6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Energi Angin Angin adalah sumber energi yang tersedia cukup berlimpah di alam. Pemanfaatannya telah dimulai sejak tahun 5000 SM untuk menggerakkan balingbaling perahu di Sungai Nil. Tahun 200 SM, Cina telah memanfaatkan energi angin untuk pompa air, dan di Timur Tengah telah dimanfaatkan untuk menggiling biji-bijian. Pada abad ke-20, energi angin telah banyak dimanfaatkan untuk pengolahan makanan, pompa air, dan pembangkit listrik. Energi angin merupakan suatu kekuatan yang dimiliki oleh suatu zat sehingga mempunyai pengaruh pada keadaan sekitarnya. Menurut mediumnya dikenal banyak jenis energi. Diantaranya, energi gelombang, energi arus laut, energi kosmos, energi yang terkandung dalam senyawa atom, dan energi-energi lainnya. Salah satu dari energi tersebut adalah energi angin yang jumlahnya tak terbatas dan banyak digunakan untuk meringankan kerja manusia. Angin memberikan energi gerak sehingga mampu menggerakkan kincir angin, perahu layar, dan bisa dimanfaatkan menjadi pembangkit listrik berupa turbin angin. Keberadaan energi angin ini terdapat dilapisan atmosfer bumi yang banyak mengandung partikel udara dan gas. Lapisan troposfer merupakan lapisan atmosfer terendah bumi dan dilapisan ini semua peristiwa cuaca termasuk angin terjadi. Energi angin merupakan salah satu bentuk energi yang dapat diperbaharui. Angin merupakan gejala alam yang diakibatkan adanya perbedaan suhu antara udara panas dan udara dingin. Didaerah khatulistiwa, udaranya menjadi panas, mengembang lalu menjadi ringan, naik ke atas dan bergerak ke daerah yang lebih dingin. Sebaliknya, daerah kutub yang dingin, udaranya menjadi dingin dan turun ke bawah. Dengan demikian terjadi suatu perputaran udara berupa perpindahan udara dari kutub utara ke garis khatulistiwa menyusuri permukaan bumi dan sebaliknya suatu perpindahan udara dari garis khatulistiwa kembali ke kutub utara, melalui lapisan udara yang lebih tinggi (Asan Damanik, 2011).
Universitas Sumatera Utara
7
Gambar 2.1 Skema terjadinya angin pasat (Sumber: Asan Damanik, 2011) Gambar 2.1 melukiskan terjadinya angin pasat secara skematik. Dimana angin berjalan dari daerah katulitiwa naik ke atas menuju kutub, dari kutub angin turun ke bawah menuju daerah katulistiwa dan seterusnya. Jadi pada prinsipnya angin terjadi karena adanya perbedaan suhu udara di beberapa tempat dipermukaan bumi.
2.2 Potensi Angin di Indonesia Berdasarkan data kecepatan angin di berbagai wilayah Indonesia, sumberdaya energi angin di Indonesia berkisar antara 2.5 – 5.5 m/detik pada ketinggian 24 meter di atas permukaan tanah. Dengan kecepatan tersebut sumberdaya angin di Indonesia termasuk dalam kategori kecepatan angin kelas rendah hingga menengah. Secara keseluruhan, potensi energi angin Indonesia mencapai 9.290 MW. Angin di wilayah Indonesia secara umum di sebelah utara khatulistiwa bertiup dari arah Barat Laut menuju Timur Laut. Sedangkan di sebelah Selatan khatulistiwa bertiup dari arah Barat Daya menuju Barat Laut. Kecuali di Sumatera bagian Selatan dan Jawa angin bertiup dari arah Timur menuju Tenggara.
Universitas Sumatera Utara
8
Gambar 2.2 Aliran angin di Indonesia (Sumber : http://www.bmkg.go.id)
2.3 Teori Momentum Elementer Bet’z Teori ini diperkenalkan pertama kali oleh Albert Betz. Teori ini menjelaskan bahwa dengan menerapkan hukum fisika dasar, energi mekanik yang dapat diekstrak dari aliran udara yang melewati suatu penampang, dibatasi oleh energi yang terkandung pada aliran udara tersebut. Penelitian lebih lanjut ekstraksi daya yang optimal didapatkan dengan rasio tertentu antara kecepatan aliran udara yang berada didepan mesin konversi energi dan kecepatan aliran di belakang mesin tersebut (Eric Hau, 2006)
Gambar 2.3 Kondisi aliran udara pada proses pengambilan energi mekanik menurut teori momentum elementer (Sumber : Eric Hau, 2006)
Universitas Sumatera Utara
9
Besarnya energi kinetik dari massa udara m yang bergerak dengan kecepatan U dapat dituliskan sebagai berikut : 𝐸𝐸 =
1 2
𝑚𝑚𝑣𝑣 2 (Nm) …………………………………………….…………..(2.1)
Banyaknya udara yang mengalir tiap satuan waktu pada luas penampang tertentu jika angin yang bergerak dengan kecepatan v, dituliskan sebgaai berikut : 𝑉𝑉̇ = 𝑣𝑣 𝐴𝐴
(𝑚𝑚3 /𝑠𝑠) ……………….……….……………………..……..(2.2)
Dengan menghubungkan persamaan 𝜌𝜌 = dapat dituliskan sebagai berikut ::
𝑚𝑚 𝑉𝑉
dan 𝑉𝑉̇ =
𝑉𝑉 𝑡𝑡
, persamaan (2.2) diatas
𝑚𝑚̇ = 𝜌𝜌. 𝑣𝑣. 𝐴𝐴 (kg/s) ...………….…………………………….…….……..(2.3)
Jika persamaan (2.3) disubstitusikan ke persamaan (2.1) , ini akan menjadi persamaan daya yang diberikan angin tiap satu luasan tertentu dan 𝑃𝑃 = persamaan baru menjadi,
𝑃𝑃 =
1 2
𝐸𝐸 𝑡𝑡
maka
𝜌𝜌. 𝑣𝑣 3 . 𝐴𝐴 (𝑊𝑊) ………...………………………………………..….(2.4)
Besarnya energi mekanik yang dapat diambil oleh mesin ini dari aliran udara sama dengan besarnya perbedaan daya dari aliran udara sebelum melewati mesin dan setelah melewati mesin. Persamaan ini dituliskan sebagai berikut : 𝑃𝑃 =
1 2
𝜌𝜌. 𝑣𝑣1 3 . 𝐴𝐴1 −
1 2
𝜌𝜌. 𝑣𝑣2 3 . 𝐴𝐴2 =
1 2
𝜌𝜌( 𝑣𝑣1 3 . 𝐴𝐴1 − 𝑣𝑣2 3 . 𝐴𝐴2 )
…...……(2.5)
Dimana v1 merupakan kecepatan udara sebelum memasuki mesin dan v2 kecepatan udara setelah melewati mesin.
