BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini membahas mengenai gambaran umum Home Industri Yessy Shoes. Yessy Shoes yang merupakan tempat peneliti mengamati sistem berlangsung didalamnya dan dasar teori mengenai topik yang dilakukan dalam melaksanakan penelitian. 2.1.
TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN
2.1.1.
Sejarah Pabrik Kerajinan Sepatu Yessy Yessy Shoes adalah perusahaan home industry kerajinan pembuatan
sepatu yang dimiliki oleh Ibu Yessy. Pada awal mulanya, beliau (Ibu Yessy) masih menjadi karyawan disebuah pabrik sepatu yang dimiliki orang lain. Selama 3 tahun dari tahun 1979 sampai 1982 beliau menjadi karyawan dipabrik tersebut. Tahun 1982 Ibu Yessy berkehendak untuk merintis usaha sepatunya sendiri dengan keluar dari pabrik sepatu, karena sebelumnya telah memiliki bekal ilmu pembuatan sepatu yang cukup. Didirikanlah sebuah usaha sepatu kecil-kecilan sendiri pada tahun 1982 di daerah Tawang Sari RT 03 RW 34, Mojosongo, Jebres Solo. Lokasi ini adalah lokasi dari rumah ibu Yessy sendiri, dimana proses produksi kerajinan pembuatan sepatu di lakukan diruangan dekat area dapur. Saat itu jumlah pekerja yang direkrut untuk membantu proses produksi berjumlah 3 karyawan saja. Sepatu yang diproduksi pada awal mula home industry ini berdiri yaitu tahun 1982 adalah baru jenis sepatu mitasi (oscar) yang proses pembuatannya masih manual, belum memiliki mesin-mesin yang otomatis karena minimnya modal dan masih dalam proses merintis dari bawah. Sistem penjualan awal mulanya masih door in door (pintu ke pintu) dengan mengendarai sepeda sampai ke perumnas Mojosongo. Selama waktu terus berjalan, akhirnya mulai berkembang, usaha home industry ini mulai menambahkan jumlah pekerja nya, membeli mesin produksi otomatis berupa mesin press, mesin open, mesin amplas, dan kompresor. Pada tahun 1993 Yessy Shoes akhirnya memiliki mendirikan toko sendiri. Lokasi toko nya berada tak jauh dari tempat Ibu Yessy tinggal yaitu di di jalan Tangkuban Perahu No. 67 Perumnas Mojosongo. Saat itu pemilik nya Ibu Yessy dalam II-1
penjualan sepatu nya tidak hanya di toko saja, melainkan masih dengan cara door in door. Waktu terus berjalan dari tahun ke tahun sampai sekarang yang sudah hampir 33 tahun berjalan, dengan segala usaha Ibu Yessy dibantu para karyawan, akhirnya kerajinan produk sepatu ini mulai di kenal di kalangan peminat sepatu, serta mampu bersaing dengan jenis ataupun merek sepatu lain nya. Saat ini, cara penjualan door in door (pintu ke pintu) tidak digunakan lagi, karena konsumen berdatangan sendiri ke lokasi proses produksi sepatu ataupun ke tokonya langsung untuk memesan dan membeli sepatu.
2.1.2.
Visi dan Misi Pabrik Kerajinan Sepatu Yessy Visi dari Yessy Shoes adalah selalu mengutamakan ketekunan,
kedisiplinan, serta ketrampilan dari tiap pegawainya sehingga menghasilkan produk sepatu yang berkualitas. Misi dari Yessy Shoes ingin menjadikan produk sepatu nya menjadi produk yang berkualitas yang mampu bersaing dipasaran.
2.1.3.
Ruang Lingkup Bidang Usaha Ruang lingkup Bidang usaha Yessy Shoes meliputi beberapa hal, di
antarannya sebagai berikut: 1.
Home industry yang memproduksi sepatu laki-laki dan perempuan. Contohcontoh hasil produksinya, bisa lihat pada gambar 2.1 diantara lain : a. Sepatu kantor laki-laki (pantofel) b. Sepatu kantor perempuan c. Sepatu anak d. Sepatu wedgest e. Sandal selop f. Sepatu highhells
2.
Home industry memiliki toko yang berlokasi di Jalan Tangkuban Perahu No. 67 Perumnas Mojosongo, di dalam toko yang tidak hanya menjual kerajinan sepatu dari hasil produksinya sendiri, melainkan ada sepatu dari jenis merek lain, pakaian, serta tas-tas laki-laki dan perempuan.
II-2
2.1.4.
Jam Kerja dan Jumlah Pekerja Yessy Shoes dalam mengatur hari kerja dan jam kerja disesuaikan
dengan peraturan perundangan yang berlaku. Hari kerja normal adalah hari Senin sampai dengan Sabtu atau 6 (enam) hari dalam seminggu, kecuali salah satu hari tersebut berdasarkan ketetapan pemerintah dinyatakan sebagai hari libur resmi. Waktu istirahat diberikan selama 1 (satu) jam, dimana pekerja tidak melakukan pekerjaan dan pemberlakuannya diatur oleh perusahaan. Dalam menjalankan aktivitas produksinya sehari-hari, Yessy Shoes memulai jam kerja secara pada pukul 08.00 pagi sampai dengan pukul 16.00 WIB. Jam istirahat diberikan pada pukul 12.00 sampai dengan pukul 13.00 WIB. Pabrik Yessy Shoes memiliki jumlah 8 pekerja dalam melakukan proses produksi pembuatan sepatu yang terbagi setiap stasiun kerja, dan 1 pekerja bisa mengampu pekerjaan ganda pada setiap stasiun kerja. Tabel 2.1 Data Pekerja Pabrik Yessy Shoes No
Nama Pekerja
Stasiun Kerja
1 2 3 4 5 6 7 8
Ranto
Pemolaan, Penjahitan dan Penyesekan
Tarto Danu Parjan Wakhidi Sukiya Agus Yati
Pemolaan, Penjahitan dan Penyesekan Pengamplasan Assembly Sol dan Pengepreesan Assembly Sol dan Pengepreesan Assembly Sol dan Pengepreesan Pemasangan Label, Penyemiran, dan Penjemuran Admin dan Packing
Sumber : Pabrik Yessy Shoes
II-3
2.1.5.
Struktur Organisasi Struktur organisasi pabrik Yessy Shoes terdiri dari pemilik yang
dipegang oleh Ibu Yessy yang dibantu bagian administrasi serta pekerja untuk tiap stasiun kerja. Pemilik Ibu Yessy
Admin & Packing Yati
Pemolaan, Penjahitan, dan Penyesekan
Assembly Sol, dan Pengepressan
Ranto
Wakhidi
Tarto
Parjan
Pemasangan Label, Penyemiran, dan Penjemuran Agus
Pengamplasan Danu
Sukiya
Gambar 2.1 Struktur Organisasi Pabrik Yessy Shoes
2.1.6.
Fasilitas Perusahaan Fasilitas dalam sebuah perusahaan sangat diperlukan dimana fasilitas-
fasilitas ini akan mendukung jalannya kegiatan operasional perusahaan. Yessy Shoes, mempunyai fasilitas yang cukup dapat dimanfaatkan oleh karyawankaryawannya dan tamu yang datang ke perusahaan. Fasilitas yang diberikan perusahaan adalah : 1.
Dapur Umum Dapur umum ini terletak sebelah rumah milik Ibu Yessy.
2.
Area Ibadah Area ibadah disini berupa tempat ibadah sholat yang ditempatkan dekat area proses produksi.
3.
Toilet
4.
Parkir mobil dan motor.
II-4
2.1.7.
Area Proses Produksi Area proses produksi Yessy Shoes secara keseluruhan dapat dilihat pada
gambar dibawah ini.
Gambar 2.2 Area proses produksi Yessy Shoes Proses produksi Yessy Shoes dilakukan berdasarkan system produksi make to stock untuk mempersiapkan stock sepatu di pabrik ataupun ditoko sebagai pajangan untuk menarik minat para pelanggannya. Selain itu, Yessy Shoes juga memproduksi sepatu sesuai pesanan kebutuhan pelanggan (make to order) yang umumnya pelanggang datang langsung ke pabrik untuk memesan jenis sepatu tertentu baik itu dalam jumlah kecil ataupun besar. Segi kualitas dari produk sepatu Yessy Shoes ini tidak kalah bersaing dengan merek merek sepatu yang sudah ada, dilihat dari jenis bahan baku yang sudah dari semek (kulit sapi) serta penggunaan mesin mesin otomatis yang memastikan hasil produksinya cukup baik dan dengan harga yang cukup terjangkau menjadikan sepatu hasil produksi Yessy Shoes mampu bersaing dipasaran. Jenis produk sepatu yang diproduksi di Yessy Shoes bervariasi dari segi model dan tipe, baik itu untuk sepatu laki – laki, ataupun sepatu perempuan. Tipe sepatu yang biasanya diproduksi ada sepatu pantofel, sepatu anak, sepatu bludru, sepatu wedgest, sandal selop, sepatu highhells, dan lain lain. Selain proses produksi nya make to order, juga memproduksi sepatu sebagai stok yang di pajang di dalam toko.
II-5
Proses produksi pembuatan sepatu mulai dari bahan baku awal sampai bahan baku itu diproses sehingga menjadi produk berupa sepatu bisa di lihat pada gambar 2.2 berikut ini : Persiapan Bagian Atas
Pembuatan Pola
Penyatuan Bagian Bawah dan Bagian Atas
Pemotongan Bahan
Penyelesaian Persiapan Bagian Bawah
Penyiapan Bahan
Pengemasan
Gambar 2.3 Langkah-langkah Pembuatan Sepatu
2.1.8.
Pemasaran Untuk sekarang ini, Yessy Shoes telah memiliki toko sendiri yang ada di
di jalan Tangkuban Perahu No. 67 Perumnas Mojosongo. Pusat proses produksinya terpusat di satu tempat yang sama dengan rumah dari Ibu Yessy sendiri yaitu Tawang Sari RT 03 RW 34, Mojosongo, Jebres Solo yaitu berupa gedung pabrik yang cukup luas. Pemasaran dari produk-produk sepatu yang dihasilkan di jual untuk seluruh wilayah lokal Indonesia, diantaranya; Boyolali, Wonogiri, Pati, Purwokerto, Palembang, Manado, Tahuna, Palu, Poso, Ambon, Pekanbaru, Nusa Tenggara Timur, Lampung, Makasar, dan Irian Jaya.
II-6
Gambar 2.4 Toko Kerajinan Yessy
Gambar 2.5 Pabrik Sepatu Yessy
2.2.
LANDASAN TEORI
2.2.1.
