BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dividen 2.1.1 Pengertian Dividen Keuntungan yang diperoleh perusahaan dalam setiap periodenya akan didistribusikan kepada pemegang saham dan sebagian lagi akan ditahan untuk diinvestasikan lagi dalam bentuk yang lebih menguntungkan. Pendapatan yang perusahaan salurkan kepada pemegang saham biasa disebut dengan dividen. Adapun defenisi dividen menurut Gitman (2006:590) adalah
A source
of cash flow to stockholder and provides information about firm s current and future performance. Artinya sumber dari aliran kas untuk pemegang saham dan memberikan informasi tentang kinerja perusahaan saat ini dan yang akan datang. Pengertian dividen menurut Niswonger et at. (2004:583) sebagai berikut : A dividend is a distribution by a corporation its share shareholders dividends may be paid in cash in stock of company on the other property. Three dates are important in distribution of dividends : 1. The date of declaration is the date on which the directors take formal action to declare the dividend on which the dividend is recorded in the accounting records. 2. The date of the recorded is date on which ownership of share is to be determinate for purpose of distribution of the dividend. 3. The date of payment is the on which the dividend is to be distributed on paid. Artinya dividen adalah suatu distribusi oleh korporasi pemegang saham, mungkin dibayar dalam uang tunai, dalam bentuk saham perusahaan, atau dalam bentuk property lainnya yang dimiliki oleh perusahaan. Tiga tanggal penting dalam pendistribusian dividen yaitu : 1. Tanggal pengumuman yaitu tanggal dimana direktur mengambil tindakan formal untuk mengumumkan dividend dan dicatat dalam arsip akuntansi.
2. Tanggal pencatatan yaitu tanggal dimana kepemilikan atas saham ditentukan untuk tujuan distribusi dividen. 3. tanggal pembayaran yang tanggal dimana dividen didistribusikan dalam bentuk pambayaran dividen. Kedua defenisi diatas pada dasarnya dinyatakan bahwa dividen adalah pembayaran sejumlah kas atau uang yang dilakukan oleh perusahaan kepada para pemegang saham berdasarkan jumlah lembar saham yang dimilikinya. Jika dilihat dari sumber pembayaran dividen merupakan pembagian laba ditahan oleh perseroan kepada pemeganga sahamnya. dimana seluruh laba ditahan dianggap bebas untuk dibagikan kecuali jika diberikan indikasi mengenai pembatasan yang dikenakan terhadap laba ditahan. Laba yang dibatasi ini dilaporkan
dalam
bentuk
tersendiri
yang
menggambarkan
tujuan
dari
pencadangan tersebut. dividen untuk saham dinyatakan dalam satuan rupiah bukan sebagai persentase dari nilai nominal. Untuk saham preferen dinyatakan satuan moneter atau sebagai persentase dari nilai nominal.
2.1.2. Pengertian Kebijakan Dividen Pada dasarnya kebijakan dividen menentukan proporsi seberapa besar laba bersih setelah pajak yang akan dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen dan yang tidak akan dibagikan dalam bentuk laba ditahan. Sama halnya dengan Pengertian kebijakan dividen Menurut Bambang Riyanto (2001 ; 265) : Kebijakan dividen adalah bersangkutan dengan penentuan pembagian pendapatan (earning) antara penggunaan pendapatan untuk dibayarkan kepada pemegang saham sebagai dividen atau digunakan didalam perusahaan, yang berarti pendapatan tersebut harus ditahan di dalam perusahaan. Teori kebijakan dividen sebagian besar menitik beratkan pada masalah hubungan pada kebijakan dividen dengan nilai perusahaan semua teori itu masih menjadi perdebatan banyak ahli. Beberapa buku memberikan nama lain terhadap teori mengenai kebijakan dividen seperti dividend controversy dan dividend puzzle, yang mengisyaratkan belum tercapainya suatu kesepakatan yang umum tentang kebijakan dividen dalam kaitannya dengan nilai perusahaan.
Menurut Husnan dan Pudjiasti (2004 : 297) pengertian kebijakan dividen adalah
kebijakan yang menyangkut tentang masalah penggunaan laba yang
menjadi hak para pemegang saham. Pada dasarnya laba tersebut tidak dibagi sehingga dividen atau laba ditahan untuk diinvestasikan kembali. Menurut Gitman (2006:597) kebijakan dividen perusahaan adalah
A
plan of action to be followed wherever on dividend decision is made. Dengan demikian dapat disimpulkan kebijakan dividen adalah kebijakan yang mengatur berapa bagian laba bersih yang akan dibagikan sebagai dividen kepada para pemegang saham dan berapa bagian laba bersih yang akan digunakan untuk membiayai investasi perusahaan.
2.1.3 Teori Kebijakan Dividen Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli keuangan diantaranya : 1. Dividend Irrelevance Theory Teori ini menyatakan kebijakan dividen perusahaan tidak memiliki pengaruh, baik terhadap perusahaan (firm`s value) maupun biaya modal (cost of capital). Teori ini dikemukakan oleh Merton Miller dan franco Modigliani (MM). M-M menyatakan bahwa nilai dari suatu perusahaan tergantung hanya pada pendapatan yang dihasilkan assetnya, bukan dengan bagaimana pendapat itu dibagikan menjadi dividen dan laba ditahan tidak mempengaruhi nilai perusahaan. M-M membuktikan pendapatnya secara matematis dengan berbagai asumsi : 1. Tidak ada pajak pendapatan perorangan atau perusahaan 2. Tidak ada flotasi atau biaya transaksi 3. Bahwa financial leverage tidakterpengaruh terhadap biaya modal 4. Bahwa investor dan manajer memiliki informasi yang sama mengenai prospek perusahaan dimasa yang akan datang 5. Bahwa pembagian pendapatan antara dividend dan laba ditahan (cost of equity) perusahaan 6. Bahwa anggaran modal perusahaan tidak tergantung pada kebijakan dividennya.
Asumsi-asumsi diatas pada dunia nyata. Perusahaan dan investor membayar pajak pendapatan; perusahaan mengalami flotasi biaya; manager seringkali tahu mengenai prospek perusahaan dimasa yang akan datang dibandingkan investor. Investor membayar biaya transaksi dapat menyebabkan biaya kepemilikan dipengaruhi oleh kebijakan dividennya.
