5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. FOSFOR (P) Fosfor merupakan unsur hara esensial makro yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman dan memegang peranan penting dalam proses metabolisme. Peranan fosfor pada tanaman untuk pertumbuhan sel, pembentukan akar halus dan rambut akar, memperkuat tegakan batang agar tanaman tidak mudah rebah, pembentukan bunga, buah dan biji, serta memperkuat daya tahan terhadap penyakit. Dalam tanah dijumpai fosfor organik dan anorganik, keduanya merupakan sumber penting bagi tanaman. Tanaman menyerap fosfor dalam bentuk H 2 PO 4 -, HPO 4 2- dan PO 4 3-. Ketersediaan fosfor anorganik sangat ditentukan oleh pH tanah, jumlah dan tingkat dekomposisi bahan organik serta kegiatan mikrob dalam tanah (Lal, 2002). Tanaman
Hewan Materi Organik mati (fosfat organik)
Melalui mikoriza
Penyerapan oleh akar Mineralisasi Ortofosfat Immobilisasi
Mikroorganisme Pelarut P
Fosfor anorganik yang tidak tersedia
Gambar 1. Siklus Fosfor (Subba-Rao, 1994)
6
Ketersediaan P dalam tanah pada umumnya rendah. Hal ini disebabkan P terikat menjadi Fe-fosfat dan Al-fosfat pada tanah masam atau Ca 3 (PO 4 ) 2 pada tanah basa. Tanaman tidak dapat menyerap P dalam bentuk terikat dan harus diubah menjadi bentuk tersedia bagi tanaman. Tanaman memperoleh unsur P seluruhnya berasal dari tanah atau dari pemupukan serta hasil dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Jumlah P total dalam tanah cukup banyak, namun yang tersedia bagi tanaman jumlahnya rendah hanya 0,01 – 0,2 mg/kg tanah (Handayanto dan Hairiyah,2007). Kekurangan P pada tanaman akan mengakibatkan berbagai hambatan metabolisme, diantaranya dalam proses sintesis protein, yang menyebabkan terjadinya akumulasi karbohidrat dan ikatan-ikatan nitrogen. Kekurangan P tanaman dapat diamati secara visual, yaitu daun-daun yang lebih tua akan berwarna kekuningan atau kemerahan karena terbentuknya pigmen antisianin. Pigmen ini terbentuk karena akumulasi gula di dalam daun sebagai akibat terhambatnya sintesa protein. Gejala lain adalah nekrotis atau kematian jaringan pada pinggir atau helai daun diikuti melemahnya batang dan akar terhambat pertumbuhannya. Buntan (1992) menjelaskan fosfor merupakan bahan makanan utama yang digunakan oleh semua organisme untuk energi dan pertumbuhan. Secara geokimia, fosfor merupakan 11 unsur yang sangat melimpah di kerak bumi. Seperti halnya nitrogen, fosfor merupakan unsur utama di dalam proses fotosintesis. Fosfor biasanya berasal dari pupuk buatan yang kandungannya berdasarkan rasio N-P-K. Fosfat merupakan salah satu bahan galian yang sangat berguna untuk pembuatan pupuk. Sekitar 90% konsumsi fosfat dunia dipergunakan untuk pembuatan pupuk, sedangkan sisanya dipakai oleh industri ditergen dan makanan ternak.
Bentuk-bentuk P dalam tanah Fosfat dalam tanah dibedakan dalam bentuk P-organik dan P-anorganik. Bentuk organik terdapat dalam bentuk sel-sel mikrob, humus tanah dan bahan organik tanah lainnya. Sumber utama P-organik adalah pupuk kandang, pupuk
7
hijauan dan kompos sedangkan P-anorganik adalah mineral yang mengandung P, misalnya apatit.
