BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi 2.1.1
Pengertian persepsi Notoatmodjo (2010), menyatakan persepsi adalah pengalaman tentang obyek,
peristiwa, atau hubungan – hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkannya. Selain itu, Hardiningsih (2011) menyatakan persepsi sebagai suatu proses pengorganisasian, pengintepretasian terhadap stimulus oleh organisasi atau individu sehingga merupakan suatu yang berarti, dan merupakan aktivitas dalam diri individu. John R. Wenberg & William W. Wilmot menyatakan bahwa persepsi dapat didefinisikan sebagai cara organisme memberi makna, sedangkan Rudolph F. Ferderber menyatakan bahwa persepsi adalah proses menafsirkan informasi indrawi dan J. Cohen menyatakan bahwa persepsi adalah interpretasi bermakna atas sensasi sebagai representatif objek eksternal; persepsi adalah pengetahuan yang tampak mengenai apa yang ada di luar sana. Persepsi merupakan inti komunikasi, sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti persepsi, yang identik dengan penyandian balik (decoding) (Riswandi, 2009). Berdasarkan pengertian persepsi dari para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu pengintepretasian dan penafsiran dari suatu rangsangan yang diterima. 2.1.2
Proses persepsi Persepsi merupakan bagian dari keseluruhan proses yang menghasilkan
tanggapan setelah rangsangan diterapkan kepada manusia. Subproses psikologis lainnya yang mungkin adalah pengenalan, perasaan, dan penalaran (Sobur, 2003)
9
10
Penalaran
Rangsangan
Persepsi
Pengenalan
Tanggapan Perasaan
Gambar 2. 1 Variabel Psikologis diantara Rangsangan dan Tanggapan (Sobur, 2003) Persepsi, pengenalan, penalaran dan perasaan terkadang disebut dengan variabel psikologis yang muncul diantara rangsangan dan tanggapan (Hennessy dalam Sobur, 2003) Soelaeman menyatakan bahwa dalam proses persepsi terdapat tiga komponen utama, yaitu (Sobur, 2003): 1. Seleksi merupakan penyaringan yang dilakukan oleh indera terhadap rangsangan dari luar. 2. Interpretasi,
yaitu
proses
mengorganisasikan
informasi
sehingga
mempunyai arti bagi seseorang. Interpretasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pengalaman masa lalu, sistem nilai yang dianut, motivasi kepribadian, dan kecerdasan.
Interpretasi
juga bergantung pada
kemampuan seseorang untuk mengadakan pengategorian informasi yang diterimanya, yaitu proses mereduksi informasi yang kompleks menjadi sederhana. 3. Interpretasi dan persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku sebagai reaksi. Jadi proses persepsi adalah melakukan seleksi, interpretasi, dan pembulatan terhadap informasi yang diterima.
11
2.1.3
Faktor – faktor yang mempengaruhi persepsi Faktor – factor yang mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu objek
menurut Riswandi (2009) adalah sebagai berikut: 1. Latar belakang pengalaman 2. Latar belakang budaya 3. Latar belakang psikologis 4. Latar belakang nilai, keyakinan, dan harapan 5. Kondisi faktual alat-alat panca indera Faktor – faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang jika dilihat dari penjelasan diatas, maka faktor – faktor tersebut tidak hanya berasal dari dalam diri orang tersebut (internal) melainkan juga dipengaruhi oleh faktor dari luar dirinya (eksternal). Fakor internal dan eksternal tersebut memiliki peranan yang sama besarnya dalam mempengaruhi persepsi seseorang. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dewi, Budhi, dan Marhaeni (2012) mengenai efektivitas program Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) di Kecamatan Gianyar diketahui bahwa karakteristik responden (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan) memiliki hubungan yang signifikan dengan persepsi mengenai peningkatan kondisi kesehatan, pengeluaran biaya kesehatan, pelayanan kesehatan dan kemandirian dalam melakukan pengobatan. 2.2 Perusahaan Asuransi Kesehatan Swasta Undang – Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian menyatakan bahwa asuransi adalah peranjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
12
a. Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan, keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau b. Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. Usaha Perasuransian menurut UU No. 40 Tahun 2014 adalah segala usaha menyangkut jasa pertanggungan atau pengelolaan risiko, pertanggungan ulang risiko, pemasaran dan distribusi produk asuransi atau produk asuransi syariah, konsultasi dan keperantaraan asuransi, asuransi syariah, reasuransi, atau reasuransi syariah, atau penilaian kerugian asuransi atau asuransi syariah. Dimana perusahaan asuransi adalah perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi jiwa. Ruang lingkup dari perusahaan asuransi umum dan asuransi jiwa adalah sebagai berikut: 1. Perusahaan Asuransi Umum: a. Hanya menyelenggarakan usaha asuransi umum, termasuk lini usaha asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri; dan b. Usaha reasuransi untuk risiko perusahaan asuransi umum lain. 2. Perusahaan Asuransi Jiwa: a. Hanya dapat menyelenggarakan usaha asuransi jiwa termasuk lini usaha anuitas, lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri.
