BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perencanaan Struktur Beton Bertulang Beton didapat dari pencampuran bahan-bahan agregat halus dan kasar yaitu pasir, batu-batu pecah atau bahan semacam lainnya, dengan menambahkan secukupnya bahan perekat semen dan air sebagai bahan pembantu guna keperluan reaksi kimia selama proses pengerasan dan perewatan beton berlangsung. Nilai kuat tekan beton relatif tinggi dibandingkan dengan kuat tariknya dan beton merupakan bahan yang bersifat getas. Umumnya beton diperkuat dengan batang tulangan baja sebagai bahan yang dapat bekerja sama dan membantu dalam menahan gaya tarik. Sehingga pada beton bertulang, tulangan baja bertugas memperkuat dan menahan gaya tarik sedangkan beton diperhitungkan untuk menahan gaya tekan. Beton dan baja tulangan dapat bekerja sama dengan didasarkan pada keadaan-keadaan: a. Lekatan sempurna antara batang tulangan baja dengan beton yang membungkusnya. b. Beton bersifat kedap sehingga mampu melindungi dan mencegah terjadinya karat baja. c. Angka muai beton dan baja hampir sama.
Universitas Sumatera Utara
Dalam perencanaan struktur beton bertulang hal yang harus diperhatikan adalah perilaku komponen struktur beton bertulang pada waktu menahan berbagai beban diantaranya adalah gaya aksial, gaya geser, puntiran ataupun gaya gabungan dari gaya-gaya tersebut. Secara umum dapat dipahami bahwa perilaku tersebut tergantung pada hubungan tegangan-regangan yang terjadi pada beton dan juga jenis tegangan yang ditahan. Karena sifat beton yang hanya mempunyai nilai kuat tarik rendah, maka pada umumnya hanya diperhitungkan kuat desak yang bekerja pada daerah tekan pada penampangnya, dan hubungan tegangan-regangan yang timbul karena pengaruh gaya tekan tersebut digunakan sebagai bahan pertimbangan. Adapun struktur pendukung untuk rumah dan gedung adalah sebagai berikut : 1. Plat Plat lantai menerima beban yang bekerja tegak lurus terhadap permukaan plat. Berdasarkan kemampuannya untuk menyalurkan gaya akibat beban, pelat lantai dibedakan menjadi : plat satu arah, yaitu plat yang didukung pada kedua tepi sisi yang berhadapan sehingga lenturan timbul pada arah tegak lurus terhadap arah dukungan tepi, dan plat dua arah, yaitu plat yang didukung pada keempat sisinya yang dibatasi oleh dua balok induk pada sisi pendeknya dan dua balok anak pada sisi panjangnya. Plat lantai yang dirancang adalah plat lantai dua arah yang didukung pada keempat sisinya. Untuk memudahkan perancangan akan digunakan tabel dari grafik dan hitungan beton bertulang berdasarkan SNI-03-2847-2002. Tebal plat harus memenuhi syarat tebal plat minimum pada SNI-03-28472002 ayat 11.5.(3(3)) :
Universitas Sumatera Utara
a) Tidak boleh kurang dari nilai
atau
b) Tetapi tidak boleh lebih dari (SK SNI T-15-1991-03 ayat 3.2.5 butir 3):
dimana:
h
= tebal pelat
ln
= panjang bentang bersih balok dalam arah melintang
β
= perbandingan antara bentang bersih dalam arah memanjang terhadap arah melintang dari pelat dua arah.
αm = nilai rata-rata dari α
Ecb = modulus elastis pada beton Ecs = modulus elastis pada pelat. Dalam segala hal tebal pelat minimum tidak boleh kurang dari nilai berikut : • αm < 2, tebal pelat minimum 120 mm • αm ≥ 2, tebal pelat minimum 90 mm.
Universitas Sumatera Utara
2. Balok Bentangan plat tidak dapat panjang karena ada ketebalan tertentu (termasuk berat sendiri), karena akan menghasilkan strkutr yang tidak hemat dan praktis. Oleh karena itu banyak dikembangkan jenis sistem struktur plat yang bertujan untuk mendapatkan bentang sepanjang mungkin. Salah satunya adalah sistem balok anak dan balok induk serta kolom sebagai penopang struktur keseluruhan. Analisis dan perencanaan balok yang dicetak menjadi satu kesatuan monolit dengan pelat lantai atau atap didasrkan pada anggapan bahwa antra plat dengan balok terjadi interakasi saat menahan momen lentur positif yang bekerja pada balok. Interaksi antara plat dan balok yang menjadi satu kesatuan pada penampangnya membentk huruf T tipilal sehingga itulah dinamakan sebagai balok T. plat akan berlaku sebagai lapis sayap (flens). Flens juga harus direncanakan dan diperhitungkan tersendiri terhadap balok pendukungnya. 3.
