BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1
Karakteristik Minyak Minyak bumi merupakan campuran berbagai macam zat organik. Minyak bumi disusun dari komponen pokok yaitu hidrokarbon yang tersusun dari unsur hidrogen dan karbon. Minyak bumi dihasilkan dan didapat secara langsung dari fosil. Karena itu minyak bumi dikatakan sebagai salah satu dari bahan bakar fosil. Minyak bumi yang dijumpai di pasaran umumnya adalah minyak yang telah diolah dari minyak mentah (crude oil), misalnya minyak tanah dan berbagai jenis bahan bakar minyak (BBM) seperti premium, solar, dan lain-lain. Minyak mentah dihasilkan dari kegiatan ekplorasi dan eksploitasi pertambangan oleh perusahaanperusahaan minyak.
Minyak mempunyai karakteristik fisik dan kimia yang berbeda-beda. Karakteristik ini ditentukan berdasarkan jenis minyak yaitu minyak dari industri perminyakan (petroleum) dan minyak non-petroleum. Ketika minyak tumpah ke dalam suatu perairan (oil spill), karakteristik (properti) fisik dan kimia ini akan berpengaruh terhadap perilaku penyebaran minyak (spreading). Tumpahan minyak ini berpotensi menimbulkan resiko dan bencana bagi ekosistem akuatik dan kehidupan manusia dan kemungkinan mengancam keseimbangan alam dan sumber daya buatan manusia.
a.
Fisik Cara penyebaran minyak akan menentukan besar tidaknya pengaruh tumpahan minyak terhadap lingkungan. Kebanyakan minyak cenderung menyebar secara horisontal di atas air ke dalam permukaan yang halus dan licin. Proses ini disebut slick. Faktorfaktor yang mempengaruhi kemampuan minyak untuk menyebar (EPA, 1999) adalah tegangan permukaan (surface tension), gaya gravitasi spesifik dan viskositas. Penjelasan masing-masing faktor dijelaskan sebagai berikut :
II - 1
-
Gravitasi spesifik Gravitasi spesifik adalah perbandingan antara densitas minyak dengan densitas air. Gravitasi spesifik minyak diukur sebagai nilai densitasnya. Gravitasi spesifik memiliki nilai kurang dari 1 kg/L. Pada umumnya, minyak mempunyai substansi yang lebih ringan dari air, maka minyak akan mengapung diatas air sampai terevaporasi.
-
Tegangan permukaan Tegangan permukaan merupakan gaya tarik antara permukaan molekul dan fluida. Gaya ini dan viskositas menentukan kecepatan penyebaran minyak. Menurunnya tegangan permukaan akan meningkatkan kecepatan penyebaran minyak. Jika tegangan permukaan lebih tinggi maka minyak akan tetap di tempatnya. Jika tegangan permukaan minyak lebih rendah, minyak akan menyebar dengan rata tanpa adanya angin dan arus.
-
Viskositas Viskositas merupakan properti dari fluida (gas atau cairan) yang menghambat perubahan dalam bentuk maupun pergerakan. Semakin rendah viskositas maka pergerakan akan semakin mudah. Viskositas dari minyak yang tumpah mempengaruhi kecepatan penyebaran dari tumpahan, kemampuan adhesi dari minyak, penetrasinya ke lapisan tanah dan sedimen pantai.
b.
Kimia Minyak tersusun atas senyawa-senyawa hidrokarbon, dengan karbon dan hidrogen sebagai unsur utama. Hidrokarbon merupakan senyawa organik dengan ikatan yang paling sederhana dan dianggap sebagai induk turunan senyawa-senyawa organik lainnya. Kelompok hidrokarbon diklasifikasikan menjadi dua subkelompok utama, yaitu rantai terbuka dan siklik. Pada subkelompok dengan rantai terbuka dengan jumlah karbon lebih dari satu, atom-atom karbon akan berikatan satu sama lain dan membentuk rantai terbuka; rantai tersebut dapat membawa satu atau lebih ikatan cabang. Pada senyawa siklik atom-atom karbon membentuk satu atau lebih cincin tertutup. Dua subkelompok ini kemudian dibagi kembali menurut sifat kelarutannya.
II - 2
-
Hidrokarbon Rantai Terbuka Hidrokarbon rantai terbuka terlarut membentuk rangkaian sejenis yang disebut parafin atau alkana. Susunan dari setiap anggotanya memiliki rumus CnH2n+2, dimana n adalah jumlah atom karbon di dalam molekul. Contoh anggota subkelompok ini adalah metana (CH4), etana (C2H6), propana (C3H8), dan butana (C4H10) Subkelompok ini sifatnya tidak reaktif, artinya anggota-anggotanya tidak dapat langsung bereaksi dengan asam, basa, dan oksidator pada temperatur ruang. Metana, etana, propana, dan butana pada temperatur dan tekanan ruang memiliki wujud gas, anggota kelompok yang berada di tengah-tengah wujudnya cairan, sementara anggota yang lebih berat memiliki wujud padatan atau semi padatan.
Petroleum mengandung berbagai macam hidrokarbon terlarut, sementara produk petroleum seperti gasolin, kerosin, minyak bahan bakar, minyak pelumas, petroleum jelly, dan parafin terutama mengandung campuran hidrokarbon parafin, yang berkisar dari jenis yang ringan hingga jenis padatan yang berat.