13
Perusahaan asuransi untuk dapat menjalankan usahanya memiliki agen – agen asuransi. Agen asuransi berdasarkan UU No. 40 Tahun 2014 adalah orang yang bekerja sendiri atau bekerja pada badan usaha, yang bertindak untuk dan atas narna perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah dan memenuhi persyaratan untuk mewakili perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah. Perusahaan asuransi umum yang termasuk ke dalam anggota Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) berjumlah 84 perusahaan dan jumlah perusahaan asuransi jiwa yang termasuk ke dalam anggota Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) adalah 51 perusahaan (data terlampir pada Lampiran 2). Berdasarkan data dari BPJS Kesehatan (2015a) terdapat 51 perusahaan asuransi yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan melalui skema COB (data terlampir pada Lampiran 3). 2.3 Jaminan Kesehatan Nasional 2.3.1
Definisi JKN JKN merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang
diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN. Berdasarkan Peraturan Presiden RI No. 12 Tahun 2003 tentang Jaminan Kesehatan, pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa jaminan kesehatan merupakan jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Peserta JKN adalah seluruh masyarakat Indonesia dan warga negara asing yang telah bekerja paling singkat enam bulan di Indonesia
14
yang telah membayar iuran. JKN tidaklah bersifat gratis, karena peserta diwajibkan untuk membayar iuran atau premi sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, dimana iuran merupakan sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh peserta, pemberi kerja, dan/atau pemerintah. Kepeseretaan JKN dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan bukan PBI. PBI adalah fakir miskin atau masyarakat kurang mampu yang iuran atau preminya dibayarkan oleh pemerintah. Suatu badan hukum dibentuk untuk menyelenggarakan program JKN. Berdasarkan Peraturan Presiden RI No. 12 Tahun 2013 pasal 1 ayat (2), badan hukum tersebut adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan). BPJS Kesehatan telah beroperasi sejak tanggal 1 Januari 2014. Menurut Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2013, pemberi kerja pada BUMN, usaha besar, usaha menengah, dan usaha kecil harus sudah mendaftarkan karyawannya ke BPJS Kesehatan paling lambat tanggal 1 Januari 2015, pemberi kerja pada usaha mikro mendaftarkan karyawannya ke BPJS Kesehatan paling lambat tanggal 1 Januari 2016 dan pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja paling lambat tanggal 1 Januari 2019, dengan target seluruh penduduk Indonesia telah mejadi peserta BPJS Kesehatan pada tahun 2019. 2.3.2
Tujuan dan manfaat JKN Tujuan jaminan kesehatan menurut UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional adalah untuk menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. JKN dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional juga memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah (Kemenkes,
15