Ergonomi Perkembangan teknologi saat ini begitu pesatnya, sehingga peralatan
sudah menjadi kebutuhan pokok pada berbagai lapangan pekerjaan. Artinya peralatan dan teknologi merupakan penunjang yang penting dalam upaya meningkatkan produktivita untuk berbagai jenis pekerjaan. Disamping itu disisi lain akan terjadi dampak negatifnya, bila kita kurang waspada menghadapi bahaya potensial yang mungkin timbul. Hal ini tidak akan terjadi jika dapat diantisipasi berbagai resiko yang mempengaruhi kehidupan para pekerja. Berbagai resiko tersebut adalah kemungkinan terjadinya Penyakit Akibat Kerja,
II-7
Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan dan Kecelakaan Akibat Kerja yang dapat menyebabkan kecacatan atau kematian. Antisipasi ini harus dilakukan oleh semua pihak dengan cara penyesuaian antara pekerja, proses kerja dan lingkungan kerja. Pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan ergonomic. Ergonomi atau ergonomic (bahasa inggrisnya) sebenarnya berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ergo” yang berarti “kerja” dan “Nomos” yang berarti “hukum”. Dengan demikian ergonomi dimaksudkan sebagai disiplin keilmuan yang mempelajari manusia dalam kaitannya dengan pekerjaannya. Maksud dan tujuan dari disiplin ergonomi adalah mendapatkan suatu pengetahuan yang utuh tentang permasalahan-permasalahan interaksi manusia dengan teknologi dan prosuk-prosuknya, sehingga dimungkinkan optimal. Dengan demikian disiplin ergonomic melihat permasalahan interaksi tersebut sebagai suatu sistem dengan pemecahan-pemecahan masalahnya melalui proses pemdekatan sistem pula (Wignjosoebroto, 2003). Nurmanto (2008) menyatakan, bahwa definisi dari ergonomi sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen dan desain atau perancangan. Ergonomi berkenan pula dengan optimasi, efisiensi, kesehatan, keselamatan dan kenyamanan manusia ditempat kerja, dirumah, dan tempat rekreasi. Di dalam ergonomi dibutuhkan studi tentang sistem dimana manusia, fasilitas menyesuaikan suasana kerja dengan manusianya. Tujuan utama dari ergonomi adalah upaya memperbaiki performan kerja manusia seperti keselamatan kerja disamping untuk mengurangi energi kerja yang berlebihan serta mengurangi datangnya kelelahan yang terlalu cepat dan menghasilkan suatu produk yang nyaman, enak di pakai oleh pemakainya. Disamping itu diharapkan juga
mampu
memperbaiki
pendayagunaan
sumber
daya
manusia
dan
meminimalkan kerusakan peralatan yang disebabkan kesalahan manusia (human errors).
2.2.2.
Ergonomic Checpoint Ada pertumbuhan kesadaran menyangkut kebutuhan untuk menerapkan
tindakan praktis didalam tempat kerja untuk mengurangi pekerjaan yang berkaitan
II-8
dengan penyakit dan kecelakaan. Fokus peningkatan yang ditempatkan pada suatu penerapan prinsip dari ergonomi mengingat bahwa potensi mereka yang besar untuk meningkatkan kondisi kerja dan produktivitas. Pengalaman yang diperoleh di dalam penerapan ergonomi untuk tempat kerja di sektor yang berbeda dan kondisi industri di mana yang kedua-duanya sedang mengalami mengembangkan dan negara berkembang, dengan hasil terukur di dalam pengurangan dari kecelakaan yang bersifat terus menaik, kerja yang berkaitan dengan penyakit dan kecelakaan utama industri, seperti halnya peningkatan di dalam kondisi kerja tidak memuaskan. Ergonomic Checkpoint telah dikembangkan dengan menawarkan sasaran objek yang praktis, permasalahan ergonomi dengan biaya rendah, terutama persamaan untuk ukuran menengah dan kecil dari suatu perusahaan (International Labour Organization, 2010) Proses manual ini didasarkan pada banyak contoh peningkatan ergonomi praktis untuk mencapai pada biaya yang rendah. Ada banyak orang seperti contoh itu di seluruh dunia, termasuk perkakas yang dirancang, pedati, teknik penanganan material,
pengaturan
stasiun-kerja,
lingkungan
pekerjaan,
area
fasilitas
kesejahteraan dan metode kelompok kerja. Pengetahuan yang diperoleh dari peningkatan di tempat itu supaya tercapai adalah suatu penambahan yang sangat bermanfaat dalam peberapan ergonomi yang dikembangkan oleh Spesialis yang berkualitas dan praktisi yang terlatih. Ini akan terus meningkat nyata pada peningkatan area yang mencapai di permukaan lantai toko yang harus dibuat untuk diterapkan pada tempat kerja lain di mana peningkatan serupa bisa dibuat. Kita berharap bahwa menggunakan Ergonomic Checkpoint akan merangsang penyebaran pengalaman yang berharga ini untuk lebih membantu masyarakat mempromosikan penerapan prinsip ergonomi. Didalam buku “Ergonomic Checkpoint Practical and Easy-to-Implement Solutions for Improving Safety, Health and Working Conditions”, edisi kedua tahun 2010 yang dipublikasi oleh International Labour Organization (ILO) menyatakan, ketika menerapkan peningkatan tempat kerja, yang berguna bagi penggunaan bimbingan yang disajikan oleh ckeckpoint. Tindakan peningkatan yang ditandai oleh ckeckpoint. Ckeckpoint adalah didasarkan pada sejumlah dasar
II-9
prinsip ergonomi itu apakah siap bisa diterapkan di dalam tempat kerja nyata, mencakup sebagai berikut: a.
Solusi segera perlu untuk dikembangkan dengan keterlibatan para manajer dan para pekerja yang aktif.
b.
Kelompok kerja dilakukan untuk menguntungkan dalam perencanaan dan menerapkan peningkatan praktis
c.
Penggunaan keahlian dari material lokal dan banyak tersedia akan memiliki banyak manfaat.
d.
Tindakan beragam perlu memastikan bahwa peningkatan didukung dari waktu ke waktu.
e.
Tindakan program yang berkelanjutan sangat diperlukan untuk menciptakan peningkatan di tempat yang disesuaikan. Checkpoint ini menghadirkan kemudahan/sederhana, biaya murah, siap
untuk bisa diterapkan peningkatan ergonomi. Mudah mengimplementasikan alami dari peningkatan penyokong kelompok kerja dan implementasi makna dari bahan lokal dan ketrampilan. Checkpoint ini sebagai meliputi area yang lebar, pengguna dipandu untuk melakukan pekerjaan multi menurut masing-masing situasi lokal. Banyaknya ilustrasi mempertunjukan ide secara luas yang bisa diterapkan dengan biaya murah yang dapat membantu para pengguna untuk menemukan solusi penyesuaian lokal. Ada empat langkah utama menggunakan yang ergonomic checkpoint yang terusun (International Labour Organization, 2010) : 1. Penerapan checkpoint terpilih kepada tempat kerja. 2. Perancangan diadaptasikan sesuai lokal, urutan daftar (checklist). 3. menyiapkan untuk menggunakan lembar informasi. 4. pengaturan tempat pelatihan kerja untuk perencanaan dan menerapkan tempat kerja segera akan dirubah. Urutan daftar (checklist) ini adalah judul dari ergonomic checkpoint yang didalamnya ada 132 item dalam daftar tersebut yang dapat digunakan seluruhnya atau hanya beberapa item-item yang relevan/cocok sesuai untuk menggambarkan kondisi tempat kerja. Urutan daftar dari sekitar 30-50 item yang relevan/cocok untuk tempat kerja yang dianalisa biasanya lebih mudah untuk diterapkan (International Labour Organization, 2010).
II-10
1.
Mengetahui tempat kerja Meminta manajer untuk setiap pertanyaan yang anda miliki. Anda harus mengetahui tentang produk utama dan metode produksi, jumlah pekerja (pria dan wanita), jam kerja (termasuk istirahat dan lembur) dan setiap masalah penting tentang ketenagakerjaan.
2.
Mendefinisikan area kerja yang akan diperiksa. Mendefinisikan area kerja untuk diperiksa saat konsultasi dengan manajer dan orang-orang penting lainnya. Dalam kasus usaha kecil, area seluruh produksi dapat diperiksa. Dalam kasus perusahaan besar, khususnya area kerja dapat didefinisikan untuk memeriksa secara terpisah.
3.
Awal berjalan-melalui Baca melalui urutan daftar (checklist) dan menghabiskan beberapa atau lebih menit waktu berjalan melalui area kerja sebelum memulai untuk memeriksa yang akan digunakan dalam menggunakan urutan daftar (checklist).
4.
Menulis hasil cek Anda Baca setiap item dengan hati-hati. Mencari cara untuk menerapkan mengukur. Jika perlu, meminta manajer atau pekerja dengan pertanyaan. a.
Jika mengukur sudah diambil benar atau tidak diperlukan, tanda NO dibawah urutan format pertanyaan di daftar pertanyaan "Apakah Anda usulkan tindakan?
b.
Jika Anda berpikir mengukur akan bermanfaat, menandai dengan IYA.
c.
Menggunakan
ruang
bawah
"Keterangan"
untuk
menempatkan
deskripsi saran atau lokasinya. 5.
Memilih prioritas Setelah Anda selesai, melihat kembali pada item yang Anda miliki ditandai YES. Pilih beberapa item di mana manfaat tampaknya mungkin yang paling penting. Tandai PRIORITAS untuk item ini.
6.
Diskusi kelompok tentang hasil pemeriksaan Mendiskusikan hasil pemeriksaan bersama-sama dengan orang lain yang memiliki andil dalam proses mengambil bagian dalam berjalan-melalui. Setuju pada poin yang baik dan pada langkah-langkah yang akan diambil pada dasar aplikasi urutan daftar (checklist). Berkomunikasi dengan manajer
II-11
dan pekerja tentang langkah-langkah yang diusulkan, dan menindaklanjuti pelaksanaan langkah-langkah ini. Ergonomi
Checkpoint
berdasarkan
ILO
(International
Labour
Organization) membagi 9 judul kriteria checkpoint dengan jumlah total urutan daftar pertanyaan berjumlah 132 (bisa dilihat pada lampiran), diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Penyimpanan bahan dan penanganan. 2. Perkakas. 3. Keamanan mesin. 4. Desain tempat kerja. 5. Pencahayaan. 6. Alasan/saran-saran. 7. Alat-alat dan zat-zat berbahaya. 8. Fasilitas kesejahteraan. 9. Fasilitas pengaturan kerja.
2.2.3.
Analisis Aliran Material Purnomo (2004), mengemukakan bahwa dalam melakukan analisis aliran
dibutuhkan beberapa data dari setiap perpindahan bahan. Data yang diperlukan dalam menganalisis aliran bahan antara lain: jalur yang dilalui, volume pemindahan, jarak tempuh, frekuensi perpindahan, waktu perpindahan, dan biaya perpindahan. Untuk menganalisis aliran bahan dapat digunakan peta-peta kerja dan diagram, yang dimana dalam pembuatan peta-peta kerja terdapat simbolsimbol aktifitas yang digunakan. Simbol-simbol yang dipergunakan dikeluarkan oleh American Society of Mechanical Engineers (ASME) adalah sebagai berikut. = OPERASI operasi terjadi apabila benda-benda kerja mengalami perubahan sifat fisik maupun kimiawi. Dalam prakteknya lambang ini juga digunakan untuk menyatakan aktivitas administrasi, misalnya aktivitas perencanaan dan perhitungan.
II-12
= INSPEKSI Suatu kegiatan pemeriksaan terjadi apabila benda kerja atau peralatan mengalami pemeriksaan baik segi kualitas maupun kuantitas. Lambang ini digunakan apabila kita melakukan perbandingan objek tertentu dengan suatu standart. = TRANSPORTASI Kegiatan yang dilakukan untuk memindahkan barang dari suatu tempat ke tempat lainnya. = STORAGE Proses penyimpanan terjadi apabila benda kerja disimpan dalam jangka waktu yag cukup lama. = DELAY Proses delay/menunggu.
