BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Uraian Tumbuhan Rumput laut tergolong tanaman berderajat rendah, umumnya tumbuh melekat pada substrat tertentu, tidak mempunyai akar, batang, maupun daun sejati; tetapi hanya menyerupai batang yang disebut talus. Rumput laut tumbuh di alam dengan melekatkan dirinya pada karang, lumpur, pasir, batu dan benda keras lainnya. Selain benda mati, rumput laut pun dapat melekat pada tumbuhan lain secara epifitik (Anggadireja., dkk, 2008). 2.1.1 Sistematika Tumbuhan Dalam taksonomi tumbuhan, rumput laut Sargassum ilicifolium (Turner) C. Agardh diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi : Phaeophyta Kelas : Phaeophyceae Bangsa : Fucales Suku : Sargassceae Marga : Sargassum Jenis
: Sargassum ilicifolium (Turner) C. Agardh (LIPI, 2011)
2.1.2 Morfologi Tumbuhan Secara umum, ciri-ciri dari marga Sargassum adalah bentuk talus yang umumnya silindris dan ada yang gepeng, cabangnya rimbun menyerupai pohon di darat, bentuk daunnya melebar, lonjong ataupun seperti pedang, mempunyai
Universitas Sumatera Utara
gelembung udara, panjangnya mencapai 7 meter, dimana warna talus umumnya coklat (Aslan, 1998). 2.1.3 Kandungan Rumput Laut Sebagai sumber gizi, rumput laut terdiri dari air (27,8%), protein (5,4%), karbohidrat (33,3%), lemak (8,6%) serat kasar (3%) dan abu (22,25%). Selain itu, rumput laut juga mengandung enzim, asam nukleat, asam amino, vitamin (A,B,C,D, E dan K) dan makro mineral seperti nitrogen, oksigen, kalsium dan selenium serta mikro mineral seperti zat besi, magnesium dan natrium. (Anggadireja, dkk, 2009). Kandungan asam amino, vitamin dan mineral rumput laut mencapai 10 -20 kali lipat dibandingkan dengan tanaman darat (Sulistyowaty, 2009).
2.2 Alginat Alginat merupakan salah satu kelompok polisakarida yang terbentuk dalam dinding sel rumput laut coklat dengan kadar mencapai 40% dari total berat kering dan memegang peranan penting dalam mempertahankan struktur jaringan algae (Rasyid, 2003). Alginat dalam rumput laut coklat umumnya bersenyawa dengan garam natrium, kalium, kalsium, dan magnesium (Yulianto, 2007). 2.2.1 Struktur Alginat Alginat merupakan suatu kopolimer linear yang terdiri dari dua unit monomer penyusun alginat, yaitu β-D-Mannopyranosil Uronat dan α-L-Asam Gulopyranosyl Uronat. Dari kedua jenis monomer tersebut, alginat dapat berupa homopolimer yang terdiri dari monomer sejenis, yaitu β-D-Mannopyranosil Uronat saja atau α-L-Asam Gulopyranosyl Uronat saja; atau alginat dapat juga
Universitas Sumatera Utara
berupa senyawa heteropolimer jika monomer penyusunnya adalah gabungan kedua jenis monomer tersebut (Rasyid, 2003).
Gambar 2.1 Struktur Natrium Alginat 2.2.2 Sifat – Sifat Alginat Sifat – sifat alginat sebagian besar tergantung pada tingkat polimerisasi dan perbandingan komposisi guluronan dan mannuronan dalam molekul. Asam alginat tidak larut dalam air dan mengendap pada pH < 3,5. Alginat tidak dapat larut dalam pelarut organik tetapi dapat mengendap dengan alkohol. Alginat paling stabil pada pH antara 4 – 10, tetapi pada pH yang lebih tinggi viskositasnya sangat kecil akibat adanya degradasi β-eliminatif (Rasyid, 2003; Rowe, et al, 2009), tetapi pH di bawah 4,5 dan di atas 11 viskositasnya akan mudah terdegradasi atau labil (Yulianto, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.3 Aloksan 2.3.1 Definisi Aloksan Aloksan adalah suatu substrat yang secara struktural adalah derivate pirimidin sederhana. Nama lain dari aloksan adalah 2,4,5,6 - tetraoxypirimidin; 2,4,5,6-primidinetetron;
1,3-Diazinan-2,4,5,6-tetron
(IUPAC)
dan
asam
Mesoxalylurea 5-oxobarbiturat. Rumus kimia aloksan adalah C4H2N2O4. Aloksan murni diperoleh dari oksidasi asam urat oleh asam nitrat. Aloksan adalah senyawa kimia tidak stabil dan senyawa hidrofilik (Yuriska, 2009).
