinggalnya jauh dari Makkah, baik dengan memiliki atau dengan menyewa. 13
Lahmuddin Nasution, op. cit., hlm. 210.
24
c. Aman di perjalanan, artinya tidak ada ancaman yang berarti terhadap jiwa, kehormatan, dan hartanya. d. Memungkinkan melakukan perjalanan. Artinya setelah seseorang mendapatkan biaya, masih tersedia cukup waktu untuk melakukan perjalanan haji. Menurut ulama fiqih, syarat-syarat khusus dalam melaksanakan ibadah haji bagi perempuan adalah sebagai berikut:14 1. Harus didampingi oleh mahramnya. Jika mereka tidak didampingi suami atau mahram, maka haji tidak waib bagi mereka. Hal ini didasarkan atas sabda Rasulullah saw:
ّٛ أٌ سعٕل اهلل طهٗ اهلل عه: اهلل عًُٓاٙس اتٍ عًش سػٚحذ ٔعهى لال ال ذغافش انًشأج شالشا إال ٔيعٓا رٔ يحشو Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA. dia telah berkata: Rasulullah SAW telah bersabda: “Janganlah seorangwanita bepergian (menjadi musafir) selama tiga hari melainkan bersama mahram“(HR. Muttafaq Alaih)15 Ulama madzhab Syafi‟i menyatakan bahwa jika ada beberapa perempuan yang dapat dipercaya mendampingi perempuan yang tidak mempunyai suami atau mahram untuk naik haji, maka perempuan yang tidak mempunyai suami atau mahram ini wajib melaksanakan ibadah haji. Menurut ulama Madzhab Maliki, disamping dalam keadaan yang dikemukanan ulama Syafi‟i,
14
Abdul Azis Dahlan , op. cit., hlm. 475. Ahmad Mudjab Mahalli, Hadis-Hadis Muttafaq Alaih,- bagian ibadat- (Jakarta: Kencana, 2004), hlm.629. 15
25
diwajibkan juga bagi perempuan tersebut untuk melaksanakan ibadah haji apabila ada pendamping yang menjamin keamanannya. 2. Perempuan itu bukan perempuan yang sedang
menjalani masa
iddah, baik iddah karena talaq maupun iddah karena kematian suami. Syarat ini didasarkan atas firman Allah surat at-Talaq ayat 1.
Artinya: “Hai nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah, tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah. Dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat dzalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barang kali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru.”16 Akan tetapi ulama madzhab Hanbali membolehkan perempuan yang sedang menjalani iddah talaq untuk melaksanakan ibadah haji, tetapi melarang perempuan yang kematian suami untuk melaksanakan ibadah haji. Pembedaan ini ulama madzhab Hanbali lakukan karena bagi perempuan yang sedang menjalani iddah wafat, wajib untuk tetap berada di rumah mereka, sebagai penghormatan terhadap suami mereka yang baru meninggal. Sedangkan bagi 16
QS. at-Talaq (65) : 1
26
perempuan yang ditalaq tidak demikian. Perempuan yang ditalaq menurut ulama madzhab Hanbali tidak harus senantiasa berada di rumah, tetapi diperbolehkan berpergian khususnya dalam rangka menunaikan berbagai kewajibannya. Oleh sebab itu, apabila perempuan yang ditalaq ini telah memenuhi syarat-syarat untuk melakukan
ibadah
haji,
maka
wajib
bagi
mereka
untuk
melaksanakan ibadah haji, sebagaimana yang berlaku pada perempuan yang tidak beriddah. b. Rukun Haji Rukun haji merupakan rangkaian amalan yang harus dilakukan dalam ibadah haji dan tidak dapat diganti dengan yang lain, walaupun dengan dam (denda), sehingga jika ditinggalkan tidak sah hajinya.17 Adapun amalan-amalan yang termasuk rukun haji antara lain sebagai berikut:18 1. Ihram Yang dimaksud dengan ihram adalah berniat untuk memulai ibadah haji. 2. Wukuf di Arafah Yaitu berdiam diri, zikir dan berdo'a di Arafah pada tanggal 9 Zulhijah. Para ulama sepakat, bahwa wukuf termasuk rukun haji karena Rasulullah saw bersabda:
17
Departemen Agama RI, Bimbingan Manasik Haji, Umrah dan Ziarah bagi Petugas Haji (Jakarta, 2001), hlm. 4. 18 Lihat Muhammad Nawawi al-Jawi, Fathul Mujib (Jombang: az-Ziyadah, tt), hlm. 3. ; Zainudin Abdul Aziz, Fathul Mu‟in (Indonesia: al- Haramain, 2006), hlm. 60.
