BAB II TINJAUAN TEORITIS DAN TEKNIK ANALISIS PENENTUAN INTENSITAS BANGUNAN Kota merupakan suatu sistem yang sangat kompleks, terdiri dari banyak komponen yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Perubahan kecil pada satu komponen dapat memberikan pengaruh besar kepada komponen lain dan kepada sistem tersebut secara keseluruhan. Perencanaan kota yang baik ditunjukkan dengan adanya interaksi yang saling mendukung antara dua pilar utama, yaitu sistem guna lahan dan transportasi (Ferguson, 2000). Oleh karena itu, tantangan utama dalam merencanakan suatu kota adalah bagaimana menciptakan komposisi pemanfaatan ruang yang baik untuk mendorong vitalitas perkotaan tanpa mengabaikan daya dukung di sekitarnya (Shirvani,1985). Permasalahan utama pada area perkotaan adalah adanya intensitas kegiatan yang tinggi sehingga menyebabkan tingginya kebutuhan pergerakan di dalamnya. Kebutuhan pergerakan tersebut seringkali berbenturan dengan keterbatasan daya dukung prasarana transportasinya, sehingga timbullah masalah kemacetan. Masalah kemacetan adalah masalah yang sangat umum ditemui di perkotaan, terutama di kawasan yang memiliki intensitas kegiatan yang tinggi, seperti kawasan pusat kota dan koridor perdagangan dan jasa. Berbagai studi telah dilakukan untuk menemukan solusi yang paling tepat dalam menangani masalah tersebut. Studi ini pun merupakan salah satu upaya untuk memberikan alternatif penanganan masalah kemacetan tersebut melalui pembatasan terhadap intensitas bangunan. 2.1
Tinjauan terhadap Konsep Penentuan Intensitas Bangunan Penentuan intensitas bangunan dalam perencanaan kota merupakan suatu
bentuk pengendalian pemanfaatan ruang. Berdasarkan teori yang telah ada, penentuan intensitas bangunan merupakan alat/perangkat untuk menerapkan konsep zoning. Sedangkan apabila dilihat dari sistem transportasi, penentuan intensitas bangunan
20
merupakan salah satu cara dalam Transport Demand Management (TDM). Berikut ini merupakan uraian singkat mengenai konsep penentuan intensitas bangunan yang telah dikenal dalam teori pengendalian pemanfaatan ruang (zoning) dan Transport Demand Management (TDM). 2.1.1 Penentuan
Intensitas
Bangunan
sebagai
Bentuk
Pengendalian
Pemanfaatan Ruang (Zoning) Dalam teori urban design, penentuan intensitas bangunan telah lama dikenal sebagai bentuk pengendalian pemanfaatan ruang (zoning). Salah satu komponen yang biasa diatur dalam zoning ini adalah Floor Area Ratio (FAR) atau biasa dikenal di Indonesia dengan istilah Koefisien Lantai Bangunan (KLB). Teori tersebut telah dikemukakan oleh beberapa ahli perancangan kota. Salah satunya adalah Shirvani (1985) yang mengemukakan bahwa pengaturan KLB merupakan salah satu bentuk produk zoning. Shirvani mengemas produk zoning tersebut dalam bentuk guidelines, dimana salah satunya adalah prescriptive guidelines yang merupakan petunjuk batasan kerja desain seperti batas Koefisien Lantai Bangunan (KLB) yang diizinkan pada suatu wilayah. Menurutnya, guidelines dibuat untuk mengatasi rencana kota yang telah ada dan dimaksudkan untuk mengarahkan bentuk fisik kota. Guidelines lebih bersifat spesifik, lebih menjamin perhatian pada kualitas ruang skala mikro. Meriam (2005) pun mengemukakan bahwa salah satu bentuk zoning yang populer diterapkan adalah kontrol terhadap kepadatan bangunan yang diukur dalam Koefisien Lantai Bangunan (KLB). Koefisien Lantai Bangunan (KLB) merupakan aspek dasar yang banyak dipertimbangkan dalam implementasi zoning. Teori ini telah dikemukakan oleh para ahli dan telah banyak diterapkan di kota-kota besar di Amerika, seperti Boston, Minneapolis, New York dan San Fransisco, terutama untuk daerah-daerah padat seperti Central Business District (CBD) dan commercial strips (Weaver dan Babcock,1979). Pengaturan KLB tersebut dijadikan alat untuk mencapai tujuan dari zoning itu sendiri. Zoning merupakan perangkat implementasi rencana yang 21
prinsipnya harus disesuaikan dengan rencana yang telah dibuat (Babcock dalam Branch,1975). Peraturan zoning juga dimaksudkan agar rencana sesuai dengan kualifikasi yang ditentukan. Reiner (dalam Hartshorn,1980) melihat zoning guidelines sebagai suatu perangkat untuk menentukan kesesuaian antara penggunaan lahan dan kepadatan yang layak pada suatu kawasan. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa pengaturan KLB pada suatu kawasan diharapkan dapat mengendalikan pembangunan kota agar lebih terarah sesuai dengan kualitas fisik kota yang ingin dibentuk. 2.1.2
Penentuan Intensitas Bangunan sebagai Bentuk Transport Demand Management (TDM) Transport Demand Management (TDM) dikenal sebagai salah satu bentuk
manajemen pertumbuhan. Adapun prinsip dari manajemen pertumbuhan itu sendiri bukanlah untuk membatasi atau menghentikan pembangunan yang terjadi melainkan mengelolanya agar aspek-aspek positif yang muncul dapat ditingkatkan dan aspekaspek yang negatif dapat dikurangi. Pada akhirnya, prinsip tersebut digunakan untuk memberikan batasan-batasan pada pembangunan yang terjadi agar tetap sesuai dengan keandalan komunitasnya. TDM dianggap sebagai salah satu solusi yang dapat mengurangi masalah utama dalam perkotaan, yaitu kemacetan. Menurut Indrawanto (1996), TDM dimaksudkan untuk mengurangi kemacetan dengan mengurangi atau membatasi kebutuhan perjalanan bukan dengan menambah penyediaan fasilitas transportasi. Prinsip dari TDM adalah untuk mengendalikan komponen-komponen yang dapat menimbulkan pergerakan. Salah satu komponen yang dimaksud di sini adalah penggunaan lahan dan intensitas pembangunan suatu kawasan. Giulano dan Wachs dalam Stein (1993) mengemukakan empat strategi yang dapat digunakan dalam rangka menerapkan Program TDM, antara lain: 1. Pengurangan trip untuk mengurangi pembangunan baru 2. Penerapan batas/plafond (trip ceiling) pada pembangunan baru 3. Pengurangan trip untuk kualitas udara 22
