BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kredit dan Pengertiannya Kata “kredit” berasal dari bahasa Yunani “credere” artinya kepercayaan atau “credo” berarti saya percaya (Shintawati, 2010; Triandaru dan Budisantoso, 2009; Darmawanto, 2008 dan Setyowongso, 2006). Kredit adalah kesepakatan pinjam meminjam uang atau tagihan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu beserta bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan (UU. No. 7 tahun 1992 pasal 1(12), UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan). Secara umum, prinsip yang dipertimbangkan bank dalam memberi kredit adalah: a) Character, yaitu sifat atau watak calon nasabah; b) Capacity, adalah kemampuan nasabah dalam membayar kredit; c) Capital, yaitu modal yang dimiliki nasabah untuk membiayai kredit; d) Condition, adalah kondisi umum saat ini dan yang akan datang; e) Collateral, jaminan yang diberikan nasabah kepada bank (Kasmir, 2001). Jenis-Jenis kredit menurut Laporan Bank Umum dalam Emiaty (2009) adalah sebagai berikut: a) kredit konsumsi yaitu kredit untuk keperluan konsumsi; b) kredit modal kerja untuk membiayai keperluan modal kerja debitur; c) kredit investasi adalah kredit jangka menengah/panjang untuk pembelian barang-barang modal dan jasa yang diperlukan guna rehabilitasi, modernisasi, ekspansi dan relokasi proyek dan atau pendirian usaha baru. Dalam hal ini, kredit investasi dan kredit modal kerja termasuk dalam kredit produktif. Kredit produktif adalah kredit yang diberikan untuk membiayai modal kerja, memperlancar proses produksi atau untuk pembiayaan kegiatan produktif lainnya yang meningkatkan utility atau kegunaan (Emiaty, 2009).
2.2. Konsep Value Chain Value chain adalah seluruh rangkaian aktifitas yang dibutuhkan untuk membawa produk dari konsepsi, produksi, penggunaan oleh konsumen akhir dan penanganan setelah penggunaan (Hellin dan Maijer, 2006),
juga merupakan
sekumpulan pelaku-pelaku dan kegiatan-kegiatan yang menambah nilai mulai dari supply chain, menghubungkan seluruh tahapan-tahapan yang berbeda dari perencanaan ke produksi sampai ke konsumen akhir. 5
Secara umum, hal ini
tergantung pada rangkaian rantai itu sendiri (Miller, et al, 2012). Pokok utama dari konsep Value Chain adalah bagaimana suatu produk mengalir dari produsen hingga konsumen akhir dimana melalui aktifitas tersebut membutuhkan informasi, teknologi dan komunikasi dengan sesama aktor yang terlibat. Secara sederhana, terlihat dalam diagram sebagai berikut:
Suppliers Value Chain
Channel Value Chain
Organisation Value Chain
Customer Value Chain
Gambar 1. Value Chain Secara Umum
Customer Value Chain sendiri dapat dipenggal untuk dikaji secara terpisah dan lebih mendalam. Customer Value Chain adalah suatu model pemetaan visual yang digunakan pada tahap awal dari proses pengembangan produk yang memungkinkan
tim
perancang
untuk
mengidentifikasi
orang-orang
yang
berhubungan dan hubungannya dengan produk atau proses yang dirancang (Ishii dalam Donaldson, 2006). Sedang value chain kredit sediri adalah serangkaian kegiatan yang secara bersama-sama menambah nilai pada produk akhir, dimana produk akhir dari value chain kredit adalah pengembalian kredit secara efektif (Anonim, 2012). Teori inilah yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian, dimana credit policy, credit approval dan credit sale harus menganalisis value chain pelangan, bagaimana produk yang ditawarkan bisa cocok dengan value chain pelanggan.
Credit Policy
Credit Approval
Credit Sale
Gambar 2. Value Chain Credit Analisis value chain harus mencakup seluruh sistem nilai dimana organisasi beroperasi. Hal ini tergantung pada struktur rantai nilai, bagaimana margin terbagi pada supplier, produser, distributor, pelanggan dan elemen lain dalam value chain (Recklies, 2012). Tahapan analisis value chain yang khas menurut Porter dalam Recklies (2012):
6
- Analisis pada value chain organisasi sendiri, biaya mana yang berhubungan dengan setiap kegiatan tunggal - Analisis value chain pelanggan, bagaimana produk yang ditawarkan bisa cocok dengan value chain pelanggan - Identifikasi keuntungan dari biaya potensial dibandingkan dengan kompetitor - Identifikasi nilai tambah yang potensial untuk pelanggan, bagaimana produk yang ditawarkan menambah nilai pada value chain pelanggan. Sehingga dapat dilakukan analisis yang terpisah pada value chain dari sisi customer saja yang melihat bagaimana produk yang ditawarkan bisa cocok dengan value chain mereka dari seluruh tahapan kegiatan dalam value chain.
