BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pengertian Liberalisasi Perdagangan Definisi mengenai liberalisasi perdagangan salah satunya dikemukakan
oleh Madeley dan Solagral (2001) yang menyebutkan bahwa liberalisasi perdagangan adalah sebagai suatu proses pengurangan dan pada akhirnya penghapusan semua hambatan tarif dan non tarif antar negara sebagai mitra dagang. Liberalisasi perdagangan menjadi semakin menarik untuk dibahas karena menimbulkan pro dan kontra. Menurut kelompok yang mendukung liberalisasi, kebijakan ini akan memberikan dampak positif bagi setiap negara. Pemikiran ini didasarkan pada pandangan bahwa penghapusan hambatan perdagangan akan menyebabkan arus barang dan jasa menjadi semakin lancar. Pandangan ini kontras dengan pemahaman kelompok anti liberalisasi. Menurut kelompok ini, liberalisasi akan menghancurkan perekomomian negaranegara di dunia. Pengaruh negatif muncul karena barang impor yang semakin menguasai pasar domestik sehingga mematikan produksi dalam negeri atau menurunkan ekspor domestik terutama yang berdayasaing rendah. Turunnnya ekspor selanjutnya berdampak negatif pula terhadap produksi dalam negeri jika sebagian besar dari barang-barang yang dibuat dalam negeri untuk tujuan ekspor, atau karena kurangnya dana untuk membiayai proses produksi yang disebabkan oleh berkurangnya devisa dari hasil ekspor. Namun demikian, bila domestik memiliki dayasaing yang lebih tinggi, maka liberalisasi perdagangan dunia menciptakan peluang ekspor yang besar. 2.2.
Free Trade Area (FTA): Pengertian dan Dampak Integrasi Ekonomi Regional Kegiatan
ekonomi
internasional
memiliki
kecenderungan
untuk
membentuk organisasi perdagangan multinasional. Organisasi ini dibentuk dari kumpulan negara berdekatan yang mempunyai kebijakan perdagangan bersama untuk menghadapi negara lain dalam bidang tarif dan akses pasar. Alasan umum pembentukan grup ini adalah menjamin pertumbuhan ekonomi dan bermanfaat
14
bagi Negara anggota. Contoh organisasi yang terkenal sekarang antara lain European Union (EU) dan North American Free Trade Agreement (NAFTA). Pengaruh keberadaan dan pertumbuhan organisasi multinasional ini secara tidak langsung bagi negara peserta adalah untuk menjaga persaingan secara global. Secara luas, pengelompokan regional dibentuk sebagai usaha pemerintah untuk meningkatkan integrasi ekonomi global. Organisasi
ini
terdiri
dari
berbagai
bentuk,
tergantung
tingkat
kerjasamanya yang mengarah ke tingkat integrasi yang berbeda antara negara peserta. Ada lima tingkat kerja sama formal antar negara anggota kelompok regional, yaitu Free Trade Area (FTA), Custom Union, Common Market, Monetary Union, dan Political Union (Kotabe dan Helsen, 2001). Free Trade Are (FTA) adalah kerjasama formal antara dua atau lebih negara untuk mengurangi hambatan tarif dan non tarif diantara negara anggota. Akan tetapi masing-masing negara anggota bebas menentukan tingkat tarif individu dengan negara yang bukan anggota. FTA adalah salah satu bentuk reaksi adanya globalisasi dan liberalisasi yang berimplikasi pada pengurangan dan penghapusan berbagai hambatan dalam kegiatan perdagangan baik hambatan tarif (tariff-barrier) maupun hambatan non tarif (non-tariff barier=NTB). FTA atau Free Trade Area adalah suatu bentuk kerjasama ekonomi regional yang memperdagangkan produk-produk orisinal negara-negara anggotanya yang tidak dipungut bea masuk atau bebas bea masuk. Dengan kata lain, ”internal tariff” antara negara anggota menjadi 0 persen, sedangkan masing-masing negara memiliki “external tariff” sendiri-sendiri. Contohnya AFTA (Asean Free Trade Area) yang diawali dengan CEPT (Common Effective Preferential Tariff) yang mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1993 serta ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) yang telah diberlakukan 1 Januari 2010. Dampak dibukanya perdagangan bebas tidak hanya akan dirasakan oleh ekonomi negara-negara yang berdagang, namun juga akan dirasakan oleh perekonomian
dunia
secara
keseluruhan.
Dampak
diliberalisasikannya
perdagangan tersebut secara keseluruhan mengakibatkan kesejahteraan dunia menurun. Berdasarkan teori perdagangan internasional, perdagangan internasional
15
seharusnya akan meningkatkan kesejahteraan negara-negara yang melakukan perdagangan bebas, karena melalui perdagangan bebas akan terjadi peningkatan efisiensi
penggunaan sumberdaya domestik dan akses pasar ke negara lain
(Stephenson, 1994). Namun demikian, secara umum terdapat beberapa variabel ekonomi dunia yang meningkat seperti investasi global barang-barang kapital, volume perdagangan dunia, dan indeks harga perdagangan dunia. Peningkatan arus perdagangan sebagai akibat dibukanya tarif seluas-luasnya mengakibatkan peningkatan aliran barang-barang kapital untuk investasi volume perdagangan dunia. Peningkatan investasi global ternyata diikuti dengan tingkat pengembalian kapital yang negatif sehingga secara keseluruhan akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan dunia. Custom Union. Anggota Custom Union tidak hanya mampu mengurangi atau menghilangkan tarif antara anggota, tapi juga mereka mempunyai tarif eksternal bersama terhadap negara yang bukan anggota Custom Union. Hal ini mencegah negara yang bukan anggota mengekspor ke negara anggota yang mempunyai tarif eksternal rendah. Common Market. Jika kerja sama meningkat di antara negara Custom Union, maka dapat terbentuk Common Market. Common Market menghilangkan semua tarif dan hambatan lain dalam perdagangan antara anggota, mengadopsi seperangkat tarif eksternal bersama pada negara bukan anggota, dan menghilangkan batasan-batasan pada aliran modal dan tenaga kerja antar negara anggota. Monetary Union. Monetary Union berada pada level integrasi keempat dengan satu mata uang bersama antar negara. Contohnya Negara anggota European Union menggunakan mata uang. Tingkat integrasi ini juga disebut Economic Union karena juga melakukan harmonisasi kebijakan ekonomi negara anggota, seperti pajak, kebijakan moneter dan kebijakan fiskal (Wild, Wild dan Han, 2000). Political Union. Political Union merupakan puncak dari proses integrasi. Political Union dapat menjadi nama lain dari sebuah negara ketika union secara sungguh-sungguh mencapai tingkat integrasi. Terkadang, negara-negara yang
16
berkumpul dalam Political Union antara lain adalah karena alasan sejarah, seperti British Commonwealth yang terdiri dari negara-negara yang pernah menjadi bagian oleh British Empire. Namun ketika British bergabung dengan European Union, perlakuan istimewa ini hilang. Sekarang kelompok ini hanya sebagai forum untuk diskusi dan ikatan sejarah yang sama. Integrasi ekonomi regional (termasuk FTA) akan memberikan dampak positif dan negatif terhadap perdagangan barang dan jasa dinegara-negara anggota FTA. Dampak positif dari integrasi ekonomi adalah (Wild, Wild dan Han, 2000): 2.2.1.
