BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PEMURNIAN MINYAK SAWIT Minyak sawit pada umumnya dimurnikan terlebih dahulu sebelum dilakukan fraksinasi dan digunakan untuk berbagai keperluan. Tujuan utama pemurnian minyak adalah untuk menghilangkan rasa serta bau yang tidak enak, warna yang tidak menarik, dan memperpanjang masa simpan minyak sebelum dikonsumsi atau digunakan sebagai bahan mentah dalam industri. Pemurnian minyak sawit meliputi tahap netralisasi (refined), pemucatan (bleached), dan deodorisasi (deodorized). Oleh karena itu, minyak sawit yang dimurnikan biasanya lebih dikenal dengan sebutan RBDPO (Refined bleached deodorized palm oil). Sebelum dilakukan pemurnian, biasanya minyak melewati perlakuan pendahuluan terlebih dahulu. Tujuan perlakuan pendahuluan antara lain untuk menghilangkan kotoran dan memperbaiki stabilitas minyak dengan mengurangi jumlah ion logam, untuk memudahkan proses pemurnian selanjutnya, dan mengurangi minyak yang hilang selama proses pemurnian, terutama pada proses netralisasi (Ketaren, 2008). Netralisasi merupakan suatu proses untuk memisahkan asam lemak bebas dari minyak atau lemak dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga membentuk sabun (soap stock). Pemisahan asam lemak bebas dapat juga dilakukan dengan cara penyulingan yang dikenal dengan istilah deasidifikasi. Netralisasi dengan menggunakan NaOH banyak dilakukan dalam skala industri karena lebih murah dan lebih efisien dibandingkan dengan cara netralisasi lainnya. Selain itu, penggunaan NaOH juga membantu dalam mengurangi zat warna dan kotoran yang berupa getah dan lendir dalam minyak. Sabun yang terbentuk dapat membantu pemisahan zat warna dan kotoran seperti fosfatida dan protein dengan cara membentuk emulsi. Emulsi yang terbentuk ini dapat dipisahkan dari minyak dengan cara sentrifugasi. Netralisasi dengan menggunakan NaOH akan menyabunkan sejumlah kecil trigliserida. Hal serupa juga terjadi pada komponen minor dalam minyak berupa sterol, klorofil, vitamin E, dan karotenoid yang hanya sebagian kecil dapat dikurangi dengan proses netralisasi (Ketaren, 2008). Proses pemisahan asam lemak bebas dengan cara penyulingan merupakan proses penguapan asam lemak bebas langsung tanpa mereaksikan dengan larutan basa, sehingga asam lemak yang terpisah tetap utuh. Minyak kasar yang akan disuling terlebih dahulu dipanaskan dengan alat penukar kalor (heat exchanger). Selanjutnya minyak tersebut dialirkan secara kontinu ke dalam alat penyuling dengan letak horizontal. Sepanjang dasar ketel terdapat pipa-pipa berlubang tempat menginjeksikan uap air ke dalam minyak yang sudah dipanaskan pada suhu kurang lebih 240 oC, sehingga asam lemak bebas menguap bersama-sama dengan uap panas tersebut. Hasil sulingan berupa campuran uap air dan asam lemak bebas akan mengembun dalam kondensor pada suhu 70-80 oC. Kerusakan minyak akibat suhu tinggi dihindari dengan menetralkan asam lemak bebas yang tertinggal dengan persenyawaan basa (Ketaren, 2008). Pemucatan merupakan suatu proses untuk menghilangkan zat-zat warna yang tidak disukai di dalam minyak. Pemucatan dilakukan dengan mencampur minyak dengan sejumlah kecil adsorben, seperti tanah serap (fuller earth), lempung aktif (activated clay), dan arang aktif atau juga menggunakan bahan kimia. Zat warna dalam minyak akan diserap oleh permukaan adsorben yang juga akan menyerap suspensi koloid serta hasil degradasi minyak. Pemucatan minyak menggunakan adsorben umumnya dilakukan dalam ketel yang dilengkapi dengan pipa uap. Minyak yang akan dipucatkan dipanaskan pada suhu 105 oC selama 1 jam. Penambahan adsorben dilakukan pada saat
