BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asuransi Kesehatan 2.1.8 Pengertian Asuransi Kesehatan Asuransi adalah perjanjian antar dua pihak atau lebih yang pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan pergantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul akibat suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. (UU RI No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Peransuransian) Asuransi
yang dikutip dari
Ather suatu instrument
sosial
yang
menggabungkan resiko individu menjadi resiko kelompok dan menggunakan dana yang dikumpulkan oleh kelompok tersebut untuk membayar kerugian yang diderita. Dalam asuransi kesehatan, resiko sakit secara bersama-sama di tanggung oleh peserta dengan mengumpulkan premi ke perusahaan atau badan penyelenggara asuransi kemudian pihak asuransi mentransfer resiko individu kesuatu kelompok dan membagi bersama jumlah kerugian dengan proporsi yang adil oleh seluruh anggota kelompok (Ilyas, 2006)
9 Universitas Sumatera Utara
2.1.9 Jaminan Kesehatan Nasional Kata “Jaminan” secara bahasa dapat diartikan asuransi (insurance), peyakinan (assurance), janji (promise), dan dapat berarti pengamanan (security) kata Jaminan yang berarti asuransi di Indonesia berakar dari proses pengumpulan dana bersama untuk kepentingan bersama yang memiliki arti transfer resiko. (Thabrany, 2014) Dalam Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional, beberapa pengertian yang patut diketahui terkait dengan asuransi tersebut adalah Asuransi sosial merupakan mekanisme pengumpulan iuran yang bersifat wajib dari peserta, guna memberikan perlindungan kepada peserta atas risiko sosial ekonomi yang menimpa mereka dan atau anggota keluarganya. Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah tata cara penyelenggaraan program Jaminan Sosial oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Jaminan Sosial adalah bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem Jaminan Sosial Nasional ini diselenggarakan melalui mekanisme Asuransi Kesehatan Sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tujuannya adalah agar semua penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka
10 Universitas Sumatera Utara
dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak. (UU SJSN No.40 tahun 2004) 2.1.10 Prinsip-prinsip Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN) Jaminan Kesehatan Nasional mengacu pada prinsip-prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) berikut: 1. Prinsip Kegotongroyongan Gotong-royong sesungguhnya sudah menjadi salah satu prinsip dalam hidup bermasyarakat dan juga merupakan salah satu akar dalam kebudayaan kita. Dalam SJSN, prinsip gotong royong berarti peserta yang mampu membantu peserta yang kurang mampu, peserta yang sehat membantu yang sakit atau yang berisiko tinggi. Hal ini terwujud karena kepesertaan SJSN bersifat wajib untuk seluruh penduduk, tanpa pandang bulu. Dengan demikian,
melalui
prinsip
gotong
royong
jaminan
sosial
dapat
menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 2. Prinsip Nirlaba Pengelolaan dana amanat oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah nirlaba bukan untuk mencari laba (for profit oriented). Sebaliknya, tujuan utama adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana yang dikumpulkan dari masyarakat adalah dana amanat, sehingga hasil pengembangannya, akan di manfaatkan sebesarbesarnya untuk kepentingan peserta.
11 Universitas Sumatera Utara
3. Prinsip Keterbukaan Kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. Dengan prinsip manajemen ini mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya. 4. Prinsip Portabilitas Prinsip portabilitas jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 5. Prinsip Kepesertaan Bersifat Wajib Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan pertama dimulai dari pekerja di sektor formal, bersamaan dengan itu sektor informal dapat menjadi peserta secara mandiri, sehingga pada akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dapat mencakup seluruh rakyat. 6. Prinsip Dana Amanat Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan dana titipan kepada badan-badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.
