BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Rumah Sebagai Wujud Fisik Kebudayaan Menurut Koentjaraningrat (1985), kebudayaan mempunyai 3 wujud, antara lain: a.
Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, adapt istiadat, dan sebagainya.
b.
Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
c.
Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia (kebudayaan fisik), merupakan total dari hasil fisik dan aktifitas, perbuatan, dan karya manusia dalam masyarakat. Rumah adalah salah satu dari tiga wujud kebudayaan, yaitu kebudayaan
fisik yang merupakan hasil dari dua wujud kebudayaan, yaitu ide-ide dan aktifitas manusia. Ditinjau dari fungsi rumah sebagai pusat kegiatan berbudaya, ketiga wujud kebudayaan tersebut tidak terpisah dan mempunyai hubungan erat yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya (transactional interpendency). Rumah akan melahirkan ide-ide, nilai-nilai, dan adat istiadat akan mengatur dan memberi arah kepada perbuatan (perilaku) dan karya manusia. Ide dan perbuatan akan menghasilkan benda sebagai suatu hasil karya (rumah).
Universitas Sumatera Utara
Sebaliknya rumah akan membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang berpengaruh terhadap pola-pola perbuatan, bahkan juga akan mempengaruhi cara berpikir penghuninya (ide-ide). Cara berpikir (ide-ide) akan selalu berkembang yang mengakibatkan perkembangan kebuadayaan fisik tersebut. Sebaliknya akibat pengaruh perkembangan hasil karya fisik juga akan mempengaruhi cara berpikir manusia.
Ide-ide
Fisik (Rumah)
Tingkah Laku
Diagram 2.1. Hubungan tiga wujud fisik kebudayaan pada rumah
2.2. Interaksi Terhadap Lingkungan Manusia dan lingkungan pada hakekatnya merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling berinteraksi dan menghasilkan suatu pola perilaku tertentu. Lingkungan, dapat berupa fisik, yaitu alam sekitar baik yang bersifat alamiah maupun yang buatan, dan lingkungan non fisik yaitu lingkungan sosial dan budaya. Melalui interaksi dengan kedua lingkungan inilah seorang manusia dapat disebut sebagai manusia yang lengkap. (Altman, 1985) Dalam setiap kehidupannya, manusia selalu dalam posisi berhadapan dengan lingkungan. Dalam posisi tersebut ia akan melakukan interaksi pertama
Universitas Sumatera Utara
sekali melalui penginderaannya untuk kemudian diproses lebih lanjut dalam alam kesadarannya. Proses ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain memori tentang pengalaman masa lampau, minat, sikap, motivasi dan inteligensi. Hasil pengolahannya akan berbentuk penilaian terhadap apa yang diinderakan tadi, dan atas dasar penilaian itulah maka muncul berbagai pola perilaku.
Pengalaman dan Nilai-nilai
Sistem Kognisi
Stimulasi
Persepsi
Perilaku
Tujuan
Motivasi
Lingkungan Temporal dan Spatial
Diagram 2.2. Proses hubungan perilaku terhadap lingkungan Berbicara mengenai persepsi, maka kita tidak terlepas dari 3 proses, yaitu kognisi (cognitive), afeksi (affective), dan kognasi (cognative). Kognisi meliputi proses penerimaan (perceiving), pemahaman (understanding), dan pemikiran (thinking) tentang suatu lingkungan. Afeksi meliputi proses perasaan (feeling), emosi (emotion), keinginan (desire), serta nilai-nilai (values) tentang lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
Kognasi meliputi munculnya tindakan atau perlakuan terhadap lingkungan sebagai respon dari proses kognisi dan afeksi (Setiawan,1995,h.29). Persepsi terhadap rumah dan lingkungan perumnas, pada hakekatnya adalah proses kognisi, afeksi, dan kognasi yang dialami oleh penghuni di dalam memahami informasi tentang rumah tersebut. Yaitu bagaimana penerimaan, pemahaman, dan pemikiran penghuni terhadap rumah tersebut. Kognisi ini biasanya dialami lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman. Kognisi lingkungan yang bersifat abstrak, dapat diproyeksikan secara spasial, yang dalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku disebut sebagai peta mental (cognitive maps) yang dipengaruhi oleh faktor-faktor organismic, environmental, cultural. Karena itu, setiap orang akan mempunyai peta mental yang berbeda terhadap suatu lingkungan yang sama. Akibat proses kognisi ini akan melahirkan proses afeksi yaitu bagaimana perasaan, emosi, keinginan, serta nilai-nilai terhadap lingkungan tersebut. Akibat proses kognisi dan afeksi akhirnya akan menimbulkan proses kognasi yaitu munculnya tindakan atau perlakuan terhadap rumah tersebut.
