BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada
penelitian-penelitian
yang
bersifat
ilmiah,
tentunya
membutuhkan adanya landasan teori. Hal ini berfungsi untuk membangun pemikiran melalui konsep-konsep teoritis yang ada, selain itu dapat memberikan pedoman arah tujuan penelitian. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada bab ini penulis akan menguraikan teori-teori yang mendasari loyalitas dan hubungannya dengan servant leadership, lingkungan kerja dan jenis kelamin.
2.1. Loyalitas 2.1.1. Pengertian Loyalitas Menurut Robbins (2005), loyalitas adalah suatu keinginan untuk melindungi orang lain. Bila seseorang memiliki loyalitas dan kepercayaan terhadap suatu hal, maka orang tersebut bersedia berkorban dan setia terhadap hal yang dipercayainya tersebut. Sementara itu Flippo (2003) mengemukakan bahwa loyalitas merupakan tekad dan kesanggupan untuk menaati, melaksanakan dan mengamalkan sesuatu yang ditaati dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Karyawan yang loyal berarti karyawan yang bersedia dengan segala kemampuan, keterampilan dan waktu untuk ikut serta dalam aktivitas suatu perusahaan atau organisasi. Meyer, Allen & Smith (dalam Savareikene & Daugirdas, 2009) mengungkapkan bahwa loyalitas karyawan mengacu pada kekuatan dari identifikasi rasa pengikut, kesediaan untuk melakukan upaya ekstra, lampiran dan dedikasi untuk berkembang. Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka penulis menggunakan definisi loyalitas menurut Meyer et al. (dalam Savareikene & Daugirdas, 17
2009) yaitu loyalitas karyawan mengacu pada kekuataan dari identifikasi rasa pengikut, kesediaan untuk melakukan upaya ekstra, lampiran dan dedikasi untuk berkembang. Hal ini dikarenakan pengertian tersebut sesuai dengan tujuan penelitian penulis karena dianggap telah mencakup pengertian yang mampu diterima dan mudah dipahami.
2.1.2. Teori Loyalitas Teori loyalitas pertama kali diperkenalkan pada tahun 1940 sebagai konsep yang terbatas untuk mengetahui loyalitas konsumen. Setelah itu konsep loyalitas berevolusi dan terpisah menjadi dua konsep besar yaitu “preferensi merek” (Guest, dalam Bennett & Bove, 2002 ) dan “loyalitas sikap atau loyalitas perilaku” (Cuningham, 1956). Hampir 30 tahun setelah loyalitas
muncul
sebagai
literatur
akademik,
peneliti
selanjutnya
mengusulkan bahwa loyalitas terlihat kompleks jika terdiri atas dua konsep besar di atas. Kemudian pada tahun 1970, kedua konsep ini digabungkan menjadi dua konsep yang bersifat komposit yaitu loyalitas harus selalu terdiri atas sikap yang menguntungkan dan niat untuk mengulangi pembelian (Jacoby & Chestnut, 1978). Konsep komposit inilah yang menjadi dasar untuk penelitian loyalitas lebih banyak lagi setelah penelitian-penelitian sebelumnya. Barnes (dalam O’Malley & Tynan, 1998) mengakui bahwa konsumen mungkin tidak harus selalu membeli dari perusahaan yang sama, meskipun ia mungkin merasakan adanya hubungan dengan perusahaan tersebut. Selanjutnya masalah mengenai loyalitas ini tidak pernah dapat teratasi dengan pendekatan-pendekatan diatas, sehingga Blodgett et al. (dalam Haliru & Mokhtar, 2015) membedakan loyalitas adalah
hasil
psikologis dan niat untuk membeli kembali sebagai hasil dari perilaku. Dalam perkembangannya, Oliver (1999) memperluas gagasan tersebut dan 18
menggabungkan pembelian berulang dengan loyalitas dan menyarankan bahwa strategi psikologi sangat diperlukan untuk mencapai tujuan utama. Selanjutnya dengan adanya loyalitas konsumen, maka dibentuklah konsep loyalitas karyawan sebagai bagian dari loyalitas konsumen. Loyalitas dianggap penting untuk dimasukkan sebagai acuan dalam penilaian kinerja. Oleh sebab itu Djati & Darmawan (2005), mengungkapkan bahwa loyalitas karyawan merupakan faktor utama dalam kesuksesan jangka panjang dan profitabilitas bagi perusahaan. Menurut Reichheld (2003) loyalitas adalah kesediaan karyawan berinvestasi di atau pengorbanan bagi organisasi untuk memperkuat hubungan. Meyer et al. (dalam Savaraeikene & Daugirdas, 2009) dalam teorinya tentang loyalitas karyawan, mengungkapkan bahwa loyalitas
karyawan
mengacu
kepada
kekuatan
individu
untuk