12 Universitas Sumatera Utara
7. Prinsip Hasil Pengelolaan Dana Jaminan Sosial Dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta (Kemenkes, 2014). 2.1.11 Kepesertaan Peserta Jaminan Kesehatan Nasional Dalam Peraturan Presiden nomor 12 Tahun 2013, Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar Iuran. Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain. Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja, atau penyelenggara negara yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya. Peserta tersebut meliputi Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN dan bukan PBI JKN dengan rincian sebagai berikut: a. Peserta PBI Jaminan Kesehatan meliputi orang yang tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu. b. Peserta bukan PBI adalah peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu yang terdiri atas : 1. Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu : a. Pegawai Negeri Sipil; b. Anggota TNI; c. Anggota Polri; d. Pejabat Negara; e. Pegawai Pemerintahan Non Pegawai Negeri
13 Universitas Sumatera Utara
f. Pegawai Swasta; dan g. Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai huruf f yang menerima upah. 2. Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu: a. Pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri; b. Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima upah; c. Pekerja sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, termasuk warga negara asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan. 3. Bukan Pekerja dan anggota keluarganya terdiri atas: a. Investor; b. Pemberi Kerja; c. Penerima Pensiun; d. Veteran; e. Perintis Kemerdekaan; dan f. Bukan pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai huruf e yang mampu membayar iuran. 4. Penerima pensiun terdiri atas: a. Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun; b. Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun; c. Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun; d. Penerima Pensiun selain huruf a, huruf b, dan huruf c;
14 Universitas Sumatera Utara
e. Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d yang mendapat hak pensiun; f. Anggota keluarga bagi pekerja penerima upah meliputi: a) Istri atau suami yang sah dari peserta; b) Anak kandung, anak tiri dan/atau anak angkat yang sah dari peserta, dengan kriteria: tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan sendiri; dan belum berusia 21 tahun atau belum berusia 25 tahun yang masih melanjutkan pendidikan formal; c) Sedangkan Peserta bukan PBI JKN dapat juga mengikutsertakan anggota keluarga yang lain. 5. WNI di Luar Negeri Jaminan kesehatan bagi pekerja WNI yang bekerja di luar negeri diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tersendiri. (PP No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan) 2.1.12 Pembiayaan a.
Iuran Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara
teratur oleh peserta, pemberi kerja, dan/atau pemerintah untuk program Jaminan Kesehatan. b.
Pembayar Iuran • Bagi Peserta PBI, iuran dibayar oleh Pemerintah.
15 Universitas Sumatera Utara
• Bagi Peserta Pekerja Penerima Upah, Iurannya dibayar oleh Pemberi Kerja dan Pekerja. • Bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta Bukan Pekerja iuran dibayar oleh Peserta yang bersangkutan. • Besarnya Iuran Jaminan Kesehatan Nasional ditetapkan melalui Peraturan Presiden dan di tinjau ulang secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
c. Pembayaran Iuran Setiap Peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan Presentase dari upah (untuk pekerja penerima upah) atau sejumlah nominal tertentu (bukan peneriama upah dan PBI). Setiap pemberi
kerja
wajib memungut
iuran dari
pekerjanya,
menambahkan iuran peserta yang menjadi tanggung jawabnya, dan membayarkan iuran tersebut setiap bulan kepada BPJS Kesehatan secara berkala (paling lambat tanggal 10 setiap bulannya). Apabila tanggal 10 (sepuluh) jatuh pada hari libur, maka iuran dibayarkan pada hari berikutnya. Keterlambatan pembayaran iuran JKN dikenakan denda administratif sebesar 2 % (dua persen) perbulan dari total iuran yang tertunggak dan dibayar oleh Pemberi Kerja. Peserta pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta Bukan Pekerja wajib membayar iuran JKN pada setiap bulan yang dibayarkan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan kepada BPJS Kesehatan. Pembayaran iuran JKN dapat dilakukan diawal. BPJS Kesehatan menghitung
16 Universitas Sumatera Utara