Gambar 2.2 Struktur Molekul Aloksan 2.3.2 Pengaruh Aloksan Terhadap Kerusakan Sel β Pankreas Aloksan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk menginduksi binatang percobaan untuk
menghasilkan kondisi diabetik eksperimental
(hiperglikemik) secara cepat. Aloksan dapat diberikan secara intravena, intraperitoneal, atau subkutan pada binatang percobaan. Tikus hiperglikemik dapat dihasilkan dengan menginjeksikan 120 - 150 mg/kgBB. Aloksan dapat menyebabkan Diabetes Melitus tergantung insulin pada binatang tersebut (aloksan diabetes) dengan karakteristik mirip dengan Diabetes Melitus tipe 1 pada manusia (Yuriska, 2009). Mekanisme kerja aloksan diawali dengan ambilan aloksan ke dalam sel-sel β pankreas dan kecepatan ambilan ini akan menentukan sifat diabetogenik aloksan. Ambilan ini juga dapat terjadi pada hati atau jaringan lain,
Universitas Sumatera Utara
tetapi jaringan tersebut relatif lebih resisten dibanding pada sel-sel β pankreas. Sifat inilah yang melindungi jaringan terhadap toksisitas aloksan (Amma, 2009). Penelitian terhadap mekanisme kerja aloksan secara invitro juga menunjukkan bahwa aloksan menginduksi pengeluaran ion kalsium dari mitokondria yang mengakibatkan proses oksidasi sel terganggu. Keluarnya ion kalsium dari mitokondria ini mengakibatkan gangguan homeostasis yang merupakan awal dari matinya sel (Suharmiati, 2003). Kemampuan aloksan untuk dapat menimbulkan diabetes juga tergantung pada jalur penginduksian, dosis, senyawa, hewan percobaan dan status gizinya (Amma, 2009).
2.4 Pengaturan Kadar Glukosa Darah Pengaturan kadar glukosa dalam darah dipengaruhi oleh organ-organ tertentu yang paling penting adalah pankreas dan hati.
Gambar 2.3 Skema Pengaturan Glukosa Darah
Universitas Sumatera Utara
2.4.1 Pankreas Pankreas sangat berperan dalam memelihara homeostasis glukosa darah. Organ ini memiliki sel eksokrin dan sel endokrin. Hormon - hormon yang dihasilkan pada sel endokrin dihasilkan oleh 4 jenis sel, yaitu: Sel α (yang memproduksi hormon glukagon), Sel β (yang menghasilkan insulin), Sel D ( yang memproduksi somatostatin), dan Sel PP (yang memproduksi polipeptida pankreas) (Tjay dan Rahardja, 2003). 2.4.1.1 Insulin Secara umum insulin memiliki empat fungsi utama yang dapat menurunkan kadar glukosa darah dan meningkatkan penyimpanan karbohidrat yaitu mempermudah masuknya glukosa ke dalam sebagian besar sel, merangsang glikogenesis, menghambat glikogenolisis, serta menurunkan pengeluaran glukosa oleh hati dengan menghambat glukoneogenesis (Sulistyowati, 2009). Setelah mengkonsumsi karbohidrat yang banyak, glukosa yang diabsorpsi ke dalam darah akan menyebabkan sekresi insulin yang cepat (Guyton, 1990). Sekali insulin memasuki sirkulasi, maka insulin diikat oleh reseptor khusus yang terdapat pada membrane sebagian besar jaringan sehingga memudahkan glukosa menembus membrane sel (Katzung, 2002). Glukosa yang telah masuk ke dalam sel selanjutnya akan diubah menjadi energi atau ditimbun sebagai cadangan makanan. Cadangan ini digunakan bila tubuh kekurangan energi (Tjay dan Rahardja, 2003). 2.4.1.2 Glukagon Glukagon adalah suatu hormon yang disekresi oleh sel α pulau langerhans yang fungsinya berlawanan dengan hormon insulin yaitu meningkatkan konsentrasi glukosa darah. Penurunan konsentrasi glukosa darah akan
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan sekresi glukagon, bila kadar glukosa darah turun sampai 70mg/100ml darah, maka pankreas akan mensekresikan glukagon dalam jumlah banyak yang cepat memobilisasi glukosa dari hati (Guyton, 1990). 2.4.2 Hati Hati merupakan organ utama yang dicapai insulin endogen melalui sirkulasi portal. Hati bekerja dengan meningkatkan simpanan glukosa sebagai glikogen dan membalikkan sejumlah mekanisme katabolisme yang berhubungan dengan keadaan pascaabsorpsi, seperti: glikogenolisis,
ketogenesis, dan
glukoneogenesis (Katzung, 2002).