M-M menyatakan
bahwa kebijakan teori ekonomi didasarkan pada asumsi-asumsi sederhana dan bahwa validitas dan suatu teori harus diuji secara empiris, bukan dengan merealisasikan asumsi-asumsinya. Kesimpulan dari teori yaitu tidak ada kebijakan dividen yang optimal karena kebijakan dividen tidak mempengaruhi nilai perusahaan, suatu kebijakan dividen sama baiknya dengan kebijakan dividen lainnya. 2. Bird-in-the Hand Theory Teori ini menyatakan nilai suatu perusahaan akan maksimal dengan rasio pembayaran dividen yang tinggi. Pendapat ini dinyatakan oleh Myron Gordon dan Lintner yang diberi nama bird-in-the hand theory karena menurut mereka investor lebih merasa aman untuk memeperoleh pendapatan berupa pembayaran dividen atau menunggu capital gain. Gordon dan Linter beranggapan bahwa investor memandang satu burung ditangan akan lebih berharga dari seribu burung diudara. Kesimpulan dari teori ini adalah suatu perusahaan akan menetapkan rasio pembayaran dividen yang tinggi dan menawarkan perolehan dividen yang tinggi untuk memaksimalkan harga sahamnya. 3. Tax Preference Theory Pertama harus disadari bagi investor yang dikenai pajak pendapatan perorangan, pendapatan yang relevan baginya adalah pendapatan setelah pajak. Pendapat yang ketiga setelah pendapat Mondigliani-Miller dan Gordon lintner adalah pendapatan dari kelompok para akademisi yang cenderung menyarankan bahwa perusahaan sebaiknya menentukan dividend payout yng rendah atau bahkan tidak membagikan dividen. Pendapat ketiga ini ternyata bertentangan dengan pendapat Gordon-Lintner sebelumnya.
Kesimpulan dari teori ini adalah invester lebih memilih laba ditahan daripada dengan dividen karena keuntungan dari pajak capital gain. Teori ini menyarankan perusahaan harus menahan pembayaran dividennya pada tingkat yang rendah jika mereka ingin memaksimalkan harga sahamnya.
2.1.4
Jenis-Jenis Kebijakan Dividen Kebijakan dividen suatu perusahaan mewaliki rencana dari tindakan yang
diikiti kapanpun keputusan dividen harus dibuat. Kebijakan dividen harus diformulasikan dengan dua tujuan dasar, yaitu memaksimalkan kemakmuran pemilik perusahaan dan menyediakan keuangan yang mencukupi. Adapun yang merupakan tipe-tipe dari kebijakan dividen menurut Gitman (2003, 571; 572) sebagai berikut: 1. Constant-Payout-ratio dividend policy Yang dimaksud dengan dividend payout rasio menurut Gitman (2003: 570) yaitu Indicates the percentage of each dollar earned that is distributed to the owners in the form cash; calculated dividing the firm s cash dividend per share by its earning per share. Yang artinya mengindikasikan persentase atas tiap dollar dari pendapatan yang dibagikan kepada pemilik saham dalam bentuk kas atau tunai perhitungan pembagian dividen tunai perusahaan perlembar dari pendapatan perlembar sahamnya. Sedangkan menurut Gitman (2003:507) yang dimaksud dengan constantpayout-ratio itu sendiri adalah
A dividend policy based on the payment of a
certainty percentage of earning to owners in each dividend periode. Yang artinya suatu kebijakan dividen berdasar pada pembayaran dengan persentase yang tetap dari pendapatan perusahaan. Kebijakan sejenis ini jarang sekali digunakan perusahaan, dimana perusahaan membayarkan dividen dalam persentase yang konstan terhadap pendapatan perusahaan. Umumnya jika pendapatan perusahaan berfluktuasi maka jumlah dividen yang dibayarkan akan ikut berfluktuasi.
2. Reguler Dividend Policy Yang dimaksud dengan regular dividen policy menurut Gitman (2003:571) yaitu A dividend policy based on payment of a fixed dollar dividend in each periode. Yang artinya kebijakan dividen berdasarkan pembayaran dengan dividen dalam jumlah dollar yang tetap tiap periode. Seringkali kebijakan dividen yang regular dibangun diantara target dividend payout ratio. Adapun yang dimaksud dengan target dividend payout ratio itu sendiri menurut Gitman (2003:571) yaitu A policy under which the firm attempt to payout a certain percentage of earning as a stead dollar dividend, which it adjust toward a target payout as proven earning in creases occur. Yang artinya suatu kebijakan dimana perusahaan mencoba untuk membayar persentase tertentu dari pendapatan sebagai dividen dollar, yang mana kebijakan tersebut membuat penyesuaian kearah suatu target pembayaran ketika terbukti terjadi penggandaan dalam pendapatan. Dalam kebijakan dividen ini jumlah dividen per lembar yang dibayarkan setiap tahunnya relatif tetap selama jangka waktu tertentu, meskipun pendapatan per lembar sahamnya tiap tahunnya berfluktuasi. Dividen yang stabil ini dipertahankan untuk beberapa tahun, kemudian apabila pendapatan perusahaan meningkat dan kenaikan pendapatan tersebut tampak mantap dan relatif permanen maka barulah dividen per lembar saham dinaikkan dan dividen yang sudah dinaikkan ini akan dipertahankan untuk yang relatif panjang. 3. Low-Regural-and-Extra Dividend policy Menurut Gitman (2003:572) yang dimaksud dengan Low-regural-andExtra-Dividen Policy yaitu A dividend policy based on paying a low regular dividend, sumplemented by an additional dividend when earnings want it. Yang artinya suatu kebijakan dividen yang didasarkan pada pembayaran suatu dividen regular rendah, ditambah oleh suatu dividen tambahan ketika pendapatan menjaminnya. Kebijakan ini merupakan kebijakan kombinasi antara kedua kebijakan diatas. Perusahaan membayarkan dividen tetap yang rendah, tapi ditambah dengan pembayaran ekstra pada saat-saat tertentu. Dengan kebijakan semacam ini,
perusahaan dapat menghilangkan ketidakpastian bagi investor mengenai pendapatan dividen yang akan diterimanya. Kebijakan semacam ini cocok untuk perusahaan yang pendapatannya berfluktuasi.