Trade Creation Dengan analisis partial equilibrium, trade creation adalah penggantian
dimana produk domestik suatu negara yang melakukan integrasi ekonomi regional melalui pembentukan FTA dengan produk impor yang lebih murah dari anggota lain. Jika seluruh sumber daya digunakan secara full employment dan dengan melakukan spesialisasi berdasarkan comparative advantage, masing-masing negara akan memperoleh dampak positif berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat karena memperoleh barang dengan harga yang relatif lebih murah.
Px
Sx
4 3 2 1
G
H
J
A
B
N M C V U 10 20
S1+T
Z 50
W 70
S1 Dx Qx
Sumber: Salvatore, 1997 Gambar 2.1. Trade Creation Efek positif dari trade creation ini bukan hanya berlaku untuk negara anggota, tetapi juga untuk negara lain yang bukan anggota karena adanya peningkatan spesialisasi produksi yang mendorong peningkatan impor dari negara
17
lain (rest of the world). Terjadinya trade creation dapat diilustrasikan pada Gambar 2.1. (Salvatore, 1997). Dx dan Sx masing-masing merupakan kurva permintaan dan penawaran domestik untuk barang X dari negara II, sedangkan kurva S1 merupakan kurva penawaran yang elastis sempurna dalam keadaan free trade untuk barang X dari negara I ($1). Dengan mengenakan tarif bea masuk 100 persen, negara II mengimpor 30 unit barang X atau JH dari negara I, sehingga harga impornya menjadi $2 atau kurva S1 + T. Produksi domestik negara II sebanyak 20 unit barang X atau AM, sedangkan total konsumsi dalam negara II sebanyak 50 unit barang X atau GH. Kemudian negara I dan negara II membentuk integrasi ekonomi regional dalam bentuk FTA. Setelah membentuk FTA, negara II mengimpor 60 unit barang X atau CB dari negara tanpa bea masuk pada harga $1 (kurva S1). Produk domestik negara I turun menjadi 10 unit barang X atau CM dan total konsumsi naik menjadi 70 unit barang X atau AB. Dengan pembentukan FTA, maka : Penerimaan bea masuk untuk negara II akan hilang, Konsumen domestik akan memperoleh transfer dari produsen domestik sebesar area AGJC yang merupakan kenaikan konsumen surplus, Manfaat lain yang diperoleh negara II setara dengan area CJM + area BHN, atau setara dengan $15. 2.2.2. Konsensus yang Lebih Besar Keuntungan untuk mengelimainasi hambatan perdagangan lebih mudah dilakukan pada kelompok negara-negara yang lebih kecil. Contohnya seperti ASEAN dibandingkan dengan kelompok yang lebih besar seperti WTO. 2.2.3. Kerjasama Politik Secara politik terdapat keuntungan dari negara-negara yang berintegrasi. Salah satu keuntungan yang juga diutamakan adalah dapat memperjuangkan kepentingan bersama di forum perundingan yang lebih besar seperti WTO. Integrasi ekonomi juga memberikan dampak negatif terhadap anggotanya. Wild, Wild dan Han (2000) mengidentifikasi terdapat tiga dampak negatif yaitu trade diversion, pergeseran tenaga kerja, hilangnya kedaulatan nasional. 2.2.4. Trade Diversion Terjadinya pengalihan perdagangan dari negara yang tidak ikut serta dalam perjanjian perdagangan tapi lebih efisien ke negara yang ikut serta dalam
18
perjanjian walaupun kurang efisien. Gambar 2.2 menunjukkan terjadinya trade diversion pada negara yang melakukan integrasi ekonomi. Sebagai contoh, Dx dan Sx merupakan kurva permintaan dan penawaran domestik untuk barang X dari negara II, sedangkan kurva S1 dan S3 merupakan kurva penawaran yang elastis sempurna dalam keadaan free trade untuk barang X dari negara I ($1) dan negara III ($1,5). Dengan mengenakan tarif bea masuk 100 persen, negara II mengimpor 30 unit barang X atau JH dari negara I sehingga harga impornya menjadi $2 atau kurva S1+T. Kemudian negara II membentuk integrasi ekonomi regional dalam bentuk FTA dengan negara III. Setelah pembentukan FTA, negara II mengimpor 45 unit barang X atau C’B’ dari negara III yang bebas bea masuk pada harga $ 1,5 (kurva S3).Dengan pembentukan FTA maka : kesejahteraan / manfaat yang diperoleh negara II adalah sebesar segitiga C’JJ’ + segitiga H’HB’, atau senilai $1,25 + $2,5 = $3,75 ; kesejahteraan / manfaat yang hilang dari negara II sebesar segiempat MNH’J’ atau senilai $15 ; kesejahteraan / manfaat neto yang hilang adalah sebesar $15 $3,75 = $11,25 (Lihat Gambar 2.2.).