minyak mencapai suhu 70 - 80 oC dan jumlah adsorben kurang lebih sebanyak 1.0 – 1.5 % dari berat minyak. Selanjutnya minyak dipisahkan dari adsorben dengan cara penyaringan menggunakan kain tebal atau pengepresan dengan filter press. Cara pemucatan dengan bahan kimia banyak digunakan untuk minyak yang akan digunakan sebagai bahan pangan karena lebih baik dibandingkan dengan adsorben. Keuntungan menggunakan bahan kimia adalah hilangnya sebagian minyak dapat dihindarkan dan zat warna diubah menjadi zat tidak bewarna yang tetap tinggal di dalam minyak (Ketaren, 2008). Deodorisasi merupakan suatu proses untuk menghilangkan bau dan rasa yang tidak enak dalam minyak. Prinsip proses deodorisasi adalah penyulingan minyak dengan uap panas dalam tekanan atmosfer atau keadaan vakum. Proses deodorisasi perlu dilakukan terhadap minyak yang digunakan untuk bahan pangan. Proses deodorisasi dilakukan dengan cara memompakan minyak ke dalam ketel deodorisasi. Kemudian minyak tersebut dipanaskan pada suhu 200 – 250 oC pada tekanan 1 atmosfer dan selanjutnya pada tekanan rendah dengan tetap dialiri uap panas, selama 4 – 6 jam. Pada suhu yang lebih tinggi, komponen yang menimbulkan bau dalam minyak akan lebih mudah menguap. Penurunan tekanan selama proses deodorisasi akan mengurangi jumlah uap yang digunakan dan mencegah hidrolisis minyak oleh uap air. Setelah proses deodorisasi sempurna, minyak harus cepat didinginkan dengan mengalirkan air dingin melalui pipa pendingin sehingga suhu minyak turun menjadi sekitar 84 oC dan selanjutnya ketel dibuka serta minyak dikeluarkan (Ketaren, 2008). Gambar 1 menunjukkan proses pemurnian minyak yang biasa dilakukan di industri. Hasil minyak yang telah dimurnikan sedapat mungkin dijaga agar tidak banyak mengalami kerusakan dengan memperhatikan faktor-faktor suhu, cara penanganan, dan kemasan yang dipakai (Ketaren, 2008).
Gambar 1. Proses pemurnian minyak (Arif, 2010)
5
2.2 FRAKSI STEARIN Stearin merupakan fraksi dari minyak sawit yang berbentuk padat. Fraksi ini merupakan coproduct atau hasil samping yang diperoleh dari minyak sawit bersama-sama dengan fraksi olein. Stearin memiliki slip melting point pada kisaran suhu 45-56°C, sedangkan olein pada kisaran suhu 1323°C. Hal ini menunjukan bahwa stearin yang memiliki slip melting point lebih tinggi akan berada dalam bentuk padat pada suhu kamar (Pantzaris, 1994). Stearin hasil fraksinasi yang tidak murni merupakan campuran dari berbagai asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh dengan komponen terbanyak adalah asam palmitat (Ketaren, 2008). Stearin pada umumnya digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan shortening, margarin, dan pasta (Ketaren, 2008). Hal ini juga didukung oleh stearin yang bersifat plastis. Hal utama yang menyebabkan stearin mempunyai sifat plastis dan beku pada suhu ruang adalah tingginya kandungan asam lemak palmitat pada stearin. Karakteristik fisik dari stearin sangat berbeda dengan produkproduk lainnya dari minyak sawit terutama pada parameter titik leleh dan nilai bilangan iod. Dari hasil survey MARDI tahun 1997/1998 (Satiawihardja et.al, 2001), karakteristik fisik dan kimia dari fraksi stearin dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa nilai mutu merupakan kisaran dari beberapa nilai. Hal ini menunjukkan bahwa setiap jenis minyak, meskipun berasal dari sumber minyak yang sama memiliki karakteristik yang unik. Kandungan lemak padat (solid fat content, SFC) merupakan rasio antara lemak padat terhadap lemak cair ketika lemak didinginkan di bawah titik leleh komponen dengan titik leleh tertinggi dan sangat bergantung pada kondisi campuran trigliserida (Ketaren, 2008). Nilai SFC ini merupakan salah satu parameter mutu yang penting pada stearin.
No. 1.
Tabel 4. Karakteristik fraksi stearin minyak sawit Karakteristik yang diidentifikasi Nilai Kisaran
Rata-Rata
o
Densitas relatif 50 C
0.8816-0.8915
0.8866
50 C
1.4472-1.4511
1.4492
2.