2.3. Perumahan dan permukiman 2.3.1. Pengertian Menurut Undang-undang Nomor 4 tahun 1992, rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Sedangkan perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai
Universitas Sumatera Utara
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Permukiman merupakan kumpulan bangunan rumah dengan berbagai fasilitasnya antara lain: jaringan jalan, saluran air kotor, saluran air hujan, kualitas air bersih, sumber air bersih, kamar mandi, tempat cucui, tempat bermain, lapangan terbuka, pusat lingkungan dan fasilitas pasar, sekolah, kantor, dan pusat kesehatan. 2.3.2. Sistem pengadaan perumahan dan permukiman Secara umum terdapat 2 sistem pengadaan perumahan dan permukiman, yaitu sistem pembangunan non formal (self-governing or local housing system) dan sistem pembangunan formal (centrally administrated housing system) atau oleh Richard Barnet dan Ronald Muller disebut dengan ”heteronemy or other determined housing” dan ”autonomy or self-determined housing system”. (Turner,1982) Di Indonesia, sistem non formal adalah pembangunan perumahan yang perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan pembangunannya dilakukan terutama oleh lembaga non formal, yaitu penghuni sendiri (self-help housing). Akhir-akhir ini dikembangkan dengan peran serta Koperasi Pembangunan Perumahan (KPP) dan Konsultan Pembangunan (KP), atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Universitas Sumatera Utara
(Yodohusodo, 1991). Sedangkan sistem formal adalah pembangunan perumahan yang perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan pembangunannya ditentukan oleh lembaga formal, yaitu pemerintah (Perum Perumnas) atau developer swasta. Pengadaan perumahan yang dilaksanakan dengan menggunakan sistem ini antara lain: a.
Pemerintah melalui Perum Perumnas, membangun perumahan berupa rumah sederhana (RS) dan rumah sangat sederhana (RSS), rumah inti, dan rumah susun yang terjangkau oleh golongan masyarakat berpenghasilan rendah (GMBR).
b.
Swasta melalui developer atau pengusaha real estat. Produk yang dipasarkan pada umumnya hanya untuk golongan masyarakat menengah ke atas.
2.3.3. Sistem perencanaan rumah sederhana Pada prinsipnya, tiap perencanaan, termasuk perencanaan rumah sederhana, ialah suatu jalan pikiran dari ide-ide ke bentuk. Yang penting pada prinsip ini ialah bahwa ide merupakan dasar perencanaan. Pengarahan pikiran dari ide menuju ke bentuk membutuhkan suatu konsep. Bagian konsep ini biasanya di bagi atas 3 bidang, yaitu: a.
Bidang lingkungan: yaitu hubungan proyek yang direncanakan di dalam lingkungan kota, maupun lingkungan kecil termasuk konsep site atau situasi, orientasi terhadap matahari, jalan, saluran air, listrik dan sebagainya.
b.
Bidang struktur bangunan: yaitu pembentuk ruang, konsep denah menurut kebutuhan ruang, bahan bangunan, konstruksi bangunan, ukuran bangunan,
Universitas Sumatera Utara
bentuk dan kemungkinan perluasan bangunan. c.
Bidang fungsi/hubungan: yaitu hubungan antara bagian umum dengan bagian pribadi, hubungan antar ruang-ruang, fungsi ruang-ruang di dalam denah, perbandingan ukuran ruang, hubungan antara bangunan dengan lingkungan, dan sebagainya.
