BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Ruang Terbuka Berdasarkan intensitas penggunaannya, ruang terbuka dapat
dibedakan menjadi ruang aktif dan ruang pasif. Ruang aktif adalah ruang terbuka yang mengandung unsur-unsur kegiatan di dalamnya, seperti : bermain, olahraga, upacara, berkomunikasi, dan berjalan-jalan. Ruang tersebut dapat berupa : plasa, lapangan olahraga, tempat bermain, dan sebagainya. Sedangkan ruang pasif adalah ruang terbuka yang tidak mengandung kegiatan manusia, seperti penghijauan/taman sebagai sumber pengudaraan lingkungan, jalur hijau sepanjang jalur tol atau jalur kereta api, dan sebagainya. (Hakim dalam Aslim H., 1991) Ruang terbuka dapat diklasifikasikan menjadi hard space dan soft space. Hard space adalah ruang terbuka yang secara prinsip dibatasi oleh dinding arsitektural dan biasanya digunakan sebagai tempat kegiatan bersama (ruang komunal). Sedangkan soft space adalah ruang yang lebih didominir oleh lingkungan alam yang dapat berwujud sebagai taman, kebun, halaman rumput, jalur hijau, dan sejenisnya. Bila pada hard space hamparannya ditutupi oleh perkerasan, seperti : ubin, aspal, plesteran, paving stone, dan sejenisnya, maka pada soft space hamparannya didominasi oleh hijau-hijauan, baik berupa hamparan rumput, bunga-bungaan, atau jenis tanaman-tanaman lain. (Trancik dalam Aslim H., 1991)
2.2
Perilaku Perilaku didefinisikan sebagai upaya memuaskan kebutuhan yang
dilatarbelakangi oleh motivasi (Lang dalam Aslim H., 1991). Telaah terhadap aspek perilaku pada ruang luar (environmental behavior) tidak terlepas dari dua aspek pokok, yaitu aspek lingkungan dan aspek perilaku itu sendiri. Terminologi lingkungan (environmental) mengacu pada aspek fisik, administratif, maupun atribut sosial dari setting (rona) tempat
11
manusia melakukan aktivitas-aktivitasnya, sedangkan perilaku (behavior) mengacu kepada segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan manusia sebagai pemakai lingkungan. (Lang dalam Aslim H., 1991)
2.2.1 Hubungan
Manusia,
Perilaku,
dan
Persepsi
dengan
Lingkungan Dalam konteks ruang arsitektural, hubungan manusia dengan lingkungan setidaknya menyangkut dua aspek penting, yaitu hubungan dimensional (antropometrics) dan hubungan psikologis (proxemics). Hubungan dimensional menyangkut dimensi-dimensi yang berhubungan dengan tubuh manusia dan corak pergerakannya, sedangkan hubungan psikologis adalah hubungan yang menentukan corak dan ukuran kebutuhan ruang manusia berdasarkan karakteristik perilaku sesuai dengan jenis kegiatannya (Hakim dalam Aslim H., 1991). Perpaduan keduanya, yakni hubungan dimensional dan psikologis membentuk suatu cara pandang (persepsi) manusia terhadap ruang lingkungan. (Szokolay dalam Aslim H., 1991) Hubungan antara perilaku dengan lingkungan dapat dibagi menjadi empat model (Porteus dalam Aslim H., 1991). Pertama, pendekatan kebebasan (free Will) yang menjelaskan bahwa manusia memiliki
kebebasan
mutlak
menentukan
corak
perilakunya
pada
lingkungan. Kedua, pendekatan kemungkinan 01 (possibilitic), yang menganggap bahwa lingkungan fisik memberi batasan tertentu terhadap perilaku
manusia
pemakai.
Ketiga,
pendekatan
kemungkinan
02
(probabilitic) yang menganggap bahwa lingkungan fisik memberi pilihan kemungkinan
terhadap
pembentukan
perilaku
manusia.
Keempat,
pendekatan kepastian (deterministic) yang menjelaskan bahwa perilaku seseorang sangat dikendalikan oleh corak lingkungannya. Lingkungan buatan mempengaruhi manusia tergantung dari tingkat persepsi, kognisi, sikap, dan nilai-nilai yang dianut oleh manusia tersebut. Pandangan ini menyimpulkan bahwa suatu setting (rona) lingkungan akan memberi kesan yang berbeda-beda terhadap seseorang
12
tergantung dari pandangan orang tersebut terhadapnya. (Altman dalam Aslim H., 1991) Persepsi
manusia
terhadap
lingkungan
atau
ruang
yang
mengitarinya tidak sama, tergantung dari tingkat kemampuan dan sensitifitas indera manusia menangkap gejala lingkungan tersebut. Berdasarkan kemampuan penginderaan tersebut, maka terbentuklah ruang-ruang perseptual manusia sebagai respon terhadap lingkungan di sekitarnya, meliputi (Hesselgren dalam Aslim H., 1991) :
1. Visual space, persepsi ruang yang terbentuk melalui indera mata 2. Olfactual space, persepsi ruang yang terbentuk berdasarkan indera penciuman 3. Thermal
space,
persepsi
ruang
yang
terbentuk
berdasarkan
sensitifitas tubuh terhadap temperatur lingkungan 4.
Tactile space, persepsi ruang yang terbentuk berdasarkan indera peraba
5. Kinesthetic space, persepsi ruang yang terbentuk berdasarkan sensitifitas terhadap batas-batas keleluasaan ruang
Perilaku manusia dibagi kepada perilaku tersembunyi (covert behavior) seperti : sikap, motivasi, persepsi, dan sejenisnya. Perilaku tersembunyi inilah yang mempengaruhi pembentukan perilaku nyata (overt behavior). Sedangkan perilaku nyata yang merupakan pola dasar kegiatan manusia (basic activities) meliputi perilaku-perilaku : berjalan, berdiri, duduk, melihat, mendengar dan berbicara (Sarwono dalam Aslim H., 1991). Corak perilaku manusia pada ruang luar (out doors activities) dapat dibagi menjadi tiga jenis kegiatan utama, yang terdiri dari (Gehl dalam Aslim H., 1991) :
a. Necessary activities, yaitu kegiatan rutin yang senantiasa dilakukan manusia dan keberlangsungannya tidak terlalu terpengaruh oleh
13
kondisi lingkungan, misalnya pedagang pergi ke pasar setiap hari, siswa pergi ke sekolah, pegawai pergi ke kantor. b. Optional activities, yaitu kegiatan yang sangat tergantung pada kondisi fisik lingkungan, cuaca dan sebagainya. Contoh kegiatan ini adalah : kegiatan rekreasi, olahraga santai, berjalan-jalan. c.
Resultant
activities
(social
activities),
adalah
kegiatan
yang
keberlangsungannya tergantung dari kehadiran orang lain pada ruang luar, misalnya pertandingan olahraga, diskusi, dan sebagainya.
