BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pariwisata Istilah wisata merupakan padanan kata tour (dalam bahasa inggris).
Walaupun dalam bahasa Sansekerta istilah wisata memiliki pengertian yang sama dengan perjalanan. Secara etimologi tour berasal dari kata torah (bahasa Ibrani) yang berarti belajar, tornus (bahasa Latin) yang berarti alat untuk membuat lingkaran, dalam bahasa Perancis Kuno disebut tour yang berarti mengelilingi sirkuit. Kata wisata jika dilihat dari sudut pandang perusahaan perjalanan, wisata diartikan sebagai sebuah perjalanan yang terencana, yang disusun oleh perusahaan perjalanan dengan menggunakan waktu seefektif dan seefisien mungkin agar membuat peserta wisata merasa puas (Suyitno, 1999). Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menyebutkan, wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan diri, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan
didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha,
pemerintah
dan
pemerintah
daerah.
Kepariwisataan
adalah
keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha. Marpaung (2002) mendefinisikan pariwisata sebagai suatu perpindahan sementara yang dilakukan manusia dengan tujuan keluar dari pekerjaan-pekerjaan rutin, keluar dari tempat kediamannya. Sedangkan pelajaran pariwisata adalah suatu pelajaran untuk keluar dari keadaan biasanya dan ini dipengaruhi oleh keberadaan ekonomi, fisik, dan kesejahteraan sosial wisatawan yang akan melakukan kegiatan wisata. Waluyo (2007) menyatakan bahwa wisata adalah perjalanan seseorang/kelompok ke destinasi wisata (travel). Destinasi pariwisata adalah area atau kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat unsur daya tarik, fasilitas, aksesibilitas,
masyarakat dan ada informasi yang bisa menarik wisatawan untuk datang, yang satu dan lainnya saling terkait dan melengkapi untuk terwujudnya kegiatan kepariwisataan, termasuk manajemen dan regulasi. Wisatawan adalah seseorang/ kelompok yang melakukan perjalanan ke destinasi wisata. Waluyo (2007) membagi wisatawan menjadi wisatawan nusantara, wisatawan mancanegara, pengunjung (pelancong). Wisatawan nusantara adalah penduduk Indonesai yang melakukan perjalanan di wilayah territorial Indonesia bukan untuk bekerja atau sekolah, dengan jangka waktu kurang dari enam bulan ke objek wisata komersial (bertransaksi), menginap di akomodasi komersial (bertransaksi), jarak perjalanan lebih dari 100 Km (PP) yang bukan merupakan lingkungan sehari. Wisatawan mancanegara adalah seseorang atau sekelompok orang yang melakukan perjalanan di luar negara asalnya (Country of Residence), selama kurang dari 12 bulan pada suatu destinasi tertentu, dengan tujuan perjalanan tidak untuk berkerja atau memperoleh penghasilan. Perlu diperhatikan bahwa (1) orang yang bekerja di perbatasan negara; (2) Imigran baik yang permanen, sementara, atau nomaden; (3) Pengungsi; serta (4) Diplomat, Konsulat, dan Anggota Angkatan Bersenjata yang menempati pos tugasnya, tidak termasuk ke dalam kategori wisatawan mancanegara. Pelancong atau pengunjung adalah penduduk Indonesia yang melakukan perjalanan ke obyek wisata komersial selama satu hari pp. (one day trip) ) tanpa menginap di akomodasi komersial. Wisata berbeda dengan perjalanan pada umumnya, karena suatu perjalanan dikatakan wisata apabila memiliki karakteristik sebagai berikut: (Suyitno 1999) 1) Bersifat sementara, dalam jangka waktu pendek (waktu yang ditentukan) pelaku wisata akan kembali ke tempat asalnya. 2) Melibatkan beberapa komponen wisata, misalnya sarana transportasi, akomodasi, restoran, objek wisata, toko cinderamata, dan lain-lain. 3) Umumnya dilakukan dengan mengunjungi objek dan atraksi wisata daerah atau bahkan negara secara berkesinambungan. 4) Perjalanan dilakukan dalam suasana santai. 5) Memilki tujuan tertentu yang pada dasarnya untuk mendapatkan kesenangan.