Peta-peta kerja dan diagram yang digunakan adalah sebagai berikut (Purnomo, 2004): 1.
Peta Proses Operasi atau Operation Process Chart (OPC) Peta proses operasi adalah suatu peta yang menggambarkan langkah-
langkah proses yang dialami oleh suatu bahan yang meliputi urutan proses operasi dan pemeriksaan. Pembuatan peta proses operasi ini merupakan tahapan pertama dalam urutan langkah untuk merencanakan tata letak fasilitas dan pemindahan bahan, dimana didalamnya terdapat suatu simbol yang terdiri dari operasi, pemeriksaan dan gudang/storage. Selain itu berisi juga informasi tentang hal-hal sebagai berikut.
Deskripsi proses bagi setiap kegiatan/aktifitas.
Waktu penyelesaian masing-masing kegiatan.
Peralatan/mesin yang digunakan.
Prosentase scrap selama berlangsungnya aktifitas. Dengan peta proses operasi dapat terlihat pola aliran bahan yang tetap dan
mulai terbayang tata letaknya. Peta kerja ini dapat juga memperbaiki metode kerja dengan cara menggabungkan operasi-operasi pendek dan sangat mungkin untuk digabungkan antar operasi tersebut. Peta proses operasi dapat juga menunjukkan
II-13
bagian mana yang erat kaitannya dengan yang lain dan dengan demikian dapat dibuat dalam wilayah yang berdeakatan. 2.
Peta Aliran Proses atau Flow Process Chart (FPC) Peta aliran proses adalah suatu diagram yang menggambarkan urut-urutan
dari operasi, pemeriksaan, transportasi, menunggu, dan penyimpanan yang terjadi selama suatu proses atau prosedur berlangsung, serta di dalamnya memuat pula informasi-informasi yang diperlukan untuk analisa seperti waktu yang dibutuhkan dan jarak perpindahan. Beberapa kegunaan peta aliran proses adalah sebagai berikut.
Menunjukkan seluruh langkah dalam suatu proses dan melakukan pengujian secara detail tentang proses.
Digunakan untuk manganalisa proses seperti: jumlah aktifitas proses, jarak, peralatan, dan tenaga kerja.
Sebagai dasar untuk melakukan perbaikan proses atau metode kerja.
Digunakan sebagai dasar untuk perhitungan biaya dan dapat digunakan untuk
melacak
biaya-biaya
yang
tersembunyi
apabila
terjadi
ketidakefisienan dan terjadi ketidaksempurnaan pekerjaan.
Digunakan sebagai perbandingan apabila ada metode pengganti.
3.
Diagram Alir (Flow Diagram) Diagram alir adalah bentuk grafis dari urutan-urutan proses yang dibuat di
atas tata letak yang sedang dibahas. Diagram alir menunjukkan lokasi dari suatu aktifitas yang terjadi dalam peta aliran proses. Dengan demikian diagram alir dapat digunakan sebagai rancangan kasar dari tata letak di mana rancangan tersebut termuat jarak dari lokasi-lokasi terpasang. Kegunaan diagram alir dapat dijelaskan sebagai berikut.
Memperjelas peta aliran proses, dengan menujukkan arah aliran yang sesuai dengan peta aliran proses.
Membantu dalam proses perbaikan tata letak tempat kerja, dengan cara memindah-mindahkan tata letak apabila ada aliran material yang tidak sempurna sehingga dapat diperoleh tata letak yang lebih ekonomis ditinjau dari segi waktu dan jarak.
II-14
2.2.4.
Peta Kerja Peta kerja adalah suatu alat yang menggambarkan kegiatan kerja secara
sistematis dan jelas. Melalui peta kerja kita dapat melihat semua langkah atau proses yang dialami oleh suatu benda kerja kemudian menggambarkan semua langkah yang dialami benda kerja, seperti: transportasi, operasi mesin, pemeriksaan, perakitan, sampai akhirnya menjadi produk jadi. Apabila kita ingin melakukan studi yang seksama terhadap suatu peta kerja, maka pekerjaan kita dalam usaha memperbaiki metode kerja dari suatu proses produksi akan lebih mudah dilaksanakan. Pada dasarnya semua perbaikan tersebut ditujukan untuk mengurangi biaya produksi secara keseluruhan, dengan demikian peta ini merupakan alat yang baik untuk menganalisa suatu pekerjaan sehingga mempermudah perencanaan perbaikan kerja. Peta kerja adalah suatu alat yang menggambarkan kegiatan kerja secara sistematis dan jelas. Lewat peta-peta ini kita bisa melihat semua langkah atau kejadian yang dialami oleh suatu benda kerja dari mulai masuk ke pabrik (berbentuk bahan baku), kemudian menggambarkan semua langkah yang dialaminya, seperti transportasi, operasi
mesin, pemeriksaan dan perakitan,
sampai akhirnya menjadi produk jadi, baik produk lengkap atau merupakan bagian dari suatu produk lengkap. Pemahaman yang seksama terhadap suatu peta kerja akan memudahkan memperbaiki metoda kerja dari suatu proses produksi. Pada dasarnya semua perbaikan tersebut ditujukan untuk mengurangi biaya produksi secara keseluruhan, dengan demikian, peta ini merupakan alat yang baik untuk menganalisis suatu pekerjaan sehingga mempermudah perencanaan perbaikan kerja (Sutalaksana, dkk 2000). Peta-peta dibagi kedalam dua kelompok besar berdasarkan kegiatannya, yaitu pertama peta-peta kerja yang digunakan untuk menganalisis kegiatan kerja keseluruhan. Yang termasuk peta kerja keseluruhan adalah: Peta Proses Operasi (OPC), Peta Aliran Proses (FPC), Peta Proses Kelompok Kerja (GPC), Diagram Alir (FD) dan Assembly Chart (AC). Sedangkan yang termasuk peta kerja setempat adalah: Peta Pekerja dan Mesin, Peta Tangan Kanan-Tangan Kiri. Peta kerja keseluruhan melibatkan sebagian besar atau semua sistem kerja yang diperlukan untuk membuat produk yang bersangkutan. Sedangkan
II-15
peta kerja setempat menggambarkan kegiatan kerja setempat, apabila hal itu menyangkut hanya satu sistem kerja saja yang biasanya melibatkan orang dan fasilitas dalam jumlah terbatas. Kedua peta kerja akan terlihat saling berhubungan erat apabila untuk menyelesaikan suatu produk diperlukan beberapa stasiun kerja, dimana satu sama lainnya saling berhubungan, misalnya suatu perusahaan perakitan memiliki beberapa mesin produksi atau stasiun kerja. Dalam hal ini kelancaran proses produksi secara keseluruhan akan sangat tergantung pada kelancaran setiap stasiun kerja. Maka untuk memperbaiki proses secara keseluruhan pertama-tama harus memperbaiki atau menyempurnakan setiap sistem kerja yang ada sedemikian rupa sehingga didapatkan suatu urutan kerja yang paling baik.
2.2.5.
Peta Tangan Kiri dan Tangan Kanan Peta tangan kiri dan kanan adalah peta kerja setempat yang bermanfaat
untuk menganalisa gerakan tangan manusia didalam melakukan pekerjaanpekerjaan yang bersifat manual. Peta ini akan menggambarkan semua gerakan ataupun delay yang terjadi yang dilakukan oleh tangan kanan maupun tangan kiri secara mendetail sesuai dengan elemen-elemen Therblig yang membentuk gerakan. Dengan menganalisa detail gerakan yang terjadi maka langkah perbaikan dapat diusulkan. Peta ini tepat digunakan untuk menganalisa gerakan yang terjadi secara berulang (repetitive motion) dan dilakukan secara manual. Berdasarkan analisa yang dilakukan maka pola gerakan tangan yang dianggap tidak efisien dan bertentangan dengan prinsip-prinsip ekonomi gerakan bisa diusulkan untuk perbaikan. Demikian pula akan diharapkan terjadi keseimbangan gerakan yang dilakukan oleh tangan kanan dan tangan kiri, sehingga siklus kerja akan berlangsung dengan lancar dalam ritme gerakan yang lebih baik yang akhirnya mampu memberikan delays maupun operator fatigue yang minimum. Peta tangan kiri-tangan kanan merupakan suatu alat dari studi gerakan untuk mengetahui gerakan-gerakan yang dilakukan oleh tangan kiri dan tangan kanan dalam melakukan pekerjaan yang biasanya adalah proses perakitan (Sutalaksana, dkk 2000). Peta ini menggambarkan semua gerakan saat bekerja dan waktu menganggur yang dilakukan oleh tangan kiri dan tangan kanan, juga
II-16
menunjukkan perbandingan antara tugas yang dibebankan pada tangan kiri-dan tangan kanan. Peta ini menggambarkan operasi secara cukup lengkap. Peta ini sangat praktis untuk memperbaiki suatu pekerjaan manual, yakni saat setiap siklus dari pekerja terjadi dengan cepat terus berulang. Peta ini sangat baik untuk menganalisis suatu sistem kerja sehingga memperoleh perbaikan tata letak peralatan,
pola gerakan pekerja yang baik, urut-urutan pekerjaan yang baik.
Dengan menggunakan peta ini dapat dilihat dengan jelas pola-pola gerakan yang tidak efisien maupun gerakan-gerakan yang tidak perlu. Dan untuk menjaga agar pekerjaan tetap berada dalam wilayah kerja yang normal maka tidak cukup dengan mengoptimasi layout saja, namun perlu tambahan pertimbangan anatomi (Nurmianto,2008). Melalui peta ini kita bisa melihat semua operasi secara lengkap, yang berarti mempermudah perbaikan operasi tersebut. Peta ini sangat praktis untuk memperbaiki suatu pekerjaan manual dimana tiap siklus dari pekerjaan tersebut terjadi dengan cepat dan terus berulang, sedangkan untuk keadaan lain, peta ini kurang praktis untuk dipakai sebagai alat penganalisa. Dengan menggunakan peta ini, kita bisa melihat jelas pola-pola gerakan yang tidak efisien atau bisa melihat adanya pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ekonomi gerakan yang terjadi pada saat pekerjaan manual tersebut berlangsung (Sutalaksana A. 1979). Meskipun Frank dan Lilian Gilberth telah menyatakan bahwa gerakangerakan kerja manusia dilaksanakan dengan mengikuti 17 elemen dasar Therblig atau kombinasi dari elemen-elemen Therblig tersebut, akan tetapi didalam membuat peta operator akan lebih efektif kalau hanya 8 elemen gerakan Therbligh berikut ini yang digunakan (Wignjosoebroto, 2003) , yaitu:
2.2.6.
- Reach (RE)
- Use (U)
- Grasp (G)
- Release (RL)
- Move (M)
- Delay (D)
- Position (P)
- Hold (H)
Prinsip Ekonomi Gerakan Di dalam menganalisa dan mengevaluasi metode kerja untuk
memperoleh metode kerja yang lebih efisien, maka perlu mempertimbangkan
II-17
prinsip-prinsip
ekonomi
gerakan.