Kegiatan manusia pada ruang luar dapat dikelompokkan kepada dua pola dasar, yaitu “bergerak” dan “tinggal” pada suatu lokasi (Ashihara dalam Aslim H., 1991). Ragam kegiatan manusia pada ruang luar dapat dirinci berupa kegiatan-kegiatan
berkumpul, berkomunikasi sosial,
menunggu, bermain, berolahraga, bersantai, dan sebagainya (Hakim dalam Aslim H., 1991). Namun sebagai suatu tatanan konfigurasi lanskap, sifat pemanfaatan ruang luar adalah ruang yang dapat didiami sekaligus mewadahi kegiatan (habitable) dan ruang yang hanya bersifat visual/konsumsi pengamatan. (Sanoff dalam Aslim H., 1991) Persepsi individu terhadap ruang luar salah satunya ditentukan oleh orientasi. Kejelasan orientasi membantu kita mengatasi hambatan yang bersifat pribadi ketika bergerak pada ruang luar, yaitu dengan mempertimbangkan jalur yang tepat dan efektif dengan sedikit resiko (physical obstacles), atau jalur-jalur yang memberi keuntungan optimum. (Lozano dalam Aslim H., 1991)
2.2.2 Rona Perilaku (Behavior Setting) Rona perilaku merupakan konsep dasar untuk menganalisis tingkah laku manusia dalam disiplin ilmu arsitektur. Berdasarkan studi psikolog ekologi Roger Baker, suatu rona perilaku dapat didefinisikan sebagai suatu unit dasar analisis interaksi-interaksi perilaku lingkungan (Snyder dalam Edi S., 1993). Unsur-unsur yang perlu diperhatikan dalam rona perilaku adalah sebagai berikut (Lang dalam Edi S., 1993) :
14
a. Pola perilaku tetap atau tipe prilaku yang berulang kali (standing pattern of behavior), seperti mengobrol dengan teman yang berpapasan.
Pengambilan
data
dalam
penelitian
ini
dengan
pengamatan pola-pola perilaku interaksi sosial yang terjadi, seperti pola perilaku orang-orang yang sedang berkumpul dan berbincangbincang, serta perilaku anak-anak yang bermain. b. Aturan-aturan yang mempengaruhi tingkah laku, seperti norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. c.
Unsur-unsur dan hubungan lingkungan fisik yang berkaitan dengan pola perilaku, seperti ukuran dan bentuk ruang sosial (millieu).
d. Kerangka waktu terjadinya pola perilaku tersebut, dapat terjadi setiap hari, minggu, bulan, atau musiman.
Aspek-aspek di atas sangat membantu dalam proses desain, karena tujuan desain adalah untuk menciptakan ruang dan lingkungan yang dapat menampung kegiatan dan kebiasaan manusia dengan baik. Bila komponen rona perilaku selaras dengan perilaku dan fungsinya, terdapat kecocokan antara lingkungan dan perilaku, antara bentuk dan tujuannya, maka rona perilaku disebut synomorphic. Sebaliknya, bila lingkungan
menjadi
kendala
bagi
perilaku
maka
disebut
tidak
synomorphic. (Lang dalam Edi S., 1993) Sistem aktivitas dapat dianalisis dengan beberapa cara, seperti waktu, frekuensi, dan studi tentang asal serta tujuan pelaku. Waktu meliputi kapan aktivitas dilaksanakan (harian, mingguan, musiman). Frekuensi meliputi data aktivitas selama jangka waktu tertentu. Studi asal dan tujuan berfungsi mengidentifikasikan pola pergerakan. (Lang dalam Edi S., 1993) Setiap pelaku kegiatan akan menempati setting yang berbeda, sesuai dengan karakter kegiatannya. Batas behavior setting dapat berupa batas fisik, batas administrasi atau batas simbolik. Penentuan jenis batas ini tergantung dari pemisahan yang dibutuhkan antara beberapa behavior setting. (Lang dalam Edi S., 1993)
15
Pada setiap tatanan fisik yang berbeda akan menghasilkan pemetaan perilaku yang berbeda pula. Edward T. Hall, mengidentifikasi tiga tipe layout dasar (Lang dalam Edi S., 1993) dari tatanan fisik, yaitu :
1. Fix-feature space, yaitu ruang yang dilingkupi oleh elemen yang tidak mudah dipindah. 2. Semi-fix feature, yaitu ruang yang pembatasnya dapat dipindahpindahkan. 3. Informal space, yaitu ruang yang berlangsung sesaat dan terbentuk dengan tidak direncanakan (tidak sengaja).
Beberapa pola perilaku yang berbeda dapat terjadi pada millieu yang sama. Edward T. Hall (Lang dalam Edi S., 1993) mengidentifikasi dua jenis lingkungan yang memungkinkan kondisi tersebut terjadi :
a. Lingkungan
yang
adaptable,
yaitu
lingkungan
yang
dapat
menampung banyak aktivitas, tanpa harus mengalami restrukturisasi. b. Lingkungan yang fleksibel, yaitu lingkungan yang dengan mudah diubah untuk menampung aktivitas yang berbeda.
Dari uraian di atas dapat dirangkum bahwa pada dasarnya pembahasan ditekankan pada kegiatan, tatanan fisik, dan pengaruh dari hubungan
keduanya.
Penerapannya
di
lapangan
adalah
dengan
menentukan jenis millieu, standing pattern of behavior dan synomorpic antara keduanya (Lang dalam Edi S., 1993). Setelah elemen ini ditentukan maka dapat dipakai sebagai dasar dalam proses perancangan.
2.3
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pejalan
2.3.1
Tingkat Toleransi Terhadap Rintangan Manusia membutuhkan ruang agar dapat berjalan dan sangat
penting untuk merasa bebas, tanpa diganggu, tanpa dipaksa, serta tanpa banyak manuever ketika melakukannya. Karena itu, menentukan level
16
toleransi dari setiap individu terhadap rintangan selama berjalan sehingga ruang yang tercipta rapat, kaya pengalaman, serta di lain pihak cukup luas untuk melakukan manuever merupakan faktor yang penting. Toleransi dan kebutuhan ruang bervariasi bagi setiap orang, dalam setiap kelompok, dan dari satu situasi ke situasi lainnya. Anak-anak maupun orang tua memiliki tingkat toleransi yang paling rendah, kemudian orang dewasa dengan tingkat toleransi sedang, serta remaja yang memiliki toleransi paling besar terhadap rintangan dalam berjalan. (Gehl, 1986)
2.3.2
Dimensi Jalan Dalam situasi ketika tingkat keramaian (crowding) dapat ditentukan
secara bebas, batasan yang paling dapat diterima dari kepadatan (density) jalan atau jalur pedestrian dengan pola dua jalur pergerakan adalah sekitar 10-15 orang pejalan kaki setiap menit untuk tiap satu meter lebar jalan. Pejalan kaki yang menggunakan roda seperti membawa kereta bayi, memiliki keterbatasan fisik sehingga harus menggunakan kursi roda, serta pejalan kaki yang membawa kereta belanja, pada umumnya membutuhkan luasan lebih besar dibandingkan yang tidak menggunakan roda.
2.3.3
Kondisi Material Permukaan Jalan Kondisi permukaan jalan yang buruk dapat memberikan pengaruh
negatif bagi pejalan kaki secara umum. Orang cenderung menghindari permukaan yang basah dan licin ketika berjalan. Khususnya bagi pejalan kaki yang memiliki keterbatasan fisik, kondisi seperti ini terasa sangat tidak nyaman.
