BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Hutan Hujan Tropika Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon
dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan (Soerianegara dan Indrawan, 1988). Sedangkan menurut Departemen Kehutanan (1992), hutan ialah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon yang secara keseluruhan
merupakan
persekutuan
hidup
alam
hayati
beserta
alam
lingkungannya atau ekosistem. Hutan hujan tropika tumbuhannya bersifat selalu hijau, kondisinya selalu basah dengan pohon-pohon yang tinggi tajuknya sekurang-kurangnya 30 m serta mengandung spesies-spesies efipit berkayu dan herba yang bersifat efipit (Schimper, 1903 diacu dalam Mabberley, 1992). Richards (1966) juga menjelaskan bahwa salah satu ciri penting dari hutan hujan tropika adalah adanya tumbuhan berkayu, tumbuhan pemanjat dan efipit berkayu dalam berbagai ukuran. Hutan hujan tropika merupakan zona wilayah yang paling subur. Tipe hutan ini terdapat di wilayah tropika atau di dekat wilayah tropika di bumi ini, yang menerima curah hujan berlimpah sekitar 2.000-4.000 mm per tahun. Suhunya tinggi sekitar 250-260C, dengan kelembaban rata-rata sekitar 80%. Komponen dasar hutan itu adalah pohon-pohon yang tinggi tajuknya sekurangkurangnya 30 m. Salah satu corak yang menonjol adalah sebagian besar tumbuhannya mengandung kayu (Ewusie, 1990). Richards (1966) memberikan beberapa ciri hutan hujan tropika, sebagai berikut: a. Hutan hujan tropika terdiri dari berjenis-jenis tumbuhan berkayu dan umumnya kaya akan jenis-jenis dengan ukuran tinggi dan diameter yang besar. b. Mempunyai banyak jenis kodominan, tetapi dapat juga hanya terdiri dari beberapa jenis saja. Jenis-jenis memperlihatkan gambaran umum yang sama, yaitu batangnya berbanir, lurus dan dekat tajuknya tidak bercabang.
4
c. Pada umumnya susunan tajuknya terdiri dari dua sampai tiga lapisan, sedangkan tumbuhan bawah terdiri dari perdu dan permudaan atau tunastunas dari jenis-jenis pohon lapisan bawah. d. Selain jenis pokok, pada umumnya mempunyai banyak jenis efipit, tumbuhan pemanjat, palma dan pandan. e. Merupakan susunan vegetasi klimaks di daerah khatulistiwa, masingmasing jenis tunbuh-tumbuhan di dalamya mempunyai sifat-sifat hidup yang berbeda, tetapi dengan kondisi-kondisi edafis dan klimatologis tertentu mereka membentuk suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan yang seimbang. Sedangkan menurut Soerianegara dan Indrawan (1988), hutan hujan tropika memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Iklim selalu basah 2. Tanah kering dan bermacam-macam jenis tanah 3. Di pedalaman, pada tanah rendah rata atau berbukit (< 1.000 m dpl) dan pada tinggi (s/d 4.000 m dpl) 4. Dapat dibedakan menjadi 3 zona menurut ketinggiannya: a. Hutan hujan bawah
<1.000 m dpl
b. Hutan hujan tengah
1.000 – 3.000 m dpl
c. Hutan hujan atas
3.000 – 4.000 m dpl
5. Hutan hujan bawah, jenis kayu yang penting antara lain: dari suku Dipterocarpaceae adalah: Shorea, Hopea, Dipterocarpus, Vatica, dan Dryobalanops. Genus-genus lain, antara lain: Agathis, Altingia, Dialium, Duabanga, Dyera, Gossanepinus, Koompassia, dan Octomeles. Hutan hujan tengah, jenis kayu yang umum terdiri dari suku-suku Lauraceae, Fagaceae (Quercus), Castanea, Nothofagus, Cunoniaceae, Magnoliaceae, Hammamelidaceae, Ericaceae, dan lain-lain. Hutan hujan atas, jenis kayu utama: Coniferae (Araucaria, Dacrydium, Podocarpus), Ericaceae, Laptospermum, Clearia, Quercus, dan lain-lain. 6. Terdapat terutama di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku dan Irian.