kelebihan atau kekurangan iuran JKN sesuai dengan Gaji atau Upah Peserta. Dalam hal terjadi kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran, BPJS Kesehatan memberitahukan secara tertulis kepada Pemberi Kerja dan/atau Peserta paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya iuran diperhitungkan dengan pembayaran iuran bulan berikutnya. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara diatur dengan peraturan BPJS Kesehatan. (PP No.12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan) 2.1.13 Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional terdiri atas 2 jenis, yaitu manfaat medis berupa pelayanan kesehatan dan manfaat non medis meliputi akomodasi dan ambulans. Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari fasilitas kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan. Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis. Manfaat pelayanan promotif dan preventif meliputi pemberian pelayanan: a. Penyuluhan kesehatan perorangan, meliputi paling sedikit penyuluhan mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat. b. Imunisasi dasar, meliputi Baccile Calmette Guerin (BCG), Difteri Pertusis Tetanus dan Hepatitis B (DPTHB), Polio, dan Campak. c. Keluarga berencana, meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi, dan tubektomi bekerjasama dengan lembaga yang membidangi keluarga
17 Universitas Sumatera Utara
berencana. Vaksin untuk imunisasi dasar dan alat kontrasepsi dasar disediakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. d. Skrining kesehatan, diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu. Meskipun manfaat yang dijamin dalam JKN bersifat komprehensif, masih ada manfaat yang tidak dijamin meliputi: 1. Tidak sesuai prosedur; 2. Pelayanan di luar Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS; 3. Pelayanan bertujuan kosmetik; 4. General checkup; 5. Pengobatan alternative; 6. Pengobatan untuk mendapatkan keturunan, pengobatan impotensi; 7. Pelayanan kesehatan pada saat bencana; 8. Pasien Bunuh Diri /Penyakit yang timbul akibat kesengajaan untuk menyiksa diri sendiri/ Bunuh Diri/Narkoba (Kemenkes, 2014). 2.1.14 Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2012 Tentang Sistem Kesehatan Nasional BAB V tentang cara penyelenggaraan JKN menerangkan: 1. Pendayagunaan Sumber Daya Manusia Kesehatan a. Pemerintah bekerjasama dengan Pemerintah Daerah melakukan upaya penempatan
tenaga
kesehatan
yang
ditujukan
untuk
mencapai
pemerataan yang berkeadilan dalam pembangunan kesehatan.
18 Universitas Sumatera Utara
b. Dalam rangka penempatan tenaga kesehatan untuk kepentingan pelayanan publik dan pemerataan, Pemerintah/ Pemerintah Daerah melakukan berbagai pengaturan untuk memberikan imbalan material atau non material kepada tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan di daerah yang tidak diminati, seperti daerah terpencil, daerah sangat terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, pulau-pulau terluar dan terdepan, serta daerah bencana dan rawan konflik. c. Dalam rangka pendayagunaan sumber daya manusia kesehatan yang memiliki kompetensi sesuai standar kompetensi yang telah disahkan oleh pemerintah,
perlu
dikembangkan
dan
melaksanakan
program
pendayagunaan sumber daya manusia kesehatan yang dibiayai oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau swasta. 2. Pembinaan dan Pengawasan Mutu Sumber Daya Manusia Kesehatan a. Pembinaan,
penyelenggaraan,
pengembangan,
dan
pemberdayaan
sumberdaya manusia kesehatan diberbagai tingkatan dan/atau organisasi memerlukan komitmen yang kuat dari Pemerintah dan Pemerintah Daerahserta
dukungan
peraturan
perundang-undangan
mengenai
pengembangandan pemberdayaan sumber daya manusia kesehatan tersebut. b. Pembinaan dan pengawasan praktik profesi bagi tenaga kesehatan dilakukan melalui uji kompetensi, sertifikasi, registrasi, dan pemberian izin praktik/ izin kerja bagi tenaga kesehatan yang memenuhi syarat.
19 Universitas Sumatera Utara
c. Pengawasan sumber daya manusia kesehatan dilakukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran etik/disiplin/hukum yang dilakukan oleh tenaga kesehatan maupun tenaga pendukung/penunjang kesehatan yang bekerja dalam bidang kesehatan. Pelanggaran etik dapat dikenakan sanksi etik oleh organisasi profesi yang bersangkutan. Pelanggaran disiplin dapat dikenakan sanksi disiplin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila pelanggaran tersebut menyebabkan kerugian kepada pihak lain, maka dalam rangka melindungi masyarakat, yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi hukum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Subsistem Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan a. Pengertian Subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan adalah pengelolaan berbagai upaya yang menjamin keamanan, khasiat/manfaat, mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika. b. Tujuan Tujuan penyelenggaraan subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan adalah tersedianya sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan yang terjamin aman, berkhasiat/bermanfaat dan bermutu, dan khusus untuk obat dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
20 Universitas Sumatera Utara
c. Unsur-unsur Unsur-unsur subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan yang terdiri dari: a. komoditi; b. sumber daya; c. pelayanan kefarmasian; d. pengawasan; dan e. pemberdayaan masyarakat. Fasilitas sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan adalah peralatan atau tempat yang harus memenuhi kebijakan yang telah ditetapkan, baik di fasilitas produksi, distribusi maupun fasilitas pelayanan
kesehatan
primer,
sekunder,
dan
tersier.