Indeks refraktif D
3.
Bilangan penyabunan (mg KOH/ g minyak)
192-205
199
4.
Materi tak tersabunkan (%)
0.3-0.9
0.6
5.
Komposisi asam lemak (%berat sebagai ester metil) C12:0
0.1-0.4
0.25
C14:0
1.1-1.8
1.45
C16:0
50.5-73.8
62.2
C16:1
0.05-0.10
0.07
C18:0
4.4-5.6
5.0
C18:1
15.6-33.9
24.8
C18:2
3.2-8.5
5.9
C18:3
0.1-0.5
0.3
C20:0
0.3-0.6
0.45
21.6-46.0
33.8
46-56
51.0
300-600
450
6.
Bilangan iod (wijs) o
7.
Slip point ( C)
8.
Total Karotenoid (sebagai β-karoten) mg/kg
6
Tabel 5. Solid Fat Content (%Massa) stearin (n=150) dengan menggunakan NMR o
C
Rata-Rata
Kisaran
5
77.5
63-92
10
72.57
54-91
15
66.4
42-91
20
59.4
31-87
25
51.2
20-83
30
45.0
16-74
35
38.8
12-65
40
32.0
7-57
45
25.7
3-49
50
19.9
0-40
55
9.7
0-19
60
0
0
Survey PORIM 1979/1980
2.3 FRAKSI OLEIN Olein merupakan hasil fraksinasi dari minyak kelapa sawit, bewarna kuning sampai jingga. Minyak kelapa sawit yang disimpan ditempat yang dingin pada suhu 5-7 oC akan terpisah menjadi dua fraksi, cair dan semi padat. Olein merupakan trigliserida yang bertitik cair rendah, serta mengandung asam oleat yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan stearin. Minyak kelapa sawit mempunyai bilangan iod yang lebih rendah dibandingkan minyak nabati lainnya karena kandungan asam lemak jenuh yang tinggi. Namun, fraksi olein mempunyai bilangan iod yang lebih tinggi karena mengandung asam lemak tidak jenuh yang tinggi. Bilangan iod olein berkisar antara 58.1-60.8 (Salunkhe et.al, 1991). Olein dan stearin mempunyai komposisi asam lemak yang berbeda. Komposisi asam lemak dari olein disajikan pada Tabel 6. Komposisi asam lemak yang terdapat dalam olein merupakan campuran dari golongan asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Olein kasar (Crude palm olein) dan olein yang telah dimurnikan (Refined, bleached, and deodorized) umumnya dihasilkan oleh industri pemurnian minyak (Kataren, 2008). Olein banyak dimanfaatkan secara luas oleh industri pangan sebagai bahan baku pembuatan minyak goreng, margarin, dan salad oil. Badan sandarisasi nasional (BSN) melalui SNI 01-0018-2006 menetapkan standard mutu olein yang dimurnikan. Tabel 7 menunjukkan standard mutu RBD olein.
7
Tabel 6. Komposisi asam lemak dari olein minyak sawit Asam Lemak Jenis Asam Lemak Komposisi (%) Jenuh
Tidak Jenuh
14:0 (Miristat)
1.0
16:0 (Palmitat)
39.8
18:0 (Stearat)
4.4
20:0 (Arachidat)
0.4
18:1 (Oleat)
42.4
18:2 (Linoleat)
11.2
18:3 (Linolenat)
0.4
Sumber: Pantzaris (1997)
No. 1.
Tabel 7. Syarat mutu RBD olein SNI 01-0018-2006 Kriteria Uji Satuan Persyaratan Warna
-
maks 3R
C
maks 24
o
2.
Titik Leleh
3.
Air dan Kotoran
%, fraksi massa
maks 0.1
4.
Asam Lemak Bebas
%, fraksi massa
maks 0.1
5.