Px
Sx H
3
E
2
G
1,5
G’
J
H
C’
J’
H’
M
N
S1+T B’
S3 S1
1 10
20
50
Z
Dx
Qx
60
Sumber: Salvatore, 1997 Gambar 2.2. Trade Diversion 2.2.5. Pergeseran Tenaga Kerja Karena adanya kerjasama perdagangan maka produsen akan berproduksi ke negara yang lebih efisien. Sebagai contoh, untuk industri yang memerlukan
19
tenaga kerja dengan tingkat ketrampilan yang rendah akan mengalihkan tempat produksinya ke negara anggota yang memiliki tingkat upah yang rendah. 2.2.6. Hilangnya Kedaulatan Politik Jika integrasi ekonomi sudah mencapai political union, maka suatu negara akan kehilangan kebebasan dalam menentukan politik luar negerinya sendiri. Sejauh ini, bentuk integrasi pada tingkat yang paling tinggi (political union) sulit untuk dicapai. 2.3.
Tinjauan Penelitian Terdahulu Haryadi (2008) manganalisis dampak liberalisasi perdagangan pertanian
terhadap perekonomian negara maju dan berkembang (analisis GTAP). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa negara berkembang termasuk Indonesia belum siap sepenuhnya untuk meliberalisasi perdagangan dengan tarif nol persen. Negara maju paling diuntungkan oleh kebijakan penghapusan tarif. Penelitian Oktaviani et al (2008) berjudul ”Consultancy and Training Services to Develop Quantitative Analytical Tools and Framework for Assessing Investment and Trade Competitiveness” dengan metode analisis RCA, Ekspor Produk Dinamik, CMSA dan CGE menunjukkan selama periode tahun 2000-2006 nilai ekspor Indonesia tumbuh sebesar 10.76 persen pertahun, nilai ini lebih rendah secara relatif dibandingkan Cina (23.61 persen). Terdapat 194 komoditas Indonesia yang memiliki nilai RCA lebih dari 1 dan tingkat pertumbuhan ekspor yang positif. Berdasarkan matriks ekspor produk dinamik kategori komoditas ekspor dalam kuadran rising star adalah komoditas pertanian dan agroindustri. Berdasarkan market destinatination Indonesia, Malaysia, Thailand dan Cina memiliki kesamaan dalam penetrasi pasar, dimana seluruh negara tersebut berorientasi pada pasar tradisional seperti Amerika Serikat, Jepang, Uni Eropa, dan Cina. Berdasarkan CMSA pertumbuhan ekspor Indonesia dipengaruhi efek pertumbuhan impor dan efek komposisi komoditas. Rendahnya dayasaing investasi Indonesia dipengaruhi oleh infrastruktur seperti sedikitnya jalan yang sudah diaspal, sambungan telepon dan koneksi internet yang minim, dan rendahnya konsumsi listrik. Faktor fundamental seperti share hutang luar negeri terhadap GDP dan tingkat inflasi sangat berpengaruh terhadap dayasaing investasi di Indonesia.
20
Hasil model CGE menunjukkan bahwa kenaikan harga komoditas pangan dunia akan memberikan dampak negatif bagi kondisi makroekonomi Indonesia. Pendapatan Nasional akan menurun disertai dengan peningkatan inflasi karena sebagian besar komoditas yang mengalami kenaikan adalah komoditas impor misalnya vegetable oils, fats dan palm oils. Penelitian Oktaviani, et al (2007) menganalisis FTA dalam skema ASEAN Plus One yakni ASEAN-Cina dan ASEAN-Rep. Korea. Alat analisis yang digunakan adalah IIT dan GTAP, menunjukkan hasil terjadi integrasi yang tinggi pada komoditi manufaktur antara ASEAN dengan negara Cina dan Rep. Korea. Komoditi pertambangan terutama untuk negara Indonesia lebih banyak terjadi one way trade atau nilai IIT bernilai 0. Pada kelompok lainnya, yaitu kelompok komoditi pertanian primer secara umum belum mampu bersaing menghadapi pasar bebas. Nilai IIT yang relatif rendah dari angka maksimal 100 yang menunjukkan integrasi yang tinggi antar kedua wilayah menunjukkan ketidakmampuan dayasaing produk pertanian primer Indonesia tersebut. Beberapa sub sektor kemungkinan dapat dikembangkan mengingat memiliki nilai IIT yang cukup, seperti komoditi pertanian lainnya yang mencapai nilai IIT lebih dari 60. Integrasi yang tinggi menunjukkan kedekatan perdagangan di antara negaranegara di kawasan tersebut. Jika dilihat fokus pada sektor pengolahan pertanian, maka komoditi minyak nabati terutama produk CPO (Crude Palm Oil) serta turunannya merupakan produk andalan Indonesia. Malaysia dan Indonesia menempati urutan pertama dan kedua di dunia untuk eskpor CPO dan turunannya. Secara keseluruhan dampak makro ekonomi FTA dalam Skema ASEANCina maupun ASEAN-Rep. Korea meningkatkan total GDP negara-negara ASEAN walaupun relatif kecil. Peningkatan GDP lebih banyak didorong oleh pengeluaran/konsumsi masyarakat yang lebih tinggi. Peningkatan GDP yang disebabkan oleh peningkatan investasi relatif kecil. Hal ini tentunya kurang baik apabila dilihat dalam perspektif jangka panjang. Penelitian Thorpe (2005) yang bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi IIT pada industri manufaktur di Asia Timur 1970-1996 dengan memisahkan IIT menjadi IIT horizontal dan vertikal. IIT horizontal timbul sebagai akibat adanya economies of scale dan differensiasi produk sedangkan
21
vertikal terjadi pada perdagangan komoditi yang sama dengan kualitas yang berbeda. Selain itu, Thorpe (2005) menggunakan model gravity, yang hasilnya menunjukkan bahwa faktor yang signifikan mempengaruhi IIT pada sektor manufaktur di Asia Timur adalah GDP, perbedaan GDP, GDP perkapita, perbedaan GDP perkapita, jarak, kurs, ketidakseimbangan perdagangan, dan economies of scale. Austria (2004)
yang penelitiannya bertujuan untuk menganalisis
karakteristik perdagangan pada 11 sektor prioritas ASEAN periode 1997-2001 dan mengukur integrasi pada 11 sektor tersebut melalui IIT menunjukkan bahwa IIT relatif tinggi hanya pada sektor ICT dan elektronik. Penelitian Menon (1996) bertujuan untuk mengukur besarnya kontribusi pertumbuhan perdagangan intra industri dan pertumbuhan perdagangan neto terhadap pertumbuhan total perdagangan ASEAN periode 1981-1986 dan 19861991 khususnya manufaktur. Dengan metode Grubel-Lloyd Index untuk mengukur IIT hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kontribusi pertumbuhan perdagangan intra industri terhadap pertumbuhan total perdagangan ASEAN adalah lebih besar dibandingkan kontribusi yang diberikan oleh perdagangan neto di sebagian besar negara ASEAN. Dari berbagai penelitian terdahulu, maka penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui dampak ASEAN Plus Three FTA cukup relevan untuk dilakukan. Dengan posisi dayasaing seperti saat ini, penelitian ini ingin melihat dampak secara luas dari adanya FTA dalam skema ASEAN Plus Three dan bagaimana jika dibandingkan dengan skema ASEAN Plus One seperti yang telah dilakukan pda penelitiannya sebelumnya. 2.4
Kerangka Pemikiran Teoritis
2.4.1. Teori Perdagangan Internasional Perdagangan merupakan suatu proses pertukaran barang dan jasa yang dilakukan atas dasar suka sama suka, untuk memperoleh barang yang dibutuhkan. Dalam masa globalisasi, perdagangan tidak hanya dilakukan dalam satu negara saja. Bahkan dunia sudah memasuki perdagangan bebas. Hampir tidak ada satu negarapun yang tidak melakukan hubungan dengan negara lain (Dumairy, 1997).