5
Di pegunungan tropika, hutan hujan bisa membentuk hutan hujan pegunungan yang barangkali karena tanah yang lebih dangkal dan kelerengan yang lebih tajam, tidak begitu lebat dan besar dibandingkan dengan hutan hujan dataran rendah. (Daniel, et al. 1995). Apabila suatu hutan hujan pegunungan ditelusuri, makin keatas maka fisiognomi jenis-jenis dominan dan struktur vegetasinya akan berubah. Perubahan ini akan jelas terlihat pada daerah tropik dibandingkan pada daerah temperate. Selanjutnya dikatakan pula bahwa semakin tinggi suatu tempat, sifat-sifat hutan tropika akan berubah menjadi hutan hujan montana yang vegetasinya mirip dengan hutan pada daerah dingin. Di zona ini terdapat dua tipe formasi hutan, yaitu hutan hujan sub montana dan hutan hujan montana. Di atas hutan hujan montana terdapat suatu batas dimana pepohonan tidak dapat tumbuh, komunitas yang ada hanya berupa vegetasi yang tumbuh kerdil (vegetasi alpin) dengan batuan cadas dan salju (Richards, 1966) diacu dalam Tandju (1988). Berdasarkan batas ketinggian dalam hubungannya dengan perubahan iklim di pulau Jawa, Steenis (1972) membagi formasi hutan kedalam tiga zona iklim utama yaitu : a. Zona Tropika
: 0 – 1.000 m dpl
b. Zona Montana : 1.000 – 2.400 m dpl (1.000 – 1.500 = Zona sub montana) c. Zona Sub Alpin : diatas 2.400 m dpl.
2.2
Klasifikasi Hutan Menurut Departemen Kehutanan (1992), hutan dapat digolongkan bagi
tujuan pengelolaan hutan menurut hal-hal berikut: a.
Susunan jenis. Hutan murni adalah hutan yang hampir semua atau seluruhnya dari jenis yang sama. Hutan campuran ialah hutan yang terdiri dari dua atau lebih jenis pohon. Baik hutan murni atau campuran dapat berupa seumur, tidak seumur atau segala umur.
b.
Kerapatan tegakan Pada umumnya, hutan berbeda-beda dalam hal jumlah pohon dan volume per hektar, luas bidang dasar dan kriteria lain. Perbedaaan antara sebuah
6
tegakan yang rapat dan jarang, mudah dilihat dari kriteria pembukaan tajuknya. Sedangkan kerapatan berdasarkan volume, luas bidang dasar dan jumlah batang per hektar, dapat diketahui melalui pengukuran. Untuk keperluan praktis, tiga kelas kerapatan telah dibuat, yaitu: •
Rapat, bila terdapat lebih dari 70 % penutupan tajuk.
•
Cukup, bila terdapat 40-70 % penutupan tajuk.
•
Jarang, bila terdapat kurang dari 40 % penutupan tajuk.
Hutan yang terlalu rapat, pertumbuhannya akan lambat karena persaingan yang keras terhadap sinar matahari, air dan zat mineral. Kemacetan pertumbuhan akan terjadi. Tetapi tidak lama, karena persaingan diantara pohon-pohon akan mematikan yang lemah dan penguasaan oleh yang kuat. Sebaliknya, hutan yang terlalu jarang, terbuka atau rawang menghasilkan pohon-pohon dengan tajuk besar dan bercabang banyak dan pendek. Suatu hutan yang dikelola baik ialah hutan yang kerapatannya dipelihara pada tingkat optimum, sehingga pohon-pohonnya dapat dengan penuh memanfaatkan sinar matahari dan zat hara mineral dalam tanah. Dengan demikian hutan yang tajuknya kurang rapat
berfungsi kurang efisien
kecuali bila daerah terbuka yang ada, diisi dengan permudaan hutan atau pohon-pohon muda. Tempat-tempat terbuka tersebut biasanya ditumbuhi gulma yang menganggu pertumbuhan jenis pohon utama atau tanaman pokok. c.