6) Tidak untuk mencari nafkah di tempat tujuan, bahkan keberadaannya dapat memberikan kontribusi pendapatan bagi masyarakat atau daerah yang dikunjungi, karena uang yang dibelanjakannya dibawa dari tempat asal. Secara sosiologis, Urry (1990) dalam Pinata dan Gayatri (2005) menyebutkan bahwa pariwisata memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1). Pariwisata adalah aktivitas bersantai atau aktivitas waktu luang. 2). Hubungan-hubungan manusia terjadi karena adanya pergerakan manusia yang bersifat sementara (transitory) dan berbeda dengan perpindahan penduduk secara permanen. 3). Dilihat dari sisi wisatawan, pariwisata adalah aktivitas yang dilakukan pada tempat dan waktu yang tidak normal yang hanya bersifat sementara dan pelaku mempunyai keinginan yang pasti untuk kembali ke situasi normal atau ke habitat asalnya. 4). Tempat atau atraksi yang dinikmati oleh wisatawan (the touris gaze) adalah tempat dan/atau peristiwa yang tidak langsung berhubungan dengan pekerjaan atau penghidupan wisatawan. Ko (2001) membagi objek wisata berdasarkan peruntukannya, yakni: objek wisata alam untuk umum dan objek wisata alam minat khusus. 1) Objek wisata alam untuk umum Objek wisata umum diminati oleh hampir semua wisatawan biasa dan dapat dikunjungi oleh banyak orang dalam satuan waktu tertentu tanpa menimbulkan dampak negatif yang berarti pada objek wisata itu sendiri. Termasuk dalam kategori objek wisata untuk umum adalah air terjun, danau, pantai bukit, gunung dan beberapa gua yang memiliki kriteria: a. Aman, tanpa resiko terkena musibah b. Nyaman, tidak mengotori badan, gampang mencapai lokasi dan sangat mudah melaksanakan kunjungan tersebut. c. Tidak memiliki nilai kepetualangan. d. Indah, yaitu memilki nilai estetika, keindahan panorama yang ia kunjungi e. Waktu kunjungan singkat
f. Mengunjunginya dianggap sebagai hiburan. Sering dilakukan bersama keluarga, teman-teman sekantor atau sekolah sebagai kegiatan santai akhir pekan atau liburan 2) Objek wisata alam minat khusus Objek Wisata Minat Khusus hanya diminati segmen pasar terbatas.peminatnya adalah muda-mudi yang gemar berpetualang dan melakukan eksplorasi ke lokasi-lokasi jauh, terpencil dan belum dikenal atau jarang didatangi manusia.
2.2
Ekowisata Ekowisata merupakan pengelolaan alam dan budaya masyarakat dengan
pendekatan konservasi yang menjamin kelestarian dan kesejahteraan (Nurfatriani dan Efida 2003). Di dalamnya terdapat suatu konsep pengembangan pariwisata yang mencakup aspek pelestarian terhadap lingkungan alam maupun budaya yang menjadi andalan pariwisata, aspek edukasi bagi wisatawan, serta partisipasi masyarkat dengan tetap memberikan peluang keuntungan ekonomi bagi pengusaha (Gunawan 2003). The International Ecotourism Society (2005) menyatakan,
Ekowisata
merupakan perjalanan yang bertanggung jawab ke kawasan alami untuk melestarikan lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Selanjutnya Honey (1999) dalam Drumm dan Moore (2005) memberikan versi yang lebih detail, ekowisata adalah perjalanan ke kawasan yang rentan, murni, dan biasanya dilindungi, yang berusaha menekan dampak negatif sekecil mungkin dan biasanya dilakukan dalam sekala kecil. Ekowisata membantu mendidik wisatawan; menyediakan dana bagi konservasi; manfaat secara langsung berupa perkembangan ekonomi dan kekuatan politik
bagi masyarkat lokal; dan
membantu menghargai perbedaan budaya dan hak asasi manusia. The Quebec Declaration on Tourism (2002) menyatakan bahwa, ekowisata mencakup prinsip wisata yang berkelanjutan dan prinsip dibawah ini yang membedakannya dari wisata yang berkelanjutan yang luas konsepnya: 1) berkontribusi secara aktif bagi konservasi warisan alam dan budaya, 2) melibatkan
masyarakat
lokal
dan
pribumi
dalam
perencanaannya,
pengembangan dan operasinya, berkontribusi bagi pendapatan mereka, 3) menterjemahkan maksud warisan alam dan budaya kepada pengunjung,
4) memberikan kebebasan lebih bagi bagi pelancong, sebagaimana pengelolaan perjalanan Sifat dari ekowisata menyebabkananya menjadi alat yang berharga bagi konservasi. Implementasinya bisa (Drumm & Moore 2005): 1) memberikan nilai ekonomi bagi pengelolaan ekosistem yang terdapat di kawasan dilindungi. 2) secara langsung meningkatkan pendapatan bagi kawasan konservasi 3) meningkatkan pendapatan masyarakat lokal baik secara langsung dan tidak langsung 4) menciptakan insentif bagi kegiatan konservasi yang terdapat di dalam masyarakat lokal 5) membangun jaringan konservasi lokal, nasional dan internasional 6) mempromosikan penggunaan sumberdaya alam secara berkelanjutan dan 7) mengurangi ancaman bagi keanekaragaman hayati. Ekowisata merupakan wisata yang berkelanjutan, karena melalui proses yang baik (UNEP 2002) yaitu: 1) mendahulukan partisipasi pendapat dari seluruh stakeholder 2) jaminan yang sama bagi seluruh takeholder yang berpartisipasi aktif dan efektif 3) mengakui hak penduduk setempat yang berkata ”tidak” bagi pengembangan pariwisata–dan secara lengkap memberitahukan, peserta yang aktif dan efektif dalam kegiatan pengembangan wisata di dalam masyarakat, daratan, dan wilayah, dan 4) memajukan cara penduduk asli dan masyarakat lokal untuk mengontrol dan melindungi sumberdaya mereka.