Kolom Pada pasal 10.8 SNI-03-2847-2002 memberikan defenisi kolom adalah
komponen strkutur bangunan yang tugas utamanya menyangga beban aksial tekan vertical dengan bagian tinggi yang tidak ditopang paling tidak tiga kali dimensi lateral terkecil. Sebagai bagian dari suatu kerangka bangunan dengan fungsi dan peran seperti itu, kolom menempati posisi penting didalam sistem struktur bangunan. Kegagalan kolom akan berakibat langsung pada runtuhnya komponen struktur lain yang berhubungan dengannya,atau bahkan merupakan batas runtuh total keseluruhan bangunan. Pada umumnya keruntuhan atau kegagalan atau keruntuhan kolom sebagai komponen tekan tidak diawali dengan tanda peringatan yang jelas, bersifat
Universitas Sumatera Utara
mendadak. Oleh karena itu, dalam merencanakan struktur kolom harus memperhitungkan secara cermat dengan memberikan cadangan kekuatan lebih tinggi daripada untuk komponen struktur lainnya. Dalam prakteknya kolom tidak hanya bertugas menahan beban aksial vertikal, definisi kolom diperluas mencakup untuk menahan kombinasi beban aksial dan momen lentur,dengan kata lain kolom juga diperhitungkan untuk menyangga beban aksial tekan dengan eksentrisitas tertentu. 4.
Momen Berdasarkan kondisi dilapangan serta beban yang menyebabkan terjadinya,
momen dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: a. Momen Lentur Beban yang bekerja pada struktur, baik yang berupa beban gravitasi, beban hidup, beban angin, beban berat sendiri dari struktur tersebut maupun beban-beban yang lain, menyebabkan terjadinya lentur dan deformasi pada elemen struktur. Lentur pada balok merupakan akibat dari regangan yang timbul karena adanya beban. Apabila bebannya bertambah maka akan terjadi regangan tambahan yang menyebabkan timbulnya retak lentur disepanjang bentang balok. Momen merupakan beban yang berbanding lurus dengan jarak. Akibat adanya momen, balok mengalami lenturan pada balok yang mengakibatkan retak pada balok. Mengingat sifat beton hanya tahan terhadap gaya tekan saja, maka diperlukan adanya tulangan baja untuk dapat menahan tegangan tarik yang terjadi.
Universitas Sumatera Utara
b. Momen Torsi (puntir) Gaya torsi terjadi pada saat suatu komponen memikul beban gaya sedemikian sehingga terpuntir terhadap sumbu memanjangnya. Momen puntir ini sering menyebabkan tegangan geser yang cukup besar. Gaya torsi cendrung terjadi pada batang yang berpenampang bukan bulat. Gaya torsi yang timbul mengakibatkan retak tarik diagonal seperti yang diakibatkan oleh gaya geser lentur. Selain terjadi pada elemen struktur beton bertulangnya seperti pada balok, momen putir juga terjadi pada bangunan itu sendiri. Pada balok, untuk mengurangi resiko akibat momen torsi, diperlukan tulangan baja yang dipasang melintang dengan arah retakan, umumnya dipasang pada arah memanjang balok. Pada bangunan, untuk menghindari terjadinya torsi, salah satunya adalah menjaga agar titik berat bangunan berhimpit dengan titik massa bangunan tersebut dan sebaiknya menghindari bentuk struktur bangunan seperti gambar dibawah ini.
Gambar 2.1 Denah struktur bangunan
Universitas Sumatera Utara
5. Gaya Lintang Gaya lintang merupakan gaya yang tegak lurus sumbu bagian konstruksi yang ditinjau. Gaya lintang yang terjadi mengakibatkan terjadinya geser. Akibat terjadinya lenturan, balok juga menahan gaya geser. Dalam konsep beton bertulang, apabila gaya geser yang bekerja sangat besar sehingga beton tidak mampu menahanya, maka diperlukan tulangan tambahan untuk dapat menahan gaya yang tejadi. Tegangan geser dan lentur akan timbul disepanjang komponen struktur tempat bekerjanya gaya geser dan momen lentur. Terjadinya lentur ditahan oleh tulangan longitudinal, sedangkan untuk gaya geser, ditahan oleh tulangan tambahan berupa sengkang. Adapun mekanisme perlawanan geser sebagai berikut: a. Adanya perlawanan geser beton sebelum terjadi retak. b. Adanya gaya ikatan antar agregat c. Timbulya aksi pasak tulangan longitudinal sebagai perlawanan terhadap gaya transversal yang harus ditahan. d. Terjadinya perlengkungan pada balok yang relatif tinggi. e. Adanya perlawanan penulangan geser yang berupa sengkang vertikal ataupun miring (untuk balok bertulangan geser). 6.
Gaya Normal Gaya normal merupakan gaya yang sejajar sumbu bagian konstruksi yang
ditinjau. Pada stuktur bangunan, yang mengalami gaya normal atau aksial paling besar adalah kolom. Pada kolom gaya aksial sangat dominan sehingga keruntuhan sangat sulit dihindari. Apabila beban ditambah, maka retak akan terjadi diseluruh badan kolom tersebut dan apabila bebannya terus bertambah, maka akan terjadi
Universitas Sumatera Utara
keruntuhan dan tekuk (buckling) yang ditandai dengan lepas atau hancurnya selimut beton kemudian diikuti dengan lelehnya tulangan baja. Untuk mencegah terjadinya keruntuhan dan buckling, kolom diusahakan tidak terlalu panjang/tinggi dan penulangan kolom harus sangat diperhatikan, baik tulangan memanjang, maupun sengkangnya. 7.