mengidentifikasikan rasa pengikut dan kesediaan untuk melakukan upaya ekstra diserta dedikasi untuk berkembang, yang ditandai dengan kemampuan menempatkan diri pada usaha sendiri, menyelaraskan nilai dan misi, bertahan dalam organisasi, memberi kepuasaan bagi atasan, memiliki kewajiban dan komitmen moral serta dapat mengandalkan orang lain. Nyengane (dalam Mclaggan, Bezuidenhout & Botha, 2013) dalam teori loyalitasnya diungkapkan bahwa loyalitas merupakan bagian dari tipologi yang terkait dengan pengakuan, nilai dan hubungan antar individu, tipologitipologi tersebut adalah moral loyalty, calculative loyalty dan forced loyalty. Lee, Lee & Ling (2014) dalam teori loyalitas menyatakan bahwa sumber utama dari loyalitas karyawan dalam suatu organisasi adalah adanya keterikatan emosional terhadap organisasi. Ada tiga prinsip utama untuk meningkatkan emosional karyawan dalam organisasi yaitu: memungkinkan seluruh karyawan untuk memiliki misi, memberikan adanya perasaan nyaman dari karyawan ketika berada di dalam organisasi dan memungkinkan semua karyawan untuk memiliki rasa keadilan. 19
Penulis berasumsi bahwa loyalitas didasarkan pada kemampuan individu untuk menghadapi diri dan lingkungan sekitar untuk dapat bertahan pada pekerjaannya. Oleh sebab itu, loyalitas sangat dibutuhkan dalam bekerja. Dengan demikian bahwa teori loyalitas yang dikemukakan Meyer et al.(dalam Savaraeikene & Daugirdas, 2009), diungkapkan bahwa loyalitas karyawan mengacu kepada kekuatan individu untuk mengidentifikasikan rasa pengikut, kesediaan untuk melakukan upaya ekstra disertai dedikasi untuk berkembang yang ditandai dengan kemampuan menempatkan diri pada usaha sendiri, menyelaraskan nilai dan misi, bertahan dalam organisasi, memberi kepuasaan bagi atasan, memiliki kewajiban dan komitmen moral serta dapat mengandalkan orang lain sesuai dengan tujuan penulis.
2.1.3. Aspek-aspek Loyalitas Ada beberapa aspek-aspek loyalitas seperti yang diungkapkan oleh Meyer et al. (dalam Savareikene & Daugirdas, 2009), yaitu: a. Loyalitas afektif (affective loyalty) adalah mereka yang percaya bahwa nilai-nilai mereka sejajar dengan atasan. Mereka mengidentifikasikan diri dengan organisasi karena mereka ingin. Bentuk positif disebut sebagai loyalitas kepeduliaan. Karyawan ditempatkan pada banyak usaha dan energi yang dilakukan pada pekerjaan dari yang seharusnya dan melakukannya terutama karena nilai-nilai dan menyelaraskan misi. b. Loyalitas ekonomi atau berkelanjutan (Economic or contionuos loyalty) menggambarkan rasa kehilangan ketika meninggalkan organisasi. Karyawan merasa bahwa ia telah menginvestasikan beberapa hal yang berharga dalam organisasi dan merasa akan kehilangan jika meninggalkan hal tersebut. Karyawan akan tetap tinggal pada organisasi tersebut karena bermanfaat baginya, menjadi mahal ketika ia meninggalkan organisasi
20
tersebut. Karyawan melakukan pekerjaan mereka sebagai bentuk pemberian kepuasaan bagi manajer. c. Loyalitas normatif (normative loyalty) didasarkan pada kewajiban dan komitmen moral. Ini adalah hasil dari proses sosialisasi budaya dan organisasi. Karyawan merasa berkomitmen untuk tetap pada organisasi tersebut. Individu melakukan pekerjannya karena memang harus melakukannya. Individu percaya bahwa orang lain mengandalkannya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menggunakan aspek-aspek loyalitas Meyer et al. (dalam Savareikene & Daugirdas, 2009) karena sesuai dengan kebutuhan penulis. Savareikene & Daugirdas (2009), menjelaskan bahwa aspek-aspek yang diggunakan Meyer et al., merupakan bentuk loyalitas yang bukan hanya melihat hubungan manusia dan organisasi saja, tetapi melihat keputusan individu untuk tetap bertahan dalam organisasi. Guru yang memiliki loyalitas ditentukan dengan kepeduliaan, rasa untuk tidak meninggalkan organisasi dan komitmen terhadap organisasi. Hal ini jelas akan berdampak terhadap peningkatan produktivitas dari guru sendiri dan tercapainya tujuan dari organisasi tersebut. Dengan demikian ketiga aspek ini akan digunakan penulis untuk mengukur loyalitas guru honorer di sekolahsekolah pada Yayasan Persekolahan Kristen kota Ambon. Beberapa penelitian yang telah menggunakan skala Meyer et al., dalam penelitiannya, yaitu: Rowe (2013) yang meneliti mengenai Psychological capital and employee loyalty, Savareikena & Daugirdas (2009) untuk meneliti form of expression of employee loyalty, Boustani, Isfahani, Pourzamani & Jafarabadi (2014)
yang meneliti
The
relationship
between
corporate
social
responsibility and employee loyalty, Fominiene, Bulotiene & Mikalauskas (2013) yang meneliti tentang coaches’ loyalty importance on the organizations 21