4. Pengendalian penggunaan lahan dengan meredistribusikan kebutuhan travel. Dalam studi ini, bentuk TDM yang digunakan adalah strategi no.2, yaitu penerapan batas/plafond (trip ceiling) pada pembangunan baru. Menurut Stein (1993), tujuan dari trip ceiling ini sendiri adalah untuk mengurangi jumlah pergerakan pada waktu puncak. Penerapan trip ceiling dilakukan dengan cara menerapkan batas bangkitan/tarikan kendaraan yang diperbolehkan pada suatu kawasan. Pada akhirnya, trip ceiling tersebut digunakan untuk menetapkan batasan maksimum kegiatan yang diperbolehkan. Batasan kegiatan tersebut meliputi batasan pemanfaatan ruang yang biasa diindikasikan dalam intensitas dan kepadatan bangunan, yaitu Koefisien Lantai Bangunan (KLB). 2.2
Tinjauan Terhadap Pemanfaatan Ruang Pemanfaatan ruang dalam perancangan kota meliputi penggunaan lahan (land-
use) dan intensitas bangunan. Ketentuan pemanfaatan ruang di Indonesia yang meliputi penggunaan lahan dan intensitas bangunan dipaparkan dalam UndangUndang RI No.28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.36 Tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan UndangUndang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung. Dalam kebijakan tersebut dijelaskan bahwa setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung. Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung tersebut harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam RTRW kabupaten/kota, RDTRKP, dan/atau RTBL. Persyaratan intensitas bangunan gedung meliputi persyaratan kepadatan, ketinggian, dan jarak bebas bangunan gedung yang ditetapkan untuk lokasi yang bersangkutan. Ketentuan tersebut dinyatakan dalam: •
Koefisien Dasar Bangunan (KDB) adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar bangunan gedung dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan 23
•
Koefisien Lantai Bangunan (KLB) adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan gedung dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan
•
Koefisien Dasar Hijau (KDH) adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan
•
Garis Sempadan Bangunan. Sempadan bangunan merupakan pengaturan jarak antar bangunan (sempadan muka bangunan, samping bangunan dan sempadan belakang bangunan) dan bangunan dengan jaringan jalan. Garis sempadan bangunan adalah batas dimana bangunan boleh didirikan, dihitung dari batas persil terluar.
Penetapan KDB didasarkan pada luas kaveling/persil, peruntukan atau fungsi lahan, dan daya dukung lingkungan. Penetapan KLB dan/atau jumlah lantai didasarkan pada peruntukan lahan, lokasi lahan, daya dukung lingkungan, keselamatan dan pertimbangan arsitektur kota. 2.2.1
Karakteristik Kawasan Pusat Kota Pusat kota merupakan titik tumbuh utama yang sangat dominan dan sangat
menentukan bagi pertumbuhan dan perkembangan kota (Berry dalam Indrawanto, 1996). Kawasan pusat kota tersebut dapat dikenali dari sifat dan tingkat kegiatannya. Karakteristik umum dari kawasan pusat kota adalah intensitas bangunan dan aktivitas yang tinggi. Kawasan ini merupakan kawasan terbangun yang padat dan tempat terkonsentrasinya kegiatan utama penduduk kota. Walaupun karakteristik setiap kota berbeda-beda, tetapi selalu ada kecenderungan pemusatan kegiatan ke arah pusat (Indrawanto, 1996). Oleh karena itu, dalam pembangunannya pun rentan akan konflik mengingat kawasan ini merupakan tujuan utama sebagian besar penduduk kota.
24
Kawasan pusat kota biasanya didominasi oleh kegiatan perdagangan dan perkantoran. Menurut Kaiser and Chapin (1995), Perencanaan untuk kawasan pusat kota adalah suatu tantangan untuk menemukan kesesuaian antara (1) jenis guna lahan, (2) jenis pusat kegiatan dan (3) lokasi. Perencana harus dapat memperkirakan terlebih dahulu kebutuhan ruang dan lokasi akan aktivitas guna lahan komersial dan perkantoran di masa mendatang. Kemudian, mengalokasikannya pada jenis pusat kegiatan yang sesuai dan menempatkan kombinasi guna lahan/pusat kegiatan tersebut dalam pola spasial yang masuk akal. 2.2.2 Karakteristik Koridor Perdagangan dan Jasa Jalan seringkali disebut dengan istilah koridor. Bishop (tt) mengemukakan bahwa koridor jalan dapat digambarkan oleh jalur-jalur dan elemen bangunan berupa dinding yang ada di kedua sisinya. Untuk koridor perdagangan dan jasa, Gruen (1973) dan Bishop (tt) (dalam Natalivan, 2002) menguraikan bahwa kegiatan komersial mempunyai kontribusi yang cukup besar bagi watak struktural maupun fungsional koridor tersebut, seperti: 1. Orientasi ke jalan publik menyebabkan jalan maupun koridornya menjadi akses utama dalam berkegiatan serta menjadi tempat bertemunya publik. 2. Identitas khas berkaitan dengan lokasi yang strategis untuk menempatkan elemen identitas, reklame serta elemen komersial lainnya perlu diatur. 3. Munculnya bangkitan lalu-lintas yang cukup besar yang membutuhkan ruang parkir baik parkir di badan jalan atau di luar badan jalan. 4. Timbulnya kegiatan turunan karena munculnya ruang kerja pada koridor jalan dan umumnya dimanfaatkan oleh sektor informal. Banyak hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan koridor perdagangan dan jasa. Mengingat kegiatan tersebut dapat menimbulkan konsentrasi bangunan dan penduduk tertinggi, juga interaksi antar guna lahan tertinggi (Kaiser and Chapin,1995), maka dalam perkembangannya tentu akan sangat rentan dengan timbulnya berbagai konflik. Perencanaan suatu koridor perdagangan dan jasa harus 25
diimbangi dengan kemampuan dan daya dukung transportasi di sekitarnya. Karena kegiatan perdagangan merupakan sumber bangkitan dan tarikan kendaraan, maka dalam pembangunannya pun harus diimbangi dengan penyediaan prasarana jalan yang memadai. 2.3