2.3.4. Konsep kenikmatan perumahan dan permukiman. Konsep kenikmatan secara mendasar menunjuk pada dua keadaan, yaitu terpenuhinya faktor kepuasan dan kepentingan. Kepuasan mengandung arti suatu keadaan dimana hal-hal yang dinginkan dapat dicapai atau dipenuhi oleh individu yang bersangkutan. Kepentingan lebih menekankan pada tingkat urgenitas suatu masalah sehingga mendapatkan prioritas lebih dibandingkan dengan yang lain, apakah sesuatu yang dianggap penting atau tidak penting, apakah sesuatu itu mempunyai makna yang lebih bagi individu yang bersangkutan. Menurut konsep ini, kepuasan dan kenikmatan mengandung arti suatu keadaan dimana hal-hal yang dinginkan dapat dicapai atau dipenuhi oleh individu yang bersangkutan. Keinginan masing-masing individu ini akan beragam sesuai dengan latar belakang demografis dan sosial budayanya, yang antara lain meliputi suku, agama, struktur keluarga, pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan. Menurut Morris (1987) kenikmatan pemukiman, terdiri dari 2 aspek, yaitu kenikmatan perumahan dan kenikmatan bertetangga. 1.
Kenikmatan perumahan mengacu pada beberapa aspek, yaitu:
a.
Aspek kepemilikan rumah tinggal, apakah rumah yang mereka huni adalah
Universitas Sumatera Utara
rumah sendiri atau rumah sewa (kontrakan), dari sisi kenikmatan akan menimbulkan perasaan yang berbeda pada diri penghuninya. b.
Struktur bangunan, yang berkaitan dengan tingkat fleksibilitas fungsi bangunan dalam upaya kemungkinan pengembangan lebih lanjut akibat keterbatasan ruang (space).
c.
Kualitas bangunan, mengacu pada standarisasi ruang dan bangunan disesuaikan dengan kebutuhan minimum yang harus dipenuhi atau diadakan.
d.
Tipe rumah (luas ruang, jumlah ruang yang ada).
2.
Kenikmatan kehidupan bertetangga, mengacu pada derajat kepuasan yang dikaitkan dengan aspek kepentingan kehidupan bertetangga. Aspek ini mencakup dampak sosialisasi yang ditimbulkan sebagai akibat dari bentuk atau rancangan bangunan yang ditempati oleh penghuni. Kepuasan penghuni terhadap perumahan ini dipengaruhi oleh format 4
modal yang telah diungkapkan Pierre Bourdie (dalam Flint, 2003) yaitu modal ekonomi, sosial, budaya dan simbolis dan bagaimana pengaruhnya sehingga individu menjadi ingin bertindak lebih dalam beberapa hal dibandingkan orang lain (Bourdieu, 2000). Pierre Bourdieu menguraikan bagaimana hubungan antara struktur sosial, budaya dan tindakan serta bagaimana reaksi tindakan individu terhadap perubahan struktur dan divisi dalam masyarakat yang timbul akibat hal ini (Hillier dan Rooksby, 2002, Dovey, 2002, dalam Flint, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Dengan mencoba memahami disain rumah yang sesuai dengan keinginan, harapan, dan kebutuhan dari suatu kelompok tertentu, maka akan dicapai suatu hasil yang lebih maksimal dan memberikan nilai tambah pada disain tersebut. Pada kehidupan golongan masyarakat menengah bawah di kota, gaya hidup merupakan adaptasi situational antara norma desa dan kota, yang dapat diamati antara lain dari rumah yang dihuni, yaitu tentang bagaimana pembagian dan penggunaan ruang. Dengan demikian diperoleh gambaran tentang rumah yang bagaimana yang bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan golongan masyarakat menengah bawah di kota. Manusia pada dasarnya tidak terikat pada satu macam pola perilaku yang tunggal dan kaku. Demikian juga terhadap golongan masyarakat menengah bawah di kota, sekalipun mereka sudah memiliki pola hidup yang sudah mapan di desa, pada saat berimigrasi ke kota, mereka akan mengubah lingkungannya sesuai dengan keinginannya.