Komposisi umur. Suatu lahan disebut seumur, bila ditanam pada waktu bersamaan. Meskipun demikian, ukurannya dapat berlainan, karena laju pertumbuhan yang berbeda. Hutan segala umur terdiri dari pohon-pohon berukuran besar hingga tingkat semai. Jadi meliputi berbagai umur maupun ukuran. Sedangkan hutan tidak seumur ialah hutan yang mempunyai dua atau lebih kelompok umur atau ukuran. Misalnya hutan yang terdiri atas pohonpohon yang sudah masak tebang, miskin riap dan ukuran pancang saja. Hutan segala umur biasanya penyebaran ukurannya lebih beragam dan jenisnya umumnya lebih toleran terhadap naungan. Sementara hutan
7
seumur umumnya terdiri dari jenis intoleran. Angin topan, penebangan berlebihan, kebakaran dan bencana lain, menciptakan kelompok-kelompok yang tidak seumur. d.
Tipe hutan. Tipe hutan ialah istilah yang digunakan bagi kelompok tegakan yang mempunyai ciri-ciri yang sama dalam susunan jenis pohon yang dominan. Berdasarkan Wikipedia Klasifikasi hutan dibagi sebagai berikut yaitu;
a.
Berdasarkan biogeografi Kepulauan Nusantara adalah ketampakan alam yang muncul dari proses
pertemuan antara tiga lempeng bumi. Hingga hari ini pun, ketiga lempeng bumi itu masih terus saling mendekati. Akibatnya, antara lain, gempa bumi sering terjadi di negeri kepulauan ini. Sejarah pembentukan Kepulauan Nusantara di sabuk khatulistiwa itu menghasilkan tiga kawasan biogeografi utama, yaitu: Paparan Sunda, Wallacea, dan Paparan Sahul. Masing-masing kawasan biogeografi adalah cerminan dari sebaran bentuk kehidupan berdasarkan perbedaan permukaan fisik buminya. b.
Berdasarkan Iklim Dari letak garis lintangnya, Indonesia memang termasuk daerah beriklim
tropis. Namun, posisinya di antara dua benua dan di antara dua samudera membuat iklim kepulauan ini lebih beragam. Berdasarkan perbandingan jumlah bulan kering terhadap jumlah bulan basah per tahun, Indonesia mencakup tiga daerah iklim, yaitu: 1.
Daerah tipe iklim A (sangat basah) yang puncak musim hujannya jatuh antara Oktober dan Januari, kadang hingga Februari. Daerah ini mencakup Pulau Sumatera; Kalimantan; bagian barat dan tengah Pulau Jawa; sisi barat Pulau Sulawesi.
2.
Daerah tipe iklim B (basah) yang puncak musim hujannya jatuh antara Mei dan Juli, serta Agustus atau September sebagai bulan terkering. Daerah ini mencakup bagian timur Pulau Sulawesi; Maluku; dan sebagian besar Papua.
3.
Daerah tipe iklim C (agak kering) yang lebih sedikit jumlah curah hujannya, sedangkan bulan terkeringnya lebih panjang. Daerah ini
8
mencakup Jawa Timur, sebagian Pulau Madura, Pulau Bali, Nusa Tenggara, dan bagian paling ujung selatan Papua. Berdasarkan perbedaan iklim ini, Indonesia memiliki hutan gambut, hutan hujan tropis, dan hutan muson. 1.
Hutan gambut; ada di daerah tipe iklim A atau B, yaitu di pantai timur Sumatera, sepanjang pantai dan sungai besar Kalimantan, dan sebagian besar pantai selatan Papua.
2.