2.3
Penawaran dan permintaan Wisata Pariwisata dilihat dari sisi ekonomi muncul dari empat unsur pokok yang
saling terkait erat atau menjalin hubungan dalam suatu sistem, yakni: permintaan atau kebutuhan, penawaran atau pemenuhan kebutuhan berwisata itu sendiri, pasar dan kelembagaan yang berperan untuk memfasilitasi keduanya dan pelaku atau aktor yang menggerakkan katiga elemen tersebut (Damanik & Weber 2006).
Secara umum, penawaran wisata mencakup yang ditawarkan oleh destinasi pariwisata kepada wisatawan yang riil maupun yang potensial. Penawaran dalam pariwisata menunjukkan khasanah atraksi wisata alamiah, dan buatan manusia, jasa-jasa maupun barang-barang yang kira-kira akan menarik orang-orang untuk mengunjungi suatu negara tertentu (Wahab 2003). Marpaung (2002) menyatakan bahwa objek dan daya tarik wisata adalah suatu bentukan dan/ atau aktivitas dan fasilitas yang berhubungan, yang dapat menarik minat wisatawan atau pengunjung untuk datang ke suatu daerah/ tempat tertentu. Waluyo (2007) menyatakan, daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menarik pada sebuah atau berbagai destinasi pariwisata yang memiliki unsur alam, budaya, dan/ atau minat khusus yang bersifat unik, khas, dan/ atau langka. Objek dan daya tarik wisata tersebut yang ditawarkan kepada wisatawan yang disebut dengan produk (product) dan pelayanan (service) wisata (Damanik & Weber 2006). Freyer (1993) dalam Damanik & Weber (2006), menyatakan bahwa produk wisata adalah semua produk yang diperuntukkan bagi atau dikonsumsi oleh seseorang selama melakukan kegiatan wisata, sedangkan jasa adalah layanan yang diterima wisatawan ketika mereka memanfaatkan (mengkonsumsi) produk tersebut (Damanik & Weber 2006). Elemen penawaran wisata menurut Damanik & Weber (2006) sering disebut sebagai triple A’s yang terdiri dari atraksi, aksesibilitas, dan amenitas. Atraksi diartikan sebagai objek wisata (baik yang bersifat tangible maupun intangible) yang memberikan kenikmatan kepada wisatawan yang terdiri dari alam, budaya, dan buatan. Unsur lain yang melekat dalam atraksi ini adalah hospitally, yakni jasa akomodasi atau penginapan, restoran, biro perjalanan, dan sebagainya. Aksesibilitas
mencakup
keseluruhan
infrastruktur
transportasi
yang
menghubungkan wisatawan dari, ke dan selama di daerah tujuan wisata (Inskeep 1994 dalam Damanik & Weber 2006). Amenitas adalah infrastruktur yang sebenarnya tidak langsung terkait dengan pariwisata tapi sering menjadi bagian dari kebutuhan wisatawan, seperti Bank, penukaran uang, telekomunikasi, usaha persewaan (rental), penerbit, dan penjual buku panduan wisata, seni pertunjukan (teater, bioskop, pub dan lain-lain).
Wahab (2003), menyatakan bahwa penawaran pariwisata ditandai oleh tiga ciri khas utama: 1) Merupakan penwaran jasa-jasa. Artinya sesuatu yang ditawarkan itu tidak mungkin ditimbun dan harus dimanfaatkan dimana produk itu berada. 2) Yang ditawarkan itu bersifat kaku (rigit). Artinya suatu produk wisata yang ditawarkan tidak bisa atau sulit sekali dirubah sasaran penggunaannya di luar pariwisata. 3) Penawaran pariwisata harus bersaing ketat dengan penawaran barang-barang dan jasa-jasa yang lain. Terdapat banyak jenis daya tarik wisata dan dibagi dalam berbagai macam system klasifikasi daya tarik. Secara garis besar daya tarik wisata diklasifikasikan ke dalam tiga klasifikasi (Marpaung 2002): 1) Daya tarik alam 2) Daya tarik budaya 3) Daya tarik buatan manusia Walaupun demikian ada yang membagi jenis objek dan daya tarik wisata ini ke dalam dua kategori saja, yaitu (Marpaung 2002): 1) Objek dan daya tarik wisata alam 2) Objek dan daya tarik wisata sosial budaya Wahab (2003) membagi unsur-unsur pariwisata berupa alamiah yang terdiri dari sumber-sumber alam dan hasil karya buatan manusia. 1) Sumber-sumber alam a. Iklim: udara yang lembut, bersinar matahari, kering dan bersih b. Tata letak tanah dan pemandangan alam: daratan, pegunungan yang berpanorama indah, danau, sungai, pantai, bentuk-bentuk yang unik pemandangan yang indah, air terjun, daerah gunung merapi, gua dan lainlain c. Unsur rimba: hutan-hutan lebat, pohon-pohon langka, dan sebagainya. d. Flora dan fauna: tumbuhan aneh, barang-barang beragam jenis dan warna, kemungkinan memancing, berburu dan bersafari foto binatang buas, taman nasional dan taman suaka binatang buas, dan sebagainya.