2.5 Diabetes Mellitus Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme kronik yang ditandai dengan tingginya konsentrasi glukosa di dalam darah atau disebut juga hiperglikemia, yang disebabkan oleh kekurangan insulin atau dikombinasikan dengan terjadinya resistensi insulin. Hiperglikemia terjadi karena pengeluaran glukosa dari hati yang tidak terkontrol dan berkurangnya sintesis glikogen (Rang, et al, 2007). Tidak adanya atau tidak memadainya produksi hormon insulin akan mengakibatkan diabetes melitus tipe 1, terutama ditandai dengan penurunan berat badan, gejala 3 p (polifagia, polidipsia, poliuria) dan umumnya ditemukan pada usia anak-anak hingga remaja. Sedangkan peningkatan resistensi insulin dengan penurunan kuantitas insulin menyebabkan diabetes tipe 2, yang dicirikan oleh tubuh yang gemuk dan usia menengah keatas (Amma, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.5.1 Klasifikasi Diabetes Mellitus 2.5.1.1 Diabetes Mellitus Tipe 1 Diabetes tipe ini sering disebut Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) atau juvenil onset diabetes (Tjay dan Rahardja, 2003). Penyebab utamanya karena kerusakan autoimun dari sel β pancreas. Penanda dari kerusakan sel β yang ada pada saat dilakukan diagnosis dari 90% individu dan termauk sel islet antibodi, antibodi terhadap dekarboksilasi asam glutamat, dan antibodi terhadap insulin (Dipiro., et al, 2008). Pada kondisi ini, insulin di dalam sirkulasi tidak ada , glukagon plasma meningkat, dan sel β pankreas gagal berespon terhadap semua rangsangan insulinogenik. Oleh karena itu, diperlukan insulin eksogen untuk memperbaiki kondisi katabolik, mencegah ketosis, dan mengurangi hiperglukagonemia serta penngkatan kadar glukosa darah (Katzung, 2002). 2.5.1.2 Diabetes Mellitus Tipe 2 Diabetes ini sering disebut Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM), dimana penyakit dikarakteristikkan oleh adanya resistensi insulin atau kurangnya sekresi insulin. Kurangnya sekresi insulin posprandial disebabkan gangguan fungsi sel β pankreas dan kurangnya rangsangan untuk mensekresi insulin dari hormon usus (Dipiro., et al, 2008). Pada kondisi seperti ini, pasien dapat diobati dengan antidiabetika oral dan kecenderungan terjadinya asidosis tidak ada. Sekitar 70-80% dari pasien diabetes yang tegolong jenis ini dikarenakan factor keturunan yang berperan besar. Bilamana terjadi resistensi insulin, hali itu biasanya diakibatkan makan terlalu banyak dibandingkan dengan kebutuhan individualnya, seperti lazimnya pada orang gemuk (Tjay dan Rahardja, 2003).
Universitas Sumatera Utara
2.5.1.3 Diabetes Mellitus Gestasional Diabetes tipe ini terjadi sebagai akibat intoleransi glukosa yang didapat selama masa kehamilan. Deteksi klinis diperlukan sebagai terapi untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas janin (Dipiro., et al, 2008). Kebanyakan wanita penderita gestational diabetes memiliki homeostatis glukosa yang normal selama paruh pertama (sampai bulan kelima) masa hamil. Pada paruh kedua masa hamil (antara bulan keempat dan kelima) mengalami defisiensi insulin relatif. Pada umumnya kadar glukosa darah kembali normal setelah melahirkan (Amma, 2009). Penyebab diabetes gestasional dianggapa berkaitan dengan peningkatan kebutuhan energi dan kadar esterogen serta hormon pertumbuhan yang terusmenerus tinggi selama kehamilan. Hormon pertumbuhan dan esterogen menstimulasi pelepasan insulin yang berlebihan mengakibatkan penurunann responsivitas seluler.hormon pertumbuhan juga memiliki beberapa efek anti insulin, misalnya perangsangan glikogenolisis dan stimulasi jaringan adipose (Corwin, 2009). 2.5.1.4 Diabetes Mellitus Tipe Lain Tipe ini disebabkan oleh faktor lain, seperti efek genetis pada fungsi sel β pancreas pada kerja insulin, penyakit pankreas eksokrin, atau akibat penggunaan obat-obatan (Dipiro., et al, 2008). 2.5.2 Manajemen Terapi 2.5.2.1 Terapi Insulin Terapi insulin adalah pengobatan utama untuk semua pasien dengan DM tipe 1, DM tipe 2 yang tidak dapat diterapi dengan diet maupun agen hipoglikemik oral, serta untuk pasien dengan diabetes postpancreatectomy dan
Universitas Sumatera Utara
