BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bambu Secara Umum Bambu merupakan sumberdaya hutan bukan kayu yang termasuk dalam keluarga Graminae, suku Bambuseae, dan sub famili Bambusoideae. Bambu memiliki karakteristik seperti kayu. Bambu terdiri atas batang, akar rhizoma yang kompleks dan mempunyai sistem percabangan dan tangkai daun yang menyelubungi batang (Dransfield dan Widjaja 1995). Bambu merupakan tumbuhan yang batangnya berbentuk buluh, beruas, berongga, mempunyai cabang, berimpang, dan mempunyai daun buluh yang menonjol (Heyne 1987). Barly (1999) menyatakan bahwa bambu memiliki bentuk batang bulat, lancip, dan tidak ada pertumbuhan ke samping (radial growth) seperti pada kayu. Batangnya melengkung di bagian ujung sebagai akibat beban dari daun. Bagian batang yang lurus kurang lebih 2/3 dari keseluruhan panjang batang. Kulit batang tidak mengelupas, melekat kuat dan sukar ditembus oleh cairan. Dalam keadaan utuh, bambu relatif sukar atau lambat kering. Apabila pengeringan terlalu cepat akan mengalami pecah atau retak. Bambu merupakan tanaman serbaguna yang pertumbuhannya cepat dan mudah dalam pengerjaannya (Dransfield dan Widjaja 1995). Bambu dapat berkembang baik di daerah tropis dan sub tropis dengan preferensi iklim yang disukai adalah wilayah yang memiliki hujan lebat. Tanaman bambu di Indonesia ditemukan mulai dari dataran rendah sampai pegunungan. Pada umumnya ditemukan di tempat-tempat terbuka dan daerahnya bebas dari genangan air. 2.1.1. Sifat Anatomis Kolom bambu terdiri atas sekitar 50% parenkim, 40% serat dan 10% sel penghubung (pembuluh dan sieve tubes). Parenkim dan sel penghubung lebih banyak ditemukan pada bagian luar. Sedangkan susunan serat pada ruas
penghubung antar buku memiliki kecenderungan bertambah besar dari bawah ke atas sementara parenkimnya berkurang (Dransfield dan Widjaja 1995).
2.1.2. Sifat Fisis Kadar air cenderung bertambah dari bawah ke atas pada bambu yang berumur 1 - 3 tahun dan lebih banyak presentasenya saat musim penghujan dibandingkan dimusim kemarau. Biasanya bila batang bambu sudah berumur lebih dari tiga tahun akan mengalami penurunan kadar air. Kadar air batang bambu muda berkisar antara 50 - 99% dan dewasa berkisar 80 - 150% sedangkan pada batang bambu tua bervariasi antara 12 - 18% (Dransfield dan Widjaja 1995). Hasil penelitian Hadjib dan Karnasudirdja (1986) menunjukkan berat jenis bambu berkisar antara 0.55 - 0.71 kg/cm2. Nuriyatin (2000) menujukkan bahwa berat jenis bagian ujung bambu lebih tinggi daripada bagian pangkal bambu. Distribusi ikatan vaskuler dapat dijadikan sebagai indikasi nilai berat jenis bambu. Menurut Dransfield dan Widjaja (1995), dimensi digunakan sebagai parameter dalam penentuan berat jenis. 