22
Dalam perdagangan domestik para pelaku ekonomi bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dilakukannya. Demikian halnya dengan perdagangan internasional. Setiap negara yang melakukan perdagangan bertujuan mencari keuntungan dari perdagangan tersebut. Selain motif mencari keuntungan, Krugman (1991) mengungkapkan bahwa alasan utama terjadinya perdagangan internasional: 1.
Negara-negara berdagang karena mereka berbeda satu sama lain.
2.
Negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi (economic of scale) Menurut
Tambunan
(2001),
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
perdagangan internasional dapat dilihat dari teori penawaran dan permintaan. Dari teori penawaran dan permintaan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perdagangan internasional dapat terjadi karena adanya kelebihan produksi dalam negeri (penawaran) dengan kelebihan permintaan negara lain. Secara teoritis, suatu negara (misal negara A) akan mengekspor suatu komoditi (misal pakaian jadi) ke negara lain (misal negara B) apabila harga domestik negara A (sebelum terjadinya perdagangan internasional) relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan harga domestik negara B (Gambar 2.3). Stuktur harga yang terjadi di negara A lebih rendah karena produksi domestiknya lebih besar daripada konsumsi domestiknya sehingga di negara A telah terjadi excess supply (memiliki kelebihan produksi). Dengan demikian, negara A mempunyai kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Dilain pihak, di negara B terjadi kekurangan supply karena konsumsi domestiknya lebih besar daripada produksi domestiknya (excess demand) sehingga harga yang terjadi di negara B lebih tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan untuk membeli pakaian jadi dari negara lain yang relatif lebih murah. Jika kemudian terjadi komunikasi antara negara A dengan negara B, maka akan terjadi perdagangan antar keduanya dengah harga yang diterima oleh kedua negara adalah sama.
23
DA
A
SA ES PB
X P*
M
PA
B
ED O
SB
DB
QA
O
Negara A (ekspor)
Q*
O
Perdagangan Internasional
QB
Negara B (impor)
Sumber : Salvatore, 1997 Gambar 2.3. Kurva Perdagangan Internasional Keterangan: PA : Harga domestik di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan internasional OQA : Jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan internasional A : Kelebihan penawaran (excess supply) di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan internasional X : Jumlah komoditi yang diekspor oleh negara A PB : Harga domestik di negara B (pengimpor) tanpa perdangangan internasional. OQB : Jumlah produk domestrik yang diperdagangkan di negara B (pengimpor) tanpa perdagangan internasional. B : Kelebihan permintaan (excess demand) di negara B (pengimpor) tanpa perdagangan internasional. M : Jumlah komoditi yang diimpor oleh negara B P* : Harga keseimbangan antara kedua negara setelah perdangangan internasional OQ* : Keseimbangan penawaran dan permintaan antar kedua negara dimana jumlah yang diekspor (X) sama dengan jumlah yang diimpor (M).