Prinsip
ekonomi
gerakan
ini
dapat
dipergunakan untuk menganalisa gerakan-gerakankerja setempat yang terjadi dalam sebuah proses kerja dan juga untuk kegiatan kerja yang berlangsung secara menyeluruh dari satu proses ke proses kerja yang lainnya (Wignjosoebroto, 2003). 1.
Prinsip ekonomi gerakan dihubungkan dengan badan/penggunaan anggota tubuh manusia: a.
Manusia memiliki kondisi fisik dan struktur tubuh yang memberi keterbatassan dalam melaksanakan gerakan kerja
b.
Bia mungkin ke dua tangan (yang sama-sama dibutuhkan untuk melakukan seperti halnya dalam proses perakitan) harus memulai dan menyelesaikan gerakannya dalam waktu yang bersamaan. (Gambar 2.6)
Gambar 2.6 Distribusi Beban Kegiatan Kerja antara Tangan dan Kaki Guna Mengoperasikan Suatu Peralatan Kerja Sumber: Sritomo Wignjosoebroto, 2003
c.
Kedua tangan sebaiknya tidak menganggur pada saat yang sama kecuali pada waktu istirahat.
d.
Gerakan tangan akan lebih mudah jika satu terhadap lainnya simetris dan berlawanan arah.
e.
Gerakan
tangan
atau
badan
sebaiknya
dihemat,
yaitu
hanya
menggerakkan bagian badan yang diperlukan saja untuk melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya.
II-18
f.
Hindari gerakan yang menyebabkan perubahan arah karena akan menghabiskan waktu yang lebih banyak.
g.
Pekerjaan
harus diatur sedemikian rupa sehingga
gerak
mata
terbatas pada satu bidang tanpa perlu mengubah fokus. 2.
Prinsip ekonomi gerakan dihubungkan dengan tempat kerja berlangsung: a.
Tempat-tempat tertentu yang tak sering dipindah-pindah harus disediakan untuk semua alat dan bahan sehingga dapat menimbulkan kebiasaan tetap (gerak rutin).
b.
Letakkan bahan dan peralatan pada jarak yang dapat dengan mudah dan nyaman dicapai pekerja sehingga mengurangi usaha mencari-cari. Berikut contoh meletakkan material benda kerja yang memungkinkan gerakan kerja normal dan standard jangkauan dan pekerja yang umum dipergunakan didalam mengatur penempatan material atau peralatan kerja. (Gambar 2.7)
Gambar 2.7 Dimensi Standard dari Normal dan Maksimum Area Kerja dalam Tiga Dimensi Sumber: Sritomo Wignjosoebroto, 2003
c.
Tata letak fasilitas kerja sebaiknya diatur sedemikian rupa sehingga dapat membentuk kondisi kerja yang baik.
d.
Bahan-bahan dan peralatan sebaiknya ditempatkan teratur sedemikian rupa sehingga gerakan-gerakan dapat dilakukan dengan urutan terbaik
e.
Tinggi tempat kerja (mesin, meja kerja, dan lain-lain) harus sesuai dengan ukuran tubuh manusia sehingga pekerja dapat melaksanakan
II-19
kegiatannya dengan mudah dan nyaman. Di sini prinsip-prinsip anthropometri mutlak harus dipelajari pada saat akan merancang fasilitas kerja tersebut. f.
Kondisi ruangan pekerja seperti penerangan. temperatur, kebersihan, ventilasi udara, dan lain-lain yang berkaitan dengan persyaratan ergonomis harus pula diperhatikan benar-benar sehingga dapat diperoleh area kerja yang lebih baik.
g.
Penyimpanan
bahan/parts
yang
akan
dikerjakan
sebaiknya
memanfaatkan prinsip gaya berat (gravitasi) sehingga bahan yang akan dipakai selalu tersedia di tempat yang dekat untuk diambil.. h.
Sebaiknya untuk menyalurkan obyek yang sudah selesai dirancang dengan menggunakan mekanisme yang baik.
i.
Tinggi tempat kerja dan kursi sebaiknya sedemikian rupa, sehingga berdiri atau duduk dalam menghadapi pekerjaan merupakan suatu hal yang menyenangkan.
j.
Tipe tinggi kursi harus
dirancang sedemikian rupa sehingga yang
mendudukinya memiliki postur yang baik dan nyaman. 3.
Prinsip ekonomi gerakan dihubungkan dengan desain peralatan kerja yang dipergunakan: a.
Kurangi sebanyak mungkin pekerjaan tubuh (manual), apabila hal tersebut dapat dilaksanakan dengan peralatan kerja.
b.
Usahakan menggunakan peralatan kerja yang dapat melaksanakan berbagai macam pekerjaan sekaligus, baik yang sejenis maupun yang berlainan. (Gambar 2.8)
II-20
Gambar 2.8 Multiple Spindle Air Operated yang Mampu Mengencangkan 5 Buah Mur Sekaligus dalam Satu Langkah Kerja Sumber: Sritomo Wignjosoebroto, 2003
c.
Siapkan dan letakan semua peralatan kerja pada posisi tepat dan cepat untuk memudahkan pemakaian atau pengambilan pada saat diperlukan tanpa harus bersusah payah mencari-cari. Desain peralatan juga dibuat sedemikian rupa agar memberi kenyamanan genggaman tangan saat digunakan.
d.
Sebaiknya penggunaan perkakas pembantu (jig & fixture) atau
e.
alat-alat yang digerakan dengan kaki ditingkatkan.
f.
Sebaiknya peralatan dirancang sedemikian rupa, agar mempunyai lebih dari satu kegunaan.
g.
Peralatan sebaiknya dipasang sedemikian rupa, sehingga memudahkan dalam pemegangan dan penyimpanan.
h.
Pendistribusian beban disesuaikan dengan kekuatan jari-tangan ataupun kaki.
i.
Roda tangan, palang dan peralatan yang sejenis dengan itu sebaiknya diatur sedemikian rupa, sehingga badan dapat melayaninya dengan posisi yang baik dan dengan tenaga yang minimum.
j.
Sebaiknya tangan dapat dibebaskan dari semua pekerjaan bila penggunaan dari perkakas pembantu atau alat yang dapat digerakan dengan kaki dapat ditingkatkan.
k.
Bila setiap jari tangan melakukan gerakan sendiri-sendiri, misalnya seperti pekerjaan mengetik, maka untuk masing-masing jari tersebut harus didibagi seimbang sesuai energy dan kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing jari. (Gambar 2.9)
II-21
Gambar 2.9 Perbandingan Penggunaan Standar Type Writer Keyboard dengan Simplified Keyboard Sumber: Sritomo Wignjosoebroto, 2003
Gambar diatas menunjukan beban yang harus dipikul untuk masingmasing baris keyboard, tangan dan jari-jari pada saat pengetikan berlangsung. Simplified keyboard memperbaiki pengaturan huruf yang ada sehingga akhirnya beban pekerjaan akan lebih banyak dipikul oleh tangan kanan dan distribusi beban untuk jari-jari akan lebih rasional.
2.2.7.
Studi Gerakan Studi gerakan atau lazimnya disebut dengan “motion study” adalah suatu
studi tentang gerakan-gerakan yang dilakukan pekerja untuk menyelesaikan pekerjaannya. Dengan studi ini ingin diperoleh gerakan-gerakan standar untuk penyelesaian suatu pekerjaan, yaitu gerakan-gerakan yang efektif dan efisien studi mengenai ini dikenal sebagai studi ekonomi gerakan yaitu studi yang menitikberatkan
pada
penerapan-penerapan
prinsip-prinsip
ekonomi
gerakan
(Wignjosoebroto, 2003). Didalam aktivitas studi gerakan maka orang yang paling dianggap paling menonjol jasanya adalah Frank dan Lilian Gilbert. Gilbert telah mengawali studi gerakan manual dan mengembangkan prinsip-prinsip dasar ekonomi gerakan yang sampai sekarang masih dipertimbangkan sebagai landasan pokok untuk melakukan studi gerakan. Frank dan Lilian Gilbert telah berhasil menciptakan
II-22
symbol/kode dari gerakan-gerakan dasar kerja yang dikenal dengan nama “THERBLIG” (dieja dari nama Gilberth secara terbalik), disini mereka menguraikan gerakan-gerakan kerja ke dalam 17 gerakan dasar Therbligs. Secara garis besar masing-masing therbligs tersebut dapat didefiniskan sebagai berikut : Tabel 2.2 Macam-Macam Elemen Gerakan Therbligs Macam-Macam Elemen Gerakan Therbligs Mencari Memilih Memegang Menjangkau/Membawa tanpa beban Membawa dengan beban Memegang untuk memakai Melepas Mengarahkan Mengarahkan awal Memeriksa Merakit Mengurangi Rakit Memakai Keterlambatan yang tak terhindarkan Keterlambatan yang dapat dihindarkan Merencana Istirahat untuk menghilangkan lelah
Search Select Grasp Transport Empety Transport Loaded Hold Release Load Position Pre Position Inspection Assemble Disassembly Use Unavoidable Delay Avoidable Delay Plan Rest to Overcome Fatigue
Simbol Sh Sl G TE TL H RL P PP I A DA U UD AD Pn R
Penjelasan untuk setiap 17 gerakan dasar Therbligs adalah sebagai berikut (Wignjosoebroto, 2003): 1.
Mencari (search) Elemen gerakan mencari merupakan gerakan dasar dari pekerja untuk menemukan lokasi obyek. Pada gerakan ini yang bekerja adalah mata. Gerakan ini dimulai pada saat mata bergerak mencari obyek dan berakhir bila obyek sudah ditemukan. Tujuan dari analisa therblig ini adalah untuk menghilangkan sedapat mungkin gerak yang tidak perlu. Mencari merupakan gerak yang tidak efektif dan masih dapat dihindarkan misalnya dengan menyimpan peralatan atau bahan-bahan pada tempat yang tetap sehingga proses mencari dapat dihilangkan.
II-23
2.
Memilih (select) Memilih adalah elemen therbligs yang merupakan gerakan kerja menemukan/memilih suatu obyek di antara dua atau lebih obyek yang sama lainnya. Elemen Therbligs ini dimulai pada saat tangan dan mata mulai bergerak memilih dan berakhir bila obyek yang dikehendaki sudah ditemukan. Elemen memilih biasanya mengikuti langsung elemen therbligs mencari (search). Batas antara memulai memilih dan akhir dari mencari agak sulit untuk ditentukan karena ada pembaharuan pakerjaan di antara dua gerakan tersebut yaitu gerakan yang dilakukan oleh mata. Gambar 4.6 memperlihatkan aktivitas memilih.
3.
Memegang (grasp) Memegang adalah gerakan untuk memegang obyek, biasanya didahului oleh gerakan menjangkau (reach) dan dilanjutkan oleh gerakan membawa (move). Memegang adalah termasuk elemen therbligs yang diklasifikasikan sebagai elemen gerakan efektif yang biasanya dapat dihilangkan akan tetapi dalam beberapa hal bisa diperbaiki.
4.