Pelayanan
kefarmasian ditujukan untuk dapat menjamin penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan, secara rasional, aman, dan bermutu disemua fasilitas pelayanan kesehatan dengan mengikuti kebijakan yang ditetapkan. (PP No. 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehtan Nasional) 2.2 Pelaksanaan rujukan di Indonesia Sistem rujukan pelayanan kesehatan merupakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal. Rujukan vertical merupakan rujukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan dan dapat dilakukan dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan
21 Universitas Sumatera Utara
yang lebih tinggi atau sebaliknya. Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan yang lebih tinggi dilakukan apabila: a.
Pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau subspesialistik;
b.
Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atauketenagaan. Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke tingkatan
pelayanan yang lebih rendah dilakukan apabila: a. Permasalahan kesehatan pasien dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan yang lebih rendah sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya; b. Kompetensi dan kewenangan pelayanan tingkat pertama atau kedua lebih baik dalam menangani pasien tersebut; c. Pasien membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan yang lebih rendah dan untuk alasan kemudahan, efisiensi dan pelayanan jangka panjang; dan d. Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan sarana, prasarana, peralatandan/atau ketenagaan. Rujukan horizontal merupakan rujukan antar pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan dan dilakukan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap. (PMK No. 001 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan)
22 Universitas Sumatera Utara
23 Universitas Sumatera Utara
2.2.1 Syarat-syarat pelaksanaan rujukan Adapun dengan demikian pelaksanaan rujukan yang ada di Indonesia mempunyai syarat-syarat sebagai berikut: a. Pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang, sesuai kebutuhan medis dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama; b. Pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat pertama; c. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat kedua atau tingkat pertama; d. Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama; e. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ketentuan diatas dikecualikan pada keadaan gawat darurat, bencana, kekhususan permasalahan kesehatan pasien, dan pertimbangan geografis; f. Sistem rujukan diwajibkan bagi pasien yang merupakan peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosial dan pemberi pelayanan kesehatan; g. Peserta asuransi kesehatan komersial mengikuti aturan yang berlaku sesuai dengan ketentuan dalam polis asuransi dengan tetap mengikuti pelayanan kesehatan yang berjenjang; h. Setiap orang yang bukan peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosial, dapat mengikuti sistem rujukan. i. Rujukan harus mendapatkan persetujuan dari pasien dan/atau keluarganya.
24 Universitas Sumatera Utara
j. Persetujuan diberikan setelah pasien dan/atau keluarganya mendapatkan penjelasan dari tenaga kesehatan yang berwenang. k. Penjelasan tersebut sekurang-kurangnya meliputi: diagnosis dan terapi dan/atau tindakan medis yang diperlukan; alasan dan tujuan dilakukan rujukan; risiko yang dapat timbul apabila rujukan tidak dilakukan; transportasi rujukan; dan risiko atau penyulit yang dapat timbul selama dalam perjalanan. (PMK No. 001 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan) 2.3 Sistem Rujukan Berjenjang 2.3.1
Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan
Dalam Buku Panduan Praktis Sistem Rujukan Berjenjang Badan penyelenggara Jaminan Sosial kesehatan tahun 2014 Sistem rujukan pelayanan kesehatan adalah Penyelenggaraan Pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal yang wajib dilaksanakan oleh peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosial dan seluruh fasilitas kesehatan.