Dengan menggunakan hukum
kontinuitas, 𝑄𝑄1 = 𝑄𝑄2
𝜌𝜌. 𝑣𝑣1 . 𝐴𝐴1 = 𝜌𝜌. 𝑣𝑣2 . 𝐴𝐴2 …………….…………………….....……………….(2.6) Persamaan (2.6) ini disubstitusikan ke persamaan (2.5), maka didapatkan persamaan (2.7) sebagai berikut : 𝑃𝑃 = 𝑃𝑃 =
1 2 1 2
𝜌𝜌. 𝐴𝐴1 . 𝑣𝑣1 . ( 𝑣𝑣1 2 − 𝑣𝑣2 2 )
. 𝑚𝑚.̇ (𝑣𝑣1 2 − 𝑣𝑣 2 )
(W) …………………………...…………….(2.7)
(𝑊𝑊) …………………………………………….....(2.8)
Universitas Sumatera Utara
10
Dari persamaan (2.8) terlihat bahwa daya yang akan diterima oleh suatu mesin konverter ini akan maksimum ketika nilai v2 = 0. Hal ini mustahil terjadi karena jika memang udara di belakang mesin ini bernilai nol, maka kecepatan angin sebelum memasuki mesin juga harus bernilai nol juga. Jika ini terjadi, tentu saja tidak akan ada energi yang bisa diambil oleh mesin tersebut. Untuk itulah dibutuhkan persamaan lain untuk mewakili pengkoversian energi di mesin ini. Selain dengan menggunakan hukum kelestarian momentum, gaya yang mengenai sudu kincir dapat dituliskan dengan persamaan berikut : 𝐹𝐹 = 𝑚𝑚̇ (𝑣𝑣1 − 𝑣𝑣2 )
(N)……………………...…………………..……….(2.9)
Besarnya daya yang dibutuhkan untuk mendorong massa udara dengan kecepatan v’ dengan menggunakan hukum aksi-reaksi, adalah : 𝑃𝑃 = 𝐹𝐹. 𝑣𝑣 ′ = 𝑚𝑚̇. (𝑣𝑣1 − 𝑣𝑣2) . 𝑣𝑣 ′
(W)…….…………………………………..(2.10)
Dengan menggunakan hukum kelestarian energi, persamaan (2.8) dan (2.10), menjadi : 1 2
. 𝑚𝑚.̇ (𝑣𝑣1 2 − 𝑣𝑣2 2 ) = 𝑚𝑚.̇ (𝑣𝑣1 − 𝑣𝑣1 ). 𝑣𝑣 ′
(W)………….…………………….(2.11)
Maka kecepatan udara yang melewati konverter adalah sebagai berikut : 𝑣𝑣1 + 𝑣𝑣2
𝑣𝑣 ′ =
(m/s) ……………………..……….…………………….….(2.12)
2
Massa udara yang mengalir menjadi : 𝑚𝑚̇ = 𝜌𝜌. 𝑣𝑣 ′ . 𝐴𝐴 =
1 2
𝜌𝜌. 𝐴𝐴. (𝑣𝑣1 + 𝑣𝑣2 )
(kg/s) ……………………….…..…….(2.13)
Daya mekanikal yang dihasilkan oleh converter dapar dituliskan: 𝑃𝑃 =
1 4
. 𝜌𝜌. 𝐴𝐴(𝑣𝑣1 2 − 𝑣𝑣2 2 )(𝑣𝑣1 + 𝑣𝑣2 )
(W) ………….…………………..….(2.14)
Untuk membandingkan efisiensi daya yang dimiliki oleh turbin angin , daya keluaran yang dihasilkan oleh turbin angin ini dibandingkan dengan daya yang
Universitas Sumatera Utara
11
dimiliki angin sebelum memasuki peralatan turbin angin . Daya angin yang tersedia sebelum memasuki turbin angin ditulisan sebagai berikut : 𝑃𝑃𝑜𝑜 =
1 . 𝜌𝜌. 𝑣𝑣1 3 . 𝐴𝐴 2
Nilai perbandingan antara daya mekanikal yang dapat diekstrak turbin angin dibandingkan daya yang tersedia oleh angin bebas disebut sebagai koefisien daya , 𝑐𝑐𝑝𝑝 yang dituliskan sebagai berikut ini
𝑐𝑐𝑝𝑝 = 𝑐𝑐𝑝𝑝 =
𝑃𝑃
𝑃𝑃𝑜𝑜 𝑃𝑃
𝑃𝑃𝑜𝑜
=
=
1 4
1 2
.𝜌𝜌.𝐴𝐴(𝑣𝑣1 2 −𝑣𝑣2 2 )(𝑣𝑣1 + 𝑣𝑣2 )
…………………………………(2.15)
2
………………………………………..(2.16)
1 2
.𝜌𝜌.𝑣𝑣1 3 .𝐴𝐴
𝑣𝑣
𝑣𝑣
. �1 − � 2 � � �1 + 2 � 𝑣𝑣1
𝑣𝑣1
Bila dihitung berdasarkan persamaan diatas, nilai cp dapat ditentukan dari rasio antara kecepatan angin setelah melewati turbin dengan kecepatan angin sebelum melewati turbin angin.
2.4 Turbin Angin Turbin angin merupakan mesin dengan sudu berputar yang mengkonversikan energi kinetik angin menjadi energi mekanik. Di negara-negara maju, sudah banyak pemanfaatan turbin angin sebagai pembangkit listrik. Di negara-negara berkembang, penggunaan turbin angin berada dalam skala riset. Hal ini dikarekanakan teknologi yang berada di negara tersebut masih butuh pengembangan lebih lanjut untuk memperoleh turbin angin yang bagus. Oleh karena itu, untuk riset turbin angin akan dicari sebuah desain dan bahan beserta analisanya untuk membuat turbin angin lebih baik dari sebelumnya. Berdasarkan arah sumbu geraknya, turbin angin terbagi menjadi 2, Yaitu : 1. Turbin angin sumbu horizontal 2. Turbin angin sumbu vertikal
Universitas Sumatera Utara
12
2.4.1 Turbin Angin Sumbu Horisontal Turbin angin sumbu horisontal merupakan turbin angin yang bekerja pada sumbu yang sejajar dengan permukaan bumi. Turbin angin jenis ini merupakan turbin yang paling banyak dipakai di dunia sebagai pembangkit tenaga listrik. Turbin angin sumbu horizontal dibedakan atas jumlah sudunya, terdiri atas: 1. Turbin angin satu sudu (single blade) 2. Turbin angin dua sudu (double blade) 3. Turbin angin tiga sudu (three blade) 4. Turbin angin banyak sudu (multi blade)
a.
b.
b.
d.