e. Pusat-pusat kesehatan: sumber air mineral alam, kolam Lumpur berkhasiat untuk mandi, sumber air panas untuk penyembuhan penyakit, dan sebagainya 2) Hasil karya buatan manusia a. Yang berciri sejarah, budaya dan agama: Monumen dan peninggalan bersejarah masa lalu, tempat-tempat budaya (museum, gedung kesenian, tugu peringatan), perayaan-perayaan tradisional (karnaval, upacara adat), bangunan-bangunan raksasa dan biara-biara keagamaan. b. Prasarana-prasarana: prasarana umum (air bersih, listrik, telekomunikasi), kebutuhan pokok hidup modern (rumah sakit, bank, pusat perbelanjaan), prasarana wisata (penginapan, hotel, warung, desa wisata, tempat kemah), tempat rekreasi dan olahraga. c. Sarana pencapaian dan alat transportasi penunjang: pelabuhan udara dan laut, kereta api dan alat transportasi darat lainnya, kapal. d. Sarana pelengkap: umumnya sarana pelengkap ini bersifat rekreasi dan hiburan misalnya: bioskop, kasino, night club, kedai-kedai dan lain-lain. e. Pola hidup masyarakat: cara hidup bangsa, sikap, makanan dan sikap pandangan hidup, kebiasaannya, tradisinya, adat istiadatnya, semua itu menjadi kekayaan budaya yang menarik wisatawan ke Negara tersebut. Damanik & Weber (2006) menyatakan kualitas produk yang baik terkait dengan empat hal, yakni keunikan, otentisitas, originalitas, dan keragaman. Keunikan diartikan sebagai kombinasi kelangkaan dan daya tarik yang khas melekat pada suatu objek wisata. Originalitas atau keaslian mencerminkan keaslian dan kemurnian, yakni seberapa jauh suatu produk tidak terkontaminasi oleh atau tidak mengadopsi model atau nilai yang berbeda dengan nilai aslinya. Otentisitas mengacu pada keaslian yang dikaitkan dengan derajat kecantikan atau eksotisme budaya sebagai atraksi wisata (Kontogeorgopoulos 2003 dalam Damanik & Weber 2006). Diversitas produk artinya keanekaragaman produk dan jasa yang ditawarkan. Tujuannya agar wisatwan dapat lebih lama tinggal dan menikmati atraksi yang bervariasi serta akhirnya memperoleh pengalaman wisata yang lengkap.
Setyono (2003) menyatakan unsur yang paling penting yang menjadi daya tarik dari sebuah daerah tujuan wisata adalah: 1) Kondisi alamnya, contoh hutan hujan tropis atau terumbu karang 2) Keanekaragaman hayati/ flora-fauna yang unik, langka dan endemik, seperti raflesia, badak jawa, komodo dan orang utan 3) Kondisi fenomena alamnya, seperti: Gunung Krakatau dan Danau Kalimutu 4) Kondisi adat dan budayanya, seperti: Badui, Toraja, Bali dan Sumba. Di sisi lain yang berpengaruh terhadap perkembangan dunia pariwisata karena kondisi lingkungan yang semakin rusak, sehingga kondisi lingkungan yang natural merupakan atraksi utama bagi wisatawan (Marpaung 2002). Unsur penting lainnya yang mempengaruhi permintaan wisata adalah wisatawan dan penduduk lokal yang menggunakan sumberdaya (produk dan jasa) wisata. Faktor lain yang turut berperan adalah aksesibilitas yang semakin mudah pada produk dan objek wisata. Distribusi pendapatan yang lebih merata dan penghasilan yang meningkat juga ikut andil dalam mendorong semakin banyaknya permintaan perjalanan wisata (Damanik & Weber 2006). Pendidikan yang semakin meningkat membuat wawasan seseorang semakin luas. Keingintahuan dan minat untuk mempelajari sesuatu yang baru ikut meningkat. Selain itu aspirasi terhadap tempat dan budaya yang berbeda semakin tinggi. Variabel lain adalah ketersediaan waktu. Kebijakan pemerintah untuk menggabungkan hari libur ke akhir atau awal pekan menjadi waktu luang yang bisa digunakan untuk berlibur (Damanik & Weber 2006). Suwantoro (1997) mengidentifikasi empat kelompok faktor yang mempengaruhi penentuan pilihan daerah tujuan wisata seperti: 1) Fasilitas: akomodasi, atraksi, jalan, tanda-tanda petunjuk arah. 2) Nilai estetis: pemandangan (panorama), iklim, tempat bersantai, cuaca. 3) Waktu/ biaya: jarak dari tempat asal (rumah), waktu dan biaya perjalanan, harga/ tarif pelayanan. 4) Kualitas hidup: keramah tamahan penduduk dan bebas dari pencemaran. Yoeti (2007), kecenderungan memilih suatu daerah tujuan karena: 1) Faktor biaya apakah rendah atau relatif tinggi. 2) Bagaimana situasi politik didaerah tujuan tersebut
3) Bagaimana kendaraan menuju kesana? Tersedia setiap waktu atau comfortable 4) Faktor angan–angan (Elimination factor) terhadap tempat yang dikunjungi. Waktu luang, uang, sarana dan prasarana merupakan permintaan potensial wisata. Permintaan potensial ini harus ditransformasikan menjadi permintaan riil, yakni pengambilan keputusan wisata. Pengambilan keputusan belangsung secara bertahap, mulai dari tahap munculnya kebutuhan, kesediaan untuk berwisata, sampai
keputusan untuk berwisata itu sendiri. Masing – masing fase ini
mempunyai kegiatan yang spesifik (Damanik & Weber 2006).