Lendutan Komponen struktur beton bertulang yang mengalami lentur harus
direncanakan agar mempunyai kekakuan yang cukup untuk membatasi lendutan atau deformasi apapun yang dapat memperlemah kekuatan ataupun mengurangi kemampuan layan struktur pada beban kerja. Besar lendutan yang terjadi dapat diatasi dengan meningkatkan inersia tampang tersebut. Untuk konstruksi dua arah, semua lendutan yang dihitung dengan menggunakan formula standar atau cara lain tidak boleh melebihi nilai lendutan izin maksimum yang ditetapkan dalam SNI 03-2847-2002. Rumus-rumus standar untuk untuk perhitungan lendutan diberikan dalam buku-buku mekanika teknik. Rumus lendutan δ untuk tengah-tengah bentang sebuah balok tertumpu bebas dengan panjang l dan EI konstan, serta letak beban terpusat ditengah bentang adalah Tabel 2.1 Lendutan izin maksimum
Universitas Sumatera Utara
Untuk balok yang mendapatkan beban terbagi rata sepanjang balok, lendutan di tengah-tengah bentang adalah
Sedangkan lendutan dari pelat pada umumnya dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
atau
Universitas Sumatera Utara
2.2 Konsep Perencanaan Terhadap Gaya Gempa 2.2.1 Sejarah Penggunaan Gaya Horizontal Akibat adanya Gempa Ketika gempa bumi terjadi tanah akan bergetar dan bangunan akan bergoyang-goyang. Setelah mengalami sejarah yang panjang, goyangan massa bangunan kemudian dianalogikan sebagai akibat dari adanya beban horizontal dinamik yang bekerja pada massa bangunan yang bersangkutan. Hal ini seperti yang disajikan pada Gambar 2.1. Prinsip ini sudah diketahui sejak awal abad ke-20 tepatnya setelah gempa San Fransisco USA (1906) dan gempa Messina-Regio Italia (1908). Pada saat itu efek beban dinamik pada struktur bangunan belum sepenuhnya dikuasai, terutama secara analitik. Suatu komisi yang terdiri para ahli yang bertugas mempelajari perilaku bangunan gedung tahan gempa yang pada akhirnya menghasilkan dua rekomendasi yang berbeda yaitu bangunan diisolasi terhadap tanah dengan dukungan roll sementara rekomendasi yang lain bangunan disatukan secara rigid dengan fondasi,yang pada akhirnya rekomendasi kedua inilah yang diambil sebagai keputusan akhir. Efek beban dinamik terhadap bangunan kemudian disederhanakan yaitu menjadi beban ekivalen statik yang bekerja pada massa bangunan yang bersangkutan. Kemudian pada tahun 1909 disetujui bahwa suatu bangunan harus didisain dengan beban horisontal paling tidak
dari berat total
bangunan. Setelah terjadi pengembangan
Universitas Sumatera Utara
a). Struktur SDOF dengan beban gempa
b). Struktur yang bergoyang
c). Beban horizontal ekuivalen Gambar 2.2 Representasi Beban Horizontal Akibat Gempa Bumi.
2.2.2 Analisis Beban Statik Ekivalen Perkembangan beban yang berkaitan dengan gempa bumi terus mengalami banyak perubahan, setelah itu pula banyak gempa besar terjadi misalnya gempa El Centro 1994, gempa Taft 1952, gempa Perlu 1940, gempa Chile 1943, yang mendorong untuk memperbaiki konsep beban horisontal akibat gempa. Beban ekivalen statik ini mempunyai karakter yang berbeda dengan beban statik. Intensitas beban statik misalnya beban gravitasi, beban angin maupun beban salju ditentukan
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan nilai ratarata maksimum. Karakter-karakter tersebut berbeda pada beban ekivalen statik. Beban ekivalen statik adalah suatu representasi dari beban gempa setelah disederhanakan dan dimodifikasi, yang mana gaya inersia yang bekerja pada suatu massa akibat gempa disederhanakan menjadi ekivalen beban statik. Jadi beban ekivalen statik adalah beban yang equivalent dengan beban gempa yang membebani bangunan dalam batas-batas tertentu sehingga tidak terjadi overstress pada bangunan yang bersangkutan. Sedangkan untuk tujuan pembebanan yang lebih teliti guna memperoleh jaminan yang lebih besar, maka harus dipakai konsep beban yang lain, misalnya dengan cara dinamik analisis. Bergetarnya bangunan akibat gempa kemudian disederhanakan seolah-olah terdapat gaya horisontal yang bekerja pada massa bangunan. Apabila bangunan mempunyai banyak massa maka terdapat banyak gaya horisontal yang masingmasing bekerja pada massa-massa tersebut. Sesuai dengan prinsip keseimbangan maka dapat dianalogikan seperti adanya gaya horisontal yang bekerja pada dasar bangunan yang kemudian disebut Gaya Geser Dasar, V. Gaya geser dasar ini secara keseluruhan membentuk keseimbangan dengan gaya horisontal yang bekerja pada tiap-tiap massa bangunan tersebut. Beban geser nominal, V yang bekerja pada bangunan menurut SNI 03-17262003 dapat dihitung dengan :
Dimana :
V = Beban geser nominal static ekivalen = Nilai faktor respon spectrum I = Faktor keutamaan bangunan
Universitas Sumatera Utara
= Berat total bangunan. R = Faktor reduksi gempa Dinamik karakteristik bangunan adalah massa, kekakuan dan redaman. Dalam konsep ekivalen statik hanya massa yang diperhitungkan, dan inilah yang menjadi perbedaan utama antara konsep statik dan konsep dinamik. Apabila terdapat simpangan horisontal akibat gempa sebagaimana tampak pada Gambar 2.2.a, maka simpangan horisontal y tersebut seolah-olah adalah akibat dari adanya gaya horisontal H. Konsep adanya gaya horizontal H akibat gempa kemudian menjadi lebih jelas pada stick model seperti pada Gambar 2.2.c. Pada gambar tersebut terdapat keseimbangan antara gaya geser dasar V dengan gaya horisontal H yang bekerja pada massa.