Gambar 2.4 Turbin angin berdasarkan jumlah sudunya (a) satu sudu, (b) dua sudu, (c) tiga sudu, dan (d) banyak sudu (Sumber : http://www.google.com) Turbin angin sumbu horizontal dibedakan juga terhadap datangnya arah angin terhadap sudu turbin, yaitu: 1. Upwind, apabila turbin angin diletakkan menghadap arah angin.
Universitas Sumatera Utara
13
2. Downwind, apabila turbin angin dihadapkan membelakangi arah angin.
Gambar 2.5 Turbin angin berdasarkan datangnya arah angin (Sumber : Eric Hau, 2006)
Adapun beberapa keuntungan yang dimiliki oleh turbin angin sumbu horizontal adalah sebagai berikut: 1. Untuk turbin angin besar yang digunakan untuk membangkitkan listrik, kecepatan rotor dan daya yang dihasilkan dapat diatur sesuai tujuan perancangan. Ini berguna untuk melindungi turbin angin ini jika terjadi angin besar. 2. Bentuk rotor dapat dioptimalisasi secara aerodinamis dan ini terbukti dapat menaikkan efisiensi dari turbin angin ini. 3. Teknologi pengembangan rancangan propeler sudah mapan dan telah berkembang.
2.4.2 Turbin Angin Sumbu Vertikal Turbin angin sumbu vertikal merupakan turbin angin yang sumbu rotasinya tegak lurus terhadap permukaan bumi. Ada beberapa tipe turbin yang telah dikembangkan beberapa tahun terakhir. Pengembangan terus dilakukan untuk mengurangi masalah atau bahkan mengatasi masalah yang sering timbul pada turbin angin. jenis masalah ini diantaranya torsi awal yang rendah, gaya angkat sudu, efisiensi yang rendah, dan struktur yang tidak kuat. Beberapa tipe turbin angin ini diantaranya tipe Savonius, tipe Darrieus, dan tipe H.
Universitas Sumatera Utara
14
Gambar 2.6 Beberapa tipe turbin angin sumbu vertikal (Sumber : http://www.google.com)
Beberapa keunggulan dari kincir angin sumbu vertical adalah sebagai berikut : 1. Desainnya kecil sehingga memiliki guncangan kecil pada menaranya 2. Tidak memerlukan mekanisme penyesuaian sudu terhadap datangnya arah angin 3. Letak generator dan sudu yang tidak terlalu tinggi di tanah sehingga mudah dalam perawatan 4. Tidak memerlukan konstruksi menara yang tinggi jika dibandingkan dengan turbin angin horizontal. 5. Tingkat kebisingan yang rendah
Diantara keunggulan dari kincir angin sumbu vertikal ini, terdapat beberapa kelemahan diantaranya: 1
Efisiensi turbin ini lebih rendah jika dibandingkan dengan kincir angin sumbu horisontal
2
Kebanyakan turbin angin tipe ini mempunyai torsi awal yang rendah, sehingga diperlukan daya awal untuk menggerakkannya.
Universitas Sumatera Utara
15
2.5 Aerodinamika pada Sudu Turbin Angin Turbin angin merupakan peralatan mekanis yang dapat berputar akibat pergerakan angin. Turbin angin menggunakan sudu-sudu sehingga menghasilkan gaya dorongan yang membuat Turbin angin dapat berputar.
Dua faktor penting
mengapa turbin angin dapat berputar yaitu mengikuti prinsip hukum III Newton dan Efek Bernoulli. Prinsip hukum III Newton menghasilkan gaya drag pada sudu turbin. Gaya drag adalah gaya yang membuat kecepatan sudu menjadi lebih lambat dari yang seharusnya. Gaya drag sering disebut hambatan udara. Gaya drag muncul karena bentuk sudu yang tidak aerodinamis sehingga menghambat aliran udara yang mengenainya. Efek Bernoulli menghasilkan gaya lift. Gaya lift sering disebut sebagai gaya angkat. Gaya lift muncul akibat adanya perbedaan kecepatan udara yang mengalir melalui kedua bagian sudu yang berlawanan. Pada pesawat terbang, gaya lift ini memampukan pesawat untuk naik ataupun turun. Salah satu faktor yang sangat penting dalam keberhasilan suatu turbin angin adalah bentuk dari penampang sudu turbin angin. Bentuk sudu ini mempengaruhi gaya drag dan gaya lift. Ilustrasi antara gaya drag dan gaya lift ditunjukkan oleh gambar berikut. Kecepatan angin
Kecepatan angin
Benda
Gaya Drag lebih besar
Benda
Gaya Drag lebih kecil
Gambar 2.7 Perbandingan antara gaya drag pada benda yang berpenampang besar dengan benda lain yang penampangnya lebih aerodinamis.
Universitas Sumatera Utara
16
P1
Untuk dapat naik, V1
V1 > V2 P1 < P2
Sudu
V2
U t kd
tt
P2
Gambar 2.8 Gambar aliran fluida yang melewati penampang airfoil
2.5.1 Bentuk Sudu Bentuk airfoil dari sudu membantu untuk menghasilkan gaya lift dengan mengambil keuntungan dari efek Bernoulli. Salah satu lembaga yang telah banyak meneliti bentuk dari airfoil adalah National advisory committee for aeronautics (NACA) yang dimiliki oleh Amerika Serikat. Lembaga ini bertanggungjawab atas penelitian tentang bentuk airfoil selama tahun 1940 an.