P-Organik tanah P organik tanah berada dalam bentuk senyawa yang sangat komplek. Kandungan P organik di dalam tanah berkisar lebih kurang 50% dari total P dalam tanah sedangkan kandungan P dalam bahan organik tanah berkisar antara 1% - 3% (Tisdale et al., 1993). Kandungan P organik lebih banyak terdapat pada tanah lapisan atas bila dibandingkan dengan tanah lapisan bawah. Kuantitas P-organik dalam tanah umumnya meningkat dengan meningkatnya C dan/atau N. Banyak bentuk P-organik yang belum terdeteksi namun sebagian besar bentuk P-organik tanah adalah inositol fosfat (10-50%), fosfolipida (1-5%) dan asam nukleat (0,22,5%). Sebagian besar inositol fosfat dihasilkan oleh aktivitas mikrob dan degradasi residu tanaman. Adanya ion H 2 PO 4 - dan ion OH- akan menyebabkan inositol fosfat membentuk kompleks yang sangat kuat dengan protein, dan membentuk garam tidak larut dengan Fe3+ dan Al3+ pada tanah masam dan dengan Ca2+ pda tanah alkalin (Russel, 1988; Tisdale et al., 1993). Asam nukleat terdapat pada semua sel hidup dan dihasilkan selama proses dekomposisi oleh mikrob tanah, dua bentuk asam nukleat adalah RNA (asam ribonukleat) dan
DNA (asam deoksiribonukleat). Asam nukleat merupakan
bentuk yang cepat dirombak. Fosfolipida merupakan senyawa fosfat yang berkombinasi dengan lipida dan merupakan bentuk tidak larut dalam air tetapi mudah digunakan dan disintesis oleh mikrob tanah. Secara umum immobilisasi dan mineralisasi P sama dengan N, kedua proses terjadi secara simultan dalam tanah. Sumber utama P-organik tanah adalah residu tanaman dan hewan yang didegradasi oleh mikrob dan seringkali berasosiasi dengan asam-asam humik. Inositol fosfat, fosfolipida dan asam nukleat juga dapat dimineralisasi dalam tanah oleh enzim fosfatase. Enzim fosfatase berperan utama dalam melepaskan P dari ikatan P-organik. Enzim ini banyak dihasilkan oleh mikrob tanah, terutama yang bersifat heterotrof. Aktivitas fosfatase dalam tanah meningkat dengan meningkatnya C-organik, tetapi juga
8
dipengaruhi oleh pH, kelembaban, temperatur, dan faktor lainnya. Dalam kebanyakan tanah, total P-organik sangat berkorelasi dengan C-organik tanah, sehingga mineralisasi P meningkat dengan meningkatnya total C-organik. Semakin tinggi C-organik dan semakin rendah P-organik, maka semakin meningkat immobilisasi P (Havlin et al., 1999).
P-anorganik Menurut Soepardi (1983) ketersediaan P-anorganik sangat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu pH tanah; besi, aluminium, dan mangan larut; adanya mineral yang mengandung besi, aluminium, dan mangan; tersedianya kalsium; jumlah dan tingkat dekomposisi bahan organik; dan kegiatan jasad mikro. Empat faktor pertama berhubungan satu sama lain, karena semuanya bergantung dari kemasaman tanah. P-anorganik di dalam tanah pada umumnya berasal dari mineral flour apatit {Ca 10 (PO 4 )6F 2 }. Dalam proses hancuran iklim dihasilkan berbagai mineral P sekunder seperti hidroksi apatit, karbonat apatit, klor apatit, dan lain-lain sesuai dengan lingkungannya. Selain itu, ion-ion fosfat dengan mudah dapat bereaksi dengan ion Fe3+, Al3+, Mn2+, Ca2+, ataupun terjerap pada permukaan oksida-oksida hydrat besi, aluminium, dan liat (Premono, 1994). Pada tanah masam, kelarutan Al dan Fe menjadi tinggi. Dengan demikian, ion fosfat (H 2 PO 4 -, HPO 4 2-, PO 4 3-) akan segera terikat membentuk senyawa P yang kurang tersedia bagi tanaman. Bila pH tanah dinaikkan, maka P akan berubah menjadi tersedia kembali. Pada pH di atas netral, P juga kurang tersedia bagi tanaman karena diikat oleh Ca menjadi senyawa yang kurang tersedia. Unsur tersebut akan tersedia kembali bila pH diturunkan. Jadi ketersediaan P sangat dipengaruhi oleh pH tanah (Havlin et al., 1999).