2.1.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Dividen Dalam menentukan bentuk dividen yang akan dibagikan serta jumlah earning yang akan dikeluarkan sebagai dikeluarkan sebagai dividen (cash dividend), perusahaan harus memperhatikan kepentingan banyak pihak baik pihak internal maupun pihak eksternal yang berhubungan dengan perusahaan, selain itu dividen yang akan ditetapkan oleh perusahaan sebaiknya melalui pertimbangan atas faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen itu sendiri. Menurut Sundjaja dan Barlian (2003:387-390) faktor-faktor yang mempengaruhi dividen adalah : 1. Peraturan Hukum a. Mengenai laba bersih menentukan bahwa dividen dapat dibayar dari laba tahun-tahun yang lalu dan laba tahun berjalan. b. perturan mengenai tindakan yang merugikan modal. Melindungi para direktur, dengan melarang pembayaran dividen yang berasal dari
modal( membagikan investasinya bukan membagikan
dividennya) c. peraturan mengenai tidak mampu bayar. Perusahaan tidak boileh membayar jika tidak mampu (bangkrut). 2. Posisi Likuiditas Laba ditahan biasanya diinvestasikan dalam bentuk aktiva yang diperlukan untuk menjalankan usaha. Laba ditahan dari tahun ke tahun terdahulu sudah diinvestasikan dalam bentuk mesi dan peralatan, persediaan, dan barang- barang lainnya, bukan disimpan dalam bentuk uang tunai. Oleh karena itu suatu perusahaan yang keuntungannya luar biasa mungkin saja tidak dapat membayar dividen karena keadaan likuiditasnya. Memang perusahaan yang sedang tumbuh biasanya
betul- betul kurang dana dalam situasi seperti ini mungkin perusahaan memutuskan untuk tidak membayar dividen dalam bentuk tunai. 3. Membayar Pinjaman Jika perusahaan telah melakukan pinjaman untuk memperluas usahanya atau untuk pembiayaan lainnya maka ia dapa mlunasi pinjaman nya pada saat jatuh tempo atau ia dapat menyisihkan cadangan- cadangan untuk melunasi pinjaman itu nantinya. Jika diputusakan bahwa pinjaman itu akan dilunasi, maka biasanya harus ada laba ditahan. 4. Kontrak pinjaman Kontrak pinjaman apabila menyangkut pinjaman jangka panjang, seringkali membatasi kemampuan perusahaan untuk membayar dividen tunai. Pembatasan yang dimaksudkan untuk melindungi para kreditur yaitu : dividen yang akan datang hanya akan boleh dibayar dari keuntungan yang diperoleh sesuai ditandatanganinya kontrak pinjaman (artinya tidak boleh dibayarkan pada laba tahun yang ditahan). 5. Pengembalian Aktiva Semakin cepat pertumbuhan perusahaan, semakin besar kebutuhannya untuk membiayai pengembangan aktiva perusahaan. Semakin banyak dana yang dibutuhkan dikemudian hari, semakin banyak laba apabila ingin menambah modal dari luar maka sumber alami yang tersedia adalah para pemegang saham sekarang yang sudah mengenal perusahaan. Jika keuntungannya dibayarkan kepada mereka sebagai dividen dan terkena tarif pajak perorangan yang tinggi, maka hanya sebagian laba saja yang dapat ditanam kembali. 6. Tingkat Pengembalian Tingkat pengembalian atas asset menentukan laba pembentukan dividen yang dapat digunakan oleh pemegang saham baik ditanamkan kembali didalam perusahaan maupun ditempat lain.
7. Stabilitas Keuntungan Perusahaan yang keuntungannya relatif teratur seringkali dapat memperkirakan bagaimana keuntungan dikemudian hari, maka keuntungan
seperti
itu
kemungkian
besar
akan
membagikan
keuntungan dalam bentuk dividen dengan persentase yang lebih besar dibandingkan
dengan
perusahaan
yang
keuntungannya
yang
berfluktuasi. 8. Pasar Modal Perusahaan besar yang sudah mantap, dengan profitabilitas yang tinggi dan keuntungan yang teratur, dengan mudah dapat masuk kepasar modal atau mmperoleh macam-macam dana dari luar untuk pembiayaannya. Perusahaan yang sudah mantap akan mempunyai tingkat dividen yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan kecil atau yang masih baru. 9. Kendali Perusahaan Jika perusahaan hanya memperkuat usahanya dari pembiayaan intern maka pembiayaan dividen akan berkurang, kebijakan ini dijalankam atas pertimbangan bahwa menambah modal dengan menjual saham biasanya akan mengurangi pengendalian atas perusahaanitu oleh golongan pemegang sahamyang kini sedang berkuasa. Selain itu penjualan saham tambahan akan memperbesar resiko fluktuasinya keuntungan bagi para pemegang saham. 10. Keputusan Kebijakan dividen Hampir semua perusahaan ingin mempertahankan dividen pershare pada tingkat yang konstan. Tetapi naiknya dividen selalu terlambat dibandingkan dengan naikya keuntungan. artinya dividen itu baru akan dinaikkan jika sudah jelas bahwa meningkatnya keuntungan itu benarbenar mantap dan nampak cukup permanen.
2.1.6 Prosedur Pembayaran Dividen Pembayaran dividen tunai kepada pemegang saham perusahaan diputuskan oleh dewan direksi perusahaan. Direksi umumnya mengadakan pertemuan yang membatas tentang dividen setiap kuartal atau setengah tahunan dimana mereka mengevaluasi posisi keuangan periode lalu, menentukan posisi yang akan datang dalam pembagian dividen, menentukan jumlah dividen yang harus dibayar, menentukan tanggal-tanggal yang berkaitan dengan pembayaran dividen tunai. Terdapat beberapa tanggal kunci antara waktu dividen diumumkan sampai dengan dividen tersebut secara aktual dibayarkan. Menurut Ross (2003:574) tanggal-tanggal kunci tersebut antara lain : 1. Tanggal pengumuman (Declaration date) Tanggal pengumuman yaitu tanggal dimana dividen dideklarasikan. Tanggal ini penting karena dengan mengumumkan maksud perusahaan untuk meningkatka, mengurangi, atau memelihara jumlah dividen sebelumnya, perusahaan menyampaikan informasi pada pasar Dengan begitu , jika perusahaan merubah dividennya, tanggal ini menjadi tanggal dimana reaksi pasar terhadap perubahan dividen hampir bisa dipastikan terjadi. 2. Tanggal Pemisahan Dividen (Ex-Dividend Date) Tanggal pemisahan dividen adalah tanggal pada saat dividen dipisahkan dari saham. Hak dividen tidak lagi melekat pada saham. Jadi jika transaksi pemindahtanganan saham tersebut terjadi pada tanggal ex-dividend dan sesudahnya, maka pemegang saham lama akan menerima dividen. 3. Tanggal Pencatatan Harga Saham (Holder-of-record date) daftar pemegang saham per tanggal tersebut. 4. Tanggal Pembayaran (dividend Payment Date) Pada tanggal itu dividen yang telah diumumkan telah dibayar pada pemegang saham yang tercatat di perusahaan. Perusahaan akan mengirim cek pada pemegang saham.
