BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Promosi Kesehatan Pembangunan seperti realita pada umumnya menjadi self projected reality yang kemudian menjadi acuan dalam proses pembangunan, sehingga sering kali menjadi semacam ideology of developmentalism (Tjokrowinoto, 1996 cit. Soetomo, 2006). Elemen penting yang ditekankan pada teori ini ialah partisipasi (participation) dan pemberdayaan (empowerment) (Dudley, 1979 cit. Mardikanto, 2010). Freira (cit. Hubley, 2002) mengatakan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses dinamis yang dimulai dari ketika masyarakat langsung belajar dari tindakan. Meskipun masyarakat umumnya didefinisikan sebagai sekelompok orang yang tinggal di lokasi yang sama dan di bawah pemerintahan yang sama, namun definisi kerja pemberdayaan berfokus pada dimensi tindakan kolektif yaitu masyarakat sebagai sebuah kelompok yang berbagi kepentingan bersama, sehingga anggotanya termotivasi untuk terlibat dalam aksi kolektif (Brinkerhoff dan Azfar, 2006). Ife (2002) bahwa pemberdayaan masyarakat setidaknya membutuhkan enam tahapan yang perlu dilalui untuk mewujudkan change from below,yaitu; 1) pemilahan antara proses dan hasil, 2) pentingnya pengintegrasian proses, 3) peningkatan kesadaran, 4) partisipasi sebagai bagian dari demokrasi, 5) membangun kerja sama, dan 6) community building. Hubley (2002) mengatakan bahwa pemberdayaan kesehatan (health empowerment), sadar kesehatan (health literacy), dan promosi kesehatan (health promotion) diletakkan dalam kerangka pendekatan yang komprehensif. Sebagai suatu proses yang komprehensif, Labonte dan Laverack (2008) mengatakan, pemberdayaan masyarakat melibatkan beberapa komponen, yaitu pemberdayaan personal,
pengembangan
kelompok
kecil,
pengorganisasian
masyarakat,
kemitraan, aksi sosial, dan politik. Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat mempunyai spektrum yang cukup luas.
2
Barr
(1995)
menyarankan
agar
program
pemberdayaan
sebaiknya
difokuskan pada sebagian kecil masyarakat dan dimulai dari kebutuhan nyata di masyarakat agar berjalan secara maksimal. Kelompok masyarakat yang tumbuh dari masyarakat itu sendiri adalah fasilitas yang paling efektif untuk upaya pemberdayaan masyarakat. Tersedianya dan efektivitas kelembagaan akan sangat berpengaruh terhadap pemberdayaan (Mardikanto, 2010). Wallerstein dan Sanchez-Merki (1994) mengusulkan kolaborasi pemberdayaan, sebab ditinjau dari konsep promosi kesehatan, pemberdayaan dan pembangunan mendorong peningkatan kapasitas masyarakat. Beberapa tonggak pencapaian perkembangan adopsi pemberdayaan ke dalam konsep promosi kesehatan antara lain: Wallerstein (1992) menyatakan bahwa pendidikan pemberdayaan masyarakat diadopsi untuk meningkatkan efektivitas pendidikan kesehatan, efektivitas program, dan menjaga kelestarian (sustainability) program. Selanjutnya, Nutbeam (1998) mengatakan bahwa pemberdayaan adalah inti dari promosi kesehatan. Pemberdayaan masyarakat dapat dilaksanakan dengan mengikuti langkahlangkah sebagai berikut: (a) merancang keseluruhan program; (b) menetapkan tujuan yang ditetapkan pada tahap perencanaan; (c) memilih strategi pemberdayaan; (d) implementasi strategi dan manajemen, dilakukan dengan cara: meningkatkan peran serta pemangku kepentingan (stakeholder), menumbuhkan kemampuan
pengenalan
masalah,
mengembangkan
kepemimpinan
lokal,
membangun keberdayaan struktur organisasi, meningkatkan mobilisasi sumber daya, meningkatkan kontrol stakeholder atas manajemen program, dan membuat hubungan yang sepadan dengan pihak luar; (e) evaluasi program, dan (f) perencanaan tidak lanjut (Sumaryadi, 2005). WHO dalam Depkes RI (2006) mendefinisikan promosi kesehatan sebagai proses pemberdayaan individu dan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan mereka mengendalikan determinan-determinan kesehatan, sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan mereka. Promosi kesehatan merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui proses pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat agar mereka dapat menolong dirinya sendiri
3
serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan (Depkes RI, 2006). Menolong diri sendiri artinya masyarakat mampu menghadapi masalah-masalah potensial (yang mengancam) dengan cara mencegahnya dan mengatasi masalah-masalah kesehatan yang sudah terjadi dengan menanganinya secara efektif dan efisien (Hartono, 2010). Berkaitan dengan pemberdayaan yang mendorong masyarakat mandiri, Clark (2002) menyebutkan bahwa suatu masyarakat dapat disebut mandiri secara kesehatan jika memiliki beberapa kemampuan, yaitu; 1) mengenali masalah kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan, 2) mengatasi masalah kesehatan secara mandiri dengan menggali potensi yang ada, 3) memelihara dan melindungi diri mereka dari berbagai ancaman kesehatan dengan melakukan tindakan pencegahan, dan 4) meningkatkan kesehatan secara dinamis dan terus-menerus melalui berbagai macam kegiatan seperti kelompok kebugaran, olahraga, konsultasi dan sebagainya. Visi promosi kesehatan tidak lepas dari UU Kesehatan No.23/1992, maupun WHO (1994), yakni meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan baik fisik, mental, maupun sosialnya sehingga produktif secara ekonomi maupun sosial. Misi promosi kesehatan secara umum dapat dirumuskan menjadi tiga butir,
yaitu: (a)
Advokat (advocate);
(b) Menjembatani (mediate); dan (c) Memampukan (enable). Promosi kesehatan diharapkan dapat melaksanakan strategi yang bersifat paripurna (komprehensif), khususnya dalam menciptakan perilaku baru. Kebijakan
nasional
promosi
No.1193/Menkes/SK/X/2004
kesehatan dan
(Keputusan
Keputusan
Menteri Menteri
Kesehatan Kesehatan
No.1114/Menkes/SK.VII/2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Daerah) telah menetapkan strategi dasar promosi kesehatan (Hartono, 2010), yaitu: (a) Gerakan pemberdayaan, baik aspek knowledge, aspek attitude, dan aspek practice (Kapalawi, 2007); (b) Bina suasana. Bina suasana adalah upaya menciptakan opini atau lingkungan sosial yang mendorong individu anggota masyarakat untuk mau melakukan perilaku yang diperkenalkan; (c) Advokasi.
4
Advokasi adalah upaya atau strategi yang terencana untuk mendapatkan komitmen dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait (stakehoders); dan (d) Kemitraan. Kemitraan perlu digalang dengan individu-individu, keluarga, pejabat-pejabat, atau instansi pemerintah yang terkait dengan urusan kesehatan (lintas sektor), pemuka atau tokoh masyarakat, media masa, dan lain-lain.
B. Parenting Education sebagai Proses Belajar dalam Promosi Kesehatan Nutbeam (2001 cit. Macdowall dan Davies, 2006) secara ringkas jugamenggariskan pelembangaan dan perencanaan operasionalisasi program promosi kesehatan terdiri dari edukasi, mobilisasi sosial (community development, fasilitasi kelompok, target komunikasi massa) dan advokasi (lobi dan negosiasi partai politik, aktifis, birokrasi). Pendidikan merupakan salah satu elemen dari promosi kesehatan (Depkes RI, 2006). Pendekatan
educational
dalam
promosi
kesehatan
adalah
untuk
menyediakan informasi dan pengetahuan untuk mengembangkan kemampuan yang diperlukan. Dengan kata lain, pendidikan merupakan proses belajar karena diharapkan menghasilkan suatu outcome atau perubahan perilaku yang tampak (Hoog dan Vaughan, 2002). Selaras dengan Suyono dan Hariyanto (2011) yang menyatakan bahwa proses belajar adalah suatu aktivitas atau suatu proses untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki perilaku, sikap, dan mengokohkan kepribadian. Memadukan pendidikan di kelompok bermain dengan di rumah, seharusnya menjadi perhatian bagi para penyelenggara pendidikan anak usia dini dengan meningkatkan layanan yang tidak terbatas pada anak di kelompok bermain saja, melainkan lebih jauh menjadikan para orangtua sebagai mitra kerja atau sebagai pendidik di rumah dengan cara memberikan program pendidikan keorangtuaan (parenting education) bagi para orangtua agar mampu menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Parenting adalah proses interaksi berkelanjutan antara orangtua dan anak-anak mereka yang meliputi aktivitas-aktivitas berikut: memberi makan (nourishing), memberi petunjuk (guiding), dan melindungi (protecting) anak-anak ketika mereka tumbuh (Brooks, 1991). Lebih lanjut Bronfenbrenner (1979)
5
memberi tekanan pada lingkungan keluarga sebagai ekologi perkembangan anak usia dini yang utama, dengan orangtua sebagai socialization agent yang paling penting, namun banyak penelitian yang mengemukakan terjadinya pergeseran pola asuh orangtua. Penelitian yang dilakukan oleh Syakrani (2004) mengatakan bahwa rendahnya perkembangan anak, terutama EQ dan ESQ nya, pada etnik Banjar dan Madura merupakan resultants langsung pola asuh yang tidak sehat (Syakrani, 2004). Lebih lanjut literatur dan hasil kajian tentang dampak negatif jangka panjang rendahnya EQ dan ESQ dapat dibagi menjadi dua level, yakni dampak terhadap individu dan masyarakat (bangsa dan negara). Pada level individual, hasil kajian Coles (2000), Covey (2000), Ellias et al. (2004), Jensen (cit. Megawangi, 2003), Josephson et al., (2001), Lickona (cit. Megawangi, 2003), Shapiro (2004), Megawangi (2003), Tamara (200l), dan Mazhahiri (2000), menemukan bahwa tanpa ada kesadaran, kemampuan, dan komitmen untuk memperbaiki pola asuh yang tidak baik oleh orangtua maupun komunitas, indikator-indikator rendahnya EQ dan ESQ pada anak-anak seperti tidak empati, tidak bisa dipercaya, tidak jujur, tidak ramah, munafik, tidak bernurani, egois, tidak punya respek, tidak peduli, dan sebagainya, akan berlanjut pada masa-masa berikutnya. Temuan penelitian, masalah gizi mulai dikaitkan dengan peran penting pola asuh orangtua dalam keluarga (Unicef cit. Engle et al., 1997). Rendahnya tumbuh kembang anak, sebagian besar disebabkan oleh rendahnya keterampilan pola asuh orangtua. Implikasinya adalah, peningkatan keterampilan pola asuh orangtua (perbaikan proses) akan berdampak positif terhadap tumbuh kembang anak (Syakrani, 2004). Temuan Rohner (1986) mengungkap satu fakta penting tentang perkembangan anak, yakni faktor intervening developmental process; sebuah faktor yang memungkinkan dilakukannya pencegahan dampak negatif pola asuh orangtua yang tidak baik terhadap perkembangan anak.