2.1.4. Faktor-faktor yang memengaruhi loyalitas Faktor-faktor
yang
memengaruhi
loyalitas
seseorang
yaitu:
pengembangan karier (Wicaksono, 2013), motivasi (Duncan, Chung & Pajktek, 2013; Infrianto & Wahyoedi, 2011), Ikatan, keamanan kerja dan kepemimpinan
khususnya
seperti
kepemimpinan
transformasional,
transaksional dan pasif (Yu, 2010), servant leadership (Ding et al., 2012), leader exchange member leadership (Wibowo & Sutanto, 2013), gaya kepemimpinan seperti transaksional, transformasional dan organic (Khuong et al., 2014), kepemimpinan transformasional (Fajarani & Surya, 2015), hubungan karyawan yang satu dengan yang lain (Stephani & Wibawa, 2014), komitmen (Pandey & Khare, 2012; Mehthra et al., 2010). Menurut Steers & Poeters (dalam Soegandi, Sutanto & Setiawan, 2013) timbulnya loyalitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: karakteristik pribadi seperti usia (Al-Ma’ani, 2013), jenis kelamin (Mehthra et al., 2010; Ong et al., 2014), masa kerja (Al-Ma’ani, 2013), tingkat pendidikan, prestasi yang dimiliki, RAS dan sifat kepribadian; karakteristik pekerjaan meliputi tantangan kerja, stress kerja, kesempatan untuk berinteraksi sosial (Ineson et al., 2013), job enrichment, identifikasi tugas, umpan balik tegas dan kecocokan tugas; karakteristik desain perusahaan meliputi sentralisasi, tingkat formalitas, tingkat keikutsertaan dalam pengambilan keputusan, ketergantungan fungsional maupun fungsi kontrol perusahaan dan pengalaman yang diperoleh dalam perusahaan yaitu internalisasi individu terhadap perusahaan setelah melaksanakan pekerjaan tersebut yang meliputi sikap positif terhadap perusahaan (Matzler & Rentzl, 2006) sehingga menimbulkan rasa aman, merasakan adanya kepuasaan pribadi yang dapat dipenuhi oleh perusahaan (Aryani & Rosinta, 2011; Abdullah, Musa, Zahari, Rahman & Khalid, 2011; Pandey & Khare, 2012). 22
Berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh beberapa peneliti di atas, penulis menggunakan faktor kepemimpinan (servant leadership dalam penelitian yang dilakukan Ding et al., 2012) dan faktor lingkungan kerja. Dengan demikian, servant leadership merupakan faktor penting yang harus dimiliki pemimpin untuk meningkatkan loyalitas guru. Selain itu adanya lingkungan kerja yang kondusif akan menjadi bukti bahwa sekolah memberikan kenyamanan bagi guru untuk bekerja. Maka, lingkungan kerja juga merupakan faktor penting dalam membantu guru untuk bekerja dan bertahan dalam pekerjaannya.
2.2. Servant Leadership 2.2.1. Pengertian Servant leadership Greenleaf (dalam Giorgiov, 2010) mendefinisikan servant leadership sebagai adanya perasaan alami untuk saling melayani. Kemudian adanya pilihan sadar untuk memimpin perbedaan yang dimanifestasikan dalam dirinya untuk memastikan bahwa orang lain sebagai kebutuhan prioritas tertinggi. Menurut Patterson (2003), pemimpin yang melayani adalah seseorang yang cenderung melayani dan kecenderungan ini didasarkan pada prinsip, nilai-nilai dan keyakinan. Page & Wong (2000), menyatakan bahwa pemimpin yang melayani adalah seorang pemimpin yang memiliki tujuan utama adalah melayani orang lain dengan didasarkan pada orientasi karakter, orientasi orang, orientasi tugas dan orientasi proses serta secara khusus servant leader (pemimpin pelayan) menunjukkan integritas, kerendahan hati, servanthood atau kehambaan, kepeduliaan terhadap orang lain, memberdayakan orang lain, mengembangkan orang lain, visi penetapan tujuan, leading atau
23
memimpin, pemodelan atau keteladanan, membangun tim dan pengambilan keputusan bersama. Dari beberapa definisi di atas, maka penulis menggunakan definisi servant leadership menurut Page & Wong (2000) yaitu bahwa pemimpin yang melayani adalah seorang pemimpin yang memiliki tujuan utama adalah melayani orang lain dengan didasarkan pada orientasi karakter, orientasi orang, orientasi tugas dan orientasi proses serta secara khusus servant leader (pemimpin pelayan) menunjukkan integritas, kerendahan hati, servanthood atau kehambaan, kepeduliaan terhadap orang lain, memberdayakan orang lain, mengembangkan orang lain, visi penetapan tujuan, leading atau memimpin, pemodelan atau keteladanan, membangun tim dan pengambilan keputusan bersama. Secara garis besar, penulis menggunakan definisi dari Page & Wong (2000), karena dianggap penulis sesuai dengan tujuan penulisan dan mudah dipahami.