Bilangan Yodium
g Yodium/ 100 g
maks 56
Sumber: BSN (2006)
2.4 MARGARIN Margarin pertama kali ditemukan oleh Mege Mouries di Perancis pada tahun 1870 dalam suatu sayembara yang diadakan oleh Kaisar Napoleon III (Ketaren, 2008). Berdasarkan SNI 01-3541-2002 (BSN, 2002), margarin adalah produk makanan berbentuk emulsi (w/o), baik semi padat maupun cair, yang dibuat dari lemak makan dan atau minyak makan nabati, dengan atau tanpa perubahan kimiawi termasuk hidrogenasi, interesterifikasi, dan telah melalui proses pemurnian, sebagai bahan utama serta mengandung air dan bahan tambahan pangan yang diizinkan. SNI 01-3541-2002 (BSN, 2002) mengklasifikasikan margarin menjadi tiga jenis yaitu margarin siap makan, margarin industri, dan margarin krim atau spread. Terdapat beberapa perbedaan syarat mutu di antara ketiga jenis margarin tersebut. Margarin siap makan dipersyaratkan adanya penambahan vitamin A dan vitamin D dengan kadar lemak minimal 80%, sedangkan pada margarin industri dan margarin krim tidak dipersyaratkan adanya penambahan vitamin A dan vitamin D. Perbedaan antara margarin industri dan margarin krim terletak pada jumlah lemak minimum yang terdapat pada produk. Margarin industri minimal mengandung 80% lemak, sedangkan margarin krim mengandung lemak berkisar 62-78%. Tabel 8 menunjukkan syarat mutu margarin berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI). Menurut Ketaren (2008), pembuatan margarin dimaksudkan sebagai pengganti mentega dengan penampakan, bau, konsistensi, rasa, dan nilai gizi yang hampir sama dengan mentega. Ciri-ciri margarin yang paling menonjol adalah bersifat plastis, padat pada suhu ruang, agak keras pada suhu rendah, teksturnya mudah dioleskan, serta segera dapat mencair di dalam mulut. Margarin mempunyai titik beku yang tinggi (di atas suhu kamar) dan titik cair sekitar suhu badan. Pada suhu
8
kamar (25 oC) margarin mempunyai sifat plastis sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengoles makanan (Ketaren, 2008). Minyak nabati yang umum digunakan dalam pembuatan margarin adalah minyak kelapa, minyak inti sawit, minyak biji kapas, minyak kedelai, minyak wijen, minyak jagung, dan minyak gandum. Menurut Ketaren (2008), syarat-syarat minyak nabati yang digunakan sebagai bahan baku margarin yaitu mempunyai bilangan iod yang rendah, warna minyak seperti mentega, flavor minyak yang baik, asam lemak yang stabil, titik beku dan titik cair disekitar suhu kamar, dan minyak nabati tersebut harus banyak terdapat di suatu daerah. Komponen lain yang sering ditambahkan dalam pembuatan margarin adalah air, garam, flavor mentega, zat pengemulsi (berbentuk lesitin, gliserin, atau kuning telur), zat pewarna (minyak sawit merah atau beta karoten sintetik), bahan pengawet (sodium benzoat, asam benzoat atau potasium sorbat), serta vitamin A dan vitamin D (Astawan, 2004). Tabel 8. Syarat mutu margarin SNI 01-3541-2002 Persyaratan No.
Kriteria Uji
Satuan
Margarin Siap
Margarin
Margarin
Makan
Industri
Krim/Spread
Keadaan 1.
1.1 Bau
dapat diterima
1.2 Warna
dapat diterima
1.3 Rasa
dapat diterima
2.
Air
% b/b
maks 18
maks 18
-
3.
Lemak
%b/b
min 80
min 80
62-78
4.
Vitamin A
IU/100 g
2500-3500
-
-
5.
Vitamin D
IU/100 g
250-350
-
-
6.
Bilangan Asam
mg KOH/g
maks 4
maks 4
maks 4
7.
Bahan Tambahan
Sesuai Peraturan yang Berlaku
Pangan Cemaran Logam
8.
9.