Gambar 2.2 Alur Pelayanan Kesehatan
25 Universitas Sumatera Utara
2.3.2
Ketentuan Umum
1. Pelayanan Kesehatan perorangan terdiri dari 3 tingkatan yaitu: a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama b. Pelayanan kesehatan tingkat kedua, dan c. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga 2. Pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan pelayanan kesehatan dasar yang diberi oleh fasilitas kesehatan tingakat pertama; 3. Pelayanan kesehatan tingkat kedua merupakan pelayanan kesehatan spesialistik yang dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik; 4. Pekayanan kesehatan tingkat ketiga merupakan pelayanan kesehatan sub spesialistik yang dilakukan oleh dokter sub spesialis atau dokter gigi sub spesialis yang menggunakan teknologi kesehatan sub spesialistik; 5. Dalam menjalankan pelayanan kesehatan fasilitas kesehatan tingakat pertama dan tingkat lanjutan wajib melakukan sistem rujukan dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku; 6. Peserta yang ingin mendapatkan pelayanan yang tidak sesuai dengan system rujukan dapat dimasukkan dalam kategori pelayanan yang tidak sesuai dengan prosedur sehingga tidak dapat dibayarkan oleh BPJS kesehatan; 7. Fasilitas kesehatan yang tidak menerapakan sistem rujukan maka BPJS kesehatan akan melakukan pemeriksaan secara berkala terhadap kinerja
26 Universitas Sumatera Utara
fasilitas kesehatan tersebut dan dapat berdampak pada lanjutan tingkat pertama; 8. Pelayanan rujukan dapat dilakukan secara horizontal maupun vertical; 9. Rujukan horizontal merupakan rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat memberi pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan individu ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap; 10. Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya; 11. Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan yang lebih tinggi dilakukan apabila: a. Pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau sub spesialistik; b. Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/ atau ketenagaan. 12. Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke tingkatan pelayanan yang lebih rendah dilakukan apabila: a. Permasalahan kesehatan pasien dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan yang lebih rendah sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya;
27 Universitas Sumatera Utara
b. Kompetensi dan kewenangan pelayanan tingkat pertama atau kedua lebih baik dalam menangani pasien tersebut; c. Membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan yang lebih rendah dan untuk alasan kemudahan, efisiensi dan pelayanan jangka panjang; dan d. Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan sarana, prasarana, peralatan dan/atau ketenagaan.
Gambar 2.3 Sistem Rujukan Berjenjang
28 Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Tata Cara Pelaksanaan Sistem Rujukan Berjenjang 1. Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai kebutuhan medis, yaitu: a. Dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama; b. Jika diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat kedua; c. Pelayanan kesehatan tingkat kedua di faskes sekunder hanya dapat diberikan atas rujukan dari faskes primer; d. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga di faskes tersier hanya dapat diberikan atas rujukan dari faskes sekunder dan faskes primer. 2. Pelayanan kesehatan di faskes primer yang dapat dirujuk langsung ke faskes tersier hanya untuk kasus yang sudah ditegakkan diagnosis dan rencana terapinya, merupakan pelayanan berulang dan hanya tersedia di faskes tersier. 3. Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan dalam kondisi: a. Terjadi keadaan gawat darurat; Kondisi kegawat daruratan mengikuti ketentuan yang berlaku; b. Bencana, kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Daerah; c. Kekhususan permasalahan kesehatan pasien; untuk kasus yang sudah ditegakkan rencana terapinya dan terapi tersebut hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan lanjutan;
29 Universitas Sumatera Utara
d. Pertimbangan geografis; dan e. Pertimbangan ketersediaan fasilitas. 4. Pelayanan oleh bidan dan perawat a. Dalam keadaan tertentu, bidan atau perawat dapat memberikan pelayanan kesehatan tingkat pertama sesuai ketentuan peraturan perundangundangan; b. Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama kecuali dalam kondisi gawat darurat dan kekhususan permasalahan kesehatan pasien, yaitu kondisi di luar kompetensi dokter dan/atau dokter gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama. 5. Rujukan Parsial a. Rujukan parsial adalah pengiriman pasien atau spesimen ke pemberi pelayanan kesehatan lain dalam rangka menegakkan diagnosis atau pemberian terapi, yang merupakan satu rangkaian perawatan pasien di fasilitas kesehatan tersebut; b. Rujukan parsial dapat berupa: 1. Pengiriman pasien untuk dilakukan pemeriksaan penunjang atau tindakan; 2. Pengiriman spesimen untuk pemeriksaan penunjang. c. Apabila pasien tersebut adalah pasien rujukan parsial, maka penjaminan pasien dilakukan oleh fasilitas kesehatan perujuk.