6
Beberapa penelitian membuktikan bahwa anak yang mendapatkan pola asuh yang baik akan menunjukkan kompetensi sosial yang baik pada masa kanak-kanak. Sementara itu, Grosman dan Grosman (cit. Sutcliffe, 2002) menemukan bahwa anak dengan kualitas kelekatan aman dari orangtuanya lebih mampu menangani tugas yang sulit dan tidak cepat berputus asa. Pola asuh orangtua memiliki pengaruh langsung yang signifikan dan positif terhadap prestasi akademik, self-efficacy, dan motivasi (Abesha, 2012). Parenting education adalah salah satu faktor yang paling penting yang memengaruhi prestasi dan motivasi anak (Selvam, 2013). Parenting education adalah istilah umum berbagai macam kesempatan belajar orangtua (Einzig, 1999), untuk mengembangkan kesadaran diri, rasa percaya diri, dan meningkatkan kapasitas orangtua (Barlow et al., 2005), melalui pelatihan, dukungan, atau pendidikan, dan tujuan utamanya adalah untuk memengaruhi kesejahteraan anakanak dari orangtua (Smith et al., 2002). Program parenting education telah menunjukkan peningkatan kualitas beberapa interaksi (Cowan et al., 2011), kompetensi pengasuhan dan stres (Gross et al., 2003;. Nixon et al., 2003.) dan ibu depresi (Sanders dan McFarland, 2000). Bedasarkan pandangan-pandangan di atas, dapat dikemukakan bahwa bila sama sekali tidak ada intervensi sosial terhadap keterampilan pola asuh orangtua yang tidak baik, misalnya melalui program parenting education untuk orangtua atau pemberdayaan keluarga, maka orangtua atau calon orangtua tidak akan mampu menjadikan keluarganya sebagai wadah utama pendidikan karakter bagi anak-anaknya. Dengan kata lain, intervensi sosial berupa parenting education dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan pola asuh orangtua. Tanpa intervensi ini, pola asuh yang tidak baik akan tetap dianggap sebagai cara yang benar. Penelitian Barlow dan Stewart-Brown (Nolan, 2002) mengidentifikasi beberapa situasi ketika orangtua bisa mendapatkan manfaat dengan menjadi peserta dalam pelatihan parenting. Yang paling diapresiasi orangtua dengan terlibat dalam pelatihan adalah dukungan yang mereka peroleh dengan berada di antara orangtua lain dan adanya kesempatan bagi mereka untuk menjadi diri
7
sendiri dalam lingkungan yang bisa menerima mereka seadanya. Kenyataan bahwa kesulitan yang mereka hadapi bukan hanya milik mereka sendiri, juga sangat menguatkan dan memberdayakan. Orangtua menyadari bahwa kepedulian mereka bisa dibagi dengan orang lain, mereka akan merasa mampu untuk mencapai penyelesaian masalah mereka dengan cara yang wajar. Banyak penelitian menunjukkan bahwa orang dewasa yang berpartisipasi dalam sejumlah program, menjadi lebih tahu mengenai tingkah laku dan kebutuhan anak, serta merasa lebih kompeten sebagai orangtua (Bigner, 1994). Kecenderungan orangtua untuk menyerahkan sepenuhnya pembentukan kebiasaan anak-anak yang baik kepada sekolah, bisa dilihat dari beberapa sudut pandang, di antaranya kurangnya pengetahuan orangtua mengenai cara mengembangkan tingkah laku anak, salah dalam memilih metode dalam mengembangkan perilaku tersebut, atau orangtua merasa sekolah lebih mampu untuk membentuk tingkah laku anak. Orangtua yang menjadi tidak sabar atau memaksa anak untuk mencapai tugas perkembangan jauh sebelum anak tersebut siap, akan mengakibatkan rusaknya self esteem anak dan bahkan kesejahteraan anak tersebut secara fisik, begitu pula sebaliknya (Steinberg, 2005). Program-program ini telah disampaikan dalam berbagai format termasuk kelompok besar (Sanders et al., 2009), kelompok kecil (Hoath dan Sanders, 2002), bimbingan individu/konsultasi (Sanders et al., 2000), dikelola sendiri (Morawska dan Sanders, 2006), atau sebagai program televisi (Sanders et al., 2000). Parenting education dalam format kelompok umumnya disukai oleh orangtua dan instruktur (Goddard et al., 2004) karena menjadi lebih hemat biaya, berpotensi memenuhi kebutuhan sejumlah besar orangtua (Barlow et al., 2005). Studi menemukan bahwa program berbasis kelompok lebih berhasil dalam jangka panjang untuk memperbaiki perilaku anak usia tiga sampai sepuluh tahun (Barlow dan Stewart Brown, 2000) dibandingkan dengan program individu (Barlow et al., 2005).
8
Menurut Kemendiknas (2012), program parenting education dapat dilakukan dalam bentuk: (a) Kegiatan pertemuan orangtua (kelas orangtua); (b) Keterlibatan orangtua di kelompok/kelas anak; (c) Keterlibatan orangtua dalam acara bersama; (d) Hari konsultasi orangtua; (e) Kunjungan rumah; dan (f) Bentuk-bentuk kegiatan lain yang dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan. Hasil positif mengenai efektivitas program pengasuhan dengan intervensi dilakukan oleh beberapa peneliti. Pengembangan (Rahman et al., 2009;. Jin et al., 2007;. Klein dan Rye, 2004), interaksi ibu-anak (Klein dan Rye, 2004; Lee, Griffiths, Glossop dan Eapen, 2010), ibu dan kesehatan fisik dan mental bayi (Aracena et al., 2009), perilaku melanggar pada anak (Aracena et al., 2009; Oveisi et al., 2010.), perilaku anak (Fayyad et al., 2010), self-efficacy dan motivasi berprestasi (Abesha 2012), self-efficacy orangtua dan stres pengasuhan (Sally et al., 2012). Masalah perilaku kekerasan terhadap anak, masalah sosial remaja, dan anak (Kaiser dan Hancock, 2003; Goddard, 2004). Parenting education bukan sesuatu yang baru, namun juga tidak banyak yang mampu menyelenggarakannya. Parenting education telah terbukti strategis dan efektif di negara-negara berpenghasilan tinggi/negara maju, namun sampai saat ini penelitian tentang efektivitas di negara-negara berpenghasilan rendah/ negara berkembang seperti Indonesia masih terbatas (Anilena et al., 2012), sehingga penting untuk dikaji dari konsep teoritis tentang manajemen program parenting education pada pendidikan anak usia dini, mengingat kegiatan ini sangat bermanfaat dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan anak secara maksimal.
C. Pola Asuh Holistik Beberapa istilah pendidikan orangtua memiliki arti hampir sama seperti caring, rearing, mothering, fathering, dan keayahbundaan (Syakrani, 2004). Penelitian ini berfokus pada pola asuh yang dilakukan oleh orangtua secara menyeluruh dalam institusi keluarga yang menyangkut kesadaran, perilaku, dan keterampilan orangtua dalam melakukan aktivitas-aktivitas tersebut.
9
Banyak para ahli mendefinisikan pola asuh. Pengasuhan berasal dari kata asuh yang mempunyai makna menjaga, merawat, dan mendidik anak yang masih kecil. Pola asuh merupakan pola interaksi antara orangtua dan anak, termasuk cara penerapan aturan, mengajarkan nilai/norma, memberikan perhatian dan kasih sayang, serta menunjukkan sikap dan perilaku baik, kemampuan keluarga untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental, dan sosial (Suparyanto, 2010; Jus’at, 2000; Amin, 2008). Pola asuh orangtua meliputi perawatan, perlindungan, penyiapan makanan, kebersihan diri dan sanitasi lingkungan, praktik kesehatan dan pola pencarian pelayanan kesehatan (Soetjiningsih, 2002), menumbuhkan kelekatan emosional, menghindari hukuman fisik, mengajarkan disiplin, memahami anak secara menyeluruh (Sears), mendidik (Kemdiknas, 2011), perhatian/dukungan ibu terhadap anak, pemberian ASI atau makanan pendamping pada anak, rangsangan psikososial terhadap anak, persiapan dan penyimpanan makanan, praktik kebersihan atau higiene dan sanitasi lingkungan (Engle et al., 1997), pemberian stimulasi, dukungan emosional (Ashar et al., 2008) maupun mental (Amin, 2008) yang semuanya untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan balita. Perkembangan otak dipengaruhi faktor genetik dan stimulasi lingkungan baik kualitas maupun kuantitas, yang hal ini menyebabkan keanekaragaman individual yang tidak identik. Periode perkembangan cepat dari otak ini merupakan peluang emas yang tidak boleh dilewatkan. Yang harus ditekankan adalah otak bayi menunggu pengalaman seperti rangkaian penglihatan, bau, suara, sentuhan, bahasa dan kontak mata untuk menentukan bagaimana hubungan antar neuron terbentuk (Santrock, 2007).
10
Untuk memaksimalkan potensi otak yang dimiliki setiap anak, ada beberapa cara yang bisa dilakukan para pendidik dan orangtua, seperti: 1) Memberi asupan gizi yang cukup; 2) Memberikan perlakuan positif, seperti rasa kasih sayang, penghargaan dan motivasi; 3) Memberi stimulus permainan dan pengalaman baru pada anak; 4) Memberikan keamanan dan menjaganya dari hal-hal yang dapat merusak otak (Hamalik, 2009). Menurut Spiker (1966) cit. Khairimas (2010) ada dua macam pengertian yang harus dihubungkan dengan perkembangan anak usia dini yaitu otogenetik dan filogenetik. Kunci perkembangan anak usia dini yaitu pada pendekatan sesuai dengan perkembangan filogenetik. Filogenetik adalah perkembangan dari asal usul manusia sampai sekarang ini. Perkembangan perubahan fungsi sepanjang masa hidup menyebabkan perubahan tingkah laku dan perubahan ini juga terjadi sejak permulaan adanya manusia. Perubahan-perubahan meliputi beberapa aspek, baik fisik maupun psikis. Perubahan tersebut dibagi menjadi 4 (empat) kategori utama, yaitu : 1. Perubahan dalam ukuran. Perubahan dapat berbentuk pertambahan ukuran panjang atau tinggi maupun berat badan. 2. Perubahan dalam perbandingan. Dilihat dari sudut fisik terjadi perubahan proposional antara kepala, anggota badan, dan anggota gerak. 3. Berubah untuk mengganti hal-hal yang lama. Dari sudut emosi terjadi perubahan-perubahan ke arah kemampuan menunda emosi secara lebih tepat. 4. Berubah untuk memperoleh hal-hal yang baru. Banyak hal yang akan diperoleh selama
perkembangan
sesuai
dengan
keadaan
dan
tingkatan/tahap
perkembangannya. Menurut Hurlock (1999), perkembangan merupakan hasil proses kematangan dan belajar. Arti kematangan atau kematangan intrinsik yang secara potensial ada pada individu yang berasal dari warisan genetik individu. Ciri perkembangan fisik dan mental sebagian berasal dari proses kematangan instrinsik, dari ciri tersebut dan sebagian berasal dari latihan dan usaha individu. Fungsi filogenetik yaitu fungsi yang sesuai pada umumnya, misalnya: merangkak, duduk,
dan
berjalan
(perkembangan
berasal
dari
proses
kematangan).