Latar Belakang Demografis dan Sosial Budaya: ‐ Tahapan Perkembangan Kehidupan Keluarga ‐ Pendapatan ‐ Pendidikan ‐ Pekerjaan ‐ Status Sosial Ekonomi ‐ Aspek lain
‐ Kepemilikan ‐ Struktur dan Tipe Rumah ‐ Ruang ‐ Kualitas dan Pembiayaan
Tingkat Kepuasan Penghuni Pada Aspek Rumah Tingkah Laku Adaptasi
Kehidupan Bertetangga
Tingkat Kepuasan Bertetangga
Diagram 2.3. Kenikmatan Perumahan dan Permukiman
Universitas Sumatera Utara
2.3.5. Faktor yang mendasari perubahan rumah Suatu produk dapat memuaskan konsumen bila dinilai dapat memenuhi atau melebihi keinginan dan harapannya (Spreng dalam Budyono, 2008). Banyak perumahan yang dibangun tidak sesuai dengan kebutuhan dan harapan (ekspektasi) penghuni. Akibat ketidaksesuaian fisik bangunan (produk) yang dihasilkan dengan keinginan dan harapan, perumahan yang mereka miliki akan dirubah sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Menurut Hebraken, bahwa perubahn rumah yang dilakukan oleh penghuni dapat dipengaruhi oleh adanya 2 faktor, antara lain: a.
Faktor Internal, yaitu pertambahan anggota keluarga, perkembangan kebutuhan, dan perubahan gaya hidup.
b.
Faktor Eksternal, yaitu adanya perkembangan teknologi membangun. Beberapa motivasi yang mendasari penghuni untuk merubah rumah tempat
tinggalnya, antara lain: a.
Perubahan anggota keluarga, perubahan ini mempengaruhi jumlah ruangan dan perabot yang dibutuhkan dalam beraktifitas.
b.
Teknologi baru, hal ini dimungkinkan karena umur material yang dipakai pada rumah yang dihuni membutuhkan pergantian. Hal ini menyebabkan perubahan pada rumah tersebut dengan alasan pemeliharaan.
c.
Kebutuhan identitas diri, pada dasarnya orang mengingnkan identitas diri. Hal ini dapat dilihat pada pemilihan segala atribut yang dikenakan, termasuk rumah. Hal ini dapat juga terlihat pada saat penghuni merubah atau
Universitas Sumatera Utara
mengembangkan rumahnya. Rumah sering dipakai sebagai sarana untuk mengekspresikan diri bagi para pemiliknya. d.
Perubahan gaya hidup, perubahan struktur dalam masyarakat mempengaruhi gaya hidup manusia yang pada akhirnya dapat merubah pengertian praktis tentang baik buruknya suatu desain. (Habraken,1967,h.39-41).
2.3.6. Tindakan umum masyarakat terhadap huniannya. Ada beberapa tindakan umum yang dilakukan masyarakat terhadap tempat tinggalnya, yaitu: a.
Pemeliharaan, yaitu usaha akibat desakan kebutuhan tanpa perubahan dan penggantian bahan, misalnya mengganti atap yang bocor, mengganti pintu dan jendela yang lapuk, pengecatan, dsb.
b.
Penyempurnaan sebagian yaitu peningkatan mutu bahan pada elemen rumah dan ruang tertentu, tanpa mengubah jenis, jumlah, dan luas ruang.
c.
Penyempurnaan menyeluruh, yaitu peningkatan mutu bahan yang dipakai secara menyeluruh tanpa mengubah jenis dan jumlah elemen, luas dan bentuk rumah.
d.
Ekspansi/perluasan, yaitu perluasan keluar misalnya dengan menambah kamar tidur, ruang keluarga/ruang makan, dapur, kamar mandi, dsb.
e.