27
انحط عشفح Haji itu wukuf di Arafah. Dalam pelaksanaan wukuf, orang yang sedang melaksanakan ibadah haji itu wajib hadir, walaupun sebentar, dan berada di Arafah pada waktu antara tergelincir matahari pada hari Arafah sampai terbit fajar pada hari Idul Adha. 3. Thawaf Thawaf yang menjadi rukun haji adalah thawaf Ifadah. Yaitu mengelilingi Ka'bah sebanyak 7 kali, dilakukan sesudah melontar Jumrah Aqabah pada tanggal 10 Zulhijah. 4. Sa‟i Yaitu berjalan atau berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah sebanyak 7 Kali, dilakukan sesudah thawaf Ifadah 5. Tahalul Yaitu bercukur atau menggunting rambut sesudah selesai melaksanakan Sa'i 6. Tartib Yaitu mengerjakannya sesuai dengan urutannya serta tidak ada yang tertinggal. 4. Wajib dan sunah haji a. Wajib haji Wajib haji merupakan rangkaian amalan yang harus dikerjakan dalam ibadah haji, bila tidak dikerjakan sah hajinya akan tetapi harus
28
membayar dam, berdosa kalau sengaja meninggalkan dengan tidak ada udzur syar‟i.19 Adapun amalan-amalan yang termasuk wajib haji antara lain:20 1. Ihram dari miqat 2. Mabit (bermalam) di Muzdalifah 3. Mabit (bermalam) di Mina 4. Melontar Jumrah 5. Melaksanakan thawaf wada‟ b. Sunah haji Sunah yang dimaksud di sini adalah suatu perbuatan dalam pelaksanaan ibadah haji apabila dilaksanakan akan mendapat pahala, dan apabila ditinggalkan tidak akan menjadikan batal hajinya. Adapun amalan-amalan yang termasuk sunah haji antara lain:21 1. Melaksanakan haji ifrad 2. Mengucapkan lafal talbiah. 3. Thawaf qudum 4. Mabit di Musdalifah 5. Sholat dua rokaat setelah selesai thawaf di belakang makam Ibrahim 6. Mabit di Mina 7. Thawaf Wada‟
19
Departemen Agama RI, Bimbingan Manasik Haji (Jakarta, 2006), hlm. 11. Lihat Muhammad Nawawi al-Jawi, Fathul Mujib (Jombang: az-Ziyadah, tt), hlm. 5. ; Zainudin Abdul Aziz, Fathul Mu‟in (Indonesia: al- Haramain, 2006), hlm. 61. 21 Muhammad Ibnu Qasim Al-Ghozi, Syarh Fathul Qarib al-Mujib (Semarang: Toha Putra, tt), hlm. 28. 20
29
B. Iddah 1. Pengertian iddah Iddah sudah dikenal pada zaman jahiliyah. Mereka hampir tidak pernah meninggalkan kebiasaan iddah. Kemudian ketika Islam datang, kebiasaan itu diakui dan dijalankan terus, karena ada kebaikan padanya. Para ulama sepakat bahwa iddah itu wajib hukumnya. Kata
انعذجsecara bahasa berasal dari kata اَنْعَ ُذartinya menghitung,
bentuk jamaknya adalah: maknanya
ُ اْنعِذَد.
Bila dikatakanَٔ َذعْ َذادًا
ع ًذا َ ُع ُذَٚ ع َذ َ
ُظاء َ ْ( َانْ ِاحmenghitung). Kata iddah sinonim dari kata al-„Ajal
(masa untuk menunggu). Jika dikatakan:
م ِظ ُ َع َذ ُج انش ِ ْؼد َ ِاَْ َم
masa tunggunya telah rampung. Bila dikatakan
maksudnya
ظ َٓا ِ ْٔخ اْنًَشَْأ ُج ِيٍْ َص ِ َٔاعْ َر َذ
ع َذ ُذ َٓا ِ ْؼد َ َٔاَْ َمartinya istri telah menjalani masa tunggu yang sudah di tentukan (dan masa tunggunya itu telah usai).22 Sedangkan menurut istilah syara‟
pengertian iddah antara lain
sebagai berikut: Menurut Sayid Sabiq iddah dari kata adad, artinya menghitung. Maksudnya perempuan (isteri) menghitung hari-harinya dan masa bersihnya. Iddah dalam istilah agama menjadi nama bagi masa lamanya
22
Yusuf ad-Duraiwisy, Nikah Siri, Mut‟ah dan Kontrak, dalam Timbangan al-Qur‟an & as-Sunnah, alih bahasa Muhammad Ashim, (Jakarta: Darul Haq, 2010), hlm. 229.