8.1 Timbal (Pb)
mg/kg
0.1
0.1
0.1
8.2 Timah (Sn)
mg/kg
maks 40.0
maks 40.0
maks 40.0
8.3 Raksa (Hg)
mg/kg
maks 0.03
maks 0.03
maks 0.03
Cemaran Arsen (As)
mg/kg
0.1
0.1
0.1
Sumber: BSN (2002) Pembuatan margarin dilakukan dengan cara membuat emulsi antara fase minyak (minyak nabati, emulsifier, vitamin, zat warna) dan fase cair (garam, sodium benzoat atau potasium sorbat, air). Pembuatan emulsi dilakukan dengan cara pengadukan. Emulsi tersebut kemudian dikristalkan sebagian melalui proses pendinginan secara cepat yang dilanjutkan dengan proses plastisasi atau teksturasi. Pengkristalan dengan cara pendinginan bertujuan untuk membuat margarin menjadi plastis tetapi tidak padat, tahan sampai dengan tekanan tertentu, tidak mengalir tetapi mudah dicampur dan dioleskan (Podmore, 1994). Dari proses pendinginan akan terbentuk kristal-kristal halus yang
9
mengikat minyak yang masih berbentuk cair sehingga membentuk ikatan yang stabil dan sulit berpisah (Potter dan Hotchkiss, 1995). Mekanisme pembentukan kristal dijelaskan oleh Bender (1978), yaitu jika lemak cair didinginkan maka panas dari molekul-molekul lemak akan berangsur-angsur menurun. Jika molekul-molekul tersebut mencapai ukuran lima angstrom, maka molekul-molekul ini akan tarik menarik dengan gaya Van der Waals. Gaya tarik menarik ini akan diikat oleh adanya suatu efek yang disebut zippering effect. Semakin panjang rantai molekul, maka kekuatan tarik-menarik akan semakin besar. Hasil yang diperoleh dari proses tarik-menarik ini adalah radikal asam lemak dalam molekul lemak diluruskan dalam keadaan parallel dan molekul-molekul menjadi bertumpuk dan membentuk kristal. Molekul-molekul yang simetris dan asam-asam lemak dengan panjang rantai serupa dapat meluruskan dirinya sendiri secara lebih mudah dan membentuk kristal dengan lebih mudah pula. Suatu emulsi akan memisah kembali ke wujud masing-masing (wujud semula) jika tidak segera didinginkan (Ketaren, 2008). Emulsi yang terbentuk pada pembuatan margarin distabilkan dengan penambahan emulsifying agent seperti pati, gliserin, gelatin, kuning telur atau lesitin (Hasenhuettl dan Hartel, 1997). Margarin pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua jenis menurut kegunaannya, yaitu margarin untuk keperluan rumah tangga dan margarin untuk keperluan industri. Salah satu sifat yang harus dimiliki oleh margarin untuk keperluan rumah tangga adalah sifat plastis dan mudah meleleh pada suhu tubuh serta memiliki daya oles yang baik. Menurut Weiss (1983), margarin yang disukai konsumen mempunyai titik cair yang titik lebih dari 41 oC sehingga mudah larut dan tidak menimbulkan rasa berfilm di mulut. Kualitas margarin yang diinginkan konsumen juga harus menyesuaikan (firmness) dengan suhu penyajian, daya olesnya tetap jika disimpan di suhu rendah dan mencair di mulut (Vail et.al, 1978). Konsumen menggunakan margarin terutama untuk olesan, sebagai bahan pembuat roti, dan sebagai bumbu dalam berbagai resep masakan. Konsumen akan memilih produk margarin dengan memperhatikan daya oles, kandungan lemak, dan sifat mencairnya. Daya oles merupakan atribut yang paling diperhatikan oleh konsumen dan kemudian disusul oleh atribut rasa (O’Brien, 2000).
2.4 EMULSI Margarin merupakan salah satu jenis emulsi. Emulsi adalah sistem yang terdiri dari dua fase cairan yang tidak saling melarutkan, salah satu cairan terdispersi dalam bentuk globula-globula di dalam cairan lainnya. Cairan yang terpecah menjadi globula-globula dinamakan fase terdispersi, sedangkan cairan yang mengelilingi globula-globula tersebut dinamakan fase kontinyu atau fase pendispersi (Muchtadi, 1990). Menurut (Suryani et.al, 2002), emulsi adalah disperse atau suspense suatu cairan dalam cairan lain yang tidak bercampur dalam keadaan biasa. Molekul-molekul kedua cairan tersebut bersifat saling antagonistik yang disebabkan oleh perbedaan kepolarannya. Jika diamati di bawah mikroskop, droplet emulsi memiliki diameter globula lebih dari 0.1 μm (1000 Å). Emulsi yang memiliki diameter globula antara 0.1-0.15 μm termasuk makroemulsi, sedangkan emulsi yang memiliki diameter globula kurang dari seperempat panjang gelombang sinar putih atau sekitar 0.14 μm sampai dengan 0.002 μm termasuk mikroemulsi (Suryani et.al, 2002). Sistem emulsi yang umum dijumpai adalah campuran antara minyak dan air. Minyak dan air merupakan cairan yang tidak dapat berbaur karena mempunyai sifat kepolaran dan berat jenis yang berbeda. Air bersifat polar dan memiliki berat jenis yang lebih besar daripada minyak (Suryani et.al, 2002). Terdapat dua tipe emulsi yaitu emulsi minyak dalam air (o/w) dan emulsi air dalam minyak (w/o). Jika fase lipofilik merupakan fase terdispersi maka emulsi yang terbentuk adalah emulsi
10
minyak dalam air, sebaliknya jika fase hidrofilik merupakan fase terdispersi maka emulsi disebut emulsi air dalam minyak (Ketaren, 2008). Margarin merupakan salah satu emulsi air di dalam minyak (w/o). Gambar 2 menunjukkan bentuk emulsi margarin.