2.3.4
Jarak Fisik dan Pengalaman Jarak Kemampuan berjalan sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik, karena
itu terdapat batasan mengenai jarak terjauh bagi seseorang agar ia
17
bersedia berjalan kaki mencapai tempat tujuannya. Berdasarkan survei, jarak berjalan yang dapat diterima bagi kebanyakan orang dalam kondisi normal diperkirakan sekitar 400-500 meter. Bagi anak-anak, orang tua, dan orang yang memiliki keterbatasan fisik batasan tersebut menjadi lebih pendek. Pentingnya menentukan jarak yang dapat diterima oleh seseorang dalam berjalan bukan hanya mengenai kenyataan jarak fisiknya saja, tetapi juga menyangkut pengalaman jaraknya. Jalan sepanjang 500 meter yang langsung (lurus), tidak terlindungi, serta membosankan dirasakan sebagai pengalaman yang sangat lama dan melelahkan. Sedangkan jarak yang sama dapat dirasakan pendek dalam pengalaman jarak karena rute tersebut ditempuh melalui tahapan-tahapan. Cara yang dapat ditempuh antara lain, jalan dibuat berkelok sedikit serta menyediakan kondisi fisik jalan yang baik. Jarak berjalan yang dapat diterima seseorang merupakan sebuah permainan antara panjang dari jalan dan kualitas dari rute, dengan mempertimbangkan faktor perlindungan serta stimulasi pada rute tersebut. Meskipun kenyataannya melelahkan untuk berjalan melalui rute langsung ketika keseluruhan jarak tempuh terlihat, namun lebih tidak dapat diterima bila dipaksa melalui rute lain bila tempat tujuan sudah terlihat. Diterjemahkan dalam bentuk perancangan melalui perencanaan hati-hati dari rute pedestrian sehingga jarak (lokasi) yang harus ditempuh/dituju tidak begitu saja terlihat, namun jalur utama menuju tempat tujuan tetap dipertahankan.
2.3.5 Pemilihan Rute Fakta bahwa sangat melelahkan untuk berjalan membuat jalur pedestrian secara alami harus memiliki pilihan rute yang masuk akal. Seseorang sulit menerima adanya perbedaan jarak yang mencolok antara rute alternatif terhadap rute utama (langsung) terutama bila tempat yang dituju terlihat. Hal ini menyebabkan seseorang cenderung mengambil jarak terpendek menuju tempat tujuannya.
18
Ketika berjalan seseorang cenderung memilih jalur yang langsung atau terdekat, kecuali bila ia menemui rintangan besar seperti lalu lintas yang berbahaya dan penghalang yang besar (contoh : dinding). Selain itu, seseorang lebih suka memilih jalur terpendek dibandingkan jalur yang paling aman, kecuali ketika lalu lintas kendaraan sangat padat, jalan sangat lebar, atau fasilitas penyeberangan ditempatkan dengan sangat baik maka pola tersebut dapat terganggu.
2.3.6 Tahapan Ruang Salah satu kebutuhan paling penting dalam sistem jalur pedestrian yang berfungsi baik adalah mengorganisasikan pergerakan pejalan kaki untuk mengikuti jarak terpendek menuju tempat tujuan. Setelah masalah utama pergerakan telah teratasi, maka penting untuk menempatkan dan mendesain hubungan-hubungan yang bersifat individual dalam jaringan tersebut agar keseluruhan sistem menjadi menarik. Jaringan jalur pedestrian yang memberikan alternatif ruang-ruang dan plasa di sekitar jalur seringkali memiliki pengaruh psikologis, berupa jarak yang tempuh menjadi terasa pendek karena perjalanan tersebut dibagi menjadi beberapa tahapan. Orang cenderung berkonsentrasi pada pergerakan dari satu plasa ke plasa lain dibandingkan waktu sebenarnya yang dihabiskan selama perjalanan. Ketika
rute
jalur
pedestrian
melewati
bangunan-bangunan,
potongan jalan harus didimensikan dalam proporsi calon pengguna yang mungkin muncul. Hal ini bertujuan agar pergerakan dapat terjadi secara intim karena ruang-ruang yang tercipta jelas serta efektif. Bila beberapa bagian dari jalur pedestrian memiliki luasan yang rapat maka akan lebih lebih mudah dalam menciptakan ruang-ruang kontras yang berarti. Sebagai contoh, jika lebar jalan adalah tiga meter maka ruang dengan lebar dua puluh meter muncul sebagai sebuah plasa. Kualitas pengalaman dari sebuah ruang yang besar menjadi lebih kaya ketika pencapaiannya melalui ruang yang kecil (perbedaan antara kecil dan besar muncul).
19
2.3.7
Pemilihan Jalur Ketika sebuah ruang harus dilewati, biasanya pejalan kaki memilih
jalur yang paling nyaman yaitu bergerak di sepanjang sisi terluar, dibandingkan melewati ruang dari bagian tengah. Pergerakan di sisi terluar ruang memberikan kemungkinan pengalaman yang simultan. Pengalaman tersebut berupa merasakan ruang yang besar, mengamati detail dari street façade selama berjalan, dan lain-lain. Selain itu, dalam kondisi cuaca buruk pejalan kaki dimungkinkan untuk bergerak di sepanjang protecting façade (contoh : selasar dengan penutup atap di samping bangunan) sebagai keuntungan tambahan. Kontras dengan pola sebelumnya, jalur pedestrian yang disebut green belts (jalur hijau) biasanya diletakkan di bagian tengah ruang sehingga memiliki landscape di kedua sisinya.
2.3.8
Perbedaan dalam Ketinggian Perbedaan ketinggian menghasilkan masalah yang serius bagi
pejalan kaki dalam bergerak di jalur pedestrian. Pergerakan besar ke atas atau ke bawah membutuhkan usaha lebih dan menyebabkan gangguan terhadap ritme berjalan. Sebagai hasilnya, orang cenderung menghindari permasalahan yang ditimbulkan akibat adanya perbedaan ketinggian. Kerugian akibat perubahan ketinggian dapat diabaikan bila jarak jalur alternatif (memutar) yang ada cukup jauh. Namun dalam situasi ketika perbedaan ketinggian lebih besar dan sulit, jalur alternatir memutar yang pendek dan jalur yang memiliki resiko besar lebih disukai dibandingkan harus berjalan ke atas atau ke bawah. Dalam merancang hubungan vertikal, aturan-aturan umum yang diterapkan ketika membuat hubungan horisontal juga diterapkan. Hubungan tersebut harus dibuat terasa mudah dan bebas dari hambatan, seperti melalui tahapan, pendek, dan tidak curam. Pijakan tangga yang panjang dirasa melelahkan, sedangkan pijakan yang pendek dengan diselingi oleh tempat beristirahat seperti plasa secara psikologis lebih diterima.
20
Bila masalah pergerakan harus diselesaikan dengan cara membimbing pejalan kaki bergerak ke atas atau ke bawah melewati lalulintas kendaraan, maka jalur diusahakan memberikan kesan se-horisontal mungkin. Salah satu contohnya adalah jembatan melengkung (arched bridges) yang didesain dengan baik tidak akan mengganggu arah dan ritme dari pergerakan. Ketika jalur pedestrian membawa pejalan kaki bergerak dari satu tingkat ke tingkat berikutnya, lebih mudah untuk memulai pergerakan ke arah bawah dibandingkan ke arah atas. Berdasarkan alasan tersebut, terowongan
bawah
tanah
lebih
disukai
dibandingkan
jembatan
penyeberangan. Dalam situasi ketika jalur pedestrian harus mengalami perubahan ketinggian, ramp lebih banyak dipilih dibandingkan tangga. Ramp lebih populer karena ritme dari berjalan tidak terlalu terpengaruh serta memberikan kesempatan bagi pejalan kaki yang membawa kereta bayi atau kursi roda untuk dapat bergerak dengan lebih leluasa.