2.2.2. Teori Servant leadership Greenleaf (dalam Giorgiov, 2010) mengungkapkan bahwa servant leadership adalah kepemimpinan yang didasari dengan pelayanan, keterampilan,
pemahaman
dan
semangat
serta
kemampuan
untuk
menciptakan pengikut yang responsif terhadap pemimpinnya. Motivasi pemimpin yang melayani adalah bahwa kebutuhan tertinggi dari orang lain adalah prioritas. Berdasarkan teori Greenleaf ini muncul berbagai macam pemahaman dan teori seputar servant leadership. Spears (dalam Page & Wong, 2000) menjelaskan bahwa servant leadership adalah sebuah model kepemimpinan
dimana
pemimpin
memiliki
kemampuan
berempati,
persuasive dan komunikatif. Selain itu juga, Barbuto & Wheeler (2006) menjelaskan teori servant leadership sebagai sebuah model atau pola kepemimpinan yang mengikuti teladan Yesus, yang mengutamakan 24
pelayanan terhadap orang-orang disekitar. Selain itu Page & Wong (2000) dalam teorinya menjelaskan model konseptual dari servant leadership adalah menggunakan hati. Kemudian Page & Wong (2003) mengembangkan lagi model opponent-process pada servant leadership dan merevisi profil dasar dari penelitian empirik. Kontribusi signifikan dari model ini adalah mengidentifikasi eksplisitas kepemimpinan autocratic sebagai praktek servant leadership, dengan disertai beberapa hal penting dalam servant leadership yaitu pemberdayaan dan pengembangan orang lain, kerendahan hati, melayani orang lain, terbuka dan participatory leadership, pemimpin yang menginspirasi, pemimpin yang memiliki visi dan pemimpin yang berani (memiliki integritas dan apa adanya). Menurut Patterson (2003), kepemimpinan yang melayani adalah sebuah teori yang memiliki nilai-nilai dan norma, didalamnya berfokus pada pemimpin adalah pengikut dan perilaku serta sikapnya kongruen dengan fokus pengikut. Penulis berasumsi bahwa loyalitas didasarkan pada peran seorang pemimpin untuk dapat melayani bawahannya dengan hati. Oleh karena itu dibutuhkan penerapan servant leadership dalam diri seorang pemimpin. Dengan demikian bahwa teori servant leadership yang dikemukakan oleh Page & Wong (2000), bahwa pemimpin yang melayani adalah seorang pemimpin yang memiliki tujuan utama adalah melayani orang lain dengan didasarkan pada orientasi karakter, orientasi orang, orientasi tugas dan orientasi proses serta secara khusus servant leader (pemimpin pelayan) menunjukkan integritas, kerendahan hati, servanthood atau kehambaan, kepeduliaan
terhadap
orang
lain,
memberdayakan
orang
lain,
mengembangkan orang lain, visi, penetapan tujuan, leading atau memimpin, pemodelan atau keteladanan, membangun tim dan pengambilan keputusan bersama.
25
2.2.3. Aspek-aspek Servant leadership Ada beberapa aspek yang dikemukakan oleh Page & Wong (2000) yaitu: a. Orientasi
karakter
(character-orientation)
yaitu
kepedulian
dan
keprihatinan seseorang dengan sikap seorang pelayan dan berfokus pada nilai-nilai kepemimpinan, kredibilitas dan motif. Hal ini ditunjukkan dengan integritas, kerendahan hati dan kelembutan. b. Orientasi
orang (people-orientation) yaitu keprihatinan terhadap
pengembangan sumber daya manusia serta hubungan pemimpin dengan orang lain serta komitmennya untuk mengembangkan orang lain c. Orientasi tugas (task-orientation) yaitu keprihatinan terhadap pencapaian produktivitas dan kesuksesan, yang berfokus pada tugas-tugas dan keterampilan pemimpin untuk mencapai sukses. Hal ini ditunjukkan dengan adanya visi, penentuan tujuan dan memimpin d. Orientasi proses (process-orientation) yaitu keprihatinan dengan meningkatkan efisiensi organisasi, dengan berfokus pada kemampuan pemimpin untuk mengembangkan model dan sistem yang fleksibel, efisien dan terbuka. Ini ditunjukkan dengan pemodelan, team building dan pengambilan keputusan bersama.
Sejauh penelusuran penulis ada beberapa penelitian yang menggunakan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Page & Wong (2000) yaitu: Srimulyani dkk. (2016) meneliti tentang dampak intergrative leadership dan employee engagement terhadap perilaku extra-role, William (2009) yang meneliti An analysis of participation in servant leadership as self reported by elementary school principals in southwest Georgia. Clark (2011) meneliti tentang The influence of the principal as servant leader on school climate as perceived by teachers in a large midwetern scholl district, Deniss & Winston (2003) 26
meneliti tentang a factor analysis Page and Wong leadership instrument, dan Farmer (2009) yang mengkaji tentang servant leadership attributes in senior military officers: a quantitative study examining demographic factors.
2.2.4. Efek servant leadership Servant leadership adalah gaya kepemimpinan yang mengoptimalkan pemberdayaan dan pengembangan anggota organisasi (Astohar, 2012). Selain itu kepemimpinan melayani dianggap sebagai katalis perubahan dalam mengupayakan organisasi dan mengarahkan bawahan melalui perubahan dalam mencapai produktivitas kerja (Jahidi, 2011). Servant leadership berperan besar dalam meningkatkan kinerja dari karyawan, hal ini disebabkan karena pemimpin yang melayani dapat melihat kebutuhankebutuhan karyawan (Setiawan, Sumantri, Izakandar & Sulastiana, 2015). Mira & Margareta (2012) mengungkapkan bahwa pemimpin sangat berperan besar dalam memengaruhi orang lain termaksuk loyalitas karyawan atau orang-orang yang dipimpin sehingga
dari
orang-orang yang
dipimpinnya timbul suatu kemauan, respect, kepatuhan dan kepercayaan terhadap pemimpin untuk melaksanakan apa yang dikehendaki oleh pemimpin tersebut, dan tugas-tugas serta tujuan organisasi agar dapat berjalan efektif dan efisien. Apabila pemimpin dapat memberikan respon yang baik, maka kesediaan karyawan untuk berkorban dan setia pada organisasi juga akan semakin meningkat.