Gambar 2. Bentuk emulsi margarin (Binks dan Murakami, 2006) Menurut Ketaren (2008) untuk menstabilkan emulsi yang terbentuk, maka biasanya ditambahkan bahan untuk menstabilkan emulsi (emulsifying agent). Emulsifier merupakan senyawa aktif permukaan yang mampu menurunkan tegangan antar permukaan antara udara-cairan dan cairancairan. Emulsifier terdiri dari dua gugus aktif, yaitu gugus hidrofobik dan hidrofilik. Gugus hidrofobik akan berikatan dengan minyak dan gugus hidrofilik akan berikatan dengna air (Muchtadi, 1990). Cara kerja emulsifier pada sistem emulsi minyak dalam air adalah menyelubungi lemak yang terdispersi. Bagian emulsifier yang nonpolar larut dalam lapisan luar butir-butir lemak, sedangkan bagian yang polar menghadap pelarut air (continous phase). Menurut Winarno (2008), daya kerja emulsifier terutama disebabkan oleh bentuk molekulnya yang dapat terikat pada minyak maupun air. Apabila emulsifier tersebut pada air atau lebih larut dalam air, maka dapat lebih membantu terjadinya dispersi minyak dalam air (o/w), sebaliknya emulsifier larut dalam minyak, maka dapat membantu terjadinya dispersi air dalam minyak (w/o). McClements (2004) menyatakan bahwa ada dua peranan penting dari emulsifier selama proses homogenisasi yaitu menurunkan tegangan antar muka antara fase air dan minyak sehingga mengurangi jumlah energi bebas yang diperlukan untuk merubah dan mengacaukan droplet, serta membentuk coating protektif disekeliling droplet yang akan mencegah koalesen dengan lainnya. Parameter yang sering digunakan untuk pemilihan jenis emulsifier adalah berdasarkan nilai HLB (Hydrophile-Lipophile Balance). HLB merupakan angka atau bilangan yang menyatakan daya tarik relatif emulsifier terhadap air dan terhadap minyak secara serempak. Konsep HLB dikemukakan pertama kali oleh Griffin pada tahun 1949 (Chow dan Ho, 1996). Griffin (1979) mengembangkan suatu skala yang didasarkan atas keseimbangan antara kedua gugus yang berlawanan tersebut. Skala tersebut dinyatakan dengan angka berkisar antara 0 sampai 20 untuk masing-masing pengemulsi yang memberikan informasi kelarutannya dalam air dan minyak. HLB yang rendah cenderung untuk membentuk emulsi w/o, pengemulsi dengan HLB menengah membentuk emulsi o/w, dan pengemulsi yang HLB-nya tinggi merupakan senyawa pelarut (Deman, 1997). Pembuatan margarin biasanya menggunakan HLB berkisar antara 4-6 (Aulia, 2010). Gambar 3 menunjukkan struktur kimia gliserol monostearat yang biasa digunakan untuk margarin.