2.1.3. Sifat Kimia Penelitian sifat kimia bambu telah dilakukan oleh Gusmailina dan Sumadiwangsa (1988) meliputi penetapan kadar selulosa, lignin, pentosan, kadar abu, silika, serta kelarutan dalam air dingin, air panas, dan alokhol benzen. Hasil pengujian menunjukan bahwa kadar selulosa berkisar antara 42.4% - 53.6%. Kadar lignin bambu berkisar antara 19.8 -26.6%, sedangkan kadar pentosan 1.24% - 3.77%. Kadar abu 1.24% – 3.77%, kadar silika 0.10% - 1.78%, kadar ekstraktif (kelarutan dalam air dingin) 4.5% - 9.9%, kadar ekstraktif (kelarutan dalam air panas) 5.3% - 11.8 %, kadar ekstraktif (kelarutan dalam alkohol benzen) 0.9% - 6.9%. 2.2. Bambu Tali (Giganthochloa apus BI. Ex (Schult.f.) Kurz) Giganthochloa apus BI. Ex (Schult.f.) Kurz di Indonesia dikenal dengan nama bambu Apus atau bambu Tali, sedang diberbagai daerah bambu tersebut dikenal dengan nama awi tali (Sunda), pring tali, pring apus (Jawa). Bambu Tali tumbuh di daerah tropis yang lembab dan juga di daerah yang kering (Widjaja
2001). Bambu Tali dapat tumbuh di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 1000 m di atas permukaan air laut. Buluhnya mencapai tinggi 10 – 20 m, ruas 45 – 65 cm, diameter 5 – 8 cm, tebal 3 – 15 mm. Jenis bambu ini kuat dan lurus, baik untuk kerajinan anyaman karena seratnya panjang, kuat, dan lentur (Morisco 2005). 2.3. Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schult. F.) Backer ex Heyne) Bambu dengan nama botani Dendrocalamus asper (Schult. F.) Backer ex Heyne di Indonesia dikenal dengan nama bambu Petung. Di berbagai daerah, bambu yang termasuk jenis ini dikenal dengan nama buluh petong, buluh sawanggi, bambu batueng, pering betung, betong, bula lotung, awi bitung, jajang betung, pring petung, pereng petong, tiing petung, au petung, bulo paturig, dan awo petung. Bambu Betung mempunyai rumpun agak rapat, dapat tumbuh di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 2000 m di atas permukaan air laut. Pertumbuhan cukup baik khususnya untuk daerah yang tidak terlalu kering. Warna kulit batang hijau kekuning-kuningan. Batang dapat mencapai panjang 10 – 14 m, panjang ruas berkisar antara 40 – 60 cm, dengan diameter 6 – 15 cm, tebal dinding 10 – 15 mm. Bambu Betung banyak dipakai sebagai bahan bangunan, perahu, kursi, dipan, saluran air, penampung air aren hasil sadapan, dinding (gedek), dan berbagai jenis kerajinan (Morisco, 2005). 2.4. Kerajinan Bambu Industri kerajinan bambu merupakan kegiatan padat karya. Industri ini mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak untuk setiap satuan investasi. Menurut dinas perindustrian dan perdagangan kabupaten Tasikmalaya, industri kerajinan bambu mampu menyerap tenaga kerja 13899 orang yang tergabung dalam 1562 unit usaha. Kurang lebih lebih 20% produk kerajinan bambu adalah produk untuk pemenuhan ekspor. Sasaran konsumen luar negeri adalah para peminat kerajinan bambu dari Jepang, Jerman, dan Hongaria. Jenis produk kerajinan bambu yang diminati oleh konsumen-konsumen tersebut antara lain adalah aneka kerajinan bambu yang memiliki fungsi seperti tempat buah, baki lamaran, dan tempat sampah.