30 Universitas Sumatera Utara
2.3.4 Forum Komunikasi Antar Fasilitas Kesehatan Untuk dapat mengoptimalisasikan sistem rujukan berjenjang, maka perlu dibentuk forum komunikasi antar Fasilitas Kesehatan baik faskes yang setingkat maupun antar tingkatan faskes, hal ini bertujuan agar fasilitas kesehatan tersebut dapat melakukan koordinasi rujukan antar fasilitas kesehatan menggunakan sarana komunikasi yang tersedia agar: a. Faskes perujuk mendapatkan informasi mengenai ketersediaan sarana dan prasarana serta kompetensi dan ketersediaan tenaga kesehatan serta dapat memastikan bahwa penerima rujukan dapat menerima pasien sesuai dengan kebutuhan medis; b. Faskes tujuan rujukan mendapatkan informasi secara dini terhadap kondisi pasien sehingga dapat mempersiapkan dan menyediakan perawatan sesuai dengan kebutuhan medis. Forum Komunikasi antar Faskes dibentuk oleh masing-masing Kantor Cabang BPJS Kesehatan sesuai dengan wilayah kerjanya dengan menunjuk Person In charge (PIC) dari masing-masing Faskes. Tugas PIC Faskes adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan dalam rangka pelayanan rujukan. 2.3.5 Pembinaan Dan Pengawasan Sistem Rujukan Berjenjang 1. Ka Dinkes Kab/Kota dan organisasi profesi bertanggung jawab atas pembinaan dan pengawasan rujukan pada pelayanan kesehatan tingkat pertama;
31 Universitas Sumatera Utara
2. Ka Dinkes provinsi dan organisasi profesi bertanggung jawab atas pembinaan dan pengawasan rujukan pada pelayanan kesehatan tingkat kedua; 3. Menteri bertanggung jawab atas pembinaan dan pengawasan rujukan pada pelayanan kesehatan tingkat ketiga. 2.3.6 Hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Sistem Rujukan Berjenjang 1. Peserta yang ingin mendapatkan pelayanan yang tidak sesuai dengan sistem rujukan dapat dimasukkan dalam kategori pelayanan yang tidak sesuai dengan prosedur sehingga tidak dapat dibayarkan oleh BPJS Kesehatan, kecuali dalam kondisi tertentu yaitu kondisi gawat darurat, bencana, kekhususan permasalahan pasien, pertimbangan geografis, dan pertimbangan ketersediaan fasilitas; 2. Untuk pasien diperbatasan, jika atas pertimbangan geografis dan keselamatan pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan rujukan dalam satu kabupaten, maka diperbolehkan rujukan lintas kabupaten. (Panduan Praktis Sistem Rujukan Berjenjang) 2.4 Puskesmas Pemerintah di Indonesia menyelenggarakan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan
kesehatan
primer
di
tingkat
Pusat
Kesehatan
Masyarakat
(Puskesmas), pelayanan keseehatan skunder di tingkat rumah sakit dengan pelayanan spesialis dan pelayanan kesehatan tertier yaitu rumah sakit dengan pelayanan sub spesialis.
32 Universitas Sumatera Utara
Dalam lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas disebutkan bahwa Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Puskesmas berkewajiban menyelenggarakan pelayanan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menjadi tanggung jawab puskesmas meliputi: a. Pelayanan kesehatan perorangan adalah pelayanan yang bersifat pribadi (private goods) dengan tujuan utama menyembuhkan penyakit dan pemulihan kesehatan perseorangan, tanpa mengabaikan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit. Pelayanan perseorangan tersebut adalah rawat jalan dan untuk puskesmas tertentu ditambah dengan rawat inap; b. Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat publik (public goods) dengan tujuan utama untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Pelayanan kesehatan masyarakat tersebut antara lain promosi
kesehatan,
pemberantasan
penyakit,
penyehatan
lingkungan,
perbaikan gizi, peningkatan kesehatan keluarga, keluarga berencana, serta berbagai program kesehatan masyarakat lainnya. (PMK No. 75 Tahun 2014)
33 Universitas Sumatera Utara
2.4.1 Prinsip-Prinsip Puskesmas Prinsip-prinsip puskesmas meliputi: 1.
Paradigma sehat, Puskesmas mendorong seluruh pemagku kepentingan untuk berkomitmen dalam upaya mencegah dan mengurangi resiko kesehatan yang dihadapi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.
2.
Pertanggungjawaban wilayah, Puskesmas menggerakkan dan bertanggung jawab terhadap pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya.
3.
Kemandirian masyarakat, Puskesmas mendorong kemandirian hidup sehat bagi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.
4.