11
Sesungguhnya latihan hanya memberikan sedikit keuntungan. Sebaliknya mengendalikan lingkungan dengan cara mengurangi kesempatan berlatih akan menghalangi perkembangan. Berbeda dengan fungsi ontogenetik merupakan fungsi khas individu, misalnya: berenang, melempar bola, naik sepeda, menulis diperlukan latihan. Tanpa latihan perkembangan tidak akan terjadi. Dengan demikian, penting untuk melakukan pendekatan holistik untuk memperhitungkan fakta bahwa aspek psikologis dan fisik yang saling terkait dan saling memengaruhi (Cohn et al., 2009). Teori-teori tersebut di atas mendukung penggunaan indikator-indikator yang telah ditetapkan dengan menambahkan materi dari kegiatan BKB, posyandu, PAUD berbasis keluarga, serta ditambahkan materi Dasa Citra Anak Indonesia (Kemdiknas, 2011), teori tentang pola asuh (Unicef, 1990; Syakrani, 2004; Suparyanto, 2010., Jus’at, 2000., Amin, 2008; Soetjiningsih, 2002; Ashar et al., 2008; Cohn et al., 2009; Barlow et al., 2005; Engle et al., 1997) serta dokumen-dokumen nasional terkait penelitian (Kemendiknas, 2012; Kemenkes, 2011). Hal tersebut merupakan kebaruan dari penelitian ini, sehingga prioritas yang akan dicapai dalam program dari gagasan disertasi ini yaitu: kemampuan pemeliharaan kesehatan, mengasuh, pemenuhan gizi, perawatan, mendidik, dan perlindungan pada anak. Holistik artinya menyeluruh. Dengan demikian, pola asuh secara holistik adalah penanganan anak usia dini secara utuh atau menyeluruh yang mencakup layanan gizi, kesehatan, pendidikan, perawatan, pengasuhan, serta perlindungan, untuk mengoptimalkan semua aspek pertumbuhan dan perkembangan anak, yang dalam hal ini membutuhkan para tenaga ahli yang sesuai dengan bidangnya. Pendekatan holistik sangat penting untuk memperhitungkan fakta bahwa aspek psikologis dan fisik yang saling terkait dan saling memengaruhi (Cohn et al., 2009). Selama bertahun-tahun para ahli pertumbuhan anak mempelajari aspekaspek pola asuh yang mendukung pertumbuhan total dalam diri anak. Salah satu di antaranya adalah Diana Baumrind yang beranggapan bahwa para orangtua semestinya tidak terlalu ketat, suka menghukum (punitive), ataupun terlalu longgar (loose), namun pada saat yang sama, penuh kasih sayang (affectionate).
12
Baumrind menekankan empat gaya pola asuh yaitu: autoritatif, otoriter, memanjakan (indulgent), dan melalaikan (neglectful). Keempat-empatnya mengikutsertakan dimensi-dimensi: penerimaan (acceptance) dan sikap responsif (mau mendengarkan, responsiveness) di satu pihak, serta tuntutan dan kontrol di pihak lain (Schikendanz, 1995). Megawangi
(2000)
mengemukakan
bahwa
orangtua
yang
mampu
menerapkan perilaku ini akan dapat mengarahkan anaknya dengan efektif, yakni mampu dengan persuasif mendorong anaknya berbuat baik, bisa menetapkan dan menegakkan aturan yang jelas, yang disampaikan secara komunikatif, sehingga anak menjadi lebih peka, mudah mengontrol tindakannya, dan menghargai peraturan. Sedangkan orangtua yang menerapkan perilaku yang otoriter lebih menekankan kekuasaan, sehingga anak menjadi takut. Ini kemudian akan menghambat kreativitasnya. Hal ini sejalan dengan pandangan Shapiro (2004) tentang keseimbangan antara kemandirian dan ketergantungan. Pola asuh yang baik menurut Shapiro adalah pola asuh yang bisa mengombinasikan dengan kreatif dua hal tersebut. Ketergantungan positif menghasilkan kedekatan anak dengan orangtua dan orang lain, lahirnya sikap empatik dan respek, sedangkan kemandirian positif membuahkan pemahaman batas-batas individual antara orangtua dengan anak. Dalam indikator model attachment parenting yang dikemukakan Sears, terdapat delapan prinsip untuk mengembangkan attachment yang sehat (aman) antara anak dengan orangtua (pengasuh). Inti dari parenting model ini adalah berusaha untuk menumbuhkan kelekatan emosional, menghindari hukuman fisik, mengajarkan disiplin melalui interaksi orangtua-anak, memenuhi kebutuhan emosional
anak, disertai dengan usaha untuk memahami anak secara
menyeluruh. Pola asuh sebagai fungsi utama sebuah keluarga sangat ditentukan oleh cara orangtua melihat dan menilai dirinya sendiri, anak-anaknya, dan situasi di sekeliling mereka (Wonohadidjojo, 1998).
13
Status gizi Asupan zat gizi Infeksi
Ketahanan pangan
Infeksi
Pola Asuh
Pemanfaatan pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan
Penyebab langsung
Penyebab tidak langsung
Pengetahuan, sikap, dan keterampilan Kurangnya pemberdayaan wanita dan keluarga, kurang pemanfaatan sumberdaya masyarakat
Krisis ekonomi, Politik, dan Sosial
Pokok masalah di masyarakat
Akar dasar
Gambar 2.1. Faktor-faktor yang memengaruhi pola asuh Kerangka konseptual yang dikemukan oleh Unicef (1990) menekankan bahwa tiga komponen, makanan-kesehatan-asuhan, merupakan faktor-faktor yang berperan dalam menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal. Dikembangkan oleh Engle dan Lhotska (1997) menjadi The Ekstended Model of Care. Model tersebut menjelaskan bahwa determinan pola asuh, yaitu: perhatian/dukungan ibu terhadap anak, pemberian ASI atau makanan pendamping pada anak, rangsangan psikososial terhadap anak, persiapan dan penyimpanan makanan, praktik kebersihan atau higiene dan sanitasi lingkungan, dan perawatan balita dalam keadaan sakit seperti pencari pelayanan kesehatan. Indikator pola asuh menurut Kemendiknas (2012) adalah: gizi, kesehatan, perawatan, pengasuhan, pendidikan, perlindungan. Dalam rangka menghadapi era global, selain hal tersebut ditambahkan pendidikan karakter anak untuk mewujudkan Anak Indonesia Harapan (AIH) yang merupakan hadiah 100 tahun Indonesia merdeka (2045) yaitu anak yang memiliki sepuluh ciri utama (dasa citra anak Indonesia), yaitu (1) beriman; (2) bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (3) berakhlak mulia; (4) sehat; (5) cerdas; (6) jujur; (7) bertanggung jawab; (8) kreatif; (9) percaya diri; dan (10) cinta tanah air (Kemdiknas, 2011).
14
Berdasarkan indikator-indikator pola asuh tersebut, para orangtua harus menyadari bahwa praktik-praktik pola asuh yang baik mencakup dua hal, yaitu: membangun relasi yang hangat antara orangtua dan anak melalui penerimaan (acceptance) dan sikap responsif (responsiveness) terhadap kebutuhan anak, serta tersedianya batasan-batasan yang diwujudkan melalui tuntutan dan kontrol. Orangtua boleh saja menerapkan tuntutan-tuntutan yang tinggi, tetapi mereka juga harus memberikan dukungan yang dibutuhkan oleh anak-anak mereka untuk mencapai tuntutan-tuntutan tersebut. Keseimbangan di antara dua dimensi ini sangat penting untuk pertumbuhan total anak. Perkembangan terakhir menunjukkan juga adanya minat yang semakin kuat terhadap upaya perbaikan pola asuh ke arah yang lebih baik. Kebutuhan ekonomi dan perkembangan teknologi informasi, pengetahuan orangtua dan stakeholder yang rendah tentang parenting dianggap sebagai kekuatan besar yang memberi tekanan sangat kuat terhadap perkembangan anak. Sekarang adalah saat-saat yang sangat sulit menjadi orangtua dan anak, karena pengaruh eksternal yang harus dihadapi oleh orangtua dan anak semakin besar. Konsep pola asuh holistik harus diwujudkan dalam aktivitas-aktivitas nyata oleh orangtua di rumah sesuai dengan tahap pertumbuhan dan perkembangan anak.