Gambar
2.3
memperlihatkan
sebelum
terjadinya
perdangangan
internasional harga di negara A sebesar PA, sedangkan di negara B sebesar PB. Penawaran pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih tinggi dari PA sedangkan permintaan di pasar internasional akan jika harga internasional lebih rendah dari PB. Pada saat harga internasional (P*) sama dengan PA maka negara B akan terjadi excess demand (ED) sebesar B. Jika harga internasional sama dengan PB maka di negara A akan terjadi excess supply (ES) sebesar A. Dari A dan B akan terbentuk kurva ES dan ED akan menentukan harga yang terjadi di pasar internasional sebesar P*. Dengan adanya perdagangan tersebut, maka
24
negara A akan mengekspor komoditi (pakaian jadi) sebesar X sedangkan negara B akan mengimpor komoditi (pakaian jadi) sebesar M, dimana di pasar internasional sebesar X sama dengan M yaitu Q*. Konsep perdagangan bebas untuk pertama kali diperkenalkan oleh Adam Smith pada awal abad ke-19 dengan teori keunggulan absolut (absolute comparative). Teori Adam Smith kemudian disempurnakan oleh David Ricardo (1817) dengan model keunggulan komparatif (The Theory of Comparative Advantage). Berbeda dengan konsep keunggulan absolut yang menekankan pada biaya riil yang lebih rendah, keunggulan komparatif lebih melihat pada perbedaan harga relatif antara dua input produksi sebagai penentu terjadinya perdagangan. Menurut David Ricardo (Hady, 2001), perdagangan dapat dilakukan oleh negara yang tidak memiliki keunggulan absolut pada kedua komoditi yang diperdagangkan dengan melakukan spesialisasi produk yang kerugian absolutnya lebih kecil atau memiliki keunggulan komparatif. Hal ini dikenal sebagai Hukum Keunggulan Komparatif (Law of Comparative Advantage). Keunggulan komparatif dibedakan atas cost comparative advantage (labor efficiency) dan production comparative advantage (labor productivity). Asumsi yang digunakan (Salvator, 1997): a) Hanya terdapat dua negara dan dua komoditi b) Perdagangan bersifat bebas c) Terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara namun tidak ada mobilitas antara dua negara. d) Biaya produksi konstan e) Tidak terdapat biaya transportasi f) Tidak ada perubahan teknologi Menurut teori cost comparative advantage (labor efficiency), suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang di mana negara tersebut dapat berproduksi lebih efisien serta mengimpor barang di mana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak efisien. Berdasarkan
analisis
production
comparative
advatage
(labor
productivity) dapat dikatakan bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat dari
25
perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang di mana negara tersebut berproduski lebih produktif serta mengimpor barang di mana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak produktif. Dengan kata lain, cost comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara memproduksi suatu barang yang membutuhkan sedikit jumlah jam tenaga kerja dibandingkan negara lain sehingga terjadi efisiensi produksi. Production comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika seorang tenaga kerja di suatu negara dapat memproduksi lebih banyak suatu barang/jasa dibandingkan negara lain sehingga tidak memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak. Dengan demikian keuntungan perdagangan diperoleh jika negara melakukan spesialisasi pada barang yang memiliki cost comparative advantage dan production advantage. Atau dengan mengekspor barang yang keunggulan komparatifnya tinggi dan mengimpor barang yang keunggulan komparatifnya rendah. Teori klasik Ricardo tersebut selanjutnya dikembangkan oleh HeckscherOhlin (H-O) dengan The Theory of Factor Proportions (1949 – 1977). Model HO mengatakan bahwa walaupun tingkat teknologi yang dimiliki sama, perdagangan internasional akan tetap terjadi bila ada perbedaan kepemilikan faktor produksi (factor endowment) diantara masing-masing negara. Satu negara dengan kepemilikan kapital berlebih akan berspesialisasi dan mengekspor komoditi padat kapital (capital-intensive goods), dan sebaliknya negara dengan kepemilikan tenaga kerja berlebih akan memproduksi dan mengekspor komoditi padat tenaga kerja (labor-intensive goods). Pendekatan tentang perdagangan internasional untuk bisa memahami manfaat yang dapat diperoleh dari adanya perdagangan bisa dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan. Kedua pendekatan tersebut adalah: pendekatan keseimbangan parsial dan pendekatan keseimbangan umum. 2.4.2. Teori Keseimbangan Umum Teori keseimbangan umum pertama kali dikembangkan oleh Leon Walras pada abad ke-19. Walras menyusun model keseimbangan pasar kompetitif pada sebuah sistem ekonomi pertukaran (exchange economy), dimana tidak terdapat kegiatan produksi. Dengan demikian, semua agen ekonomi adalah para konsumen
26
sehingga aggregat supply adalah sama dengan agregrat endowment yang dimiliki konsumen. Pada pendekatan keseimbangan umum, perubahan dalam suatu pasar akan berakibat perubahan pula di pasar lainnya. Pendekatan ini memperlakukan pasar sebagai suatu sistem. 2.4.2.1. Landasan Teori Secara sederhana teori keseimbangan umum dapat dijelaskan dengan menggunakan model “ekonomi dua pasar”. Dengan model ini dimisalkan, ketika pemerintah negara A mengenakan pemberlakukan kebijakan tarif pada produk X1, maka harga relatif produk tersebut di domestik akan meningkat. Kenaikan harga relatif ini mendorong produsen domestik untuk meningkatkan produksi X1 dan mengurangi produksi X2. Bersamaan dengan itu, faktor produksi seperti tenaga kerja akan berpindah ke industri yang menghasilkan X1. Dalam keseimbangan parsial kejadian di industri lain tidak terlihat, padahal dengan mengasumsikan perekonomian berada dalam keadaan tenaga kerja penuh (full employment), maka produksi X2 akan menurun. Contoh lain adalah ketika impor negara A menurun karena pengenaan tarif. Negara lain yang menerima dampak penurunan impor negara A tersebut akan menurun penerimaannya sehingga kemampuan mengimpornya juga akan turun. Dampaknya adalah ekspor negara A akan mengalami penurunan juga. Tarif impor bisa menimbulkan berbagai dampak ekonomi. Untuk melakukan cara-cara yang komprehensif dalam melihat dampak tersebut bisa dilakukan dengan menggunakan analisis keseimbangan umum. Berikut akan dijelaskan dampak distorsi perdagangan internasional dengan menggunakan pendekatan keseimbangan umum. Secara grafis, terjadinya perdagangan antara dua negara, dapat dijelaskan melalui Gambar 2.4. Model ini merangkum informasi mengenai produksi, konsumsi, dan perdagangan antar kedua negara dalam kondisi keseimbangan (equilibrium) menjadi satu diagram yang utuh. Blok-blok produksi dari negara 1 dan 2 digabungkan pada satu tempat yang terpusat di titik E*, dimana kurva tawar-menawar antara kedua negara saling berpotongan.