2.2. BAKTERI PELARUT FOSFAT Salah satu alternatif untuk meningkatkan efisiensi pemupukan fosfat dalam mengatasi rendahnya fosfat tersedia dalam tanah adalah dengan memanfaatkan kelompok mikrob pelarut fosfat, yaitu mikrob yang dapat melarutkan fosfat tidak tersedia menjadi tersedia sehingga dapat diserap oleh tanaman. Pemanfaatan
9
mikrob pelarut fosfat diharapkan dapat mengatasi masalah P pada tanah masam (Saleh et al., 1989). Mikrob pelarut fosfat terdiri atas bakteri (Taha et al., 1969), fungi (Khan dan Bhatnagar, 1977) dan sedikit aktinomiset (Chen et al., 2002). Mikrob pelarut fosfat hidup terutama di sekitar perakaran tanaman, yaitu di daerah permukaan tanah sampai kedalaman 25 cm dari permukaan tanah. Keberadaan mikrob ini berkaitan dengan banyaknya jumlah bahan organik yang secara langsung mempengaruhi jumlah dan aktivitas hidupnya. Akar tanaman mempengaruhi kehidupan mikrob dan secara fisiologis mikrob yang berada dekat dengan daerah perakaran akan lebih aktif daripada yang hidup jauh dari daerah perakaran. Keberadaan mikrob pelarut fosfat dari suatu tempat ke tempat lainnya sangat beragam. Salah satu faktor yang menyebabkan keragaman tersebut adalah sifat biologisnya. Ada yang hidup pada kondisi asam, dan ada pula yang hidup pada kondisi netral dan basa, ada yang hipofilik, mesofilik, dan termofilik, ada yang hidup sebagai aerob dan ada yang anaerob, dan beberapa sifat lain yang bervariasi. Masing-masing mikrob memiliki sifat-sifat khusus dan kondisi lingkungan optimal yang berbeda-beda yang mempengaruhi efektivitasnya melarutkan fosfat. Pertumbuhan kelompok bakteri optimum pada pH sekitar netral dan meningkat seiring dengan meningkatnya pH tanah. Populasi bakteri pelarut fosfat umumnya lebih rendah pada daerah yang beriklim kering dibandingkan dengan daerah yang beriklim sedang. Karena bentuk dan jumlah fosfat dan bahan organik yang terkandung dalam tanah berbeda-beda, maka keefektifan tiap mikrob pelarut fosfat untuk melarutkan fosfat berbeda pula. Penggunaan mikrob pelarut fosfat masih menghadapi beberapa kendala seperti faktor tanah, karena setiap jenis tanah mempunyai bentuk fosfat yang berbeda-beda antara lain pada lahan masam bentuk fosfat didominasi oleh Al-P, Fe-P atau occluded- P sedangkan pada lahan basa didominasi oleh bentuk Ca-P. Jadi masing-masing lahan seperti itu memerlukan inokulan pelarut fosfat yang berbeda.
10
Mekanisme Pelarutan P Mekanisme pelarutan fosfat secara kimia merupakan mekanisme pelarutan fosfat utama yang dilakukan oleh mikrob. Dalam aktivitasnya, mikroba pelarut P akan menghasilkan asam-asam organik, diantaranya ialah asam sitrat, glutamate, suksinat, laktat, oksalat, glioksalat, malat, fumarat, tartat dan α-ketobutirat (Alexander, 1978). Selain mikrob ternyata akar-akar tanaman dalam eksresinya juga menghasilkan asam-asam organik antara lain asam sitrat, malat dan oksalat. (Gerke, 1994). Penurunan pH juga dapat disebabkan karena terbebasnya asam sulfat dan nitrat pada oksidasi kemoautotrofik sulfur dan amonium, berturut-turut oleh bakteri Thiobacillus dan Nitrosomonas (Alexander, 1977). Perubahan pH berperanan penting dalam peningkatan kelarutan fosfat (Asea et al., 1988). Selanjutnya asam-asam organik ini akan bereaksi dengan bahan pengikat fosfat seperti Al3+, Fe3+, Ca2+, atau Mg2+ membentuk khelat organik yang stabil sehingga mampu membebaskan ion fosfat terikat dan oleh karena itu dapat diserap oleh tanaman. Ca10(PO4)6(OH)2 + 14H+
10Ca2+ + 6H2O + 6H2PO4-
OH M
OH
OH + R – COO-
H2PO4-
M
OH
+ H2PO4-
OC – R
M = Al3+ atau Fe3+ Gambar 2. Pelepasan Fosfat dari Al atau Fe Asam-asam organik mampu meningkatkan P tersedia tanah melalui beberapa mekanisme, diantaranya adalah : (1) anion organik bersaing dengan ortofosfat pada permukaan tapak jerapan koloid yang bermuatan positif (Nagarajah et al., 1970); (2) pelepasan ortofosfat dari ikatan logam P melalui pembentukan kompleks logam organik (Earl et al., 1979 ); dan (3) modifikasi muatan permukaan tapak jerapan oleh ligan organik (Tisdale et al., 1993).