Hutan hujan tropis; menempati daerah tipe iklim A dan B. Jenis hutan ini menutupi sebagian besar Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Utara, dan Papua. Di bagian barat Indonesia, lapisan tajuk tertinggi hutan dipenuhi famili Dipterocarpaceae (terutama genus Shorea, Dipterocarpus, Dryobalanops, dan Hopea). Lapisan tajuk di bawahnya ditempati oleh famili Lauraceae, Myristicaceae, Myrtaceae, dan Guttiferaceae. Di bagian timur, genus utamanya adalah Pometia, Instia, Palaquium, Parinari, Agathis, dan Kalappia.
3.
Hutan muson; tumbuh di daerah tipe iklim C atau D, yaitu di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, sebagian NTT, bagian tenggara Maluku, dan sebagian pantai selatan Irian Jaya. Spesies pohon di hutan ini seperti jati (Tectona grandis), walikukun (Actinophora fragrans), ekaliptus (Eucalyptus alba), cendana (Santalum album), dan kayu putih (Melaleuca leucadendron).
c.
Berdasarkan sifat tanah Berdasarkan sifat tanah, jenis hutan di Indonesia mencakup hutan pantai,
hutan mangrove, dan hutan rawa. 1.
Hutan pantai terdapat sepanjang pantai yang kering, berpasir, dan tidak landai, seperti di pantai selatan Jawa. Spesies pohonnya seperti ketapang (Terminalia catappa), waru (Hibiscus tiliaceus), dan cemara laut (Casuarina equisetifolia).
2.
Hutan mangrove Indonesia yang tersebar di sepanjang pantai utara Jawa, pantai timur Sumatera, sepanjang pantai Kalimantan, dan pantai selatan
9
Papua. Jenis-jenis pohon utamanya berasal dari genus Avicennia, Sonneratia, dan Rhizophora. Hutan rawa terdapat di hampir semua pulau, terutama Sumatera,
3.
Kalimantan, dan Papua. Spesies pohon rawa, misalnya adalah nyatoh (Palaquium
leiocarpum),
kempas
(Koompassia
sp.),
dan
ramin
(Gonystylus sp.).
2.3
Stratifikasi Tajuk Alam suatu masyarakat tumbuhan akan terjadi suatu persaingan antara
individu-individu dari suatu jenis atau beberapa jenis, jika tumbuh-tumbuhan tersebut mempunyai kebutuhan yang sama alam hal hara mineral, air, cahaya dan ruangan. Sebagai akibat adanya persaingan ini, mengakibatkan jenis-jenis tertentu akan lebih menguasai (dominan) daripada yang lain, maka akan terjadi stratifikasi tumbuhan di dalam hutan. Pohon-pohon yang tinggi dari stratum teratas menguasai pohon-pohon yang lebih rendah dan merupakan jenis-jenis yang mencirikan masyarakat hutan yang bersangkutan (Soerianegara dan Indrawan, 1988). Richards (1966), menyatakan bahwa struktur hutan hujan tropika paling jelas dinyatakan dengan penampakan arsitekturnya, stratifikasi tajuk pohonpohonnya, semak dan tumbuhan bawah. Soerianegara dan Indrawan (1988), menyatakan stratifikasi dalam hutan tropis adalah sebagai berikut : a. Stratum A : lapisan teratur, terdiri dari pohon-pohon dengan tinggi total lebih dari 30 meter, biasanya tajuk diskontinyu, batang pohon tinggi dan lurus dengan batang bebas cabang tinggi b. Stratum B : terdiri dari pohon-pohon dengan tinggi antara 20 meter sampai 30 meter, tajuk umumnya kontinyu c. Stratum C : pohon dengan tinggi 4 – 20 meter, tajuk kontinyu, pohon rendah dan banyak cabangnya. Disamping itu, masih terdapat pula strata perdu, semak dan tumbuhan penutup tanah, yaitu : stratum D untuk lapisan perdu dan semak dengan tinggi 1 – 4 meter. Sedangkan stratum E untuk tumbuh-tumbuhan penutup tanah (ground
10
cover) dengan tinggi 0 -1 meter. Dikatakan pula bahwa tidak semua hutan tropika memiliki ketiga strata tersebut diatas (Soerianegara dan Indrawan, 1988). Selanjutnya Soerianegara dan Indrawan (1988) menyatakan bahwa stratifikasi terjadi akibat persaingan dalam waktu yang relatif lama setelah melalui proses adaptasi dan stabilisasi. Jenis-jenis tertentu akan lebih berkuasa (dominan) daripada jenis-jenis yang lain. Pohon-pohon yang tinggi dari stratum teratas mengalahkan atau menguasai pohon-pohon yang lebih rendah dan merupakan jenis-jenis pohon yang mencirikan masyarakat hutan yang bersangkutan.