Menjangkau/Membawa tanpa beban (transport empety)
Menjangkau adalah elemen gerak therbligs yang menggambarkan gerakan tangan berpindah tempat tanpa beban atau hambatan (resistence) baik gerakan menuju atau menjauhi obyek atau lokasi tujuan lainnya dan berakhir segera disaat tangan berhenti bergerak setelah mencapai obyek tujuannya . Elemen gerakan ini biasanya didahului oleh gerakan melepas (release) dan diikuti oleh gerakan memegang (grasp). Waktu yang diperIukan untuk melaksanakan elemen gerak menjangkau akan sangat tergantung dengan jarak gerakan tangan yang dilakukan kearah obyek yang dituju dan tipe gerakan menjangkaunya. Seperti halnya dengan elemen gerakan memegang (grasp), maka elemen menjangkau ini dapat diklasifikasikan sebagai elemen Therbligs yang efektif dan sulit untuk dihilangkan secara keseluruhan dari siklus kerja yang ada. Meskipun demikian masih bisa dimungkinkan untuk diperbaiki dengan cara memperpendek jarak jangkauan serta memberikan lokasi yang tetap untuk obyek yang harus dicapai selama siklus berlangsung
II-24
5.
Membawa dengan beban (transport loaded)
Elemen gerakan membawa adalah juga merupakan gerak perpindahan tangan, hanya saja di sini tangan bergerak dalam kondisi membawa beban (obyek). Elemen gerakan ini diawali dan diakhiri pada saat yang sama dengan elemen gerakan menjangkau (reach) hanya saja di sini tangan dalam kondisi membawa beban (obyek). Faktor-faktor yang mempengaruhi waktu gerakannya pun hampir sama yaitu jarak perpindahan tangan, tipe gerakan dan berat ringan beban dibawa oleh tangan. Elemen gerakan membawa biasanya didahului oleh elemen gerakan memegang (grasp) dan dilanjutkan oleh elemen gerakan melepas (release) atau mengarahkan ( position). Elemen gerak membawa termasuk Therbligs yang efektif yang sulit sekali dieliminir dari siklus kerja yang berlangsung. Meskipun demikian waktu yang diperlukan untuk melaksanakan elemen gerak ini bisa dihemat dengan cara mengurangi jarak perpindahan, meringankan beban yang harus dipindahkan, dan memperbaiki tipe pemindahan beban dengan rnenggunakan prinsip gravitasi atau memakai peralatan material handling lainnya. 6.
Memegang untuk memakai (hold)
Pengertian memegang untuk memakai disini adalah memegang tanpa menggerakkan obyek yang dipegang tersebut; perbedaannya dengan memegang yang terdahulu adalah pada perlakuan pada obyek yang dipegang. Pada memegang, pemegangan dilanjutkan dengan gerak membawa, sedangkan memegang untuk memakai tidak demikian. Therblig ini merupakan gerakan yang tidak efektif, dengan demikian sedapat mungkin harus dihilangkan atau paling tidak dikurangi. Gerakan ini sering dijumpai pada pekerjaan perakitan, satu tangan memegang untuk memakai dan satu tangan lagi melakukan pekerjaan memasang. Satu contoh lain adalah pada waktu melakukan pekerjaan memasang buah kancing, tangan kiri tidak bergerak memegang kancing sedangkan tangan kanan bekerja menggerak-gerakkan jarum. Dalam hal ini tangan kiri melakukan elemen gerak memegang untuk memakai.
II-25
7.
Melepas (release load)
Elemen gerak melepas terjadi pada saat tangan operator melepaskan obyek yang dipegang sebelumnya. Dengan demikian elemen gerak ini diawali sesaat jari-jari tangan membuka lepas dan obyek yang dibawa dan berakhir secara begitu semua jari jelas tidak menyentuh atau memegang obyek lagi. Bila dibandingkan dengan elemen-elemen gerak Therbligs lainnya, gerakan melepas merupakan gerakan yang relatif singkat. Elemen gerak melepas ini biasanya didahului oleh gerakan menjangkau (reach). 8.
Mengarahkan (position)
Therblig ini merupakan gerakan mengarahkan suatu obyek pada suatu lokasi tertentu. Gerakan mengarahkan ini biasanya didahului oleh elemen gerakan (move) dan diikuti oleh gerakan merakit (assembling) atau melepas (release). Gerakan dimulai sejak tangan memegang/mengontrol obyek tersebut kearah lokasi yang dituju dan berakhir pada saat gerakan berakhir atau melepas/memakai dimulai. Waktu yang diperlukan untuk gerak mengarahkan ini juga dipengaruhi oleh kerja mata, karena selama tangan mengarahkan obyek, mata tentu mengontrol (elemen mencari paling tidak ikut berperan pula di sini) agar obyek dapat dengan mudah ditempatkan pada lokasi yang telah ditetápkan. Elemen gerak mengarahkan ini termasuk elemen therblig yang tidak efektif, sehingga untuk itu harus diusahakan menghilangkannya 9.
Mengarahkan awal (pre position)
Elemen gerak mengarahkan awal adalah elemen kerja therbligs yang mengarahkan obyek pada suatu tempat sementara sehingga pada saat kerja mengarahkan obyek benar-benar dilakukan maka obyek tersebut dengan mudah akan bisa dipegang dan dibawa kearah tujuan yang dikehendaki. Elemen therbligs ini sering terjadi bersamaan dengan therblig yang diantaranya adalah membawa (move) dan melepaskan (release). Untuk mengurangi waktu kerja mengarahkan awal bisa dilakukan dengan merancang peralatan pembantu untuk memegang (holding device) perkakas kerja atau obyek pada arah gerakan kerja yang semestinya. Berikut ini uraian
II-26
perbedaan antara therblig mengarahkan dengan therblig mengarahkan sementara. 10.
Memeriksa (inspection)
Elemen therblig ini termasuk cara kerja untuk menjamin bahwa obyek telah memenuhi persyaratan kualitas yang ditetapkan. Gerakan kerja dilaksanakan dengan pengecekan secara rutin oleh operator selama proses kerja berlangsung. Elemen dapat berupa gerakan melihat seperti memeriksa warna, meraba seperti memeriksa kehalusan permukaan benda kerja dan lain-lain. Aktivitas yang prinsipnya memeriksa obyek kerja untuk dibandingkan dengan standard yang ada. Waktu yang diperlukan untuk kegiatan memeriksa ini akan bergantung kepada kecepatan operator menemukan perbedaan antara obyek dengan performansi standard yang dibandingkan. 11.
Merakit (assemble)
Perakitan adalah gerakan untuk menggabungkan satu obyek dengan obyek yang lain sehingga menjadi satu kesatuan. Gerakan ini biasanya didahului oleh salah satu therblig membawa (move) atau mengarahkan (position) dan dilanjutkan oleh therblig melepas (release). Pekerjaan perakitan dimulai bila obyek sudah siap dipasang dan berakhir bila obyek tersebut sudah tergabung secara sempurna. 12.
Mengurangi Rakit (disassembly)
Elemen gerak ini merupakan kebalikan dari elemen therblig merakit (assemble). Di sini dilakukan gerakan memisahkan atau menguraikan dua obyek yang tergabung satu menjadi obyek-obyek terpisah. Gerakan mengurai rakit biasanya diawali oleh elemen memegang (grasp) dan dilanjutkan dengan membawa (move) atau melepas (release). Gerakan ini dimulai pada saat pemegangan atas obyek telah selesai yang dilanjutkan dengan usaha memisahkan dan berakhir di saat obyek telah terurai sempurna (biasanya terus diikuti dengan gerakan therblig Iainnya yaitu membawa atau melepas).
II-27
13.
Memakai (use)
Memakai adalah elemen gerakan therblig dimana salah satu atau kedua tangan digunakan untuk memakai/mengontrol suatu alat/obyek untuk tujuantujuan tertentu selama kerja berlangsung. Lama waktu yang dipergunakan untuk gerakan ini tergantung pada jenis pekerjaan atau kecakapan operator untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. 14.
Keterlambatan yang tak terhindarkan (unavoidable delay)
Kelambatan yang dimaksudkan disini adalah kelambatan yang diakibatkan oleh hal-hal yang terjadi diluar kemampuan pengendalian pekerja. Hal ini timbul karena ketentuan cara kerja yang mengakibatkan satu tangan menganggur sedangkan tangan yang lainnya bekerja. Misalnya operator mesin drill, menurut ketentuan cara kerja yang ditetapkan, sebagai akibat dari sifat pekerjaannya hanya memungkinkan satu tangan bekerja. Gangguan-gangguan yang terjadi seperti padamnya listrik, rusaknya alat dan lain-lain menyebabkan kelambatan juga. Kelambatan ini dapat dikurangi dengan mengadakan perubahan atau perbaikan pada proses operasi. 15.
Keterlambatan yang dapat dihindarkan (avoidable delay)
Setiap waktu menganggur (idle time) yang terjadi pada siklus kerja yang berlangsung merupakan tanggung jawab operator baik secara sengaja maupun tidak sengaja akan diklasifikasikan sebagai kelambatan yang bisa dihindarkan. Kegiatan ini menunjukkan situasi yang tidak produktif yang dilakukan oleh operator (merokok, mengobrol, mondar-mandir tanpa tujuan jelas, dan lain-lain) sehingga perbaikan/penanggulangan yang perlu dilakukan lebih ditujukan kepada operatornya sendiri tanpa harus mengubah proses operasi kerjanya. 16.
Merencana (plan)
Merencana merupakan proses mental, dimana operator berpikir untuk menentukan tindakan yang akan diambil selanjutnya. Waktu untuk therblig ini lebih sering terjadi pada seorang pekerja baru. Cara untuk memperbaiki adalah dengan jalan melatih (training) terhadap karyawan baru.
II-28
17.
Istirahat untuk menghilangkan lelah (rest to overcome fatigue)
Elemen ini tidak terjadi pada setiap siklus kerja akan tetapi berlangsung secara periodik. Waktu untuk memulihkan kondisi badan dan kelelahan fisik akibat kerja berbeda-beda, tidak saja tergantung pada karakteristik pekerjaan yang ada tetapi juga tergantung individu pekerjanya. Untuk memperbaiki elemen-elemen
therblig
yang
diklasifikasikan
sebagai
nilai
bisa
dilaksanakan dengan memperhatikan faktor-faktor ergonomi yang secara signifikan berpengaruh besar terhadap performans kerja manusia.
2.2.8.
Perancangan Sistem Kerja Perancangan sistem kerja adalah suatu ilmu yang terdiri dari teknik -
teknik dan prinsip - prinsip untuk mendapatkan rancangan terbaik dari sistem kerja yang bersangkutan. Teknik-teknik dan prinsip-prinsip ini digunakan untuk mengatur komponen sistem kerja yang terdiri dari manusia dengan sifat dan kemampuannya, peralatan kerja, bahan serta lingkungan kerja sedemikian rupa sehingga dicapai tingkat efektivitas dan efisiensi yang tinggi bagi perusahaan serta aman, sehat dan nyaman bagi pekerja (Sutalaksana, 2006). Efisiensi adalah suatu hal yang amat sangat penting yang terdapat dalam sifat-sifat yang dikehendaki dari rancangan suatu sistem kerja dan dapat didefinisikan sebagai keluaran (output) dibagi dengan masukan (input), semakin besar harga rasio ini maka semakin tinggi efisiensinya. Dalam perancangan sistem kerja pengertian efisiensi diterapkan dalam bentuk perbandingan antara hasil kinerja yang dicapai dengan ongkos yang dikeluarkan untuk mendapatkan hasil tersebut, pengertian ongkos di sini bukanlah besarnya uang yang dikeluarkan tetapi dalam pengertian luas, dapat berupa waktu dan lain-lain.