Hidrokarbon rantai terbuka tidak terlarut terdiri dari kelompok alkena dan alkuna. Alkena tersusun dari rantai hidrokarbon dangan adanya rantai ganda antara dua atom karbon. Rumus umum untuk kelompok ini adalah CnH2n, dengan n adalah jumlah karbon. Sama seperti kelompok parafin, wujud anggota kelompok yang ringan adalah gas, menengah adlah cairan, dan untuk yang lebih berat wujudnya adalah padatan. Kelompok alkena secara kimia lebih aktif dibandingkan kelompok hidrokarbon terlarut. Alkena mudah bereaksi dengan senyawa halogen sehingga menambah atom pada rantai ganda. Umumnya kondisi ini tidak ditemukan pada produk alam namun pada hasil produksi distilasi senyawa alami kompleks seperti batu bara, dan terbentuk dalam jumlah besar pada minyak olahan, terutama pada proses “cracking”
Kelompok alkuna memiliki rantai tiga ikatan di antara dua atom karbon di dalam molekul. Kelompok ini secara kimia sangat aktif dan tidak dapat ditemukan bebas di alam. Alkuna membentuk rangkaian yang analog dengan rangkaian II - 3
alkena. Salah satu contoh alkuna adalah asetilen (C2H2), yang sering digunakan sebagai bahan bakar, pembuatan bahan sintesis kimia.
-
Hidrokarbon siklik Contoh hidrokarbon siklik atau sikloalkana terlarut yang paling sederhana adalah siklo propana, C3H6, yaitu molekul yang tersusun atas tiga atom karbon yang masing-masing mengikat dua atom hidrogen. Siklopropana sifatnya lebih reaktif dibanding propana rantai terbuka (C3H8). Jenis sikloalkana lainnya biasanya terkandung dalam bensin.
Beberapa hidrokarbon siklik tidak terlarut, yang memiliki rumus molekul C10H16, dapat ditemukan pada minyak bumi aromatik yang didistilasi dari materi tumbuhan. Kelompok hidrokarbon siklik tidak terlarut yang paling penting adalah kelompok aromatik yang terkandung dalam tar batu bara. Antrasen, naftalen, benzena dan toluena termasuk ke dalam kelompok ini. Hidrokarbon lainnya yang tidak termasuk ke dalam kelompok aromatik, termasuk alkana, alkena, dan alkuna, dimasukkan ke dalam kelompok hidrokarbon alifatik.
II.2
Pencemaran Minyak di Perairan Laut Perairan laut merupakan sumber daya publik dan ekologi penting dengan menjadi tempat tinggal bagi berbagai mahkluk hidup serta menyediakan rekreasi publik. Tumpahan minyak di laut, khususnya pada insiden tumpahan skala besar, akan sangat mengancam dan menyebabkan kerusakan hebat pada lingkungan laut dan pesisir. Setelah tumpahan minyak terjadi, minyak akan mengancam sumber daya yang terdapat di permukaan dan berbagai organisme laut di bawah permukaan dalam rantai makanan kompleks. Beberapa organisme akan mengalami efek akut atau terbunuh (lethal) segera setelah mengalami kontak dengan tumpahan minyak. Efek non-lethal toksik akan bersifat lebih permanen dan berlangsung dalam waktu lama. Misalnya, makhluk hidup di wilayah karang dan pesisir memiliki resiko tertutupi oleh minyak yang tersapu ke pinggir pantai dan perlahan teracuni oleh ekspos minyak yang terperangkap di perairan dangkal atau pantai.
II - 4
Beberapa jenis habitat laut memiliki sensitivitas yang berbeda-beda terhadap efek destruktif dari kontaminasi minyak dan kemampuan yang berbeda pula dalam pemulihan dari tumpahan minyak tersebut. Namun, pada lingkungan lain, proses pemulihan dari minyak yang telah persisten dan mengendap akan memakan waktu bertahun-tahun.
Tumpahan minyak berpotensi untuk merusak setiap tingkatan dalam rantai makanan. Lapisan minyak yang mengapung di permukaan dapat mengkontaminasi plankton, termasuk alga, telur ikan, dan larva dari beragam invertebrata seperti tiram dan udang. Selanjutnya, ikanikan kecil yang memakan organisme-organisme ini dapat mengalami kontaminasi. Hewan yang lebih besar dalam rantai makanan, seperti ikan, burung, beruang, dan manusia juga mungkin terkontaminasi jika mengkonsumsi ikan yang terkontaminasi tersebut. Berdasarkan hal itu, predator yang mengkonsumsi mangsa yang terkontaminasi minyak dapat terkontaminasi pula melalui proses pencernaan.