2.1.7
Mengukur Tingkat Pembayaran Dividen Dividend Payout Ratio adalah perbandingan antara dividen yang
dibayarkan dengan laba bersih yang didapat dan biasanya disajikan dalam bentuk persentase. Semakin tinggi Dividen Payout Ratio akan menguntungkan para investor tetapi dari pihak perusahaan akan memperlemah internal financial karena memperkecil laba ditahan, tetapi sebaliknya Dividen Payout Ratio semakin kecil akan merugikan para pemegang saham (investor) tetapi internal financial perusahaan semakin kuat. Dividend Payout Ratio menurut R. Agus Sartono (2001 ; 73) adalah : Persentase laba yang dibayarkan dalam bentuk dividen, atau rasio antara laba yang dibayarkan dalam bentuk dividen dengan total laba yang tersedia bagi pemegang saham. Artinya bahwa Dividend Payout Ratio mengukur proporsi pendapatan per lembar saham biasa yang sedang dikeluarkan di dalam dividen-dividen.
Dari pengertian tersebut Dividend Payout Ratio dapat diformulasikan menjadi : Dividend Payout Ratio
Dimana :
DPS 100% EPS
DPS = Dividend Per Share EPS = Earning Per Share
2.2 Leverage Dalam manajemen keuangan leverage adalah penggunaan asset dan sumber dana oleh perusahaan yang memiliki dengan maksud agar meningkatkan keuntungan potensi pemegang saham, dituturkan Sartono (2001:257). Perusahaan yang menggunakan operating dan financial leverage dengan tujuan agar keuntungan yang di peroleh lebih besar daripada biaya asset dan sumber dana, dengan meningkatkan keuntungan pemegang saham.
Menurut sutrisno (2009:198) bahwa: Leverage adalah penggunaan aktiva atau sumber dana dimana untuk penggunaan tersebut perusahaan harus menanggung biaya tetap atau beban tetap. Kemudian Gitman (2003:508) : menggungkapkan penggunaan leverage bagi perusahaan sebagai berikut: akibat dari penggunaan dana tetap untuk memperoleh return bagi perusahaan. Secara umum pertumbuhan leverage akan menimbulkan peningkatan return dan
risk bagi perusahaan. Sebaliknya penurunan
leverage akan menurunkan return dan risk. Sedangkan menurut Van horner dan Wachowiez, Jr (2005:440) menjelaskan bahwa: Dalam pengertian bisnis, leverage mengacu pada penggunaan aktiva tetap untuk meningkatkan keuntungan
Dari pernyataan iatas menyatakan bahwa leverage bukan hanya digunakan untuk membiayai aktivapa serta menanggung beban tetap
melainkan juga
memperbesar penghasilan. Menurut Bringham dan Houston (2006:101) menyebutkan bahwa terdapat tiga implikasi penting dalam leverage, yaitu: 1.
Dengan memperoleh dana melalui hutang, para pemegang saham dapat mempertahankan kendali mereka atas perusahaan tersebut dengan sekaligus membatasi investasi yang mereka berikan.
2.
Kreditor akan melihat pada ekunaitas, atau dana yang diperoleh sendiri, sebagai suatu batas keamanan, sehingga semakin tinggi proporsi dari jumlah modal yang diperoleh dari pemegang saham, maka semakin kecil resiko yang harus dihadapi oleh kreditor.
3.
Jika perusahaan mendapatkan hasil dari investasi yang didanai dengan dana hasil pinjaman lebih besar daripada bunga yang dibayar, maka pengembalian dari modal pemilik akan diperbesar
4.
Perusahaan-perusahaan yang memiliki relatif hutang yang tinggi akan memiliki
ekspetasi pengembalian
yang
juga relatif
tinggi
ketika
perekonomian sedang berada dalam kondisi normal, namun memiliki resiko kerugian ketika ekonomi mengalami resesi. Oleh sebab itu, keputusan akan penggunaan hutang (leverage) mengharuskan perusahaan menyeimbangkan tingkat ekspetsi pengembalian yng lebih tinggi dengan resiko yang meningkat. 2.2.1 Tujuan rasio leverage Rasio leverage digunakan untuk menjelaskan penggunaan utang untuk membiayai sebagian dari aktiva perusahaan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Sutrisno (2009:198) yang menyatakan bahwa leverage adalah penggunaan aktiva atau sumber dana dimana untuk penggunaan tersebut perusahaan harus menanggung biaya tetap atau beban tetap. Kegagalan perusahaan dalam membayar bunga atas utang dapat menyebabkan kesulitan keuangan yang berakhir dengan kebangkrutan perusahaan. Tetapi penggunaan utang juga memberikan subsidi pajak atas bunga yang dapat menguntungkan pemegang saham. Karenanya penggunaan utang harus diseimbangkan antara keuntungan dan kerugiannya. Sedangkan, menurut Wahyono (2003:112) rasio leverage ditunjukan untuk mengukur seberapa bagus struktur pemodalan perusahaan
2.2.2 Mengukur Tingkat Leverage Leverage menunjukan seberapa besar kebutuhan dana perusahaan dibelanjai dengan hutang. Apabila perusahaan tidak mempunyai leverage artinya perusahaan dalam
beroperasi
sepenuhnya
menggunakan
modal
sendiri
atau
tanpa
menggunakan hutang. Menurut Sutrisno (2007:217) yaitu: 1.
Total Debt to Total Asset Ratio Rasio total hutang dengan total aktiva yang biasa disebut dengan rasio hutang (debt ratio), mengukur prosentase besarnya dana atau aset perusahaan yangdigunakan untuk mengukur besarnya Debt Ratio, yaitu:
Debt Ration = 2.
TotalLiabi lities 100% TotalAsset
Debt to Equity Ratio Rasio hutang dengan modal sendiri (debt to equity ratio) merupakan imbalan antara hutang yang dimiliki perusahaan dengan modal sendiri. Semakin tinggi rasio ini berarti semakin sedikit dibandingkan hutangnya. Bagi perusahaan sebaiknya besar hutang tidak boleh melebihi modal sendiri agar beban tetapnya tidak terlalu tinggi. Rumus yang digunakan untuk mengukur rasio ini yaitu: Debt to Equity Ratio =
3.
TotalLiabi lities 100% TotalEquity
Time Interest Earning Ratio Yang sering disebut juga dengan coverage ratio merupakan rasio antara laba sebelum bunga dan pajak dengan beban bunga. Rasio ini mengukur sampai sejauh mana kemampuan perusahaan untuk memenuhi beban tetapnya berupa bunga dengan laba yang diperolehnya, atau mengukur berapakali besarnya laba bisa menutupi beban bunganya. Semakin tinggi rasio itu maka akan semakin baik kemampuan perusahaan dalam membayar bunga. Adapun rumus untuk mengukur Time Interest Earning Ratio, yaitu: Time Interest Earning Ratio =
4.