a). Struktur SDOF
b). Gaya Geser
c). Stick Model
Gambar 2.3 Gaya Geser Dasar.
Di setiap tempat lokal maupun global biasanya mempunyai kondisi geologi, topografi dan kondisi tanah yang berbeda. Pada tempat-tempat tersebut juga mempunyai
frekuensi
kejadian,
mekanisme
kejadian,
ukuran
gempa
dan
kemungkinan daya rusak gempa yang berbeda-beda. Hal-hal tersebut adalah faktor pertama yang mempengaruhi koefisien gempa dasar C. Apabila terjadi gempa, maka
Universitas Sumatera Utara
daerah tersebut akan mempunyai respon dan juga resiko gempa yang berbeda pula. Faktor yang kedua adalah berhubungan dengan kondisi tanah setempat (tanah lokal). Pengalaman dari beberapa kejadian gempa bumi menunjukkan bahwa kondisi tanah lokalyang ditunjukkan oleh jenis, properti dan tebal lapisan tanah berpengaruh terhadap respon tanah dan kerusakan bangunan. Jenis tanah menurut SNI 03-17262002 adalah tanah keras dan tanah lunak, yang kedua-duanya mempunyai definisi yang jelas. Untuk semua daerah gempa, kedua jenis tanah tersebut akan berpengaruh terhadap nilai koefisien gempa dasar C. Faktor ketiga yang mempengaruhi koefisien gempa dasar C adalah periode getar T struktur. Dengan demikian untuk memperoleh koefisien gempa dasar C umumnya terdapat tiga pertanyaan yang harus dijawab yaitu dimana bangunan akan dibangun, jenis tanah dimana bangunan akan didirikan, dan periode getar struktur. Agar perencanaan struktur beton dapat dilakukan dengan cara yang sederhana (analisis statis ekivalent) tanpa melakukan analisis yang rumit (analisis dynamis) dan prilaku struktur diharapkan sangat baik bila dilanda gempa, maka tata letak struktur sangat penting untuk diatur. Tentunya tidak ada suatu bentuk struktur yang sangat ideal memenuhi semua syarat-syarat yang diijinkan tetapi beberapa pedoman dasar dibawah ini dapat dipakai sebagai acuan dalam merencanakan tata letak struktur. 1. Bangunan harus mempunyai bentuk yang sederhana 2. Bentuk yang simetris 3. Tidak terlalu langsing baik pada denahnya maupun potongannya 4. Distribusi kekuatan sepanjang tinggi bangunan seragam dan menerus 5. Kekakuan yang cukup
Universitas Sumatera Utara
6. Terbentuknya sendi plastis harus terjadi pada elemen-elemen horisontal lebih dahulu dibandingkan dengan elemen vertikal.
2.2.3 Wilayah Gempa Indonesia Indonesia merupakan zona patahan lempeng bumi, dimana lempeng tersebut sering terjadi patahan, lipatan, yang mengakibatkan terjadinya getaran sehingga menjadikan Indonesia daerah yang rawan gempa. Namun tidak semua daerah Indonesia memiliki kekuatan getaran gempa yang sama. Oleh karena itu, di Indonesia dibagi menjadi enam wilayah gempa, mulai dari wilayah yang gempa paling rendah hingga wilayah gempa yang paling tinggi. Pembagian gempa menurut SNI 03-1726-2003 adalah sebagai berikut:
Gambar 2.4 Pembagian wilayah gempa indonesia
Universitas Sumatera Utara
Grafik 2.1 Respon Spektrum Gempa Rencana
Universitas Sumatera Utara
2.2.4 Kondisi Tanah Indonesia terletak pada daerah patahan aktif, akibat terjadnya patahan pada lempeng bumi Indonesia menjadi kawasan yang rawan gempa. Tiap-tiap wilayah gempa mempunyai spektrum respons sendiri-sendiri sebagaimana yang tampak pada Gambar 2.4. Pada Gambar 2.4 tersebut terdapat 6 spektrum respon masing-masing untuk tiap wilayah gempa. Tampak bahwa absis spektrum menunjukkan periode getar struktur T dalam detik sedangkan ordinatnya merupakan nilai koefisien gempa dasar C (tidak berdimensi). Pada setiap gambar tersebut juga tampak spektrum respon untuk tanah keras, tanah sedang dan tanah lunak. Berdasarkan SNI 03-1726-2003 jenis tanah ditetapkan sebagai Tanah Keras, Tanah Sedang dan Tanah Lunak, apabila untuk lapisan setebal maksimum 30 m paling atas dipenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam Tabel dibawah ini.