D. Pengembangan Anak Usia Dini (PAUD) Holistik-Integratif Pengembangan
anak
usia
dini
(PAUD)
holistik-integratif
adalah
pengembangan anak usia dini yang dilakukan berdasarkan pemahaman untuk memenuhi kebutuhan esensial anak yang beragam dan saling berkait secara simultan dan sistematis, yang meliputi berbagai aspek, yaitu: pemeliharaan kesehatan, pemenuhan gizi, pendidikan, stimulasi mental, dan psikososial (Bappenas, 2011). Pembinaan PAUD (2011) mendefinisikan PAUD holistik-integratif dengan dua pengertian. Holistik berarti penanganan anak usia dini secara utuh atau menyeluruh yang mencakup layanan gizi, kesehatan, pendidikan, pengasuhan, dan perlindungan untuk mengoptimalkan semua aspek perkembangan anak. Integratif berarti penanganan anak usia dini dilakukan secara terpadu oleh berbagai
15
pemangku kepentingan di tingkat masyarakat, pemerintah daerah, dan pusat. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan penyelenggaraan PAUD holistik integratif adalah pengintegrasian layanan posyandu, BKB, dan PAUD. Kegiatan ini di bawah pembinaan Dinas Kesehatan, BKKBN, Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten, dan tim penggerak PKK Kota/ Kabupaten. 1. Bina Keluarga Balita (BKB) Program BKB adalah suatu upaya untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada para ibu dan anggota keluarga lain tentang cara mengasuh dan mendidik anak balitanya (BKKBN,1997; Patmonodewo, 2003). Melalui kegiatan program BKB, diharapkan ibu-ibu balita dan anggota keluarga lainnya dapat mengetahui tahap tumbuh kembang anak serta cara merangsangnya, sehingga anak-anak tumbuh dan berkembang secara optimal. Program BKB ditujukan pada keluarga atau orangtua yang memiliki anak balita usia 0-5 tahun. Perkembangan anak dimulai sejak dalam kandungan dan dilanjutkan pada usia dini. Oleh karena itu, penting bagi para ibu yang memiliki anak usia dini mendapatkan intervensi (parent intervention), seperti pemberian wawasan tentang kehamilan, gizi, dan cara merawat dan mendidik anak (Suyanto, 2005). 2. Posyandu a. Pengertian
Posyandu merupakan suatu forum komunikasi, alih teknologi, dan pelayanan kesehatan masyarakat yang mempunyai nilai strategis untuk pengembangan sumber daya manusia sejak dini. Posyandu adalah kegiatan kesehatan dasar yang diselenggarakan dari, oleh, dan untuk masyarakat yang dibantu oleh petugas kesehatan di suatu wilayah kerja puskesmas. Program ini dapat dilaksanakan di balai dusun, balai kelurahan, maupun tempat-tempat lain yang mudah didatangi masyarakat (Ismawati, 2010). b. Sasaran posyandu balita
Pelayanan kesehatan masyarakat melalui posyandu balita mempunyai sasaran dalam kegiatannya yaitu : bayi berusia kurang dari satu tahun, anak balita usia 1-5 tahun, ibu hamil tanpa risiko tinggi, ibu menyusui, ibu
16
melahirkan (ibu nifas), wanita usia subur atau wanita usia produktif (WUS), pasangan usia subur atau pasangan dengan usia produktif (PUS) (Depkes RI, 2006). c. Kegiatan posyandu balita
Kegiatan posyandu balita terdiri atas kegiatan utama dan kegiatan pengembangan atau pilihan (Depkes RI, 2006). Secara garis besar, kegiatan posyandu balita adalah sebagai berikut: penimbangan berat badan, penentuan status pertumbuhan, penyuluhan, pelayanan imunisasi, pelayanan gizi, penyuluhan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). 3. Pendidikan anak usia dini (PAUD) a. Pengertian PAUD PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani, agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas). Pos PAUD adalah bentuk layanan PAUD yang penyelenggaraannya dapat diintegrasikan dengan layanan bina keluarga balita (BKB) dan posyandu (Kemdiknas, 2012). Pos PAUD dikelola dengan prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat. Pos PAUD dibentuk atas kesepakatan masyarakat dan dikelola berdasarkan azas gotong royong, kesukarelaan, dan kebersamaan. b. Anak usia dini Anak usia dini adalah anak yang berada pada rentang usia 0-6 tahun (Undang-undang Sisdiknas Tahun 2003) dan 0-8 tahun menurut para pakar pendidikan anak (Mansur, 2009). Masa ini merupakan masa emas atau golden age, karena anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat dan tidak tergantikan pada masa mendatang. Menurut berbagai penelitian di bidang neurologi, terbukti bahwa 50% kecerdasan anak terbentuk dalam kurun waktu empat tahun pertama. Setelah anak berusia
17
delapan tahun perkembangan otaknya mencapai 80% dan pada usia 18 tahun mencapai 100% (Suyanto, 2005). Sesuai dengan Undang-undang Sisdiknas Tahun 2003 pasal 1 ayat 14, upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak usia 0-6 tahun tersebut dilakukan melalui PAUD. PAUD jalur formal berbentuk taman kanak-kanak (TK) dan raudatul athfal (RA) dan bentuk lain yang sederajat. PAUD jalur nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), sedangkan PAUD pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan lingkungan seperti bina keluarga balita (BKB) dan posyandu yang terintegrasi PAUD atau yang dikenal dengan satuan PAUD sejenis (SPS) (Mulyasa, 2012). c. Prinsip penyelenggaraan PAUD 1) Berbasis masyarakat
PAUD dikelola dengan prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat. PAUD dibentuk atas kesepakatan masyarakat dan dikelola berdasarkan azas gotong-royong, kerelaan, dan kebersamaan. 2) Mudah, terjangkau, dan bermutu
Mudah adalah dengan prinsip kesederhanaan menjadikan PAUD mudah dilaksanakan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Murah adalah dengan prinsip pengelolaan: dari, oleh, dan untuk masyarakat membuat PAUD terjangkau biayanya. Bermutu, yaitu mutu pos PAUD dicapai melalui: (1) keterpaduan dalam layanan pembinaan pengurusnya melalui BKB dan layanan kesehatan dan gizi melalui posyandu serta (2)keterpaduan pemberian rangsangan pendidikan antara yang dilakukan di PAUD (center base) dan yang dilakukan di rumah masing-masing (home base). Dengan demikian, anak menerima layanan secara utuh dan terpadu yang mencakup aspek kesehatan, gizi, pengasuhan, dan pendidikan.
18
3) Keterlibatan orangtua
Semua
orangtua
wajib
berpartisipasi
aktif
dalam
penyelenggaraan dan pengelolaan PAUD, termasuk menyampaikan berbagai usulan. Hal-hal yang mendasari perlunya PAUD holistik-integratif (Handayani et al., 2011) adalah: (1) Memenuhi kebutuhan esensial anak secara utuh dan menyeluruh; (2) Memenuhi pelayanan kepada anak yang sistematik dan terencana; (3) Tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh sistem interaksi yang kompleks dengan berbagai tingkatan lingkungan sekitarnya yang disebut ekologi tumbuh kembang anak usia dini. Lingkungan yang dimaksud meliputi sistem mikro, meso, eso, dan makro (dibahas pada keterangan di bagian bawah); (4) Adanya masa emas (golden period) pada tumbuh kembang anak, yaitu sejak janin sampai usia enam tahun; dan (5) Manfaat dan pendekatan PAUD holistik integratif sudah teruji secara ilmiah, manfaat secara sosial, dan manfaat secara ekonomi.
Huku m Pekerj aan Orang Tua
SISTEM MIKRO Sekola h
Anak
Lingkungan Tetangga
Norma
Orang Tua Penitipan Anak Layanan Kesehatan Masyarakat Kebudayaan
Gambar 2.2 Model ekologi tumbuh kembang anak usia dini
19
Sistem mikro adalah lingkungan yang paling dekat dengan anak dalam kegiatan dan interaksinya sehari-hari, yaitu interaksi dengan orangtua, kakak, adik, dan teman sebaya. Interaksi dengan lingkungan terdekat akan berakibat langsung terhadap anak, pada saat yang sama juga terdapat hubungan timbal balik (dua arah), yaitu anak memengaruhi lingkungan dan lingkungan memengaruhi anak. Lingkungan ini memunyai dampak terbesar dan mendalam pada perkembangan anak karena berlangsung dalam jangka waktu yang panjang dan intensif pada anak usia dini. Sistem meso adalah interaksi antar komponen dalam sistem mikro, misalnya hubungan antara keluarga dengan sekolah. Bila terjadi hubungan yang kuat dan saling mengisi antar komponen ini maka semakin besar pengaruh baiknya bagi perkembangan anak. Sistem ekso merupakan sistem sosial yang lebih besar yang anak tidak langsung berperan di dalamnya. Contoh: lingkungan kerja orangtua. Kebijakan dan keputusan pada tataran ini secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Sistem makro merupakan lingkungan terluar anak seperti nilai-nilai budaya, hukum, adat, peraturan perundang-undangan, dan lain-lain yang juga berpengaruh tidak langsung terhadap perkembangan anak.
E. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Promosi Kesehatan melalui Parenting Education sebagai Proses Belajar Pola Asuh Holistik Model merupakan perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual, karena model tidak bisa menceritakan perincian atau detail kenyataan tersebut, melainkan hanya porsi atau bagian-bagian tertentu yang penting saja, atau yang merupakan sosok kunci atau key features (Amirin, 2011; Eriyatno, 2003). Oleh karena itu, ukuran keberhasilan pembuatan model bukanlah ditinjau dari besar dan rumitnya model, tetapi berdasarkan kecukupan jawaban terhadap permasalahan yang dianalisis (Boland, 2004).
20
Studi ini akan mengadopsi model Precede dan Proceed dari Green dan Kauter (1991). Model ini telah mengalami beberapa penyempurnaan, namun untuk studi ini akan merujuk pada model dasarnya. Alasan dipilihnya model ini adalah panduan yang sistematis dan lugas terhadap faktor yang harus diamati dan dievaluasi untuk membuat suatu rekomendasi. Precede dan Proceed harus dilakukan secara bersama-sama dalam proses perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Precede digunakan pada fase diagnosis masalah, penetapan prioritas masalah, dan tujuan program, sedangkan Proceed digunakan untuk menetapkan sasaran dan kriteria kebijakan serta implementasi dan evaluasi. Langkahlangkah Precede dan Proceed: diagnosis sosial (sosial need assessment), diagnosis epidemiologi, diagnosis perilaku dan lingkungan, diagnosis pendidikan dan organisasional, diagnosis administratif dan kebijakan, implementasi, evaluasi proses, evaluasi hasil, evaluasi dampak.
Gambar 2.3. Skema Model Preceede dan Proceed dari Green dan Kauter (1991)
21
Berdasarkan model tersebut, dapat ditelaah bahwa informasi yang perlu diungkap dalam studi antara lain: a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang. Dua faktor khususnya, sosio-demografi, persepsi dan motivasi, telah menerima perhatian dalam kegiatan pemberdayaan (Haggerty et al., 2002). Sejumlah penelitian menunjukkan pentingnya faktor-faktor sosio-demografis dalam pengambilan keputusan dalam pendidikan orangtua (Perrino et al., 2001; Spoth dan Redmond 2000). Sosio-demografis dalam studi ini adalah persepsi, motivasi, dan akses terhadap sumber informasi. b. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Hal yang sangat mendukung dalam keberhasilan parenting education yaitu partisipasi orangtua dan proses parenting education itu sendiri yang dapat dilihat dari: kompetensi pemateri, metode, materi, media, serta sarana dan prasarana yang baik dan lengkap. c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors), adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku, antara lain sikap dan perilaku tokoh masyarakat, petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Penelitian ini akan menganalisis beberapa faktor yang berpengaruh terhadap proses promosi kesehatan melalui parenting education serta pola asuh anak antara lain: peran bidan desa, peran PLKB, peran kader, dan peran pendidik PAUD. Uraian masing-masing faktor dapat dilihat sebagai berikut: 1. Persepsi tentang parenting education dan pola asuh holistik Pelayanan kesehatan harus memasukkan konsep-konsep promosi kesehatan seperti pengembangan masyarakat, pemberdayaan. Berdasarkan hal tersebut, Labonte dan Laverack (2008) menyebutkan ada empat elemen penting dalam upaya promosi kesehatan,yaitu; 1) persepsi dan makna bahwa kesehatan bisa diukur, 2) relasi sosial, yaitu kesehatan tidak bisa berdiri sendiri, 3) kapasitas dan kapabilitas yang berasal dari dalam maupun dari luar
22
komunitas, dan 4) fungsi fisik manusia, yaitu kesehatan juga mempengaruhi fisik manusia. Persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh proses pengindraan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh alat indera, kemudian diteruskan ke otak, dan baru kemudian individu menyadari tentang sesuatu yang dipersepsikan (Sunaryo, 2004). Hasil dari persepsi individu akan berbeda, tergantung dari pengalaman, pengetahuan individu tentang objek, kebutuhan, motif, minat, dan latar belakang masing-masing. Berkaitan dengan perilaku, bila seseorang memiliki pengertian tentang manfaat yang ditimbulkan dari suatu objek, maka dengan kesadarannya ikut mengambil bagian (Asngari, 2003) Persepsi dan sikap orangtua tentang pentingnya pola asuh yang lebih baik merupakan sumber daya pola asuh yang penting. Faktor ini menjadi basis psiko-perseptual harapan dan kebutuhan akan pola asuh yang lebih baik dikaitkan dengan harapan orangtua terhadap masa depan anak. Faktor ini menjadi the cognitive structure of parenthood yang menentukan tumbuhnya konsepsi dan kesadaran akan pola asuh yakni sistem pengetahuan terorganisasi yang dengannya orangtua menjadi peka terhadap kebutuhan dan hak anak. Persepsi tentang nilai anak juga berpengaruh terhadap harapan dan kebutuhan ini. Tetapi faktor nilai anak-nilai ekonomis dan non-ekonomis menempati ranah (domain) basis psiko-perseptual yang berbeda dari persepsi orangtua tentang pentingnya mengasuh anak dengan lebih baik. Yang pertama berfokus pada anak, sedangkan yang kedua berkaitan dengan manfaat yang bisa diperoleh oleh orangtua dari anak. Secara bersama-sama atau sendirisendiri, dua faktor ini bisa berpengaruh terhadap perilaku dan motivasi pola asuh. Pola asuh juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan rumah dan pelayanan kesehatan atau pendidikan masyarakat (Syakrani, 2004). 2. Motivasi orangtua terhadap parenting education dan pola asuh holistik Motivasi dapat diartikan sebagai faktor-faktor yang mengarahkan dan mendorong perilaku atau keinginan seseorang untuk melakukan suatu kegiatan yang dinyatakan dalam bentuk usaha yang keras atau lemah (Marihot, 2002).