27
Y 120
Negara 1
100
PB=PB’=1
E
1
80
III
2
E’ 60 40 20
X
X
0 60
40
20
20
20
40
60
80
100
120
140
Negara 2
40 60
E’
80 III’
Y
Sumber: Salvatore, 1997 Gambar 2.4. Proses Terjadinya Perdagangan Antara Dua Negara Untuk menyederhanakan analisis, ansumsi-asumsi yang dipergunakan dalam pembahasan ini adalah: (1) hanya ada dua negara di dunia, yaitu negara A dan negara B atau gabungan negara-negara lainnya (rest of world atau ROW), (2) hanya terdapat dua produk dalam perdagangan, (3) pasar berada dalam kondisi persaingan sempurna, dan (4) perekonomian berada dalam kondisi full employment. Setelah perdagangan berlangsung, negara 1 akan memproduksi 130X dan 20Y (titik E yang identik dengan titik E*). Negara tersebut akan mengkonsumsi 70X dan 80Y (juga ditunjukkan oleh titik E yang sama namun ditarik dari pusat sumbu atau 0), sedangkan 60X dan 60Y sisanya akan diperdagangkan dengan negara 2. Sementara itu negara 2 memproduksi 40X dan 120Y (titik E’ yang juga identik dengan titik E*). Negara 2 mengkonsumsi 100X dan 60Y (juga disimbolkan oleh titik E’ yang sama
28
namun mengacu pada pusat sumbu atau 0), sementara sisanya akan diperdagangkan dengan negara 1. Perdagangan internasional akan berada dalam kondisi equilibrium bila kedua negara saling mempertukarkan 60X dan 60Y berdasarkan harga relatif PB=1 yang ditunjukkan oleh titik perpotongan antara kurva tawar menawar negara 1 dan negara 2 atau titik E*. Harga relatif komoditi dalam kondisi keseimbangan tersebut adalah PB =1. Harga relatif itu pulalah yang berlaku dalam transaksi domestik di masing-masing negara. Dengan demikian produsen, konsumen, dan pedagang di kedua negara akan melakukan transaksi atas dasar harga relatif yang sama. Titik E yang terletak pada kurva indiferen III milik negara 1 itu mengukur tingkat konsumsinya dari pusat sumbu atau 0, sedangkan titik E yang sama pada blok produksi negara 1 mengukur besar kecilnya produksi dari titik E’. Secara teoritis, sebagaimana pemikiran kaum klasik maupun neoklasik, sistem perdagangan bebas antar negara akan dapat menciptakan manfaat yang maksimal. Namun demikian, mekanisme pasar tidak selalu berjalan secara sempurna. Kenyataan menunjukkan bahwa seringkali terdapat campur tangan (intervensi) pemerintah yang berakibat pada munculnya distorsi pasar. Beberapa bentuk intervensi yang sering ditemukan antara lain adalah berupa pemberlakuan tarif impor, pemberian subsidi ekspor, dan berbagai bentuk domestik support lainnya yang semuanya berdampak pada munculnya distorsi pasar. Berikut ini akan dijelaskan mengenai pemberlakuan intervensi yang mendistorsi pasar tersebut. 2.4.2.2. Pemberlakuan Tarif Tarif adalah pajak atau bea yang dikenakan terhadap suatu produk yang masuk atau keluar dari suatu negara. Tarif yang dikenakan terhadap produk yang diimpor disebut tarif impor, sedangkan tarif yang dikenakan terhadap produk ekspor disebut dengan tarif ekspor. Secara teoritis, pajak yang berasal dari tarif memberikan pemasukan bagi pemerintah. Banyak negara yang mengandalkan tarif sebagai salah satu sumber penerimaan negara. Dampak pemberlakuan tarif bisa berbeda antara negara. Pada negaranegara kecil yang tidak mampu mempengaruhi harga dunia, penerapan tarif hanya
29
akan merubah harga di negara tersebut, sementara harga dunia tidak mengalami perubahan. Sebaliknya, pada kasus negara besar, penerapan tarif akan mampu mempengaruhi harga dunia. Berikut ini akan dijelaskan mengenai dampak pemberlakuan tarif impor pada kasus negara kecil dan kasus negara besar. Tarif Impor Pada Kasus Negara Kecil Negara
kecil
didefinisikan
sebagai
negara
yang
tidak
mampu
mempengaruhi harga dunia, sehingga TOT dunia tidak mengalami perubahan sekalipun negara kecil tersebut melakukan perubahan kebijakan perdagangannya. Di dalam keseimbangan perdagangan bebas, yang mengasumsikan hanya ada dua komoditi misalkan makanan dan pakaian, negara A akan memaksimumkan kesejahteraannya dengan berproduksi pada titik dimana rasio dari marginal cost (MC) domestiknya sama dengan rasio nilai tukar dunia. Negara tersebut akan melakukan perdagangan untuk mencapai kemungkinan kurva indiferen yang paling tinggi. Keseimbangan perdagangan bebas seperti itu ditunjukkan oleh Gambar 2.5, dengan rasio harga dunia ditunjukkan oleh slope TT, produksi berada pada titik P1, dan konsumsi pada titik C1. TT bersinggungan dengan kurva indiferen i2, negara A mengekspor pakaian dan mengimpor makanan. Jika negara A menetapkan tarif pada impor makanannya, dampak pertamanya adalah meningkatnya harga domestik makanan, yang menyebabkan divergensi antara rasio nilai tukar domestik dan rasio nilai tukar dunia. Akibatnya rasio nilai tukar domestik menjadi sama dengan slope DD, lebih landai dari TT, yang menunjukkan suatu harga relatif yang lebih tinggi untuk makanan. Tarif tersebut merubah rasio harga domestik dan rasio harga eksternal. Secara geometrik hal ini terlihat sebagai sudut antara dua garis harga. Harga makanan yang lebih tinggi menyebabkan perusahaan mengembangkan produksi makanan dan mengurangi produksi pakaian. Titik produksi berpindah ke P2, dimana garis harga domestik (DD) merupakan tangen terhadap kurva kemungkinan produksi. Dengan asumsi bahwa rasio harga dunia tetap tidak berubah, perdagangan internasional terjadi sepanjang garis P2C2 (pararel terhadap TT). Keseimbangan baru pada konsumsi dicapai ketika dua kondisi terpenuhi: Pertama, garis harga domestik, EE, yang slopenya sama dengan rasio harga domestik, merupakan tangen terhadap suatu kurva indiferen i1, Kedua, garis harga dunia, P2C2,
30