27
2.3. Lingkungan Kerja 2.3.1. Pengertian Lingkungan Kerja Lingkungan kerja adalah suatu lingkungan dimana karyawan bekerja sedangkan kondisi kerja merupakan kondisi dimana karyawan tersebut bekerja (Alhusin, 2005). Nitiseno (dalam Lewa & Subowo, 2005) menyatakan lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada di sekitar pekerja yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Moos (dalam Masqood, 2011) mendefinisikan lingkungan kerja sebagai tempat dimana karyawan melakukan kativitas setiap harinya. Lingkungan kerja yang kondusif memberikan rasa aman dan memungkinkan karyawan untuk dapat bekerja optimal. Lingkungan kerja dapat juga memengaruhi emosi karyawan. Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka penulis menggunakan definisi lingkungan kerja menurut Moos (dalam Masqood, 2011) yaitu tempat dimana karyawan melakukan aktivitas setiap harinya. Lingkungan kerja yang kondusif memberikan rasa aman dan memungkinkan karyawan untuk dapat bekerja optimal. Lingkungan kerja dapat memengaruhi emosi karyawan.
28
2.3.2. Teori Lingkungan Kerja Konsep lingkungan kerja merupakan sebuah konsep awal dari teori Kurt Lewin yang menyatakan bahwa perilaku adalah lingkungan atau bagian dari lingkungan. Konseptualisasi ini menjelaskan lingkungan kerja sebagai pengaturan perilaku atau sistem sosial skala kecil yang terdiri dari orangorang atau benda-beda fisik dan diatur oleh aturan perilaku. Perspektif ini menjelaskan lingkungan kerja dan implikasinya khususnya dalam bentuk hubungan lingkungan ke hasil yang dikelompokkan di bawah kategori yang lebih luas yaitu perspektif interaksional orang-lingkungan dan dari sudut pandang lingkungan (Clegg & Balley,t.t). Sementara itu, model interaksional orang-lingkungan (Hollands dalam Gottfredson, 1999) meneliti lingkungan sebagai
produk
interaksi
antara
individu
dan
lingkungan.
Model
interaksional orang-lingkungan atau model Holland mengasumsikan lingkungan didefinisikan seperti orang. Selanjutnya, orientasi kepribadian individu mengarah untuk mengembangkan karakteristik lingkungan kerja yaitu realistis, investigatif, artistik, sosial dan bersifat konvensional. Hal ini diperjelas oleh Strange & Banning (2001), bahwa kinerja individu dioptimalkan ketika kebutuhan seseorang dan kemampuan kongruen dengan tuntutan lingkungan. Sementara itu model lingkungan Stern menjelaskan lingkungan kerja dalam hal karateristik tuntutan atau pengaturan figur seperti yang dirasakan oleh peserta. Dengan ini menerangkan bahwa tanggapan individu untuk kegiatan berhubungan dengan kebutuhan orientasi pribadi tertentu misalnya prestasi, kemampuan beradaptasi, dominasi dan lain-lain. Pervin (dalam Kesler, Spector, Borman, Nelson, Bandelli & Penner, 2010 ) mengusulkan bahwa lingkungan yang merangsang untuk keselarasan antara yang dirasakan individu dan diri ideal menyajikan faktor penting dalam kepuasaan dan produktivitas individu. Walsh & Beltz (2006), mengkritik model interaksional sebagai model yang tidak efektif. Ini disebabkan karena 29
model dianggap tidak sesuai dalam menggambarkan proses perkembangan atau hasil lingkungan kerja yang terkait. Moos & Siegerist (dalam Masqood, 2011) menjelaskan dari sudut pandang yang berbeda yaitu perilaku individu terutama fungsi dari lingkungan atau faktor situasional. Model ini berfokus pada penilaian persepsi atribut dari lingkungan dan sikap. Selain itu Moos (dalam Masqood, 2011) menjelaskan bahwa lingkungan kerja merupakan tempat karyawan melakukan aktivitas setiap harinya dan memberikan rasa aman serta memungkinkan karyawan untuk dapat bekerja optimal.