2015). Selain itu, perlindungan masyarakat melalui asuransi kesehatan sosial atau JKN bertujuan untuk mengurangi sistem pembiayaan kesehatan dengan out-of-pocket payment (Irama, 2014). Menurut Xu et al. (2003), catastrophic expenditure yang dialami oleh suatu rumah tangga dapat disebabkan oleh pembiayaan kesehatan secara out-of-pocket yang dapat menyebabkan kemiskinan. Catastrophic expenditure merupakan suatu keadaan dimana rumah tangga mengeluarkan biaya untuk kesehatan melebihi 40% dari sisa pendapatan setelah kebutuhan pokok / primer rumah tangga terpenuhi (Xu et al., 2003). Berdasarkan Xu et al. (2005), setiap tahunnya 44 juta rumah tangga atau lebih dari 150 juta orang di seluruh dunia mengalami catastrophic health expenditure dan 25 juta rumah tangga atau lebih dari 100 juta orang jatuh dalam kemiskinan akibat membayar biaya pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Manfaat dari program JKN menurut Kementerian Kesehatan RI (2013) adalah sebagai berikut: 1. Memberikan manfaat yang komprehensif dengan premi terjangkau. 2. Menerapkan prinsip kendali biaya dan mutu. Peserta bisa mendapatkan pelayanan bermutu memadai dengan biaya yang wajar dan terkendali, bukan “terserah dokter” atau terserah “rumah sakit”. 3. Menjamin sustainabilitas (kepastian pembiayaan pelayanan kesehatan yang berkelanjutan). 4. Memiliki portabilitas, sehingga dapat digunakan di seluruh wilayah Indonesia. 2.3.3
Prinsip penyelenggaraan JKN Prinsip – prinsip JKN yang mengacu kepada prinsip – prinsip SJSN menurut
Kementerian Kesehatan RI (2013) adalah sebagai berikut:
16
1. Prinsip Kegotongroyongan Prinsip gotong royong berarti peserta yang mampu membantu peserta yang kurang mampu, peserta yang sehat membantu yang sakit atau yang berisiko tinggi, dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Hal ini terwujud karena kepesertaan SJSN bersifat wajib untuk seluruh penduduk, tanpa pandang bulu. Dengan demikian, melalui prinsip gotong royong jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 2. Prinsip Nirlaba Dana yang dikumpulkan dari masyarakat adalah dana amanat, sehingga hasil pengembangannya, akan di manfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta. Seluruh kegiatan pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya didasari oleh prinsip keterbukaan, kehati – hatian, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. 3. Prinsip Portabilitas Prinsip portabilitas jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia 4. Prinsip Kepesertaan bersifat Wajib Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program. 5. Prinsip Dana Amanat
17
Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan dana titipan kepada badan – badan penyelenggara untuk dikelola sebaik – baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta. 6. Prinsip Hasil Pengelolaan Dana Jaminan Sosial Hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar – besar kepentingan peserta. 2.3.4
Kepesertaan dan premi JKN Kepesertaan JKN dibagi menjadi dua katagori yaitu Penerima Bantuan Iuran
(PBI) dan non PBI. Peserta PBI tidak dikenakan biaya atau premi dimana preminya dibayarkan oleh pemerintah setiap bulannya. Untuk peserta non PBI dibagi lagi menjadi beberapa bagian dan dikenakan premi sebagai berikut (BPJS Kesehatan, 2014b): 1. Premi Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja pada Lembaga Pemerintahan terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, anggota Polri, pejabat negara, dan pegawai pemerintah non pegawai negeri sebesar 5% dari gaji per bulan dengan ketentuan 3% dibayar oleh pemberi kerja dan 2% oleh peserta. 2. Premi Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja di BUMN, BUMD dan Swasta sebesar 4,5% dari gaji per bulan dengan ketentuan 4% dibayar oleh Pemberi Kerja dan 0,5% oleh peserta. 3. Premi keluarga tambahan Pekerja Penerima Upah yang terdiri dari anak ke 4 dan seterusnya, ayah, ibu dan mertua, besaran iuran sebesar 1% dari gaji per orang per bulan, dibayar oleh pekerja penerima upah.