Tabel 2.2 Jenis-jenis tanah
Universitas Sumatera Utara
Dimana untuk menentukan
Dengan :
ti
= tebal lapisan tanah ke-i
Ni
= nilai hasil test penetrasi standart ke-i
Nilai N didapat dari tes penetrasi standar. Berbeda dengan Amerika Serikat yang menggunakan SPT (Standart Penetration Test) untuk mendapatkan nilai perlawanan tanah, di Indonesia percobaan SPT jarang digunakan, umumnya yang digunakan adalah alat Sondir (Dutch Penetrometer Test), karena lebih sesui dengan kondisi tanah di Indonesia dan juga hasilnya lebih dapat dipercaya. Untuk itu, diperlukan adanya suatu konversi dari nilai hasil sondir ke N-SPT. Menurut prof. weasley dalam bukunya yang berjudul mekanika tanah, dinyatakan bahwa nilai NSPT = qc/4, dimana qc = perlawanan penetrasi konus (nilai sondir), seperti pada gambar berikut.
Grafik 2.2 Konversi Nilai Sondir ke N-SPT
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan SKBI-1.3.53.1987 menyebutkan bahwa untuk pemakaian pedoman ini suatu struktur gedung harus dianggap berdiri di atas tanah bawah yang lunak, apabila struktur gedung tersebut terletak di atas endapan-endapan tanah dengan kedalaman-kedalaman yang melampaui nilai-nilai yang disebut dibawah ini : a. Untuk tanah kohesif dengan kekuatan geser pada kadar air tetap rata-rata tidak lebih dari 0,5 kg/cm2 : 6 m b. Untuk setiap tempat dimana lapisan yang menutupinya terdiri dari tanah kohesif dengan kekuatan geser pada kadar air tetap ratarata tidak lebih dari 1 kg/cm2 atau terdiri dari tanah butiran yang sangat padat : 9 m c. Untuk tanah kohesif dengan kekuatan geser pada kadar air tetap rata-rata tidak lebih dari 2 kg/cm2 : 12 m d. Untuk tanah butiran terikat yang sangat padat : 20 m Kedalaman harus diukur dari tingkat dimana tanah mulai memberikan penjepitan lateral yang efektif kepada struktur gedung. Tanah bawah yang lebih dangkal dari pembatasan-pembatasan di atas harus dianggap sebagai tanah keras. Analisis beban statik ekivalen juga dipengaruhi atas beberapa faktor, yaitu sebagai berikut : 1). Faktor Keutamaan Bangunan (I) Setiap bangunan umumnya didirikan dengan maksud pemakaian tertentu. Pada tiap-tiap jenis pemakaian, suatu bangunan harus mempunyai kemampuan minimum untuk melindungi pemakainya. Mengingat hal tersebut, maka pengamanan bangunan dengan cara mengurangi resiko terhadap kerusakan bangunan merupakan sesuatu yang penting. Pengamanan bangunan tersebut diakomodasikan dengan menggunakan faktor keutamaan bangunan I. factor
Universitas Sumatera Utara
keutamaan bangunan I unutk berbagai jenis bangunan menurut SNI 03-17262003 adalah sebagai berikut: Tabel 2.3 Faktor keutamaan I untuk berbagai kategori gedung dan bangunan
2). Faktor Reduksi Gempa (R) Faktor reduksi gempa adalah untuk menjadikan beban gempa tersebut menjadi beban gempa nominal sesuai dengan faktor daktalitas yang dipilih untuk struktur bangunan tersebut. Adapun persamaan faktor reduksi gempa sebagai berikut: 2,2 ≤ R = µ .
≤
Dalam persamaan diatas, R = 2,2 adalah faktor reduksi gempa untuk bangunan gedung yang berprilaku elastik, sedangkan
adalah faktor reduksi
gempa maksimum yang terdapat dalam tabel 2.3. Nilai Dimana
≈ 1,6
adalah faktor tahanan lebih beban dan bahan yang terkandung dalam
struktur bangunan gedung. Dan µ merupakan nilai faktor daktalitas struktur bangunan gedung. Dalam perencanaan struktur bangunan gedung dapat dipilih menurut kebutuhan, tetapi tidak boleh diambil melebihi nilai factor daktalitas
Universitas Sumatera Utara
maksimum
yang dapat dikerahkan oleh masing-masing sistem atau
subsistem struktur bangunan gedung seperti yang dijelaskan dalam tabel 2.3.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.4 Faktor daktalitas maksimum, faktor reduksi gempa maksimum dan faktor tahanan lebih total beberapa system dan subsistem bangunan gedung.
