BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perempuan dalam Mediasi Ideologi Film Media massa dapat menjadi reflektor dari ketidak-adilan gender dalam masyarakat karena menampilkan kehidupan manusia faktual maupun fiksional. Penampilan wacana ketidak-adilan ini seolah diterima sebagai kewajaran, karena pekerja media menghadirkan informasi tanpa disertai upaya yang menempatkan suatu wacana dalam suatu perspektif struktural. Komodifikasi perempauan dapat berlangsung di ruang publik, dari sini diangkat sebagai informasi media. Memperlakukan tubuh perempuan sebagai komoditi ini terjadi secara langsung dalam bisnis seks dan hiburan, atau secara tidak langsung dengan menjadikan perempuan sebagai teks dalam proses pasar media. Dalih dalam komodifikasi media biasanya karena perempuan yang bersangkutan sendiri menyukai atau mendapat
kemanfaatan
atas
posisinya
di
pasar.
9
Wacana perempuan dalam film dan program televisi dapat dikritisi melalu cara pandang yang digunakan dalam menjadikan perempuan sebagai subyek, untuk kemudian dilihat interaksinya dalam konteks kekuasaan. Dunia show-bis yan menjadikan perempuan sebagai sumber lawakan misalnya, menunjukkan ketidakadilan gender dari sktruktur kekuasaan yang tidak seimbang. Penonton perempuan boleh jadi juga ikut menertawakan lawakan ini, karena juga ikut
https:ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/08/potret-perempuan-dalam-film.pdf diakses pada tanggal 26 Desember 2015 9
12
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
sebagai bagian dari nilai dominan dalam kekuasaan sosial. Hiburan semacan ini hanya menjadi replika dari konstruksi sosial yang bias gender. Setiap media pada dasarnya melahirkan wacana, khusus media film menampilkan wacana teks visual dan auditif. Wacana merupakan makna yang ditangkap oleh khalayak, sedangkan teks adalah yang dikreasi oleh pekerja media. Teks dimaksudkan untuk menampung tema yang berasal dari materi faktual atau fiksional, dan ini lahir dari dialektika antara metode kerja (teknis) dan orientasi nilai (etis). Dari kedua aspek ini pekerja media mewujudkan informasi. Untuk itu dia akan mengolah tema dengan bahasa (visual dan auditif). Kecenderungannya mengolah tema dalam pendeskripsian ditentukan oleh kadar selera (taste)nya, sehingga seluruh informasi pada dasarnya akan mencerminkan tingkat taste dari kreatornya. Cerita film televisi indonesia yang lebih banyak mengeksploitasi perempuan di ruang privat, menyebabkan interaksi yang berlangsung hanya dalam konteks hubungan kekerabatan, pasangan suami isteri (pasutri), orang tua-anak, mertua-menantu, antar besan, antar ipar atau rival pasutri. Umumnya tema yang berkembang di sekitar masalah psikologis, sehingga cerita menjadi bersifat personal. Dari masalah psikologis semacam ini kemudian pola akting dipandang berhasil jika dapat mengekspresikan emosi secara optimal, di antaranya kalau menangis seperti histeri, kalau marahseperti paranoia.10 Sedang dunia hiburan dengan informasi bentukan memang tidak memindahkan fakta dari struktur sosial. Akan tetapi wacana yang dilahirkan sepenuhnya mencerminkan sikap dan pandangan hidup tentang dunia (worldview) https:ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/08/potret-perempuan-dalam-film.pdf diakses pada tanggal 26 Desember 2015 10
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
dari para kreatornya. Dengan kata lain, jika jurnalismen memindahkan ideologi yang berasal dari struktur sosial melalui fakta-fakta, maka suatu karya kreatif pada dasarnya menciptakan suatu dunia dari ideologi yang dianut kreatornya. Ideologi atau pandangan dunia yang mentoleransi penindasan karena berada pada posisi mayoritas atau struktur kekuasaan, tercermin dari eksploitasi perempuan dalam film dan program televisi yang diciptakan.11 Bahkan dalam film juga disajikan dengan cara mengkombinasikan tipetipe film tersebut, memadukan film yang sudah memiliki dialog langsung dengan penambahan narasi yang dibacakan oleh