Perombakan atau perubahan struktur fisik rumah secara total, yaitu membongkar bangunan yang sudah ada, kemudian membangun kembali dengan bangunan yang baru.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Evaluasi Pasca Huni (Post-occupancy Evaluation). Evaluasi Pasca Huni (Post Occupancy Evaluation, POE) adalah sebuah metoda standar akademis yang digunakan oleh kalangan ilmiah dan konsultan di bidang kawasan binaan dan arsitektur, untuk mengetahui sejauh mana hasil sebuah karya arsitektur dan lingkungan binaan mempunyai dampak pada penghuninya. Dampak yang dimaksud adalah dampak yang dirasakan oleh penghuni
sebuah
kawasan
binaan,
baik
tangible
maupun
intangible
(Budiarso,2007). Metoda ini dipakai untuk mengetahui sejauh mana persepsi penghuni menyikapi hasil sebuah lingkungan binaan setelah lebih dari 10 (sepuluh) tahun dihuni. Evaluasi Purna Huni (EPH) adalah suatu proses evaluasi terhadap keefektifan hasil kerja rancang bangun setelah bangunan selesai dan dipakai oleh penghuni selama waktu tertentu (Setiawan,1995,h.116). Evaluasi ini dapat dilakukan terhadap perencanaan, pemograman, perancangan (design), konstruksi, dan penghunian bangunan. Evaluasi ini perlu dilakukan karena adanya kecenderungan anggapan bahwa proses kerja rancang bangun telah selesai apabila dokumen perancangan telah terwujud menjadi wadah fisik. Tujuan evaluasi ini adalah untuk mencari fakta-fakta hasil kerja rancang bangun untuk dipakai sebagai masukan bagi terciptanya hasil rancang bangun dengan kualitas yang baik di masa mendatang. Evaluasi purna huni persepsi merupakan evaluasi terhadap aspek sosial dan psikologis tingkat kepuasan penghuni bangunan pada perumnas Mandala di Medan. Aspek ini meliputi privasi dan interaksi penghuni, persepsi terhadap
Universitas Sumatera Utara
lingkungan, rasa kepemilikan, pemahaman, dan perancangan bangunan, serta kognisi dan orientasi lingkungan penghuni.
2.5. Perilaku Terhadap Rumah Berbicara mengenai persepsi, maka kita tidak terlepas dari 3 proses, yaitu kognisi (cognitive), afeksi (affective), dan kognasi (cognative). Kognisi meliputi proses penerimaan (perceiving), pemahaman (understanding), dan pemikiran (thinking) tentang suatu lingkungan. Afeksi meliputi proses perasaan (feeling), emosi (emotion), keinginan (desire), serta nilai-nilai (values) tentang lingkungan. Kognasi meliputi munculnya tindakan atau perlakuan terhadap lingkungan sebagai respon dari proses kognisi dan afeksi. (Setiawan,1995,h.29), Teori identitas sosial (social identity theory) mengemukakan bahwa perilaku itu sangat dipengaruhi oleh salah satu identifikasi dengan satu kelompok sosial tertentu (Abrams & Hogg, 1990 dalam Christian, 2003). Lebih lanjut adalah memahami konsep identitas sosial sebagai motivasi untuk membangun, peneliti mempunyai kombinasi teori identitas sosial dan teori perencanaan perilaku (theory planned behavior, TPB). Terry, Hogg, dan White (1999) dalam Christian (2003) menemukan bahwa identitas sosial mempunyai suatu efek langsung pada niat, dan tidak langsung pada perilaku. Oleh karena itu, semakin orang teridentifikasi dengan kelompok sosial seseorang, semakin mungkin untuk berniat untuk terlibat dalam perilaku tertentu itu.