30
perempuan (istreri) menunggu tidak boleh kawin setelah kematian suaminya, atau setelah pisah dari suaminya.23 Ibnu Qasim al-Ghazi memberikan definisi iddah sebagai penantian seorang wanita dalam suatu masa sehingga diketahui bersihnya rahim dengan hitungan quru, bulan atau sampai melahirkan.24 Di dalam Ensiklopedi Hukum Islam iddah didefiniskan sebagai masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berpikir bagi suami.25 Sedangkan sebagaimana dikutip Abdul Mannan dalam bukunya Fiqih Lintas Madzhab, iddah menurut madzahib al-arba‟ah antara lain sebagai berikut:26 Menurut imam Hanafi, iddah adalah penantian seorang istri setelah ikatan pernikahannya terputus karena terjadi perceraian (talak), terjadi wath‟i syubhat atau seorang suami telah meninggal dunia dalam beberapa waktu yang ditentukan oleh syara‟. Menurut imam Maliki, iddah adalah waktu yang diharamkan bagi seorang istri untuk menikah lantaran telah terjadi perceraian (talak), seorang suami telah meninggal dunia, atau pernikahan telah rusak (fasakh).
23
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid VIII, (Bandung: Al Ma‟arif, 1978), hlm. 150. Muhammad Ibnu Qasim Al-Ghozi, op. cit., hlm. 50. 25 Abdul Azis Dahlan , op. cit., hlm. 637. 26 Abdul Mannan, Fiqih Lintas Madzhab, juz 5, (Kediri: PP. Al Falah, 2011), hlm. 37. 24
31
Menurut imam Syafi‟i, iddah adalah waktu menunggu bagi seorang istri untuk mengetahui (memastikan) bahwa di dalam kandungan tidak ada janin (bakal anak), atau semata-mata untuk ta‟abbud (melaksanakan perintah Allah SWT), setelah terjadi talak, fasakh, wathi syubhat, atau suami meninggal dunia. Menurut imam Hambali, iddah adalah sebuah waktu yang telah ditentukan oleh syara‟ bagi seorang istri untuk tidak menikah kembali lantaran telah terjadi perceraian (talak) atau seorang suami telah meninggal dunia. Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa iddah yaitu: waktu yang ditentukan oleh syara‟ sesudah perceraian (baik cerai hidup maupun cerai mati) yang wajib bagi seorang wanita untuk menunggu dengan tidak menikah sebelum habis masa iddahnya yang bertujuan untuk mengetahui kebersihan rahimnya atau untuk melaksanakan perintah Allah SWT.27 2. Dasar hukum iddah Seluruh kaum muslimin sepakat atas wajibnya iddah, pada sebagian landasan pokoknya diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul. a. Al-qur‟an Kewajiban beriddah bagi wanita telah di tegaskan dalam beberapa ayat Al-qur‟an, diantaranya sebagai berikut: 1. Al-Baqarah ayat 228 27
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Cet. Ke-II (Jakarta: Prenada Media, 2007), hlm. 303-304.