naratornya. Film menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak, dan kajian teknis, seperti apa yang dikatakan oleh Doug William (dalam; Arifianto, 2006:19), Film terbukti sebagai sebuah kendaraan utama yang memberikan pencerahan dalam memahami kompleksitas paradoks dari pembauran ruang dan waktu, lingkungan, teknologi juga kepribadian individu maupun hal-hal lain yang ada untuk mejadi fitur pada kehidupan masa kini. Kemampuan film untuk menampilkan realitas memberikan pemahaman kepada khalayak tentang lingkungannya. Hal ini yang membuat film dijadikan media untuk memahami suatu peristiwa sejarah tentang kehidupan sosial modern. Terjadinya tindak kekerasan terhadap kaum wanita akhir-akhir ini menunjukkan tingkat yang mengkhawatirkan, baik itu kekerasan di lingkungan domestik maupun di masyarakat. Tingginya tindak kekerasan tersebut ternyata berimbas pada media massa umum yang diperuntukkan bagi penikmat dewasa. https:ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/08/potret-perempuan-dalam-film.pdf diakses pada tanggal 26 Desember 2015 11
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
Ditengarai fenomena serupa juga yang ditemui pada media massa anak-anak. Keadaan demikian tentu menguntungkan bagi gagasan terbentuknya suatu sistem kemasyarakatan yang bersifat egalitarian di masa depan.12
2.2 Teori Feminisme Feminisme menurut Goefe adalah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan. Dalam membahas masalah feminisme, terlebih dahulu harus dipahami konsep seks dan konsep gender. Pengertian seks atau jenis kelamin merupakan pensyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Seks atau jenis kelamin secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat. Berbeda dengan seks, gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun peremuan yang dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikontruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara.13 Ketidakadilan yang ditimbulkan oleh perbedaan gender merupakan salah satu
masalah
pendorong
lahirnya
feminisme.
Ketidakadilan
gender
termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan, yakni marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotip atau Sunarto. Televisi Kekerasan dan Perempuan. Jakarta: Kompas, 2009 Hal 4-6 Sugihastuti dan Itsna Hadi. Gender & Inferioritas Perempuan “Praktik Kritik Sastra Feminis”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010 hal 95 12 13
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16
melalui pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja lebih panjang dan lebih banyak, serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. kesadaran akan ketimpangan struktur, sistem dan tradisi dalam masyarakat kemudian melahirkan kritik feminis yang termanisfestasikan dalam berbagai wujud ekspresi, baik melalui sikap, penulisan artikel, novel maupun melalui media lain.14
2.3 Perempuan & Diskriminasi dalam Media Massa Dalam
perspektif
feminisme
dikenal
dua
terminologi
yang
menggambarkan ruang aktivitas bagi perempuan yaitu domestik dan publik. Ruang domestik melingkupi aktivitas yang berhubungan dengan rumah tangga, sedangkan ruang publik menyangkut aktivitas perempuan yang dilakukan di luar rumah, baik interaksi dengan masyarakat sekitar maupun dalam lingkungan kerja. Untuk ruang domestik merupakan wilayah pertama yang mengesankan hal tersebut. Kecenderungan yang berlaku dimasyarakat, perempuan diidentikkan dengan fungsi sosialnya sebagai pekerja rumah tangga. Artinya, perempuan bertanggung jawab terhadap hal-hal yang menyangkut urusan rumah tangga. Ruang publik, di sisi lain, merupakan wilayah yang lebih didominasi oleh lakilaki karena fungsi-fungsi seperti pencarian sumber daya ekonomi dilakukan oleh mereka. Yang terjadi kemudian, laki-laki lebih berkuasa dalam keluarga karena merasa memiliki tugas yang lebih berat dibandingkan dengan perempuan. Dampak dari hal ini, perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan dalam bermacam-macam.