memotong kurva indiferen komuniti pada titik tangennya dengan garis harga domestik, EE. Kedua kondisi ini terpenuhi pada titik C2 pada Gambar 2.3. Kondisi pertama menjamin bahwa MRS pada konsumsi menyamai rasio harga domestik yang dihadapi konsumen; kondisi kedua memenuhi persyaratan bahwa rasio harga domestik berbeda dari rasio harga dunia. Pada keseimbangan baru, negara A terus mengekspor pakaian dan mengimpor makanan tetapi dalam jumlah yang lebih kecil dari sebelumnya. Tarif telah mendorong produksi makanan dan mengurangi ketergantungan negara A terhadap makanan impor. Tarif juga telah mengurangi output domestik berupa ekspor pakaian dan mengurangi kesejahteraan sebagaimana diindikasikan oleh pergerakan kurva indifferent yang lebih rendah, dari i2 ke i1. Jadi, baik dengan menggunakan pendekatan keseimbangan umum maupun keseimbangan parsial, kebijakan tarif pada kasus negara kecil berdampak pada berkurangnya kesejahteraan nasional. T
C1T
Makanan
E
D
i2
C2
i1
Rasio harga dunia
F Harga domestik P2 Rasio nilai tukar domestik
E P1 D T
0
G Pakaian
Sumber: Dunn, 2000 Gambar 2.5. Dampak Tarif Pada Model Keseimbangan Umum untuk Kasus Negara Kecil
31
Tarif Impor Pada Kasus Negara Besar Negara besar diasumsikan sebagai negara yang mampu mempengaruhi harga dunia. Artinya, bila negara tersebut mengenakan tarif terhadap suatu komoditi impornya, maka kebijakan tersebut akan berdampak pada perubahan rasio harga dunia oleh karena itu TOT akan berubah. Untuk menjelaskan dampak kebijakan tarif pada kasus negara besar, digunakan contoh yang sama dengan yang diterapkan pada kasus negara kecil. Anggap bahwa negara A mengenakan pajak pada makanan impor. Dampak dari dikenakannya tarif adalah harga makanan dunia turun secara relatif terhadap harga pakaian. Pada kondisi ini, untuk suatu tingkat tarif ad valorem tertentu, harga domestik makanan tidak akan meningkat
setinggi sebelumnya. Jadi pergeseran dalam produksi akan
menjadikannya lebih kecil. Kita ilustrasikan hasil ini pada Gambar 2.6. dimana kondisinya adalah sama dengan kasus yang baru dijelaskan kecuali bahwa tarif sekarang menyebabkan rasio harga dunia berubah dari kemiringan garis TT ke kemiringan garis P3C3. Produksi terjadi pada P3. Garis tersebut memeliki proporsi yang sama dengan sebelumnya, karena diukur berdasarkan size of the wedge. Perdagangan internasional sekarang terjadi pada rasio harga (sepanjang garis P3C3). Keseimbangan baru konsumsi dicapai pada titik C, yaitu saat tarif-garis yang mendistorsi harga domestik yang merupakan tangen dari suatu kurva indiferen, dan garis harga dunia juga bersinggungan dengan titik singgung ini. Sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 2.6, negara A mencapai suatu kurva indiferen yang lebih tinggi disebabkan oleh tarif. Kondisi ini tidak dapat dihindari. Responnya tergantung pada besarnya perubahan dari rasio harga dunia. Dapat diartikan bahwa negara A mendapatkan keuntungan dari tarif ketika keuntungannya dari perbaikan TOT melebih kerugiannya dari penggunaan sumberdaya domestik yang kurang efisien. Berapa besar perbaikan dari TOT, tergantung kepada elastisitas permintaan dan penawaran domestik dan luar negeri.
32
T
Rasio harga dunia setelah tarif C1 C23 i2
Makanan
i1
F Rasio harga domestik setelah tarif
P2
P1 Rasio harga dunia sebelum tarif T 0
G
Pakaian
Sumber: Dunn, 2000 Gambar 2.6. Dampak Tarif Pada Model Keseimbangan Umum untuk Kasus Negara Besar Keuntungan lainnya adalah adanya kerugian yang akan diterima ROW (negara lainnya). Jika negara-negara lain melakukan secara bersama-sama, mereka dapat membalas dengan mengenakan tarif mereka sendiri, sehingga menyebabkan TOT bergeser kembali kebelakang. TOT dapat bergeser ke rasio perdagangan bebas (bukan hasil yang diperlukan), tetapi perdagangan dunia berkurang dan demikian juga kesejahteraan dunia. Persetujuan perdagangan secara
bersama,
membalikkan
pengurangan
tarif
timbal
balik
akan
menguntungkan kedua negara. 2.4.3. Teori Revealed Comparatif Advantage (RCA) Revealed Comparatif Advantage (RCA) atau keunggulan komparatif yang terungkap, merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif di suatu wilayah (negara, propinsi dan lain-lain) yang
33
cukup sering digunakan. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Ballasa pada tahun 1965, yang menganggap bahwa keunggulan komparatif suatu negara direfleksikan atau terungkap dalam ekspornya (Syahresmita dalam Pramudito, 2004). Metode RCA didasarkan pada suatu konsep bahwa perdagangan antar wilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu wilayah. Variabel yang diukur adalah kinerja ekspor suatu produk terhadap total ekspor suatu wilayah yang kemudian dibandingkan dengan pangsa nilai produk dalam perdagangan dunia. 2.4.4. Teori Perdagangan Intra Industri Perdagangan internasional yang dikenal luas adalah perdagangan komoditas dari sektor/industri yang berbeda, atau disebut juga dengan Inter Industry Trade. Inter Industry Trade terjadi berdasarkan teori keunggulan komparatif dimana negara yang memiliki keunggulan komparatif pada komoditas tertentu akan mengekspor komoditas tersebut dan mengimpor komoditas yang negara tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif. Keunggulan komparatif, menurut Hecksher dan Ohlin dapat disebabkan oleh perbedaan endowment yang dimiliki suatu negara dimana negara yang memiliki keberlimpahan tenaga kerja akan mengekspor komoditas yang intensif menggunakan tenaga kerja sedangkan negara yang memiliki keberlimpahan barang modal akan mengespor komoditas yang intensif menggunakan barang modal. Misalkan Cina yang memiliki kelimpahan barang modal mengekspor barang-barang padat modal seperti pesawat terbang, sedangkan Indonesia yang keberlimpahan sumber daya alam mengekspor komoditas yang padat sumber daya alam seperti migas dan mineral. Sehingga perdagangan antara dua negara ditandai dengan perdagangan komoditas yang berbeda. Pada masa kini, perdagangan internasional antara dua negara tidak hanya diakibatkan oleh perbedaan antara kedua negara tersebut. Perdagangan dua negara tidak lagi sebatas perdagangan komoditas yang berbeda. Suatu negara dapat mengekspor barang tertentu dan sekaligus mengimpor barang yang sama. Misal Cina mengekspor mobil ke Indonesia dan Indonesia mengekspor mobil ke Cina..