23
Hal ini sejalan dengan teori motivasi menurut Abraham H. Maslow yang mengungkapkan bahwa perilaku terjadi karena adanya motivasi atau dorongan (drive) yang mengarahkan individu untuk bertindak sesuai dengan kepentingan atau tujuan yang ingin dicapai. Dorongan diaktifkan oleh adanya kebutuhan (need), dalam arti kebutuhan membangkitkan dorongan, dan dorongan ini pada akhirnya mengaktifkan atau memunculkan mekanisme perilaku. Faktor internal yang memengaruhi pola asuh, menurut Bigner (1979), mencakup motivasi dan kesadaran tentang dampak pola asuh yang tidak baik terhadap tumbuh kembang anak. Motivasi dan kesadaran ini mendorong orangtua untuk berperilaku permisif, autoritarian, atau autoritatif. Zeitlin et al. (1990) menambahkan dimensi kemampuan pada faktor internal. Mereka mengemukakan
bahwa
kemampuan
merupakan
faktor
krusial
untuk
ditingkatkan agar aktivitas riil pola asuh sesuai dengan kebutuhan tumbuh kembang anak. Tetapi faktor ini pun dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, seperti beban kerja, kesehatan dan pengalaman mengasuh, tingkat pendidikan, persepsi tentang nilai anak, kepuasan hidup, dan persepsi mengenai arti penting mengasuh anak dengan kompeten (Syakrani, 2004). Motivasi yang dikaji dalam penelitian ini adalah motivasi teori ERG yang dikembangkan oleh Clayton Alderfer yang didasarkan pada kebutuhan manusia akan keberadaan (existence), hubungan (relatedness), dan pertumbuhan (growth) (Handoko, 1996). Teori ini sedikit berbeda dengan Maslow. Alderfer mengemukakan bahwa jika kebutuhan yang lebih tinggi tidak atau belum dapat dipenuhi, maka manusia akan kembali pada gerak yang fleksibel dari pemenuhan kebutuhan dari waktu ke waktu dan dari situasi ke situasi. Robbins dan Judge (2008) mengutip pendapat Clayton Alderfer mengatakan bahwa teori ERG lebih bersifat fleksibel, karena pemenuhan kebutuhan dapat dilakukan secara bersamaan atau mengusahakan pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi, walaupun kebutuhan yang lebih rendah belum sepenuhnya terpenuhi (Sandjojo, 2011).
24
Dalam penelitian ini, motivasi ditinjau dari: (a) Tingkat keingintahuan orangtua terhadap cara-cara pengasuhan anak; (b) Keinginan orangtua dalam menerapkan pola pengasuhan anak sehat untuk mengoptimalkan tumbuh kembang anak; (c) Upaya meningkatkan keterampilan pengasuhan anak; (d) Tingkat keinginan orangtua terhadap program atau informasi untuk meningkatkan pengasuhan anak; (e) Tingkat kepuasan orangtua terhadap pengasuhannya; dan (f) Tingkat keinginan orangtua agar anak berprestasi. Menurut Hasiah (2006), tinggi rendahnya motivasi peserta terhadap suatu kegiatan akan menentukan tingkat peran sertanya terhadap kegiatan tersebut. Dengan demikian, apabila seseorang memiliki motivasi yang kuat atau tinggi terhadap suatu kegiatan, maka akan tampak peran sertanya dalam kegiatan tersebut dan sebaliknya. Jika seseorang tidak termotivasi terhadap suatu kegiatan, maka dia pun kurang atau tidak mau berperan serta. Menurut Gaibi (1937), orang yang memunyai motivasi tinggi berusaha mencapai hasil yang memuaskan dalam suatu kegiatan. Kesimpulannya, motivasi orangtua terhadap suatu kegiatan, mempunyai hubungan yang erat dengan tingkat peran serta dalam mengikuti kegiatan. Soedomo
(1986) menyatakan
bahwa
apabila anggota telah bangkit
kesadarannya, maka akan berperan serta secara aktif dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan tersebut secara berkesinambungan. 3. Akses terhadap sumber informasi Informasi
merupakan
hasil
proses
intelektual,
yaitu
proses
mengolah/memroses stimulus yang masuk ke dalam diri individu melalui panca indera, kemudian diteruskan ke otak/pusat syaraf untuk diolah/diproses dengan pengetahuan, pengalaman, selera, dan iman yang dimiliki seseorang. Setelah mengalami pemrosesan, stimulus tersebut dapat dimengerti sebagai informasi (Wiryanto, 2004). Informasi juga diartikan sebagai suatu hal yang memberikan pengetahuan. Slamet (2001) menambahkan, informasi adalah bahan mentah untuk menjadi pengetahuan, dan pengetahuan tersebut sangat diperlukan untuk bisa mempertahankan hidup, serta kualitas hidup.
untuk meningkatkan
25
Aksesibilitas
informasi
merupakan
aktivitas
masyarakat
dalam
mendapatkan informasi melalui berbagai cara seperti penyuluhan kesehatan, pendidikan dan pelatihan, media massa, serta media elektronik (Sulaeman, 2012). Karr (cit. Notoadmodjo, 2012) menyatakan bahwa terjangkaunya informasi adalah tersedianya informasi-informasi terkait dengan tindakan yang akan diambil oleh seseorang. Sebuah keluarga dapat mengasuh anaknya dengan baik apabila keluarga tersebut mendapatkan penjelasan yang lengkap tentang tumbuh kembang anaknya. Aktivitas-aktivitas pola asuh biasanya terjadi dalam lingkungan keluarga, namun pola asuh tidak terbatas hanya pada mereka yang melahirkan anak. Tanggung jawab pola asuh juga dilakukan oleh pihak-pihak lain dalam masyarakat, seperti nenek (grandmothering), kakek (grandfathering), saudara (sistering atau brothering), orangtua dari murid yang lain, para guru/pendidik di sekolah, pembantu rumah tangga, perawat bayi (baby sitter), dan bahkan teman-teman si anak, serta media masa (TV, surat kabar, dan majalah) yang menjadikan faktor-faktor ini juga krusial. Faktor-faktor ini juga membentuk informal learning processes bagi anak selain yang dilakukan oleh orangtua. Interaksi sosial oleh setiap individu dalam suatu masyarakat sangat diperlukan. Menurut Weiss (1974 cit. Sear et al., 1992), analisis kebutuhan afiliatif didasarkan pada enam ketentuan hubungan sosial, hal-hal penting yang diberikan berbagai hubungan bagi individu antara lain: (a) Kasih sayang merupakan rasa aman dan ketenangan yang diberikan oleh hubungan yang sangat erat; (b) Integrasi sosial merupakan perasaan berbagai minat dan sikap yang sering diberikan oleh hubungan dengan teman, rekan sekerja, atau teman seregu. Hubungan semacam ini memungkinkan adanya persahabatan dan memberikan rasa mempunyai kepada kelompok; (c) Harga diri diperoleh jika orang mendukung perasaan kita bahwa kita adalah orang yang berharga dan berkemampuan; (d) Rasa persatuan yang dapat dipercaya melibatkan pengertian bahwa orang akan membantu orang lain pada saat membutuhkan; (e) Bimbingan diberikan oleh konselor, guru, dokter, teman, dan lain-lain, yang nasihat dan informasinya diharapkan; (f) Kesempatan untuk mengasuh terjadi
26
jika seseorang bertanggung-jawab terhadap kesejahteraan orang lain. Mengasuh orang lain memberikan perasaan bahwa seseorang dibutuhkan dan penting. Wiryanto (2004) menyatakan bahwa sebuah informasi yang berkualitas sangat ditentukan oleh kecermatan, tepat waktu, dan relevansi. Akses informasi dalam penelitian ini adalah usaha orangtua untuk mencari informasi yang berkaitan dengan pola asuhnya. Dari tesis tersebut peneliti menetapkan indikator aksesibilitas terhadap informasi pada penelitian ini meliputi: paparan media massa, interaksi dengan orangtua murid yang lain, interaksi dengan anggota keluarga yang lain. 4. Peran stakeholders Menurut Labonte dan Laverack (2008), promosi kesehatan membutuhkan penanganan bersama oleh komunitas, hal tersebut disepakati juga oleh
PRHPRC (2004). Beberapa hal yang berkaitan dengan program pemberdayaan menurutnya terdiri dari partisipasi, kepemimpinan, struktur organisasi, penilaian masalah, mobilisasi sumber daya, daya kritis komunitas, jejaring dan kemitraan, kewenangan dan manajemen program. Lebih jauh PRHPRC 2004 menyatakan bahwa untuk penilaian kapasitas kelembagaan dapat diukur dari beberapa hal, yaitu; 1) komitmen (organisasi, visi dan misi, strategi prioritas, partisipasi masyarakat, kemitraan), 2) kultur (kemampuan manajemen organisasi, inovasi, prinsip, hubungan antar anggota, komunikasi yang terbangun), 3) struktur (tanggung jawab bersama, mekanisme akuntabilitas pada struktur yang membuka ruang kerja sama dengan para pihak, kebijakan yang efektif untuk pengembangan, perencanaan program berbasis komunitas), dan 4) sumber daya (ketenagaan yang memiliki pengetahuan dan keterampilan, keseimbangan beban kerja, pembiayaan dari sumber dana utama, bergabung dengan komunitas, melibatkan praktisi sesuai sarana dan prasarana yang ada).