2.2.9.
Pengukuran Waktu Kerja Pengukuran waktu kerja merupakan suatu aktivitas untuk menentukan
waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja dalam melaksanakan suatu pekerjaan, di mana tujuan pengukuran waktu kerja adalah untuk mendapatkan waktu baku (Wignjosoebroto, 2006).
II-29
Sutalaksana
(2006)
mengungkapkan
ada
beberapa
teknik
yang
digunakan untuk mengukur kerja, diantaranya yaitu : a.
Sampling Pekerjaan atau work sampling.
b.
Predetermined Motion Times.
c.
Studi waktu dengan jam henti atau Stopwatch Time Study. Pada penelitian ini teknik yang digunakan untuk pengambilan waktu adalah dengan menggunakan metoda jam henti (stopwatch) dan untuk jumlah sampelnya menggunakan metoda sampling. Terdapat tiga metoda jam henti yang digunakan untuk mengukur elemen kerja (Sritomo Wignjosoebroto, 2008) yaitu : Continuous Timing Pada metode ini stopwatch dijalankan terus menerus selama pengamatan Stopwatch baru akan dihentikan pada saat pengamatan selesai dilakukan dan pada akhir pengamatan waktu yang telah didapat dicatat. Selain itu untuk mendapatkan masing-masing waktu individu maka perlu dilakukan proses pengurangan. Repetitive Timing Untuk metode ini cara menggunakan stopwatch, stopwatch ini dibaca secara simultan dan angka pada stopwatch dikembalikan ke angka nol setelah setiap proses selesai. Metode ini dapat dilakukan pencatatan langsung tanpa perlu mengurangi waktu. Accumulative Timing Pada metode ini cara menggunakan stopwatch melibatkan dua atau lebih stopwatch, hal ini dikarenakan metode yang digunakan yaitu ketika stopwatch yang pertama berhenti kemudian stopwatch yang kedua mulai dijalankan dan ketika stopwatch yang kedua berhenti maka stopwatch yang ketiga dijalankan. Beberapa kategori waktu (Sutalaksana, 2006): 1.
Waktu pengamatan (Waktu Siklus) Waktu pengamatan merupakan waktu yang diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran waktu yang diperlukan oleh pekerja
II-30
untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan. Berikut ini rumus yang digunakan untuk menghitung waktu siklus :
Ws
T ........................................................................................(2.1) x
Dimana : Ws : Waktu Siklus
(menit / m)
T : Jumlah waktu pengamatan produktif keseluruhan
(menit)
x : jumlah produk hasil output operator selama pengamatan (meter) 2.
Waktu Normal Waktu yang diperlukan pekerja untuk menyelesaikan suatu aktivitas di bawah kondisi kerja yang normal. Waktu normal di sini tidak termasuk waktu longgar yang diperlukan untuk melepas lelah (fatique) ataupun kebutuhan seorang pekerja (personal needs). Berikut ini rumus yang digunakan untuk menghitung waktu normal : Wn = Ws x Fp ...............................................................................(2.2) Dimana : Wn : Waktu normal
(menit / m)
Ws : Waktu siklus
(menit / m)
Fp : Faktor penyesuaian 3.
Standard Time (Waktu Baku) Waktu baku merupakan waktu yang dibutuhkan oleh pekerja untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Waktu baku ini sudah mencakup kelonggaran waktu (allowance time), waktu kelonggaran merupakan kelonggaran yang diberikan untuk menghilangkan rasa fatique dan hambatan-hambatan yang tidak dapat dihindarkan. Berikut ini rumus yang digunakan untuk menghitung waktu baku :
Wb
Wn 100% a%
................................................................(2.3)
Dimana : Wb : Waktu baku
(menit / m)
Wn : Waktu normal
(menit / m)
a
: Allowance (kelonggaran)
II-31
4.
Penyesuaian (Performans Rating) Pengukur harus mengamati kewajaran kerja yang ditunjukkan oleh pekerja, ketidakwajaran dapat terjadi misalnya bekerja tanpa kesungguhan, sangat cepat seolah-olah dikejar oleh waktu atau karena menjumpai kesulitan-kesulitan seperti kondisi ruangan yang tidak mendukung untuk bekerja. Penyebab seperti tersebut di atas mempengaruhi kecepatan kerja yang berakibat terlalu singkat atau terlalu panjangnya waktu penyelesaian. Hal ini jelas tidak diinginkan karena waktu baku yang dicari merupakan waktu yang diperoleh dari kondisi dan cara kerja yang mendukung seorang bekerja menyelesaikan suatu pekerjaan (Sutalaksana, 2006). Beberapa cara dalam menentukan faktor penyesuaian : a. Metode Shumard Metode shumard memberikan patokan-patokan penilaian melalui kelas-kelas kinerja kerja dengan setiap kelas mempunyai nilai sendiri-sendiri (Tabel 2.3). Disini pengukur diberi patokan untuk menilai perfomansi kerja operator menurut kelas-kelas Superfast, Fast +, Fast, Excellent, dan seterusnya. Tabel 2.3 Penyesuian Metode Shumard Kelas Superfast
Penyesuaian 100
Fast +
95
Fast
90
Fast -
85
Excellent
80
Good +
75
Good
70
Good -
65
Normal
60
Fair +
55
Fair
50
Fair -
45
Poor
50
Sumber : Iftikar Z. Sutalaksana; dkk, 2006
II-32
b. Metode Westinghouse Metode ini merupakan metoda penentuan nilai penyesuaian dilakukan dengan cara mengelompokkan tingkat keterampilan pekerja, usaha pekerja, kondisi kerja pekerja, konsistensi kerja pekerja (Sutalaksana, 2006). Keterampilan (Skill) Merupakan kemampuan yang dimilki oleh pekerja dalam mengikuti cara kerja yang telah ditetapkan oleh pihak perusahaan.
Keterampilan
juga
dapat
mengalami
penurunan yang disebabkan diantaranya karena apabila pekerja terlampau lama tidak menangani pekerjaan tersebut atau karena kondisi kesehatan yang sedang terganggu, rasa fatique yang berlebihan, pengaruh lingkungan kerja dan faktor-faktor lainnya.
Super skill : Terlihat seperti telah terlatih dengan sangat baik. Gerakan-gerakan
halus
tetapi
sangat
cepat
sehingga sangat sulit untuk diikuti. Terkadang terkesan tidak berbeda dengan gerakan mesin (kecepatannya konsisten). Perpindahan dari satu elemen ke elemen pekerjaan lainnya tidak terlampau terlihat. Tidak terkesan adanya gerakan-gerakan berpikir dan merencanakan tentang apa yang dikerjakan. Secara umum dapat dikatakan bahwa pekerja yang bersangkutan adalah pekerja yang sangat baik.
Excellent Skill : Percaya pada diri sendiri. Terlihat telah terlatih baik dan bekerja dengan teliti. Gerakan-gerakan dalam bekerja beserta urutan pekerjaan yang dikerjakan tanpa kesalahan.
II-33
Menggunakan peralatan dengan baik. Bekerja dengan cepat tanpa mengorbankan mutu. Bekerja berirama dan terkoordinasi.
Good Skill : Kualitas hasil memenuhi standar. Bekerja tampak lebih baik dari kebanyakan pekerja lainnya. Dapat memberi petunjuk-petunjuk pada pekerja lainnya yang memiliki keterampilan lebih rendah. Tampak jelas sebagai pekerja yang cakap. Tidak memerlukan banyak pengawasan. Tidak keragu-raguan. Bekerja dengan stabil. Gerakan - gerakan terkoordinasi dengan baik. Gerakan-gerakan cepat.
Average Skill : Tampak kepercayaan pada diri sendiri. Terlihat adanya pekerjaan-pekerjaan perencanaan. Gerakan cukup menunjukkan tidak ada keraguan. Mengkoordinasi tangan dan pikiran dengan cukup baik. Tampak cukup terlatih dan mengetahui seluk beluk pekerjaanya. Secara keseluruhan cukup memuaskan dan bekerja dengan teliti.
Fair Skill : Tampak terlatih tetapi belum cukup baik. Mengenal peralatan dan lingkungan secukupnya. Terlihat adanya perencanaan-perencanaan sebelum melakukan gerakan - gerakan. Tidak memiliki kepercayaan diri yang cukup.
II-34
Tampaknya seperti tidak cocok dengan pekerjaan yang sedang dilakukan tetapi telah dipekerjakan di bagian itu sejak lama. Sebagian waktunya terbuang karena kesalahan kesalahan sendiri Jika tidak bekerja dengan sungguh - sungguh maka produk yang dihasilkan sangat rendah.
Poor Skill : Tidak dapat mengkoordinasi tangan dan pikiran. Gerakan - gerakan dalam bekerja terlihat kaku. Kelihatan ketidaknyaman pada urutan gerakan dalam bekerja. Seperti tidak terlatih untuk pekerjaan yang bersangkutan. Tidak
terlihat
adanya
kecocokan
dengan
pekerjaannya. Ragu-ragu dalam melaksanakan gerakan - gerakan kerja. Sering melakukan kesalahan-kesalahan. Tidak adanya kepercayaan pada diri sendiri. Tidak dapat mengambil inisiatif sendiri. Usaha Adalah kesungguhan yang ditunjukkan atau diberikan operator ketika melakukan pekerjaannya.
Excessive Effort : Kecepatan sangat berlebihan. Usaha sangat bersungguh-sungguh tetapi dapat membahayakan kesehatannya. Kecepatan dalam bekerja tidak stabil sepanjang hari kerja.
Excellent Effort : Jelas terlihat kecepatan dalam bekerja.
II-35
Gerakan dalam bekerja lebih ekonomis dari pada pekerja lainnya. Penuh perhatian dalam bekerja. Memberi saran dan dapat menerima petunjuk dengan senang. Percaya pada kebaikan maksud pengukuran waktu. Gerakan-gerakan yang salah terjadi sangat jarang sekali. Bekerja dengan sistematis.
Good Effort : Bekerja berirama. Waktu menganggur sangat sedikit. Penuh perhatian pada pekerjaan. Senang dengan pekerjaannya. Kecepatan dalam bekerja dapat dipertahankan sepanjang hari. Percaya pada kebaikan pengukuran waktu. Menerima
saran-saran
dan
petunjuk
dengan
senang. Menggunakan alat - alat yang tepat dengan baik. Tempat bekerja diatur dengan baik dan rapih. Dapat memberi saran - saran untuk perbaikan kerja. Dapat memelihara dengan baik kondisi peralatan.
Average Effort : Bekerja dengan stabil. Menerima saran-saran tapi tidak melaksanakannya. Melakukan kegiatan-kegiatan perencanaan.
Fair Effort : Saran-saran perbaikan diterima dengan kesal. Terkadang pekerjaan.
II-36
perhatian
tidak
ditujukan
pada
Kurang bersungguh - sungguh. Tidak mengeluarkan tenaga dengan secukupnya. Terjadi sedikit penyimpangan dari cara kerja baku (SOP). Alat - alat yang digunakan tidak selalu dalam keadaaan baik. Sistematika dalam bekerja sedang-sedang saja.