Lembaga ini
telah
menerbitkan dokumen tentang airfoil yang dimulai dari seri 4 digit, 5 digit, seri 6, seri 7, seri 8, dan seri 16. Selain dari NACA, ada juga standard bentuk airfoil yang dibuat beberapa negara lain selain Amerika Serikat, yaitu Swedia dan Jerman. Sebagai contoh dari jenis airfoil tersebut adalah LS, SERI dan FFA. Beberapa varian dari bentuk airfoil NACA didapatkan dengan menggunakan persamaan analitik yang menggambarkan chamber (curvature) dari garis tengah (meanline) dari penampang airfoil serta distribusi ketebalan sepanjang panjang airfoil. Ketebalan yang beragam ini dijumpai pada sudu yang akan dirancang untuk turbin angin sumbu horizontal. Penulis akan merancang turbin angin sumbu vertikal, maka data yang akan diambil hanya penampang 2D dan panjang dari atas ke bawah memiliki ketebalan yang seragam. Secara umum, ada banyak kesamaan antara airfoil yang sangat baik dengan yang lainnya. Dua variabel yang mempengaruhi bentuk airfoilnya adalah kemiringan garis tengah airfoil (the slope of the airfoil mean camber line) dan distribusi ketebalan diatas dan dibawah garis tersebut (the thickness distribution above and
Universitas Sumatera Utara
17
below this line). Kedua variabel ini menjadi inti dari semua pengembangan bentuk seri NACA yang lainnya. Pada airfoil terdapat bagian-bagian seperti berikut : a) Leading Edge adalah bagian yang paling depan dari sebuah airfoil. b) Trailing Edge adalah bagian yang paling belakang dari sebuah airfoil. c) Chamber line adalah garis yang membagi sama besar antara permukaan atas dan permukaan bawah dari airfoil mean chamber line. d) Chord line adalah garis lurus yang menghubungkan leading edge dengan trailing edge. e) Chord (c) adalah jarak antara leading edge dengan trailling edge. f) Maksimum chamber adalah jarak maksimum antara mean chamber line dan chord line. Posisi maksimum chamber diukur dari leading edge dalam bentuk persentase chord. g) Maksimum thickness adalah jarak maksimum antara permukaan atas dan
permukaan bawah airfoil yang juga diukur tegak lurus terhadap chord line.
Gambar 2.9 Geometri Airfoil NACA (Sumber : http://www.google.com)
Airfoil yang saat ini umum digunakan sangat dipengaruhi oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh NACA ini. Dan berikut ini adalah klasifikasi jenis-jenis airfoil NACA : a. NACA seri 4 digit
Universitas Sumatera Utara
18
Sekitar tahun 1932, NACA melakukan pengujian beberapa bentuk airfoil yang dikenal dengan NACA seri 4 digit. Distribusi kelengkungan dan ketebalan NACA seri empat ini diberikan berdasarkan suatu persamaan. Distribusi ini tidak dipilih berdasarkan teori, tetapi diformulasikan berdasarkan pendekatan bentuk sayap yang efektif yang digunakan saat itu, seperti yang dikenal adalah airfoil Clark Y. Pada airfoil NACA seri empat, digit pertama menyatakan persen maksimum chamber terhadap chord. Digit kedua menyatakan persepuluh posisi maksimum chamber pada chord dari leading edge. Sedangkan dua digit terakhir menyatakan persen ketebalan airfoil terhadap chord. Contoh : airfoil NACA 2412 memiliki maksimum chamber 0.02 terletak pada 0.4c dari leading edge dan memiliki ketebalan maksimum 12% chord atau 0.12c. b. NACA Seri 5 Digit Pengembangan airfoil NACA 5 digit dilakukan sekitar tahun 1935 dengan menggunakan distribusi ketebalan yang sama dengan seri empat digit. Garis kelengkungan rata-rata (mean chamber line) seri ini berbeda dibanding seri empat digit. Perubahan ini dilakukan dalam rangka menggeser maksimum chamber kedepan sehingga dapat meningkatkan CL maksimum. Jika dibandingkan ketebalan (thickness) dan chamber, seri ini memiliki nilai CL maksimum 0.1 hingga 0.2 lebih tinggi dibanding seri empat digit. Sistem penomoran seri lima digit ini berbeda dengan seri empat digit. Pada seri ini, digit pertama dikalikan 3/2 kemudian dibagi sepuluh memberikan nilai desain koefisien lift. Setengah dari dua digit berikutnya merupakan persen posisi maksimum chamber terhadap chord. Dua digit terakhir merupakan persen ketebalan/thickness terhadap chord. Contohnya, airfoil 23012 memiliki CL desain 0.3, posisi maksimum chamber pada 15% chord dari leading edge dan ketebalan atau thickness sebesar 12% chord. c. NACA Seri-1 (Seri 16) Airfoil NACA seri 1 yang dikembangkan sekitar tahun 1939 merupakan seri pertama yang dikembangkan berdasarkan perhitungan teoritis. Airfoil seri 1 yang paling umum digunakan memiliki lokasi tekanan minimum di 0.6 chord, dan
Universitas Sumatera Utara
19
kemudian dikenal sebagai airfoil seri-16. Chamber line airfoil ini didesain untuk menghasilkan perbedaan tekanan sepanjang chord yang seragam. Penamaan airfoil seri 1 ini menggunakan lima angka. Misalnya NACA 16-212. Digit pertama menunjukkan seri 1. Digit kedua menunjukkan persepuluh posisi tekanan minimum terhadap chord. Angka dibelakang tanda hubung : angka pertama merupakan persepuluh desain CL dan dua angka terakhir menunjukkan persen maksimum thickness terhadap chord. Jadi NACA 16-212 artinya airfoil seri 1 dengan lokasi tekanan minimum di 0.6 chord dari leading edge, dengan desain CL 0.2 dan thickness maksimum 0.12. d. NACA Seri 6 Airfoil
NACA
seri
6
didesain
untuk
mendapatkan
kombinasi
drag,
kompresibilitas, dan performa CL maksimum yang sesuai keinginan. Beberapa persayaratan ini saling kontradiktif satu dan lainnya, sehingga tujuan utama desain airfoil ini adalah mendapatkan drag sekecil mungkin. Geometri seri 6 ini diturunkan dengan menggunakan metode teoritik yang telah dikembangkan dengan menggunkan matematika lanjut guna mendapatkan bentuk geometri yang dapat menghasilkan distribusi tekanan sesuai keinginan. Tujuan pendekatan desain ini adalah memperoleh kombinasi thickness dan chamber yang dapat memaksimalkan daerah alirah laminer. Dengan demikian maka drag pada daerah CL rendah dapat dikurangi. Aturan penamaan seri 6 ini cukup membingungkan dibanding seri lain, diantaranya karena adanya banyak perbedaan variasi yang ada. Contoh yang umum digunakan misalnya NACA 641-212, a = 0.6. Angka 6 di digit pertama menunjukkan seri 6 dan menyataan famili ini didesain untuk aliran laminer yang lebih besar dibanding seri 4 digit maupun 5 digit. Angka 4 menunjukkan lokasi tekanan minimum dalam persepuluh terhadap chord ( 0.4 c ). Subskrip 1 mengindikasikan bahwa range drag minimum dicapai pada 0.1 diatas dan dibawah CL design yaitu 2 dilihat angka 2 setelah tanda hubung. Dua angka terakhir merupakan persen thickness terhadap chord, yaitu 12% atau 0.12. Sedangkan a= 0,6 mengindikasikan persen chord airfoil dimana distribusi tekanannya seragam, dalam contoh ini adalah 60 % chord.