18
4. Premi bagi kerabat lain dari pekerja penerima upah (seperti saudara kandung/ipar, asisten rumah tangga, dll),peserta pekerja bukan penerima upah serta iuran peserta bukan pekerja adalah sebesar: a. Rp.25.500,00 per orang per bulan di ruang perawatan Kelas III. b. Rp.42.500,00 per orang per bulan di ruang
perawatan Kelas II. c. Rp.59.500,00 per orang per bulan di ruang perawatan Kelas I. 5. Premi bagi veteran, perintis kemerdekaan, dan janda, duda, atau anak yatim piatu dari veteran atau perintis kemerdekaan, ditetapkan sebesar 5% dari 45% gaji pokok Pegawai Negeri Sipil golongan ruang III/a dengan masa kerja 14 (empat belas) tahun per bulan, dibayar oleh pemerintah. Penelitian yang dilakukan oleh Trisna & Muninjaya (2007) menunjukkan hasil bahwa rata – rata ability to pay (ATP) atau kemampuan membayar masyarakat Bali untuk premi jaminan kesehatan sosial setiap bulannya adalah sebesar Rp 22.800,00. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka premi terendah yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan saat ini yaitu sebesar Rp. 25.500,00 dianggap telah cukup sesuai. Untuk penetapan jumlah iuran atau premi sesuai dengan Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2013 ditinjau setiap dua tahun sekali dan ditetapkan dengan peraturan Presiden. BPJS Kesehatan berencana akan menaikkan premi peserta BPJS pada awal tahun 2016 dan sekarang masih dalam tahap pembahasan bersama Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Kementerian Kesehatan dan seluruh pihak terkait (BPJS Kesehatan, 2015f). Kepesertaan dalam JKN tidak dibatasi, seluruh masyarakat wajib menjadi peserta JKN. Dalam JKN tidak ada general check-up atas status kesehatan seseorang sebelum menjadi peserta. Tidak seperti asuransi komersial, iuran BPJS Kesehatan dibedakan berdasarkan kelas kamar perawatannya saja, tidak berdasarkan kondisi atau
19
status kesehatan peserta yang akan mendaftar (Idris, 2015). Saat ini, BPJS Kesehatan mulai tanggal 1 Juni 2015 berdasarkan Peraturan BPJS Kesehatan No. 1 Tahun 2015, untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan membutuhkan waktu 14 (empat belas) hari. Waktu ini diperlukan untuk memastikan administrasi kepesertaan berjalan dengan baik, seperti proses teknis yang harus dilalui untuk verifikasi data kependudukan peserta agar tidak terjadi kepesertaan ganda, penyiapan dan pendaftaran untuk peserta terdaftar di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) pilihan, dan prosedur administrasi lainnya (Idris, 2015). 2.3.5
Sistem rujukan berjenjang dan mekanisme pembayaran Pelayanan kesehatan dalam JKN diberikan kepada peserta dengan
menggunakan sistem rujukan berjenjang. Sistem Rujukan pelayanan kesehatan adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal yang wajib dilaksanakan oleh peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosial, dan seluruh fasilitas kesehatan (BPJS Kesehatan, 2015a). Rujukan horizontal adalah rujukan yang dilakukan antar unit pelayanan kesehatan yang setingkat sedangkan rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan (Notoatmodjo, 2010). Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai kebutuhan medis, yaitu (BPJS Kesehatan, 2015a): 1. Dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama. 2. Jika diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat kedua.
20
3. Pelayanan kesehatan tingkat kedua di faskes sekunder hanya dapat diberikan atas rujukan dari faskes primer. 4. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga di faskes tersier hanya dapat diberikan atas rujukan dari faskes sekunder dan faskes primer. BPJS Kesehatan menerapkan dua jenis mekanisme pembayaran kepada fasilitas kesehatan, yaitu sistem kapitasi untuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan untuk Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) menggunakan sistem tarif paket INA-CBG’s (BPJS Kesehatan, 2015d). Pembayaran secara kapitasi dihitung berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar di suatu FKTP, bukan jumlah peserta yang datang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Sedangkan INA CBGs adalah tarif paket pelayanan kesehatan yang mencakup seluruh komponen biaya RS, mulai dari pelayanan non medis hingga tindakan medis. Tarif paket dalam INA CBGs dihitung berdasarkan data di berbagai RS di Indonesia (pemerintah atau swasta). Data meliputi tindakan medis yang dilakukan, obat-obatan, jasa dokter, dan barang medis habis pakai kepada pasien, termasuk profit yang diperoleh RS. Data tersebut kemudian dihitung dalam rumus yang berlaku secara internasional dan diambil besaran rata-rata (BPJS Kesehatan, 2015d). Dengan sistem INA-CBG’s, rumah sakit maupun pihak pembayar tidak lagi merinci tagihan berdasarkan