Poor Effort : Banyak menyia-nyiakan waktu. Tidak memperlihatkan adanya minat kerja. Cenderung menolak saran - saran. Tampak malas dan lambat dalam bekerja. Melakukan gerakan-gerakan yang tidak perl Tempat kerjanya tidak diatur dengan rapi. Tidak peduli dengan kondisi peralatan kerja. Dalam kondisi sebenarnya banyak terjadi pekerja dengan keterampilan rendah bekerja tetapi ia memiliki usaha
yang
lebih
sungguh-sungguh
sebagai
pengimbangnya tetapi sebaliknya terdapat seorang pekerja dengan keterampilan tinggi tetapi bekerja dengan usaha yang tidak didukung tetapi dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik. Jadi walaupun hubungan antara keterampilan dengan usaha sangat erat tetapi dengan metode Westinghouse ini, kedua aspek tersebut dipisahkan untuk lebih memudahkan dalam pemberian penyesuaian. Kondisi Kerja Adalah
kondisi
fisik
lingkungan,
seperti
keadaan
pencahayaan, suhu, kebisingan dan lain sebagainya. Kondisi terbagi atas beberapa aspek antara lain ideal, excellent, good, average, fair dan poor.
II-37
Konsistensi Merupakan Tingkat kestabilan dalam bekerja, tingkat kestabilan
ini
penyelesaiaan
dapat yang
diperhatikan
dihasilkan
oleh
dengan
waktu
pekerja
untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan, baik dari jam ke jam, dari hari kehari dan seterusnya. Rumus menghitung faktor penyesuaian (Iftikar Z. Sutalaksana; dkk, 2006) : TF : F.Keterampilan+F.Usaha + F.Kondisi + F.Konsistensi..(2.4) Dimana : TF : Total Nilai Faktor F : Faktor berdasarkan tabel westinghouse Adapun rumus untuk menghitung nilai penyesuaian : P : 1 + TF …………………………………………………(2.5) Dimana : P : Nilai Penyesuaian TF : Total nilai faktor penyesuaian Tabel 2.4 Penyesuaian Berdasarkan Metode Westinghouse Faktor
Kelas
Lambang
Superskill
A1
+
0.15
A2
+
0.13
B1
+
0.11
B2
+
0.08
C1
+
0.06
C2
+
0.03
Excellent
Good Keterampilan
Penyesuaian
Average
D
Fair
E1
-
0.05
E2
-
0.1
F1
-
0.16
F2
-
0.22
Poor
II-38
0
Tabel 2.4 Penyesuaian Berdasarkan Metode Westinghouse (lanjutan…) Faktor
Kelas
Lambang
Excessive
A1
+
0.13
A2
+
0.12
B1
+
0.1
B2
+
0.08
C1
+
0.05
C2
+
0.02
Excellent
Good Usaha Average
D
Fair
E1
-
0.04
E2
-
0.08
F1
-
0.12
F2
-
0.17
Ideal
A
+
0.06
Excellent
B
+
0.04
Good
C
+
0.02
Average
D
Fair
E
-
0.03
Poor
F
-
0.07
Perfect
A
+
0.04
Excellent
B
+
0.03
Good
C
+
0.01
Average
D
Fair
E
-
0.02
Poor
F
-
0.04
Poor
Kondisi Kerja
Konsistensi
Penyesuaian
Sumber : Iftikar Z. Sutalaksana; dkk, 2006
II-39
0
0
0
5.
Kelonggaran (Allowance) Kelonggaran diberikan untuk tiga hal yaitu kebutuhan pribadi, menghilangkan rasa fatique dan hambatan-hambatan yang tidak dapat dihindarkan (Iftikar Z. Sutalaksana; dkk, 2006). a. Kelonggaran untuk kebutuhan pribadi kebutuhan pribadi di sini ialah seperti minum sekedarnya (hanya untuk menghilangkan rasa haus), ke kamar kecil (toilet), bertanya ke atasan untuk mendapatkan informasi kerja. Untuk Pria
: 2 % sampai dengan 2.5 % (dari waktu normal).
Untuk Wanita : 5 % (dari waktu normal) b. Kelonggaran untuk menghilangkan rasa fatique Kelelahan merupakan suatu keadaaan yang timbul secara umum terjadi pada setiap individu yang sudah tidak sanggup lagi melakukan aktivitasnya (Iftikar Z. Sutalaksana; dkk, 2006). c. Kelonggaran untuk hambatan-hambatan yang tak terhindarkan Beberapa contoh yang termasuk ke dalam hambatan yang tidak terhindarkan : - Menerima atau meminta petunjuk kepada pengawas. - Memperbaiki kemacetan singkat seperti mengganti alat potong yang patah dan mesin berhenti karena padamnya aliran listrik.
2.2.10. Anthropometri Menurut Wignjosoebroto (2003) dalam bukunya istilah anthropometri berasal dari "anthro" yang berarti manusia dan "metri" yang berarti ukuran. Secara definitif antropometri dapat dinyatakan sebagai satu studi yang berkaitan dengan pengukuran dimensi tubuh manusia. Manusia pada dasarnya
akan
memiliki bentuk, ukuran (tinggi, lebar dan sebagainya) berat dan lain-lain yang berbeda satu dengan yang lainnya. Anthropometri secara luas yang digunakan sebagai pertimbangan ergonomis dalam proses perancangan (desain) produk maupun sistem kerja yang akan melibatkan interaksi manusia. Aplikasi anthropometri meliputi perancangan areal kerja, peralatan kerja dan produk-produk konsumtif, dan perancangan
II-40
lingkungan kerja fisik. Manusia pada umumnya akan berbeda-beda dalam hal bentuk dan dimensi ukuran tubuhnya. Ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi ukuran tubuh manusia, yaitu (Wignjosoebroto, 2003): a.
Umur Secara umum dimensi tubuh manusia akan tumbuh dan bertambah besar seiring dengan bertambahnya umur yaitu sejak awal kelahiran sampai dengan umur sekitar 20 tahunan. Dari suatu penelitia yang dilakukan oleh A. F. Roche dan G. H. Davila (1972) di USA diperoleh kesimpulan bahwa lakilaki akan tumbuh dan berkembang naik sampai dengan usia 21,2 ta hun, sedangkan wanita 17,3 tahun. Meskipun ada 10% yang masih terus bertambah tinggi sampai usia 23,5 tahun (laki -laki) dan 21,1 tahun (wanita). Setelah itu, tidak lagi akan terjadi pertumbuhan bahkan justru akan cenderung berubah menjadi pertumbuhan menurun ataupun penyusutan yang dimulai sekitar umur 40 tahunan.
b.
Jenis kelamin dimensi ukuran tubuh laki -laki umumnya akan lebih besar dibandingkan dengan wanita, terkecuali untuk beberapa bagian tubuh tertentu seperti pinggul, dan sebagainya.
c.
Suku bangsa (etnic) Setiap suku bangsa ataupun kelompok etnic akan memiliki karakteristik fisik yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dimensi tubuh suku bangsa negara Barat pada umumnya mempunyai ukuran yang lebih besar daripada dimensi tubuh suku bangsa negara Timur.
d.
Posisi tubuh (posture) Sikap ataupun posisi tubuh akan berpengaruh terhadap ukuran tubuh oleh karena itu harus posisi tubuh standar harus diterapkan untuk survei pengukuran. Berkaitan dengan posisi tubuh manusia dikenal dua cara pengukuran, yaitu: 1.
Anthropometri Statis (Structural Body Dimensions) Disini tubuh diukur dalam berbagai posisi standard dan tidak bergerak (tetap tegak sempurna). Dimensi tubuh yang diukur meliputi berat badan, tinggi tubuh, dalam posisi berdiri, maupun duduk, ukuran kepala,
II-41
tinggi/panjang lutut, pada saat berdiri/duduk, panjang lengan, dan sebagainya. 2.
Anthropometri Dinamis (Functional Body Dimensions) Disini pengukuran dilakukan terhadap posisi tubuh pada saat berfungsi melakukan gerakan- gerakan tertentu yang berkaitan dengan kegiatan yang harus diselesaikan .
2.2.11. Aplikasi Anthropometri dalam Perancangan Produk/Fasilitas Kerja Data anthropometri yang menyajikan data ukuran dari berbagai macam anggota tubuh manusia dalam persentil tertentu akan sangat besar manfaatnya pada saat suatu rancangan produk ataupun fasilitas kerja akan dibuat. Agar rancangan suatu produk nantinya bisa sesuai dengan ukuran tubuh manusia yang akan mengoperasikannya, maka prinsip-prinsip apa yang harus diambil didalam aplikasi data anthropometri tersebut harus ditetapkan terlebih dahulu seperti diuraikan berikut ini : a.
Prinsip perancangan produk bagi individu dengan ukuran yang ekstrim. Disini rancangan produk dibuat agar bisa memenuhi 2 (dua) sasaran produk, yaitu : Bisa sesuai untuk ukuran tubuh manusia yang mengikuti klasifikasi ekstrim dalam arti terlalu besar atau kecil bila dibandingkan dengan rataratanya. Tetap bisa digunakan untuk memenuhi ukuran tubuh yang lain (mayoritas dari populasi yang ada).
b.
Prinsip perancangan produk yang bisa dioperasikan diantara rentang ukuran tertentu. Disini rancangan bisa dirubah-rubah ukurannya sehingga cukup fleksibel dioperasikan oleh setiap orang yang memiliki berbagai macam ukuran tubuh. Contoh yang paling umum dijumpai adalah perancangan kursi mobil yang mana dalam hal ini letaknya bisa digeser maju/mundur dan sudut sandarannya bisa dirubah-rubah sesuai dengan yang diinginkan. Dalam kaitannya untuk mendapatkan
rancangan
yang
fleksibel,
II-42
semacam
ini
maka
data
anthropometri yang umum diaplikasikan adalah rentang nilai 5-th s/d 95-th persentil. c.
Prinsip perancangan produk dengan ukuran rata-rata. Berkaitan dengan aplikasi data anthropometri yang diperlukan dalam proses perancangan
produk
ataupun
fasilitas
kerja,
maka
ada
beberapa
saran/rekomendasi yang bisa diberikan sesuai dengan langkah-langkah seperti berikut : Pertama kali terlebih dahulu harus ditetapkan anggota tubuh yang mana yang nantinya akan difungsikan untuk mengoperasikan rancangan tersebut. Tentukan dimensi tubuh yang penting dalam proses perancangan tersebut, dalam hal ini juga perlu diperhatikan apakah harus menggunakan data struktural body dimension ataukah functional body dimension. Selanjutnya tentukan populasi terbesar yang harus diantisipasi, diakomodasikan dan menjadi target utama pemakai rancangan produk tersebut. Hal ini lazim dikenal sebagai "market segmentation", seperti produk mainan untuk anak-anak, peralatan rumah tangga untuk wanita, dan lain-lain. Tetapkan prinsip ukuran yang harus diikuti semisal apakah rancangan tersebut untuk ukuran individual yang ekstrim, rentang ukuran yang fleksibel (adjustable) ataukah ukuran rata-rata. Pilih prosentase populasi yang harus diikuti, 90-th, 95-th, 99-th ataukah nilai persentil yang lain yang dikehendaki. Untuk setiap dimensi tubuh yang telah diidentifikasikan selanjutnya pilih/tetapkan nilai ukurannya dari tabel data anthropometri yang sesuai. Aplikasi data tersebut dan tambahkan faktor kelonggaran (allowance) bila diperlukan seperti halnya tambahan ukuran akibat faktor tebalnya pakaian yang harus dikenakan oleh operator, pemakaian sarung tangan (glowes), dan lain-lain. Selanjutnya untuk memperjelas mengenai data anthropometri yang tepat diaplikasikan dalam berbagai rancangan produk ataupun fasilitas kerja,
II-43
diperlukan pengambilan ukuran dimensi anggota tubuh. Penjelasan mengenai pengukuran dimensi antropometri tubuh yang diperlukan dalam perancangan dijelaskan pada gambar 2.10.