Universitas Sumatera Utara
20
e. NACA Seri 7 Seri 7 merupakan usaha lebih lanjut untuk memaksimalkan daerah aliran laminer diatas suatu airfoil dengan perbedaan lokasi tekanan minimum dipermukaan atas dan bawah. Contohnya adalah NACA 747A315. Angka 7 menunjukkan seri. Angka 4 menunjukkan lokasi tekanan minimum di permukaan atas dalam persepuluh (yaitu 0.4c) dan angka 7 pada digit ketiga menunjukkan lokasi tekanan minimum di permukaan bawah airfoil dalam persepuluh (0.7c). A, sebuah huruf pada digit keempat, menunjukkan suatu format distribusi ketebalan dan mean line yang standardisasinya dari NACA seri awal. Angka 3 pada digit kelima menunjukkan CL desain dalam persepuluh (yaitu 0.3) dan dua angka terakhir menunjukkan persen ketebalan maksimum terhadap chord, yairu 15% atau 0.15.
f. NACA Seri 8 Airfiol NACA seri 8 didesain untuk penerbangan dengan kecepatan supercritical. Seperti halnya seri sebelumnya, seri ini didesain dengan tujuan memaksimalkan daerah aliran laminer di permukaan atas permukaan bawah secara independen. Sistem penamaannya sama dengan seri 7, hanya saja digit pertamanya adalah 8 yang menunjukkan serinya. Contohnya adalah NACA 835A216 adalah airfoil NACA seri 8 dengan lokasi tekanan minimum di permukaan atas ada pada 0.3c, lokasi tekanan minimum di permukaan bawah ada pada 0.5c, memiliki CL desain 2 dan ketebalan atau thickness maksimum 0.16c.
2.5.2 Tip Speed Ratio Kecepatan angin sangat berpengaruh terhadap performansi suatu turbin angin. Apabila angin yang mengenai sudu turbin memiliki kecepatan tinggi, ini akan membuat sudu kincir berputar cepat, sebagai konsekuensinya gaya drag semakin besar, serta gaya lift yang juga bertambah saat sudu berputar semakin cepat. Variabel yang diakibatkan oleh kondisi ini adalah tip speed ratio. Tip speed ratio adalah perbandingan antara kecepatan putaran ujung sudu terhadap kecepatan angin .
Universitas Sumatera Utara
21
Gambar 2.10 Kecepatan sudu lebih cepat pada ujungnya daripada di dasar sudu
Besarnya tip speed ratio dapat ditentukan dengan rumus berikut ini.
dimana :
λ 𝜔𝜔
λ =
λ =
𝜔𝜔 . 𝑅𝑅 𝑣𝑣
𝜋𝜋 .𝐷𝐷 .𝑛𝑛 60.𝑣𝑣
…...........………………….(2.17)
= 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟 (m/s)
= 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 ( 𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟/𝑠𝑠)
D
= diameter turbin (m)
v
= kecepatan angin (m/s)
n
= putaran turbin (rpm)
2.5.3 Letak Sudu Terhadap Arah Angin Penempatan sudu dari kincir angin menentukan seberapa banyak gaya lift yang dapat dihasilkan. Untuk turbin angin horizontal, pengaturan sudut penting untuk mendapatkan sudut yang optimal terhadap arah angin yang datang. Dari kebanyakan bentuk airfoil, sudut kontak (the angle of attack) sebesar 10-15o menghasilkan gaya lift yang paling besar dengan gaya drag yang yang lebih kecil. Gambar berikut menunjukkan arah kecepatan angin pada sudu kincir angin.
Universitas Sumatera Utara
22
Gambar 2.11 Gaya aerodinamis pada penampang sudu (Sumber : Anderson, 2001)
Sudut serang (angle of attack) ini mengakibatkan aliran fluida yang melalu airfoil akan bergerak ke bawah dan ke atas dari bagian sudu tersebut. Akibat jarak lintasan yang dilalui udara dibagian bawah sudu lebih pendek, mengakibatkan kecepatan tempuh udara untuk mencapai ujung sudu lebih besar dibandingkan dengan kecepatan pada bagian atas sudu. Hal ini mengakibatkan adanya perbedaan tekanan pada kedua sisi dan menimbulkan gaya lift. Besarnya gaya angkat dan gaya drag sama dengan persamaan berikut ini 1
𝐹𝐹𝐿𝐿 = 𝑐𝑐𝐿𝐿 . . 𝜌𝜌 . 𝑤𝑤 2 . ( 𝑅𝑅. 𝑐𝑐) . 𝐵𝐵 ..................................................(2.18) 2
1
𝐹𝐹𝐿𝐿 = 𝑐𝑐𝐷𝐷 . . 𝜌𝜌 . 𝑤𝑤 2 . ( 𝑅𝑅. 𝑐𝑐) . 𝐵𝐵 ..................................................(2.19) 2
dimana Cl adalah koefisien lift, Cd adalah koefisien gaya drag, ρ adalah massa jenis udara, w adalah kecepatan angin relative, R adalah panjang sudu (jari jari kincir) c adalah panjang chord sudu dan B adalah jumlah sudu.