2.3.3. Dimensi lingkungan kerja Dimensi-dimensi lingkungan kerja menurut Moos (dalam Masqood, 2011) adalah: a. Dimensi hubungan (relationship) didefinisikan sebagai sifat dan intensitas hubungan pribadi di lingkungan. Indikator dari dimensi ini adalah keterlibatan (involvement) yaitu sejauh mana karyawan merasakan prihatin dan berkomitmen terhadap pekerjaan mereka; kohesi rekan kerja (coworkers cohesion) yaitu seberapa banyak karyawan yang ramah dan mendukung satu dengan yang lain; dukungan supervisor (supervisor support)
yaitu sejauh mana manajemen mendukung
karyawan dan mendorong karyawan untuk mendukung satu dengan yang lain b. Dimensi pertumbuhan pribadi (personal growth) dapat didefinisikan sebagai peluang dalam lingkungan untuk pertumbuhan pribadi dan pengembangan. Indikator dari dimensi ini adalah otonomi (autonomy) yaitu seberapa banyak karyawan didorong untuk menjadi mandiri dan membuat keputusan sendiri; orientasi tugas (task orientation) yaitu tingkat penekanan pada perencanaan yang baik, efisiensi dan mendapatkan pekerjaan yang dilakukan; tekanan kerja (work pressure) 30
yaitu tingkat dimana tuntutan kerja yang tinggi dan tekanan waktu mendominasi lingkungan pekerjaan. c. Dimensi sistem pemeliharaan dan perubahan (system maintance and change. Dimensi ini dapat didefinisikan sejauh mana lingkungan tertib dan jelas dalam harapan-harapannya, mempertahankan kontrol dan responsif terhadap perubahan. Dalam dimensi ini terdiri dari beberapa indikator yaitu kejelasan (clarity) yaitu sejauh mana karyawan tahu apa yang diharapkan dalam rutinitas sehari-hari mereka dan bagaimana adanya aturan eksplisit serta kebijakan yang dikomunikasikan; kontrol manajemen (managerial control) adalah seberapa banyak manajemen menggunakan aturan dan prosedur untuk menjaga karyawan tetap di bawah kontrol; inovasi (innovation) adalah tingkat penekanan pada berbagai perubahan dan pendekatan baru; kenyamanan fisik (physical comfort) adalah sejauh mana lingkungan fisik berkontribusi pada lingkungan kerja yang menyenangkan.
Sejauh penelusuran penulis, semua penelitian yang dilakukan penelitipeneliti sebelumnya menggunakan Moos untuk menentukan peubah lingkungan kerja. Peneliti-peneliti itu seperti DeStefano, Clark, Gavin & Potter (t.t) yang mengungkap hubungan antara faktor-faktor lingkungan kerja dengan kepuasaan kerja ditinjau dari perilaku professional yang sehat; Poropat (2009) yang mengungkap validitas persepsi kinerja lingkungan; predictor lingkungan kinerja perusahaan; Edward & Thomas (2011) mengungkap faktor-faktor lingkungan kerja terhadap afeksi pada retensi staff perawat; Faisal (2010) yang menentukan pengukuran persepsi lingkungan kerja terkait pendidikan wanita yang bekerja pada sektor publik di Pakistan; Chan & Huak (2004) yang menentukan pengaruh lingkungan kerja pada kesehatan emosi dalam pengaturan pada kepeduliaan kesehatan; Sardzoska 31
(2006) yang menentukan persepsi aspek psikososial dalam variasi lingkungan kerja. Westerman & Yamamura (2007) melakukan penelitian untuk menentukan preferensi umum pada lingkungan kerja. Work environment scale (WES) yang dibuat oleh Moos pada tahun 1981 (dalam Masqood, 2011), dapat digunakan untuk menggambarkan lingkungan sosial di tempat kerja, pandangan yang berbeda antara karyawan dengan manajer dalam sebuah kelompok dan membandingkan lingkungan kerja sebenarnya dengan lingkungan kerja yang disukai. Persepsi karyawan dalam suatu kelompok dapat dibandingkan antara satu dengan yang lain. WES juga dapat digunakan untuk memfasilitasi perencanaan konseling dan karier serta membantu merumuskan deskripsi kasus-kasus klinis. Selain itu, WES memiliki beberapa aplikasi penting untuk mengevaluasi program, yang digunakan untuk membantu merencanakan dan memantau perubahan dalam pengaturan kerja, mengevaluasi dampak dari program intervensi dan mempromosikan peningkatan kinerja di tempat kerja.
2.3.4. Efek Lingkungan Kerja Lingkungan kerja merupakan faktor penting yang sangat menentukan loyalitas kerja individu. Lingkungan kerja yang menyenangkan, penataan ruang kerja yang baik serta adanya kenyamanan dalam bekerja akan membuat karyawan menjadi betah dan puas dalam bekerja. Hal ini membuat loyalitas karyawan juga akan terjaga dengan baik dan tepat menyelesaikan pekerjaan dengan baik (Dwipayoga, Suhendra & Andyani, 2013). Selain itu menurut Rahmawanti, Swasto & Prasteya (2014) bahwa persepsi individu terhadap lingkungan kerja akan sangat mempengaruhi kinerja yang dihasilkan
individu.
Keadaan
yang
menyenangkan
akan
membuat
kecenderungan perasaan nyaman begitu juga sebaliknya, jika keadaan yang tidak menyenangkan maka individu merasa tidak nyaman dan terjadi 32
penurunan kinerja. Pratama, Suryoko & Widiartanto (2015) mengungkapkan bahwa lingkungan kerja yang tidak nyaman seperti pencahayaan yang kurang akan sangat mempengaruhi karyawan sendiri dalam bekerja. Hasil penelitian menunjukkan lebih dari 90% kualitas lingkungan kerja memengaruhi suasana hati, mood dan sikap tentang pekerjaan mereka, sehingga hal ini menunjukkan bahwa semuanya akan sangat mempengaruhi loyalitas karyawan (Yin, Fen, Meng,Yin & Jack, 2012). Purnama (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa lingkungan kerja yang nyaman akan membuat loyalitas karyawan meningkat.