32
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru‟”28 Ayat ini menjelaskan bahwa wanita-wanita yang baru berpisah dengan suaminya dikarenakan perceraian, maka harus menunggu selama tiga kali quru‟ jika ingin melakukan perkawinan kembali dengan laki-laki lain. 2. Al-Baqarah ayat 234
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.”29 Ayat ini memerintahkan bagi seorang wanita yang baru ditinggal mati suaminya agar melakukan iddah selama empat bulan sepuluh hari. 3. Al-Ahzab ayat 49
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu menceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya” 30
28 29
QS. al-Baqarah (2) : 228 QS. al-Baqarah (2) : 234
33
Ayat di atas menjelaskan bahwa bagi seorang wanita yang berpisah dengan suaminya karena dicerai, apabila perempuan itu belum dicampuri oleh mantan suaminya, maka tidak ada iddah bagi seorang wanita tersebut. b. Sunnah Dalam Sunnah Nabi yang dijadikan sebagai dasar hukum tentang iddah antara lain: 1. Hadits dari Aisyah
شج اٌ ذعرذ تصال زٚ ايشخ تش: اهلل عُٓا لاندٙٔعٍ عا ئشح سػ ِغ سٔاِ اتٍ يعاٛح Artinya: “Dari Aisyah RA. ia berkata: Bariroh diperintah agar melakukan iddah tiga kali haid (persucian).” (HR. Ibnu Majah)31 Hadits ini menunjukkan bahwa iddah itu merupakan salah satu perintah yang wajib dikerjakan bagi seorang yang wanita yang baru diceraikan suaminya. sedangkan lamanya iddah itu sendiri diantaranya adalah tiga kali haid atau persucian. 2. Hadits dari Ummu Athiyah
ّ ٔعهىٛ اهلل عُٓا اٌ سعٕل اهلل طهٗ اهلل عهٙح سػٛعٍ او عط د فٕق شالز اال عهٗ صٔض استعح اشٓشٛلال ال ذحز ايشاج عهٗ ي ٔال ذهثظ شٕتا يظثٕغا اال شٕب عظة ٔال ذكرحم ٔال,ٔعششا )ّٛ اال ارا ظٓشخ َثزج يٍ لغط أ اطفاس (يرفك عه,ثاٛذًظ ط 30
QS. al-Ahzab (33): 49 Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Maram, jilid 3, alih bahasa Thahirin Suparta, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hlm. 656. 31
34
Artinya: “Dari Ummu Athiyah RA. (katanya) : sesungguhnya rasulullah saw bersabda: tidak boleh wanita berkabung atas orang yang mati lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya empat bulan sepuluh hari, tidak boleh dia memakai pakaian yang diceluk (warna warni) selain kain pembalut, tidak boleh dia bercelak mata, tidak boleh dia memakai wangi-wangian, kecuali dia suci dari sebagian haidnya, maka boleh memakai sedikit kayu wangi (qusth), atau dua macam benda yang wangi (Azhfar)”. (Muttafaq Alaih).32 Hadits ini menjelaskan iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya. Seorang wanita yang ditinggal mati suaminya diwajibkan beriddah selama empat bulan sepuluh hari. Pada masa itu seorang wanita juga diwajibkan berihdad atau tidak boleh berhias diri. 3. Macam-macam iddah Menurut sebab musababnya, iddah terbagi atas beberapa macam, antara lain:33 a. Iddah talak Iddah talak artinya iddah yang terjadi karena perceraian. Perempuan-perempuan yang berada dalam iddah talak antara lain sebagai berikut: 1. Perempuan yang telah dicampuri dan ia belum putus dalam haid, iddahnya ialah tiga kali suci atau tiga kali haid, dan dinamakan juga tiga kali quru‟. Firman Allah SWT:
32
Abu Bakar Muhammad, Terjemah Subulus Salam III (Surabaya: al-ikhlas, 1995), hlm.
720. 33
Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqih Munakahat II,cet. Ke-I (Bandung: Pustaka Setia, 1999),hlm. 122
35
Artinya:“Wanita-wanita yang ditalak, hendaklah ia menahan diri (menunggu) tiga kali quru‟. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat” 34 2. Perempuan-perempuan yang dicampuri, dan tidak berhaid, baik ia perempuan yang belum baligh atau perempuan tua yang tidak haid. Perempuan yang tidak berhaid sama sekali sebelumnya, atau kemudian terputus haidnya, maka iddahnya tiga bulan. Firman Allah SWT:
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid diantara perempuan-perempuan jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid.”35 3. Perempuan-perempuan yang tertalak dan belum disetubuhi Bagi perempuan yang seperti ini, tidak ada iddahnya. Allah SWT berfirman:
34 35
QS. Al Baqarah (2) : 228 QS. al-Talaq (65): 4
36
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.”36
Jika perempuan (istri) yang belum disetubuhi ditinggal mati suaminya, maka ia harus beriddah seperti iddahnya orang yang sudah disetubuhi, karena Allah berfirman:
Artinya; “orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari” 37 b. Iddah hamil Iddah hamil yaitu iddah yang terjadi apabila perempuanperempuan yang diceraikan itu sedang hamil. Iddah mereka adalah sampai melahirkan anak. Firman Allah:
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu raguragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga 36 37
QS. al-Ahzab (33): 49 QS. al-Baqarah (2) : 234
37
bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”)38
c. Iddah wafat Iddah wafat yaitu iddah terjadi apabila seorang perempuan ditinggal mati suaminya. Dan iddahnya selama empat bulan sepuluh hari. Firman Allah:
Artinya; “orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari”39 d. Iddah wanita yang kehilangan suami Bila ada seorang perempuan yang kehilangan suami, dan tidak diketahui dimana suaminya itu berada, apakah ia telah mati atau masih hidup, maka wajiblah ia menunggu empat tahun lamanya. Sesudah itu hendaklah ia beriddah empat bulan sepuluh hari.