2.3. Pengambilan Keputusan dalam Mengambil Kredit Kebutuhan modal usaha dalam agribisnis berbeda antara satu dengan petani lainnya, dipengaruhi oleh jenis dan skala usahanya. Petani mempertimbangkan lebih dahulu sebelum mengambil keputusan dari mana mendapatkan tambahan modal untuk memulai usaha taninya. Petani yang cukup mapan memenuhinya dengan modal sendiri dari penghasilan usaha taninya atau penghasilan lain di luar usaha tani, tetapi ada petani yang memenuhinya dengan mengambil pinjaman kredit dari lembaga formal seperti bank pemerintah, bank swasta, pegadaian maupun lembaga informal. Pengambilan keputusan merupakan tindakan dalam pemilihan alternatif untuk mencapai sasaran. Simon (1960) dalam Gemilang (2001) memperkenalkan 4 aktifitas dalam proses pengambilan keputusan: a) Intelligence: pengumpulan informasi untuk mengidentifikasikan permasalahan;
b) Design: tahap perancangan solusi dalam
bentuk alternatif-alternatif pemecahan masalah; c) Choice: tahap memilih solusi dari alternatif-alternatif yang disediakan dan d) Implementation: tahap melaksanakan keputusan dan melaporkan. Pengambilan keputusan untuk mengambil kredit di lembaga tertentu dipengaruhi oleh beberapa faktor persepsi petani terhadap kredit,
prosedur
pengajuan kredit, persyaratan administrasi dan agunan, penghasilan dan pendidikan petani (Hastuti dan Supadi, 2011).
7
2.4. Prosedur Pengajuan dan Pencairan Kredit Menurut Mulyadi dalam Chandra (2005), prosedur adalah suatu urutan kegiatan klerikal, biasanya melibatkan beberapa orang dalam satu departemen atau lebih yang dibuat untuk menjamin penanganan secara seragam transaksi yang terjadi berulang-ulang. Dalam pendekatan sistem, prosedur merupakan suatu urutan kegiatan yang saling berhubungan, berkumpul bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu. Suyatno dalam Chistian (2011) mengatakan prosedur kredit mencakup tentang ketentuan, syarat-syarat atau petunjuk kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan sejak permohonan diajukan debitur sampai pada lunasnya suatu kredit. Kamsir (2008) menyatakan, dalam pengajuan yang dilakukan oleh calon nasabah, secara umum Prosedur pemberian kredit oleh bank adalah: 1. Pengajuan berkas-berkas. -
Pengajuan proposal berisi identitas perusahaan, maksud dan tujuan, besar kredit dan jangka waktu, cara pengembalian kredit, jaminan dan sebagainya.
-
Melampirkan dokumen-dokumen seperti akta notaris, Tanda Daftar Perusahaan, Nomor Pokok Wajib Pajak, neraca keuangan perusahaan, sertifikat jaminan dan lain sebagainya.
-
Penilaian oleh pihak pemberi kredit melalui neraca keuangan yang dilampirkan.
2. Penyelidikan berkas pinjaman, apakah berkas sudah lengkap atau belum, termasuk menyelidiki keabsahan berkas. 3. Wawancara awal, penyelidikan calon peminjam dengan langsung berhadapan untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan nasabah yang sebenarnya. 4. On The Spot, pemeriksaan kelengkapan dan meninjau objek yang akan dijadikan usaha atau jaminan. 5. Wawancara II yaitu untuk perbaikan berkas jika mungkin ada kekurangan pada saat dilakukan on the spot. 6. Keputusan Kredit, menentukan apakah kredit akan diberikan atau ditolak, biasanya diumumkan mencakup jumlah uang yang diterima, jangka waktu kredit, biaya yang harus dibayar dan waktu pencairan kredit. 7. Penandatanganan akad kredit/perjanjian lainnya. 8. Realisasi kredit biasanya dengan membuka rekening di bank yang bersangkutan.