2.4. Jenis Kelamin 2.4.1. Pengertian Jenis Kelamin Menurut Hungu (2007), jenis kelamin adalah perbedaan antara lakilaki dan perempuan secara biologis sejak seseorang lahir. Fakih (2003) menjelaskan jenis kelamin adalam pensifatan atau pembagian jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Santrock (2011) juga menjelaskan bahwa jenis kelamin merupakan dimensi biologis antara laki-laki dan perempuan. Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin adalah sifat secara biologis dalam diri individu untuk membedakan laki-laki dan perempuan.
33
2.5. Penelitian-Penelitian Terdahulu Loyalitas merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan sekolah. Semakin loyal dalam suatu pekerjaan maka pelaksanaan tugas-tugas pekerjaan semakin baik pula. Tanpa adanya loyalitas dari guru, sekolah akan mengalami dampak negatif yaitu sulitnya mencapai hasil yang optimum. Loyalitas yang baik terhadap sekolah dapat diwujudkan dengan tingginya komitmen dan tanggung jawab terhadap tugas yang diberikan serta kemampuan untuk bertahan dalam suatu pekerjaan untuk mencapai nilai dan misi dari sekolah. Penelitian sebelumnya merupakan hal yang penting sebagai penentu atau dasar penyusunan penulisan ini. Oleh sebab itu, berbagai penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa hasil analisa servant leadership, lingkungan kerja dan jenis kelamin menjadi faktor yang memiliki keterkaitan dengan loyalitas guru.
2.5.1. Pengaruh Servant Leadership (X1) dan Lingkungan Kerja (X2) terhadap Loyalitas (Y) Sejauh penelusuran penulis, masih jarang ditemukan penelitian yang simultan antar variabel yang penulis teliti. Penelitian yang dilakukan Amanah, dkk. (2015) bahwa ada pengaruh antara perilaku kepemimpinan (salah satu bagian atau aspek dari servant leadership) dan lingkungan kerja terhadap loyalitas dengan nilai
=0,403. Peneliti dalam penelitian ini
menggunakan salah satu bagian dari servant leadership untuk menjadi variabel baru dalam penelitian.
2.5.2. Pengaruh Servant Leadership (X1) Terhadap Loyalitas (Y) Dalam kaitan dengan loyalitas,kepemimpinan memainkan peranan penting. Segala atribut yang melekat dalam diri pemimpin akan memberikan 34
sesuatu yang positif juga dalam diri bawahan. Ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Yu (2010) yaitu adanya hubungan yang positif antara loyalitas dengan karyawan, yang ditunjukkan dengan nilai
=0,199. Selain
itu Ding, et al. (2012) melakukan penelitian terhadap 186 karyawan di Cina, dan menemukan adanya huungan antara servant leadership dan loyalitas karyawan dengan nilai
=0,425. Rahgozar et al (2013) menemukan adanya
pengaruh antara servant leadership dan loyalitas yang ditunjukkan dengan =0,277
2.5.3. Pengaruh Lingkungan Kerja (X2) dan Loyalitas (Y) Lingkungan kerja merupakan salah satu faktor yang memengaruhi loyalitas dari karyawan. Dalam bekerja setiap orang mengharapkan untuk dapat menemukan kenyamanan lingkungan kerjanya. Ini sejalan dengan penelitian Ineson et al. (2013) juga mengungkapkan bahwa ada hubungan positif antara lingkungan kerja dengan loyalitas sebesar
=0,116.
Dwipayoga dkk. (2013) juga menemukan bahwa ada hubungan positif antara lingkungan kerja dan loyalitas kerja dengan
=0,402. Ini juga didukung
oleh Ainun (2013) bahwa ada pengaruh yang signifikan antara lingkungan kerja dan loyalitas. Albahussain (2014) menemukan bahwa lingkungan kerja memiliki hubungan positif dan signifikan dengan loyalitas karyawan, yang ditunjukkan dengan nilai
=0,299. Selain itu, Maineldi dkk. (2014) pada
60 karyawan di Surabaya, ditemukan ada hubungan antara lingkungan kerja dengan loyalitas karyawan, yang ditunjukkan dengan nilai
= 0,214. Ini
juga didukung oleh Kiruthinga & Magesh (2015) yang menemukan adanya pengaruh yang signifikan antara lingkungan kerja terhadap loyalitas dengan nilai
=0,317. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Tastariwal &
Mahadani (2015) menemukan adanya pengaruh antara lingkungan kerja dan loyalitas dengan nilai
=0,316. Selain itu Pratama (2015) yang menemukan 35
bahwa ada hubungan yang signifikan antara lingkungan kerja dan loyalitas. sementara Zaim & Zaim (t.t) menemukan adanya pengaruh yang signifikan antara lingkungan kerja dengan loyalitas sebesar
=0,122. Berbeda dengan
penelitian-penelitian sebelumnya, Stephani & Wibawa (2014) menemukan bahwa tidak ada pengaruh antara lingkungan kerja dan loyalitas.