Ikan dan hewan lain yang terkontaminasi minyak akan menghasilkan bau dan rasa yang tidak enak dan mengakibatkan predator enggan untuk mengkonsumsinya dan menjadi kelaparan. Pada beberapa kasus dimana populasi lokal organisme mangsa mati akibat kontaminasi minyak, predator akan kehilangan sumber makanan dan lebih jauh menyebabkan kematian. Selain itu, mamalia dan burung dapat terekspos langsung dengan tumpahan minyak di air, baik karena masuk ke dalam tubuh atau melekat pada bulu. Tumpahan minyak juga akan mencegah terjadi proses reproduksi dan tumbuh tumbuhan laut serta reproduksi dari invertebrata baik akibat tertutupi lapisan minyak maupun efek toksik.
Peristiwa masuknya tumpahan minyak ke dalam perairan akan diikuti oleh aktivitas proses fisik, kimia, dan biologi dari minyak tersebut (Gambar II.1). Beberapa proses memberikan dampak seketika, yakni beberapa saat setelah terjadinya tumpahan, dan proses lainnya baru akan menimbulkan dampak dalam tenggang waktu cukup lama. a.
Penyebaran (spreading), Minyak merupakan materi yang lebih ringan daripada air, oleh karenanya tumpahan minyak akan mengapung sebagai slick. Slick atau tumpahan menyebar pada permukaan air akibat adanya gaya gravitasi. Tingkat penyebarannya menurun seiring waktu berjalan.
II - 5
b.
Pelarutan (dissolution), Pelarutan terjadi ketika komponen minyak terlarut (water-soluble) terurai ke dalam besarnya volume air yang menyelubungi tumpahan. Hanya sebagian kecil saja dari minyak yang akan terlarut dalam air.
c.
Sedimentasi (sedimentation), Gaya gravitasi akan menyebabkan sebagian tumpahan minyak bergerak turun ke dalam air lalu mengendap di bawah permukaan.
d.
Pergerakan (movement), Suatu tumpahan minyak akan bergerak dalam arah dan kecepatan yang sama dengan air. Pergerakan ini diakibatkan aliran air, ombak, dan angin. Ketiga faktor ini berperan penting dalam pemodelan pergerakan tumpahan minyak.
e.
Biodegradasi (biodegradation), Beberapa spesies mikroorganisme lautan, bakteri, jamur, dan kapang mampu menguraikan senyawa-senyawa yang menyusun minyak. Hidrokarbon atau minyak tersebut dapat diproses dalam metabolisme mikrorganisme secara sempurna menjadi karbondioksida dan air ataupun hanya berlangsung sebagian (tidak sempurna). Laju biodegradasi dipengaruhi oleh temperatur campuran minyak dan air.
f.
Evaporasi (evaporation), Peristiwa ini menyebabkan sebagian minyak akan berpindah ke atmosfer. Hidrokarbon rantai pendek berevaporasi lebih cepat dibandingkan hidrokarbon rantai panjang.
g.
Pelapukan (weathering), Pelapukan merupakan rangkaian perubahan progresif dari karakteristik minyak yang diakibatkan proses fisik, kimia, dan biologi. Laju pelapukan sangat bergantung pada jenis minyak yang tertumpah; semakin ringan jenis minyak yang tumpah, laju pelapukan cenderung lebih cepat.
h.
Dispersi (dispersion), Tumpahan minyak akan menyebar pada lapisan atas kolom air oleh karena gaya alami gelombang.
i.
Oksidasi (oxidation), dan Oksidasi merupakan reaksi kimia antara hidrokarbon dengan oksigen. Dibandingkan peristiwa pelapukan, oksidasi akan berlangsung lebih lambat.
II - 6
j.
Emulsifikasi (emulsification) Emulsi merupakan gabungan dari dua cairan (liquid), salah satu tersuspensi di dalam yang lainnya. Pada kasus ini, emulsi dapat terjadi baik minyak di dalam air (oil-inwater) maupun air di dalam minyak (water-in-oil). Kedua jenis emulsifikasi membutuhkan gaya gelombang dan hanya terjadi pada senyawa minyak tertentu. Emulsi air di dalam minyak sangat stabil dan dapat bertahan selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelah terjadi tumpahan. Emulsi air di dalam minyak pada umumnya mengandung 50 hingga 80 persen air, berwarna coklat kemerahan, dan mengandung lemak sehingga terlihat seperti puding.
Gambar II.1 Alur Proses Minyak di Perairan (Sumber:EPA,1999 dalam Ali, 2003) II.3
Proses Penyisihan Tumpahan Minyak Proses pembersihan tumpahan minyak sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti jenis minyak, karakteristik lokasi tumpahan, dan pada beberapa kasus dipengaruhi oleh pertimbangan politik. Menurut Zhu et. al (2001), terdapat 3 (tiga) jenis metode pembersihan tumpahan minyak. Tabel II.1 menjelaskan secara singkat metode yang umum digunakan untuk membersihkan tumpahan minyak.