27
Kegiatan perubahan senantiasa mensyaratkan partisipasi masyarakat, namun masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan, seringkali berada dalam kedudukan yang lemah. Masyarakat umumnya mempunyai posisi tawar lemah dalam pengambilan keputusan, lemah dalam pengetahuan, sikap, keterampilan, serta persepsinya terhadap setiap upaya pembangunan atau perubahan yang ditawarkan (Mardikanto, 2007). Oleh karena itu, dirasakan pentingnya peran agen-agen perubahan sebagai sumber daya komunitas. Dimasukkannya faktor sumber daya komunitas (stakeholders) sejalan dengan preskripsi tesis children of the universe dan perhatian banyak kalangan terhadap pola asuh orangtua (Syakrani, 2004). Karena itu kajian tentang parenting education dalam kaitannya dengan pola asuh orangtua secara holistik bukan saja mempertimbangkan faktor yang terdapat pada level individu dan keluarga, tetapi juga faktor komunitas. Dukungan komunitas sangat dibutuhkan, terutama untuk menguatkan keterampilan pola asuh orangtua. Dukungan komunitas dalam penelitian ini adalah sebagai fasilitator atau agen perubahan (change agent). Faktor ini mencakup peran bidan desa, petugas PLKB, pendidik PAUD, dan kader. Semua faktor yang secara teoritik diduga berpengaruh positif terhadap parenting education dan pola asuh orangtua secara holistik, digubah dan diseleksi untuk menjadi kerangka pemikiran penelitian. Fasilitator pemberdayaan masyarakat memiliki peran penting dalam memunculkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat. Peran (role) merupakan pola perilaku dan sikap yang diharapkan dari seseorang karena status ataupun kedudukannya (Robbins, 2002). Fasilitator perlu mengarahkan masyarakat untuk menyadari situasi kehidupan mereka serta memahami penyebab dan alternatif pemecahan situasi tersebut. Selain itu, fasilitator memiliki peran pula sebagai motivator dan community organizers (Midgley, 1986). Fasilitator program parenting education adalah stakeholder seperti bidan desa, kader kesehatan, pendidik PAUD, dan tokoh masyarakat lain yang berkepentingan.
28
Freeman (2007) secara fungsional mendefinisikan stakeholder organisasi sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan organisasi. Bourne (2006) mendefinisikan stakeholder sebagai individu atau kelompok yang memiliki kepentingan, memiliki beberapa aspek hak dan kepemilikan dalam organisasi, serta semua pihak yang dapat memberikan kontribusi pada organisasi. Dalam perencanaan suatu program mencakup pelibatan stakeholder, cakupan perencanaan, tim penyusun, perencanaan sumber daya, tim pelaksana. Fasilitator pada hakekatnya memiliki peran ganda, yaitu sebagai guru, penganalisis, penasihat, dan organisator (Mardikanto, 2010). Lebih lanjut, fasilitator pemberdayaan masyarakat secara singkat dapat disebut sebagai peran edfikasi, yaitu akronim dari peran edukasi, diseminasi inovasi, fasilitasi, konsultasi, advokasi, supervisi, pemantau (monitoring), dan evaluasi. Peranperan stakeholder yang ada tersebut menurut Butterfield et al. (2004) dibagi dalam enam kelompok, yaitu pemotivasi, pembentuk, moderator pembentuk, operasional, hasil atau outcomes, moderator hasil atau moderator outcomes. Peran kader posyandu dalam masyarakat dapat berupa : a. Motivator, yaitu peran kader dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan serta petunjuk-petunjuk baik kepada perorangan, keluarga, maupun masyarakat, yang sedang menghadapi permasalahan, sehingga menimbulkan sebuah idea atau gagasan dan kemampuan untuk dapat mengadakan suatu gagasan perbaikan pada dirinya, pada keluarga, maupun pada lingkungan. b. Dinamisator, yaitu peran kader dalam menggerakkan baik perorangan, keluarga, maupun masyarakat yang mengalami permasalahan untuk segera diatasi secara swadaya, serta mengajak tokoh-tokoh masyarakat setempat dengan memberikan petunjuk untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak di lingkungannya. c. Fasilitator, yaitu kader diharapkankan menghadapi permasalahan yang ada di masyarakat. Kader dapat membantu dalam mengadakan sarana-sarana atau program-program yang diperlukan oleh masyarakat, baik secara perorangan atau swadaya masyarakat, serta kader diharapkan mampu
29
memenuhi permintaan masyarakat dan wilayah kerjanya. Peran kader sebagai fasilitator diaplikasikan dengan cara memfasilitasi masyarakat untuk mengakses program yang dibutuhkan. d. Inovator, yaitu kader diharapkan mempunyai gagasan-gagasan baru untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, kader diharapkan tanggap dan cepat memahami permasalahan yang ada di masyarakat. Kader BKB memiliki tugas-tugas yang harus dijalani, tugas-tugas tersebut antara lain: (1) Mengadakan dan menyelenggarakan penyuluhan BKB; (2) Mengadakan kunjungan rumah; (3) Melakukan pengamatan atau melihat langsung kegiatan ibu sasaran di tempat penyuluhan dan di rumah; (4) Memotivasi peserta agar kegiatan BKB dilaksanakan; (5) Membuat dan melakukan pencatatan dan pelaporan. Peran petugas kesehatan dalam pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan adalah: (1) Memfasilitasi masyarakat melalui kegiatan maupun program pemberdayaan masyarakat meliputi pertemuan dan pengorganisasian; (2) Memberikan motivasi kepada masyarakat agar berpartisipasi; dan (3) Mengalihkan pengetahuan, keterampilan, dan teknologi kepada masyarakat dengan melakukan pelatihan-pelatihan yang bersifat vokasional (Notoatmodjo, 2003). Sasaran pemberdayaan masyarakat dapat berupa perorangan, masyarakat, dan swasta menjadi inisiator, motivator, dan fasilitator dengan dukungan para pemimpin baik formal maupun nonformal (Kemenkes RI, 2009). Peran stakeholder, baik bidan desa, petugas PLKB, pendidik PAUD, maupun kader kesehatan, yang dikaji dalam penelitian ini adalah peran sebagai fasilitator, dinamisator, inovator, motivator, pembina, pengumpul dan penyebar informasi. 5. Partisipasi orangtua dalam parenting education Pengertian yang secara umum tentang istilah partisipasi oleh Mikkelsen (2005 cit. Adi, 2008) adalah keterlibatan masyarakat secara suka rela dalam perubahan
yang
ditentukan
sendiri
oleh
masyarakat
sebagai
upaya
pembangunan lingkungan, kehidupan dan diri mereka sendiri, sedangkan
30
Mardikanto (2010) menyatakan bahwa partisipasi merupakan keikutsertaan seseorang atau sekelompok anggota masyarakat dalam suatu kegiatan. Pendekatan
partisipatif
merupakan
salah
satu
strategi
dalam
pengembangan masyarakat. Pendekatan partisipatif diyakini sangat efektif dalam memberdayakan masyarakat menuju kemandirian dan pembangunan berkelanjutan (Ohama, 2001). Partisipasi dan pemberdayaan merupakan dua buah konsep yang saling berkaitan. Masyarakat ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pemerintahan (Eko, 2002). Partisipasi merupakan komponen
penting
dalam
pembangkitan
kemandirian
dan
proses
pemberdayaan (Craig dan May, 1995 cit. Hikmat, 2004). Partisipasi masyarakat di bidang kesehatan berarti keikutsertaan semua anggota masyarakat dalam memecahkan masalah kesehatan mereka sendiri. Dalam hal ini, masyarakat sendirilah yang aktif memikirkan, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program-program kesehatan masyarakatnya. Institusi
kesehatan
hanya
sekadar
memotivasi
dan
membimbingnya
(Notoatmodjo, 2012). Hal ini sejalan dengan Isbandi (2007), yang menyatakan bahwa
partisipasi
adalah
keikutsertaan
masyarakat
dalam
proses
pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses evaluasi perubahan yang terjadi. Partisipasi merupakan konsep yang berasal dari bawah yang akan mendorong
keaktifan
dan
keterlibatan
penerima
manfaat
sehingga
menjadikannya sebagai program yang inklusif (Tesoriero, 2010). Pernyataan tersebut sekaligus mengandung pengertian bahwa masyarakat tersebut harus diberikan
upaya
yang
dapat
mengembangkan
pengetahuan
dan
keterampilannya melalui pemberian sarana dan prasarana yang memungkinkan masyarakat mengembangkan dirinya sendiri yang menyebabkan partisipasi tidak dapat dipisahkan dari konsep pemberdayaan (empowerment).
31
Prinsip dalam partisipasi adalah melibatkan atau peran serta masyarakat secara langsung, dan hanya mungkin dicapai jika masyarakat sendiri ikut ambil bagian, sejak dari awal, proses, dan perumusan hasil. Dalam mengevaluasi partisipasi, perlu dilihat secara menyeluruh mulai dari proses perencanaan, pengambilan keputusan, dukungan pembiayaan dan kelembagaan serta jaringan, pengelolaan manajemen kegiatan dan monitoring kegiatan (Tesoriero, 2010). Mikkelsen (2003) mengatakan bahwa partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukan sendiri. Partisipasi masyarakat yang semakin meningkat, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, merupakan salah satu perwujudan dari perubahan sikap, dan perilaku tersebut. Sependapat dengan Ife dan Tesoriero (2008) yang mengemukakan bahwa partisipasi menyebabkan mobilisasi psikis dan fisik (perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku) karena program yang dijalankan sesuai dengan kebutuhan, prioritas, dan kondisi sumber daya yang dimiliki. Menurut Adisasmita dan Raharjo (2006), partisipasi anggota masyarakat adalah keterlibatan anggota masyarakat dalam program, meliputi kegiatan dalam perencanaan dan pelaksanaan (implementasi) program/kegiatan yang dikerjakan di dalam masyarakat lokal. Cohen dan Uphoff (1980) menyatakan bahwa partisipasi yang diharapkan dari masyarakat dalam kegiatan termasuk penyuluhan adalah partisipasi dalam pengambilan keputusan pada perencanaan kegiatan, implementasi, memperoleh keuntungan penyuluhan, dan evaluasi kegiatan. Keterlibatan masyarakat akan menjadi penjamin bagi suatu proses yang baik dan benar (Abe, 2005). Kumar (2002) mencatat sejumlah keuntungan utama partisipasi masyarakat dalam suatu program, yaitu: efisiensi (efficiency), efektivitas (effectiveness), kemandirian (self-reliance), jaminan (coverage), keberlanjutan (sustainability).