Keterkaitan Pemanfaatan Ruang dengan Sistem Transportasi Menurut Warpani (1990), perencanaan transportasi adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari perencanaan kota. Rencana kota tanpa mempertimbangkan keadaan dan pola transportasi yang akan terjadi sebagai akibat rencana itu sendiri, akan menghasilkan kesemrawutan lalu lintas di kemudian hari. Sistem transportasi terdiri dari tiga sistem utama yang saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Sistem yang membentuk sistem transportasi antara lain adalah sistem kegiatan, jaringan dan sistem pergerakan. Hubungan antara ketiga sistem tersebut merupakan suatu daur menerus, dimana jika terjadi perubahan pada salah satu komponen, maka komponen yang lainnya pun akan ikut berubah dan begitu seterusnya. Oleh karena itu, dalam proses perencanaan transportasi, pendekatan sistem yang dilakukan ditekankan pada teknik untuk menganalisis semua faktor yang berhubungan dengan permasalahan yang ada (Tamin, 2000). Masalah yang terjadi pada suatu sistem belum tentu disebabkan oleh faktor di dalam sistem tersebut, melainkan oleh faktor di luar sistem yang memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap sistem tersebut. Perjalanan muncul dari adanya kebutuhan manusia untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya untuk melakukan berbagai macam aktivitas. Setiap tata guna lahan atau sistem kegiatan memiliki jenis kegiatan tertentu yang akan membangkitkan pergerakan dan akan menarik pergerakan dalam proses pemenuhan kebutuhan (Tamin, 2000). Adanya penambahan pergerakan manusia tersebut tentu menyebabkan manusia semakin terkonsentrasi, sehingga semakin tinggi pula kebutuhan akan sistem transportasi. Ferguson (2000) pun mengemukakan bahwa sistem kegiatan dan guna lahan mempengaruhi perilaku perjalanan dengan banyak cara. Jenis dan intensitas guna lahan suatu kawasan menentukan tingkat tarikan lalu26
lintas kawasan tersebut. Oleh karena itu, daya dukung sistem transportasi sering digambarkan sebagai faktor pembatas dalam pembangunan kota. Blunden, WR (dalam Warpani, 1990) mengemukakan bahwa transportasi dan guna lahan dalam kota seperti layaknya ayam dan telur, tidak dapat dikatakan siapa yang ada lebih dahulu. Penentuan guna lahan melahirkan transportasi, tetapi sebaliknya, pembangunan jalur angkutan dengan mudah dapat mengubah tata guna lahan yang ada. Dalam hal ini ada hubungan timbal balik antara guna lahan dan pelayanan atau persediaan perangkutan (prasarana dan sarana) yang perwujudannya adalah pada kegiatan lalu-lintas. Ketiga komponen ini membentuk satu sistem seperti ditunjukkan pada gambar berikut: Gambar 2.1 Sistem Transportasi
Sumber: Warpani (1990) Keterangan: Hubungan Pengaruh Umpan Balik
Salah satu indikator perencanaan kota yang perlu dipertimbangkan dalam sistem transportasi adalah kepadatan bangunan. Istilah yang biasa digunakan untuk menunjukkan kepadatan bangunan adalah Floor Area Ratio (FAR) atau Koefisien Lantai Bangunan (KLB). Dari sudut pandang transportasi, KLB memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menentukan jumlah perjalanan yang ditimbulkan dan tipe jasa transportasi yang harus disediakan (ITE,1992). Semakin tinggi angka KLB yang diterapkan pada suatu kawasan, maka semakin tinggi pula jumlah perjalanan yang
27
ditimbulkan. Begitu pula sebaliknya, penetapan KLB yang rendah dapat membatasi jumlah perjalanan yang ditimbulkan (ITE,1992) 2.4
Tinjauan terhadap Sistem Transportasi
2.4.1 Klasifikasi Jalan Jalan memiliki peranan yang sangat penting, terutama menyangkut perwujudan perkembangan antar daerah yang seimbang dalam pemerataan hasil pembangunan serta pemantapan pertahanan dan keamanan nasional dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional (Pramono, 2005). Adapun fungsi dari jalan itu sendiri adalah menyelenggarakan pergerakan yang sifatnya menerus dan akses ke guna lahan sekitarnya. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No.38 Tahun 2004 tentang Jalan dan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 Tentang Jalan, jalan dikelompokkan menjadi jalan arteri, kolektor, jalan lokal dan jalan lingkungan. •
Jalan arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna
•
Jalan kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan ratarata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi
•
Jalan lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi
•
Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah
Sedangkan sistem jaringan jalannya sendiri terdiri atas sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder.
28
•
Sistem jaringan jalan primer disusun berdasarkan rencana tata ruang dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan sebagai berikut: 1. menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan wilayah, pusat kegiatan lokal sampai ke pusat kegiatan lingkungan; dan 2. menghubungkan antarpusat kegiatan nasional
•
Sistem jaringan jalan sekunder disusun berdasarkan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan yang menghubungkan secara menerus kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga, dan seterusnya sampai ke persil.
Berdasarkan sistem dan fungsinya tersebut, jalan diklasifikasikan menjadi delapan jenis. Klasifikasi tersebut ditunjukkan pada tabel berikut: TABEL II.1 Klasifikasi dan Fungsi Jalan No.
Peran Jalan
Fungsi
1
Jalan arteri primer
Menghubungkan secara berdaya guna antarpusat kegiatan nasional atau antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan wilayah.
2
Jalan kolektor primer
Menghubungkan secara berdaya guna antarpusat kegiatan wilayah atau antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal.
3
Jalan lokal primer
Menghubungkan secara berdaya guna pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lingkungan, pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lingkungan, antarpusat kegiatan lokal, atau pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lingkungan, serta antarpusat kegiatan lingkungan.
4
Jalan lingkungan primer
Menghubungkan antarpusat kegiatan di dalam kawasan perdesaan dan jalan di dalam lingkungan kawasan perdesaan
29
No.
Peran Jalan
Fungsi
5
Jalan arteri sekunder
Menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu, kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kesatu, atau kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua.
6
Jalan kolektor sekunder
Menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga.
7
Jalan lokal sekunder
Menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan
8
Jalan lingkungan sekunder
Menghubungkan antarpersil dalam kawasan perkotaan.
