BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Herba Seledri 2.1.1 Klasifikasi Tanaman Seledri Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub-divisi
: Angiospermae
Kelas
: Magnolisia
Sub-kelas
: Rosidace
Ordo
: Apiacedes
Keluarga
: Apiaceae
Genus
: Apium
Spesies
: Apium graveolens
Nama Binomial : Apium graveolens Linn. (Fazal and Singla, 2012) 2.1.2 Deskripsi Herba Seledri Herba seledri adalah herba Apium graveolens Linn. dari suku Apiaceae. Daun seledri berupa daun tipis, rapuh, bentuk belah ketupat miring, panjang 2-8 cm, lebar 2-5 cm, pangkal dan ujung anak daun runcing, panjang tangkai anak daun 1-3 cm. Herba seledri berwarna hijau tua dengan bau dan rasa yang khas (Kemenkes RI, 2010).
5
6
Gambar 2.1 Herba Seledri dari Daerah Pancasari Buleleng Bali Tanaman seledri dapat hidup di dataran tinggi maupun rendah. Untuk dapat memperoleh kualitas tanaman yang baik, seledri membutuhkan suhu tumbuh berkisar antara 15-24oC. Berdasarkan sentra penanaman seledri di berbagai wilayah di Indonesia, tanaman ini dapat dikembangkan di daerah dengan ketinggian tempat 1.000 – 1.200 mdpl (Rukmana, 1995). 2.1.3 Kandungan Kimia Herba Seledri Kandungan zat aktif dari herba seledri yaitu flavo-glukosida (apiin dan apigenin), malt, zat pahit, vitamin, kolin, dan lipase (Depkes RI, 1989). Senyawa fenol yang ada dalam seledri terdiri dari flavonoid apiin, apigenin, dan isokuersitrin Senyawa lain yakni tannin, selerin, bergapten, apiumosida, apiumetin, apigravrin, ostenol, isopimpinellin, isoimperatorin, selereosida, dan 8hidroksi metoksipsoralen. Minyak atsiri terdiri dari limonen (60%), beta-selinen (10–15%), phthalida, apiol, sesquiterpen alkohol (1-3%) seperti eusdemol, butil ftalida dan sedanelida (Al-Snafi, 2014). 2.1.4 Manfaat Herba Seledri Herba seledri merupakan salah satu tanaman obat yang memiliki khasiat yang penting bagi manusia. Herba seledri secara turun-temurun telah digunakan
7
sebagai obat tradisional untuk memperlancar pencernaan, penyembuhan demam, flu, penambah nafsu makan (Fazal and Singla, 2012), dan penurun tekanan darah tinggi (Muzakar dan Nuryanto, 2012). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kandungan senyawa kimia dalam herba seledri memiliki aktivitas sebagai antimikroba (Sipailiene et al., 2003), antihipertensi (Dewi dkk., 2010), antioksidan (Jung, et al., 2011), antiketombe (Mahataranti dkk., 2012), antidepresan (Desu and Sivaramakhrisna, 2012), dan anti-inflamasi (Arzi et al., 2014).
2.2 Apiin (Apigenin 7-O-apioglukosida) Apiin atau Apigenin 7-O-apioglukosida merupakan kandungan senyawa kimia penanda dalam herba seledri (Kemenkes RI, 2010). Apiin merupakan glikon dari apigenin, keduanya merupakan senyawa flavon glikosida (Markham, 1988). Kandungan apiin total dalam herba seledri tidak kurang dari 0,60% b/v (Kemenkes RI, 2010).
Gambar 2.2 Struktur Kimia Apiin (Kemenkes RI, 2010) Apiin merupakan senyawa dalam herba seledri yang bertanggungjawab atas penurunan tekanan darah baik pada tekanan darah sistolik maupun diastolik (Muzakar and Nuryanto, 2012). Apiin memiliki pola spektrum dengan dua
8
puncak, yaitu puncak pita I berada pada panjang gelombang 333 nm dan puncak pita II pada panjang gelombang 268 nm (Markham, 1988).