2.4
Ruang Publik Ruang publik merupakan wadah interaksi sosial masyarakat,
ruang tempat semua lapisan masyarakat bertemu dan berinteraksi. Dalam perancangan ruang publik, interaksi dan kondisi dapat dicapai dengan penataan elemen fisik. Ruang publik yang berhasil haruslah memenuhi nilai-nilai kualitas (Carr, 1992) :
1. Responsif : ruang publik dirancang dan dikelola untuk melayani kebutuhan dari penggunanya. Kebutuhan utama yang harus dipenuhi adalah kenyamanan, aktivitas aktif dan pasif, serta kemungkinan pengalaman baru. 2. Bermakna : ruang publik dapat menimbulkan hubungan yang kuat dengan pengguna, tempat, kehidupan pribadi dan lingkungan sekitar. Hubungan antara konteks fisik dan sosial tercipta dari penggunaan yang terus menerus dari sebuah ruang publik.
21
3. Demokratis : ruang publik dapat melindungi hak-hak kelompok pengguna, seperti hak terhadap akses, kebebasan beraktivitas, dan kepemilikan secara temporer.
Ruang
publik adalah tempat setiap orang melakukan kegiatan
ritual dan fungsional yang membentuk sebuah komunitas, baik sifatnya rutinitas dari kehidupan sehari-hari atau yang sifatnya periodik (festival). Ruang publik juga banyak digunakan untuk tujuan-tujuan yang bersifat privat seperti berjualan, berbelanja, berkebun, olah raga, atau hanya mencari tempat yang memungkinkan seseorang bisa merasakan keberadaan dirinya sendiri.
2.4.1 Dimensi Manusia dalam Ruang Publik Bertambahnya jumlah dan jenis dari ruang publik saat ini menunjukkan bahwa perubahan dalam hidup manusia ikut mempengaruhi bentuk desain dan manajemen dari ruang. Namun, beberapa motif untuk menciptakan ruang publik tidak mencerminkan kebutuhan penggunanya. Kondisi ini mengakibatkan kegagalan dalam desain, manajemen, serta timbulnya berbagai kritik. Terdapat kebutuhan yang mendesak bahwa ruang publik harus mampu
memberikan
kepuasan,
hak-hak
manusia
seperti
keamanan/perlindungan, dan mengandung makna budaya yang sesuai dengan konteks (Carr, 1992). Ruang publik tersebut dapat berupa Jalan, square, atau taman yang memberikan bentuk terhadap aliran pergerakan manusia. Ruang dinamis ini merupakan sebuah respon yang penting terhadap ruang-ruang yang lebih kaku, rutinitas dari pekerjaan serta kehidupan
dalam
rumah
tinggal.
Ruang
publik
ini
memberikan
kesempatan untuk bergerak, berkomunikasi, bermain, dan beristirahat. Interaksi antara manusia dengan tempat dan pengaruhnya terhadap ruang ditentukan oleh faktor-faktor seperti kualitas alami dari lingkungan, budaya, latar belakang, serta status ekonomi penggunanya. Faktor-faktor ini menjelaskan konteks lokasi, pengguna, dan struktur
22
lokasi dari ruang publik dalam sebuah kerangka yang membahas sejarah lokasi, tradisi pengguna, dan hubungan keduanya. Hubungan manusia dengan lingkungan tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang deterministik dan sederhana. Hubungan ini bersifat interaktif serta kompleks, usaha untuk menyederhanakannya tidak dapat menghasilkan desain tempat (place) yang berhasil. Memfokuskan pandangan pada satu aspek tertentu seperti kualitas fisik atau estetika dari ruang memberikan nilai yang sempit terhadap pemahaman sebuah ruang publik dan perilaku.
2.4.2 Kebutuhan dalam Ruang Publik Untuk menghasilkan desain yang baik dari ruang publik sangat penting memahami peran dari tempat dalam kehidupan masyarakatnya serta alasan ruang tersebut digunakan atau ditinggalkan. Beberapa penyebab ruang publik ditinggalkan antara lain, perspektif manusia telah diabaikan dalam desain ruang publik serta tidak mempertimbangkan kebutuhan masyarakat atau cara ruang publik dapat memfasilitasi kebutuhan tersebut. Menggunakan ruang publik dapat merupakan hasil sebuah rencana yang telah ditetapkan seseorang atau hanya bersifat spontan. Berbagai macam tujuan penciptaan ruang telah mempengaruhi kualitas dari ruang publik. Pemahaman dari tujuan sebuah ruang publik tercipta serta kegunaannya bagi masyarakat sangat penting dalam menilai kualitas ruang publik. Sebagai contoh, bila sebuah ruang publik berupa taman yang dirancang untuk rekreasi dimanfaatkan oleh penggunanya sebagai tempat bermain, beristirahat, dan berinteraksi maka ruang tersebut dapat dianggap hidup (baik secara kualitas). Hubungan dengan jalan (kehidupan kota) dan kemungkinan seseorang untuk mengamati sering menjadi faktor kesuksesan dari sebuah ruang publik. Berhenti pada sebuah ruang publik memungkinkan seseorang untuk beristirahat dan melepaskan diri dari kebingungan, kebisingan, keramaian, serta kesesakan lingkungan sekitar yang menjadi
23
kebutuhan mendasar dari kompleksitas ruang perkotaan (Milgram dalam Carr, 1992). Dalam keadaan ini, ruang publik menjadi sebuah surga atau stimulus sheter yang menyediakan suasana kontras dari lingkungan sekitarnya (Wachs dalam Carr, 1992). Ruang publik juga menawarkan kekontrasan terhadap kehidupan rutin atau sebuah transisi/peralihan dari dunia
kerja
menuju
kenikmatan
(leisure).
Ruang
publik
juga
memungkinkan seseorang berinteraksi dengan orang lain, baik dalam bentuk pasif seperti ketika seseorang memposisikan dirinya untuk melihat dan mengamati pergerakan manusia, maupun dalam bentuk aktif ketika sebuah tempat digunakan untuk bertemu teman. Kebutuhan manusia dalam ruang publik dapat dikelompokkan dalam lima hal yaitu kenyaman, rileksasi, interaksi pasif dan aktif dengan lingkungan, serta pengalaman baru. Menganalisa kebutuhan tersebut merupakan hal yang penting karena dapat menjelaskan kegunaan dari sebuah ruang publik. Memahami kegunaan sebuah ruang sangat penting dalam menciptakan desain ruang publik yang berhasil. Tempat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan manusia sulit untuk digunakan dan berhasil.
2.4.2.1 Kenyamanan Kenyamanan merupakan alat penentu lama seseorang berada dalam sebuah ruang publik. Kenyamanan tersebut dapat berupa menghindari atau mendapat akses sinar matahari dan menggunakan tempat duduk sesuai dengan keinginan. Faktor penting yang menentukan bahwa tempat duduk dapat dikatakan nyaman mencakup orientasi arah dan posisinya terhadap jalur sirkulasi serta tingkat fleksibilitasnya. Karena pergerakan merupakan fokus perhatian utama dari manusia, maka penempatan tempat duduk harus memungkinkan terjadinya interaksi dengan aktivitas tersebut. Fleksibilitas tempat duduk diwujudkan dalam bentuk mudah dipindahkan sesuai kebutuhan dan dapat mewadahi aktivitas individual maupun kelompok penggunanya. Aktivitas tersebut dapat berupa membaca, makan, mengobrol, istirahat, atau mengawasi anak bermain.