Universitas Sumatera Utara
Barker (1963), dalam Cherulnik (2001), menggunakan istilah setting perilaku
untuk
menyederhanakan
pandangan
bahwa
setting
lingkungan
merupakan pemahaman terbaik dalam kaitannya dengan perilaku penghuni. Beberapa ahli teori terkemuka sudah setuju bahwa setting lingkungan biasanya diberlakukan sebagai kombinasi yang mereka kenal sebagai place (Appleyard, 1979; Evans, 1980; Moore, 1979; Stokols, 1978). Aspek hubungan timbal balik antara phisik dan atribut sosial pada suatu tempat (places), dipengaruhi oleh persepsi seseorang pada konteks lingkungan. Maslow dan Mintz (1956), dalam Cherulnik (2001) menemukan bahwa persepsi subjek jadi lebih senang dan lebih rajin ketika mereka diperkenalkan pada suatu ruang yang lebih menarik. Rosenthal dan Haley (1976) menemukan bahwa riset menilai subjek pada suatu hasil percobaan akan dipengaruhi oleh ruang laboratorium di mana keduanya saling berinteraksi. Canter, West, dan Wools (1974) menunjukkan bahwa pertimbangan target seseorang bervariasi sesuai dengan jenis ruang di mana ia berada. Gerson (2001), dalam Kwanda (2003) mengemukakan bahwa kepuasan konsumen adalah persepsi konsumen terhadap harapannya yang telah terpenuhi atau terlampaui. Kepuasan konsumen akan terjadi setelah tahap pembelian dan setelah tahap pemakaian. Adapun proses evaluasi setelah pembelian adalah kepuasan yang akan tercapai bila terjadi kesamaan antara pengalaman dalam mendapatkan dan menggunakan produk, dengan harapan yang diinginkan oleh konsumen terhadap kualitas dari produk yang didapatkan.
Universitas Sumatera Utara
Teknis Psikologis
Desain Rumah
Persepsi Terhadap Lingkungan
Sosiologi Fungsional Diagram 2.4. Perilaku terhadap rumah
2.6. Transformasi Bentuk Transformasi adalah menjadi bentuk yang berbeda namun mempunyai nilai-nilai yang sama, perubahan dari satu bentuk atau ungkapan menjadi suatu bentuk yang mempunyai arti atau ungkapan yang sama mulai dari struktur permukaan dan fungsi (The New Grolier Webster International Dictionary of English Language dalam Pratiwi, 2009). Transformasi berarti perubahan menjadi sesuatu. Transformasi dapat dianggap sebagai sebuah proses pengalihan total dari suatu bentuk menjadi sebuah sosok baru yang dapat diartikan sebagai tahap akhir dari sebuah proses perubahan. Sebagai sebuah proses yang dijalani secara bertahap faktor ruang & waktu menjadi hal yang sangat mempengaruhi perubahan tersebut (Webster Dictionary, 1970 dalam Pratiwi, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Transformasi adalah sebuah proses perubahan secara berangsur-angsur sehingga sampai pada tahap ultimate, perubahan dilakukan dengan cara memberi respon terhadap pengaruh unsur eksternal & internal yang akan mengarahkan perubahan dari bentuk yang sudah dikenal sebelumnya melalui proses menggandakan secara berulang-ulang atau melipatgandakan (Antoniades, 1990 dalam Pratiwi 2009). Perubahan fisik disebabkan oleh adanya kekuatan non fisik yaitu perubahan budaya, sosial, ekonomi & politik (Rossi, 1982, Sari, 2007 dalam Pratiwi 2009). Kategori transformasi: a.
Transformasi bersifat Topologikal (geometri) bentuk geometri yang berubah dengan komponen pembentuk dan fungsi ruang yang sama.
b.
Transformasi bersifat Gramatika Hiasan (ornamental) dilakukan dengan menggeser, memutar, mencerminkan, menjungkirbalikan, melipat, dll.
c.
Transformasi bersifat Reversal (kebalikan) pembalikan citra pada figur objek yang akan ditransformasi dimana citra objek dirubah menjadi citra sebaliknya.
d.
Transformasi bersifat Distortion (merancukan) kebebasan perancang dalam beraktifitas (Laseau,1980 dlm Sembiring, 2006) Proses transformasi:
a.
Perubahan terjadi secara perlahan-lahan atau sedikit demi sedikit.
b.