2.4
Biodiversitas (Biodiversity) Biodiversitas atau keanekaragaman hayati merupakan istilah yang
menyatakan terdapatnya berbagai macam variasi bentuk, penampilan, jumlah dan sifat dari derajat keanekaragaman alam, yang mencakup jumlah maupun frekuensi ekosistem dan spesies maupun gen yang ada di dalam wilayah tertentu. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1994 tentang konvensi PBB mengenai keanekaragaman hayati, pengertian biodiversitas adalah keanekaragaman di antara daratan, lautan dan ekosistem akuatik lainnya serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragaman di dalam spesies, antara spesies dan ekosistem (Soemarwoto 2001). Selain itu keanekaragaman hayati merupakan jumlah jenis yang dapat ditinjau dari tiga tingkat keragaman alamiah, termasuk jumlah dan frekuensi ekosistem, spesies atau gen dalam suatu kumpulan. Adapun tingkatan keanekaragaman hayati adalah sebagai berikut: 1). Keanekaragaman genetik; 2). Keanekaragaman spesies; dan 3). Keanekaragaman ekosistem (Mc Neely 1992). Kekayaan floristik merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan, seperti iklim, tanah, cahaya, dimana faktor tersebut membentuk tegakan hutan yang klimaks (MuellerDombois and Ellenberg 1974). Keanekaragaman mengarah ke keanekaragaman jenis yang dapat diukur melalui jumlah jenis di dalam suatu komunitas dan melalui kelimpahan relatif jenis tersebut. Aspek yang terdapat di dalam keanekaragaman jenis adalah jumlah
11
jenis yang akan menuju ke kekayaan jenis (richness) sedangkan kelimpahan relatif akan menuju ke kesamaan jenis (eveness atau equitability) Saat ini telah terjadi pengurangan keanekaragaman hayati yang sangat besar. Hal ini dapat terjadi dalam bentuk kepunahan jenis maupun variasi jenis hewan dan tumbuhan tertentu. Penyebab kepunahan ini bermacam-macam antara lain karena berkurangnya luas habitat, rusaknya habitat, eksploitasi yang berlebihan, dan penggunaan teknologi yang tidak bijaksana. Kepunahan dapat juga terjadi karena kerusakan habitat walaupun luasnya tidak berkurang, seperti berubahnya hutan menjadi alang-alang (Soemarwoto,2001).
2.5 Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan Richards (1964) menggunakan istilah komposisi jenis untuk menyatakan keberadaan jenis-jenis pohon di dalam hutan. Selanjutnya dinyatakan juga bahwa ciri hutan hujan tropika yang menyolok adalah mayoritas penutupnya terdiri dari tumbuhan berkayu berbentuk pohon. Sebagian besar tanaman pemanjat dan beberapa jenis epifit yang berkayu, tanaman bawah terdiri dari tanaman berkayu, semai dan pancang, belukar dan liana muda. Tumbuhan herba yang ada adalah beberapa epifit sebagai bagian dari tanaman bawah dalam proporsi yang relatif kecil. Mueller-Dumbois and Ellenberg (1974), memakai istilah komposisi untuk menyatakan kekayaan floristik hutan tropika sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan seperti iklim, tanah dan cahaya, dimana faktor tersebut membentuk suatu tegakan yang klimaks. Lebih lanjut dikatakan bahwa sebagian besar hutan hujan tropika mempunyai komposisi jenis campuran walaupun tidak selalu demikian. Pengetahuan komposisi jenis dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam pengelolaan hutan. Samingan (1976) mengemukakan pentingnya mengetahui komposisi jenis pada tingkat tiang, pancang dan pohon. Soerianegara dan Indrawan (1988) mengemukakan pentingnya mengetahui komposisi. Dikatakan komposisi hutan alam merupakan salah satu aspek ekologis yang penting bagi pengetahuan pengelolaan hutan.