24
Kenyamanan sosial dan psikologi adalah kebutuhan yang penting dan memperluas pengalaman manusia dalam ruang publik. Perasaan aman dari kejahatan adalah perhatian utama bagi pengguna ruang publik terutama wanita. Dalam beberapa kasus, hal ini melibatkan kebijakan pengelola ruang publik berupa penggunaan aparat untuk menjamin keamanan pengguna. Elemen desain juga dapat menimbulkan perasaan aman dengan menyediakan akses visual ke dalam site. Kekhawatiran terhadap faktor keamanan merupakan salah satu alasan seseorang menghindari ruang publik yang memiliki penghalang visual (dinding, pagar, dan semak - semak). Bentuk kenyamanan ini yang juga sering diabaikan dalam perancangan sebuah ruang publik adalah kebutuhan akan toilet. Masalah kebersihan menjadi perhatian utama dalam fasilitas publik. Perawatan berkala, desain yang teliti, dan kehadiran petugas kebersihan harus dipandang sebgai komponen penting dalam sebuah ruang publik.
2.4.2.2 Rileksasi Rileksasi berhubungan dengan kebebasan fisik dan pikiran banyak diterjemahkan dalam bentuk aktifitas pasif untuk menghindari rutinitas yang difasilitasi oleh lingkungan alami (landscape). Namun, dilain pihak rileksasi juga dapat berwujud aktifitas aktif. Hal ini menjelaskan banyaknya pengguna dari ruang publik mencari kehidupan yang aktif dan berhubungan dengan kehidupan sebuah kota dibanding menghindarinya (Whyte dalam Carr, 1992). Menghindari keramaian atau menggunakan elemen yang bertolak belakang (kontras) dengan konteks urban muncul sebagai hal penting dalam mendukung terjadinya rileksasi. Pemisahan dari kepadatan kendaraan, seperti dalam kasus pedestrian mall, seringkali membuat usaha memperoleh ketenangan menjadi lebih mudah. Meskipun hal ini juga meningkatkan kepedulian pengguna mengenai keamanan pada saat sepi. Elemen natural terutama air sebagai aksentuasi dari kekontrasan terhadap perkotaan adalah tema utama yang sering diangkat dalam
25
ruang publik berupa ruang terbuka. Elemen natural seperti pohon dan tumbuhan
juga
dianggap
sebagai
faktor
dominan
yang
mampu
menawarkan kesempatan pelarian dan rileksasi. Kegiatan duduk di rumput, bersantai di bawah bayang-bayang pohon, atau menikmati hijauhijauan dan bunga sangat dihargai. Rileksasi juga dapat dicapai melalui hubungan dengan kehidupan kota, yaitu menempatkan ruang sebagai bagian/kelanjutan dari jalan kendaraan atau jalur pedestrian. Hal ini juga dapat menghadirkan masalah keamanan dalam ruang publik. Masalah tersebut dapat diantisipasi dengan menciptakan aktivitas komersial berupa kafe dan restoran yang dapat menarik perhatian pengguna.
2.4.2.3 Interaksi Pasif Interaksi pasif dengan lingkungan dapat menciptakan perasaan santai bagi pengguna ruang publik. Interaksi pasif juga mencakup kebutuhan interaksi dengan keadaan sekitar tanpa terlibat secara aktif. Kegiatannya dapat berupa mengamati atau menonton pergerakan manusia dari atas balkon. Lokasi yang lebih tinggi memungkinkan pengamat untuk melihat objek (manusia) sambil menghindari terjadinya kontak visual dengan objek tersebut. Bentuk interaksi pasif lainnya dalam ruang publik adalah mengamati atraksi jalanan dan kegiatan formal. Acara-acara tertentu yang terjadwal telah menjadi pendekatan populer dalam banyak ruang publik untuk menarik pengunjung dan meningkatkan citra serta kesadaran/perhatian masyarakat terhadap area pusat kota. Atraksi jalanan yang biasanya muncul di sekitar jalur pedestrian juga termasuk bagian alami dari kehidupan masyarakat di kota-kota besar. Mengamati permainan dan pertandingan olah raga menawarkan sebuah hubungan pasif yang sering kita jumpai di dalam ruang publik Selain itu, orang-orang juga tertarik pada ruang publik karena elemenelemen fisiknya, seperti air terjun/kolam yang sering berfungsi sebagai pusat perhatian karena vista yang bisa ia ciptakan.
26
Tipe lain dari interaksi pasif yang menyangkut kualitas fisik dan estetika dari sebuah ruang publik adalah menikmati karya seni publik atau pemandangan landscape. Kesempatan menikmati pemandangan alami (landscape) adalah faktor yang membawa pengunjung ke ruang publik berupa taman. Obyek seni juga dapat bersifat fungsional seperti furniture jalan, papan buletin, jembatan dengan desainnya yang megah, serta bangunan dengan bentuk dan dekorasi fasadenya yang telah menjadi objek seni selama beribu-ribu tahun. Seni menimbulkan rasa tertarik dan penasaran manusia yang berubah menjadi sebuah pengalaman dalam ruang, serta menjadi identitas bagi ruang publik tersebut.