II - 7
Tabel II.1 Opsi Pembersihan Minyak Konvensional di Wilayah Pesisir Opsi Pembersihan Metode alami
Metode fisik
Metode kimia
Contoh Teknologi Penyisihan alami Booming Skimming Pembersihan manual (Wiping) Pembersihan mekanis Washing Relokasi sedimen / Surf-washing Tiling Pembakaran In-situ Dispersan Demulsifikasi Solidifikasi Bahan kimia lapisan permukaan (surface film chemicals)
Sumber : Zhu et. al, 2001
Booming dan skimming digunakan untuk membatasi dan mengendalikan pergerakan lapisan minyak di permukaan. Wiping adalah proses penyisihan minyak dari permukaan terkontaminasi dengan menggunakan material hidrofobik. Opsi ini lebih lanjut akan menimbulkan masalah dalam pembuangan limbah terkontaminasi minyak. Pembersihan mekanis dilakukan dengan peralatan mekanis untuk mengumpulkan dan membersihkan sedimen yang terkena tumpahan minyak. Opsi ini sebaiknya tidak diterapkan pada habitat sensitif yang dapat menyebabkan erosi pantai. Washing dilakukan dengan mengumpulkan minyak yang menempel di sepanjang bibir pantai hingga awal air laut. Relokasi sedimen dan tiling memindahkan sedimen terkontaminasi dari satu bagian pantai ke bagian lainnya dan kemudian mencampur sedimen untuk memicu terjadinya proses pembersihan secara alami dengan membantu dispersi minyak ke dalam kolom air dan meningkatkan interaksi antara minyak dan partikel mineral. Tiling dapat menyebabkan oil berpenetrasi ke dalam sedimen pantai. Pembakaran in-situ dilakukan dengan membakar minyak, seringkali jika minyak berada di substrat seperti tumbuhan, kayu, dan mater sejenisnya. Dampak lebih lanjut adalah polusi udara dan destruksi hewan dan tumbuhan.
Dispersan tergolong dalam metode pembersihan secara kimia. Agen dispersan yang engandung surfaktan berfungsi untuk menghilangkan minyak yang mengapung pada II - 8
permukaan air sehingga terdispersi dalam kolom air sebelum minyak mendekati dan mengkontaminasi pantai. Dispersi akan menurunkan efek toksisitas dengan menurunkan konsentrasi secara dilusi serta mempercepat biodegradasi minyak dengan meningkatkan luas permukaan efektif minyak. Demulsifikasi berguna untuk memecah emulsi oil-in-water dan meningkatkan proses dispersi alami. Solidifikasi menggunakan bahan kimia yang dapat memicu polimerisasi minyak sehingga minyak menjadi stabil. Karena menjadi stabil, proses penyebaran minyak dapat diminimalisasi dan operasi pembersihan secara fisik semakin efektif. Agen pembentuk senyawa film dapat digunakan untuk mencegah minyak menempel pada sedimen pantai dan meningkatkan penyisihan minyak yang menempel pada permukaan.
Penyisihan alami pada dasarnya merupakan pilihan non-aksi dengan membiarkan minyak dihilangkan dan didegradasi secara alami. Untuk beberapa jenis tumpahan, pilihan ini lebih efektif dari segi biaya dan lebih ramah lingkungan dengan membiarkan lokasi yang terkontaminasi untuk pulih secara alami tanpa ada interfensi apa-apa. Contoh kasus misalkan tumpahan minyak pada area terpencil atau tidak dapat diakses dengan laju penyisihan alami yang cepat. Atau pada lokasi sensitif yakni jika aktivitas pembersihan malahan akan menyebabkan kerusakan lebih parah. Proses alami utama yang menyebabkan penyisihan minyak antara lain:
-
Evaporasi, Evaporasi merupakan proses pembersihan alami yang paling penting selama masa awal terjadinya tumpahan minyak. Proses ini menyebabkan komponen minyak dengan berat molekul lebih ringan tersisihkan. Dalam banyak kasus tumpahan minyak, evaporasi merupakan proses paling penting dalam kesetimbangan massa. Beberapa hari setelah terjadi tumpahan, minyak mentah ringan akan kehilangan hingga 75% dari volume awalnya dan minyak mentah medium kehilangan hingga 40% volume awal. Di sisi lain, minyak mentah berat atau minyak residu hanya akan kehilangan volume tidak lebih dari 10% volume setelah beberapa hari terjadi tumpahan.
-
Fotooksidasi, Fotooksidasi terjadi ketika oksigen dengan adanya sinar matahari bereaksi dengan komponen minyak. Fotooksidasi menyebabkan putusnya senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana yang cenderung memiliki berat molekul lebih ringan dan lebih terlarut di dalam air. Oleh karena itu, senyawa minyak tersebut lebih mudah disisihkan II - 9
oleh proses lainnya. Proses oksidasi yang terjadi pada ikatan hidrokarbon ditunjukkan oleh reaksi di bawah ini: CH2O + O2 ↔ CO2 + H2O CH2O merupakan simbol untuk semua senyawa organik. Reaksi ini tidak hanya merupakan reaksi dasar oksidasi (reaksi ke kanan), namun pada hewan dikenal dengan proses respirasi. Sementara jika reaksi bergerak ke kiri, reaksi yang terjadi sama dengan proses fotosintesis pada tumbuhan. Oleh karena itu, reaksi ini merupakan reaksi alami yang terjadi di muka bumi. Pada proses oksidasi minyak mentah, hidrokarbon akan dioksidasi menjadi alkohol, keton, dan asam organik. Produk teroksidasi akan lebih mudah terlarut dalam air dibandingkan senyawa hidrokarbon awal. Urutan hidrokarbon yang teroksidasi bergantung pada berbagai faktor. Secara umum, molekul kecil hingga C20 (molekul dengan 20 atom karbon atau kurang) akan dioksidasi sebelum molekul yang lebih besar.