2.3 Metode Ekstraksi Ekstraksi merupakan teknik pemisahan suatu zat dari campurannya dengan menggunakan pelarut yang sesuai (Kristanti dkk., 2008). Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa nonpolar dalam pelarut nonpolar. Teknik pemisahan senyawa aktif yang terkadung dalam herba seledri dilakukan dengan ekstraksi padat-cair dengan bantuan ultrasonik (sonikasi). Gelombang ultrasonik digunakan untuk menimbulkan gelembung kavitasi pada material larutan. Ketika gelembung pecah dekat dengan dinding sel maka terbentuk gelombang listrik dan pancaran cair yang akan membuat dinding sel pecah. Pecahnya dinding sel akan membuat komponen di dalam sel keluar dan bercampur dengan larutan. Metode ekstraksi ini lebih cepat dan efisien dibandingkan dengan maserasi dan sokhletasi (Ashley et al., 2001).
2.4 Kromatografi Sidik Jari (Fingerprint) Kromatografi sidik jari tanaman merupakan pola kromatografi dari senyawa aktif farmakologi atau komponen kimia khas yang terkadung dalam ekstrak tanaman (Giri et al., 2010). Kromatografi sidik jari metode yang sering digunakan sebagai metode standardisasi di negara maju. Dalam beberapa tahun terakhir, kromatografi sidik jari lebih efektif digunakan untuk identifikasi
9
kandungan kimia tanaman herbal, terutama jika terbatasnya senyawa standar untuk identifikasi komponen kimia dari tanaman herbal (Giri et al., 2010). Kromatografi sidik jari selain digunakan untuk identifikasi, juga digunakan sebagai pendekatan untuk menunjukkan pola komponen kimia yang didistribusikan dalam obat herbal. Pola komponen kimia dari kromatografi sidik jari terdiri dari puncak-puncak yang menyajikan komposisi kromatografi yang unik dari suatu sampel dalam kromatogram. Puncak kromatografi diperoleh dan digunakan sebagai variabel untuk karakteristik kimia yang dibandingkan dengan puncak kromatografi referensi. Pola kromatogram tersebut dapat digunakan untuk menentukan tingkat kesamaan sampel herbal yang dianalisis. Pola kromatogram tersebut merupakan data yang jauh lebih objektif dibandingkan dengan pengamatan visual pada KLT. Kesamaan kromatografi sidik jari dinyatakan dalam fungsi kosinus dan koefisien korelasi (Goodarzi et al., 2013). Contoh profil KLT dan sidik jari HPTLC dari tanaman dapat dilihat pada gambar 2.3 dan 2.4.
(a) (b) (c) Gambar 2.3 Profil KLT Ekstrak Etil Asetat dari Tiga Buah-Buahan Umbelifera: (a) UV 254 nm; (b) UV 366 nm; (c) di bawah sinar putih setelah diderivatisasi dengan vanilin-asam sulfat; (1) Trachyspermum roxburghianum; (2) Apium graveolens; (3) Apium leptophyllum (Saraswathy et al., 2013)
10
(1)
(2)
(3)
Gambar 2.4 Profil Sidik Jari HPTLC Ekstrak Etil Asetat dari Tiga Buah-buahan Umbelifera:
(1)
Trachyspermum
roxburghianum;
(2)
Apium
graveolens; (3) Apium leptophyllum (Saraswathy et al., 2013)
Saraswathy et al. (2013) telah melakukan penelitian mengenai pola fitokimia buah dari tanaman umbelifera berdasarkan aspek TLC/HPTLC. Sampel yang digunakan adalah ekstrak n-heksan dan etil asetat dari tanaman Trachyspermum roxburghianum, Apium graveolens, dan Apium leptophyllum. Fase gerak yang digunakan adalah toluen : etil asetat (7:1 v/v) untuk ekstrak nheksan, dan toluen : etil asetat (4:1 v/v) untuk ekstrak etil asetat. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pola kromatogram dan rasio puncak kromatogram, seperti kondisi analisis dan faktor geografis. Perbedaan kondisi analisis seperti suhu dan kelembaban akan menghasilkan perbedaan data sidik jari, meskipun berasal dari sampel yang sama (Feng and Runyi, 2005). Contohnya adalah suhu pengeringan sampel simplisia rimpang kunyit di bawah sinar matahari, diangin-anginkan, dan dalam oven dengan suhu 60oC, menghasilkan nilai ketidakmiripan sidik jari kromatografi hingga 3,17% berdasarkan fungsi kosinus (Wirasuta dkk., 2014). Tanaman yang sama yang berasal dari geografis berbeda memiliki komposisi dan konsentrasi yang berbeda
11
sehingga akan mempengaruhi pola kromatogram dan rasio masing-masing puncak (Feng and Runyi, 2005). Contohnya adalah sampel simplisia rimpang lengkuas yang didapatkan dari Provinsi Bali, Jawa Barat, dan D. I. Yogyakarta menunjukkan adanya variasi sidik jari kromatografi dengan nilai koefisien variasi di atas 2% (Laksmiani dkk., 2014). Pola komatografi sidik jari yang diperoleh juga sangat tergantung pada derajat pemisahan kromatografi dan distribusi konsentrasi setiap komponen kimia (Mendes, 2013). Terdapat beberapa teknik kromatografi, seperti kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT), kromatografi gas (KG), elektroforesis kapiler dan kromatografi lapis tipis (KLT) yang dapat digunakan untuk memperoleh profil kromatografi sidik jari (Liang et al., 2004).