12
Menurut Sugden (1983) diacu dalam Rio (1996), untuk mengetahui komposisi suatu jenis di suatu daerah, maka perlu mengetahui sifat-sifat suatu jenis seperti penyebaran, fisiologi dan bentuk reproduksi, dan selanjutnya dikemukakan bahwa komposisi suatu jenis komunitas hutan sangat beragam, tetapi setiap jenis dalam suatu habitat mempunyai sifat-sifat yang hampir sama Pada komunitas yang lebih stabil, keanekaragaman jenis lebih besar dari komunitas yang sederhana dan cenderung untuk memuncak pada tingkat permudaan dan pertengahan dari proses suksesi dan akan menurun lagi pada tingkat klimaks (Margalef, 1968 diacu dalam Odum, 1971). Odum (1971) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis cenderung lebih tinggi didalam komuitas yang lebih tua dan rendah didalam komunitas yang cenderung baru terbentuk. Kemantapan habitat merupakan faktor utama yang mengatur keanekaragaman jenis. Istilah struktur menerangkan sebaran individu tumbuhan dalam lapisan tajuk (Richards, 1964) sedangkan Danserau (1957) dalam Mueller-Dumbois and Ellenberg (1974) mendefenisikan struktur sebagai organisasi dalam ruang dari individu-individu pembentuk tegakan. Kershaw (1964) diacu dalam Mueller-Dumbois and Ellenberg (1974) membedakan komponen struktur vegetasi menjadi tiga, yaitu: -
Struktur vertikal (misalnya stratifikasi dalam beberapa lapis)
-
Struktur horizontal (menggambarkan distribusi ruang dari jenis-jenis dan individu-individu)
-
Struktur kuantitatif (menggambarkan kelimpahan masing-masing jenis dalam komunitas) Sedangkan dalam ekologi dikenal lima struktur vegetasi, yaitu: 1)
fisiognami vegetasi; 2) struktur biomassa; 3) struktur bentuk hidup; 4) struktur floristik; dan 5) struktur tegakan (Mueller-Dumbois and Ellenberg, 1974). Defenisi lain strukur hutan dikemukakan oleh Suhendang (1985) yang menyatakan bahwa struktur tegakan hutan merupakan hubungan fungsionil antara kerapatan pohon dengan diameternya. Oleh karenanya, struktur tegakan akan dapat dipakai untuk menduga kerapatan pohon pada berbagai kelas diameternya
13
apabila dugaan parameter struktur tegakan dan jumlah pohon secara total diketahui. Pengertian struktur vegetasi dapat berlainan tergantung pada tujuan penggunaan istilah tersebut, sehingga beberapa ahli memberi arti yang berbedabeda (Istomo, 1994). Richards (1966) diacu dalam Armizon (1994) menerangkan istilah struktur digunakan untuk menerangkan sebaran individu tumbuhan dalam suatu lapisan tajuk. Sedangkan menurut Danserreau (1957) diacu dalam MuellerDumbois and Ellenberg (1974) struktur vegetasi adalah organisasi dalam ruang dan individu-individu yang membentuk suatu tegakan. Elemen primer struktur vegetasi adalah bentuk tumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Hutan hujan tropika terkenal karena pelapisannya, ini berarti bahwa populasi campuran di dalamnya disusun pada arah vertikal dengan jarak teratur secara kontinu. Tampaknya pelapisan vertikal komunitas hutan itu mempunyai sebaran populasi hewan yang hidup dalam hutan itu. Sering terdapat suatu atau beberapa populasi yang dalam kehidupan dan pencarian makanannya tampak terbatas (Whitmore,1986). Kelimpahan
jenis
ditentukan,