Sumber: Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan
2.4.2
Karakteristik Jalan Arteri Primer Dalam RTRW Kota Cimahi, Jalan Raya Cimahi ditetapkan sebagai jalan
arteri primer. Mengingat fungsinya sebagai sistem jaringan jalan primer, maka Jalan Raya Cimahi memiliki peranan sebagai pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan wilayah tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan. Berdasarkan PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan disebutkan bahwa jalan arteri primer memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Jalan arteri primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60 (enam puluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 11 (sebelas) meter. 2. Jalan arteri primer mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata. 3. Pada jalan arteri primer lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang alik, lalu lintas lokal, dan kegiatan lokal. Lebar badan jalan minimal 8 m. 4. Jumlah jalan masuk ke jalan arteri primer dibatasi sedemikian rupa sehingga ketentuan (1), (2) dan (3) tetap terpenuhi.
30
5. Persimpangan sebidang pada jalan arteri primer dengan pengaturan tertentu harus memenuhi ketentuan (1), (2), dan (3). 6. Jalan arteri primer yang memasuki kawasan perkotaan dan/atau kawasan pengembangan perkotaan tidak boleh terputus. 2.4.3
Kinerja Jaringan Jalan
2.4.3.1 Level of Service (LOS) Level of Service (LOS) adalah ukuran kecepatan laju kendaraan yang dikaitkan dengan kondisi dan kapasitas jalan (Warpani,2002). Unsur yang dipertimbangkan dalam penentuan LOS suatu jalan adalah volume kendaraan yang bergerak melewati jalan tersebut, kapasitas jalan yang tersedia dan kecepatan kendaraan. Highway Capacity Manual (Amerika) dalam ITE (1992) pun menyebutkan bahwa ukuran keefektifan dalam penilaian LOS jalan arteri adalah dengan menghitung kecepatan perjalanan rata-rata yang dinyatakan dalam km/jam. Apabila suatu jalan memiliki kapasitas yang tinggi, kendaraan yang bergerak sedikit dan dapat dapat melaju dengan kecepatan tinggi, maka jalan tersebut memiliki LOS yang baik. LOS terbagi menjadi 6 tingkatan yaitu A,B,C,D,E, dan F. LOS A merupakan tingkatan yang paling baik. Hal tersebut ditunjukkan dengan rendahnya tingkat volume lalu lintas. Semakin tinggi volume lalu lintas pada ruas jalan tertentu, tingkat pelayanan jalannya akan semakin menurun. Berikut ini adalah standar pembagian LOS yang didapat dari dua sumber yang berbeda:
31
TABEL II.2 Standar Level Of Service (LOS) LOS (1)
LOS (2)
Kecepatan Rata-rata (km/jam)
VCR
Kecepatan Rata-rata (km/jam)
VCR
A
Arus bebas bergerak (aliran lalu-lintas bebas, tanpa hambatan), pengemudi bebas memilih kecepatan sesuai batas yang ditentukan.
> 50
≤ 0,40
> 100
≤ 0,20
B
Arus stabil, tidak bebas (aliran lalu-lintas baik, kemungkinan terjadi perlambatan), kecepatan operasi mulai dibatasi, mulai ada hambatan dari kendaraan lain.
40 – 50
≤ 0,58
80 - 100
≤ 0,45
C
Arus stabil, kecepatan terbatas (aliran lalulintas masih baik dan stabil dengan perlambatan yang masih dapat diterima), hambatan dari kendaraan lain makin besar.
32 – 40
≤ 0,80
65 - 80
≤ 0,70
D
Arus mulai tidak stabil (mulai dirasakan gangguan dalam aliran, aliran mulai tidak baik), kecepatan operasi menurun relatif cepat akibat hambatan yang timbul.
27 – 32
≤ 0,90
60 - 65
≤ 0,85
E
Arus yang tidak stabil, kadang macet (volume pelayanan berada pada kapasitas, aliran tidak stabil).
24 – 27
≤ 1,00
50 - 60
≤ 1,00
F
Macet, antrian panjang (volume pelayanan melebihi kapasitas, aliran telah mengalami kemacetan)
< 24
> 1,00
< 50
>1,00
LOS
Deskripsi Arus
Sumber: 1. Morlok (1988) 2. Peraturan Menteri Perhubungan No.KM 14 Tahun 2006 tentang Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas di Jalan
Dalam studi ini, standar LOS yang digunakan adalah standar (2) yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perhubungan No.KM 14 Tahun 2006 tentang Manajemen dan Rekayasan Lalu Lintas di Jalan. Standar tersebut dibuat dan disesuaikan berdasarkan karakteristik lalu-lintas di Indonesia. Selain itu, ketentuan tersebut pun dikhususkan untuk jalan dengan fungsi arteri primer. Oleh karena itu, penggunaanya pun tentu akan lebih tepat untuk studi ini dibandingkan dengan standar (1).