2.1 Pengembangan Wisata Pengembangan pariwisata disuatu daerah harus memiliki tujuan yang jelas sebagai mana tercantum dalam Undang-Undang No. 10 pasal 4 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yaitu: 1.
Meningkatkan pertumbuhan ekonomi
2.
Meningkatkan kesejahteraan rakyat
3.
Menghapus kemiskinan
4.
Mengatasi pengangguran
5.
Melestarikan alam, ligkungan, dan sumberdaya
6.
Memajukan kebudayaan
7.
Mengangkat citra bangsa
8.
Memupuk rasa cinta tanah air
9.
Memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan
10. Mempererat persahabatan antar bangsa Yoeti (1997) menyatakan perencanaan pariwisata harus memiliki prinsip sebagai berikut: 1. Perencanaan pengembangan kepariwisataan hendaknya termasuk dalam kerangka kerja dari pembangunan ekonomi dan sosial budaya yang hidup di Negara tersebut. 2.
Menghendaki pendekatan terpadu (integrate-approach) dengan sektor – sektor lainnya yang banyak berkaitan dengan bidang kepariwisataan.
3. Pada suatu daerah haruslah di bawah koordinasi perencanaan fisik daerah tersebut secara keseluruhan. 4. Perencanaan fisik untuk tujuan pariwisata dibuat dengan memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan, alam dan budaya di daerah sekitarnya 5. Perencanaan fisik suatu daerah untuk tujuan pariwisata harus sesuai dengan lingkungan alam sekitar dengan memperhatikan faktor geografi tidak hanya meninjau dari segi administrasi saja. 6. Rencana dan penelitian untuk pengembangan kepariwisataan harus memperhatikan faktor ekologi. 7. Selain masalah ekonomi, penting juga memperhatikan masalah sosial yang mungkin ditimbulkan akibat pengembangan pariwisata. 8. Khusus daerah yang dekat dengan industri perlu diperhatikan pengadaan fasilitas rekreasi dan hiburan di sekitar daerah yang disebut sebagai preurban 9. Tidak
membedakan
ras,
agama,
dan
bangsa,
sehingga
perlu
memperhatikan kemungkinan peningkatan kerjasama dengan bangsa – bangsa lain yang menguntungkan. UNEP (2002) juga menyebutkann bahwa, pengembangan wisata yang berkelanjutan seharusnya: 1. Mengoptimalkan penggunaan sumberdaya lingkungan yang merupakan elemen kunci dalam pengembangan wisata, mempertahankan proses ekologi yang essensial dan membantu mengkonservasi warisan alam dan keanekaragaman hayati. 2. Menghormati
keaslian
sosial
budaya
masyarakat
setempat,
mengkonservasi bangunan dan warisan budaya tempat tinggal mereka dan nilai-nilai tradisional, dan berkontribusi untuk memahami dan toleran terhadapa budaya mereka 3. Aktif menjamin, operasi ekonomi jangka panjang, menyediakan keuntungan sosial ekonomi kepada seluruh stakeholder yang secara merata mendistribusikan, termasuk jabatan tetap dan peluang memperoleh pemasukan dan pelayanan sosial bagi masyarakat setempat, dan berkontribusi bagi pengurangan kemiskinan.
Pengembangan wisata di Pulau Bawean bagian ke dalam empat bagian yaitu: pengembangan objek dan daya tarik, sarana dan prasarana, masyarakat/ lingkungan dan pengembangan interpretasi wisata. 2.4.1
Pengembangan objek dan daya tarik wisata Marpaung (2002) menyatakan, objek dan daya tarik merupakan dasar bagi
kepariwisataan. Tanpa adanya daya tarik disuatu areal/ daerah tertentu, kepariwisataan sulit untuk dikembangkan, karena potensi obyek dan daya tarik wisata alam merupakan sumberdaya ekonomi yang bernilai tinggi dan sekaligus merupakan media pendidikan dan pelestarian lingkungan. (Nurfatriani & Efida 2003). Pariwisata biasanya akan dapat lebih berkembang atau dikembangkan, jika di suatu daerah terdapat lebih dari satu jenis objek dan daya tarik wisata. Objek dan daya tarik wisata dikelompokkan ke dalam (Suwantoro 1997): 1.
Objek dan daya tarik wisata alam
2.
Objek dan daya tarik wisata budaya
3.
Objek dan daya tarik wisata minat khusus Objek dan daya tarik wisata harus dirancang dan dibangun/ dikelola secara
professional sehingga dapat menarik wisatawan untuk datang. Membagun suatu objek wisata harus harus dirancang sedemikian rupa berdasarkan criteria tertentu. Umumnya daya tarik suatu objek wisata berasar pada (Suwantoro 1997): 1. Adanya sumber daya yang dapat menimbulkan rasa senang, indah, nyaman dan bersih. 2. Adanya aksesibilitas yang tinggi untuk dapat mengunjunginya 3. Adanya ciri khusus/ spesifikasi yang bersifat langka. 4. Adanya sarana/ prasarana penunjang untuk melayani para wisatawan yang hadir 5. Objek wisata alam mempunyai daya tarik tinggi karena keindahan alam pegunungan, sungai, pantai, pasir, hutan, dan sebagainya. 6. Objek wisata budaya mempunyai daya tarik tinggi karena memiliki nilai khusus dalam bentuk atraksi kesenian, upacara-upacara adat, nilai luhur yang terkandung dalam suatu objek buah karya manusia pada masa lampau.