ْٕ ًٍٚاايشأج فمذخ صٔظٓا نى َذس اٚ أ:عٍ عًش سػٗ اهلل عُّ لال ٍِ شى ذعرذ أستعح أشٓشٔعششا شى ذحم (سٔاُٛفئَٓا ذُرظش أستع ع )يانك
38 39
QS. at-Talaq (65) : 4 QS. al-Baqarah (2): 234
38
Artinya: “Dari Umar r.a. berkata, “Bagi perempuan yang kehilangan suaminya dan ia tidak mengetahui dimana dia berada, sesungguhnya perempuan itu wajib menunggu empat tahun, kemudian hendaklah ia beridah empat bulan sepuluh hari, barulah ia boleh menikah.” (H.R. Malik) Apabila suami itu hilang dalam pertempuran dan belum diketahui apakah ia masih hidup atau sudah mati, maka wajiblah bagi istri menunggu setahun. Dalam sebuah hadis Nabi Saw disebutkan:
إرا فمذ فٗ انظف فٗ انمرال:ة سػٗ اهلل عُّ لالٛذ تٍ انًغٛعٍ عع ) (سٔاِ انثخاس.ذرشتض إيشأذّ عُح Artinya: “Dari Said bin Musayyab r.a. berkata, “apabila seseorang hilang dalam barisan pertempuran, hendaknya istrinya menunggu setahun lamanya.” (H.R. Bukhari) Apabila suami hilang dalam tawanan dan tidak diketahui tempatnya, maka ia dihukumi sebagai suami yang hilang tidak menentu tempatnya. Hadis Nabi Saw:
مغى يانّ فاراٚ ال ذرضٔض ايشأذّ ٔال:َّعهى يكاٚ شٛلال انضْشٖ فٗ االع )ٖ (سٔاِ انثخاس.اَمطع خثشِ فغُرّ عُح انًفمٕد Artinya: “ Berkata Zuhri dalam perkara tawanan yang diketahui tempatnya: “Istrinya itu tidak boleh menikah, dan hartanya itu belum boleh dibagi-bagi, bila telah putus kabar beritanya, maka aturannya ialah aturan suami yang hilang.” (H.R. Bukhari) Sebelum iddahnya selesai, hukumnya haram bagi perempuan itu menikah. e. Iddah perempuan yang di Ila‟
39
Bagi perempuan yang di-ila‟, timbul perbedaan pendapat apakah ia harus menjalani iddah atau tidak. Jumhur fuqaha mengatakan bahwa ia harus menjalani iddah, dengan alasan bahwa istri yang di-ila‟ adalah istri yang dicerai juga. Oleh karena itu, ia harus beriddah seperti perempuan-perempuan lain yang dicerai. Sebaliknya, Zabir bin Zaid berpendapat bahwa ia tidak wajib iddah, jika ia telah mengalami haid tiga kali selama masa empat bulan, dengan alasan bahwa diadakannya iddah adalah untuk mengetahui kosongnya rahim, sedang kekosongan ini sudah dapat diketahui dari masa tersebut. 4. Hak dan kewajiban perempuan dalam masa iddah a. Hak wanita yang beriddah talaq raj‟i Wanita yang taat dalam iddah raj‟iyah berhak menerima tempat tinggal, pakaian dan segala keperluan hidupnya dari suami yang mentalaknya, kecuali pihak isteri berbuat durhaka, maka ia tidak berhak menerima apapun.
40
Para fuqaha‟ tidak berbeda pendapat bahwa isteri
berhak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah dari suaminya. Sedangkan isteri wajib tinggal bersama suami.41 Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Thalaq ayat pertama dan kedua:
40
Achmad Tubagus Surur, Fiqih Munakahat (Pekalongan: STAIN pekalongan press, 2011), hlm. 216. 41 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, alih bahasa Abdul Majid Khon, cet. Ke-I (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 333.