-
Biodegradasi Beberapa jenis mikroorganisme yang mampu mengoksidasi minyak tersebar di alam. Biodegrdasi menrupakan mekanisme yang cukup penting untuk menyisihkan komponen non-volatil dari lingkungan. Proses ini berjalan relatif lambat dan membutuhkan berbulan-bulan hingga bertahun-tahun bagi mikroorganisme untuk mendgradasi fraksi signifikan dari minyak yang terperangkap di sedimen laut.
II.4
Proses Alami Minyak di Perairan Laut dan Pesisir Ketika minyak tumpah di suatu lingkungan, terjadi proses penyebaran dan penguraian secara alami tanpa ada campur tangan manusia. Laju proses-proses ini, baik penyebaran, evaporasi, fotooksidasi, dan biodegradasi minyak sangat dipengaruhi oleh karakteristik lingkungan terkontaminasi. Faktor-faktor fisik lingkungan terdiri atas gelombang dan arus laut, kemiringan pantai, tipe sedimen, dan tutupan lahan di pesisir dan laut. Menurut Zhu (2001), faktor-faktor lingkungan utama yang mempengaruhi biodegradasi minyak adalah proses penguraian, temperatur, ketersediaan dan konsentrasi nutrien, ketersediaan dan konsentrasi oksigen, dan pH. Faktor lain yang berpengaruh terhadap biodegradasi minyak adalah salinitas.
II - 10
II.4.1. Gelombang dan Arus Pasang Surut Gelombang dan arus pasang surut dipengaruhi oleh energi total gelombang dan energi total pasang surut. Ketika gelombang tinggi, pengaruh tumpahan minyak terhadap habitat dan lingkungan akuatik di perairan terbuka menjadi berkurang. Hal ini disebabkan beberapa hal, antara lain: 1. Adanya gerakan arus yang kuat akibat gelombang yang membawa minyak menjauhi pantai, 2. Arus yang dibangkitkan oleh gelombang mencampurkan sedimen dan minyak di pantai serta memindahkan tumpahan minyak di pinggir pantai, dan 3. Habitat dan organisme akuatik mendapat gangguan dalam waktu relatif singkat Selain gelombang, arus pasang surut dapat memindahkan minyak yang terdampar dan dapat mengubur minyak pada lapisan sedimen di pantai di zona intertidal. Kriteria energi gelombang dan pasang surut diambil dari kemampuan energi tersebut untuk membersihkan lapisan minyak dari permukaan air dan yang terdampar di pantai secara alami. Menurut Ali (2003), kriteria energi gelombang dan pasut terbagi menjadi 3 (tiga) kelas, yakni: 1. Tinggi Level energi tinggi terjadi pada perairan terbuka dengan gelombang yang tinggi dan arus pasang surut kuat sepanjang musim. Energi tinggi dapat terjadi di daerah sepanjang pantai yang jaraknya cukup jauh dari garis pantai dan terjadi karena gelombang secara langsung menjalar memasuki daerah pantai. Energi tinggi dapat membersihkan minyak secara cepat dan alami, biasanya terjadi selama berhari-hari atau minggu. 2. Sedang Tingkat energi sedang selalu terjadi pada saat tinggi dan frekuensi gelombang mengikuti pola musimannya. Energi yang lebih tinggi terjadi pada musim angin yang dapat membangkitkan gelombang yang lebih itnggi dibandingkan dengan musim lainnya. Perbedaan pada setiap musim ini menyebabkan terjadinya pola musiman. Energi sedang berarti tumpahan minyak yang terdampar akan dipindahkan ketika terjadi energi tinggi. Hal ini berarti pantai dapat kembali bersih dari minyak setelah berhari-hari atau berbulan-bulan. 3. Rendah II - 11
Tingkat energi yang rendah berada pada daerah dengan wilayah perairan yang terlindung dari gelombang dan arus pasang surut, kecuali terjadi hal-hal yang ekstrim. Energi rendah berarti proses pembersihan minyak secara alami berjalan lambat, biasanya terjadi selama bertahun-tahun. II.4.2. Kemiringan Pantai Kemiringan garis pantai adalah tingkat kecuraman pantai yang dihitung dari zona intertidal antara tinggi pasang surut maksimum dan pasang surut rendah. Menurut ESI Guidelines 3.0 dalam Ali (2003), kemiringan pantai dibagi menjadi 3 (tiga) kelas yakni curam (lebih besar dari 300), menengah (antara 300 sampai 50) dan landai (kurang dari 50). Pada perairan terbuka, daerah intertidal yang curam memiliki energi gelombang yang besar karena zona gelombang pecah lebih dekat ke pantai. Daerah ini secara alami berpotensi membersihkan minyak di daerah garis pantai. Daerah intertidal yang landai, energi gelombangnya kecil karena energi telah menghilang di sepanjang lepas pantai sehingga minyak akan lebih lama tertahan di daerah intertidal. II.4.3. Tipe Sedimen Menurut Ali (2003), sistem pemetaan ESI mengklasifikasikan tipe sedimen (substrat) menjadi 3 (tiga) jenis yaitu bedrock, material buatan dan sedimen. Ketiga jenis ini mempunyai karakteristik berbeda baik sifat, ukuran maupun jenisnya. Peringkat kerentanan dibuat berdasarkan tingkat kesulitan dalam proses pembersihan minyak dari kemampuan minyak untuk berpenetrasi dan terkubur ke dalam lapisan sedimen. Kriteria yang ditetapkan diambil berdasarkan sifat lapisan sedimen yaitu bersifat impermeable (lapisan yang tidak dapat ditembus minyak) dan lapisan permeable (lapisan yang dapat ditembus minyak)
Dari ketiga kategori dan masing-masing jenis sedimen diatas, secara umum dapat diketahui bahwa semakin kecil ukuran butir sedimen, maka peringkat kerentanan akan semakin tinggi, karena tingkat kesulitan dalam proses pembersihan minyak akan semakin sulit. Skema hubungan hirarki antara tipe sedimen dan tingkat kerentanannya digambarkan dalam Gambar II.2.