32
Beberapa pendekatan untuk memajukan partisipasi masyarakat adalah: (a) Pendekatan pasif, pelatihan, dan informasi; yakni partisipasi tersebut memberikan komunikasi satu arah, dari atas ke bawah dan hubungan pihak eksternal dan masyarakat bersifat vertikal; (b) Pendekatan partisipasi aktif, yaitu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berinteraksi secara lebih intensif dengan para petugas eksternal, contohnya pelatihan dan kunjungan; (c) Pendekatan partisipasi dengan keterikatan masyarakat atau individu diberikan kesempatan untuk melakukan program, dan diberikan pilihan untuk terikat pada sesuatu kegiatan dan bertanggung jawab atas kegiatan tersebut; dan (d) Pendekatan dengan partisipasi setempat, yaitu pendekatan dengan mencerminkan kegiatan atas dasar keputusan yang diambil oleh masyarakat setempat (Mikkelsen, 2003). Marschall (2006) dalam studinya di Afrika menyatakan bahwa selain representasi, keberhasilan pelaksanaan partisipasi masyarakat bergantung pada keefektifan komunikasi, peran fasilitator hingga kesesuaian proyek/program dengan kebutuhan masyarakat. Uphoff et al. (cit. Bryant dan White, 1982) mengemukakan bahwa kontribusi gerakan pengembangan masyarakat dan pelajaran yang dapat diambil guna mengembangkan peran serta, terkait dengan suatu studi adalah sebagai berikut: (a) Peran serta janganlah dijadikan program yang terpisah; ia merupakan suatu proses dan oleh sebab itu hendaknya dipadukan dengan kegiatan-kegiatan lain; (b) Peran serta harus didasarkan pada organisasi-organisasi lokal; (c) Distribusi yang lebih adil akan mendorong lebih banyak partisipasi; dan (d) Perlu diciptakan mata rantai antara berbagai tingkat, dan hendaknya pembangunan tidak didasarkan pada upaya-upaya yang terpisah-pisah. Salah satu upaya untuk mengembangkan partisipasi masyarakat adalah melalui organisasi-organisasi lokal (Uphoff et al. cit. Bryant dan White, 1982). Lebih lanjut, pada kelompok aktor institusi, menurut Teegen dan Doh (2003 cit. Louise, 2011), yang paling penting dijadikan mitra adalah organisasi masyarakat, karena menurut Fabig dan Boele (1999 cit. Louise, 2011) untuk meningkatkan perubahan sosial dibutuhkan organisasi masyarakat. Sejalan
33
dengan Mardikanto (2010) yang mengemukakan bahwa untuk menumbuhkan partisipasi dapat diupayakan melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam penelitian ini adalah parenting education. Howard, Baker, dan Forest (1994) membedakan keterlibatan dalam tiga tipe, yaitu: keterlibatan fisik (physical involvement), jika sekelompok kecil orang berkumpul di suatu ruangan; keterlibatan sosial (social involvement), jika mereka berdiskusi, bertukar pikiran mengungkapkan perasaan, kebutuhan dan harapan; keterlibatan psikologis (psychological involvement), jika mereka terlibat diskusi aktif, mendalami pilihan-pilihan program, hingga menjadi disepakati sebagai rumusan dan pemecahan masalah. Partisipasi yang dikaji dalam penelitian ini adalah partisipasi orangtua dalam proses parenting education dan partisipasi orangtua dalam lembaga sosial (posyandu, BKB). 6. Proses promosi kesehatan melalui parenting education Keberhasilan suatu proses pembelajaran tentu mempertimbangkan berbagai komponen, antara lain: kompetensi pemateri, metode, media yang digunakan, materi dan sarana prasarana yang mendukung. Dalam penelitian ini, kegiatan parenting education diukur berdasarkan proses promosi kesehatan melalui parenting education yang meliputi: kompetensi pemateri, metode, media yang digunakan, materi, dan sarana prasarana. a. Kompetensi pemateri/penyuluh Pemateri/penyuluh dituntut memiliki kemampuan mumpuni agar dapat menyampaikan informasi kepada sasaran secara optimal. Kemampuan (ability) yaitu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan, baik kemampuan intelektual maupun kemampuan fisik (Robbins, 2003). Penyuluh harus melakukan proses pembelajaran secara persuasif, yaitu: (1) memanfaatkan perhatian yang ada; (2) membangun hasrat yang terpilih (motif, kebiasaan, minat); (3) hubungan antara keinginan dan meyakinkan tujuan, dan (4) menimbulkan tanggapan dari sasaran (Robbins, 2003). Mardikanto (1993), menambahkan salah satu kemampuan yang harus dimiliki penyuluh adalah kemampuan berkomunikasi yang meliputi:
34
(1) kemampuan memilih inovasi; (2) kemampuan berkomunikasi secara efektif; (3) kemampuan memilih dan menerapkan metode penyuluhan yang efektif dan efisien; (4) kemampuan memilih dan menggunakan alat bantu yang efektif; (5) kemampuan berempati dan berinteraksi dengan sasaran. Pendapat yang dikemukakan oleh Rogers (1995) adalah bahwa kualitas informasi yang diberikan tergantung pada peran penyuluh sebagai agen perubahan, yaitu: (1) besarnya usaha yang dilakukan penyuluh dalam berkomunikasi; (2) kredibilitas penyuluh, misalnya kedekatan emosi dan keberpihakan serta mau menerima umpan balik; dan (3) tingkat pemahaman penyuluh terhadap kebutuhan sasaran. Dengan demikian, penyuluh tidak cukup hanya memiliki informasi tersebut, tetapi harus pula memiliki kemampuan berempati yang baik. b. Metode Menurut Machfoed et al. (2005), metode atau cara penyuluhan, tergantung pada tujuan penyuluhan yang akan dicapai. Tujuan bisa dikelompokkan menjadi tiga bidang, yaitu bidang pengetahuan, sikap, dan keterampilan atau tindakan. Apabila tujuan yang akan dicapai adalah bidang pengetahuan, pesan cukup disampaikan dengan ucapan, atau disampaikan secara tertulis, sedangkan tujuan untuk mengembangkan sikap positif, sasaran perlu menyaksikan sendiri penyuluhan yang dilakukan, dan apabila tujuan untuk mengembangkan keterampilan, selain dengan menyaksikan penyuluhan yang diberikan, sasaran juga diberikan untuk mencoba sendiri. Metode penyuluhan sangat berperan dalam keberhasilan penyuluhan. Sebaik apapun dan selengkap apapun materi penyuluhan yang disampaikan tidak akan mampu mengubah perilaku sasaran yang diinginkan jika metode yang digunakan kurang tepat. Akan tetapi, Mardikanto (1993) merujuk pada Kang dan Song, mengatakan bahwa tidak ada satupun metode yang selalu efektif, perlu metode secara simultan yang saling menunjang dan melengkapi.
Menurut
Notoatmodjo
(2010),
metode
dan
teknik
penyuluhan/pendidikan kesehatan berdasarkan sasarannya dibagi menjadi tiga, yaitu :
35
1) Metode promosi individual (perorangan) Bentuk pendekatan ini, antara lain: bimbingan dan penyuluhan (guidance and counceling), serta wawancara (interview). 2) Metode promosi kelompok Dalam memilih metode penyuluhan kelompok, harus mengingat besarnya kelompok sasaran serta tingkat pendidikan formal dari sasaran. a. Kelompok besar (lebih dari 15 orang). Metode yang baik untuk kelompok besar ini, antara lain ceramah dan seminar. b. Kelompok kecil (kurang dari 15 orang). Metode-metode yang cocok untuk kelompok kecil ini antara lain: diskusi kelompok, curah pendapat (brain strorming), bola salju (snow balling), kelompokkelompok kecil (buzz group), role play (memainkan peranan), dan permainan simulasi (simulation game). Keuntungan role play (memainkan peranan), dan permainan simulasi (simulation game), metode demonstrasi itu sendiri adalah proses penerimaan sasaran terhadap materi penyuluhan akan lebih berkesan secara mendalam sehingga mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan sempurna (Herijulianti et al., 2002). c. Metode penyuluhan massa. Metode dan teknik promosi kesehatan yang sering digunakan adalah ceramah umum, penggunaan media massa elektronik seperti radio dan televisi (talkshow), penggunaan media cetak, penggunaan media di luar ruang (billboard). c. Media Media atau alat peraga dalam penyuluhan dapat diartikan sebagai alat bantu untuk penyuluhan yang dapat dilihat, didengar, diraba, dirasa, atau dicium, untuk memperlancar komunikasi dan penyebarluasan informasi (Depkes RI, 2000). Menurut Notoatmodjo (2012), pendidikan kesehatan tidak dapat lepas dari media penyuluhan karena pesan dapat disampaikan dengan mudah untuk dipahami. Alat peraga ini disusun berdasarkan prinsip bahwa pengetahuan yang ada pada setiap manusia itu diterima atau ditangkap melalui panca indera. Semakin banyak indera yang digunakan
36
untuk menerima sesuatu maka semakin banyak dan semakin jelas pula pengertian/pengetahuan yang diperoleh. Dengan kata lain, alat peraga ini dimaksudkan untuk mengerahkan indera sebanyak mungkin kepada suatu objek sehingga mempermudah persepsi. Secara terperinci, fungsi alat peraga adalah untuk menimbulkan minat sasaran, mencapai sasaran yang lebih banyak, membantu mengatasi hambatan bahasa, merangsang sasaran untuk melaksanakan pesan kesehatan, membantu sasaran untuk belajar lebih banyak dan tepat, merangsang sasaran untuk meneruskan pesan yang diterima kepada orang lain, mempermudah memperoleh informasi oleh sasaran, mendorong keinginan orang untuk mengetahui, kemudian lebih mendalami dan akhirnya memberikan pengertian yang lebih baik, dan membantu menegakkan pengertian yang diperoleh. Alasan media sangat diperlukan di dalam pelaksanaan penyuluhan antara lain adalah: (1) menjadi sarana pesan yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata; (2) memperkuat penjelasan yang disampaikan penyuluh; (3) membuka pengetahuan baru bagi sasaran (Ibrahim et al., 2003). Berdasarkan fungsinya sebagai penyaluran pesan-pesan kesehatan, media dibagi menjadi tiga, yakni: (a) Media cetak sebagai alat untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan yaitu: flip chart (lembar balik), booklet, poster, leaflet, flyer (selebaran), rubrik, foto; (b) Media elektronik sebagai saluran untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan memiliki jenis yang berbeda, antara lain: televisi, radio, video, slide dan film strip; dan (c) Media papan yang dipasang di tempat umum dapat diisi dengan pesan kesehatan. Berbagai penelitian telah dilakukan dengan menggunakan media penyuluhan untuk mengubah perilaku, hasilnya media mampu memengaruhi sasarannya. Penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2008) tentang pengaruh poster terhadap perilaku ibu dalam pemberian MP-ASI pada baduta menyimpulkan bahwa pemasangan poster di posyandu memengaruhi perilaku ibu dalam pemberian MP-ASI. Begitu juga dengan penelitian yang
37
dilakukan oleh Rapiasih et al. (2009) tentang pelatihan higiene sanitasi bahwa poster berpengaruh terhadap pengetahuan, perilaku penjamah makanan, dan kelayakan hygiene sanitasi di instalasi gizi RSUP Sanglah Denpasar. d. Materi Efektivitas program parenting education ditentukan juga oleh materi tersebut disampaikan. Mardikanto (1996) mengatakan bahwa materi penyuluhan pada hakekatnya merupakan segala pesan yang ingin dikomunikasikan penyuluh kepada sasaran. Selama ini proses penyuluhan sebagai bentuk komunikasi yang dijalankan tidak dilaksanakan secara teratur dan terencana. Pelaksanaannya sering dilakukan secara spontanitas. Materi yang dibuat dan yang tersedia tampaknya melihat anak tumbuh secara bertahap dan gradual dan bersifat isolatif. Pertumbuhan dan perkembangan kognitif anak, perlu disesuaikan pada era seperti sekarang. Perkembangan teknologi komunikasi khususnya media massa, menjadikan akses terhadap informasi dan interaksi dengan lingkungan kadang-kadang jauh dan sulit diprediksikan. Visualisasi terhadap isi materi menjadi penting, sehingga setiap tahap dan perkembangan pertumbuhan anak dapat dilihat secara jelas. Materi disesuaikan dengan kondisi anak secara riil. Walaupun sudah ada PAUD holistik integratif, namun dalam program parenting education belum dilaksanakan secara integratif terutama tentang pelaksanaan dan materi yang diberikan. Selama ini penyuluhan dalam BKB, parenting education, dan kelas ibu balita masih berjalan sendiri-sendiri. Dengan program integrasi diharapkan dapat memberikan pelayanan secara komprehensif sesuai dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat. Materi yang disampaikan untuk mengubah pola asuh orangtua secara holistik yaitu materi pola asuh
Unicef (1990), Kemdiknas (2013),
Soetjiningsih (2002), Barlow et al., (2005), Engle et al., (1997), Amin (2008), Wonohadidjojo, (1998) serta Kemendiknas (2012) yaitu tentang gizi, kesehatan, perawatan, pengasuhan, pendidikan, dan perlindungan.