Tidak dapat diduga kapan dimulainya dan sampai kapan proses tersebut akan berakhir, tergantung dari faktor yang mempengaruhinya.
Universitas Sumatera Utara
c.
Komprehensif dan berkesinambungan.
d.
Perubahan yang terjadi mempunyai keterkaitan erat dengan emosional (sistem nilai) yang ada dalam masyarakat Proses transformasi mengandung dimensi waktu dan perubahan sosial
budaya masyarakat yang menempatinya yang muncul melalui proses panjang yang selalu terkait dengan aktifitas-aktifitas yg terjadi pada saat itu (Alexander, 1987 dlm Pakilaran, 2006). Faktor-faktor yang menyebabkan transformasi: a.
Kebutuhan identitas diri (identification). Pada dasarnya orang ingin dikenal dan ingin memperkenalkan diri terhadap lingkungan.
b.
Perubahan gaya hidup (life style). Perubahan struktur dalam masyarakat, pengaruh kontak dgn budaya lain dan munculnya penemuan-penemuan baru mengenai manusia dan lingkungannya.
c.
Penggunaan teknologi baru. Timbulnya perasaan ikut mode, dimana bagian yang masih dapat dipakai secara teknis (belum mencapai umur teknis dipaksa untuk diganti demi mengikuti mode) (Habraken, 1976 dalam Pakilaran, 2006).
d.
Perubahan sosial. Faktor lingkungan fisik, perubahan penduduk, isolasi dan kontak, struktur masyarakat, sikap dan nilai-nilai, kebutuhan yang dianggap perlu dan dasar budaya masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
e.
Perubahan budaya. Budaya sebagai sistem nilai terlihat dalam gaya hidup masyarakat yang mencerminkan status, peranan kekuasaan, kekayaan, dan keterampilan.
f.
Perubahan ekonomi. Kekuatan yang paling dominan dalam menentukan perubahan lingkungan fisik adalah kekuatan ekonomi.
g.
Perubahan politik. Peran aspek politis melalui bentuk intervensi non fisik melalui kebijakan pengembangan kawasan (Rossi, 1982, Sari, 2007).
TOPOLOGIKA L GRAMATIKAL REVERSAL DISTORSI
T R A N S F O R M A S LINGKUNGAN I BINAAN (RUMAH)
SOSIAL BUDAYA EKONOMI POLITIK
BENTUK AWAL
PROSES
BENTUK SEKARANG
Diagram 2.5. Transformasi bentuk Dapat disimpulkan bahwa transformasi adalah suatu perubahan dari satu kondisi (bentuk awal) ke kondisi yg lain (bentuk akhir) dan dapat terjadi secara terus menerus atau berulang kali yang dipengaruhi oleh dimensi waktu yang dapat terjadi secara cepat atau lambat, tidak saja berhubungan dengan perubahan fisik tetapi juga menyangkut perubahan sosial budaya ekonomi politik masyarakat
Universitas Sumatera Utara
karena tidak dapat lepas dari proses perubahan baik lingkungan (fisik) maupun manusia (non fisik). Apabila hal ini tidak tercapai maka akan terjadi transformasi bentuk yang dilakukan oleh penghuni. Transformasi rumah ini tujuannya adalah untuk memperbaiki standar kualitas rumah, seperti: menyediakan ruang dan kamar yang lebih luas kepada rumah tangga inti (main households); lebih banyak ruang per orang; menurunkan tingkat okupansi; mengakomodasi lebih banyak orang tanpa harus memperluas kota (untuk penyewa, dan lain-lainnya.); memperbaiki penampilan fisik rumah (konstruksi, bahan, finishing, atau perlengkapan); dan oleh karena itu meningkatkan kepuasan pemilik dan penghuni (Tipple, 1992, 1999, 2000; Owusu & Tipple, 1995; Sueca 2003 dalam Sueca 2004). Namun demikian, Tipple (1992) dalam Sueca 2004, mencatat bahwa terdapat berbagai kerugian dari kegiatan transformasi rumah tersebut seperti halnya: menambah populasi, beban terhadap jaringan utilitas yang ada, kritis terhadap beban struktural dan keamanan serta masalah pencahayaan alami dan ventilasi. Kellett dkk. (1993) dalam Sueca 2004, juga menyatakan beberapa kelemahan dari kegiatan ini seperti misalnya penggunaan sumber daya secara tidak efisien sebagai akibat dari perubahan yang tidak dipertimbangkan dengan baik, kurangnya pengalaman dan pengetahuan yang menyebabkan penggunaan bahan yang berlebihan dan mahal. Menurut Gasperz (1997), Kwanda (2003) tingkat dari performa produk yang diharapkan untuk tercapainya kepuasan konsumen dipengaruhi oleh faktorfaktor kualitas seperti:
Universitas Sumatera Utara
a.