Pembangunan suatu objek wisata harus dirancang dengan bersumber pada potensi daya tarik yang dimiliki objek tersebut dengan mengacu pada kriteria keberhasilan pengembangan yang meliputi berbagai kelayakan (Suwantoro 1997): 1. Kelayakan finansial Kelayakan financial menyangkut perhitungan secara komersial dari pembangunan objek tersebut. Perkiraan untung rugi dan tenggang waktu yang dibutuhkan untuk kembali modalpun harus diramalkan. 2. Kelayakan sosial ekonomi regional Kegiatan ini dilakukan untuk melihat dampak dari investasi yang ditanamkan untuk membangun suatu objek wisata, yaitu dampak social ekonomi secara regional, dapat menciptakan lapangan kerja/ berusaha. Dapat meningkatkan devisa, dapat meningkatkan penerimaan pada sector yang lain seperti pajak perindustrian, perdagangan, pertanian dan lain-lain. 3. Kelayakan teknis Pembangunan objek wisata harus dapat dipertanggung jawabkan secara teknis dengan melihat daya dukung yang ada. Pemaksaan pembangunan yang tidak sesuai dengan daya dukung objek wisata tersebut akan berdampak pada berkurang atau bahkan hilangnya daya tarik suatu objek wisata dan ancaman keselamatan bagi wisatawan. 4. Kelayakan lingkungan Pembangunan objek wisata yang mengakibatkan rusaknya lingkungan harus dihentikan pembangunannya. Pembangunan objek wisata bukanlah untuk merusak lingkungan tetapi sekedar memanfaatkan sumberdaya alam untuk kebaikan manusia dan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia sehingga menjadi keseimbangan, keselarasan dan keseraisan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan alam dan manusia dengan Tuhannya. Berdasarkan Undang-Undang No. 10 pasal 6 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menyebutkan bahwa dalam pembangunan objek dan daya tarik wisata dilakukan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan dan kekhasan budaya dan alam serta kebutuhan manusia untuk berwisata.
2.4.2
Pengembangan sarana dan prasarana wisata Pada dasarnya keberhasilan pengembangan kawasan-kawasan wisata
adalah sangat tergantung dengan kemampuan manajemen dalam mempertemukan sisi supply dan sisi demand secara tepat, pengembangannya harus pula berintikan pembangunan kawasan-kawasan yang dikonservasikan yang diintegrasikan dengan seluruh kekuatan pembangunan baik secara lokal, provinsi, nasional, maupun global. Maka dari itu harus dilakukan penelitian, inventarisasi, dan dievaluasi sebelum fasilitas wisata dikembangkan suatu area tertentu. Hal ini penting agar perkembangan daya tarik wisata yang ada sesuai dengan keinginan pasar potensial dan untuk menentukan pengembangan yang tepat dan sesuai (Marpaung 2002). Sarana wisata merupakan kelengkapan daerah tujuan wisata yang diperlukan untuk melayani kebutuhan wisatawan dalam menikmati perjalanan wisatanya. Pembangunannya harus disesuaikan dengan kebutuhan wisatawan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Berbagai sarana yang harus disediakan di daerah tujuan wisata ialah hotel, biro perjalanan, alat transportasi, restoran dan rumah makan serta sarana pendukung lainnya. Sarana wisata secara kuantitatif menunjuk pada jumlah sarana wisata yang harus disediakan, dan secara kaulitatif yang menunjukkan mutu pelayanan yang diberikan dan yang tercermin pada kepuasan wisatawan yang memperoleh pelayanan. Prasarana wisata adalah sumberdaya alam dan sumberdaya buatan manusia yang mutlak dibutuhkan oleh wisatawan dalam perjalanannya di daerah tujuan wisata, seperti listrik, air, telekomunikasi, terminal, jembatan, dan lain sebagainya. Prasarana wisata tersebut harus perlu dibangun dengan disesuaikan dengan lokasi dan kondisi objek wisata yang bersangkutan. Pembangunan prasarana wisata yang mempertimbangkan kondisi dan lokasi akan meningkatkan aksesibilitas suatu objek wisata yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan daya tarik objek wisata itu sendiri. Pelaksanaan perlu adanya kordinasi antar berbagai instansi terkait dengan intansi pariwisata. Koordinasi di tingkat perencanaan yang dilanjutkan dengan koordinasi
di
tingkat
pelaksanaan merupakan modal utama suksesnya
pembangunan pariwisata. Peran pemerintah lebih dominan karena pemerintah dapat mengambil manfaat ganda dari pembangunan tersebut, seperti untuk meningkatkan arus informasi, arus lalu lintas ekonomi, arus mobilisasi manusia antar daerah dan sebagainya, yang tentu saja dapat meningkatkan kesempatan berusaha dan bekerja masyarakat. 2.4.3