Universitas Sumatera Utara
2.2.5 Analisis Dinamik Untuk gedung yang tidak beraturan dan bertingkat banyak, digunakan perencanaan analisis dinamik, Banyak metode yang digunakan dalam perencanaan struktur gedung dalam analisis dinamik, diantarnya adalah : 1. Analisis Ragam Spektrum respons Pada metode analisis ini kita menggunakan spectrum respons gempa rencana sebagai dasar untuk menetukan responsnya. dalam hal ini, analisis respons spektrum hanya dipakai unutk menentukan gaya geser tingkat nominal dinamik akibat pengaruh gempa rencana. Gaya-gaya internal dalam unsur struktur gedung didapat dari analisis 3 dimensi biasa berdasarkan beban-beban gempa statik ekuivalen. 2. Analisis Respons Dinamik Riwayat Waktu Dalam analisis ini, faktor I adalah untuk memperhitungkan kategori gedung yang ada, sedangkan faktor R adalah untuk menjadikan pembebanan gempa tersebut menjadi pembebanan gempa nominal. Yang lebih ditekankan pada percepatan tanah yang disimulasikan sebagai gerakan gempa. 2.2.6 Eksentrisitas rencana Pusat massa lantai tingkat suatu struktur merupakan titik tangkap resultan beban-beban yang bekerja pada lantai tingkat struktur tesebut. Pusat rotasi lantai tingkat suatu struktur adalah suatu titik pada lantai tingkat tersebut yang bila terjadi gaya horizontal, gaya tersebut tidak berotasi tetapi hanya bertranslasi. Antara pusat massa dan pusat rotasi lantai tingkat harus ditinjau suatu eksentrisitas rencana ed. apabila ukuran horizontal terbesar denah struktur gedung
Universitas Sumatera Utara
pada lantai tingkat itu diukur tegak lurus arah pembebanan gempa, dinyatakan dengan b, maka eksentrisitas rencana ed harus ditentukan sebagai berikut : 1. Untuk 0 < e ≤ 0,3 b ed = 1,5 e + 0,005 b atau ed = e – 0,05 b dan pilih diantara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan untuk unsure subsistem struktur gedung yang ditinjau. 2. Untuk e > 0,3 b ed = 1,33 e + 0,1 b atau ed = 1,17 e – 0,1 b serta pilih diantara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan untuk unsure subsistem struktur gedung yang ditinjau.
2.3 Konsep Strong Column Weak Beam Dalam perencanaan struktur beban di daerah gempa perencanaan Limit States designnya disebut capacity design yang berarti bahwa ragam keruntuhan struktur akibat beban gempa yang besar ditentukan lebih dahulu dengan elemen-elemen kritisnya dipilih sedemikian rupa agar mekanisme keruntuhannnya dapat memencarkan energi yang sebesar-besarnya. Agar elemen-elemen kritis dapat dijamin pembentukannya secara sempurna maka elemen-elemen lainnya harus direncanakan khusus, agar lebih kuat
Universitas Sumatera Utara
dibandingkan elemen-elemen kritis. Salah satu filsafat yang dikenal dalam perencanaan capacity disebut Strong Column Weak Beam atau kolom kuat balok lemah. Dalam SNI 03-1726-2003 pasal 4.5 dijelaskan bahwa struktur bangunan gedung berdaktalitas penuh harus memenuhi persyaratan kolom kuat balok lemah. Artinya ketika struktur bangunan gedung memikul pengaruh gempa rencana, sendisendi plastis dalam strutur bangunan gedung tersebut harus terbentuk demikian dapat dihindari terjadinya mekanisme tingkat (story mechanism). Implementasi persyaratan ini didalam struktur beton dan strutur baja ditetapkan dalam standar beton dan standar baja yang berlaku. Join diantara batang-batang seperti pertemuan balok dengan kolom sangat peka
terhadap
keretakan
awal
dibandingkan
dengan
batang-batang
yang
didukungnya akibat kerusakan-kerusakan pada semua joinnya. Untuk menghindari hal ini maka perencanaan join dilakukan dengan konsep desain kapasitas dan dua mekanisme yang terjadi yakni strut mekanisme dan truss mekanisme diperhitungkan dalam menahan kelebihan beban. Dalam peraturan-peraturan beton yang baru di seluruh dunia belum ada kesepakatan dalam perencanaan. Kesepakatan yang belum dapat disatukan adalah tentang ragam keruntuhan yang dapat diterima pada join balok kolom. Ada yang mengharapkan join balok kolom tetap dalam keadaan elastis, ada yang memperkenankan terjadinya kerusakan-kerusakan pada join balok kolom asal perilakunya masih sangat daktail.