40
Artinya : “Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru” “Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah”.42 b. Hak wanita yang beriddah talaq ba‟in Para fuqaha‟ berselisih pendapat tentang nafkah dan tempat tinggal bagi wanita yang ditalak ba‟in, tetapi tidak dalam keadaan hamil. Para ulama Kufah berpendapat bahwa wanita tersebut tetap mendapatkan tempat tinggal dan nafkah.43 Imam Abu Hanifah berpendapat sama dengan ulama Kufah. Wanita itu mempunyai hak nafkah dan tempat tinggal seperti yang ditalak raj‟i karena dia wajib menghabiskan masa iddah itu di rumah suaminya. Nafkahnya ini dianggap sebagai hutang yang resmi sejak 42
QS. Al-Thalaq (65): 2 Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqih Munakahat II,cet. Ke-I (Bandung: Pustaka Setia, 1999),hlm. 142 43
41
jatuhnya talak tanpa bergantung pada adanya kesepakatan atau tidak adanya putusan pengadilan. Hutang ini tidak dapat dihapuskan kecuali sudah dibayar lunas atau dibebaskan.44 Ulama
Hanabilah,
Zhahiriyah,
Ishaq,
dan
Abu
Tsaur
berpendapat bahwa ia tidak berhak nafkah dan tempat tinggal sekalipun hamil. Alasan mereka, nafkah dan tempat tinggal diwajibkan sebagai imbalan hak rujuk bagi suami, sedangkan dalam talak ba‟in suami tidak punya hak rujuk. Oleh karena itu, tidak ada nafkah dan tempat tinggal bagi wanita tersebut, sebagaimana Hadits yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais yang telah ditalak suaminya untuk yang ketiga kalinya, bahwa Nabi SAW tidak menjadikan nafkah dan tempat tinggal baginya.45
سعٕل اهللٙععم نٚ شالشا فهىٙ صٔظُٙظ لاند طهمٛعٍ فاطًح تُد ل . سٔاِ يغهى.ص و عكُٗ ٔال َفمح Artinya : “Dari Fatimah binti Qois, ia berkata: „Suamiku menceraikan aku tiga kali, lalu Nabi SAW tidak menetapkan tempat tinggal dan nafkah untukku‟.46 c. Hak wanita yang beriddah karena suaminya meninggal Seorang wanita yang menjalani iddah karena ditinggal mati oleh suaminya, ia tidak berhak mendapatkan nafkah baik dalam keadaan
44
Ibid., Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, op. cit., hlm. 334.
45
46
Muslim, Shohih Muslim, Juz I (Semarang: Toha Putra), hlm. 642.
42
hamil atau tidak. Dalam masalah ini tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama‟.47 Namun para ulama‟ berbeda pendapat berkenaan dengan tempat tinggal bagi wanita yang beriddah karena ditinggal mati suaminya. Syafi‟i
sendiri
mempunyai
dua
pendapat:
pendapat
pertama
menyatakan, tidak ada hak bagi wanita tersebut untuk mendapatkan tempat tinggal dan ia diperbolehkan di mana saja ia suka. Demikianlah pendapat Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan Aisyah. Hal itu pun dikemukakan oleh Atha‟, Jabir bin Zaid dan Al-Hasan. Pendapat senada juga disampaikan oleh Abu Hanifah dan menjadi pilihan al-Muzni. pendapat kedua menyatakan, bahwa ia berhak mendapatkan tempat tinggal, dan inilah pendapat yang lebih tepat. Ini pula yang menjadi pendapat Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Mas‟ud, Malik, Sufyan al-Tsauri, Ahmad dan Ishak.48 d. Kewajiban wanita ketika beriddah Selain memperoleh hak atas mantan suami selama beridah seperti nafkah dan tempat tinggal, wanita tersebut juga memiliki beberapa kewajiban. Pertama, larangan menerima pinangan (khitbah). Laki-laki asing tidak diperbolehkan meminang perempuan yang sedang dalam masa iddah secara terang-terangan, baik kepada perempuan yang ditalak ataupun ditinggal mati oleh suaminya. Namun, dia tetap
47
Achmad Tubagus Surur, op. cit., hlm. 220. Ibid., hlm.221-222
48
43
diperbolehkan untuk meminang secara sindiran kepada perempuan yang sedang iddah karena kematian suami.49 Kedua, larangan menikah dengan laki-laki lain. Apabila wanita tersebut menikah dalam masa iddah maka perkawinan tersebut bathil. Sebab, wanita itu tidak boleh menikah untuk menjaga hak suami yang pertama. Ketiga, larangan keluar dari rumah, tetapi masih ada perdebatan dari para ulama mengenai larangan ini dan akan dijelaskan pada item selanjutnya. Keempat, bagi wanita yang ditinggal mati suami diwajibkan untuk menjalankan ihdad,50 baik yang masih kecil maupun yang sudah dewasa. Ihdad ini dilakukan dengan menjauhi hal-hal seperti berhias diri dan memakai wangi-wangian. Adapun yang dimaksud berhias diri adalah memakai pakaian, memakai celak, pacar kuku, merapikan rambut dengan menggunakan sisir, dan bentuk apapun yang pada umumnya dinilai sebagai sarana berhias. Sedangkan yang dimaksud dengan wewangian (parfum) adalah setiap benda yang bisa dijadikan benda lain menjadi wangi, baik terbuat
49
Muhammad Isna Wahyudi, Fikih Iddah Klasik dan Kontemporer, cet. Ke-I (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009),hlm. 103. 50
Ihdad adalah masa berkabung bagi seorang isteri yang ditinggal mati suaminya selama 4 bulan 10 hari dengan larangan-larangannya, antara lain: bercelak mata, berhias diri, keluar rumah kecuali dalam keadaan terpaksa, lihat Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, cet. Ke-III (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 302.