Pemerataan, Puskesmas menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang dapat diakses dan terjangkau oleh seluruh masyarakat diwilayah kerjanya secara adil tanpa membedakan status sosial, ekonomi, agama, budaya dan kepercayaan.
5.
Teknologi tepat, Puskesmas menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan memanfaatkan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan, mudah dimanfaatkan dan tidak berdampak buruk bagi lingkungan.
6.
Keterpaduan dan kesinambungan, guna Puskesmas mengintegrasikan dan mengoordinasikan penyelenggraan UKM dan UKP lintas program dan lintas sektor serta melaksanakan Sistem Rujukan yang didukung dengan manajemen Puskesmas. (PMK No. 75 Tahun 2014)
34 Universitas Sumatera Utara
2.4.2 Tujuan Puskesmas Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang: a.
Memiliki
perilaku
sehat
yang
meliputi
kesadaran,
kemauan
dankemampuan hidup sehat; b.
Mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu;
c.
Hidup dalam lingkungan sehat; dan
d.
Memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga kelompok dan masyarakat. (PMK No. 75 Tahun 2014)
2.4.3 Sarana dan Prasarana di Puskesmas Kelengkapan sarana maupun prasaran di Puskesmas adalah salah satu alasan mengapa masyarakat ingin berobat ke Puskesmas. Puskesmas harus memiliki prasarana yang berfungsi paling sedikit terdiri atas: a.
Sistem Penghawaan (ventilasi);
b.
Sistem Pencahayaan;
c.
Sistem Sanitasi;
d.
Sistem Kelistrikan
e.
Sistem Komunikasi;
f.
Sistem Gas Medik;
g.
Sistem Proteksi Petir;
h.
Sistem Proteksi Kebakaran;
i.
Sistem pengendalian kebisingan;
j.
Sistem transportasi vertikal untuk bangunan lebih dari 1 (satu)lantai;
35 Universitas Sumatera Utara
k.
Kendaraan Puskesmas keliling;
l.
Kendaraan ambulans.
Sarana puskesmas sebagai berikut: 1. Sarana Kesehatan; -
Kulkas
-
Imunisasi KIT
-
Meja Ginekologi
-
Tempat tidur
-
Lemari
-
Kursi
-
White board
2. Sarana Pendukung -
POLIKLINIK SET
-
KIA KIT
-
PHN KIT
-
Imunisasi KIT
-
Dental KIT
-
Laboratorium sederhana
-
Gynekologi bed
-
Timbangan dewasa
-
Timbangan bayi
-
Puskesmas keliling
(Lampiran PMK No. 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas)
36 Universitas Sumatera Utara
2.4.4 Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia Puskesmas terdiri atas Tenaga Kesehatan dan tenaga non kesehatan. Jenis dan jumlah Tenaga Kesehatan dan tenaga non kesehatan dihitung berdasarkan analisis beban kerja, dengan mempertimbangkan jumlah pelayanan
yang
diselenggarakan,
jumlah
penduduk
dan
persebarannya,
karakteristik wilayah kerja, luas wilayah kerja, ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama lainnya di wilayah kerja, dan pembagianwaktu kerja. Jenis Tenaga Kesehatan paling sedikit terdiri atas: a. dokter atau dokter layanan primer; b. dokter gigi; c. perawat; d. bidan; e. tenaga kesehatan masyarakat; f. tenaga kesehatan lingkungan; g. ahli teknologi laboratorium medik; h. tenaga gizi; dan i. tenaga kefarmasian. Tenaga non kesehatan sebagaimana harusdapat mendukung kegiatan ketatausahaan, administrasi keuangan,sistem informasi, dan kegiatan operasional lain di Puskesmas. (PMK No. 75 tahun 2014 tentang Puskesmas) 2.5 Standar Kompetensi Tenaga Kesehatan Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui
37 Universitas Sumatera Utara