32
Dalam Peraturan Menteri Perhubungan tersebut pun disebutkan bahwa standar LOS berbeda-beda untuk setiap fungsi jalannya. Telah ditetapkan standar LOS yang diinginkan pada ruas jalan sesuai fungsinya, yaitu: 1. Jalan arteri primer
: Level of Service (LOS) sekurang-kurangnya B
2. Jalan kolektor primer
: Level of Service (LOS) sekurang-kurangnya B
3. Jalan lokal primer
: Level of Service (LOS) sekurang-kurangnya C
4. Jalan tol
: Level of Service (LOS) sekurang-kurangnya B
5. Jalan arteri sekunder
: Level of Service (LOS) sekurang-kurangnya C
6. Jalan kolektor sekunder
: Level of Service (LOS) sekurang-kurangnya C
7. Jalan lokal sekunder
: Level of Service (LOS) sekurang-kurangnya D
8. Jalan lingkungan sekunder
: Level of Service (LOS) sekurang-kurangnya D
2.4.3.2 Volume per Capacity Ratio (VCR) Volume per Capacity Ratio (VCR) adalah rasio antara volume kendaraan yang melintas dengan kapasitas jalan yang tersedia. Nilai VCR tersebut digunakan sebagai unsur penentu LOS suatu jalan. Menurut ITE (1992), jumlah volume kendaraan dapat dihitung dengan berbagai metode. Perhitungan dilakukan dengan memilih suatu titik tertentu pada suatu ruas jalan. Volume kendaraan biasanya dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp) dengan menggunakan ekivalen mobil penumpang (emp). Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI,1997), emp adalah faktor yang menunjukkan berbagai tipe kendaraan dibandingkan kendaraan ringan sehubungan dengan pengaruhnya terhadap kecepatan kendaraan ringan dalam arus lalu-lintas (untuk mobil penumpang dan kendaraan ringan yang sasisnya mirip, emp=1), sedangkan smp adalah satuan untuk arus lalu-lintas dimana arus berbagai tipe kendaraan diubah menjadi arus kendaraan ringan (termasuk mobil penumpang) dengan menggunakan emp. Berdasarkan MKJI (1997) tersebut, jenis kendaraan dibagi menjadi tiga, yaitu:
33
a. MC (sepeda motor), yaitu kendaraan bermotor beroda dua atau tiga b. LV (kendaraan ringan), yaitu kendaraan bermotor dua as beroda empat dengan jarak as 2,0-3,0 m (termasuk mobil penumpang, angkot, mikrobis, pick-up, dan truk kecil) c. HV (kendaraan berat), yaitu kendaraan bermotor dengan jarak as lebih dari 3,50 m, biasanya beroda lebih dari empat (termasuk bis, truk 2 as, truk 3 as, dan truk kombinasi) Adapun ekivalensi mobil penumpang untuk LV adalah 1, sedangkan emp untuk MC dan HV yang ditetapkan dalam MKJI (1997) adalah sebagai berikut: TABEL II.3 Ekivalensi Mobil Penumpang Emp Tipe Jalan: Jalan Tak Terbagi
Arus Lalu-Lintas Total Dua Arah (kendaraan/jam)
HV
Dua lajur tak terbagi (2/2 UD)
0 ≥ 1800
1,3 1,2
Empat lajur tak terbagi (4/2 UD)
0 ≥ 3700
1,3 1,2
Tipe Jalan: Jalan Satu Arah Jalan Terbagi
Arus Lalu-Lintas per lajur (kendaraan/jam)
HV
MC
Dua lajur satu arah (2/1) Empat lajur terbagi (4/2D)
0 ≥ 1050
1,3 1,2
0,40 0,25
Tiga lajur satu arah (3/1) Enam lajur terbagi (6/2D)
0 ≥ 1100
1,3 1,2
0,40 0,25
MC Lebar jalur lalu-lintas Wc (m) ≤6 >6 0,50 0,35
0,40 0,25 0,40 0,25
emp
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997)
Selain ketiga golongan kendaraan tersebut, studi ini juga akan memperhitungkan kendaraan-kendaraan yang bergerak lambat (kendaraan tidak bermotor) seperti sepeda, becak, delman, pedati, traktor, gerobak, dan lain-lain. Dalam MKJI (1997) tidak disebutkan mengenai ketentuan smp untuk kendaraan yang bergerak lambat tersebut. Tetapi, berdasarkan literatur lain, yaitu “Laporan Hasil Survey Traffic 34
Counting Tahun 2006” yang dibuat oleh Dinas Perhubungan Kota Cimahi, disebutkan bahwa emp untuk kendaraan yang bergerak lambat/kendaraan tidak bermotor adalah 0,8. 2.4.3.3 Kapasitas Jalan Menurut ITE (1992), kapasitas dalam fasilitas transportasi adalah ukuran kemampuan suatu fasilitas untuk mengakomodasi pergerakan manusia maupun kendaraan. Kapasitas menunjukan batasan realistis mengenai jumlah manusia dan kendaraan yang dapat melewati titik tertentu dalam suatu periode waktu yang spesifik.
Kapasitas jalan biasanya dinyatakan dalam satuan masa penumpang
(smp/jam). Perhitungan kapasitas jalan pun mengacu pada metode Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI,1997). Dalam metode tersebut, kapasitas jalan dibedakan antara
jalan yang menggunakan pembatas median dengan yang tidak bermedian. Ruas jalan yang memiliki batas median, kapasitas dihitung terpisah untuk setiap arah, sedangkan untuk ruas jalan tanpa pembatas median, kapasitas dihitung untuk kedua arah. Persamaan yang digunakan untuk menghitung kapasitas suatu ruas jalan menurut MKJI (1997) adalah sebagai berikut: C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs
..….……….……..….(2.1)
Keterangan : C : kapasitas (smp/jam) Co : kapasitas dasar (smp/jam) FCw : faktor koreksi kapasitas untuk lebar jalan FCsp : faktor koreksi kapasitas akibat pembagian arah FCsf : faktor koreksi kapasitas akibat gangguan samping FCcs : faktor koreksi kapasitas akibat ukuran kota (jumlah penduduk)
2.4.3.4 Kecepatan Kendaraan (speed) Kecepatan kendaraan pun merupakan salah satu unsur yang dipertimbangkan dalam menilai tingkat pelayanan suatu ruas jalan. Kecepatan ini dapat diukur dengan cara yang berbeda-beda. Pada umumnya, kecepatan diukur dengan menggunakan
35
kendaraan ringan (LV). Terdapat dua jenis kecepatan berdasarkan MKJI (1997), yaitu: a.
Kecepatan Tempuh Kecepatan tempuh adalah kecepatan rata-rata (km/jam) arus lalu-lintas dihitung dari panjang jalan dibagi waktu tempuh rata-rata kendaraan yang melalui segmen jalan (MKJI,1997). Waktu tempuh yang digunakan adalah waktu rata-rata yang digunakan kendaran menempuh segmen jalan dengan panjang tertentu, termasuk semua tundaan waktu berhenti (detik) atau jam. Kecepatan tempuh ini dapat dituliskan dengan persamaan sebagai berikut: Panjang Segmen
Kecepatan = Keterangan : Kecepatan L TT
Waktu Tempuh
..………………..….(2.2)
= Kecepatan rata-rata ruang kendaraan ringan (km/jam) = Panjang segmen (km) = Waktu tempuh rata-rata kendaraan ringan sepanjang segmen (jam)
Untuk menghitung kecepatan tempuh, dilakukan pencatatan waktu dengan menggunakan kendaraan ringan (LV) dari awal hingga ujung akhir ruas dengan mengikuti arus lalu-lintas yang ada. Pencatatan terus dilakukan walaupun kendaraan berhenti akibat tundaan ataupun melintasi traffic light. b.