2.6 Computational Fluid Dynamic (CFD)
Universitas Sumatera Utara
23
Computational Fluid Dynamic (CFD) merupakan cabang dari mekanika fluida yang menggunakan merode numerik dan algoritma untuk memecahkan dan menganalisis masalah yang melibatkan aliran fluida. Komputer digunakan untuk melakukan perhitungan yang diperlukan untuk mensimulasikan interaksi antara cairan-cairan dan gas-gas terhdadap permukaan yang didefinisikan sebagai kondisi batas. Beberapa aplikasi dibidang industri dan non industri yang berhubungan dengan CFD adalah aerodinamis pesawat dan kendaraan, motor bakar dan turbin gas, meteorologi hingga biomedical engineering. Kode-kode CFD tersusun pada algoritma numerik untuk menyelesaikan masalah aliran fluida. Karenanya semua kode-kode mengandung tiga elemen: (i) preprocessor, (ii) solver, (iii) post processor. Dimana penjabaran dari setiap fungsi elemen-elemen ini dijabarkan sebagai berikut : 1. Pre-processor Merupakan kumpulan data-data yang diketahui dari masalah aliran fluida ke program CFD. Aktivitas pemakai pada tahap pre processing seperti mendifinisakn geometri yang dipakai (computational domain), menentukan grid (mesh), memilih fenomena fisik dan kimia yang dibutuhkan untuk dimodelkan serta sifat fluida. Solusi dari sebuah masalah aliran fluida (kecepatan, tekanan, temperatur, dsb) didefiniskan pada node didalam setiap sel sehingga disebut volume elemnt method. Akurasi solusi CFD ditentukan jumlah sel pada grid. Secara umum, semakin banyak jumlah sell semakin baik akurasi penyelesaiannya. 2. Solver Finite element method merupakan formulasi diferensial terbatas yang stabil pada penyelesaian berbagai masalah CFD, empat dari lima kode CFD komersial antara lain : PHOENICS, FLUENT, FLOW3D dan STAR-CD. 3. Post processor Dalam tahap post processor merupakan elemen untuk menampilkan grafik dan menunjukkan hasil-hasil yang dapat dilihat secara visual. Termasuk didalamnya adalah : tampilan geometry dan grid, tampilan vektor, jejak partikel, fasa fluida, dsb. Fasilitas ini juga termasuk animasi untuk tampilan hasil masalah dynamic dan fasilitas mengeksport data untuk diproses ketahap lainnya.
Universitas Sumatera Utara
24
2. 7 CFD dan Airfoil Airfoil merupakan suatu bentuk geometri yang umum digunakan dalam bidang penerbangan. Airfoil bekerja berdasarkan prinsip Bernoulli yang berkaitan antara kecepatan dan tekanan. Sejarah mencatat proses penemuan pesawat terbang oleh Wright bersaudara tidak terlepas oleh penelitian tentang airfoil. Penggunaan mesin pesawat sebagai penggerak utamanya belum mampu untuk membuat pesawat untuk bisa terbang. beragam bentuk airfoil telah diuji oleh mereka sampai akhirnya didapatkan bentuk airfoil yang maksimal. Pengujian yang dilakukan oleh mereka dilakukan dengan bantuan terowongan angin hasil buatan mereka sendiri dengan mesin penggerak yang berbahan bakar bensin.
berikut ini ditampilkan foto terowongan angin yang
dibuat oleh kedua orang tersebut yang memiliki dimensi panjang 6 kaki dengan luas penampang 16 inchi2.
Gambar 2.12 Terowongan angin yang dibuat wright bersaudara tahun 1901-1902 di Dayton, Ohio (Sumber : Anderson, 2001)
CFD memungkinkan untuk digunakan oleh peneliti sebagai pengganti terowongan angin dengan cara memodelkan bentuk sesuai aslinya dan dilakukan analisa secara numerik. penggunaan super komputer dengan spesifikasi tinggi mampu mengerjakan pemodelan hampir sesuai dengan bentuk aslinya dengan ukuran yang relatif besar. Analisis airfoil dapat dilakukan secara teoritis, secara eksperimaental maupun dengan bantuan CFD. Penggunaan salah satu metode tersebut bisa berdiri sendiri
Universitas Sumatera Utara
25
atau juga mengkombinasikan antar metode tersebut untuk menganalisa masalah tentang aerodinamis. Gambaran antar metode tersebut digambarkan sebagai berikut.
eksperimen
teori
CFD
Gambar 2.13 Metode yang sering digunakan dalam menganalisa aerodinamis
(Sumber : Anderson, 2001) 2. 8 Persamaan Umum Untuk Aliran Fluida
Governing equation untuk aliran fluida menggambarkan persamaan matematika dari hukum konservasi fisika yaitu : a. Konservasi massa b. laju perubahan momentum sama dengan total gaya pada partikel fluida c. laju perubahan energi sama dengan total laju penambahan panas dan laju kinerja yang dilakukan partikel fluida T
N
S (x,y,z)
δz
B
δy
W z
E
δx
y x
Gambar 2.14 Element fluida Di keenam permukaan di sebut sebagai N,S,E,W,T,B yang mana merupakan symbol dari North (utara), South (selatan), East (timur), West (barat). Arah positif sepanjang sumbu co-ordinat juga digunakan. Pusat dari elemen terletak pada posisi (x,y,z). sebuah perhitungan sistematik dilakukan berupa perubahan massa, momentum, dan energi dari elemen fluida seiring dengan aliran fluida melewati
Universitas Sumatera Utara
26
boundaries akan membuat pergerakan pada bagian dalam elemen, yang mengacu pada persamaan airan fluida. Semua sifat fluida merupakan fungsi dari jarak dan waktu sehingga kita dapat menulisnya ρ(x,y,z,t), p(x,y,z,t), T(x,y,z,t) dan u (x,y,z,t) untuk vector densitas, tekanan, temperatur dan kecepatan. Properties pada salah satu permukaan dapat dinyatakan sebagai persamaan Taylor. Missal tekanan pada permukaan E dan W , yang mana keduanya berjarak 1/2δx dari pusat elemen, dapat dinyatkaan sebagai : p-
∂p 1 ∂p 1 δx δx dan p + ∂x 2 ∂x 2 2.8.1 Konservasi Massa
Langkah pertama dalam derivasi persamaan konservasi massa adalah menulis keseimbangan massa pada elemen fluida
Laju peningkatan masa dalam elemen fluida = jumlah laju aliran massa kedalam elemen fluida
Laju peningkatan massa kedalam elemen fluida adalah : ∂ ∂ ρ (ρ∂ x∂ y∂ z ) = ∂ x∂ y∂ z ∂t ∂t ……………………………………………...(2.20)
Selanjutnya dapat ditentukan jumlah aliran massa pada elemen terhadap kecepatan dan densitas. Pada gambar 2.14 dapat dilihat laju aliran massa kedalam elemen fluida yang melewati batas dinyatakan sebagai
∂ (ρu ) 1 ∂ (ρu ) 1 ∂ (ρv) 1 ∂x ∂y∂z - ρu + ∂x ∂y∂z + ρv ∂y ∂x∂z ρu ∂x 2 ∂x 2 ∂y 2 ∂ (ρv) 1 ∂ (ρw) 1 ∂ (ρw) 1 - ρv + ∂y ∂x∂z + ρw ∂z ∂x∂y - ρw + ∂z ∂x∂y ∂y 2 ∂z 2 ∂z 2
…..(2.21)
Aliran-aliran yang mana menuju elemen menghasilkan peningkatan massa kedalam elemen dan mendapatkan tanda positif dan aliran-aliran yang meninggalkan elemen mendapatkan tanda negatif.