Universitas Sumatera Utara
2.4 Pendetailan Kolom dan Balok yang Baik Banyak ahli struktur mengatakan bahwa dalam perencanaan bangunan didaerah gempa pendetailan struktur sama pentingnya dengan analisa struktur bahkan lebih penting karena beban gempa itu sangat sulit diperkirakan dan dihitung distribusi gayanya. Kerusakan-kerusakan yang terjadi akibat kurang baiknya pendetailan adalah a. Penampang kurang daktail b. Kerusakan akibat penjangkaran yang kurang panjang c. Strut dan Tie models yang tidak diperhitungkan dalam pendetailan d. Tertekuknya tulangan kolom Karena peranan daktilitas sangat besar pada kemampuan struktur untuk memancarkan energi pada waktu terjadinya gempa besar maka pendetailan yang baik sangat penting sekali dalam perencanaan struktur beton.
2.4.1 Pendetailan Balok Menurut SNI 03-2847-2002 pasal 23.3(1) balok merupakan salah satu komponen pemikul lentur, juga memikul beban gempa. Pada pendetailan ini direncanakan untuk wilayah gempa 4, 5 dan 6. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah: a. Perbandingan lebar tinggi adalah 0,3 dan lebar balok harus lebih besar dari 250 mm dan tidak boleh lebih besar dari lebar kolom yang mendukungnya ditambah ¾ kali tinggi balok. b. Gaya aksial tekan terfaktor pada komponen struktur tidak boleh melebihi '0,1Agf’c
Universitas Sumatera Utara
c. Bentang bersih komponen struktur ≥ 4 d d. Perbandingan lebar terhadap tinggi tidak boleh kurang dari 0,3 Adapun untuk penulangan longitudinal balok, persyaratan yang perlu diperhatikan adalah: 1). Tulangan minimal harus sedikitnya
dan
pada tiap
potongan atas dan bawah, kecuali untuk komponen struktur yang besar dan masif, luas tulangan yang diperlukan pada setiap penampang, positif atau negatif, paling sedikit harus sepertiga lebih besar dari yang diperlukan berdasarkan analisis. 2). Ratio tulangan ≤ 0,025. 3). Kekuatan momen positif dimuka kolom≥ ½ k uat momen negative dimuka kolom. 4). Sedikitnya dipasang 2 tulangan diatas dan bawah ditiap potongan secara menerus. 5). Pemakaian tulangan geser miring sebaiknya dihindarkan. 6). Pemutusan penulangan harus didasarkan bahwa sendi plastis yang direncanakan tempat terjadinya harus dijamin lokasinya sehingga tidak menimbulkan penampang-penampang kritis baru, pemutusan semua penulangan pada satu tempat sebaiknya dapat dihindarkan. 7). Sebaiknya untuk tulangan memanjang pada balok digunakan baja lunak untuk menjamin terbentuknya sendi plastis pada balok.
Universitas Sumatera Utara
Untuk penulangan tranversal balok yang harus diperhatikan antara lain: 1) Perencanaan didaerah gempa 5 dan 6, dinajurkan unutk menggunakan tulangan tertutup. Pada daerah hingga dua kali tinggi balok diukur dari muka tumpuan ke arah tengah bentang, di kedua ujung komponen struktur lentur. 2) Sengkang tertutup pertama harus dipasang tidak lebih dari 50 mm dari muka tumpuan. Jarak maksimum antara sengkang tertutup tidak boleh melebihi (a) d/4, (b) delapan kali diameter terkecil tulangan memanjang, (c) 24 kali diameter batang tulangan sengkang tertutup, dan (d) 300 mm. 3) Tulangan tranversal harus dipasang unutk menahan gaya geser. 4) Pada daerah yang tidak memerlukan sengkang tertutup, sengkang dengan kait gempa pada kedua ujungnya harus dipasang dengan spasi tidak lebih dari d/2 di sepanjang bentang komponen struktur ini.seperti gambar 2.6.
Gambar 2.5 Kait gempa pada daerah yang tidak memerlukan sengkang tertutup.
Universitas Sumatera Utara
2.4.2 Pendetailan Kolom 1. Spasi maksimum sengkang ikat yang dipasang pada rentang
dari muka
hubungan balok-kolom adalah
. Spasi
tersebut tidak boleh melebihi:
a. Delapan kali diameter tulangan longitudinal terkecil, b. 24 kali diameter sengkang ikat, c. Setengah dimensi penampang terkecil komponen struktur, dan d. 300 mm. Panjang l 0 tidak boleh kurang daripada nilai terbesar berikut ini: a. Seperenam tinggi bersih kolom, b. Dimensi terbesar penampang kolom, dan c. 500 mm. 2. Sengkang ikat pertama harus dipasang pada jarak tidak lebih daripada 0,5 dari muka hubungan balok-kolom. 3. Tulangan hubungan balok-kolom harus memenuhi 13.11(2). Yaitu pada sambungan-sambungan elemen portal ke kolom harus disediakan tulangan lateral dengan luas tidak kurang daripada yang disyaratkan dalam persamaan berikut
dan dipasang didalam kolom sejauh tidak kurang
daripada tinggi bagian sambungan paling tinggi dari elemen portal yang disambung, kecuali untuk sambungan yang bukan merupakan bagian dari sistem utama penahan beban gempa, yang dikekang pada keempat sisinya oleh balok atau pelat yang mempunyai ketebalan yang kira-kira sama.