Sugihastuti dan Itsna Hadi. Gender & Inferioritas Perempuan “Praktik Kritik Sastra Feminis”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010 hal 99 14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
Seringkali
perempuan
tidak
memiliki
kekuatan
untuk
melawan
diskriminasi yang ada. Pada dasarnya diskriminasi adalah perbedaan perlakuan. Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak adil dan tidak seimbang yang dilakukan untuk membedakan terhadap perorangan, atau kelompok. Pada zaman sekarang diskriminasi perempuan malah dipertontonkan dengan sengaja, diskriminasi tidak hanya melalui fisik secara psikologis juga bisa. Diskriminasi terhadap perempuan merupakan hal yang lazim terjadi hal ini dipicu oleh relasi gender yang timpang, yang diwarnai oleh ketidakadilan dalam hubungan antar jenis kelamin, yang berkaitan erat dengan kekuasaan. Ketimpangan gender adalah perbedaan peran dan hak perempuan dan laki-laki di masyarakat yang menempatkan perempuan dalam status lebih rendah daripada laki-laki. Diskriminasi terhadap perempuan berasal dari budaya patriarki. Patriarki merupakan sebuah sistem dominasi dan superioritas laki-laki, serta sistem kontrol terhadap perempuan tempat perempuan dikuasai. Dalam patriarki melekat ideologi yang menyatakan bahwa laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, bahwa perempuan harus dikontrol oleh laki-laki. Dengan demikian, terciptalah konstruksi sosial yang tersusun sebagai kontrol atas perempuan dan laki-laki berkuasa penuh mengendalikan hal tersebut. yang tidak adil dan bersifat tidak setara di antara mayoritas dan minoritas dalam konteks ras, anutan agama, nilai kultural, dan kecenderungan seksual. Ketidak adilan gender pada dasarnya merupakan implikasi dari konstruksi sosial yang bersifat menindas terhadap minoritas. Ilustrasi dari konstruksi sosial semacam ini di antaranya dapat dilihat melalui kebijakan negara dalam masalah agama, yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18
memberi fasilitas lebih besar dengan dalih jumlah penganutnya mayoritas. Sementara dalam prinsip kesetaraan, kebijakan negara harus berpihak pada minoritas. Untuk mewujudkan keseimbangan dan kesetaraan, arus dalam konstruksi sosial yang memberi keistimewaan kepada mayoritas harus dibalik, dengan upaya secara bersengaja memberi peluang bagi minoritas untuk menghadirkan diri dalam struktur sosial. Kata kunci dalam upaya ini adalah menyediakan peluang bagi minoritas atau korban struktural agar dapat ambil bagian (sharing) dalam setiap pola kehidupan sosial, dalam prinsip advokasi untuk mengangkat yang lemah (empowerment). Masalah mayoritas – minoritas ini tidak sepenuhnya atas dasar jumlah populasi. Jumlah kaum perempuan dalam suatu masyarakat boleh jadi lebih banyak dibanding lakilaki, tetapi posisi dalam konstruksi sosial menjadi powerless akibat nilai yang mendasari 3 peran-peran sosial, karenanya berada dalam posisi minoritas. Dalam konstruksi sosial patriarkhi, laki-laki memiliki privelese peran di ruang publik sedangkan perempuan ditempatkan dalam peran di ruang privat. Di ruang publik dengan peran yang dikuasai oleh kaum laki-laki maka kebijakan publik akan berorientasi pada kepentingan laki-laki. Ini akan berlangsung dalam sektor politik, ekonomi dan kehidupan kultural. Konstruksi sosial yang berasal dari ruang publik dapat masuk ke ruang privat, menyebabkan terjadi pula interaksi yang tidak setara dan tidak adil dala kehidupan rumah tangga. Mulai dari pola pengasuhan anak yang dibebankan pada perempuan (ibu), pengambilan keputusan yang didomnasi oleh suami, pemilikan harta keluarga,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
sampai pada tindakan kekerasan yang sering dialami oleh perempuan dalam rumah tangga. Pengaruh struktur kekuasaan publik yang merasuk ke ruang privat ini biasanya muncul melalui slogan-slogan yang memuja kaum ibu, tetapi dalam prakteknya terjadi penindasan yang dicerminkan dalam kebijakan yang mengabaikan fasilitas bagi kesehatan reproduksi kaum perempuan, atau negara memiliki kewenangan yang eksesif mengatur perempuan dalam hal alat reproduksinya seperti paksaan pemasangan alat kontrasepsi. Atau perkosaan misalnya dipandang hanya sebagai tergodanya laki-laki akibat daya tarik perempuan, ataupun hanya dipandang sebagai tindak kriminal biasa, bukan sebagai refleksi dari kesewenang-wenangan laki-laki yang melecehkan hak reproduksi perempuan.