Gambar 3. Struktur kimia gliserol monostearat (Anonima, 2011)
11
Homogenizer merupakan alat yang biasa digunakan untuk pembuatan emulsi. Homogenizer adalah alat yang digunakan untuk mendispersikan suatu cairan di dalam cairan lainnya. Homogenizer cocok digunakan untuk membuat emulsi dengan kestabilan tinggi karena dapat menghasilkan emulsi yang berukuran partikel lebih kecil dari satu mikron serta seragam. Di dalam industri pangan, homogenizer banyak digunakan untuk mereduksi ukuran globula lemak agar sistem emulsinya lebih stabil. Homogenizer yang digunakan biasanya terdapat dalam banyak model dan kapasitas. Perbedaan model tersebut umumnya terletak pada konstruksi lubang dan alat pengatur pengeluarannya. Pada prinsipnya, cairan yang akan diemulsikan dipaksa melewati suatu lubang sempit diantara lubang tetap dan suatu batang yang dapat digerak-gerakkan. Luas lubang dapat diperkecil dengan menekan batang ke dalam lubang dengan bantuan skrup pengatur. Emulsifikasi terjadi pada saat bahan melewati lubang dan ketika bahan bergesekan dengan dinding yang mengelilingi batang (Muchtadi, 1990). Emulsifikasi yang baik akan memberikan kestabilan yang baik pula pada produk emulsi yang tercipta. Menurut Fajariyanto (1987), stabilitas emulsi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang besarnya bergantung pada komposisi emulsi dan metode pengolahan. Faktor-faktor internal yang mempengaruhi stabilitas emulsi terdiri atas tipe dan konsentrasi bahan pengemulsi, jenis dan konsentrasi komponen-komponen fase terdispersi dan fase pendispersi, viskositas fase pendispersi, perbandingan fase terdispersi terhadap fase pendispersi, serta ukuran partikel. Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi stabilitas emulsi antara lain adalah pengadukan atau pengocokan, penguapan, dan suhu (Fajariyanto, 1987).
2.5 FLAVOR PANILI Panili (Vanilla spp.) termasuk famili Orchidaceae, genus vanilla, yang pertama kali ditemukan oleh Swartz pada tahun 1799. Tanaman panili adalah tanaman tahunan memanjat dan memiliki batang yang berbuku-buku. Dari buku-buku tersebut tumbuh daun dan akar adventif yang berguna untuk memanjat pada tiang panjatnya. Bunga keluar dari ketiak daun dalam bentuk tandan yang mekar satu persatu setiap hari dimulai dari pangkal ke atas. Panili dikenal sebagai tanaman berumah satu, memiliki bunga hemaprodit, tetapi tidak dapat melakukan penyerbukan sendiri tanpa bantuan manusia. Setiap buah yang masak mengandung ribuan biji yang sangat kecil bewarna hitam dan tidak mempunyai lembaga (Ruhnayat et.al, 1998). Gambar 4 menunjukkan buah panili.
Gambar 4. Buah panili (Mulyadi, 2009) Panili digunakan secara luas pada industri pangan terutama sebagai flavor dan pada industri parfum. Panili digunakan di seluruh dunia sebagai flavouring agent dessert, like baked goods, es krim, minuman dan custard. Selain itu ekstrak panili juga digunakan oleh industri selain pangan
12
seperti parfum, obat-obatan dan kosmetik (de Guzman dan Siemonsma 1999). Flavor panili ada yang alami dan ada yang sintetis. Flavor panili sintetis hanya mengandung salah satu komponen flavor vanilla yaitu vanillin atau etil vanillin, sehingga aroma yang dihasilkan tidak sekaya aroma ekstrak panili alami. Permintaan yang tinggi akan ekstrak vanili menyebabkan diproduksinya flavor panili sintetik yang berasal dari eugenol (minyak cengkeh), lignin (limbah bubur kertas) dan guaiakol (petrokimia). Meskipun ekstrak panili alami masih digunakan oleh industri pangan, namun jumlahnya kurang dari 1% produksi vanilin. Sisanya sebesar 99% diperoleh melalui jalur sintetik. Hal ini disebabkan harga ekstrak panili alami lebih mahal (sekitar 2.75 US$/oz single fold), akibat metode penyerbukan yang digunakan adalah penyerbukan menggunakan tangan, waktu antara penyerbukan dan pemanenan yang panjang, serta proses kuring dan metode ekstraksi yang lama juga kompleks (Hayani dan