8
9. Penyaluran dan penarikan dana, yaitu pencairan atau pengambilan uang dari rekening sebagai realisasi kredit
sesuai dengan ketentuan dan tujuan kredit,
dilakukan oleh debitur/peminjam.
Prosedur ini dapat disederhanakan seperti gambar berikut:
Pengajuan berkas
Penyelidikan berkas
Wawancara Awal
On The Spot
Wawancara II
Penyaluran dan Penarikan kredit
Keputusan Kredit Penandatanganan Perjanjian dan realisasi
Pengajuan diterima
Pengajuan ditolak
Gambar 3. Prosedur Pemberian Kredit yang Dilakukan oleh Bank
Pada umumnya, petani lebih memilih sumber kredit informal karena lebih bersifat fleksibel, tanpa prosedur berbelit, saling mengenal dan berhubungan erat. Pinjaman tidak diawasi dengan ketat, petani bebas menggunakan kreditnya dan kreditur mengetahui betul kelayakan kredit si petani serta bersedia memberi pinjaman kapan dan berapa saja yang diminta. Kredit formal dirasa tidak fleksibel, prosedur berbelit, kedua belah pihak tidak saling mengenal dengan baik dan memerlukan waktu relatif lama untuk mengambil dan membayar kredit. Seringkali debitur harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk mengurusnya sehingga bunga yang berlaku menjadi tinggi (Hastuti dan Supadi, 2011). Pada usaha mikro di Salatiga, pedagang kecil lebih memilih mengambil kredit dari rentenir daripada kredit bank walaupun bunganya relatif lebih tinggi (Pratiwi, 2007).
2.5. Kredit Produktif, Pemanfaatan dan Dampaknya di Sektor Pertanian Salah satu sebab kesukaran pemberian kredit kepada petani di negara berkembang adalah karena kredit petani lebih sedikit untuk keperluan produksi dan lebih banyak untuk keperluan konsumsi. Satu survey di Jawa Tengah dan DIY tahun 1971/1972, dari 450 contoh petani, rata-rata pendapatan per tahun per keluarga 9
adalah Rp.145.000,- sedangkan pengeluarannya Rp.157.000. Petani tidak mampu menabung tapi justru memerlukan pinjaman untuk menutup kebutuhan konsumsinya (Mubyarto, 1983). Ace Partadiredja (1968) dalam Mubyarto (1983) mengenai gambaran kredit produktif di pedesaan: penduduk pedesaan, petani, nelayan, buruh tani, pedagang, pegawai negeri, pengrajin, membutuhkan tambahan uang tunai untuk berbagai keperluannya: untuk makanan selama paceklik, mengolah tanah baik untuk tanaman pangan maupun tanaman perdagangan, untuk menyimpan pemasaran dan pengangkutan hasil panen, biaya sekolah atau pelayanan mendadak berupa pengobatan, perkawinan, kematian atau slametan tradisional lainnya. Sulit memisahkan antara keperluan produksi dan konsumsi terutama yang hidup pada tingkat subsisten atau mepet subsisten. Penduduk pedesaan membutuhkan sumber keuangan yang mudah, murah, cepat dan tepat, tidak terlalu banyak persyaratan, tingkat bunga serendah mungkin, uang tersedia pada saat diperlukan dan harus sama dengan jumlah yang dibutuhkan. Pola pemanfaatan kredit seperti ini dipengaruhi oleh luas garapan petani, pendidikan kepala keluarga, jangka waktu pinjaman, konsumsi rumah tangga dan frekuensi/akses pada sumber kredit (Hastuti dan Supadi, 2011). Dengan pola pemanfaatan kredit seperti ini tentu ada dampak yang timbul. Dampak adalah akibat karena melakukan sesuatu. Karena penyimpangan penggunaan kredit seperti di atas, terjadi keterlambatan pembayaran kredit bahkan tunggakan yang hampir tidak dapat dilunasi sehingga melibatkan penyelesaian secara hukum. Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya tunggakan kredit baik faktor internal petani/kelompok, maupun faktor di luar kontrol petani/kelompok tani. Faktor yang berada pada diri petani antara lain karakteristik petani, kemampuan petani untuk menggunakan pada usaha yang memberikan keuntungan tinggi dan sistem pengawasan kelompok tani. Pandangan petani terhadap dana kredit, pengalaman penggunaan kredit dan tingkat kesadaran untuk membayar kredit merupakan faktor yang cukup penting berpengaruh terhadap tunggakan kredit (Syukur, dkk, 2000; dalam Hastuti dan Supadi, 2011 ).
10