2.5. Finishing Kayu Finishing merupakan lapisan paling akhir pada permukaan kayu. Proses ini bertujuan antara lain untuk memberikan nilai estetika yang lebih baik pada perabot kayu, menutupi beberapa kelemahan kayu dalam hal warna, tekstur atau kualitas ketahanan permukaan pada material tertentu, dan juga untuk melindungi kayu dari kondisi luar, seperti cuaca, suhu udara ataupun benturan dengan barang lain. Dengan kata lain finishing dapat menambah daya tahan dan keawetan produk kayu itu sendiri. Material yang digunakan untuk finishing bisa bermacam-macam, cara aplikasinya pun berbeda-beda dilihat dari jenis material bahan yang digunakan. Pada dasarnya ada 2 macam jenis finishing untuk kayu atau material yang terbuat dari kayu, yaitu finishing bahan padat dan finishing bahan cair. Finishing bahan padat, merupakan material yang 100% bahannya menutupi permukaan kayu dan menyembunyikan tampak aslinya. Fisik bahan ini berupa lembaran atau rol. Paling baik dengan aplikasi secara masinal 100% dan populer untuk pemakaian mebel dalam ruangan dengan bahan dasar kayu lapis, MDF, hardboard, softboard, dan jenis lembaran lainnya. Finishing bahan cairan, sangat banyak jenis dan variasi aplikasinya. Paling populer digunakan pada hampir seluruh jenis mebel kayu. Bahan finishing ini bersifat lebih fleksibel daripada finishing dari jenis bahan yang padat. Sangat baik untuk finishing permukaan bidang lebar ataupun yang melengkung. Pada teknologi terbaru sekarang ini, jenis finishing akhir cairan bisa memiliki kualitas yang sama kuatnya pada permukaan yang lebar pada kayu lapis atau MDF(Anonim 2008). Jenis bahan finishing cair yang telah digunakan saat ini antara lain Minyak (Oil), Politur, Nitro Cellulose (NC), Melamin, Poly Urethane (PU), dan yang sedang populer saat ini adalah Waterbased Lacquer. Semua bahan finishing cair di atas membutuhkan minyak sebagai bahan pelarutnya kecuali Water Based Lacquer yang menggunakan air sebagai bahan pelarutnya. Penjelasan detail dan perbedaan dari masing-masing jenis finishing akan dibahas pada bagian lain dari topik finishing.
2.5.1. Bahan Finishing Aplikasi bahan finishing memberikan efek tampilan yang berbeda, dengan karakteristik yang khas. Dalam menentukan jenis bahan finishing, perlu diperhatikan dan ditentukan hasil akhir yang diinginkan. Dengan kata lain alasan mana yang paling menjadi prioritas dalam penerapan finishing pada sebuah produk kayu dilihat dari aspek keawetan, estetika, kemudahan aplikasi, biaya atau lingkungan. Ada beberapa bahan finishing dikategorikan pada beberapa jenis yang sederhana sebagai berikut: 2.5.1.1. Minyak (Oil) Merupakan jenis bahan finishing paling sederhana dan mudah dalam aplikasinya. Bahan ini tidak membentuk lapisan film pada permukaan kayu. Minyak meresap ke dalam pori-pori kayu dan tinggal di dalamnya untuk mencegah air keluar atau masuk pori-pori kayu. Cara aplikasinya mudah, yaitu dengan cara menyiram, merendam atau melumuri benda kerja dengan minyak kemudian dibersihkan dengan kain kering. Bahan ini tidak memberikan keawetan pada aspek benturan, goresan ataupun benturan fisik lainnya. 2.5.1.2. Politur Bahan dasar finishing ini adalah shellac yang berwujud serpihan atau batangan kemudian dicairkan dengan alkohol. Bahan ini dapat diperoleh dalam bentuk siap pakai (sudah dicampur alkohol pada proporsi yang tepat). Di sini alkohol bekerja sebagai pelarut (solvent). Setelah diaplikasikan ke benda kerja, alkohol akan menguap. Aplikasinya dengan cara membasahai kain (sebaiknya yang mengandung katun) dan memoleskannya secara berkala pada permukaan kayu hingga mendapatkan lapisan film yang tipis pada permukaan kayu. Semakin banyak polesan akan membuat lapisan semakin tebal. 2.5.1.3. NC Lacquer
Jenis yang saat ini populer dan mudah diaplikasikan adalah NC (Nitro Cellulose) lacquer. Bahan finishing ini terbuat dari resin Nitrocellulose/alkyd yang dicampur dengan bahan pelarut yang cepat kering, yang dikenal dengan sebutan thinner. Bahan ini tahan air (tidak rusak apabila terkena air) tapi masih belum kuat menahan goresan. Kekerasan lapisan film NC tidak cukup keras untuk menahan benturan fisik. Bahkan walaupun sudah kering, NC bisa dikupas dengan menggunakan bahan pelarutnya (solvent/thinner). Cara aplikasinya dengan sistem semprot (spray) dengan tekanan udara.