EBIT 100% Beban Bunga
Fixed Interest Earned Ratio Rasio ini mengukur berapa kali kemampuan perusahaan untuk memenuhi semua kewajiban tetapnya seperti bunga dan poko pinjaman, pembayaran sewa guna usaha dan deviden saham preferen dari hasil laba sebelum bunga dan pajak serta pembayaran sewa guna usaha. Adapun rumus yang digunakan untuk mengukur rasio ini, yaitu: Fixed Interest Earned Ratio =
EBIT Bunga Pembayaran Sewa Bunga Pembayaran Sewa
5.
Debt Service Ratio Debt Service Ratio merupakan kemampuan perusahaan dalam memenuhi beban tetapnya termasuk angsuran poko pinjaman. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: Debt Service Ratio = Bunga
Sewa
EBIT Pembayaran Poko Pinjaman (1 Tarif Pajak )
2.2.3 Debt to Equity Ratio (DER) Debt to Equity Ratio (DER) merupakan salah satu rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat leverage suatu perusahaan. DER merupakan perbandingan hutang yang dimiliki perusahaan dengan modal sendiri. Menurut Hartono dan Agus hartijo (2007:59) menyatakan bahwa DER merupakan perbandingan total hutang yang dimiliki perusahaan dengan modal sendiri (ekuitas). Adapun rumus Debt to Equity Ratio (DER) yaitu: DER =
TotalDebt 100% TotalEquit y
Semakin tinggi tingkat DER suatu perusahaan menunjukan tingginya ketergantungan permodalan perusahaan terhadap pihak luar sehingga beban perusahaan semakin berat, yang pada akhirnya akan mengurangi hak pemegang saham (deviden). Dari berkurangnya hak para pemegang saham, maka minat investor dalam berinvestasi dalam perusahaan tersebut akan berkurang karena para investor akan memilih tempat berinvestasi yang memiliki resiko perusahaan yang rendah dan prospek keunungan yang baik di masa depan.
2.3 Struktur Kepemilikan Struktur kepemilikan dapat dijelaskan dari dua sudut pandang, yaitu pendekatan keagenan dan pendekatan informasi asimetri. Menurut pendekatan keagenan, struktur kepemilikan merupakan suatu mekanisme untuk mengurangi konflik kepentingan antara manajer dengan pemegang saham. Pendekatan ketidakseimbangan informasi memandang mekanisme struktur kepemilikan
sebagai suatu cara untuk mengurangi ketidakseimbangan informasi antara insiders dan outsiders melalui pengungkapan informasi di dalam pasar modal. Para peneliti berpendapat bahwa struktur kepemilikan perusahaan memiliki pengaruh terhadap perusahaan. Tujuan perusahaan sangat ditentukan oleh struktur kepemilikan, motivasi pemilik dan kreditur corporate governance dalam proses insentif yang membentuk motivasi manajer. Pemilik akan berusaha membuat berbagai strategi untuk mencapai tujuan perusahaan, setelah strategi ditentukan maka langkah selanjutnya akan mengimplementasi strategi dan mengalokasikan sumber daya yang dimiliki perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan. Kesemua tahapan tersebut tidak terlepas dari peran pemilik dapat dikatakan
bahwa
peran
pemilik
sangat
penting
dalam
menentukan
keberlangsungan perusahaan. Menurut Jensen. and Meckling, 1976, The Theory of The Firm : Manajerial Behaviour, Agency Cost, and Ownership Structur, ( Journal of Financial and Economics, 3 : 305-360). Struktur kepemilikan dibedakan menjadi dua yaitu kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional. Ada beberapa pengertian struktur kepemilikan saham manajerial menurut beberapa peneliti diantaranya Mehran et al (1992) sebagaimana dikutip (Aida, 2004:33), struktur kepemilikan saham manajerial merupakan proporsi saham biasa yang dimiliki oleh para manajemen. Sedangkan menurut Bagnani et al (1996) yang dikutip (Aida, 2004) struktur kepemilikan saham manajerial itu sendiri adalah persentase saham biasa dan atau opsi saham yang dimiliki direktur atau officer, serta menurut Setiyono (2000) yang dikutip (Aida, 2004) adalah persentase saham biasa yang dimiliki oleh Board of Management, didalamnya terdapat direksi dan komisaris. Peran struktur kepemilikan manajerial menurut Iturriagi dan Sanz (2000:174) dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu pendekatan keagenan (agency approach) dan pendekatan asimetri atau ketidakseimbangan informasi (asymmetric information approach). Dimana pendekatan keagenan menganggap struktur kepemilikan manajerial sebagai sebuah instrument atau alat untuk mengurangi konflik keagenan diantara berbagai klaim (claim holder) terhadap perusahaan. Oleh
karena
itu,
perusahaan
meningkatkan
kepemilikan
manajerial
untuk
mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga bertindak sesuai dengan keinginan pemegang saham. Dengan adanya peningkatan persentase kepemilikan akan mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham, maka manajer termotivasi meningkatkan kinerja dan bertanggung jawab meningkatkan kemakmuran pemegang saham. Sedangkan menurut pendekatan kedua, informasi asimetri menganggap struktur kepemilikan manajerial sebagai salah satu cara untuk mengurangi ketidakseimbangan informasi antara insiders dan outsiders melalui pengungkapan informasi di dalam pasar modal. Dengan adanya kepemilikan saham oleh pihak insiders, maka insiders akan ikut memperoleh manfaat langsung atas keputusankeputusan yang diambilnya, selain itu para manajer juga akan semakin hati-hati dalam menentukan hutang perusahaan karena mereka akan memperoleh manfaat langsung dari keputusan yang mereka ambil serta akan menanggung kerugian sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah. Sehingga kebangkrutan perusahaan bukan lagi menjadi tanggung jawab pemilik utama. Kepemilikan manajerial itu sendiri dapat dilihat dari konsentrasi kepemilikan atau proses saham yang dimiliki oleh komisaris, dewan direksi, dan manajemen. Persentase tersebut diperoleh dari banyaknya jumlah saham yang dimiliki oleh manajerial. Semakin besar proporsi kepemilikan manajerial pada perusahaan, maka manajemen cenderung lebih giat untuk kepentingan pemegang saham dimana pemegang saham adalah dirinya sendiri. Seperti halnya pendapat Demsaey dan Laber (1993) yang dikutip (Meythi, 2005) bahwa masalah keagenan banyak dipengaruhi oleh
insiders ownership . Dimana insiders
ownership itu sendiri adalah pemilik perusahaan sekaligus menjadi pengelola perusahaan. Di sisi lain struktur kepemilikan saham suatu perusahaan akan berdampak pada nilai perusahaan dan kepentingan manajerial.