38
Dalam rangka menghadapi era global selain hal tersebut ditambahkan pendidikan karakter anak untuk mewujudkan Anak Indonesia Harapan (AIH) yang merupakan hadiah 100 tahun Indonesia merdeka (2045), yaitu anak yang memliki sepuluh ciri utama (dasa citra anak Indonesia), yaitu (1) beriman; (2) bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (3) berakhlak mulia; (4) sehat; (5) cerdas; (6) jujur (7) bertanggung jawab; (8) kreatif; (9) percaya diri; dan (10) cinta tanah air. e. Sarana prasarana Moenir (1992) mengemukakan bahwa sarana adalah segala jenis peralatan, perlengkapan kerja, dan fasilitas yang berfungsi sebagai alat utama/pembantu dalam pelaksanaan pekerjaan, dan juga dalam rangka kepentingan yang berhubungan dengan organisasi kerja. Sarana dan prasarana pendidikan merupakan hal yang tidak kalah penting dalam menunjang proses pembelajaran. Kurangnya sarana prasarana dapat menghambat proses penyuluhan. Swarana dan prasarana untuk kelancaran pelaksanaan program parenting education, yaitu: (a) Penyediaan tempat kegiatan; (b) Penyediaan sarana
pertemuan
sesuai
kondisi
dan
kebutuhan
orangtua;
(c) Mengalokasikan waktu dan kegiatan yang dapat dilakukan bersama dengan orangtua; (d) Membantu menyebarkan informasi kegiatan kepada orangtua; dan (e) Membantu merekomendasikan narasumber yang sesuai dengan kebutuhan.
F. Kerangka Berpikir Kajian teoritik di atas memberikan landasan konseptual mengenai hubungan antara promosi kesehatan melalui parenting education dan pola asuh holistik. Promosi kesehatan melalui parenting education adalah bentuk kegiatan informal yang dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan orangtua dalam pengasuhan terhadap anaknya, untuk memenuhi hak tumbuh kembang anak.
39
Pengembangan anak usia dini holistik integratif di masyarakat merupakan paradigma baru, (LIPI, 1998; Madanijah, 2005) dengan penyelenggaraan pengembangan anak usia dini (PAUD) holistik integratif dengan pengintegrasian layanan pos pelayanan terpadu (posyandu), Bina Keluarga Balita (BKB), dan PAUD untuk memaksimalkan tumbuh kembang anak usia dini. Penyelenggaraan dan fasilitasi anak usia dini secara holistik berdampak pada tumbuh-kembang, baik fisik motorik, kognitif, bahasa maupun perkembangan sosialnya menjadi lebih utuh dan lebih baik (Hastuti, 2010). Informasi tentang pola asuh secara holistik didapatkan orangtua melalui promosi kesehatan dalam proses belajar pendidikan orangtua (parenting education). Proses belajar tersebut terkait dengan berbagai faktor yang ada dalam diri orangtua (Perrino et al., 2001; Spoth dan Redmond, 2000; Johnson et al., 2003; Larne, 2009), maupun lingkungan sekitarnya, seperti partisipasi orangtua, akses sumber informasi, peran stakeholder di dalam kegiatan terkait (Syakrani, 2004). Untuk menumbuhkan partisipasi juga dipengaruhi oleh persepsi dan motivasi (Labonte dan Laverack, 2008). Studi ini mengadopsi model perencanaan promosi kesehatan Precede dan Proceed dari Green dan Cauter (1991), determinan pola asuh The Ekstended Model of Care dari Engle dan Lhotska (1997) dan model ekologi tumbuh kembang anak usia dini. Pola asuh orangtua meliputi perawatan, perlindungan, penyiapan makanan, kebersihan diri dan sanitasi lingkungan, praktik kesehatan dan pola pencarian pelayanan kesehatan (Soetjiningsih, 2002), menumbuhkan kelekatan emosional, menghindari hukuman fisik, mengajarkan disiplin, memahami anak secara menyeluruh (Sears), mendidik (Kemdiknas, 2011), perhatian/dukungan ibu terhadap anak, pemberian ASI atau makanan pendamping pada anak, rangsangan psikososial terhadap anak, persiapan dan penyimpanan makanan, praktik kebersihan atau higiene dan sanitasi lingkungan (Engle et al., 1997), pemberian stimulasi, dukungan emosional (Ashar et al., 2008) maupun mental (Amin, 2008) yang semuanya untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan balita. Dengan demikian, penting untuk melakukan
40
pendekatan holistik untuk memperhitungkan fakta bahwa aspek psikologis dan fisik yang saling terkait dan saling memengaruhi (Cohn et al., 2009). Faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku pola asuh holistik yaitu dua faktor khususnya, sosio-demografi (Haggerty et al., 2002). Sejumlah penelitian menunjukkan pentingnya faktor-faktor sosio-demografis dalam pengambilan keputusan dalam pendidikan orangtua (Perrino et al., 2001; Spoth dan Redmond 2000). Sosio-demografis dalam studi ini yaitu persepsi, motivasi, akses terhadap sumber informasi. Hal yang sangat mendukung dalam keberhasilan promosi kesehatan melalui parenting education, yaitu partisipasi orangtua dan proses parenting education itu sendiri yang dapat dilihat dari: kompetensi pemateri, metode, materi, media, serta sarana dan prasarana yang baik dan lengkap. Faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku, antara lain sikap dan perilaku tokoh masyarakat, petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat seperti peran bidan desa, peran PLKB, peran kader, dan peran pendidik PAUD. Berdasarkan teori di atas, dalam penelitian ini pola asuh holistik dikaji dengan pendekatan belajar dalam promosi kesehatan melalui komponen proses belajar, yang merupakan interaksi antara keadaan internal orangtua dan faktorfaktor yang berpengaruh terhadap parenting education dan pola asuh holistik. Variabel-variabel yang akan dikaji antara lain : persepsi ibu sebagai orangtua terhadap parenting education dan pola asuh holistik (X1), motivasi ibu sebagai orangtua terhadap parenting education dan pola asuh holistik (X2), akses terhadap sumber informasi (X3), peran bidan desa (X4), peran kader (X5), peran pendidik PAUD (X6), peran PLKB (X7), partisipasi ibu sebagai orangtua dalam parenting education (X8), proses promosi kesehatan melalui parenting education (X9), dan pola asuh holistik (Y).
41
Phase 5 Diagnosis administratif dan kebijakan
Phase 3 Diagnosis perilaku dan lingkungan
Phase 4 Diagnosis pendidikan dan organisasional
Phase 2 Diagnosis epidemologi
Phase 1 Diagnosis sosial
Predisposing factors Karakteristik orangtua 1. Persepsi ibu sebagai orangtua terhadap parenting education dan pola asuh holistik 2. Motivasi ibu sebagai orangtua terhadap parenting education dan pola asuh holistik
Kebijakan dan strategi
Partisipasi ibu sebagai orangtua dalam parenting education
Enabling factors Orangtua/ keluarga/ calon orangtua/ pengasuh
Akses terhadap sumber informasi 1. Interaksi dengan orangtua murid yang lain 2. Interaksi dengan anggota keluarga lain 3. Interaksi dengan media
Pengembangan anak usia dini holistik integratif
Pola asuh orangtua secara holistik (kemampuan pemenuhan gizi, perawatan anak, pemeliharaan kesehatan, mendidik anak, mengasuh anak, dan perlindungan kepada anak)
Pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini
Proses promosi kesehatan melalui parenting education
Reinforcing factors
Peran stakeholders 1. Peran bidan desa 2. Peran kader 3. Peran pendidik PAUD 4. Peran petugas PLKB
Phase 6 Pelaksanaan
Phase 7 Proses evaluasi
Phase 8 Evaluasi hasil
Gambar 2.4. Kerangka konsep
Phase 9 Evaluasi dampak
42
X1. Persepsi ibu sebagai orangtua
X2. Motivasi ibu sebagai orangtua gtua X8. Partisipasi ibu sebagai orangtua X3. Akses terhadap sumber informasi X4. Peran bidan desa X9. Proses promosi kesehatan melalui parenting education
X5. Peran kader
Y. Pola asuh holistik (Kemampuan pemenuhan gizi, perawatan anak, pemeliharaan kesehatan, mendidik anak, mengasuh anak, perlindungan kepada anak)
X6. Peran pendidik PAUD
X7. Peran PLKB
Gambar 2.5. Kerangka pikir penelitian G. Hipotesis Berdasarkan kerangka berpikir, diajukan hipotesis sebagai berikut: 1. Terdapat pengaruh positif yang signifikan faktor persepsi ibu sebagai orangtua, motivasi ibu sebagai orangtua, akses terhadap sumber informasi, peran bidan desa, peran kader, peran pendidik PAUD dan peran PLKB berpengaruh terhadap partisipasi ibu sebagai orangtua dalam parenting education di Kabupaten Karanganyar. 2. Terdapat pengaruh positif yang signifikan faktor persepsi ibu sebagai orangtua, motivasi ibu sebagai orangtua, akses terhadap sumber informasi, peran bidan desa, peran kader, peran pendidik PAUD, peran PLKB dan partisipasi ibu sebagai orangtua berpengaruh terhadap proses promosi kesehatan melalui parenting education di Kabupaten Karanganyar. 3. Terdapat pengaruh secara langsung maupun tidak langsung yang signifikan faktor persepsi ibu sebagai orangtua, motivasi ibu sebagai orangtua, akses terhadap sumber informasi, peran bidan desa, peran kader, peran pendidik PAUD, peran PLKB, partisipasi ibu sebagai orangtua dan proses promosi kesehatan melalui parenting education berpengaruh terhadap pola asuh holistik di Kabupaten Karanganyar.
43