2.5.4. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Loyalitas. Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, masih ada pro dan kontra mengenai loyalitas yaitu siapa yang lebih loyal dengan tempat bekerja. Omar et al. (2010) menemukan bahwa jenis kelamin sangat memengaruhi loyalitas karyawan. Hal ini juga didukung oleh Al-Ma’ani (2013) dalam penelitiannya menemukan bahwa jenis kelamin laki-laki cenderung memiliki loyalitas yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh faktor pekerjaan yang dilakukannya. Pernyataan ini didukung oleh Roehling et al. (2001) yang menyatakan bahwa perempuan kurang menunjukkan loyalitas dibandingkan laki-laki. Selain itu menurut Bens (dalam Emmerick, 2006) mengungkapkan bahwa dalam teori peran sosialisasi gender, perempuan lebih memiliki peran atau perilaku yang mempengaruhi sosioemosional, sebaliknya laki-laki lebih melihat kepada faktor kualitas. Beberapa penelitian dan pernyataan di atas, bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Al-Qarioti & Freih (2009) bahwa tidak ada efek atau pengaruh antara loyalitas dengan jenis kelamin. Sementara itu pada penelitian yang dilakukan Khleifat et al. (dalam Al-Ma’ani, 2013) bahwa tidak ada karakteristik pribadi yang memengaruhi loyalitas dalam sebuah organisasi.
36
2.6. Dinamika Hubungan antar Peubah Loyalitas merupakan perilaku karyawan dalam bekerja, dimana individu bertahan terhadap pekerjaannya untuk mencapai tujuan dalam lembaga atau organisasi tempatnya bekerja. Berdasarkan kajian dan hasil temuan yang telah dipaparkan penulis sebelumnya, penulis berasumsi bahwa servant leadership memiliki pengaruh terhadap loyalitas guru. Hal ini berarti semakin tinggi loyalitas guru, semakin tinggi pula servant leadership yang ditunjukkan pemimpin. Pemimpin dengan menerapkan servant leadership yang tinggi memungkinkan guru bekerja menuju arah berbagai visi dan menghargai komitmen bersama diri serta mempunyai potensi untuk mengimprovasasi seluruh lingkungan sekolah baik sebagai pendidik maupun pengasuh Cerit & DuFour (dalam Mahembe & Engelbretch, 2014). Guru dengan pemimpin yang menerapkan servant leadership akan lebih mampu untuk bekerja secara optimal, sehingga akan lebih loyal terhadap lembaga tempatnya bekerja. Servant leadership ada dengan menggunakan empat orientasi penting yaitu orientasi karakter, orientasi orang, orientasi tugas dan orientasi proses. Keempat orientasi ini bertujuan agar kebutuhan psikologis guru menjadi terpenuhi sehingga membantu guru untuk bekerja dan berdedikasi yang lebih baik terhadap lembaga tempatnya bekerja. Pemimpin dengan menerapkan servant leadership maka akan membuat karyawan memiliki loyalitas pada pekerjaan yang dilakukannya. Selain itu servant leadership akan mendorong individu ada dalam organisasi yang sehat (Anzalone, 2007). Berdasarkan uraian di atas, pentingnya servant leadership akan membuat pemimpin lebih puas dan bahagia terhadap guru ketika bekerja dan membuat guru lebih loyal terhadap pekerjaannya. Selain servant leadership, berdasarkan pada kajian dan hasil penelitian sebelumnya, peneliti berasumsi bahwa lingkungan kerja memiliki 37
pengaruh yang positif dan signifikan terhadap loyalitas guru. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi lingkungan kerja yang kondusif, semakin tinggi pula loyalitas yang dimiliki guru. Guru yang bekerja pada kondisi lingkungan kerja yang nayaman dan kondusif akan membuat guru menjadi lebih betah dan kinerjanya meningkat. Hal ini didukung oleh Ceylan (dalam Khuong, 2013) yang menyatakan bahwa lingkungan kerja yang nyaman akan memberi kenyamanan secara psikologis bagi individu. Dalam suatu kesempatan, Leblibici (2012) mengungkapkan bahwa kualitas lingkungan kerja yang baik akan membantu meningkatkan motivasi, kinerja dan produktivitas. Ketika guru memiliki kenyamanan dengan lingkungan kerjanya, guru akan memilih bertahan dan bekerja dengan optimal. Peran lingkungan kerja mempengaruhi loyalitas guru, karena adanya lingkungan yang kondusif dan memberikan kenyamanan dalam bekerja sehingga menimbulkan loyalitas yang baik. Oleh karena itu dengan adanya lingkungan kerja yang kondusif, maka akan menciptakan loyalitas yang positif juga.
38
2.7. Model Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian, hasil-hasil penelitian dan landasan teori yang telah dikemukakan sebelumnya maka kaitan antar variabel sebagai berikut: Gambar 2.1. Model Penelitian
Servant Leadership
Loyalitas Guru
Lingkungan Kerja
♂
♀
2.8. Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. Ada pengaruh simultan antara servant leadership dan lingkungan kerja terhadap loyalitas guru honorer laki-laki di sekolah-sekolah pada Yayasan Persekolahan Kristen kota Ambon 2. Ada pengaruh simultan antara servant leadership dan lingkungan kerja terhadap loyalitas guru honorer perempuan di sekolah-sekolah pada Yayasan Persekolahan Kristen kota Ambon 3. Ada perbedaan antara loyalitas ditinjau dari jenis kelamin
39