berdasarkan
besarnya
frekuensi,
kerapatan dan dominasi setiap jenis. Penguasaan suatu jenis terhadap jenisjenis lain ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting (INP), volume, biomassa, persentase penutupan tajuk, luas bidang dasar atau banyaknya individu dan kerapatan (Soerianegara,1996). Frekuensi suatu jenis menunjukkan penyebaran suatu jenis dalam suatu areal. Jenis yang menyebar secara merata mempunyai nilai frekuensi yang besar, sebaliknya jenis-jenis yang mempunyai nilai frekuensi yang kecil mempunyai daerah sebaran yang kurang luas. Kerapatan dari suatu jenis merupakan nilai yang menunjukkan jumlah atau banyaknya suatu jenis per satuan luas. Makin besar kerapatan suatu jenis, makin banyak individu jenis tersebut per satuan luas. Dominasi suatu merupakan nilai yang menunjukan peguasaan suatu jenis terhadap komunitas. Suatu daerah yang didominasi oleh hanya jenis-jenis tertentu saja, maka daerah tersebut dikatakan memiliki keanekaragaman jenis yang rendah. Keanekaragaman jenis yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas
14
memiliki kompleksitas yang tinggi, karena di dalam komunitas itu terjadi interaksi antara jenis yang tinggi. Lebih lanjut dikatakan, keanekaragaman merupakan ciri dari suatu komunitas terutama dikaitkan dengan jumlah jenis dan jumlah individu tiap jenis pada komunitas tersebut. Keanekaragaman jenis menyatakan suatu ukuran yang menggambarkan variasi jenis tumbuhan dari suatu komunitas yang dipengaruhi oleh jumlah jenis dan kelimpahan relatif dari setiap jenis.
2.6 Kerapatan Pohon Kerapatan pohon adalah jumlah pohon yang terdapat pada satuan luas tertentu, biasanya dinyatakan dalam hektar, sehingga dikenal sebagai jumlah pohon per hektar (Suhendang, 1985). Menurut Richards (1964), kerapatan pohon pada hutan alam tidak teratur sehingga sulit untuk mendapatkan kerapatan seperti yang diinginkan. Pada tegakan hutan alam biasanya kerapatan pohon akan tinggi pada kelas diameter kecil dan akan menurun pada kelas diameter yang makin besar. Hal tersebut terjadi karena adanya kompetisi yang tinggi, baik antar individu dalam satu jenis maupun antar berbagai jenis, sehingga tidak semua individu mendapatkan kesempatan untuk tumbuh secara wajar, walaupun tidak mati. Kecenderungan penurunan kerapatan pohon pada kelas diameter yang lebih tinggi ternyata tidak sama untuk semua jenis terutama sifat toleransinya terhadap naungan. Untuk pohon intoleran (tidak tahan naungan), kecenderungan penurunan kerapatan pada kelas diameter yang besar tidak akan berlangsung secara drastis. Sedangkan untuk toleran, kerapatan pohonnya akan berkurang secara drastis jika kelas diameter bertambah tinggi (UNESCO, 1978). Meskipun terdapat beberapa tipe sebaran kerapatan pohon, ada dugaan yang kuat bahwa pada umumnya terdapat hubungan yang erat antara kerapatan pohon dengan diameter, baik pada jenis pohon toleran maupun pada jenis intoleran, sehingga akan terdapat hubungan fungsional antara kelas diameter dengan kerapatan pohonnya. Atas dasar tersebut maka struktur tegakan hutan akan dapat dipakai sebagai alat untuk menduga besarnya kerapatan pohon pada setiap kelas diameternya (Suhendang, 1985).