2.5.1.4. Melamin Sifat melamin hampir sama dengan bahan NC. Memiliki tingkat kekerasan lapisan film lebih tinggi dari NC akan tetapi bahan kimia yang digunakan akhirakhir ini menjadi sorotan para konsumen karena berbahaya bagi lingkungan. Melamin mengandung bahan formaldehid paling tinggi di antara bahan finishing yang lain. Formaldehid ini digunakan untuk menambah daya ikat molekul bahan finishing. Pewarnaan juga lebih bervariasi pada bahan ini.
2.5.1.5. PU (PolyUrethane) Lebih awet dibandingkan dengan jenis finishing sebelumnya dan lebih tebal lapisan filmnya. Bahan finishing membentuk lapisan yang benar-benar menutup permukaan kayu sehingga terbentuk lapisan seperti plastik, memiliki daya tahan terhadap air dan panas sangat tinggi. Sangat baik untuk finishing produk di luar ruangan, kusen, dan pintu luar atau pagar. Proses pengeringannya juga menggunakan bahan kimia cair yang cepat menguap. 2.5.1.6. UV Lacquer Satu-satunya aplikasi yang paling efektif saat ini dengan 'curtain method'. Suatu metode aplikasi seperti air curahan yang membentuk tirai. Benda kerja diluncurkan melalui 'tirai' tersebut dengan kecepatan tertentu sehingga membentuk lapisan yang cukup tipis pada permukaan kayu. Disebut UV lacquer karena bahan finishing ini hanya bisa dikeringkan oleh sinar Ultra Violet (UV). Paling tepat untuk benda kerja dengan permukaan lebar, papan atau kayu lapis.
2.5.1.7. Waterbased Lacquer Jenis finishing yang paling populer akhir-akhir ini bagi para konsumen di Eropa. Menggunakan bahan pelarut air murni (yang paling baik) dan resin akan tertinggal di permukaan kayu. Proses pengeringannya otomatis lebih lama dari jenis bahan finishing yang lain karena penguapan air jauh lebih lambat daripada penguapan alkohol ataupun thinner. Namun kualitas lapisan film yang diciptakan tidak kalah baik dengan NC atau melamin. Tahan air dan bahkan sekarang sudah ada jenis water based lacquer yang tahan goresan. Keuntungan utama yang diperoleh dari bahan jenis ini adalah lingkungan dan sosial. 2.5.2. Tahap Finishing Agar hasil proses finishing maksimal, perlu diperhatikan proses tahapan aplikasi bahan finishing (Sunaryo 1997). Berikut tahapan yang dilakukan dalam proses finishing: 2.5.2.1. Persiapan Permukaan atau Pengampelasan Persiapan permukaan adalah proses menghilangkan bagian kasar, meratakan, dan menghaluskan permukaan kayu sehingga tampak lebih indah dan dapat menerima bahan finishing dengan lebih rata. Prinsip pertama dan yang utama pada persiapan kayu sebelum finishing adalah untuk membersihkan defect dan cacat kayu sebersih mungkin. Walaupun pada kayu akan tetap ada cacat yang tidak bisa dihilangkan sama sekali. Alat yang digunakan biasanya berupa kertas ampelas dengan berbagai tingkat kehalusan (dalam satuan grit atau nomor). Pengampelasan dilakukan secara bertahap berdasarkan grit ampelas. Setelah melalui proses mesin atau alat tukang kayu (ketam, serut dll), grit ampelas pertama yang optimal bisa menggunakan no 80/100 untuk memotong serat besar, marking mesin, dan ujungujung kasar lainnya. Kemudian dilanjutkan dengan grit 120, 220/240. Pada level ini garis-garis kasar serat sudah tidak terlihat lagi. Apabila perlu dilanjutkan dengan grit 320, tergantung dari jenis kayu yang digunakan. Beberapa jenis kayu keras memerlukan pengampelasan hingga grit 320 sebelum finishing. Pengampelasan dapat berlawanan arah serat hanya pada pengampelasan pertama, pada waktu menggunakan ampelas kasar (grit 80/100). Langkah ini