Fatimah, 2002). Aroma maupun rasa yang terdapat pada ekstrak panili tergantung pada varietas tanaman, tanah, lingkungan dan proses curing. Ekstrak panili mengandung lebih dari 100 senyawa volatil yang terdeteksi termasuk aromatic carbonyls, aromatic alcohol, aromatic acids, aromatic esters, phenols dan phenols ethers, aliphatic alcohols, carbonyls, acids, esters, dan lactones. Kandungan vanillin, phydroxybenzaldehyde, vanillic acids, dan p-phydroxybenzoic dalam cured vanilla menentukan kualitas untuk tujuan komersial (Ruhnayat et.al, 1998). Flavor dan aroma unik panili berasal dari senyawa fenolik vanilin (98% dari total komponen flavor panili) serta dari senyawa lainnya. Vanilin (4hidroksi-3- metoksi benzaldehid) dengan rumus kimia C8H8O3 dan berat molekul 152.14 merupakan komponen utama senyawa aromatik volatil dari buah panili. Gambar 4 menunjukkan struktuk kimia dari vanillin. Senyawa vanilin dapat diperoleh melalui kerja enzim terhadap suatu komponen heterosida (glukosida). Prekursor vanilin dalam buah panili hijau adalah koniferosida yang melalui reaksi oksidasi akan terpecah menjadi vanilosida (glukovanilin) dan menghasilkan vanilin serta glukosa jika dihidrolisis oleh enzim. Selain itu, terdapat mekanisme alternatif pembentukan vanillin, glukosida dari vanililalkohol dioksidasi menjadi glukovanilin (Purseglove et al. 1981).
Gambar 5. Struktur kimia vanillin (Vindigni, 2003) French et.al. (2004) menyatakan bahwa enzim-enzim hidrolitik (β-glukosidase) atau enzim degradatif lainnya mengkatalisis pelepasan komponen flavor dari prekursor flavor. Kandungan glukovanilin buah panili secara bertahap meningkat seiring dengan tingkat kematangan buah dan akan terdistribusi di dalam buah. Distribusi glukovanilin berhubungan dengan perubahan warna dari hijau, kuning, kemudian menjadi coklat saat matang. Jumlah glukovanilin terbanyak terdapat pada blossomend dan paling sedikit pada stem-end. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa kristalisasi vanilin lebih banyak terjadi pada bagian blossom-end matang disbanding pada stem-end (Purseglove et al. 1981). Hal serupa juga terjadi dengan kandungan dan aktifitas b-glukosidase yang meningkat dengan meningkatnya kematangan buah (seiring dengan terbentuknya glukovanilin). Aktifitas maksimum β-
13
glukosidase terjadi saat fase split blossom-end yellow dan kandungan vanilin bebas paling tinggi terdapat pada tahap yang mengakibatkan warna buah menjadi coklat (Purseglove et al. 1981). Sebanyak 70-80% sumber panili dunia berasal dari Madagaskar. Sebagian besar panili berkualitas tinggi diperoleh dari Madagaskar. Panili Madagaskar memiliki flavor smooth, rich, dan sweet. Panili Mexico memiliki flavor smooth, strong, dan rich. Panili Tahiti tidak memiliki flavor yang kuat seperti yang lain, akan tetapi sangat aromatik dengan aroma floral yang kompleks sehingga digunakan untuk parfum. Ekstrak panili Indonesia memiliki aroma cenderung kepada woody dan phenolic karena pemanenan yang terlalu cepat dan proses kuring yang tidak sempurna (Muliati, 2006). Namun, Indonesia merupakan salah satu produsen panili yang cukup besar. Tabel 9 menunjukkan nilai produksi panili di Indonesia. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa produksi panili di Indonesia cukup besar. Bentuk komoditas panili yang dikomersialkan dapat dikelompokkan menjadi 2 yakni whole bean dan other vanilla. Bentuk whole bean merupakan bentuk vanili utuh kering yang telah mengalami proses kuring. Sedangkan other vanilla merupakan bentuk olahan vanili lainnya setelah dilakukan proses kuring, yakni berupa ekstrak vanili, oleoresin, bubuk dan lain-lain (Ruhnayat et,al, 1998).
Tahun
Tabel 9. Produksi flavor panili di Indonesia Produksi Flavor Panili (kg) Nilai (000 Rp)
2008
49.772
2.164.756
2005
49.772
1.883.026
2004
1.259.930
15.081.406
2002
49.772 a
a
1.493.170 a
a
Sumber: BPS (2008 , 2005 , 2004 , 2002 )
14