2.3.1 Kepemilikan Manajerial Para pemegang saham yang mempunyai kedudukan di manajemen perusahaan baik sebagai kreditur maupun sebagai dewan komisaris disebut
sebagai kepemilikan manajerial (managerial ownership). Adanya kepemilikan saham oleh pihak manajemen akan menimbulkan suatu pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh manajemen perusahaan. Kepemilikan manajerial juga dapat diartikan sebagai persentase saham yang dimiliki oleh manajer dan direktur perusahaan pada akhir tahun untuk masing-masing periode pengamatan. Masalah teknis tidak akan timbul jika kepemilikan dan pengelolaan perusahaan tidak dijalankan secara terpisah. Pemilik (pemegang saham) bertujuan untuk memaksimumkan kekayaannya dengan melihat nilai sekarang dari arus kas yang dihasilkan oleh investasi perusahaan sedangkan manajer bertujuan pada peningkatan pertumbuhan dan ukuran perusahaan. Tujuan manajer ini dilandasi oleh dua alasan, yaitu : a. Pertumbuhan yang meningkat akan memberikan peluang bagi manajer bawah dan menengah untuk dipromosikan. Selain itu, manajer dapat membuktikan diri sebagai karyawan yang produktif sehingga dapat diperoleh penghargaan lebih dari wewenang untuk menentukan pengeluaran (biaya-biaya), b. Ukuran perusahaan yang semakin besar memberikan keamanan pekerjaan atau mengurangi kemungkinan lay-off dan kompensasi yang semakin besar. Semakin besar proporsi kepemilikan manajemen pada perusahaan, maka manajemen cenderung berusaha lebih giat untuk kepentingan pemegang saham yang tidak lain adalah dirinya sendiri. Kepemilikan saham manajerial akan membantu penyatuan kepentingan antar manajer dengan pemegang saham. Kepemilikan manajerial akan mensejajarkan kepentingan manajemen dengan pemegang saham, sehingga manajer ikut merasakan secara langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan ikut pula menanggung kerugian sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah. Argumen tersebut mengindikasikan mengenai pentingnya kepemilikan manajerial dalam struktur kepemilikan perusahaan. Namun, tingkat kepemilikan manajerial yang terlalu tinggi juga dapat berdampak buruk terhadap perusahaan. Dengan kepemilikan manajerial yang tinggi, manajer mempunyai hak voting yang tinggi sehingga manajer mempunyai
posisi yang kuat untuk mengendalikan perusahaan, hal ini dapat menimbulkan masalah pertahanan, dalam artian, adanya kesulitan bagi para pemegang saham eksternal untuk mengendalikan tindakan manajer. Agency problem bisa dikurangi bila manajer memepunyai kepemilikan saham dalam perusahaan, semakin meningkat proporsi kepemilikan saham manajerial maka akan baik kinerja perusahaan. Kepemilikan saham yang besar dari segi ekonomisnya memiliki insentif untuk memonitor. Secara teoritis ketika kepemilikan manajerial rendah, maka insentif terhadap kemungkinan terjadinya oportunistik manajemen akan meningkat. Kepemilikan manajerial terhadap saham perusahaan dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara pemegang saham luar dengan manajemen. Sehingga permasalahan keagenan diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer adalah juga sekaligus sebagai seorang pemilik. Kepemilikan
manajerial
berhasil
menjadi
mekanisme
corporate
governance yang dapat mengurangi konflik kepentingan antara manajer dan berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan. Semakin besar kepemilikan saham manajerial dapat mencegah tindakan opportunistic manajer. Hubungan antara kepemilikan manajerial dengan discretionary accruals. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa adanya hubungan negatif antara kepemilikan manajerial dengan discretionary accruals. Penelitian yang menguji hubungan kepemilikan manajerial dengan discretionary accrual dan kandungan informasi laba menemukan bukti bahwa kepemilikan manajerial berhubungan secara negatif dengan discretionary accrual. Hasil penelitian tersebut juga manyatakan bahwa kualitas laba meningkat karena kepemilikan manajerial tinggi.
2.4 Agency Theory Pendekatan teori keagenan (agency theory) yang menyatakan bahwa praktek manajemen laba dipengaruhi oleh konflik kepentingan antara manajemen (agent) dan pemilik (principal) yang timbul ketika setiap pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan kemakmuran yang dikehendakinya. Dimana
prinsipal itu sendiri adalah pihak yang memberi mandate kepada agen (pemegang saham). Sedangkan agen adalah pihak yang mengerjakan mandate dari prinsipal (pemegang saham) yaitu manajemen yang mengelola perusahaan. Menurut Eisenhardt (1989) sebagaimana dikutip (Khomsiyah, 2005) teori keagenan (agency theory) digunakan untuk mengatasi dua masalah yang terjadi dalam hubungan keagenan. Pertama, masalah keagenan yang timbul pada saat keinginankeinginan prinsipal dan agen saling berlawanan dan merupakan hal yang sulit bagi prinsipal untuk melakukan verifikasi apakah agen telah melakukan sesuatu secara tepat. Kedua, masalah pembagian dalam menanggung risiko yang timbul dimana prinsipal dan agen memiliki sikap yang berbeda terhadap risiko. Dalam hubungan keagenan tersebut terdapat adanya pemisahan antara kepemilikan (pihak prinsipal) dengan pengendalian (pihak agen). Dimana perusahaan yang memisahkan fungsi pengelolaan dan fungsi kepemilikan akan mengakibatkan munculnya perbedaan kepentingan antara manajer dengan pemegang saham. Hal ini dapat terjadi karena para manajer tidak ikut serta menanggung risiko sebagai akibat dari pengambilan keputusan yang salah serta tidak dapat meningkatkan nilai perusahaan. Kajian terhadap masalah kepemilikan perusahaan (ownership) dapat dimulai dari pendekatan Agency Theory dan Signalling Theory. Kedua teori ini membahas perilaku manusia yang memiliki keterbatasan rasional (bounded rationality), mengutamakan kepentingan pribadi (self-interest) dan kecenderungan menolak risiko (risk averse). Teori keagenan (agency theory) menyatakan bahwa kinerja perusahaan dipengaruhi oleh adanya konflik kepentingan antara agen (Manajemen) dengan prinsipal (Pemilik/Investor) yang timbul ketika setiap pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendakinya. Konflik kepentingan antar agen dan prinsipal disebut sebagai masalah keagenan (agency problem). Sedangkan, Teori Signaling (signalling theory) membahas bagaimana seharusnya signal-signal keberhasilan atau kegagalan manajemen (agen) disampaikan kepada pemilik (principal). Laporan tentang kinerja perusahaan yang baik akan meningkatkan nilai perusahaan.