44
dari sebuah cairan atau benda padat, baik yang dipakai di badan atau pada pakaian. Diperbolehkan bagi seorang isteri yang sedang ihdad memakai wewangian seperti sabun mandi, shampo pada saat mandi, atau berada di sebuah ruangan ber AC yang terdapat sebuah pewangi. Karena pada umumnya hal tersebut bukan merupakan sarana untuk memakai wewangian.51 e. Wanita yang keluar rumah saat menjalani masa iddah Perempuan yang beriddah harus tinggal di rumah suaminya sampai habis masa iddahnya.
Ia tidak halal keluar dari rumah ini.
suaminya juga tak halal menyuruhnya keluar dari rumahnya, sekalipun telah jatuh talak atau perpisahan Ketika isterinya tidak di rumah suami maka wajiblah isteri tersebut pulang ke rumah suaminya ini begitu mengetahuinya.52 Firman Allah:
Artinya : “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat 51 52
Abdul Mannan, op. cit., hlm. 101-102. Achmad Tubagus Surur, op. cit., hlm. 222.
45
(menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertaqwalah kepada Allah, janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”53 Dan Umar melarang perempuan-perempuan yang ditinggal suaminya mati keluar pergi haji. Dikecualikan hukum ini perempuanperempuan Badui. Jika ia ditinggal mati oleh suaminya, ia boleh ikut pergi dengan keluargannya jika keluarganya biasa berpindah-pindah tempatnya (nomaden).54 Tetapi pendapat ini ditolak oleh Aisyah, Ibnu Abbas, Jarrir bin Zaid, Al-Hassan, Atha‟ dan riwayat dari Ali serta Jabir. Aisyah berfatwa tentang perempuan yang ditinggal mati suaminya ini bahwa ia boleh keluar semasa iddahnya. Dan Aisyah sendiri pernah keluar bersama Ummu Kultsum, saudara perempuannya yang suaminya yaitu Thalhah bin Ubaidillah mati terbunuh, untuk berumrah ke Mekkah.55 Ulama fiqih berbeda pendapat berkaitan dengan hukum perempuan yang keluar rumah selama dalam masa iddah. Menurut madzhab Hanafi, perempuan yang ditalak raj‟i dan ba‟in tidak boleh keluar dari rumahnya, baik di siang hari maupun malam hari. Sedangkan perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya, dia boleh keluar rumah pada waktu siang hari dan pada awal malam. Tapi tidak
53
QS. al-Thalaq (65): 1 Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 168. 55 Ibid., 54
46
diperbolehkan menginap di rumah orang lain selain di rumahnya sendiri.56 Menurut madzhab Hanafi, perbedaan antara dua permasalahan tersebut di atas adalah perempuan yang ditalak masih dalam tanggungan nafkah suaminya. Oleh sebab itu, dia tidak boleh keluar rumah. Berbeda dengan perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya, maka dia sudah tidak mendapatkan nafkah lagi. Oleh sebab itu, dia harus keluar pada waktu siang hari untuk memenuhi kebutuhannya.57 Golongan Hanafi ini berpendapat perempuan yang ditalak wajib beriddah di rumah yang dijadikan tempat tinggalnya ketika terjadi perpisahan. Bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya dan perempuan itu mendapat bagian waris tetapi bagian itu tidak cukup untuk menetap di rumah si mati (menyewa rumah si mati) atau dikeluarkan oleh waris lainnya yang mendapat bagian juga, maka ia boleh pergi. Akan tetapi tetap mau tinggal di rumah si mati adalah ibadah, sedangkan ibadah ini bisa ditinggalkan karena adanya halangan atau suatu alasan seperti alasan tersebut. Menurut mereka jika ia tidak sanggup membayar sewa rumah yang ditempatinya karena mahal, maka ia boleh ke rumah lain yang lebih murah sewanya. Dari pendapat itu menunjukkan bahwa sewa rumah tersebut menjadi tanggungan perempuan yang ditinggal mati suaminya. Dan ia boleh tidak tinggal di rumah duka tersebut karena tidak mampu 56 57
Slamet Abidin dan Aminuddin, op. cit., hlm. 145. Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 169.