Kecepatan Arus Bebas Kecepatan arus bebas adalah kecepatan rata-rata teoritis (km/jam) lalu-lintas pada kerapatan=0, yaitu tidak ada kendaraan yang lewat. Kecepatan (km/jam) kendaraan yang tidak dipengaruhi oleh kendaraan lain, yaitu kecepatan dimana pengendara merasakan perjalanan yang nyaman, dalam kondisi geometrik, lingkungan dan pengaturan lalu-lintas yang ada, pada segmen jalan dimana tidak ada kendaraan yang lain (MKJI,1997). Untuk menghitung kecepatan arus bebas ini, digunakan persamaan sebagai berikut: FV = (FVO + FVW) x FFVSF x FFVCS
36
..….………...….(2.3)
Keterangan : FV FV0 FVW FFVSF FFVCS
= = = = =
Kecepatan arus bebas untuk kendaraan ringan (km/jam) Kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan (km/jam) Faktor penyesuaian lebar jalur lalu-lintas efektif (km/jam) Faktor penyesuaian kondisi hambatan samping Faktor penyesuaian ukuran kota
Jenis kecepatan yang digunakan dalam manual tersebut sebagai ukuran utama kinerja segmen jalan adalah kecepatan tempuh. Hal tersebut didasarkan karena perhitungan kecepatan tempuh ini lebih mudah dimengerti dan diukur. Begitu pun dengan studi ini, kecepatan yang digunakan adalah kecepatan tempuh, dimana kecepatan yang diukur adalah kecepatan kendaraan yang mengikuti arus lalu-lintas segmen jalan tersebut. 2.4.4
Teori Dasar Bangkitan/Tarikan Pergerakan Bangkitan pergerakan didefinisikan sebagai banyaknya pergerakan yang
ditimbulkan oleh suatu zona atau daerah per satuan waktu (Warpani,1990). Kajian mengenai bangkitan pergerakan ini penting dilakukan dalam suatu proses perencanaan
kota.
Dengan
mengetahui
bangkitan/tarikan
pergerakan
yang
ditimbulkan oleh suatu zona, maka dapat diperkirakan jumlah pergerakan pada masa yang akan datang. Terdapat dua pembangkit pergerakan, yaitu (Fidel dalam Pramono,2005): 1. Bangkitan pergerakan (trip production), yaitu bangkitan pergerakan zona perumahan. 2. Tarikan pergerakan (trip attraction), yaitu bangkitan pergerakan zona non perumahan. Trip attraction dihitung untuk periode waktu yang spesifik yaitu pada jam sibuk atau hari sibuk (ITE,1992). Trip attraction yang dihasilkan pun berbeda-beda untuk setiap fungsi guna lahan yang berbeda. Kawasan komersial dengan intensitas yang tinggi tentu memiliki trip attraction yang lebih tinggi daripada kawasan perkantoran, karena kebutuhan orang untuk bergerak menuju zona komersial tentu lebih tinggi. Luas 37
bangunan pun tentu mempengaruhi trip attraction yang dihasilkan. Semakin luas dan semakin tinggi suatu bangunan, maka trip attraction yang dihasilkan pun akan semakin tinggi. Oleh karena itu, untuk memperkirakan trip attraction di masa yang akan datang, digunakan model trip rate berdasarkan fungsi guna lahan. Trip rate ini merupakan suatu konstanta yang digunakan untuk meramalkan jumlah trip attraction yang dihasilkan berdasarkan luas bangunannya. 2.5
Teknik Analisis Perkiraan Volume per Capacity Ratio (VCR) dan Penentuan Intensitas Bangunan Teknik analisis dalam studi ini terbagi menjadi dua tahap utama, yaitu (1)
menilai ketentuan intensitas bangunan yang sudah ada dan (2) menentukan intensitas bangunan yang sesuai untuk diterapkan. Untuk tahap pertama, langkah yang dilakukan adalah dengan menghitung perkiraan volume per capacity (VCR) koridor Jalan Raya Cimahi berdasarkan ketentuan intensitas bangunan yang ditetapkan dalam RTRW Kota Cimahi. Dengan begitu dapat diketahui apakah ketentuan tersebut masih dapat ditampung oleh kapasitas jalan yang tersedia atau tidak. Apabila ternyata LOS yang dihasilkan sangat buruk, berarti ketentuan intensitas bangunan tersebut sudah tidak sesuai dengan kapasitas jalan yang ada, dan langkah yang perlu dilakukan selanjutnya adalah menentukan ketentuan intensitas bangunan yang sesuai berdasarkan kapasitas jalan yang tersedia. 2.5.1 Teknik Analisis Perkiraan volume per capacity ratio (VCR) berdasarkan Ketentuan Intensitas Bangunan Maksimum Pada tahap ini, terdapat dua skenario yang digunakan. Dalam kedua skenario tersebut, seluruh kapling disimulasikan terbangun penuh sesuai ketentuan KLB maksimum yang ditetapkan dalam RTRW. Yang membedakan antara kedua skenario tersebut adalah aktivitas/fungsi yang dikembangkan. Skenario yang digunakan yaitu:
38
1. SKENARIO I : Mengikuti arahan aktivitas/fungsi yang ditetapkan dalam RTRW Kota Cimahi. Semua kapling di sepanjang koridor disimulasikan berubah fungsi sesuai dengan peruntukan tanah yang ditetapkan dalam RTRW Kota Cimahi. 2. SKENARIO II : Mempertahankan aktivitas/fungsi eksisting koridor Jalan Raya Cimahi saat ini. Semua kapling di sepanjang koridor tidak berubah fungsi dan tetap pada proporsi luas kapling yang ada pada saat ini. Asumsi yang digunakan dalam setiap skenario adalah bahwa kapling dengan fungsi sebagai bangunan institusional (tempat ibadah, sekolah, rumah sakit, lembaga pelayanan sosial, dan transmisi induk, relay, dan distribusi komunikasi) dan perkantoran pemerintah tetap dipertahankan. Bangunan tersebut tidak memiliki fungsi komersial, namun memiliki fungsi sebagai pelayanan publik dan sosial, sehingga keberadaannya cukup penting dan dengan ditempatkannya bangunan tersebut di jalan utama Kota Cimahi, tentu akan memberikan kemudahan akses bagi masyarakat yang membutuhkannya. Oleh karena itu, baik fungsi, maupun intensitas bangunannya akan tetap dipertahankan sebagaimana kondisi eksistingnya. Hasil simulasi tersebut kemudian dijadikan dasar untuk menilai apakah ketentuan KLB maksimum yang ditetapkan dalam RTRW masih dapat ditampung oleh kapasitas Jalan Raya Cimahi atau harus diturunkan. Tahapan analisis yang dilakukan adalah: 1. Mengidentifikasi penggunaan lahan eksisting koridor Jalan Raya Cimahi. Tahapan ini dilakukan dengan menganalisis peta persil/foto udara Kota Cimahi untuk mendapatkan luas kapling eksisting koridor Jalan Raya Cimahi sesuai dengan peruntukkan tanah eksistingnya. 2. Menerapkan ketentuan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) maksimum pada luas kapling eksisting koridor Jalan Raya Cimahi. Tahapan ini dilakukan dengan menganalisis ketentuan KLB maksimum yang ditetapkan dalam RTRW Kota Cimahi untuk koridor Jalan Raya Cimahi. Ketentuan KLB maksimum tersebut kemudian disimulasikan pada luas kapling eksisting sesuai dengan peruntukan tanah yang ditetapkan dalam skenario.