II - 12
Hirarki Karakter dan Sifat
Tingkat Kerentanan
Sedimen
Sedimen
Impermeable
Permeable
Bedrock
Rendah
Material Buatan Seawall
Riprap Sedimen
Sedang
Tinggi
Gambar II.2 Hirarki Hubungan Antara Karakter dan Sifat Sedimen Dengan Tingkat Kerentanan (Sumber : modifikasi NOAA Ocean Service, 2002 dalam Ali, 2003)
Perbedaan antara sifat dan karakteristik bedrock (lapisan yang tersusun dari batuan dasar) dengan sedimen dan material buatan adalah kemampuan minyak untuk berpenetrasi kedalam sedimen. Penetrasi minyak terjadi ketika minyak tenggelam dari lapisan permukaan ke dalam lapisan sedimen yang permeable. Lapisan minyak yang terdampar di pantai dengan tipe sedimen atau material buatan berpotensi untuk berpenetrasi dan atau terkubur sedangkan pada bedrock, minyak tidak dapat berpenetrasi dan terkubur karena sifat bedrock yang impermeable. Jika minyak sudah masuk ke dalam rongga-rongga sedimen maka minyak akan semakin tertahan di dalam sedimen dan berpengaruh terhadap kualitas ekosistem biologi dalam jangka waktu yang lebih lama. Selain itu proses pembersihan minyak akan lebih sulit.
Identifikasi tipe sedimen buatan manusia secara umum sangat mudah karena materialnya dapat dibedakan jelas dan objeknya terlihat. Riprap dan seawall mempunyai potensi mempertahankan minyak yang perlu dipertimbangkan.
Tipe sedimen berpengaruh terhadap kemampuan pergerakan sedimen (trafficability) dan kemampuan manusia dan mesin untuk bermanuver ketika berusaha membersihkan minyak. Secara umum, pantai dengan proses trafficability sedimen yang tinggi diberi peringkat yang rendah dalam skala ESI dibandingkan dengan sedimen II - 13
yang
dibersihkan oleh manusia. Tingkat kesulitan dalam membersihkan atau memindahkan minyak oleh manusia lebih sulit daripada oleh sedimen dari proses alam dan kemungkinan dapat menimbulkan kerusakan tambahan pada ekosistem. II.4.4. Produktivitas Biologi Produktifitas biologi merupakan komponen yang terintegrasi dalam proses klasifikasi garis pantai untuk menentukan tingkat kerentanan lingkungan. Area hutan bakau, padang lamun, terumbu karang, rawa dan air payau merupakan area-area yang mempunyai produktifitas biologis yang tinggi sehingga tingkat kerentanannya diberi peringkat yang tinggi. Pada area tersebut berbagai habitat hewan, tumbuhan dan mikroorganisme seperti zooplankton dan fitoplankton tumbuh dan berkembang biak. Komponen hidrokarbon dari minyak yang bersifat toksik (racun) berpengaruh terhadap reproduksi, perkembangan, pertumbuhan, dan perilaku biota laut, terutama pada plankton, dan dapat mematikan ikan. Proses emulsifikasi minyak dapat menyebabkan kematian bagi organisme, terutama pada telur, larva, dan perkembangan embrio karena pada tahap ini sangat rentan pada lingkungan tercemar. Proses ini juga menyebabkan terkontaminasinya sejumlah flora dan fauna di wilayah yang tercemar minyak (Ali, 2003). II.4.5. Temperatur Temperatur ambien lingkungan akan mempengaruhi baik properti tumpahan miyak maupun aktivitas populasi mikroorganisme. Pada temperatur rendah viskositas minyak akan meningkat sementara volatilitas hidrokarbon toksik dengan berat molekul rendah berkurang, menyebabkan awal biodegradasi tertunda (Atlas, 1981 dalam Zhu, 2001). Beberapa hidrokarbon lebih terlarut pada temperatur lebih rendah, misalnya alkana rantai pendek, dan beberapa aromatik rantai pendek lebih terlarut pada temperatur lebih tinggi (Focht dan Westlake, 1987 dalam Zhu, 2001).