Performance adalah faktor yang terkait dengan aspek fungsional dari produk. Untuk penelitian ini performance adalah fungsi rumah, namun tidak dibahas secara mendalam karena keterbatasan parameter ukur dari aspek fungsional.
b.
Features
adalah
faktor
yang
terkait
dengan
pilihan-pilihan
dan
pengembangannya, dalam hal ini adalah desain bangunan, dimana konsumen dihadapkan pada pilihan-pilihan desain dan pengembangan desain bangunan yang ditawarkan oleh pengembang. c.
Reliability adalah factor yang berkaitan dengan tingkat kegagalan dalam penggunaan produk. Faktor kualitas ini tidak dilakukan analisis yang lebih mendalam karena memerlukan jangka waktu panjang untuk dapat mengetahui keandalan dari fungsi rumah itu sendiri.
d.
Aesthetics adalah faktor yang berkaitan dengan desain dan pembungkusan dari produk itu atau rumah dalam hal ini.
e.
Durability adalah factor yang berkaitan dengan daya tahan atau masa pakai dari produk. Dalam hal kualitas produk perumahan adalah seperti kondisi lantai, kusen, dinding, dll.
f.
Serviceability adalah faktor yang terkait dengan kemudahan dari kualitas produk. Bila dikaitkan dengan produk perumahan adalah seperti sarana dan prasarana, serta factor lokasi.
g.
Conformance berkaitan dengan tingkat kesesuaian produk terhadap spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan keinginan konsumen. Terkait dengan factor ukur ini, maka standar pemenuhan kualitas
Universitas Sumatera Utara
perumahan sederhana tipe 36 yang telah ditetapkan baik untuk faktor kualitas produk, desain bangunan, lokasi perumahan, serta sarana dan prasarana oleh pihak terkait merupakan bagian dari faktor ukur ini. h.
Perceived quality adalah faktor yang berkaitan dengan kualitas yang dirasakan konsumen, contohnya adalah untuk meningkatkan harga diri, dan moral. Dalam penelitian ini tidak dilakukan pengukuran faktor ini karena keterbatasan alat ukur.
Universitas Sumatera Utara
2.7. Kerangka Teori
Latar Belakang Masalah
Kajian Pustaka
Pertambahan Jumlah Penduduk
Kekurangan Perumahan Permukiman
Rumah Sebagai Kebutuhan Dasar Manusia
Masyarakat Menengah Bawah
Harga Rumah tidak Terjangkau
Sistem Pengadaan Perumahan
Rumah Sebagai Pusat Berbudaya
Sosial Budaya Beragam
Pengadaan Perumahan Massal
Kebijakan Perumahan Permukiman
Interaksi terhadap Lingkungan
Persepsi Beragam
Perumahan Perumnas
Rumah Sederhana
Persepsi terhadap Rumah
Ketidaksesuaian Produk Perumnas dengan Persepsi
Persepsi Penghuni terhadap Perumnas
Tingkat Kepuasan Penghuni Terhadap Perumahan
Korelasi
Transformasi Bentuk yang Terjadi
Evaluasi Pasca Huni Perumnas Mandala Medan
Diagram 2.6. Kerangka Teori
Universitas Sumatera Utara