11
Selain menghasilkan asam organik, mikrob Aspergillus, Penicillium, Rhizopus, Cunninghamella, Arthrobacter, Streptomyces, Pseudomonas dan Bacillus juga menghasilkan enzim-enzim yang dapat melarutkan P-organik dalam tanah (Alexander 1978). Pelarutan fosfat secara biologis terjadi karena mikrob tersebut menghasilkan enzim antara lain enzim fosfatase (Lynch, 1983) dan enzim fitase (Alexander, 1977). Fosfatase merupakan enzim yang akan dihasilkan apabila ketersediaan fosfat rendah. Fosfatase dieksresikan oleh akar tanaman dan mikrob, dan di dalam tanah yang lebih dominan adalah fosfatase yang dihasilkan oleh mikrob (Joner, et al., 2000). Pada proses mineralisasi bahan organik, senyawa fosfat organik diuraikan menjadi fosfat anorganik yang tersedia bagi tanaman dengan bantuan enzim fosfatase (Gaur et al., 1980; Paul dan Clark, 1989). Enzim fosfatase dapat memutuskan fosfat yang terikat oleh senyawasenyawa organik menjadi bentuk yang tersedia. Fungi lebih mampu melarutkan P dalam bentuk AlPO 4 (pada tanah masam), sedangkan bakteri lebih efektif melarutkan fosfat dalam bentuk Ca 3 PO 4 pada tanah basa (Banik dan Dey, 1982). Dari beberapa keberhasilan BPF meningkatkan pertumbuhan tanaman, sebagian diantaranya terkait dengan peran ganda BPF. Beberapa strain dan jenis BPF dilaporkan mampu menghasilkan fitohormon yang turut berperan dalam perkembangan tanaman (De Freitas et al.,1997).
2.3. PUPUK HAYATI Istilah pupuk hayati digunakan sebagai nama kolektif untuk semua kelompok fungsional mikrob tanah yang dapat berfungsi sebagai penyedia hara dalam tanah, sehingga dapat tersedia bagi tanaman. Pemakaian istilah ini relatif baru dibandingkan dengan saat penggunaan salah satu jenis pupuk hayati komersial pertama di dunia yaitu inokulan Rhizobium yang sudah lebih dari 100 tahun yang lalu. Pupuk hayati dapat didefinisikan sebagai inokulan berbahan aktif organisme hidup yang berfungsi untuk menambat hara tertentu atau memfasilitasi tersedianya hara dalam tanah bagi tanaman. Memfasilitasi tersedianya hara ini dapat berlangsung melalui peningkatan akses tanaman terhadap hara misalnya oleh
12
cendawan mikoriza arbuskuler, pelarutan oleh mikroba pelarut fosfat, maupun perombakan oleh fungi, aktinomiset atau cacing tanah. Penyediaan hara ini berlangsung melalui hubungan simbiotis atau nonsimbiotis. Secara simbiosis berlangsung dengan kelompok tanaman tertentu atau dengan kebanyakan tanaman, sedangkan nonsimbiotis berlangsung melalui penyerapan hara hasil pelarutan oleh kelompok mikroba pelarut fosfat, dan hasil perombakan bahan organik oleh kelompok organisme perombak Sejumlah bakteri penyedia hara yang hidup pada rhizosfer akar (rhizobakteri) disebut sebagai rhizobakteri pemacu tanaman (plant growth promoting rhizobacteria = PGPR). Kelompok ini mempunyai peranan ganda di samping (1) menambat N 2 , juga; (2) menghasilkan hormon tumbuh (seperti IAA, giberelin, sitokinin, etilen, dan lain-lain); (3) menekan penyakit tanaman asal tanah dengan memproduksi siderofor glukanase, kitinase, sianida; dan (4) melarutkan P dan hara lainnya (Cattelan et al., 1999; Glick et al., 1995; Kloepper, 1993; Kloepper et al., 1991). FNCA Biofertilizer Project Group (2006) mengusulkan definisi pupuk hayati
sebagai
bahan
yang
mengandung
mikroorganisme
hidup
yang
mengkolonisasi rizosfer atau bagian dalam tanaman dan memacu pertumbuhan dengan jalan meningkatkan pasokan ketersediaan hara primer dan/atau stimulus pertumbuhan tanaman target, bila dipakai pada benih, permukaan tanaman, atau tanah. Pengertian pupuk hayati lebih luas daripada istilah yang dikemukakan oleh Subha
Rao
(1982)
dan
FNCA
Biofertilizer
Project
Group
(2006).