rincian
pelayanan
yang
diberikan,
melainkan
hanya
dengan
mencantumkan biaya paket diagnosis yang telah ditetapkan (Minarti, 2014). 2.3.6
Paket manfaat JKN Peserta JKN mendapatkan dua paket pelayanan yaitu paket pelayanan yang
bersifat medis dan non medis (akomodasi dan ambulans). Namun, masih ada beberapa hal yang tidak ditanggung dalam JKN. Pelayanan kesehatan yang tidak ditanggung
21
dalam program JKN berdasarkan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan sebagaiman telah diubah dengan Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2013, yaitu: 1. Pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa melalui prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku; 2. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, kecuali dalam keadaan darurat; 3. Pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan kecelakaan kerja terhadap penyakit atau cedera akibat kecelakaan kerja atau hubungan kerja; 4. Pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan kecelakaan lalu lintas yang bersifat wajib sampai nilai yang ditanggung oleh program jaminan kecelakaan lalu lintas; 5. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negeri; 6. Pelayanan kesehatan untuk tujuan estetika; 7. Pelayanan untuk mengatasi infertilitas; 8. Pelayanan meratakan gigi (ortodonsi); 9. Gangguan kesehatan atau penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau alkohol; 10. Gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri; 11. Pengobatan komplementer, alternatif, dan tradisional termasuk akupuntur, shin she, chiropractic, yang belum dinyatakan efektif berdasarkan penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment);
22
12. Pengobatan dan tindakan medis yang dikategorikan sebagai perCOBaan (eksperimen); 13. Alat kontrasepsi, kosmetik, makanan bayi, dan susu; 14. Perbekalan kesehatan rumah tangga; 15. Pelayanan kesehatan akibat bencana pada masa tanggap darurat, kejadian luar biasa atau wabah; 16. Biaya pelayanan kesehatan pada kejadian tidak diharapkan yang dapat dicegah (preventable adverse events) yang ditetapkan oleh Menteri; serta 17. Biaya pelayanan lainnya yang tidak ada hubungan dengan manfaat JKN yang diberikan. 2.3.7
Koordinasi manfaat atau coordination of benefit (COB) Koordinasi manfaat atau coordination of benefit (COB) adalah suatu proses
dimana dua atau lebih penanggung (payer) yang menanggung orang yang sama untuk benefit asuransi kesehatan yang sama, membatasi total benefit dalam jumlah tertentu yang tidak melebihi jumlah pelayanan kesehatan yang dibiayakan. Peserta COB adalah peserta BPJS Kesehatan yang mempunyai program jaminan kesehatan lain yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan (BPJS Kesehatan, 2014c). Prinsip dari COB ini adalah, sebagai berikut (BPJS Kesehatan, 2014c):
23
1. BPJS Kesehatan sebagai Penjamin Pertama BPJS Kesehatan menjamin peserta sesuai haknya sebagai peserta BPJS Kesehatan, selebihnya ditanggung oleh asuransi tambahan atau badan penjamin lain. a. Koordinasi manfaat diberlakukan bila peserta mengambil kelas perawatan lebih tinggi dari haknya sebagai peserta BPJS Kesehatan, kecuali pelayanan di rumah sakit yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, diatur tersendiri antara BPJS Kesehatan dengan asuransi tambahan atau badan penjamin lainnya. b. BPJS Kesehatan menanggung biaya sesuai hak kelas peserta, penjamin lain menanggung selisih biaya akibat kenaikan kelas peserta. c. Koordinasi manfaat dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan yang belum bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. d. Pelayanan kesehatan dapat diberikan di: 1) Fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan dan asuransi tambahan atau badan penjamin lain; 2) Fasilitas kesehatan
yang bekerjasama dengan asuransi
tambahan atau badan penjamin lain tetapi tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan e. Koordinasi manfaat yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan hanya pelayanan yang sesuai dengan ketentuan BPJS Kesehatan. 2. BPJS Kesehatan sebagai Penjamin Kedua BPJS Kesehatan hanya menjamin selisih biaya dari tarif sesuai hak sebagai peserta BPJS Kesehatan dan nilai yang ditanggung oleh program jaminan kecelakaan lalu lintas.