2.5 KLT-Spektrofotodensitometri Kromatografi lapis tipis merupakan bentuk kromatografi planar dengan fase diam berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, plat aluminium, atau plat plastik. Fase gerak dikenal sebagai pengelusi yang akan bergerak di sepanjang fase diam (Kemenkes RI, 2014). Metode ini dapat digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa yang tidak volatil atau senyawa yang sifat volatilitasnya rendah, senyawa dengan polaritas rendah hingga tinggi, bahkan untuk memisahkan senyawa-senyawa ionik (Deinstrop, 2007). Spektrofotodensitometri adalah metode analisis instrumental yang berdasarkan interaksi antara radiasi elektromagnetik dari sinar UV-Vis dengan
12
analit yang merupakan noda pada plat. Intensitas REM dari analit akan diukur oleh detektor baik dalam bentuk radiasi yang ditransmisikan ataupun yang direfleksikan oleh senyawa sampel (Sherma and Fried, 1996). Beberapa
keunggulan
metode
KLT
dengan
kombinasi
spektrofotodensitometri adalah: 1. Cepat, karena umumnya tidak membutuhkan preparasi sampel secara khusus. 2. Dapat digunakan untuk analisis sampel dengan jumlah yang banyak pada satu plat dengan sekali jalan; 3. Adanya instrumen pemindai modern yang dikontrol dengan komputer, instrumen aplikasi sampel semi otomatis maupun otomatis, serta instrumen pengembangan dapat membantu memberikan akurasi dan presisi yang setara dengan metode HPLC maupun GC. 4. Sistem kromatografi yaitu fase gerak dan fase diam dapat dengan mudah dimodifikasi sesuai kebutuhan; 5. Dalam hal konsumsi pelarut pengembang, metode KLT tergolong hemat, sehingga dapat meminimalkan biaya untuk pembelian pelarut. 6. Kombinasi
KLT dengan
spektrofotodensitometer dapat
dilakukan
pengulangan pada tahap pemindaian. (Sherma and Fried, 1996). Metode KLT-spektrofotodensitometri akan menampilkan hasil berupa profil kromatogram, spektrum, nilai Rf, panjang gelombang maksimum, dan hal
13
tersebut merupakan bagian dari kromatografi sidik jari (Goodarzi et al., 2013; Liang et al.,2004). Beberapa faktor yang dapat menjadi parameter kualitas sidik jari kromatografi adalah daya pisah atau resolusi (Rs) dan faktor asimetri atau tailling factor (Tf). a. Resolusi (Rs) Puncak-puncak dalam kromatogram harus terpisah secara sempurna satu sama lain untuk mendapatkan pemisahan campuran senyawa dalam sampel yang baik. Tingkat pemisahan antara puncak-puncak kromatografi merupakan fungsi jarak antara puncak maksimal dan lebar puncak yang bersebelahan Untuk puncak Gaussian, hal ini cukup digambarkan dengan resolusi atau daya pisah puncak (Ahuja and Dong, 2005). Rumus untuk menghitung resolusi (Rs) dapat dilihat pada persamaan 1.
Keterangan: Rs = nilai resolusi tR1 = waktu retensi / jarak tempuh puncak 1 tR2 = waktu retensi / jarak tempuh puncak 2 Wb1 = lebar puncak 1 Wb2 = lebar puncak 2 Sebagaimana ditunjukkan oleh persamaan di atas, resolusi komponenkomponen dalam kromatografi tergantung pada waktu retensi relatif (tR) pada sistem kromatografi tertentu dan tergantung pada lebar puncak (Wb). Untuk mengoptimisasi parameter-parameter ini agar diperoleh resolusi yang maksimal,
14
maka
diperlukan
suatu
pemahaman
terhadap
sifat
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya. Harga Rs yang baik adalah ≥ 1,5 (Ahuja and Dong, 2005).