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan. Dari pengertian tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa tenaga kesehatan baik Dokter maupun tenaga kesehatan masyarakat harus mempunyai kompetensi agar masyrakat percaya terhadap mereka. Penting bagi puskesmas untuk merekrut tenaga kesehatan yang kompeten agar masyarakat mau menggunakan pelayanan kesehatan yang ada di puskesmas. (UU No. 36 Tahun 2014 tentang Kesehatan) 2.5.3 Standar Kompetensi Dokter 1. kasus-kasus etika dalam pelayanan kedokteran; Agama sebagai nilai moral yang menentukan sikap dan perilaku manusia; 2. Aspek agama dalam praktik kedokteran; 3. Pluralisme keberagamaan sebagai nilai sosial di masyarakat dan toleransi; 4. Konsep masyarakat (termasuk pasien) mengenai sehat dan sakit; 5. Aspek-aspek sosial dan budaya masyarakat terkait dengan pelayanan kedokteran (logiko sosio budaya); 6. Hak, kewajiban, dan tanggung jawab manusia terkait bidang kesehatan; 7. Pengertian bioetika dan etika kedokteran (misalnya pengenalan teori-teori bioetika, filsafat kedokteran, prinsip-prinsip etika terapan, etika klinik);
38 Universitas Sumatera Utara
8. Kaidah Dasar Moral dalam praktik kedokteran; 9. Pemahaman terhadap KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) , KODERSI (Kode Etik Rumah Sakit Indonesia), dan sistem nilai lain yang terkait dengan pelayanan kesehatan; 10. Teori-teori pemecahan 11. Penjelasan mengenai hubungan antara hukum dan etika (persamaan dan perbedaan); 12. Prinsip-prinsip dan logika hukum dalam pelayanan kesehatan; 13. Peraturan perundang-undangan dan peraturan-peraturan lain di bawahnya yang terkait dengan praktik kedokteran; 14. Permasalahan etiko medico legal dalam pelayanan kesehatan dan cara pemecahannya; 15. Hak dan kewajiban dokter; 16. Profesionalisme dokter (sebagai bentuk kontrak sosial, pengenalan terhadap karakter profesional, kerja sama tim, hubungan interprofesional dokter dengan ptenaga kesehatan yang lain); 17. Penyelenggaraan praktik kedokteran yang baik di Indonesia; 18. Dokter sebagai bagian dari masyarakat umum dan masyarakat profesi (IDI dan organisasi profesi lain yang berkaitan dengan profesi kedokteran); 19. Dokter sebagai bagian Sistem Kesehatan Nasional; 20. Pancasila dan kewarganegaraan dalam konteks sistem pelayanan kesehatan. (KKI, Standar Kompetensi Dokter Indonesia 2012)
39 Universitas Sumatera Utara
2.5.4 Kompetensi Perawat a. Praktik Professional, etis, legal dan peka budaya 1. Bertanggung gugat terhadap praktik profesional 2. Melaksanakan praktik keperawatan ( SECARA ETIS DAN PEKA BUDAYA) 3. Melaksanakan praktik secara legal b. Pemberian asuhan dan manajemen asuhan keperawatan. 1. Menerapkan prinsip-prinsip pokok dalam pemberian dan manajemen asuhan keperawatan 2. Melaksanakan upaya promosi kesehatan dalam pelayanan keperawatan 3. Melakukan pengkajian keperawatan 4. Menyusun rencana keperawatan 5. Melaksanakan tindakan keperawatan sesuai rencana 6. Mengevaluasi asuhan tindakan keperawatan 7. Menggunakan komunikasi terapeutik dan hubungan interpersonal dalam pemberian pelayanan 8. Menciptakan dan mempertahankan lingkungan yang aman 9. Menggunakan hubungan interprofesional dalam pelayanan keperawatan/ pelayanan kesehatan 10. Menggunakan
delegasi
dan
supervisi
dalam
pelayanan
asuhan
Keperawatan (PPNI, Standar Kompetensi Perawat, 2005)
40 Universitas Sumatera Utara
2.6
Kerangka Berpikir Ketersediaan Puskesmas : a. Sumber daya Manusia b. Alat Laboratorium c. Fasilitas sarana
RUJUKAN
Kesehatan di ruang pemeriksaan umum. d. Bahan Farmasi. Berdasarkan kerangka berpikir diatas, ketersediaan dan kompetensi Sumber Daya Manusia dalam melayani dan menangani pasien, ketersediaan alat laboratorium sebagai sarana pendukung pemeriksaan medik, ketersediaan fasilitas sarana kesehatan di ruang pemeriksaan umum dalam pengambilan keputusan rujukan dan ketersediaan bahan farmasi adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pelaksanaan pemberian rujukan terhadap pasien.
41 Universitas Sumatera Utara