berfungsi untuk mempercepat dan memotong serat kayu yang kasar dan membersihkannya dari cacat-cacat kayu lebih cepat, kemudian pengampelasan harus dilanjutkan searah serat kayu hingga sebelum bahan finishing diaplikasikan. Apabila pengamplasan dilakukan secara manual, sebaiknya menggunakan sebatang kayu yang dilapis dengan bahan lebih lunak dengan ukuran sekitar (80 x 40 x 20) mm sebagai 'klos' amplas. Klos ini akan membantu membuat alur pengamplasan lebih rata dan datar. 2.5.2.2. Pengisian Permukaan Atau Pendempulan (Filling) Filler merupakan bahan yang dibutuhkan untuk menutup pori-pori yang memiliki serat terbuka (open-grained woods) sebelum lapisan akhir diaplikasikan agar bahan finishing tidak meresap kedalam pori-pori kayu dan juga untuk menghasilkan permukaan bidang kerja yang rata dan seragam. Filler yang dipakai boleh berpelarut air (water base) atapun berpelarut minyak (oil base). 2.5.2.3. Pewarnaan Dasar (Staining) Stain digunakan untuk mewarnai kayu tanpa menghilangkan corak permukaan kayu. Pewarna ini meresap bersama-sama dengan bahan finishing sehingga efek yang ditimbulkan adalah transparasi warna. Serat kayu masih bisa terlihat jelas apabila menggunakan metode pewarnaan dengan stain. Semakin tebal lapisan warna yang diaplikasikan pada benda kerja hanya akan membuat hasil warna finishing menjadi lebih gelap tetapi tidak menutup serat kayu. Stain bisa diaplikasikan pada dua tahap yang berbeda. Saat awal sebelum lapisan pertama, yaitu pada saat kayu masih mentah atau dicampur dengan bahan finishing. Warna stain bisa diaplikasikan pada permukaan kayu dengan menggunakan kuas, kain, atau semprot langsung. Dengan cara ini warna akan meresap ke dalam serat kayu dan lebih mudah mengatur warna yang dihasilkan. Pada cara pewarnaan dengan stain dengan dicampur bahan pelapis, sebaiknya campuran dilakukan pada lapisan dasar sedikit, kemudian ditambahkan pada lapisan tengah. Tidak disarankan untuk mencampur bahan pewarna pada lapisan paling akhir. 2.5.2.4. Penutupan Permukaan (Sealing)
Sealer diberikan dengan tujuan untuk membatasi antara stain dengan bahan pelapis akhir (top coat) sehingga dapat mencegah perpindahan bahan lapisan akhir ke dalam kayu atau sebaliknya. Sealer juga dapat menebalkan lapisan film sehingga mempunyai kemampuan menutup lekukan atau mengisi permukaan kayu yang tidak rata. Fungsi lainnya yaitu menebalkan lapisan film supaya dapat diampelas dengan renyah dan tidak lengket pada kertas ampelas. Karena itu, hasilnya rata dan halus, siap sebagai dasar lapisan tahap berikutnya. Sealer yang mengandung filler disebut sanding sealer. 2.5.2.5. Pengecatan Akhir (Top Coating) Top coat adalah bahan pelapis yang diberikan pada urutan terakhir proses fnishing yang membentuk lapisan tipis yang melindungi dan memberikan kesan indah terhadap permukaan yang dilapisi. Bahan-bahan untuk top coat dapat berupa varnish, lacquer atau cat. Varnish merupakan kelompok top coat yang memberikan lapisan film transparan pada permukaan bahan yang terdiri dari copal gum dan linseed oil yang dicampur dengan terpentin sebagai pelarutnya. Lacquer merupakan produk yang dihasilkan dari bagian gubal kayu Renghas yang memiliki sifat bersih transparan dan tembus cahaya. Cat adalah bahan pelapis yang mengandung pigmen. 2.6. Teknik Batik Sebagai Metode Finishing 2.6.1. Sejarah Batik Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Teknik membatik telah dikenal sejak ribuan tahun silam. Tidak ada keterangan sejarah yang cukup jelas tentang asal usul batik. Ada yang menduga teknik ini berasal dari bangsa Sumeria, kemudian dikembangkan di Jawa setelah dibawa oleh para pedagang India. Saat ini batik bisa ditemukan di banyak negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, India, Sri Lanka, dan Iran. Selain di Asia, batik juga sangat populer di beberapa negara di benua Afrika. Walaupun demikian, batik yang sangat terkenal di dunia adalah batik yang berasal dari Indonesia, terutama dari Jawa. Kata batik berasal dari bahasa Jawa "amba" yang berarti menulis dan "nitik". Kata batik sendiri merujuk pada teknik pembuatan corak dengan