Universitas Sumatera Utara
27
ρv +
ρu -
ρw +
∂ (ρv) 1 δy ∂y 2
∂ (ρw) 1 δz ∂z 2
ρu +
(x,y,z)
∂ (ρu ) 1 δx ∂x 2
∂ (ρu ) 1 δx ∂x 2
ρv -
z
y x
ρw -
∂ (ρv) 1 δy ∂y 2
∂ (ρw) 1 δz ∂z 2
Gambar 2.15 Aliran massa masuk dan keluar elemen fluida
Laju peningkatan massa didalam elemen (pers 2.20) disamanakan dengan jumlah aliran massa kedalam elemen yang melewati permukaan (pers 2.21). Semua kondisi menghasilkan keseimbangan massa yang diatur pada left hand side dari tanda keseimbangan dan dibagi oleh elemen volume δxδyδz. Ini menghasilkan persamaan
∂ρ ∂ (ρu ) ∂ (ρv) ∂ (ρw) + + + = 0 ……………..………………………(2.22) ∂t ∂x ∂y ∂z Atau dalam bentuk vektor dituliskan : ∂ρ +div (ρu ) = 0 ∂t
…………………………………....................(2.23)
Untuk persamaan (2.23) untuk kondisi transien, tiga dimensi konservasi massa atau pesamaan kontinitas pada suatu titik dalam sebuah fluida mampu mampat (incompresible). Kondisi kedua dideskripsikan sebagai jumlah aliran massa yang keluar dari elemen melewati batas dan disebut kondisi konvektif. Untuk aliran tidak mampu mampat (incompressible) (contoh sebuah cairan) densitas ρ bernilai konstan dan persamaan (2.23) menjadi
div.u = 0 ……………………………………………………………..(2.24) Atau dalam notasi yang lebih panjang
∂u ∂v ∂w + + = 0 ………………………………………………..(2.25) ∂x ∂y ∂z
Universitas Sumatera Utara
28
2.8.2 Persamaan Momentum Hukum Newton kedua mengatakan laju perubahan momentum sebuah partikel fluida sama dengan total penjumlahan gaya pada partikel.
Laju peningkatan momentum partikel fluida = total gaya pada partikel fluida
Laju peningkatan momentum pada x-, y- dan z- per unit volum sebuah partikel fluida dinyatakan sebagai:
ρ
Du Dt
ρ
Dv Dt
ρ
Dw Dt ………………………………..(2.26)
Disini dibedakan dua jenis gaya yang bekerja pada partikel fluida: a. gaya permukaan yang meliputi : gaya tekanan, gaya kekenatalan b. gaya bodi yang meliputi : gaya gravitasi, gaya centrifugal, gaya Coriolis, gaya elektromagnetik. Tegangan pada elemen fluida dinyatakan dalam tekanan dan sembilan viscous stress (tegangan kekentalan) yang komponennya telihat pada Gambar 2.16. Tekanan, tegangan normal, dinyatakan dalam p. viscous stresses dinyatakan dalam τ. Umumnya notasi akhir τij digunakan untuk mengindikasikan arah dari viscous stress. Akhiran i dan j pada τij mengindikasikan bahwa tegangan bergerak kearah j pada permukaan normal i. τ zz
τ zy τ yz τ yy
τ zx
τ yx
τ xy
τ xx
τ xy
τ xz
z
τ zz
y
τ xx
τ yx τ zx
τ xz
τ yy
τ yz
τ zy
x
Gambar 2.16 Komponen viscous stress
Universitas Sumatera Utara
29
Jika dipertimbangkan gaya pada komponen x akibat tekanan p dan tegangan komponen τxx , τyx , τzx yang dapat dilihat pada gambar 2.17. Gaya yang sejajar dengan arah sebuah sumbu co-ordinat mempunyai tanda positif dan yang gaya berlawanan arah memperoleh tanda negative. Total gaya pada arah x adalah penjumlahan dari gaya di komponen-komponen elemen fluida. τ yx +
p−
τ xx −
∂τ yx 1 δy ∂y 2
τ zx +
∂τ zx 1 δz ∂z 2
τ yx −
∂p 1 δx ∂x 2
∂τ yx 1 δy ∂y 2
p+
∂τ xx 1 δx ∂x 2 z
τ xx +
∂p 1 δx ∂x 2
∂τ xx 1 δx ∂x 2
y x
τ zx −
∂τ zx 1 δz ∂z 2
Gambar 2.17 Tegangan pada komponen-komponen pada arah X
Pada permukaan yang berpasangan (E,W) kita peroleh ∂p 1 δx − τ xx p − ∂x 2
∂p 1 − p + ∂x 2 δx ∂τ 1 ∂y∂z − xx δx ∂y∂z + ∂x 2 ∂τ xx 1 δx + τ xx + ∂x 2
∂p ∂τ xx = − + ∂x∂y∂z ∂x ∂x
……(2.27a)
Total gaya pada arah x pada permukaan yang berpasangan (N,S) adalah: ∂τ ∂τ 1 ∂τ yx 1 δy δxδz + τ yx + yx δy δxδz = yx δxδyδz − τ yx − ∂y ∂y 2 ∂y 2 ……………..(2.27b)
Dan total gaya pada arah x pada permukaan T dan B adalah
∂τ 1 ∂τ 1 ∂τ − τ zx − zx δz δxδy + τ zx + zx δz δxδy = zx δxδyδz ……………...(2.27c) ∂z 2 ∂z 2 ∂z Total gaya per unit volume pada fluida disebabkan tegangan-tegangan permukaan ini sama dengan penjumalahan persamaan (2.27a,b,c) dibagi olevolume δxδyδz :
Universitas Sumatera Utara
30
∂ (− p + τ xx ) ∂τ yx ∂τ zx + + ∂x ∂y ∂z …………………………………………………..(2.28) tanpa mempertimbangkan body force pada detail perhitungan effek secara keseluruhan dapat dimasukkan dengan menyatakan sebuah sumber (source) SMx dari momentum x per unit volume per unit waktu. Persamaan momentum pada komponen x diperoleh dengan mengatur laju perubahan pada momentum x pada partkel fluida yang jumlahnya sama dengan total gaya pada arah x di elemen akibat dari tegangan permukaan ditambah dengan laju peningkatan pada momentum akibat sumber (source):
ρ
Du ∂ (− p + τ xx ) ∂τ yx ∂τ zx = + + + S Mx ∂x ∂y Dt ∂z ………………………………….(2.29a)
Maka persamaan momentum untuk komponen y dan z dapat dituliskan:
ρ
Dv ∂τ xy ∂ (− p + τ yy ) ∂τ zy = + + + S My ∂x ∂y Dt ∂z ………………………………….(2.29b)
ρ
Dw ∂τ xz ∂τ yz ∂ (− p + τ zz ) = + + + S Mz ∂x ∂y Dt ∂z ……………………………….....(2.29c)
Tanda pada tekanan menandakan tekanan bekerja berlawanan dengan norma viscous stress, dikarenakan pada umumnya tanda umum yang digunakan untuk beban tarik adalah positif tegangan normal seingga pada tekanan yang mana bekerja sebagai tekanan beban normal maka memiliki tanda negatif.