2.4 Gambaran Kebudayaan Ronggeng dalam masyarakat Jawa Sebagaimana budaya, subkultur pun sering memiliki bahasa nonverbal yang khas. Dalam suatu budaya boleh jadi terdapat variasi bahasa nonverbal, misalnya bahasa tubuh, bergantung pada jenis kelamin, agama, usia, pekerjaan, pekerjaan dan kelas sosial.15 Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian ke-budayaan dapat diartikan: “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Istilah tersebut biasa dipakai untuk menyebut bagian dan unsur dari kebudayaan yang halus, maju, dan Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi “Suatu Pengantar”. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya. 2005 hal 309
15
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20
indah, misalnya: kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan-santun pergaulan, kepandaian menulis, organisasi kenegaraan dan sebagainya.16 Bengitu juga seorang ronggeng dipercaya berasal dari kata Sanskrit, renggana, yang berarti dewi perempuan, meskipun ada juga yang mengatakan berasal dari bahasa Kawi Wara Anggana, yang berarti “perempuan sendiri”. Kedekatan petani dan ronggeng tidak bisa dilepaskan dari keyakinan bahwa tarian itu awalnya adalah ritual pemujaan yang berkaitan dengan kesuburan tanah dan keberhasilan panen.17 Beberapa legenda dan mitos menceritakan bagaimana ritual tarian tayuban dilakukan oleh sekelompok laki-laki untuk menghormati Dewi Sri (dan berbagai versi lokalnya, seperti Nyi Pohaci dalam bahasa Sunda). Pada relief relief candi Jawa pun kita banyak melihat ukiran laki-laki menari dan menembang mengelilingi perempuan. Mereka menari mengelilingi seorang perempuan yang dianggap merepresentasikan Dewi Sri. Pada perkembangannya, perempuan ini pun kemudian ikut menari menjadi ronggeng, sementara gerakan
tarian
dan
aktivitas
seksual
ronggeng
dipercaya
sebagai
merepresentasikan sekaligus mempengaruhi kekuatan dan kesuburan alam (Spiller 2010: 84). Istilah Lengger sampai saat ini masih dalam perdebatan para pakar kesenian di Indonesia.
Ada yang mengatakan Lengger adalah nama lokal
Banyumas untuk tarian yang biasanya disebut ronggeng. Koentjaraningrat dalam 16 17
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropogi. Jakarta: Rineka Cipta. 2013 hal 146 www.googleweblight.com Diakses pada tanggal 3 Oktober 2015
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21
buku kebudayaan Jawa menulis bahwa dalam budaya Bagelen para penari teledhek disebut ronggeng. Menurut Koentjaraningrat seorang penari ronggeng sudah mulai menari sejak berusia antara delapan sampai sepuluh tahun. Seorang penari anak-anak seperti itu biasanya adalah anak gadis ketua rombongan tersebut dan ia menarikan tarian teledhek serta menyanyikan nyanyian anak-anak (dolanan lare). Rakyat di daerah Bagelen menyebut penari ronggeng yang masih anak-anak itu Lengger. Seorang Lengger belum tentu menjadi seorang ronggeng bila ia dewasa, akan tetapi sebaliknya seorang ronggeng biasanya berasal dari Lengger.18 Berbeda dengan pendapat Koentjaraningrat, pendapat lain mengatakan bahwa lengger merupakan akronim dari leng dan ngger. Dikiranya para penari itu adalah leng (lubang) artinya wanita, ternyata jengger (terjulur) artinya pria (Kodari, 1991: 60). Namun demikian, istilah ini tetap dipakai sampai sekarang, walaupun para penari kini adalah wanita. Dalam Bausastra (kamus) JawaIndonesia yang disusun oleh S. Prawiroatmojo yang diterbitkan tahun 1957, disebutkan bahwa lengger adalah penari pria. Jadi, sampai dengan tahun 1957 para penari lengger jelas pria.19 Kesenian semacam lengger ini sebenarnya tersebar di mana-mana meskipun
bentuknya
berbeda-beda.