menggunakan canting atau cap dan pencelupan kain dengan menggunakan bahan perintang warna corak yaitu malam (wax) yang diaplikasikan di atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna. Dalam bahasa Inggris teknik ini dikenal dengan istilah wax-resist dyeing. Jadi kain batik adalah kain yang memiliki ragam hias atau corak yang dibuat dengan canting dan cap dengan menggunakan malam sebagai bahan perintang warna. Teknik ini hanya bisa diterapkan di atas bahan yang terbuat dari serat alami seperti katun, sutra, wol dan tidak bisa diterapkan di atas kain dengan serat buatan (polyester). 2.6.2. Alat-Alat dan Bahan Membatik 2.6.2.1. Canting Canting merupakan alat menggambar, yaitu untuk menuliskan cairan malam pada media batik dalam membuat corak. Canting terbuat dari tembaga ringan, mudah dilenturkan, tipis namun kuat yang berbentuk seperti teko kecil dan mempunyai corong berlubang sebagai tempat mengalirnya cairan malam. Tembaga ini dipasangkan pada gagang buluh bambu atau kayu yang ramping. 2.6.2.2. Lilin/Malam (Wax) Lilin atau malam digunakan pada pembuatan batik sebagai media penerapan ragam hias desain batik dan berfungsi sebagai bahan perintang warna atau resist agent. Jenis lilin batik bermacam-macam sesuai dengan fungsi dan kegunaannya dilihat dari segi kekuatan dan luas bidang yang akan dirintangi. Macam-macam lilin adalah: a. Lilin batik klowong Lilin ini berfungsi sebagai media penerapan ragam hias atau desain batik yang dikerjakan secara ngengreng dan nerusi (bolak-balik pada kedua permukaan kain), yaitu kerangka motif batik terdiri dari ornamen-ornamen pokok dan pengisi serta isen-isennya (motif penghias ornamen pokok dan pengisi seperti cecek, sawut dsb). Lilin klowong mempunyai sifat antara lain, mudah encer dan membeku, dapat membuat garis motif yang tajam, daya lekatnya cukup tapi mudah lepas atau remuk, mudah tembus pada kain tapi mudah dilorot, tidak terlalu tahan terhadap alkali, mudah lepas
dalam rendaman air, dan tidak meninggalkan bekas setelah dikerok maupun dilorot. b. Lilin batik tembokan (popokan) Lilin ini berfungsi menutup bagian motif yang akan tetap putih, menutup dasaran kain agar tetap putih (disebut nembok/mopok), menutup pinggiran pada kain panjang (seret). Lilin tembok mempunyai sifat antara lain, lama mencair dan cepat membeku, daya lekatnya sangat kuat sehingga tidak mudah lepas/remuk, mudah meresap pada kain, tahan terhadap larutan alkali, tidak mudah lepas dalam rendaman air, sukar dilorot, dan tidak meninggalkan bekas setelah dilorot. c. Lilin batik tutupan/biron Lilin ini berfungsi menutup bagian motif yang akan dipertahankan warnanya setelah dicelup atau dicolet, menutupi warna biru wedel/biru tua (mbironi) setelah sebagain lilin dikerok atau dilorot, merining yaitu memberi efek titik-titik/cecek pada bagian kerangka motif/klowongan. Lilin batik tutupan/biron mempunyai sifat antara lain, mudah mencair dan membeku, daya lekat cukup, mudah tembus dalam kain, tidak tahan dalam larutan alkali, dan mudah dilorod. Sifat-sifat lilin batik sesuai jenisnya tersebut sangat tergantung dan dipengaruhi oleh sifat-sifat bahan sebagai unsur campuran pembentuk lilin batik seperti damar mata kucing, gondorukem, parafin, lilin lebah/kote/lilin gombal, lilin mikro, dan lemak binatang atau minyak nabati. Komposisi bahan lilin tersebut disesuaikan menurut fungsinya dan kegunaannya, karenanya unsur bahan lilin batik mempunyai peranan penting untuk mendapatkan spesifikasi lilin serta ikut menentukan kualitas batiknya. 