2.4.2.4 Interaksi Aktif Interaksi aktif menghadirkan pengalaman yang berbeda dengan sebuah tempat dan orang-orang di dalamnya. Meskipun manusia menemukan
kepuasan
hanya
dengan
mengamati
sesamanya
beraktivitas, namun sebagian lain menginginkan interaksi lebih intim dengan manusia yang sedang beraktivitas tersebut. Artis
jalanan
atau
sculpture
yang
indah
menjadi
sebuah
‘triangulation’, yaitu elemen khusus yang menyediakan jembatan penghubung antara seseorang dengan orang asing untuk dapat berbicara satu sama lain (Whyte dalam Carr, 1992). Selain itu, sebuah ruang juga dapat berperan sebagai triangulation, contohnya promenade yang terletak pada
shopping
street
dan
biasa
ditemukan
dalam
lingkungan
bersejarah/berusia tua (older neighborhood) serta kota-kota kecil di Eropa atau Amerika Latin. Ruang tersebut adalah tempat orang-orang saling berbagi dan berkumpul bersama untuk menjalin ikatan komunitas (Alexander dalam Carr, 1992). Bentuk ruang yang juga penting dalam memfasilitasi interaksi antar manusia adalah square dan plasa kecil yang sering dijumpai pada lingkungan distrik pemukiman tua di kota-kota Mediterania. Dengan diameter di bawah 7 kaki (feet), orang-orang mampu untuk saling melihat wajah dan mendengar pembicaraan orang
27
lain di sekitarnya sehingga merangsang keinginan untuk melakukan interaksi sosial. Meskipun kegiatan dalam ruang publik seperti piknik dan berjalanjalan telah menerobos batas kelas sosial dalam masyarakat, namun masyarakat kalangan menengah ke bawah kota lebih memilih ruang publik yang berada dekat dengan rumah tinggalnya. Ruang publik yang memainkan peran sosial paling penting di lingkungan masyarakat golongan tua, pekerja, dan masyarakat miskin (low-income neighborhood) adalah jalan dan jalur pedestrian (Fried & Gleicher, Jacobs dalam Carr, 1992). Jalan kendaraan dan jalur pedestrian juga berperan sebagai ruang publik yang mendukung aktivitas anak dan orang dewasa. Akibat kekhawatiran orang tua terhadap keamanan maka jalan yang berada dekat dengan rumah tinggal dijadikan sebagai tempat untuk bermain dan berkembang anak. Kondisi ini dianggap sebagai sesuatu yang ideal, tetapi pada kenyataannya tidak. Melalui pendekatan desain dan pengaturan penggunaan ruang publik, beberapa permasalahan yang ditemui dapat diatasi, antara lain dengan mengontrol kecepatan serta volume dari lalu lintas di jalan. Bila permasalahan tersebut telah diatasi maka pemanfaatan jalan untuk beraktivitas dan keterikatan warga dengan ruang tersebut dapat meningkat. Orang tua dalam mengasuh anak bergantung pada ruang publik yang berada dekat dengan tempat mereka tinggal. Ruang publik tersebut tidak hanya sebagai tempat anak bermain, tetapi juga menjadi tempat menikmati interaksi dengan sesama orang tua anak. Area bermain yang dapat mengakomodasi interaksi sosial dari orang tua yang sedang mengawasi anaknya membutuhkan susunan tempat duduk yang nyaman dan memungkinkan terjadinya interaksi personal, meja, serta idealnya terdapat restroom (toilet). Kelompok lain yang kehidupan sosialnya sering terpusat di sekitar ruang publik adalah orang tua. Mereka sering terkonsentrasi di area duduk sekitar taman. Lokasi ini memberikan rasa aman, nyaman, dan
28
menyenangkan
melalui
pergerakan
manusia
yang
melewatinya,
kehadiran teman, serta kemungkinan mengenal orang asing. Bila dalam sebuah ruang publik berlangsung kegiatan komersial (pasar) maka interaksi aktif diantara penggunanya dapat terjadi. Keramaian manusia, lebar dari jalur pedestrian, dan sikap dari pemilik toko-toko lokal adalah faktor yang penting untuk menarik penjual ke dalam ruang publik. (Jacobs dalam Carr, 1992). Bagi orang dewasa dan remaja, sosialisasi yang dilakukan muncul dalam bentuk rekreasi. Mereka mengunjungi taman umumnya untuk berolah raga dan bentuk sosialisi terjadi dalam aktivitas tersebut. Memfasilitasi kebutuhan terhadap rekreasi aktif adalah faktor dominan ketika mendesain ruang publik. Jenis aktivitas rekreasi yang ditemui dalam ruang publik dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti perbedaan regional, geografis, budaya, dan usia. Meskipun banyak pilihan aktivitas rekreasi yang dapat dilakukan ketika mengunjungi ruang publik berupa taman, namun kegiatan bermain bola, tenis, berperahu, dan jogging merupakan pilihan yang populer. Dalam beberapa kasus, aktivitas rekreasi memungkinkan pelaku untuk melatih tubuh sekaligus memenuhi hasrat bersaing dirinya. Selain itu, aktivitas rekreasi juga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan lain seperti petualangan dan tantangan. Kelompok remaja sangat antusias terhadap ketersediaan fasilitas rekreasi sedangkan kelompok dewasa cenderung memilih aktivitas yang lebih pasif. Namun, orang dewasa juga terlibat dalam aktivitas aktif seperti jogging. Aktivitas ini menjadi olah raga yang populer karena menimbulkan antusiasme untuk mencari jalur atau tempat yang disukai. Interaksi dengan elemen fisik dari ruang publik menghadirkan pengalaman yang berbeda dari interaksi aktif. Kontak dengan air (kolam, danau, sungai, dan lain-lain) sebagai sebuah elemen natural juga merupakan bagian dari bentuk interaksi aktif ini yang sering dijumpai. Manusia dapat secara aktif berinteraksi dengan elemen fisik di satu tempat, namun di tempat lain dengan elemen yang sama cenderung
29
hanya berinteraksi secara pasif (Lyle dalam Carr, 1992). Hal ini sangat ditentukan oleh desain elemen fisik yang ada di ruang publik tersebut. Bentuk lain dari hubungan fisik mencakup manipulasi dari elemenelemen seperti sculpture. Dalam kasus tertentu, pengguna memanipulasi elemen yang fixed sebagai bentuk protes akibat kurangnya respon terhadap kebutuhan manusia dalam rancangan ruang publik. Kebutuhan terhadap tantangan dan perasaan memiliki ruang adalah faktor yang menstimulasi ketertarikan dan pemakaian sebuah ruang publik. Manusia perlu untuk menguji dirinya baik secara intelektual maupun fisik sehingga tidak kehilangan motivasi dalam menjalani kehidupan. Kesempatan seperti ini sangat penting bagi anak-anak karena merupakan landasan bagi perkembangan kemampuan kognitif dan rasa bersaing mereka (Whyte dalam Carr, 1992). Mengabaikan faktor-faktor tersebut menyebabkan ruang publik menjadi membosankan dan tidak berharga untuk dikunjungi lagi. Pemenuhan kebutuhan manusia menjelaskan latar belakang penggunaan ruang publik. Namun, kebanyakan kebutuhan ini tidak difasilitasi ketika ruang publik dirancang dengan tujuan meminimalisasi bahaya dan resiko yang mungkin terjadi. Ruang
publik
juga
dapat
berfungsi
sebagai
ruang
untuk
berkumpul, berlangsungnya acara-acara tertentu, dan mengadakan atau menonoton pertujukan (Brower dalam Carr, 1992). Upacara, perayaan, dan festival adalah kualitas yang biasa dicari manusia dalam ruang publik kota. Manusia membutuhkan hiburan/kesenangan untuk meningkatkan semangat hidupnya. Kesenangan tersebut dapat timbul ketika seseorang terlibat dalam aktivitas yang beragam seperti mengamati orang lain, menonton pertunjukkan, bersosialisasi, dan berbelanja makanan atau barang. Popularitas dari flea market merupakan salah satu indikator bahwa perdagangan dan semangat perayaan bergabung menjadi magnet yang dapat menarik keramaian. Meskipun pertumbuhan area suburban,
30
penemuan televisi, dan jumlah supermarket atau area belanja terus meningkat telah menyebabkan berkurangnya pelaksanaan kegiatan tersebut, namun acara-acara sejenis masih diselenggarakan di jalan-jalan kota dan menjadi sebuah bentuk hiburan yang luas.
2.4.2.5 Pengalaman Perubahan Ruang dan Aktivitas Kesenangan yang diperoleh ketika menemukan sesuatu yang baru merupakan pengalaman menarik dalam sebuah ruang publik (Lynch dalam Carr, 1992). Eksplorasi merupakan bagian dari kebutuhan manusia dapat diwujudkan dalam bentuk kesempatan mengamati hal-hal berbeda baik ruang maupun aktivitas ketika bergerak melalui site. Aspek utama dalam memenuhi kebutuhan ini adalah perbedaan dalam desain fisik, pergantian vista, serta juxtaposition dari elemenelemen yang dapat menyebabkan perasaan terkejut atau mampu menyenangkan perasaan manusia. Pengalaman baru juga dapat diperoleh melalui inisiatif dari pengguna sendiri. Hal ini dapat dicapai dengan cara melakukan aktivitas berbeda dalam ruang publik yang sama. Selain itu, pengelola juga dapat memberikan kontribusi dengan mengadakan acara-acara yang kreatif.