Misalnya:
Ronggeng,
Gandrung
Banyuwangi, Dombret Karawang, Cokek Jakarta, Gambyong Keraton, Tayub, Teledhek Wonosari, Sintren Pesisiran, dan sebagainya (Koentjaraningrat, 1994: 211-228). Perbedaan lengger Banyumas dengan tari-tarian tersebut di atas, selain http://journal.uny.ac.id/index.php/imaji/article/viewFile/6658/5718 di akses pada tanggal 26 Desember 2015 19 http://journal.uny.ac.id/index.php/imaji/article/viewFile/6658/5718 di akses pada tanggal 26 Desember 2015 18
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22
struktur koreografi, bentuk penyajiannya, juga alat musik iringan dan lagu-lagu yang dinyanyikannya. Untuk kesenian Lengger biasanya diiringi oleh gamelan atau karawitan yang disebut calung, serta lagu dan syair tembang dialek khas Banyumasan. 2.5 Gender Sejarah perbedaan gender antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksikan secara sosial dan kultural, melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan (seolah-olah) bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi, sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat lakilaki dan kontrat perempuan. Karena sosial gender telah dikontruksi secara evolusional dan perlahanlahan mempengaruhi biologis masing-masing jeni kelamin. Misalnya, karena konstruksi sosial gender, kaum laki-laki kemudian terlatihan tersosialisasi serta termotivasi untuk menjadi atau menuju sifat gender yang ditentukan oleh suatu masyarakat, yakni secara fisik lebih kuat dan lebih besar. Sebaliknya, karena kaum perempuan harus lemah lembut, maka sejak bayi proses sosialisasi tersebut tidak saja berpengaruh kepada perkembangan emosi dan visi serta ideologi kaum perempuan, tetapi juga mempengaruhi perkembangan fisik dan biologis selanjutnya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23
A. Perbedaan gender telah menimbulkan ketidakadilan di antara nya20 : -
Proses marginalisasi, yang mengakibatkan kemiskinan
-
Menimbulkan subordinasi terhadap perempuan, anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin. Di jawa, dulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya ke dapur juga.
-
Pelabelan atau penandaan (stereotipe) contohnya, penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka tiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotipe ini.
-
Kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat.
-
Beban Kerja, ada anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawa kaum perempuan.
2.6 Semiotika Semiotika adalah studi mengenai tanda (sign) dan simbol yang merupakan tradisi penting dalam pemikiran tradisi komunikasi. Tradisi semiotika mencakup
Mansour Fakih. Analisis Gender & Transformasi Sosial.Yogyakarta: Pustaka Belajar.2013 hal 7 - 22
20
http://digilib.mercubuana.ac.id/
24
teori utama mengenai bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi, keadaan, perasaan, dan sebagainya yang berada di luar diri.21 Secara etimologis istilah semiotika berasal dari kata Yunani yaitu “Semeion” yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang dasar konvensi sosial yang sebelumnya, dapat dianggap mewakili suatu yang terjadi. Semiotika menurut Rachmat Kriyantoro (2007:261) mendefinisikan semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi tentang tanda dan segalanya yang berhubungan dengan , cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengiriman dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya.22 Semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvemsi-konvensi yang memungkinkan tanda-tandat tersebut mempunyai arti. Pengertian analisis semiotika menurut Pawito dalam bukunya Penelitian Komunikasi Kualitatif (2007:155-156), yaitu “Analisis semiotika merupakan cara atau metode untuk menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang pesan atau teks. Berdasarkan pengertian tentang semiotika di atas, peneliti menyimpulkan bahwa definisi semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda, yang berisi informasi dan mempunyai makna tertentu, baik tanda secara individu maupun kelompok sebagai sistem tanda untuk merujuk kepada suatu hal. Teori semiotika digunakan untuk menganalis suatu kejadian atau peristiwa melalu pemaknaan terhadap tanda-tanda yang ada seperti simbol dan bahasa.