2.6.2.3. Bahan Pewarna Pewarna atau zat pewarna batik adalah zat warna tekstil yang dapat digunakan dalam proses pewarnaan batik baik dengan cara pencelupan maupun coletan pada suhu kamar sehingga tidak merusak lilin sebagai perintang warnanya. Berdasarkan asalnya zat pewarna batik dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu pewarna alami dan pewarna buatan. Pewarna alami didapat
langsung dari alam seperti kulit kayu tingi, kayu tegeran, dan daun tom/nila. Pewarna buatan didapat dari zat warna yang dibuat menurut reaksi-reaksi kimia tertentu. Jenis zat warna sintetis untuk tekstil cukup banyak, namun hanya beberapa diantaranya yang dapat digunakan sebagai pewarna batik. Hal ini dikarenakan dalam proses pewarnaan batik suhu pencelupan harus pada suhu kamar. Adapun zat warna yang biasa dipakai untuk mewarnai batik antara lain: a. Zat warna reaktif Zat warna reaktif umumnya dapat bereaksi dan mengadakan ikatan langsung dengan serat sehingga merupakan bagian dari serat tersebut. Jenisnya cukup banyak dengan nama dan struktur kimia yang berbeda tergantung pabrik yang membuatnya. Salah satu yang saat ini sering digunakan untuk pewarnaan batik adalah remazol. Ditinjau dari segi teknis praktis pewarnaan batik dengan remazol dapat digunakan secara pencelupan, coletan maupun kuasan. Zat warna ini mempunyai sifat antara lain, larut dalam air, mempunyai warna yang briliant dengan ketahanan luntur yang baik, dan daya afinitasnya rendah. Untuk memperbaiki sifat tersebut pada pewarnaan batik dapat diatasi dengan cara kuasan dan fixasi menggunakan Natrium Silikat. b. Zat warna indigosol Zat warna indigosol adalah jenis zat warna bejana yang larut dalam air. Larutan zat warnanya merupakan suatu larutan berwarna jernih. Pada saat kain dicelupkan ke dalam larutan zat warna belum diperoleh warna yang diharapkan. Setelah dioksidasi atau dimasukkan ke dalam larutan asam (HCl atau H2SO4) akan diperoleh warna yang dikehendaki. Obat pembantu yang diperlukan dalam pewarnaan dengan zat warna indigosol adalah Natrium Nitrit (NaNO2) sebagai oksidator. Warna yang dihasilkan cenderung warna-warna lembut atau pastel. Dalam pembatikan zat warna indigosol dipakai secara celupan maupun coletan. c. Zat warna napthol Zat warna ini merupakan zat warna yang tidak larut dalam air. Untuk melarutkannya diperlukan zat pembantu kostik soda. Pencelupan napthol dikerjakan dalam 2 tingkat. Pertama pencelupan dengan larutan
naptholnya sendiri (penaptholan). Pada pencelupan pertama ini belum diperoleh warna atau warna belum timbul. Kemudian dicelup tahap kedua atau dibangkitkan dengan larutan garam diazodium, maka akan diperoleh warna yang dikehendaki. Tua muda warna tergantung pada banyaknya napthol yang diserap oleh serat. Dalam pewarnaan batik zat warna ini digunakan untuk mendapatkan warna-warna tua dan hanya dipakai secara pencelupan. Jenis tampilan warna napthol dapat dilihat pada Gambar 1. d. Zat warna rapid Zat warna ini adalah napthol yang telah dicampur dengan garam diazodium
dalam
bentuk
yang
tidak
dapat
bergabung.
Untuk
membangkitkan warna difixasi dengan asam sulfat atau asam cuka. Dalam pewarnaan batik, zat warna rapid hanya dipakai untuk pewarnaan secara coletan.
Gambar 1. Ragam pewarna napthol