Walaupun biodegradasi hidrokarbon dapat berlangsung pada rentang temperatur yang luas, namun laju biodegradasi umumnya menurun seiring penurunan temperatur. Laju degradasi tertinggi umumnya terjadi pada rentang 30 hingga 400C pada tanah, 20 hingga 300C pada beberapa lingkungan air tawar, dan 15 hingga 200C pada perairan
II - 14
laut (Bossert dan Bartha, 1984; Cooney, 1984; Jordan dan Payne, 1980 dalam Zhu, 2001, p22). Metabolisme mikrobial biasanya akan meningkat dua kali lipat setiap peningkatan temperatur 100C pada variasi temperatur 100C-400C (Bossert dan Bartha, 1984 dalam Coulon et. al, 2004). Peningkatan temperatur menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti gas-gas O2, CO2, N2, CH4, dan sebagainya. Kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air juga memperlihatkan peningkatan dengan naiknya temperatur
yang selanjutnya
mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen.
Peningkatan 100C temperatur perairan meningkatkan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Dekomposisi bahan organik oleh mikroba juga menunjukkan peningkatan dengan semakin meningkatnya temperatur. Kisaran temperatur yang optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah sekitar 200 – 300C Laju degradasi berkorelasi langsung dengan fungsi temperatur dan mengikuti hukum Arrhenius: k = k0 exp (-E/RT) II.4.6. Ketersediaan dan Konsentrasi Nutrien Secara teori, 150 mg nitrogen dan 30 mg fosfor digunakan untuk mengkonversi 1 gram hidrokarbon menjadi material sel (Rosenberg dan Ron, 1996 dalam Zhu, 2001). Nutrien lain yang berperan adalah sulfat dan sulfit. Ketika tumpahan minyak terjadi di laut, masukan karbon akan meningkat secara drastis dan keberadaan nitrogen dan fosfor umumnya mejadi faktor pembatas bagi degradasi minyak (Leahy dan Colwell, 1990). Pada perairan laut, keterbatasan nutrien umumnya berkolerasi dengan tingkat nitrogen dan fosfor yang berada dalam air laut (Floodgate, 1984 dalam Zhu, 2001). Nutrien pembatas lainnya adalah besi, yang ditemukan membatasi degradasi minyak pada perairan pesisir yang bersih (Focht dan Westlake, 1987 dalam Zhu, 2001)
Pada perairan laut, parameter nitrogen dan fosfor akan mempengaruhi konsentrasi klorofil-a. Klorofil-a merupakan suatu pigmen yang didapatkan dalam fitoplankton, dan mempunyai fungsi sebagai mediator dalam proses fotosintesis. Berdasarkan II - 15
Varella (2006), konsentrasi klorofil memiliki korelasi signifikan terhadap keberadaan bakteri. Tidak terdapat suatu batasan spesifik yang dapat mendefinisikan tingkatan tinggi-rendah klorofil sebagai pembatas keberadaan mikroorganisme.
Konsentrasi pigmen klorofil (pigmen fotosintetik fitoplankton) sering dianggap sebagai indeks produktivitas biologi, dan pada lingkungan laut dapat dihubungkan dengan produksi ikan. Konsentrasi klorofil di atas 0,2 mg/m3 atau 0.0002 mg/L mengindikasikan kehadiran kehidupan plankton yang cukup untuk mendukung perikanan komersil (Gower, 1972 dalam Butler, 1988). Pigmen klorofil memiliki tanda spektral spesifik dan unik karena pigmen ini menyerap cahaya biru (dan merah) serta secara kuat memantulkan cahaya hijau, oleh karenanya mempengaruhi warna laut (ocean colour). (Butler, 1988)
Klorofil-a merupakan salah satu jenis kelompok klorofil dengan rumus molekul C55H72O5N4ZMg dan penyebarannya universal. Klorofil-a memiliki korelasi positif terhadap keberadaan nitrogen (ammonia dan nitrit) serta fosfor (Abdel-Halim, 2007), sehingga konsentrasi klorofil-a di permukaan laut dapat dijadikan acuan untuk menggambarkan penyebaran nutrien di wilayah studi.
Produksi fitoplankton di ekosistem akuatik sangat bergantung terhadap masukan nitratN dan fosfat-P ke dalam perairan (Ketchum et al., 1958 dalam Smith, 2007). Oleh karena itu tingkat nutrien di dalam ekosistem akuatik (N dan P) memiliki korelasi positif terhadap nilai produktivitas primer (klorofil-a). Hubungan ini telah lama digunakan untuk menganalisis kemungkinan terjadinya eutrofikasi dalam lingkungan pesisir dan estuari. II.4.7. Salinitas Salinitas adalah konsentrasi garam terlarut di dalam air. Pada kondisi normal satuan salinitas adalah ppt (part per thousand) atau gram garam per 1000 gram sampel air (‰). Karakteristik penting dari air laut adalah rasio konsentrasi komponen utama merupakan rasio konstan dan sama di setiap wilayah lautan. Salinitas dapat meningkat atau menurun akibat hilang atau bertambahnya air dari evaporasi, hujan, pembekuan,
II - 16
pencairan, dan proses lainnya. Air laut memiliki salinitas rata-rata 35‰. Perubahan salinitas dapat mempengaruhi makhluk hidup dan distribusi populasi biologi.