Sebagai pengelola perusahaan, manajer perusahaan tentu akan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu manajer sudah seharusnya selalu memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang dapat diberikan oleh manajer yakni melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Laporan keuangan merupakan hal yang sangat penting bagi para pengguna eksternal terutama sekali karena kelompok ini berada dalam kondisi yang paling besar ketidakpastiannya (Ali, 2002). Adanya ketidakseimbangan penguasaan informasi ini akan memicu munculnya kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi (information asymmetry). Manajer memiliki asimetri informasi terhadap pihak eksternal perusahaan seperti investor dan kreditor. Asimetri informasi terjadi ketika manajer memiliki informasi internal perusahaan yang relatif lebih banyak dan mengetahui informasi tersebut relatif lebih cepat dibandingkan pihak eksternal. Kondisi ini memberikan kesempatan kepada manajer untuk menggunakan informasi yang diketahuinya untuk memanipulasi pelaporan keuangan sebagai usaha untuk memaksimalkan kemakmurannya. Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan dimana masing-masing pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendaki (Ali, 2002). Menurut William R Scott (1967) informasi asimetri mempunyai dua tipe. Tipe pertama, adverse selection. Pada tipe ini, pihak yang merasa memiliki informasi lebih sedikit dibandingkan pihak lain tidak akan mau untuk melakukan perjanjian dengan pihak lain tersebut apapun bentuknya, dan jika tetap melakukan perjanjian, dia akan membatasi dengan kondisi yang sangat ketat dan biaya yang sangat tinggi. Contohnya, adalah kemungkinan konflik yang terjadi antara orang dalam (manajer) dengan orang luar (investor potensial). Berbagai cara dapat dilakukan oleh manajer untuk memperoleh informasi lebih dibandingkan investor, misalnya dengan menyembunyikan, menyamarkan, memanipulasi informasi yang diberikan kepada investor. Akibatnya, investor tidak yakin terhadap kualitas perusahaan, atau membeli saham perusahaan dengan harga sangat rendah. Contoh
lain dari informasi asimetri adalah ketika kreditor dan pemegang saham minoritas
memiliki informasi yang lebih sedikit dibandingkan manajer dan
pemegang saham mayoritas. Tipe kedua dari informasi asimetri adalah moral hazard. Moral hazard terjadi ketika manajer melakukan tindakan tanpa sepengetahuan pemilik untuk keuntungan pribadinya dan menurunkan kesejahteraan pemilik. Contohnya, pada perusahaan yang relatif besar, dengan terpisahnya kepemilikan dan pengendalian manajemen, maka sulit bagi pemegang saham dan kreditur untuk melihat sejauh mana kinerja manajer sejalan dengan tujuan yang diinginkan pemegang saham, manajer mungkin cenderung bekerja kurang
optimal. Moral hazard juga
menghambat operasi perusahaan secara efisien. Kemudian Eisenhardt (1989) menggunakan tiga asumsi sifat dasar manusia guna menjelaskan tentang teori agensi yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia kemungkinan besar akan bertindak berdasarkan sifat opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya (Haris, 2004). Berdasarkan teori keagenan, laporan keuangan dipersiapkan oleh manajemen sebagai pertanggung-jawaban stewardship mereka kepada prinsipal. Dalam kapasitasnya sebagai pihak yang menyediakan informasi keuangan dan secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, manajemen memiliki insentif untuk melaporkan segala sesuatu yang dapat memaksimumkan utilitas dirinya. Cara yang paling sering dilakukan adalah dengan merekayasa laba (earnings) yang menjadi fokus utama perhatian pihak eksternal sesuai dengan motivasi yang melatarbelakanginya.
2.4.1 Agency Cost Permasalahan yang merupakan akibat dari perbedaan kepentingan antara pihak manajemen dengan pemegang saham yang disebut agency problem. Masalah keagenan menimbulkan pengeluaran perusahaan untuk mencegah pihak
manajemen
perusahaan
melakukan
penyalahgunaan
wewenangnya
untuk
mengutamakan kepentingannya. Oleh karena itu, diperlukan suatu mekanisme pengawasan atau pemantauan untuk meminimumkan konflik kepentingan antara manajer dengan pemegang saham. Dimana biaya yang harus dikeluarkan pemilik untuk mengawasi dan memonitor kinerja manajemen sehingga mereka bekerja untuk kepentingan perusahaan disebut sebagai agency cost. Pengurangan agency cost dapat dilakukan dengan berbagai alternative diantaranya dengan meningkatkan proporsi kepemilikan manajerial (insider ownership). Dimana perusahaan akan meningkatkan kepemilikan manajerial untuk mensejajarkan kedudukan manajemen dengan pemegang saham sehingga terjadi persamaan kepentingan antara manajer dengan pemegang saham. Hal ini menyebabkan manajemen bertindak sesuai dengan keinginan pemegang saham, maka peningkatan tersebut membuat manajemen termotivasi untuk meningkatkan kinerja dan bertanggung jawab meningkatkan kemakmuran pemegang saham, dimana keputusan yang diambil akan menimbulkan manfaat bagi dirinya, sebaliknya manajer akan menanggung konsekuensi dari keputusan yang salah. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa struktur kepemilikan manajerial sebagai sebuah instrument atau alat untuk mengurangi konflik keagenan diantara berbagai klaim (claim holder) terhadap perusahaan. Oleh karena
itu,
perusahaan
meningkatkan
kepemilikan
manajerial
untuk
mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga bertindak sesuai dengan keinginan pemegang saham. Kepemilikan manajerial dapat diukur sebagai prosentase saham biasa atau opsi saham yang dimiliki direktur atau officer. Dengan adanya peningkatan prosentase kepemilikan akan mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham, maka manajer termotivasi meningkatkan kinerja dan bertanggung jawab meningkatkan kemakmuran pemegang saham. Sementara itu fama (1980) dalam Widana (2007) mengatakan bahwa ada nya pemisahan kepemilikan dan pengawasan atas suatu sekuritas kedalam suatu set perspektif perjanjian diantara
gen dan prinsipal merupakan suatu bentuk
organisasi yang efisien. Pernyataan tersebut menekankan bagaimana pentingnya
hubungan
keagenan ini. Dalam manajemen keunggulan
memaximalkan
kemakmuran stockholders telah menjadi tujuan perusahaan, kemakmuran stockholders akan tercermindari nilai perusahan. Namun demikian, dalam prakteknya
tidak
sedikit
manager
atau
insiderini
bukan
atas
nama
stackholdermanajemen perusahaan cenderung lebih mengutamakan pemenuhan kepentingannya melalui asset perusahaan yang mereka kuasai, perilaku seperti ini biasanya sering disebut dengan keterbatasan rasional (bouded rational) dan terkait dengan sifat keengganan mennggung resiko (risk averse). Menurut Jensen dan Meckling (1976) yang dikutip (Aida, 2004) dalam perusahaan, agency cost dibagi menjadi tiga jenis, yaitu : Pertama, the monitoring cost berarti biaya yang harus dikeluarkan dan ditanggung oleh prinsipal (pemilik) untuk memonitoring perilaku agen. Kedua, the bonding cost merupakan biaya yang harus ditanggung oleh agen untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agen akan bertindak untuk kepentingan prinsipal. Ketiga, the residual cost merupakan pengorbanan sebagai akibat berkurangnya kemakmuran prinsipal dari perbedaan keputusan antara prinsipal dan agen. Dari ketiga biaya tersebut, biaya yang sering dipakai untuk mengukur agency cost adalah monitoring cost. Adapun rumus monitoring cost adalah: Monitoring Cost ==