Pengembangan masyarakat/ lingkungan Masyarakat di sekitar objek wisatalah yang akan menyambut kehadiran
wisatawan tersebut dan sekaligus akan memberikan layanan yang diperlukan oleh wisatawan. Maka dari itu masyarakat di sekitar objek wisata perluy mengetahui berbagai jenis dan kualitas layanan yang dibutuhkan oleh para wisatawan. Kegiatan yang harus dilakukan adalah menyelenggarakan berbagai penyuluhan kepada masyarakat. Salah satunya dalam bentuk bina masyarakat sadar wisata. Dengan terbinanya masyarakat yang sadar wisata akan berdampak positif karena mereka akan memperoleh keuntungan dari wisatawan yang membelanjakan uangnya. Para wisatawanpun akan untung karena mendapat pelayanan yang memadai dan juga mendapatkan kemudahan dalam memenuhi kebutuhannya. Selain masyarakat sekitar objek wisata, lingkungan alam sekitar objek wisatapun harus diperhatikan dengan seksama agar tidak rusak dan tercemar. Maka dari itu perlu adanya upaya menjaga kelestarian lingkungan melalui penegakan berbagai aturan dan persyaratan dalam pengelolaan suatu objek wisata. Lingkungan masyarakat dalam lingkungan alam di suatu objek wisata merupakan lingkungan yang menjadi pilar penyangga kelangsungan hidup suatu masyarakat. Oleh karena itu lingkungan budaya inipun kelestariannya tidak bolh tercemar oleh budaya asing, tetapi harus ditingkatkan kualitasnya sehingga dapat memberikan kenangan yang mengesankan bagi setiap wisatawan yang berkunjung. 2.4.4
Pengembagan interpretasi wisata Interpretasi adalah proses komunikasi yang didesain untuk menyatakan
maksud dan hubungan antara warisan budaya dan alam kita kepada publik (pengunjung) melalui interaksi langsung dengan objek, artifak, lanskap, atau situs (Veverka 1998).
Kegiatan interpretasi diselenggarakan dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh pengunjung, dan dengan cara mempertemukan pengunjung dengan obyek-obyek interpretasi, sehingga pengunjung dapat memperoleh pengalaman langsung melalui panca inderanya seperti penglihatan, pendengaran, perasaan, penciuman, ataupun perabaan (Muntasib 2003). Obyek interpretasi adalah segala sesuatu di dalam suatu kawasan yang digunakan sebagai obyek (bahan utama) dalam penyelenggaraan interpretasi. Obyek interpretasi secara garis besar dapat dibagi 2 yaitu, objek interpretasi sumberdaya alam dan sumberdaya budaya (Muntasib & Rachmawati 2003). Manfaat interpretasi (Setiawati 2003) 1.
Unsur edukasi
2.
Unsur Komunikasi
3.
Pemanfaatan pengetahuan alam
4.
Pemenfaatan pengetahuan lokal
5.
Unsur pengemasan
6.
Memberikan nilai tambah unutk satu paket kegiatan wisata yaitu kepuasan pengunjung, nilai ekonomi dan sosial
7.
Alat untuk mencapai tujuan: wisata yang bertanggung jawab dan berwawasan lingkungan
8.
Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran baik pengunjung maupun masyarakat setempat. Secara singkat prinsip dasar program interpretasi dapat digambarkan
dalam diagram alur pada Gambar 1. yaitu (Setyono 2003): Kegiatan Interpretasi
Pengunjung Tertarik
Mengerti
Ikut Melestariakan
Tidak Menggangguu
Memahami
Gambar 1. Diagram alur program interpretasi
Beberapa hal yang difasilitasi dalam pengembangan interpretasi (Setiawati 2003): 1. Identifikasi potensi sumberdaya 2. Menentukan topik utama dari produk yang akan dikembangkan 3. Mengembangkan desain jalur interpretasi 4. Mengidentifikasi hal-hal menarik/ pendalaman identifikasi materi (alam, pengetahuan lokal, budaya dan sebagainya) 5. Menentukan tema (lebih spesifik dari topik utama) 6. Melakukan kompilasi dan penyederhanaan materi 7. Mengemas bahan interpretasi 8. Meningkatkan kemampuan calon interpreter 9. Menyusun standar operasi 10. Membuat evaluasi Sharpe (1982) menyatakan bahwa media interpretasi secara tradisional dibagi ke dalam 2 kategori yaitu, pelayanan personal dan non personal. Pelayanan personal atau pelayanan langsung, di sini pengunjung berinteraksi langsung dengan spesialis interpretasi melalui petugas informasi, aktivitas langsung, percakapan dengan kelompok atau interpretasi kehidupan dan demontsrasi budaya. Pelayanan non personal atau pelayanan tidak langsung, dalam hal ini pengunjung berinteraksi hanya dengan spesialis interpretasi. Mereka di sajikan informasi menggunakan perlengkapan yang disediakan oleh interpreter. Perlengkapan terebut berupa, audio, media tertulis, papan tanda (petunjuk), label, publikasi, panduan aktiviats sendiri, pameran dalam ruangan.