2.4.3 Hak dalam Ruang Publik Hak
dalam
ruang
publik
mencakup
kebebasan
dalam
menggunakan ruang beserta segala elemen yang ada di dalamnya. Contoh yang paling sederhana adalah perasaan bebas menggunakan ruang dalam suatu cara untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Kebebasan dalam menggunakan ruang dipengaruhi sejumlah faktor mencakup norma dan perilaku dari setiap individu atau grup yang menggunakan ruang, desain, serta manajemen dari ruang tersebut (Carr & Lynch dalam Carr, 1992). Kebebasan dalam menggunakan ruang ini mencakup akses, kebebasan bertindak, claim, perubahan, serta kepemilikan dan disposisi (Lynch dalam Carr, 1992).
31
2.4.3.1 Akses Keleluasaan untuk masuk ke dalam sebuah ruang adalah dasar dari penggunaan ruang publik. Keleluasaan ini sangat dipengaruhi oleh akses yang dimiliki sebuah ruang publik. Akses dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu akses fisik, visual, dan simbolis. Pembatasan terhadap Akses fisik dalam ruang publik diwujudkan dalam bentuk pagar yang mengakibatkan penggunaan ruang menjadi terbatas, lahan menjadi diprivatisasi, serta hak individual dibatasi. Ruang terkadang memiliki penghalang yang mempersulit akses fisik bagi kelompok tertentu seperti orang yang membawa barang, orang dengan kursi roda, dan kelompok orang tua. Ruang agar secara fisik dapat diakses bukan hanya dipengaruhi ada atau tidaknya penghalang untuk masuk dalam bentuk fisik, tetapi juga harus terhubung baik dengan jalur sirkulasi (Whyte dalam Carr, 1992). Jika hal ini diabaikan maka ruang publik akan dipandang sebagai ruang privat dan secara exclusive digunakan oleh pemiliknya. Selain itu, dominasi kendaraan bermotor di area jalan dari ruang publik dapat dipandang sebagai penghalang fisik. (Appleyard & Lintell dalam Carr, 1992) Akses visual atau visibility juga penting agar seseorang merasa bebas untuk masuk ke dalam sebuah ruang publik. Akses visual yang baik sangat penting dalam menimbulkan perasaan aman ketika beraktivitas di dalam ruang publik. Akses visual ke dalam site dipandang berlawanan dengan kebutuhan privasi manusia dan kebutuhan terhadap tempat yang menyediakan pelarian dari tekanan serta kesesakan kehidupan kota. Akses simbolis mencakup kehadiran benda simbolis dalam bentuk manusia atau elemen desain yang memberikan persepsi mengenai kelompok pengguna yang diterima atau tidak diterima dalam sebuah ruang publik. Kehadiran individu atau kelompok yang dianggap mengancam atau sebaliknya (mengundang) dapat mempengaruhi tingkat aksesibilitas dari ruang publik.
32
2.4.3.2 Kebebasan Bertindak Kebebasan bertindak diwujudkan dalam bentuk berperilaku bebas dalam sebuah ruang publik serta menggunakan segala fasilitas yang ada di dalamnya. Benturan kebutuhan yang berbeda antar kelompok kadang kala menyebabkan kebebasan salah satu kelompok menjadi terbatasi. Dalam kasus lain kekuatan dari satu kelompok yang mendominasi area tertentu dapat mengeliminasi kemungkinan kelompok lain untuk berada di tempat tersebut. Tatanan fisik dari ruang publik juga memberikan pengaruh penting pada
kemampuan
seseorang
untuk
mewujudkan
aktivitas
yang
diinginkannya. Ruang yang berbeda menawarkan tingkatan yang berbeda pula dalam pilihan dan kemungkinan penggunaannya. Ruang dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu ruang yang mengakomodasi satu aktivitas, beberapa aktivitas, atau banyak aktivitas. (Worman, Levy & Kate dalam Carr, 1992) Kebebasan beraktivitas juga dipengaruhi kenyamanan psikologi (perasaan aman) ketika berada dalam sebuah ruang publik. Ruang publik yang didesain dengan kurang baik menimbulkan perasaan tidak nyaman, sehingga mendorong orang hanya sekedar melihat atau melewatinya saja dibandingkan untuk beraktivitas di dalamnya.
2.4.3.3 Claim Kadangkala kekuatan untuk mengontrol sebuah ruang dibutuhkan manusia guna mencapai tujuannya. Akibatnya manusia dihadapkan pada sebuah dilema, karena perasaan memiliki terhadap sebuah ruang untuk memenuhi kebutuhan pribadi mengakibatkan individu atau kelompok lain terkekang kebebasannya. Dalam tindakan memiliki sesuatu atau usaha individu maupun kelompok untuk menguasai sebuah ruang, manusia dihadapkan dengan dua hal yang sering didiskusikan dalam konsep behavioral science yaitu privasi dan territorialitas. Privasi dibedakan menjadi beberapa tipe, antara lain solitude, intimacy, dan anonymity. Solitude (terpisah dari lingkungan)
33
sulit diwujudkan dalam ruang publik. Sedangkan anonymity bersifat hubungan pasif dengan lingkungan dan intimacy bersifat sebaliknya (hubungan aktif). (Carr, 1992)
2.4.3.4 Perubahan Fisik Ruang Kemampuan tempat untuk berubah adalah kualitas yang sangat penting bagi sebuah lingkungan yang baik (lynch dalam Carr, 1992). Perubahan memiliki makna yang kompleks karena dapat muncul dalam beberapa macam cara. Perubahan fisik sebuah ruang publik dapat diakibatkan
penambahan,
pengurangan,
atau
perubahan
elemen
permanen (bangunan, jalan, jalur pedestrian, pagar, gerbang, tugu, dan lain-lain) yang menyebabkan perubahan vista, bentuk dan jumlah ruang di dalamnya. Selain itu perubahan fisik ruang publik juga dapat diakibatkan penggunaan elemen-elemen non-permanen (pot bunga, kursi, meja, tenda, panggung, papan iklan, dan lain-lain) untuk tujuan-tujuan tertentu seperti mengadakan bazar, pertunjukkan, perayaan, promosi barang, dan acara-acara lain yang bersifat periodik. Penggunaan elemen nonpermanen dalam ruang publik juga digunakan untuk memunculkan imej tertentu sesuai dengan tema yang dicoba untuk diangkat (contoh : perayaan hari besar keagamaan).
2.4.3.5 Kepemilikan Ruang Bentuk tradisional dari kepemilikan memungkinkan pemilik untuk melakukan kontrol penuh terhadap ruang publik demi kebaikan kelompok tertentu atau publik pada umumnya. Sebagai contoh, ruang publik yang dibatasi pagar atau dinding menimbulkan keraguan akan kebebasan akses dan merefleksikan hak penuh kepemilikan. Bentuk lain kepemilikan adalah kepemilikan komunitas dari ruang publik. Kepemilikan ruang publik oleh masyarakat setempat berdampak pada lebih responsifnya ruang tersebut terhadap kebutuhan komunitas, biaya perawatan yang lebih rendah, berkurangnya kekerasan, dan sering terjadinya perubahan fisik dibanding ruang publik lainnya. (Francis, Cash
34
& Paxson dalam Carr, 1992). Ada dua tipe kontrol yang berbeda dalam kepemilikan komunitas. Tipe pertama membatasi akses dan penggunaan ruang publik bagi sekelompok kecil komunitas setempat. Tipe kedua adalah ruang publik dapat diakses oleh pengguna diluar komunitas pemiliknya hanya ketika komunitas pemilik hadir dalam ruang tersebut. Pembatasan akses ini umumnya karena ketakutan terhadap kekerasan dan rapuhnya kondisi ruang publik.