diabetes gestasional. Selain itu, insulin berperan dalam pengelolaan diabetes ketoasidosis, dan memiliki peran penting dalam pengobatan hiperglikemik, koma nonketosis dan dalam manajemen perioperatif dari DM tipe 1 dan DM tipe 2. Pada semua kasus, tujuannya tidak hanya untuk menormalkan glukosa darah tetapi juga semua aspek metabolisme. Pengobatan yang optimal memerlukan pendekatan yang terkoordinasi untuk diet, olahraga, dan pemberian insulin (Goodman and Gilman, 2006). 2.5.2.2 Terapi Obat Hipoglikemik Berdasarkan cara kerjanya ada lima golongan obat antidiabetika oral yang sering digunakan, yaitu: 1. Sulfonilurea Mekanisme kerjanya menstimulasi sel β dari pulau langerhans sehingga sekresi insulin ditingkatkan. Kepekaan sel β untuk kadar glukosa darah juga diperbesar melalui pengaruhnya atas protein transport glukosa (Tjay dan Rahardja, 2003). Sulfonilurea juga dapat meningkatkan jumlah insulin dengan mengurangi clearance hepatik dari hormon, merangsang pelepasan somatostatin serta menekan sekresi glukagon walau hanya sedikit (Goodman and Gilman, 2006). Generasi pertama sulfonilurea adalah asetoheksamid, klorpropamid, tolbutamid, dan tolazamid, sedangkan generasi keduanya adalah glibenklamid dan glipizida (Dipiro., et al, 2008). Efek samping dari sulfonilurea jarang, biasanya terjadi pada sekitar 4% dari pasien yang memakai obat generasi pertama dan mungkin sedikit kurang sering pada pasien yang menerima obat generasi kedua. Efek yang terjadi berupa reaksi hipoglikemik, termasuk koma. Efek samping lainnya
Universitas Sumatera Utara
dari sulfonilurea termasuk penyakit kuning, mual dan muntah, kolestasis, agranulositosis, anemia aplastik dan hemolitik, reaksi hipersensitivitas umum, dan reaksi dermatologis (Goodman and Gilman, 2006). 2. Biguanida Golongan obat ini bekerja berdasarkan peningkatan kepekaan reseptor insulin sehingga absorpsi glukosa di jaringan perifer meningkat dan bersifat menekan nafsu makan (Tjay dan Rahardja, 2003). Contoh dari golongan ini adalah metformin. Metformin tidak memiliki efek yang signifikan terhadap sekresi glukagon, kortisol, hormon pertumbuhan, atau somatostatin. Metformin mengurangi kadar glukosa terutama oleh penurunan produksi glukosa hati dan dengan meningkatkan aksi insulin pada otot dan lemak. Efek samping dari metformin yang terjadi pada sampai dengan 20% dari pasien diare, antara lain perut tidak nyaman, mual, dan anoreksia (Goodman and Gilman, 2006). 3. Glukosidase inhibitor Mekanisme kerja utamanya yaitu untuk menurunkan hiperglikemia postprandial dengan memperlambat laju karbohidrat yang diabsorpsi dari saluran pencernaan (Craig and Robert, 1997). Glukosidase inhibitor menyebabkan malabsorpsi terkait dosis, perut kembung, dan diare (Goodman and Gilman, 2006). 4. Thiazolidindion Efek farmakologisnya berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan bagi insulin dari otot, lemak, dan hati (Tjay dan Rahardja, 2003). Thiazolidindion meningkatkan transportasi glukosa
Universitas Sumatera Utara
ke dalam otot dan jaringan adiposa dengan meningkatkan sintesis dan translokasi
bentuk
-
bentuk
khusus
dari
transporter
glukosa.
Thiazolidindion telah dilaporkan dapat menyebabkan anemia, peningkatan berat badan, edema, dan ekspansi volume plasma (Goodman and Gilman, 2006). 5. Miglitinida Mekanismenya khusus yaitu dengan mencetuskan pelepasan insulin dari pankreas segera sesudah makan (Tjay dan Rahardja, 2003). Obat yang tergolong ke dalam miglitinida antara lain repaglinida dan nateglinida (Craig and Robert, 1997). 2.5.3 Diagnosis Pemeriksaan untuk DM tipe 2 harus dilakukan setiap 3 tahun pada setiap orang dewasa dimulai pada usia 45 tahun. Pemeriksaan harus dipertimbangkan pada usia yang lebih dini dan pada individu dengan faktor risiko seperti: riwayat keluarga DM, obesitas, dan adanya tanda-tanda resistensi insulin (Wells, et al, 2009). Pemeriksaan yang dianjurkan adalah: a. glukosa plasma puasa (FPG = fasting plasma glucose). FPG normal adalah kurang dari 100 mg/dl (5,6 mmol/L). b. Glukosa puasa terganggu antara 100 sampai 125 mg/dl (5,6 - 6,9 mmol/L). c. Toleransi glukosa terganggu didiagnosis ketika 2 jam setelah makan. Uji toleransi glukosa oral adalah antara 140 dan 199 mg/dL (7,8 untuk 11,0 mmol / L) (Wells, et al, 2009).
Universitas Sumatera Utara