2.2 Analisis SWOT SWOT adalah singkatan dari lingkungan internal Strengths dan Weaknesses serta lingkungan ekternal Opportunities dan Threats. Analisis SWOT membandingkan antara faktro eksternal Peluang (opportunities) dan Ancaman (threats)
dengan
faktor
internal
(weaknesses) (Rangkuti 2003).
Kekuatan
(strengths)
dan
Kelemahan
Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan (Rangkuti 2003). Sedangkan menurut Kotler (2002), analisis SWOT merupakan evaluasi terhadap keseluruhan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Analisis
SWOT
membandingkan
antara
faktor
internal
Peluang
(opportunities) dan Ancaman (threats) dengan faktor internal Kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses) Gambar 2 (Rangkuti 2003). Peluang
3. Mendukung strategi turnaround
1. Mendukung strtegi agresif
Kelemahan Internal
Kekuatan Internal
4. Mendukung strategi defensif
2. Mendukung strategi diversifikasi
Ancaman Gambar 2. Diagram Analisis SWOT (Rangkuti, 2003)yang menguntungkan. Pada situasi ini terdapat Kuadran 1 : Ini merupakan situasi
kekuatan dan peluang yang bisa dimanfaatkan. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (Growth oriented strategy) Kuadran 2 : meskipun menghadapi berbagai ancaman, namun pada kondisi ini masih terdapat kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan
peluang jangka panjang dengan cara strategi diversifikasi (produk/ pasar) Kuadran 3 : kondisi ini terdapat peluang yang sangat besar, tetapi lain pihak terdapat kelemahan internal. Sehingga strategi yang dijalankan adalah meminimalkan masalah-masalah internal sehingga mampu memanfaatkan peluang yang ada dengan baik. Kuadran 4 : ini merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan, kondisi ini terdapat berbagai ancaman dan kelemahan internal. Alat yang dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategis adalah matriks SWOT yang terdapat pada Gambar 3. Matriks ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi mampu disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matriks ini dapat menghasilkan empat set kemungkinan alternaif strategis (Rangkuti 2003). STRENGTHS (S)
WEAKNESSES (W)
Tentukan faktor kekuatan internal
Tentukan faktor kelemahan internal
STRATEGI SO
STRATEGI WO
Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang STRATEGI ST
Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang STRATEGI WT
Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman
IFAS
EFAS OPPORTUNIES (O) Tentukan faktor peluang ekternal TREAHTS (T) Tentukan faktor ancaman eksternal
Gambar 3. Matrik SWOT (Rangkuti 2003) a. Strategi SO Strategi ini memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya. a. Strategi ST Strategi ini adalah menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk untuk mengatasi ancaman.
b. Strategi WO Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada. c. Strategi WT Strategi didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
2.3 AHP (Analytical Hierarchy Process) Analytical Hierarchy Process (AHP) atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Proses Hirarki Analitik (PHA) adalah suatu model yang luwes yang memberikan kesempatan bagi perorangan atau kelompok untuk membangun gagasan-gagasan dan mendefinisikan persoalan dengan cara membuat asumsi mereka masing-masing dan memperoleh pemecahan yang diiginkan darinya. Proses ini memberi suatu kerangka bagi partisipasi kelompok dalam pengambilan keputusan atau pemecahan persoalan (Saaty 1993). Proses ini dapat diterapkan pada banyak persoalan nyata dan terutama berguna untuk pengalokasian sumber daya, perencanaan, analisis pengaruh kebijakan, dan penyelesaian konflik. AHP sebagai suatu rancangan baru terhadap pemecahan persoalan dan pengambilan keputusan memilki keuntungan yang disajikan pada Gambar 4. Pengambilan keputusan berdasarkan AHP menggunakan bilangan untuk menggambarkan suatu relatif pentingnya suatu elemen di atas yang lainnya. Nilai itu memuat skala perbandingan antara 1 sampai 9. pengalaman telah membuktikan bahwa skala dengan sembilan satuan dapat diterima dan mencerminkan derajat sampai mana kita mampu membedakan intensitas tata hubungan antar elemen.
Kesatuan: PHA memberi satu model tunggal yang mudah dimenberti, luwes untuk aneka ragam persoalan.
Pengulangan proses: PHA memungkinkan orang memperluas definisi mereka pada suatu persoMoore dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan
Kompleksitas: PHA memadaukan ancangan deduktif dan ancangan berdasarkan system dalam memecahkan persoalan kompleks
Penilaian dan consensus: PHA tak memaksakan consensus tapi mensintesis suatu hasil yang reepresentatif dari berbagai penilaian yang berbedabeda
Saling ketergantungan: PHA dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam suatu system dan tak memaksakan pemikiran linier
Tawar menawar: PHA mempertimbangkan prioritas-prioritas relative dari berbagai factor system dan memungkinkan orang memilih alternative terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka
AHP
Sintesis: PHA menuntut ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternative
Penyusunan hirarki: PHA mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilahmilah elemen-elemen suatu system dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsure yang serupadalam setiap tingkat
Pengukuran: PHA memberi suatu skala untuk mengukur hal-hal dan tanwujud suatu metode untuk menetapkan prioritas
Konsistensi: PHA melacak konsistensi logis dari pertimbanganpertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas Gambar 4: Berbagai Keuntungan Proses Hirarki Analitik