15
2.7 Pola Penyebaran Penyebaran jenis bersifat unik dalam tingkat komunitas dan organisasi ekologi. Penyebaran dalam komposisi jenis berhubungan dengan derajat kestabilan komunitas. Komunitas vegetasi dengan penyebaran jenis yang lebih besar memiliki jaringan kerja yang lebih komplek daripada komunitas dengan penyebaran jenis yang rendah (Cox, 1972) diacu dalam (Istomo, 1994). Menurut Odum (1971) individu-individu dalam populasi dapat tersebar menurut tiga pola yaitu, 1). acak 2). seragam, dan 3). bergerombol (tidak teratur). Pola penyebaran acak hanya terjadi bila lingkungan sangat seragam dan tumbuhan tersebut tidak mempunyai kecenderungan untuk mengelompok. Penyebaran seragam terjadi bila komposisi antar individu tersebut terjadi tolak menolak positif, sehingga timbul ruang atau jarak yang teratur antar individu. Penyebaran mengelompok paling umum terjadi di alam. Apabila individuindividu menyebar secara mengelompok, masing-masing kelompok kecil dapat tersebar, baik secara acak maupun seragam. Ludwig
dan
Reynold
(1988)
diacu
dalam
Istomo
(1994)
mengidentifikasikan faktor-faktor penyebab pembentukan pola penyebaran individu sebagai berikut: a. Faktor vektorial adalah hasil dari pengaruh kekuatan lingkungan luar (seperti angin, air dan intensitas cahaya) b. Faktor reproduksi merupakan akibat dari cara-cara pembiakan dari organisme tersebut (seperti regenerasi klon dan progeni) c. Faktor sosial yang merupakan hasil dari perilaku bawaan (seperti perilaku daerah penyebaran/teritorial) d. Faktor coactive hasil dari interaksi intra spesifik (misalnya kompetisi) e. Faktor stokastik hasil pengaruh acak beberapa faktor utama. Jadi pola penyebaran dari suatu organisme disebabkan oleh pengaruh dari dalam (seperti pembiakan, sosial dan coactive) atau dari luar (seperti vektorial). Selain itu Leigh (1982) diacu dalam Rio (1996) memperkenalkan teori penyebaran pohon sebagai berikut; a. Suatu jenis dapat tumbuh dan berkembang di suatu daerah karena telah melalui persaingan
16
b. Suatu jenis dapat tumbuh karena jenis yang berbeda menempati habitat yang berbeda c. Suatu jenis dapat berkembang karena perbedaan tanggapan setiap jenis terhadap pembukaan tajuk d. Suatu jenis dapat tumbuh dan berkembang karena terjadi perbedaan tanggapan dari faktor-faktor reproduksi pohon terhadap perubahan lingkungan.
2.8 Analisis Vegetasi Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik diantara sesama individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis (Marsono, 1991). Vegetasi, tanah dan iklim berhubungan erat dan pada tiap-tiap tempat mempunyai keseimbangan yang spesifik. Vegetasi di suatu tempat akan berbeda dengan vegetasi di tempat lain karena berbeda pula faktor lingkungannya. Vegetasi hutan merupakan suatu sistem yang dinamis, selalu berkembang sesuai dengan keadaan habitatnya. Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan atau komposisi vegetasi serta bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat tumbuhtumbuhan. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data jenis, diameter dan tinggi untuk menentukan Indeks Nilai Penting dari penyusun komunitas hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan. Berdasarkan
tujuan
pendugaan
kuantitatif
komunitas
vegetasi
dikelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu : (1) Pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal dengan batas-batas jenis dan membandingkan dengan areal lain atau areal yang sama namun waktu pengamatan berbeda; (2) Menduga tentang keragaman jenis dalam suatu areal; dan
17
(3) Melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan faktor lingkungan tertentu atau beberapa faktor lingkungan (Greig-Smith, 1983). Untuk mempelajari komposisi vegetasi perlu dilakukan pembuatan petakpetak
pengamatan
yang
sifatnya
permanen
atau
sementara.
Menurut
Soerianegara (1996) petak-petak tersebut dapat berupa petak tunggal, petak ganda ataupun berbentuk jalur atau dengan metode tanpa petak.