Perubahan salinitas dapat mempengaruhi biodegradasi minyak melalui perubahan populasi mikrobial. Variasi dramatis salinitas dapat terjadi pada lingkungan pesisir dengan organisme laut bercampur dengan organisme air tawar. Beberapa organisme air tawar dapat bertahan hidup dalam periode waktu yang panjang di air laut meski hanya sedikit yang dapat melakukan reproduksi. Sebaliknya, sebagian besar spesies laut hidup pada salinitas optimum berkisar antara 2.5 hingga 3.5% dan sulit atau tidak dapat tumbuh pada salinitas di bawah 1.5 hingga 2% (Zobell, 1973 dalam Zhu, 2001). Organisme, terutama bakteri, yang dapat hidup pada kondisi dengan tingkat salinitas tinggi diklasifikasikan sebagai extremofil, halofil secara spesifik (Wikipedia, 2008).
Untuk mengukur salinitas, selain dengan melakukan pengukuran langsung, dapat pula dengan melakukan pendekatan parameter lain, dalam hal ini adalah Colored Dissolved Organic Matter (CDOM). CDOM adalah fraksi materi organik terlarut yang menyerap cahaya baik ultraviolet maupun cahaya tampak. Dalam literatur, materi organik terlarut juga disebut sebagai colored dissolved organic matter (CDOM), humus akuatik, “Gelbstoff”, atau materi kuning (yellow matter). Istilah ini mengacu pada semua senyawa organik terlarut yang secara signifikan berkontribusi terhadap absorpsi cahaya pada gelombang tertentu.
CDOM disebabkan oleh pelapukan partikel organik (organic detritus), yang melepaskan senyawa tanin ke dalam air, sehingga menyebabkan warna air menjadi kuning hingga coklat. Partikel organik secara alami terjadi pada materi tumbuhan mati, seperti daun, dan jasad fitoplankton yang diproduksi dalam badan air. CDOM juga dapat berasal dari aktivitas manusia, seperti penambahan nutrien yang memacu pertumbuhan fitoplankton, dan meningkatkan jumlah fitoplankton yang mati. CDOM memiliki korelasi terhadap nilai salinitas, yakni semakin besar nilai CDOM, semakin kecil nilai salinitas di perairan.
II - 17
II.5
Pemeriksaan Kualitas Air dengan Ocean Color Salah satu metode untuk mengetahui kualitas air laut adalah dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh. Penginderaan jauh meyediakan potret umum permukaan bumi dengan merekam informasi numerik pengukuran radiasi dari setiap piksel masing-masing saluran dari citra yang sedang dipelajari. Untuk melakukan klasifikasi terhadap citra yang diperoleh, diperlukan suatu interpretasi baik hanya secara visual maupun dengan adanya pengukuran lapangan.
Ocean color adalah sebuah fungsi massa konstituen optik pada kolom air, parameter optikal penting dari konstituen tersebut, serta penampakan yang terlihat pada lautan. Sinar matahari yang memancar pada permukaan laut akan berpenetrasi ke dalam kolom air dan berinteraksi dengan materi terlarut dan partikulat di dalam air. Sebagian cahaya yang tidak terserap oleh material tersebut akan dipantulkan keluar kembali. Cahaya yang terpantulkan ini merepresentasikan tanda warna laut (ocean color signature).
Sedimen tersuspensi dan fitoplankton merubah warna laut. Pengukuran radiasi spektrum pada beberapa saluran di wilayah spektrum tampak dapat digunakan untuk menghitung konsentrasi pigmen seperti klorofil dan sedimen tersuspensi di lapisan atas laut.
Saat ini terdapat beberapa macam instrumen untuk meneliti warna laut, diantaranya Seaviewing Wide Field-of-view Sensor (SeaWIFS), Medium Resolution Imaging Spectrometer (MERIS), Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS), Ocean Colour and Temperature Scanner (OCTS), dan Polarization and Directionality of the Earth’s Reflectances (POLDER)
II - 18
Tabel II.2 Resolusi Spasial dan Produk dari Data Sensor Satelit Berhubungan Dengan Pengukuran Kualitas Air Satelit
Resolusi Spasial
Produk
SeaWiFS
1 km
Absorpsi
(Klorofil-a),
CDOM,
Backscattering, K352, Salinitas NOAA-13, 14, 16 1 km
Temperatur permukaan laut (TPL)
MODIS-Terra
Absorpsi
1 km (250 m, 500 m)
(Klorofil-a),
CDOM,
Backscattering, K352, Salinitas, TPL MODIS-Aqua
1 km (250 m, 500 m)
Absorpsi
(Klorofil-a),
CDOM,
Backscattering, K352, Salinitas, TPL Sumber : Sensor to User, NASA
Pengukuran lapangan dalam intrepretasi citra satelit bertujuan antara lain untuk mengidentifikasi fitur yang dikehendaki (misal tipe-tipe habitat), memetakan area representatif setiap fitur utuk menghasilkan tanda spektra (spectral signatures) dari citra, dan untuk menghasilkan data tambahan yang dapat menguji akurasi klasifikasi citra.
II - 19