Mikroorganisme dalam pupuk mikrob yang digunakan dalam bentuk inokulan dapat mengandung hanya satu strain tertentu atau monostrain tetapi dapat pula mengandung lebih dari satu strain atau multistrain. Strain-strain pada inokulan multistrain dapat berasal dari satu kelompok inokulasi silang (crossinoculation) atau lebih. Pada mulanya hanya dikenal inokulan yang hanya mengandung satu kelompok mikrob fungsional (pupuk hayati tunggal), tetapi perkembangan teknologi inokulan telah memungkinkan memproduksi inokulan yang mengandung lebih dari satu kelompok mikrob fungsional. Inokulan-inokulan komersial saat ini mengandung lebih dari suatu spesies atau lebih dari satu
13
kelompok mikrob fungsional. Karena itu Simanungkalit dan Saraswati (1993) memperkenalkan istilah pupuk hayati majemuk untuk pertama kali bagi pupuk hayati yang mengandung lebih dari satu kelompok fungsional.
2.4. SAWI SENDOK Sawi sendok adalah sayuran terna berbentuk roset dengan daun tegak lurus kaku dan lembut, membulat tajam. Sawi sendok dikenal sebagai kubis putih Cina, karena daun putih khusus, walaupun beberapa jenis memiliki tangkai daun hijau. Banyak jenis tersedia di Asia Tenggara (Taiwan, Hongkong, Singapura) dan sayuran ini diusahakan sangat luas di daerah ini. Sayuran sawi sendok cocok di negara tropis lain, lebih disukai menjadi sayuran popular (Williams et al., 1993). Sawi sendok merupakan tanaman sayuran daun termasuk famili Brassicaceae. Sawi sendok mempunyai nilai ekonomi tinggi. Jenis tanaman ini berkembang pesat di daerah subtropis maupun tropis. Daerah asal tanaman dari Tiongkok/Cina (Rukmana, 1994). Sawi sendok atau dalam bahasa Canton adalah pakcoy berarti sayuran putih, atau disebut juga bokchoy. Konon di daerah Cina, tanaman ini dibudidayakan sejak 2500 tahun yang lalu, kemudian menyebar luas ke Filipina dan Taiwan. Sawi sendok masuk ke wilayah Indonesia pada Abad XIX, bersamaan dengan lintas perdagangan jenis sayuran tropis lain, terutama kelompok kubis/Brassicaceae (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Rubatzky dan Yamaguchi (1998) menyatakan tanaman sawi sendok merupakan salah satu sayuran penting di Asia, atau khususnya di China. Daun sawi sendok bertangkai, berbentuk oval, berwarna hijau tua, dan mengkilat, tidak membentuk kepala, tumbuh agak tegak atau setengah mendatar, tersusun dalam spiral rapat, melekat pada batang yang tertekan. Tangkai daun, berwarna putih atau hijau muda, gemuk dan berdaging. Keragaman morfologis dan periode kematangan cukup besar pada berbagai varietas dalam kelompok ini. Terdapat bentuk daun berwarna hijau pudar dan ungu yang berbeda. Lebih lanjut dinyatakan sawi sendok kurang peka terhadap suhu ketimbang sawi putih, sehingga tanaman ini memiliki daya adaptasi lebih luas.
14
Sawi sendok memiliki umur pascapanen singkat, tetapi kualitas produk dapat dipertahankan selama 10 hari, pada suhu 00C (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Produksi utama sawi sendok adalah daun. Sawi sendok dikomsumsi dalam berbagai bentuk antara lain dilalap, digoreng, disayur lodeh atau ditumis. Oleh orang Korea, sawi sendok umum diawetkan dalam bentuk asinan disebut “Kimchee“.
Gambar 3. Tanaman Sawi sendok
Tabel 1. Kandungan dan Komposisi Gizi Sawi sendok (Brassica rapa L.) setiap 100 Gram Bahan Segar Komposisi Gizi Energi Protein Lemak Karbohidrat Serat Abu Fosfor Zat Besi Natrium Thiamine β-karoten Kalium Riboflavin Niacin Kalsium
Kandungan Gizi 17.000 1.700 0.200 3.100 0.700 0.800 46.000 2.600 22.000 0.070 2.305 279.000 0.130 0.800 102.000
Satuan Kal g g g g g mg mg mg mg µg mg mg mg mg
Sumber : (FAO) Food and Agriculture Organization of The United Nation (1972)