39
3. Menghitung luas lantai bangunan maksimum berdasarkan ketentuan KLB maksimum yang ditetapkan dalam RTRW Kota Cimahi sesuai dengan peruntukan tanahnya. Persamaan yang digunakan dalam persamaan ini adalah: Luas Lantai Bangunan Maksimum Skenario = Luas Kapling Eksisting x KLB Maksimum RTRW…….(2.4)
Dengan menggunakan persamaan tersebut kemudian diketahui luas lantai bangunan maksimum masing-masing skenario, apabila ketentuan KLB maksimum yang ditetapkan benar-benar terpenuhi. 4. Menghitung perkiraan trip attraction maksimum yang dihasilkan oleh bangunan di sepanjang koridor Jalan Raya Cimahi. Tahapan ini dilakukan untuk mengetahui perkiraan bangkitan dan tarikan kendaraan yang dihasilkan oleh seluruh bangunan di sepanjang koridor Jalan Raya Cimahi apabila setiap bangunan tersebut menerapkan ketentuan KLB maksimum yang diterapkan dalam RTRW. Persamaan yang digunakan dalam tahapan ini adalah: Trip Attraction Skenario = Luas lantai bangunan maksimum Skenario x trip rate
…….(2.5)
5. Menghitung perkiraan volume kendaraan maksimum koridor Jalan Raya Cimahi. Tahapan ini dilakukan untuk mengetahui volume kendaraan maksimum yang melintas di koridor Jalan Raya Cimahi. Pergerakan kendaraan yang terjadi di sepanjang Jalan Raya Cimahi tidak hanya dilakukan oleh kendaraan yang merupakan bangkitan/tarikan dari bangunan di sepanjang Jalan Raya Cimahi, tetapi juga oleh kendaraan yang melakukan pergerakan menerus (through traffic) yang melakukan pergerakan eksternal-eksternal. Oleh karena itu, untuk menghitung volume kendaraan total Jalan Raya Cimahi, maka jumlah Trip Attraction
Skenario
tersebut harus dijumlahkan dengan jumlah volume kendaraan
yang melakukan pergerakan menerus (through traffic). Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:
40
Volume Kendaraan Maksimum Skenario = Trip Attraction Skenario + Volume Through Traffic
…….(2.6)
6. Menghitung perkiraan volume per capacity ratio (VCR) koridor Jalan Raya Cimahi. Volume per Capacity Ratio (VCR) adalah rasio antara volume kendaraan yang melintas dengan kapasitas jalan yang tersedia. Karena asumsinya adalah bahwa kapasitas jalan sebagai konstrain yang tidak akan bertambah jumlahnya, maka kapasitas jalan yang digunakan adalah kapasitas jalan eksisting. Persamaan yang digunakan untuk menghitung perkiraan VCR tersebut adalah sebagai berikut:
VCR Skenario =
Volume Kendaraan Maksimum Skenario Kapasitas Jalan eksisting
Nilai VCR Skenario tersebut kemudian digunakan sebagai ukuran penilaian terhadap ketentuan intensitas bangunan RTRW 7. Menilai ketentuan KLB maksimum koridor Jalan Raya Cimahi yang ditetapkan dalam RTRW Kota Cimahi. Batas maksimum VCR yang digunakan sebagai ukuran penilaian adalah 0,70. Penentuan VCR 0,70 tersebut didasarkan pada kondisi LOS terburuk yang masih dapat ditolerir (acceptable worst scenario) pada jalan arteri primer, yaitu kondisi Jalan Raya Cimahi berada pada LOS yang berada satu tingkat lebih buruk dari LOS minimal yang harus dimiliki oleh jalan arteri primer. Dalam Peraturan Menteri Perhubungan No.KM 14 Tahun 2006 tentang Manajemen dan Rekayasa Lalu
Lintas di Jalan disebutkan bahwa LOS jalan arteri primer sekurang-
kurangnya adalah B. Oleh karena itu, kondisi LOS terburuk yang masih dapat ditolerir adalah LOS C. Pada LOS C ini, arus lalu-lintas dinilai masih baik dan stabil namun kecepatan terbatas dengan perlambatan yang masih dapat diterima. Oleh karena itu, batas VCR maksimum yang digunakan dalam penilaian ini adalah VCR maksimum dalam LOS C, yaitu 0,70.