2.4.4
Makna dan Hubungan Ruang Publik Manusia memiliki kebutuhan untuk terhubung dengan dunia dan
salah-satunya difasilitasi oleh ruang yang mereka tempati melalui aktivitas-aktivitas yang muncul di dalamnya. Sebuah ruang publik yang baik adalah ruang yang sesuai dengan pengguna dan budaya-nya, menyadarkan mereka terhadap komunitas, masa lalu, kehidupan, waktu serta ruang yang melingkupinya (Lynch dalam Carr, 1992). Agar
sebuah
ruang
publik
menjadi
bermakna
dan
dapat
menciptakan hubungan dengan manusia, sejumlah kebutuhan mendasar harus dipenuhi. Kebutuhan tersebut adalah ruang harus legible (Lynch dalam Carr, 1992) yaitu memiliki tanda yang dikenali dan dimengerti oleh calon pengguna, seperti tanda yang mengkomunikasikan diterima atau tidaknya mereka di dalam sebuah ruang publik. Legibility adalah kemampuan suatu ruang untuk mengkomunikasikan bahwa ruang tersebut terbuka bagi pengguna dan menggambarkan jenis aktivitas yang mungkin terjadi di dalamnya setelah mereka masuk. Konektifitas/hubungan dapat muncul bila sebuah ruang publik memiliki relefansi. Relefansi bekerja pada beberapa level, pada level pengguna sebuah ruang harus dapat memuaskan kebutuhan, sedangkan pada level budaya ruang harus sejalan dengan norma-norma budaya dan prakteknya. Konektifitas tidak hanya timbul dari segi sosial saja, tetapi juga dapat muncul melalui kualitas fisik dari ruang publik. Konektifitas secara fisik ini timbul akibat desain dan penataan ruang publik yang menjadi cerminan dari lingkungan sekitar. Selain itu keleluasaan untuk
35
melakukan claim dan perubahan terhadap suatu ruang juga dapat memancing tumbuhnya konektifitas dengan manusia. Selain konektifitas/hubungan manusia dengan ruang, hubungan dengan sesama manusia juga merupakan bagian yang penting dalam ruang publik. Hubungan yang muncul berupa hubungan budaya dari kelompok manusia dengan latar belakang yang sama. Hal ini diwujudkan dalam bentuk hubungan yang didapat oleh seseorang dalam suatu kelompok
akibat
kehadiran
orang
lain,
seperti
ketika
menonton
pertunjukkan, hubungan personal dengan keluarga, teman, atau orang yang dikenal karena berbagi tempat dalam menggunakan area publik. Agar suatu ruang publik memiliki makna maka beberapa persyaratan harus terpenuhi. Persyaratan tersebut yaitu ruang harus nyaman sehingga memungkinkan pengalaman dengannya muncul. Selain itu, ruang juga harus dapat menciptakan hubungan positif dengan manusia yang menimbulkan rasa memiliki, aman, dan perasaan hak-hak pribadi terlindungi.
36
2.5
Rangkuman Keberhasilan perancangan sebuah ruang publik terkait dengan
beberapa faktor yaitu kebutuhan dan hak manusia serta makna atau hubungan ruang publik tersebut bagi manusia. Pemenuhan kebutuhan dan hak calon pengguna menentukan digunakan atau tidaknya sebuah ruang publik. Bila ruang publik tersebut telah digunakan dengan baik, maka ia menjadi bermakna serta memiliki hubungan bagi penggunanya. Hal ini menjadi jaminan bahwa ruang publik tersebut dapat terus hidup dari waktu ke waktu. Dalam usaha mencapai kebutuhan dan hak-nya di ruang publik, manusia akan berprilaku sebagai sebuah respon terhadap bentuk fisik ruang, norma, peraturan, atau budaya yang berlaku. Apabila sebuah ruang yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan tidak sesuai dengan perilaku manusianya, maka ruang tersebut akan mengalami proses adaptasi dan bila tidak memungkinkan, akan ditinggalkan. Proses adaptasi inipun pada umumnya menyebabkan penurunan kualitas fisik ruang dan pada akhirnya ditinggalkan juga. Dari penjelasan di atas, terdapat korelasi antara faktor yang menentukan penggunanya,
keberhasilan sehingga
sebuah
ruang
diperlukan
publik
sebuah
dengan
pengamatan
perilaku yang
menjelaskan hubungan-hubungan ini. Maka untuk mencapai tujuan tersebut dibuat tabel analisa yang melibatkan faktor–faktor sebagai berikut :
37
Tabel 2.1 : Tabel analisis ruang publik (Carr, 1992)
Nilai Kebutuhan dalam ruang publik
Kebutuhan
Bentuk Realisasi
Kenyamanan • fisik • • • • •
Akses sinar matahari Orientasi Fleksibilitas Pemenuhan kebutuhan individu Pemenuhan kebutuhan kelompok Keragaman aktivitas
Kenyamanan • sosial dan • psikologi • • •
Akses visual Akses ke jalan dan jalur pedestrian Manajemen Perasaan aman Fasilitas pendukung
Rileksasi
• •
Interaksi pasif
• • • • •
Interaksi aktif • • • • Pengalaman perubahan ruang dan aktivitas
• • •
Aktivitas pasif (hubungan dengan elemen natural) Aktivitas aktif (hubungan dengan kehidupan kota & pemisahan dengan kendaraan) Mengamati pergerakan manusia Mengamati pertunjukkan dan kegiatan formal Kontak dengan elemen fisik (vista) Mengamati permainan dan pertandingan olah raga Menikmati karya seni publik Jembatan penghubung interaksi (ruang dan karya seni) Manipulasi elemen fisik Upacara, perayaan, dan festival Interaksi aktif dengan elemen alam Mengamati hal berbeda ketika bergerak melalui site (desain fisik dan juxtaposition) Perubahan kualitas fisik Perubahan jenis aktivitas
38
Nilai Hak dalam ruang publik
Kebutuhan
Bentuk Realisasi
Akses
• • •
Akses fisik Akses visual Akses simbolis
Kebebasan bertindak
• • •
Peraturan Tatanan fisik Kenyamanan psikologis untuk bertindak
Claim
• •
Teritorialitas Anonymity (hubungan pasif dengan lingkungan) Intimacy (hubungan aktif dengan lingkungan)
•
Makna dan konektifitas ruang publik
Perubahan
• •
Elemen temporer Elemen permanen
Kepemilikan dan disposisi
• •
Privatisasi penuh Kepemilikan komunitas
Bermakna
•
Legible (tanda)
Konektifitas
• • •
Memenuhi kebutuhan individual Budaya (norma dan prakteknya) Claim dan perubahan suatu tempat
Tabel analisa di atas digunakan sebagai dasar dalam melakukan pengamatan perilaku manusia di ruang publik (Cihampelas walk dan taman Tegalega) pada bab berikutnya.
39