OperationExpenses NetSales
2.5 Hubungan antara Kebijakan Deviden, Leverage dan Kepemilikan Manajerial Terhadap Agency cost.
2.5.1 Hubungan Kebijakan dividen terhadap Agency cost Keputusan pembagian dividen ditentukan oleh pemegang saham melalui RUPS memberikan konsekuensi bahwa besar kecilnya dividen dapat dijadikan alat bagi pemegang saham untuk mengendalikan manajemen. Hubungan keagenan antara pemilik perusahaan dengan manajemen menciptakan kesempatan bagi manajemen untuk mengejar tujuan pribadinya di samping memaksimalkan
kesejahteraan pemilik. Beberapa penelitian meneliti tentang bagaimana dividen dijadikan dasar bagi pemegang saham dalam mengendalikan manajemen. Schooley et al. (1994) mengungkapkan bahwa kebijakan dividen dan manajerial digunakan untuk menurunkan biaya keagenan. Mereka menguji kebijakan dividen dan kepemilikan saham sebagai suatu hal yang saling berhubungan untuk mengurangi biaya keagenan. Dengan memberikan kepemilikan saham bagi manajemen mungkin dapat mengurangi biaya keagenan. Pembayaran dividen menyebabkan jumlah dana yang dikelola oleh perusahaan menjadi semakin kecil. Demikian juga dengan memberikan kepemilikan saham menyebabkan manajemen mungkin tidak akan melakukan manipulasi karena di samping sebagai manajemen dia juga berposisi sebagai pemilik perusahaan (insider ownership). Pengembangan hipotesis penelitian ini terutama didasarkan pada teori keagenan untuk menjelaskan adanya perbedaan kepentingan antara manajemen dan pemegang saham yang dijelaskan melalui kebijakan dividen, leverage, dan kepemilikan manajerial (Jensen, 1986). Penentuan besarnya dividen merupakan salah satu alat yang digunakan oleh pemegang saham untuk mengendalikan jumlah dana yang berada di tangan manajemen. Dengan semakin kecilnya jumlah dana yang dipegang oleh manajemen dapat memperkecil pengawasan oleh pihak pemegang saham. Penelitian yang meneliti tentang dividen sebagai alat kontrol pemegang saham kepada manajemen dilakukan oleh beberapa peneliti, antara lain Schelenger et al. (1989) dan Huberman (1990). Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikembangkan hipotesis bahwa Kebijakan dividen berpengaruh negatif terhadap Agency cost.
2.5.2 Hubungan Leverage terhadap Agency cost Menurut Weston dan Brigham (1997) dalam Kristya (2007) leverage adalah tingkat penggunaan utang sebagai sumber pembiayaan perusahaan. Menurut Sawir (2004 :10) dalam widana (2007) leverage keuangan adalah penggunaan sumber dana yang menimbulkan beban tetap keuangan. Beban tetap keuangan yaitu bunga yang harus dibayar tanpa mempedulikan tingkat laba perusahaan.
Adapun rasio pengelolaan utang dibagi menjadi tiga yaitu, rasio utang, rasio kemampuan membayar bunga atau Time Interest Earned (TIE), dan rasio kemampuan membayarkan beban tetap. Menurut Jensen dan Meckling (1976) cara lain dalam mengurangi permasalahan agensi adalah dengan meningkatkan utang. Semakin besar utang maka perusahaan harus mencadangkan lebih banyak kas untuk membayar bunga serta pokok pinjaman sehingga akan memperkecil dana yang menganggur . Dari pihak pemegang saham, kebijakan peningkatan utang dapat mengurangi pengawasan terhadap manajemen karena pihak ketiga yang meminjamkan dana (bondholder) akan melakukan pengawasan terhadap manajemen agar pinjamannya tidak disalahgunakan. Rozeff (1982) menyatakan bahwa keputusan keuangan, seperti dividen,Leverage, dan kepemilikan manajerial mempengaruhi masalah keagenan. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dikembangkan hipotesis bahwa Leverage berpengaruh negatif terhadap kos keagenan. 2.5.3 Hubungan Manajerial Ownership dengan Agency Cost Struktur kepemilikan merupakan suatu mekanisme untuk mengurangi konflik kepentingan antara manajer dengan pemegang saham. Para pemegang saham yang mempunyai kedudukan di manajemen perusahaan baik sebagai kreditur maupun sebagai dewan komisaris disebut sebagai kepemilikan manajerial (managerial ownership).
Adanya
kepemilikan
saham
oleh
pihak
manajemen
akan
menimbulkan suatu pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh manajemen perusahaan. Kepemilikan manajerial juga dapat diartikan sebagai persentase saham yang dimiliki oleh manajer dan direktur perusahaan pada akhir tahun untuk masing-masing periode pengamatan. Perusahaan yang manajemennya juga sebagai pemegang saham (manajer pemilik) menyebabkan konflik kebijakan dividen semakin kecil. Jensen & Meckling (1976) berpendapat bahwa pemilik akan dapat meyakinkan dirinya bahwa agen akan membuat keputusan yang optimal bila diberikan insentif yang memadai. Salah satu carannya adalah dengan memberikan kepemilikan kepada manajemen. Kos
keagenan dalam suatu perusahaan yang dikelola oleh manajer pemilik akan lebih rendah karena ada kepentingan yang sama antara pemegang saham dan manajemen (Jensen & Meckling, 1976). Kondisi ini disebabkan oleh manajer pemilik tidak terlalu terbebani dengan kewajiban untuk mengatur laba (yang bersifat moral hazard). Demsetz dan Lehn (1985) menyimpulkan bahwa konsentrasi kepemilikan digunakan perusahaan untuk menghilangkan masalah keagenan. Crutchley dan Hansen (1989), Bathala, Moon, dan Rao (1994) menyimpulkan bahwa level kepemilikan manajerial yang lebih tinggi dapat digunakan untuk mengurangi masalah keagenan. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat
dikembangkan
hipotesis
berikut
berpengaruh negatif terhadap Agency cost.
bahwa
Kepemilikan
Manajerial