34
Dengan demikian, antara Indonesia dan Cina terjadi perdagangan dalam industri yang sama (Intra Industry Trade). Pengertian perdagangan intra industri adalah perdagangan di dalam industri yang sama. Teori perdagangan intra industri masuk kategori teori perdagangan baru (new trade theory). Paul Krugman adalah salah satu tokoh ekonomi yang mendalami teori ini (Koo dalam Aprilianda, 2007). Apabila teori perdagangan neoklasik menyatakan penyebab timbulnya perdagangan karena adanya spesialisasi yang didasarkan perbedaan ketersediaan faktor produksi dan teknologi (keunggulan komparatif), maka dalam teori perdagangan intra industri perdagangan tetap terjadi antarnegara yang memiliki keunggulan komparatif yang relatif sama. Perdagangan intra industri lebih didasarkan pada differensiasi produk dan economies of scale serta mencakup perdagangan dua arah dalam industri yang sama. Perdagangan intra industri menjadi penting ketika tarif dan non tarif barrier dihapuskan pada arus perdagangan antarnegara. Disamping
itu
perdagangan intra industri memberikan keuntungan (gain) yang lebih besar, sebagai contoh konsumen mempunyai lebih banyak pilihan karena differensiasi produk dan harga yang lebih murah karena meningkatnya economies of scale. Intra Industry Trade dimungkinkan karena adanya skala ekonomis yang berarti biaya produksi rata-rata menjadi lebih murah. Dengan demikian, output dapat lebih tinggi dibandingkan bila tidak ada Intra-Industry-Trade. Skala ekonomis dan spesialisasi dalam suatu indstri tertentu akan mendorong inovasi dalam perusahaan. Inovasi akan membuat biaya produksi menjadi lebih rendah. Terdapat 2 (dua) alasan terjadi perdagangan intra industri yaitu pertama, differensiasi produk. Pada perekonomian modern sebagian besar produk yang dihasilkan adalah produk yang terdifferensiasi. Produk yang terdifferensiasi adalah produk yang jenisnya sama atau dihasilkan dalam industri yang sama tetapi berbeda secara kualitas dan atau preferensi. Dalam perdagangan internasional terjadi perdagangan produk-produk yang terdifferensiasi. Atau dapat dinyatakan bahwa sebagian besar perdagangan internasional merupakan perdagangan intra industri. Kedua, economies of scale. Motif perdagangan intra industri adalah memperoleh keuntungan dari adanya economies of scale. Dalam hal
ini
35
persaingan internasional memaksa setiap perusahaan untuk membatasi model atau tipe produknya agar dapat berkonsentrasi memanfaatkan sumberdayanya untuk menekan biaya produksi per unit sehingga dapat menghasilkan beberapa jenis produk saja tentunya dengan kualitas terbaik dan harga dapat bersaing dari produk lainnya. Disisi lain kebutuhan konsumen akan produk atau tipe lain dipenuhi melalui impor dari negara lain. Indeks Intra Industry Trade (IIT) yang umum digunakan adalah GrubelLloyd Index. Nilai Grubel Lloyd index berkisar 0-100. Jika jumlah yang diekspor sama dengan jumlah yang diimpor untuk suatu produk, maka indeksnya akan bernilai 100. Sebaliknya apabila perdagangan suatu negara hanya melibatkan satu pihak saja (ekspor atau impor saja) maka nilai indeksnya adalah 0. Tabel 2.1. Klasifikasi dari nilai Intra Industry Trade Intra Industri Trade 0.00 >0.00 – 24.99 25.00 – 49.99 50.00 – 74.99 75.00 – 99.99 Sumber: Austria, 2004 2.5.
Klasifikasi No integration (one way trade) Weak integration Mild Integration Moderately strong integration Strong integration
Kerangka Pemikiran Penelitian Indikator kinerja perdagangan Indonesia salah satunya dapat dilihat dari
dayasaing secara komparatif dan pertumbuhan pangsa ekspor di pasar tujuan. Dalam mengukur dayasaing komparatif, metode RCA cukup banyak digunakan. Sedangkan untuk melihat pertumbuhan pangsa ekspor digunakan metode EPD. Negara yang tergabung dalam ASEAN Plus Three telah sepakat untuk membentuk FTA. Dengan perfoma ekspor Indonesia seperti sekarang ini, dampak yang akan terjadi dari adanya ASEAN Plus Three FTA dapat terlihat, khususnya dampak terhadap ekonomi makro dan sektoral Indonesia. Dalam penelitian ini sektor yang akan disimulasi adalah 10 (sepuluh) sektor yang memiliki nilai ekspor dan impor terbesar. Peningkatnya volume perdagangan yang diharapkan karena adanya FTA akan mendatangkan multiplier effect terhadap kegiatan ekonomi lainnya yang mungkin akan membawa perubahan terhadap kondisi makroekonomi dan sektoral
36
sehingga perlu ada kajian tentang dampak skema FTA, dengan kasus FTA ASEAN Plus Three. Dengan mengkaji FTA ASEAN Plus Three mengggunakan model GTAP, maka akan dapat diidentifikasi dampaknya terhadap perekonomian Indonesia secara menyeluruh, baik ditingkat makro dan sektoral. Gambaran mengenai kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Kinerja Perdagangan Indonesia dengan ASEAN Plus Three Ekspor dan Impor Terbesar Indonesia
Dayasaing produk Indonesia ke ASEAN Plus Three (RCA)
Ekspor Produk Dinamis (EPD)
Keterkaitan perdagangan antar negara (IIT)
Simulasi Dampak FREE TRADE AREA ASEAN Plus Three (GTAP)
Dampak Ekonomi bagi Indonesia, ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea: - Makro Ekonomi (GDP, Konsumsi, Investasi, Pengeluaran Pemerintah, Ekspor Bersih) - Sektoral Ekonomi (Ekspor, Impor, Output, Harga, Kesempatan Kerja)
Implikasi Kebijakan Gambar 2.7. Kerangka Pemikiran Penelitian