2.8.3 Persamaan-Persamaan Energi Persamaan energi diturunkan dari hukum pertama termodinamika yang mana menyebutkan bahwa laju perubahan energi sebuha partikel fluida sama dengan laju pertambahan panas ke partikel fluida ditambah dengan laju kerja yang dilakukan pada partikel.
Laju pertambahan energi pada partikel fluida = jumlah total panas yang ditambahankan ke partikel fluida + jumlah total kerja yang dilakukan pada partikel fluida
Universitas Sumatera Utara
31
Seperti sebelumnya dimana untuk menurunkan sebuah persamaan dari laju pertambahan energi dari sebuah partikel fluida per unit volume dinyatakan sebagai: ∂ (uτ xx ) ∂ (uτ yx ) ∂ (uτ zx ) ∂ (vτ xy ) ∂ (vτ yy ) + + + + ∂x ∂y ∂z ∂x ∂y DE = −div( pu ) + ρ ………(2.30) ∂ (vτ zy ) ∂ ( wτ xz ) ∂ ( wτ yz ) ∂ ( wτ ) Dt zz + + + + ∂z ∂x ∂y ∂z + div(kgrad T
) + SE
Pada persamaan (2.30) nilai E = I + ½ (u2 + v2 + w2) Walaupun persamaan (2.30) merupakan persamaan energi yang sangat layak, tapi source dapat dirubah menjadi energi kinetik untuk memperoleh sebuah persamaan untuk energi dalam i atau temperaut T. bagian dari persamaan energi dapat dijadikan acuan terhadap energi kinetik dapat diperoleh dengan mengalikan persamaan x momentum dengan komponen kecepatan u, persamaan y momentum dengan v dan persamaan momentum z dengan w dan menambahkan hasilnya bersamaan. Hal ini menghasilkan persamaan konservasi untuk energi kinetik: 1 D (u 2 + v 2 + w 2 ) 2 = −u.grad p ρ Dt
∂τ yx ∂τ zx ∂τ + u xx + + ∂y ∂z ∂x ∂τ xy ∂τ yy ∂τ zy + v + + ∂y ∂z ∂x ∂τ yz ∂τ zz ∂τ + u.S M + w xz + + ∂y ∂z ∂x
…….....………(2.31)
Dengan melakukan subtraksi antara persamaan (2.30) dan (2.31) dan mendefiniskan
sebuah sumber baru sebagai Si = SE – u.SM menghasilkan
persamaan energi dalam: ρ
∂u ∂u Di = − p.div u + div(k .grad T ) + τ xx + τ yx + ∂x ∂y Dt ∂u ∂v ∂v ∂v ∂w ∂w ∂w τ zx + τ xx + τ yz + τ zz + Si + τ xy + τ yy + τ zy ∂z ∂x ∂y ∂z ∂x ∂y ∂z ……(2.32)
Universitas Sumatera Utara
32
Dalam kondisi special sebuah fluida inkompresibel memiliki nilai i = cT, dimana c adalah panas spesifik, dan div u =0. Ini mengakibatkan pengulangan kembali persamaan (2.32) menjadi persamaan temperatur
ρc
DT ∂u ∂u ∂u ∂v ∂v = div(k .grad T ) + τ xx + τ yx + τ zx + τ xy + τ yy Dt ∂x ∂y ∂z ∂x ∂y ∂v ∂w ∂w ∂w + τ zy + τ xx + τ yz + τ zz + Si ∂z ∂x ∂y ∂z ……..(2.33)
Untuk aliran kompresibel persamaan (2.30) sering diatur ulang untuk memberikan sebuah persamaan enthalpy. Panas spesifik h dan total enthalpy spesifik ho sebuah fluida didefiniskan sebagai : h = I + p/ρ dan ho = h + ½ (u2 + v2 + w2 ) mengkombinasikan dua definisi ini menjadi satu untuk energi spesifik E diperoleh: ho = I + p/ρ + ½ (u2 + v2 + w2 ) = E + p/ρ …………………………..(2.34) dengan mensubstitusikan persamaan-persamaan di atas dan beberapa pengaturan ulang dihasilkan persamaan (total) entalphy: ∂ (uτ xx ) ∂ (uτ yx ) ∂ (uτ zx ) ∂ (vτ xy ) ∂ (vτ yy ) + + + + ∂x ∂y ∂z ∂x ∂y ∂ ( ρho ) + div( ρ .ho .u ) = ∂ (vτ zy ) ∂ ( wτ xz ) ∂ ( wτ yz ) ∂ ( wτ ) ∂t zz + + + + ∂z ∂x ∂y ∂z + div( kgrad T
)+
∂p + Sh ∂t
…...(2.35)
Persamaan- persamaan di atas merupakan penjabaran dari governing equations yang dipakai CFD untuk melakukan proses perhitungan.
Universitas Sumatera Utara