21 22
Morissan. Teori Komunikasi. Bogor: 2013 hal 27 Rachmat Kriyantono. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: 2010 hal 267
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25
2.6.1 Semiotika Ferdinand De Saussure Semiotika Saussure adalah semiotika strukturalis. Prinsip dari teori Saussure bahwa bahasa adalah sebuah tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yakni signifier (penanda) dan signified (pertanda). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau pertanda (signified).23 Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign). Suarasuara, baik suara manusia, binatang, atau bunyi-bunyian, hanya bisa dikatakan sebagai bahasa atau berfungsi sebagai bahasa bilamana suara atau bunyi tersebut mengekspresikan,
menyatakan,
atau
menyampaikan
ide-ide,
pengertian-
pengertian tertentu. Untuk itu, suara-suara tersebut harus merupakan bagian dari sebuah sistem konvensi, sistem kesepakatan dan merupakan bagian dari sebuah sistem tanda.24 Setiap tanda kebahasaan, menurut Saussure, pada dasarnya menyatukan sebuah konsep (concept) dan suatu citra suara (sound image), bukan dari sebuah kata yang diucapkan merupakan penanda (signifier), sedang konsepnya adalah petanda (signified). Dua unsur ini tidak bisa dipisahkan sama sekali.25 Tanda (Sign) adalah sesuatu yang berbentuk fisik (any sound-image) yang dapat dilihat dan didengar yang biasanya merujuk kepada sebuah objek atau aspek dari realitas yang ingin dikomunikasikan. Objek tersebut dikenal dengan “referent”. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim Nawiroh Vera. Semiotika dalam Riset Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia. 2014 hal 70 Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. tahun 200 hal 46 25 Ales Sobur. Ibid hal 47 23 24
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26
makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Syaratnya komunikator dan komunikan harus mempunyai bahasa atau pengetahuan yang sama terhadap sistem tanda. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yaknig sesuatu yang harus kita beri makna.26
Model Semiotik dari Saussure27 Sign
Composed Of
Signifier Contoh : Signifier Kata “Pohon” Bunga Mawar
Signification Signified
Referent (External Reality)
Signified Tanaman Besar Tanda Cinta
Benny H. Hoed. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu. 2008 hal 15 Rachmat Kriyantono. Teknik Praktis Riset Komunikasi, disertai contoh praktis riset media, public relations, advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran. Jakarta: Kencana. 2012 hal 270 26 27
http://digilib.mercubuana.ac.id/
27
Kode merupakan sistem pengorganisasian tanda. Kode mempunyai sejumlah unit (atau kadang-kadang satu unit) tanda. Cara menginterprestasi pesanpesan yang tertulis yang tidak mudah dipahami. Jika kode sudah diketahui, makna akan bisa dipahami. Dalam semiotik, kode dipakai untuk merujuk pada struktur perilaku manusia. Budaya dapat dilihat sebagai kumpulan kode-kode.28 Saussure merumuskan dua cara pengorganisasian tanda ke dalam kode, yaitu:29 1. Paradigmatik Merupakan sekumpulan tanda yang cari dalamnya dipilih satu untuk digunakan. Dalam semiotik, paradigmatik digunakan untuk mencari oposisi-oposisi (simbol-simbol) yang ditemukan dalam teks (tanda) yang bisa membantu memberikan makna. Dengan kata lain, bagaimana oposisioposisi yang tersembunyi dalam teks menggeneralisasi makna. 2. Syntagmatic Merupakan pesan yang dibangun dari paduan tanda-tanda yang dipilih. Dalam semiotik,sintagma digunakan untuk menginterpretasikan teks (tanda) berdasarkan urutan kejadin/peristiwa yang memberikan makna atau bagaimana urutan peristiwa/kejadian menggeneralisasi makna.
28 29
Rachmat Kriyantono. Ibid hal 271 Rachmat Kriyantono. Ibid hal 271
http://digilib.mercubuana.ac.id/
28
2.6.2 Semiotika Film Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman pada Bab 1 Pasal 1 menyebutkan, yang dimaksud dengan film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan. Film merupakan salah satu media komunikasi massa. Dikatakan sebagai media komunikasi massa karena merupakan massa. Dikatakan sebagai media komunikasi massa karena merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, dalam arti berjumlah banyak, tersebar dimana-mana, khalayaknya heterogen, anonim dan menimbulkan efek tertentu.30 Unsur – Unsur Film berkaitan dengan karakteristik utama, yaitu audio visual. Unsur audio visual dikategorikan ke dalam dua bidang, yaitu sebagai berikut : 1. Unsur Naratif : materi atau bahan olahan dalam film cerita unsur naratif adalah penceritaannya. 2. Unsur sinematik : cara atau dengan gaya seperti apa bahan olahan itu digarap. Kedua unsur ini tidak dapat dipisahkan, keduanya saling terikat sehinga menghasilkan sebuah karya yang menyatu dan dapat dinikmati oleh penonton.
30
Nawiroh Vera. Semiotika dalam Riset Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia. 2014 hal 91
http://digilib.mercubuana.ac.id/