24
Pengajuan klaim dalam skema COB berdasarkan Petunjuk Teknis Eksternal Koordinasi Manfaat BPJS Kesehatan (2015e) adalah sebagai berikut: 1. Pelayanan Kesehatan di Fasilitas Kesehatan BPJS Kesehatan Pengajuan klaim dilakukan oleh fasilitas kesehatan secara rutin ke BPJS Kesehatan sesuai dengan mekanisme dan aturan yang berlaku. BPJS Kesehatan membayar klaim tersebut langsung ke fasilitas kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 2. Pelayanan Kesehatan di Non Fasilitas Kesehatan BPJS Kesehatan Tertentu Pengajuan klaim di fasilitas kesehatan non BPJS Kesehatan tetapi bekerjasama dengan asuransi swasta yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan diajukan oleh fasilitas kesehatan ke perusahaan asuransi swasta. Kemudian perusahaan asuransi swasta akan mengajukan klaim ke Kantor Cabang Prima BPJS Kesehatan sesuai dengan mekanisme dan aturan yang berlaku. BPJS Kesehatan langsung membayar klaim ke perusahaan asuransi swasta yang bersangkutan sesuai dengan aturan yang berlaku. 2.4 Peran Perusahaan Asuransi Kesehatan Swasta dalam Mencapai Universal Health Coverage Universal health coverage menurut WHO merupakan suatu keadaan yang bertujuan agar semua orang mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan yang dibutuhkan tanpa harus mengalami kesulitan dalam membayar biaya pelayanan kesehatan tersebut. UHC menurut WHO mengandung dua elemen inti yaitu, akses pelayanan kesehatan yang adil dan bermutu bagi setiap warga dan perlindungan risiko finansial ketika warga menggunakan pelayanan kesehatan (Murti, 2010) Prinsip yang digunakan untuk mewujudkan akses pelayanan kesehatan yang adil adalah dengan menggunakan prinsip keadilan vertikal. Prinsip keadilan vertikal
25
menegaskan, kontribusi warga dalam pembiayaan kesehatan ditentukan berdasarkan kemampuan membayar (ability to pay), bukan berdasarkan kondisi kesehatan/ kesakitan seorang. Dengan keadilan vertikal, orang berpendapatan lebih rendah membayar biaya yang lebih rendah daripada orang berpendapatan lebih tinggi untuk pelayanan kesehatan dengan kualitas yang sama. Dengan kata lain, biaya tidak boleh menjadi hambatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan (Murti, 2010). Sistem pembiayaan kesehatan pra upaya (prepaid system) diperlukan untuk melindungi masyarakat dari risiko finansial yang dapat timbul jika masyarakat membutuhkan pelayanan kesehatan. Dalam prepaid system menurut WHO terdapat pihak yang menjamin pembiayaan kesehatan warga sebelum warga sakit dan menggunakan pelayanan kesehatan. Jadi sistem pra upaya berbeda dengan pembayaran langsung yang tidak menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan sebelum warga sakit dan menggunakan pelayanan kesehatan (Murti, 2010). Pihak yang menjamin pembiayaan kesehatan tersebut dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi kesehatan swasta maupun asuransi kesehatan sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah. Pemerintah Indonesia telah membuat program JKN yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan untuk menjamin pembiayaan kesehatan masyarakat dan mewujudkan UHC di Indonesia. Namun, peran dari perusahaan asuransi kesehatan swasta juga dibutuhkan untuk mempercepat UHC. Hal ini dikarenakan jumlah dari penduduk Indonesia yang mencapai 238,5 juta jiwa (BPS, 2013a), banyaknya fasilitas kesehatan khususnya rumah sakit swasta yang belum bekerjasama dengan BPJS Kesehatan dan masih ada pelayanan kesehatan yang tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Masyarakat yang bekerja di sektor informal juga masih tinggi yaitu mencapai 60% (BPS, 2013b). Pada umumnya, masyarakat yang
26