41
….(2.7)
2.5.2 Teknik Analisis Penentuan Intensitas Bangunan Maksimum berdasarkan Kapasitas Jalan Dalam studi ini, teknik penentuan intensitas bangunan dilakukan dengan penentuan trip ceiling. Trip ceiling adalah penentuan batasan/plafond terhadap trip attraction yang dihasilkan di masa mendatang. Trip ceiling digunakan untuk membatasi jumlah tarikan yang diakibatkan oleh bangunan di sepanjang koridor Jalan Raya Cimahi, sehingga dapat ditentukan kemudian batasan intensitas terhadap bangunan tersebut. Adapun tahap-tahap analisisnya adalah sebagai berikut: 1. Menentukan skenario level of service (LOS) yang diinginkan. Dalam menentukan intensitas bangunan, terdapat skenario yang dibuat dalam dua kondisi, yaitu kemungkinan terbaik yang dapat dicapai dan kemungkinan terburuk yang dapat terjadi. Skenario tersebut kemudian diterapkan pada skenario yang telah ditetapkan pada tahap analisis sebelumnya, sehingga terdapat empat skenario. Berikut ini adalah skenario yang digunakan dalam menentukan VCR maksimum yang diinginkan:
42
TABEL II.4 Skenario yang Digunakan dalam Menentukan Intensitas Bangunan Koridor Jalan Raya Cimahi LOS yang diinginkan Skenario A1: LOS B (VCR ≤ 0,45)
Fungsi yang akan dikembangkan
Skenario I: Mengikuti arahan aktivitas/fungsi yang ditetapkan dalam RTRW Kota Cimahi
Skenario II: Mempertahankan aktivitas/fungsi eksisting koridor Jalan Raya Cimahi saat ini
Skenario C2: LOS C (VCR ≤ 0,70)
Skenario I-A VCR ≤ 0,45 Fungsi yang dikembangkan: Komersial, Perkantoran Institusional
Skenario I-B 1. VCR ≤ 0,70 2. Fungsi yang dikembangkan: - Komersial, - Perkantoran - Institusional
Skenario II-A VCR ≤ 0,45 Fungsi yang dikembangkan: Hunian Komersial Jasa Komersial Perkantoran Institusional Pelayanan Dan Jasa Kendaraan Bermotor - Ruang Terbuka Hijau
Skenario II-B 1. VCR ≤ 0,70 2. Fungsi yang dikembangkan: - Hunian - Komersial - Jasa Komersial - Perkantoran - Institusional - Pelayanan Dan Jasa Kendaraan Bermotor - Ruang Terbuka Hijau
1. 2. -
1. 2. -
Sumber: Hasil Analisis, 2007
Keterangan: • Skenario A: Kondisi dimana Jalan Raya Cimahi berada dalam kondisi ideal yang memungkinkan, yaitu LOS B dengan VCR 0,20-0,45 dan kecepatan 80100 km/jam. Hal tersebut dikarenakan oleh adanya ketentuan Peraturan Menteri Perhubungan No.KM 14 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa jalan arteri primer sekurang-kurangnya memiliki level of service (LOS) B. Sehingga dibuatlah suatu skenario untuk mewujudkan ketentuan tersebut. • Skenario B: Kondisi terburuk yang masih dapat ditolerir (acceptable worst scenario), yaitu Kondisi terburuk yang masih dapat ditolerir (acceptable worst scenario). Kondisi yang diambil adalah kondisi dimana Jalan Raya Cimahi
43
memiliki LOS yang berada satu tingkat lebih rendah dari Skenario A, yaitu LOS C dengan VCR ≤ 0,7 dan kecepatan 65-80 km/jam. 2. Menentukan batas VCR maksimum masing-masing skenario. Berdasarkan skenario yang telah dibuat, maka dapat ditentukan VCR maksimum dari masing-masing skenario tersebut. Untuk skenario I, batas VCR maksimum yang ditetapkan adalah 0,45, sedangkan untuk skenario II, batas maksimum VCR yang ditetapkan adalah 0,70. 3. Menghitung batas volume kendaraan maksimum masing-masing skenario. Tahap ini dilakukan dengan mengalikan antara VCR dengan kapasitas jalan untuk mendapatkan batas maksimum volume kendaraan. Kapasitas jalan dalam studi ini dipandang sebagai konstrain, sehingga nilainya diasumsikan selalu tetap. Oleh karena itu, kapasitas jalan yang digunakan adalah kapasitas jalan eksisting. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut: Volume kendaraan maksimum Skenario = VCR Maksimum Skenario x Kapasitas Jalan eksisting
…...(2.8)
4. Menentukan batas trip attraction maksimum yang diperbolehkan (trip ceiling). Volume maksimum masing-masing skenario digunakan untuk menghitung batas trip attraction maksimum yang diperbolehkan (trip ceiling). Volume tersebut dikurangi jumlah volume through traffic sehingga diketahui berapa jumlah kendaraan yang merupakan tarikan dari guna lahan di sepanjang Jalan Raya Cimahi. Jumlah tarikan kendaraan (trip attraction) tersebutlah yang digunakan sebagai batas/plafond maksimum (trip ceiling). Nilai trip ceiling tersebut merupakan batas trip maksimum yang boleh dibangkitkan/ditarik secara total oleh berbagai kegiatan yang berada di sepanjang koridor Jalan Raya Cimahi. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut: Trip Ceiling = Volume kendaraan maksimum – Volume Through Traffic - Trip Attraction Aktivitas/fungsi yang dipertahankan
44
…...(2.9)
5. Menentukan luas lantai bangunan yang boleh dibangun Tahap ini dilakukan untuk mendapatkan luas lantai banguanan yang boleh dibangun berdasarkan skenario yang telah dibuat. Berdasarkan hasil trip ceiling yang telah ditentukan, maka batas maksimum luas lantai bangunan pun dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut: Luas Lantai Maksimum yang boleh dibangun =
Trip Ceiling Trip Rate
……..(2.10)
Trip rate yang diterapkan berbeda-beda tergantung dari skenario yang diterapkan. Proporsi luas kapling setiap fungsi juga dapat mempengaruhi propori luas lantai maksimum yang boleh dibangun. Luas lantai lantai maksimum tersebut dibuat proporsional dengan trip rate dan proporsi kapling eksisting setap fungsinya. X =
Trip Ceiling
∑ ai . bi ……………….…………….…(2.11) i = aktivitas/fungsi yang dikembangkan Keterangan: X = Total luas lantai bangunan maksimum (m2) ai = Trip rate setiap aktivitas/fungsi (smp/jam/m2) bi = Proporsi luas kapling eksisting setiap aktivitas/fungsi
6. Menentukan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) maksimum yang dapat diterapkan. Tahap ini merupakan tahap terakhir dari studi ini. Output yang diharapkan adalah adanya ketentuan KLB maksimum berdasarkan skenario masing-masing. Dalam perhitungannya, digunakan persamaan berikut ini: KLB Maksimum =
Luas Lantai Bangunan Maksimum Luas Kapling Eksisting
Batas maksimum luas lantai tersebut kemudian dijadikan batasan untuk menentukan KLB maksimum yang dapat diterapkan. KLB maksimum yang dihasilkan adalah KLB maksimum masing-masing aktivitas/fungsi yang diproporsionalkan dengan proporsi luas kapling eksistingnya.
45
….(2.12)