Universitas Sumatera Utara
4. Spasi sengkang ikat pada sebarang penampang kolom tidak boleh melebihi 2 . 2.4.3 Penulangan Daktilitas pada Kolom Konsep daktilitas struktur adalah kemampuan suatu gedung utnk mengalami simpangan pasca-elastik yang besar secara berulang kali dan bolak-balik akibat gempa hingga terjadinya pelelehan pertama, sambil mempertahankan kekuatan dan kekakuan yang cukup sehingga struktur masih dapat berdiri walaupun telah diambang keruntuhan. Untuk mendapatkan konsep daktilitas pada struktur, elemenelemen struktur tersebut harus didesain secara khusus. Adapun persyaratan penulangan daktilitas pada kolom pada SNI beton 2002 pasal 23.4 : 1. Jumlah tulangan tranversal harus dipenuhi berdasarkan : a. Rasio volumetrik tulangan spiral atau sengkang cincin, dimana : ρs > 0.45
atau 0,12
b. Luas total penampang sengkang tertutup persegi tidak boleh kurang dari : Ash = 0,3 ( shc f’c / f yh ) [( Ag / Ach )-1] dan Ash = 0,09 ( shc f’c / f yh ) c. Tulangan tranversal harus berupa sengkang tunggal atau tumpuk. Tulangan pengikat silang dengan diameter dan spasi yang sama dengan diameter dan spasi sengkang tertutup boleh digunakan. Tiap ujung tulangan pengikat silang harus terkait pada tulangan longitudinal terluar. Pengikat silang yang berurutan harus ditempatkan secara berselang-seling berdasarkan bentuk kait ujungnya.
Universitas Sumatera Utara
d. Bila kuat rencana pada bagian inti komponen struktur telah memenuhi ketentuan kombinasi pembebanan termasuk pengaruh gempa maka persamaan Ash = 0,3 ( shc f’c / f yh ) [( Ag / Ach )] tidak perlu diperhatikan. e. Bila tebal selimut beton di luar tulangan tranversal pengekang melebihi 100mm, tulangan tranversal tambahan perlu dipasang dengan spasi tidak melebihi 300 mm. tebal selimut di luar tulangan tranversal tambahan tidak boleh melebihi 100 mm.
Gambar 2.6 Contoh penulangan daktilitas pada kolom.
2. Tulangan tranversal harus diletakkan dengan spasi lebih daripada : a. ¼ dimensi terkecil komponen struktur b. 6 x diameter tulangan utama c. Sx = 100 + Dimana 100 mm < Sx >150 mm.
Universitas Sumatera Utara
3. Tulangan pengikat silang tidak boleh dipasang dengan spasi lebih dari 350 mm dari sumbu ke sumbu dalam arah tegak lurus sumbu komponen struktur. 4. Tulangan tranversal yang sesuai dengan diatas harus dipasang sepanjang lo (panjang minimum diukur dari muka join sepanjang sumbu komponen struktur., dimana harus disediakan tulangan tranversal) pada kedua sisi dari setiap penampang yang berpotensi membentuk leleh lentur akibat deformasi lateral inelastik struktur rangka. Panjang lo ditentukan tidak kurang dari : a. Tinggi penampang komponen struktur pada muka hubungan balok kolom atau pada segmen yang berpotensi membentuk leleh lentur. b. 1/6 bentang bersih komponen struktur. c. 500 mm. 5. Bila gaya-gaya aksial terfaktor pada kolom akibat beban gempa melampaui Ag f’c / 10 dan gaya-gaya aksial tersebut berasal dari komponen struktur lainnya yang sangat kaku yang didukungnya, misalnya dinding. Maka kolom tersebut harus diberi tulangan tranversal sejumlah yang ditentukan diatas pada seluruh tinggi kolom. 6. Bila tulangan tranversal yang ditentukan diatas tidak dipasang diseluruh panjang kolom maka pada dearah sisanya harus dipasang tulangan spiral atau sengkang tertutup dengan spasi sumbu ke sumbu tidak lebih darpada nilai terkecil dari 6 x diameter tulangan longitudinal kolom atau 150 mm.
Universitas Sumatera Utara
2.5 Metode analisis Struktur Analisis dan pemodelan struktur dilakukan dengan menggunakan bantuan software analisa struktur secara tiga dimensi. Langkah-langkah analisis struktur adalah sebagai berikut : 1. Perhitungan pembebanan menurut ketentuan dari SK SNI 03-2847-2002 dan SNI 03-1726-2003 serta Pedoman Perencanaan Pembebanan Untuk Rumah dan Gedung 1987. 2. Perhitungan mekanika struktur akibat adanya kombinasi beban-beban yang bekerja pada struktur, yang meliputi beban mati, beban hidup, beban gempa, beban angin beserta kombinasinya, dengan menggunakan software analisa struktur. 3. Output software analisa struktur yang meliputi gaya lentur, gaya geser, dan gaya aksial yang bekerja pada masing-masing elemen struktur.
Universitas Sumatera Utara