bekerja di sektor informal lebih sulit dijangkau oleh pemerintah untuk ikut serta dalam program JKN. Hal ini dilihat dari cakupan asuransi pada kelompok sektor informal hanya 13% dari total populasi, sedangkan kelompok sektor formal yang hampir seluruhnya telah memiliki asuransi, serta masyarakat kurang mampu yang telah sepenuhnya memiliki jaminan atau asuransi (Tangcharoensathien dkk., 2011). Perusahaan asuransi kesehatan swasta di Indonesia dapat berperan sebagai pelengkap / komplementer terhadap JKN yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. Masyarakat dapat membeli paket manfaat tambahan di asuransi kesehatan swasta yang tidak diberikan oleh BPJS Kesehatan. Masyarakat bisa mengakses layanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan melalui asuransi kesehatan swasta. Seperti negara Singapura yang menerapkan sistem ganda (two tier) dalam pembiayaan kesehatannya. Singapura menggunakan kombinasi tabungan wajib melalui potongan gaji (payroll tax) yang didanai perusahaan dan pekerja (asuransi kesehatan nasional), dan subsidi pemerintah. Kemudian benyak warga Singapura yang juga membeli asuransi kesehataan swasta tambahan (biasanya dibayar oleh perusahaan) untuk pelayanan kesehatan yang tidak ditanggung dalam program pemerintah. Dimana sebagian besar pelayanan kesehatan disediakan oleh sektor swasta. Dengan sistem tersebut, jumlah keseluruhan pengeluaran kesehaatan hanya 3% dari Produk Domestik Bruto tahunan dimana 66% berasal dari sumber swasta (Murti, 2010). Amerika Serikat sebagai salah satu negara maju yang ingin mewujudkan UHC di negaranya, pada tahun 2010 mengeluarkan Undang – Undang Reformasi Kesehatan Amerika Serikat yang disebut The Patient Protection and Affordable Care Act yang mewajibkan pelayanan komprehensif bagi warga Amerika Serikat. Menurut Murti
27
(2010), reformasi kesehatan tersebut tetap memberikan kesempatan kepada asuransi kesehatan swasta dan pemberi pelayanan kesehatan swasta untuk beroperasi, tetapi dengan regulasi lebih ketat, dan dengan subsidi yang lebih besar dari pemerintah agar warga miskin mampu membeli asuransi. Undang – Undang tersebut melarang “praktik buruk perusahaan asuransi swasta” selama ini, misalnya menerapkan skrining terhadap penyakit yang tengah terjadi (pre-exisiting condition) dan penambahan premi kepada peserta asuransi yang memiliki kemungkinan besar untuk sakit. Penelitian yang dilakukan oleh Krishna D Rao, Varduhi Petrosyan, Edson Correia Araujo & Diane McIntyre mengenai perkembangan UHC di negara Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan yang dilakukan pada tahun 2013, menunjukkan bahwa reformasi kesehatan di kelima negara tersebut telah memberikan pemerintah peran penting dalam pembiayaan kesehatan. Namun pembiayaan kesehatan sebagian besar melalui asuransi kesehatan swasta dan out of pocket. Pembiayaan kesehatan oleh asuransi kesehatan swasta dan out of pocket di Brazil, China, India, Rusia dan Afrika Selatan, adalah 54%, 44%, 69%, 40% dan 52% dari total pengeluaran kesehatan masing-masing negara. Berdasarkan penelitian tersebut juga diketahui bahwa terjadi peningkatan permintaan terhadap asuransi kesehatan swasta di Brasil dan Rusia. Hal ini dikarenakan oleh meningkatnya kemakmuran masyarakat di negara tersebut dan adanya anggapan bahwa pelayanan kesehatan yang diberikan melalui asuransi kesehatan sosial masih rendah. Asuransi kesehatan swasta telah berkembang menjadi 25% di Brasil dan mencakup 5% dari jumlah penduduk di Rusia dengan 3,9% dari pembiayaan kesehatan dan asuransi kesehatan swasta menjadi enam kali lipat lebih umum dalam 10 tahun terakhir. Asuransi kesehatan swasta tersebut bersifat komplementer terhadap asuransi kesehatan sosial yang telah ada di negara tersebut
28
yang biasanya membiayai pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan swasta dan paket manfaat tambahan yang tidak diberikan pada asuransi kesehatan sosial.