Gambar 2.5 Perhitungan Resolusi (Rs) (Ahuja and Dong, 2005) b. Faktor Asimetri atau Tailling Factor (Tf) Suatu situasi yang menunjukkan kinerja kromatografi yang kurang baik adalah ketika ditemukan suatu puncak yang mengalami pengekoran (tailling) sehingga menyebabkan puncak tidak simetris. Jika puncak yang akan dikuantifikasi tidak simetris (asimetri), maka suatu perhitungan asimetrisitas merupakan cara yang berguna untuk mengontrol atau mengarakterisasi sistem kromatografi. Puncak asimetri muncul karena berbagai faktor. Peningkatan puncak yang asimetri akan menyebabkan penurunan resolusi, batas deteksi, dan presisi. Contoh puncak asimetri dapat dilihat pada gambar 2.6.
Gambar 2.6 Perhitungan Tailling Factor (Tf) (Ahuja and Dong, 2005).
15
Berdasarkan gambar tersebut nilai Tailling Factor (Tf) dapat dihitung dengan persamaan 2.
Keterangan: Tf = nilai tailing factor W = lebar puncak kromatogram f = lebar setengah puncak kromatogram Dalam kondisi ideal, puncak kromatografi akan memiliki bentuk puncak Gaussian yaitu puncak simetri sempurna. Pada kenyataannya, sebagian besar puncak dapat mengalami tailing. Seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.4, Tailling factor (Tf) adalah ukuran dari puncak asimetri. Dalam perhitungan ini digunakan lebar puncak pada ketinggian puncak 5% (W0,05). Tailling factor untuk sebagian besar puncak berada antara 0,9 dan 1,4, dengan nilai 1,0 mengindikasikan puncak simetris sempurna. Puncak tailing biasanya disebabkan oleh adsorpsi atau interaksi kuat lain dari analit dengan fase diam sementara puncak sepertinya dapat disebabkan oleh kolom overloading, reaksi kimia atau isomerisasi selama proses kromatografi (Ahuja and Dong, 2005).
2.6 Analisis Fungsi Korelasi Silang Untuk membandingkan bentuk spektrum Apiin digunakan analisis fungsi korelasi silang. Nilai koefisien korelasi (r) dihitung dengan persamaan 3. ..........................................................................................
(3)
16
Dimana xi dan yi adalah harga absorban unit dari dua spektrum yang dibandingkan pada suatu panjang gelombang, penjumlahan dilakukan pada rentang panjang gelombang yang sesuai dengan analit. Dua spektrum dikatakan identik jika memiliki nilai r ≥ 0,95 dengan nilai koefisien variasi < 2% (Harmita, 2004).
2.7 Analisis Data dengan Fungsi Kosinus Fungsi kosinus digunakan untuk menentukan hubungan kedekatan sampel satu dengan sampel lainnya dalam sidik jari kromatografi. Fungsi kosinus dalam sidik jari kromatografi menyatakan hubungan kedekatan antara dua vektor. Puncak-puncak kromatogram dan luas area di bawah puncak adalah karakteristik untuk setiap senyawa penyusun sampel. Korelasi antar sampel dapat dihitung dengan memanfaatkan data tersebut dan memasukkan ke dalam fungsi kosinus. Hubungan antar sampel ditentukan oleh koefisien korelasi antar sampel. Hubungan tersebut dapat digambarkan sebagai sudut yang dibentuk dua vektor (Esseiva, et al., 2003).
Gambar 2.7 Sketsa Sudut di Antara Dua Vektor (Esseiva, et al., 2003).
17
Untuk menentukan kedekatan antara dua vektor, dilakukan penghitungan sudut tersebut. Dengan mengikuti aturan vektor, nilai korelasi antara dua kromatogram dapat dihitung dengan persamaan (4): ……………………………………. (4)
Pada persamaan di atas C merupakan nilai kosinus; a1, a2, a3, …, an menyatakan besaran atau nilai dari variabel 1 sampai dengan n untuk kromatogram a, dan demikian juga b1, b2, …, bn menyatakan variabel 1 sampai dengan n untuk kromatogram b. Pada fungsi kosinus, dua kromatogram yang dibandingkan merupakan dua vektor yang akan membentuk sudut. Semakin kecil sudut vektor dua kromatogram, maka semakin dekat hubungan dua kromatogram yang dibandingkan. Nilai C akan mendekati 100 jika sudut yang dibentuk antara dua vektor semakin kecil (Esseiva, et al., 2003).