47
membayarnya. Karena itu mereka menjelaskan bahwa perempuan tersebut jika mendapat bagian waris yang mencukupinya, hendaknya tetap tinggal di rumah dukanya. Oleh karena menurut mereka ini, perempuan yang ditinggal mati suaminya tidak lagi memperoleh hak pada tempat tinggal, baik ia sedang hamil atau tidak. Tetapi ia hanya wajib tinggal di rumah tempat di mana suaminya meninggal dan dia sendiri pun di situ pula, siang dan malam, baik tempat tersebut diberikan sebagai warisan atau menyewanya.58 Menurut madzhab Hambali, perempuan diperbolehkan keluar rumah pada waktu siang hari, baik ketika sedang menjalani iddah karena ditalak atau karena suaminya meninggal.59 Ibnu Qudamah, salah satu pengikut Hambali berkata, “Perempuan yang menjalani masa iddah diperbolehkan keluar untuk mencari sesuatu demi kebutuhannya, baik masa iddah yang disebabkan talak atau karena suaminya meninggal dunia”.60
شَالَشًا فَخَشَظَدْ ذَعِذُ َخْالً نََٓاِٙ طَهُمَدْ خَانَر: عٍَْ ظَاتِشِ تٍِْ عَثْذِ انهَِّ لَال ِ٘ فَعُذِٙ اخْشُظ: َ فَمَانَدْ رَنِكَ نَُّ فَمَال نََٓاِٙظمٌ فَََُٓاَْا فَأَذَدِ انَُث ُ َََٓا سِٛفَهَم ْشًاَٛ خِٙ يُِْ ُّ أَ ْٔ ذَفْعَهٌِٙ ذَظَذَل ْ َك أ ِ َك نَعَه ِ ََخْه Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu, dia berkata,”Bibiku ditalak yang ketiga oleh suaminya. Namun beliau tetap keluar rumah untuk 58
ibid., hlm. 170. Sa‟id Thalib Al-Hamdani, Risalah Nikah, alih bahasa Agus Salim, (Jakarta: Pustaka Amani, 2011), hlm. 310. 59
60
Sebagaimana dikutip Slamet Abidin dan Aminuddin, op. cit., hlm. 146.
48
mendapatkan kurma (nafkah), hingga beliau bertemu dengan seseorang yang kemudian melarangnya. Maka bibiku mendatangi Rasulullah saw sambil bertanya tentang hal itu. Dan Rasululah saw berkata,”Silahkan keluar rumah dan dapatkan nafkahmu, barangkali saja kamu bisa bersedekah dan mengerjakan kebaikan. (HR. Muslim). Dan Mujahid meriwayatkan, ia berkata: Beberapa sahabat lakilaki mati syahid dalam perang Uhud. Lalu isteri-isteri mereka datang kepada Rasulullah saw seraya berkata: “Ya Rasulullah, kami tinggal sendirian di malam hari, maka apakah kami boleh bermalam di tempat seseorang di antara kami dan kalau pagi hari kami cepat-cepat pulang ke rumah kami.” Maka sabdanya: “Omong-omonglah kalian dengan salah seorang di antara kalian sampai kalian mau tidur. Jika kalian sudah mau tidur hendaklah tiap-tiap orang pulang kembali ke rumahnya”.61
Bagi perempuan tidak ada tempat lain selain rumahnya sendiri saja. Tidak boleh keluar malam hari, kecuali ada kepentingan memaksa, Karena malam hari kemungkinan besar menimbulkan hal-hal tidak baik. Berbeda dengan siang hari adalah waktu orang mencari kebutuhan hidup dan jual beli apa yang diperlukannya.62
61 62
Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 171. Ibid.,