Gambar 2.10 Anthropometri untuk Perancangan Produk Sumber: Wignjosoebroto, 2003
Keterangan gambar 2. 10 di atas, yaitu: 1.
: Dimensi tinggi tubuh dalam posisi tegak (dari lantai sampai dengan ujung kepala).
2.
: Tinggi mata dalam posisi berdiri tegak.
3.
: Tinggi bahu dalam posisi berdiri tegak.
4.
: Tinggi siku dalam posisi berdiri tegak (siku tegak lurus).
5.
: Tinggi kepalan tangan yang terjulur lepas dalam posisi berdiri tegak (dalam gambar tidak ditunjukkan).
6.
: Tinggi tubuh dalam posisi duduk (di ukur dari alas tempat duduk pantat sampai dengan kepala).
7.
: Tinggi mata dalam posisi duduk.
8.
: Tinggi bahu dalam posisi duduk.
9.
: Tinggi siku dalam posisi duduk (siku tegak lurus).
10.
: Tebal atau lebar paha.
11.
: Panjang paha yang di ukur dari pantat sampai dengan. ujung lutut.
12.
: Panjang paha yang di ukur dari pantat sampai dengan bagian belakang dari lutut betis.
13.
: Tinggi lutut yang bisa di ukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk. II-44
14.
: Tinggi tubuh dalam posisi duduk yang di ukur dari lantai sampai dengan paha.
15.
: Lebar dari bahu (bisa di ukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk).
16.
: Lebar pinggul ataupun p antat.
17.
: Lebar dari dada dalam keadaan membusung (tidak tampak ditunjukkan dalam gambar).
18.
: Lebar perut.
19.
: Panjang siku yang di ukur dari siku sampai dengan ujung jari-jari dalam posisi siku tegak lurus.
20.
: Lebar kepala.
21.
: Panjang tangan di ukur dari pergelangan sampai dengan ujung jari.
22.
: Lebar telapak tangan.
23.
: Lebar tangan dalam posisi tangan terbentang lebar kesamping kiri kanan (tidak ditunjukkan dalam gambar).
24.
: Tinggi jangkauan tangan dalam posisi berdiri tegak.
25.
: Tinggi jangkauan tangan dalam posisi duduk tegak.
26.
: Jarak jangkauan tangan yang terjulu kedepan di ukur dari bahu sampai dengan ujung jari tangan. Data anthropometri yang berhasil diperoleh akan diaplikasikan secara
luas antara lain dalam hal : 1.
Perancangan areal kerja (work station, interior mobil, dan lain-lain)
2.
Perancangan peralatan kerja seperti mesin, equipment, perkakas (tools) dan sebagainya.
3.
Perancangan produk-produk konsumtif seperti pakaian, kursi/meja komputer dan lain-lain.
4.
Perancangan lingkungan kerja fisik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data anthropometri akan
menentukan bentuk, ukuran dan dimensi yang tepat yang berkaitan dengan produk yang dirancang dan manusia yang akan mengoperasikan / menggunakan produk tersebut.
Dalam
mengakomodasikan
kaitan
ini
dimensi
maka tubuh
perancangan dari
populasi
produk
harus
terbesar
mampu
yang
akan
menggunakan produk hasil rancangannya tersebut. Secara umum sekurang-
II-45
kurangnya 90% - 95% dari populasi yang menjadi target dalam kelompok pemakai suatu produk haruslah mampu menggunakannya dengan selayaknya.
2.2.12. Aplikasi Distribusi Normal dan Persentil Dalam Penetapan Data Anthropometri Data anthropometri diperlukan agar supaya rancangan suatu produk bisa sesuai dengan orang yang akan mengoperasikannya. Ukuran tubuh yang diperlukan pada hakekatnya tidak sulit diperoleh dari pengukuran secara individual, seperti halnya yang dijumpai untuk produk yang yang dibuat berdasarkan pesanan (job order). Situasi menjadi berubah manakala lebih banyak prosuk standar yang harus dibuat untuk dioperasikan oleh banyak orang (Wignjosoebroto, 2003). Pada penetapan data anthropometri, pemakaian distribusi normal akan umum diterapkan. Distribusi normal dapat diformulasikan berdasarkan harga ratarata dan simpangan standarnya dari data yang ada. Berdasarkan nilai yang ada tersebut, maka persentil (nilai yang menunjukkan persentase tertentu dari orang yang memiliki ukuran pada atau di bawah nilai tersebut) bisa ditetapkan sesuai tabel probabilitas distribusi normal. Bilamana diharapkan ukuran yang mampu mengakomodasikan 95% dari populasi yang ada, maka diambil rentang 2,5th dan 97,5th persentil sebagai batas -batasnya (Wignjosoebroto, 2003).
Gambar 2.11 Distribusi normal yang mengakomodasi 95% dari populasi Sumber: Wignjosoebroto, 2003
Menurut Panero dan Zelnik (2003) disamping berbagai variasi, pola umum dari suatu distribusi data anthopometrik, seperti juga data -d ata lain, biasanya dapat di duga dan diperkirakan seperti pada distribusi Gaussian.
II-46
Distribusi semacam itu, bila disajikan melalui grafik dengan membandingkan kejadian yang muncul terhadap besaran, biasanya berbentuk kurva simetris atau berbentuk lonceng. Ciri umum kurva berbentuk lonceng tersebut adalah besarnya prosentase pada bagian tengah dengan sediki saja perbedaan yang mencolok pada bagian ujung dari skala grafik tersebut. Secara statistik sudah diperlihatkan bahwa data hasil pengukuran tubuh manusia pada berbagai populasi akan terdistribusi dalam grafik sedemikian rupa sehingga data-data yang bernilai kurang lebih sama akan terkumpul di bagian tengah grafik. Sedangkan data-data dengan nilai penyimpangan yang ekstrim akan terletak pada ujung-ujung grafik. Telah disebutkan pula bahwa merancang untuk kepentingan keseluruhan populasi sekaligus merupakan hal yang tidak praktis. Oleh karena itu sebaiknya dilakukan perancangan dengan tujuan dan data yang berasal dari segmen populasi dibagian tengah grafik. Jadi merupakan hal logis untuk mengesampingkan perbedaan yang ekstrim pada bagian ujung grafik dan hanya menggunakan segmen terbesar yaitu 90% dari kelompok populasi tersebut. Adapun distribusi normal ditandai dengan adanya nilai mean (rata - rata) dan SD (standar deviasi). Sedangkan persentil adalah suatu nilai yang menyatakan bahwa persentase teretentu dari sekelompok orang yang dimensinya sama dengan atau lebih rendah dari nilai tersebut. Misalnya: 95% populasi adalah sama dengan atau lebih rendah dari 95 persentil; 5% dari populasi berada sama dengan atau lebih rendah dari 5 persentil (Nurmianto, 2008). Persentil ke-50 memberi gambaran yang mendekati nilai rata -rata dari suatu kelompok tertentu, namun demikian pengertian ini jangan disalahartikan samadengan mengatakan bahwa rata -rata orang pada kelompok tersebut memiliki ukuran tubuh yang dimaksudkan tadi. Ada dua hal penting yang harus selalu diingat bila menggunakan persentil. Pertama, persentil anthropometri dari tiap individu hanya berlaku untuk satu data dimensi tubuh saja. Kedua, tidak dapat dikatakan seseorang memilki persentil yang sama, ke-95 atau ke-90 atau ke-5, untuk keseluruhan dimensi tubuhnya (Panero dan Zelnik, 2003). Pemakaian nilainilai persentil yang umum diaplikasikan dalam perhitungan data anthropometri, ditunjukan dalam tabel 2.3.
II-47
Tabel 2.5 Macam Persentil dan Cara Perhitungan dalam Distribusi Normal
Sumber: Wignjosoebroto, 2003
Keterangan tabel 2.3 di atas, yaitu: = mean data x
= standar deviasi dari data x Pada
pengolahan data anthropometri yang digunakan adalah data
anthropometri hasil pengukuran dimensi tubuh manusia yang berkaitan dengan dimensi d ari perancangan fasilitas kerja. Pada penentuan dimensi rancangan fasilitas kerja perakitan dibutuhkan beberapa persamaan berdasarkan pendekatan ant hropometri. Ini berkaitan dengan penentuan penggunaan persentil 5 dan 95 (Panero dan Zelnik, 2003) Perhitungan nilai persentil 5 dan persentil 95 dari setiap jenis data yang diperoleh, dilanjutkan dengan perhitungan untuk penentuan ukuran rancangan dan pembuatan
rancangan
berdasarkan
ukuran
hasil
rancangan.
Menurut
Wignjosoebroto (2003), untuk menghitung persentil 5 dan persentil 95 menggunakan rumus pehitungan yang terdapat pada tabel 2.3 sebelumnya. P5
=
- 1,645 SD ………………………………………….....................(2.4)
P50
=
……………………………..…………….….………...................(2.5)
P95
=
+ 1,645 SD…... ………………………………….……................(2.6)
II-48
2.2.13. Definisi 5S Menurut Masaaki Imai dan Hirano Dalam bukunya, Masaaki Imai (Imai, 1998), menjelaskan bahwa tahap kaizen gerakan 5S yang di ambil dari lima kata yang berasal dari Jepang yang di mulai sengan S: seiri, seiton, seiso, seketsu, dan shitsuke. Sebagai bagian dari manajemen visual dari keseluruhan program, tanda-tanda yang mengulang tahapan-tahapan itu seringkali di pasang di tempat kerja. Penjelasan Gerakan 5S untuk tiap-tiap tahap yaitu (Imai,1998): 1.
Langkah 1 seiri (mengatur) : a.
Proses kerja.
b.
Peralatan yang tidak perlu.
c.
Mesin yang tidak di gunakan.
d.
Produk-produk yang cacat.
e.
Surat dan dokumen.
f.
Membedakan antara yang perlu dan tidak perlu dan membuang yang tidak perlu. Seiri merupakan kegiatan memilah mana yang kita perlukan, yang sering
kita perlukan, dan yang sebenarnya tidak kita perlukan. Hal ini muncul Seiring dengan adanya budaya menyimpan barang, penyimpanan barangbarang ini termasuk pula barang yang sebenarnya tidak diperlukan. Seiri adalah seni “membuang”. Membuang bukan saja barang-barang yang sudah ada, tetapi juga membuang benda-benda yang akan ada. Maksudnya, berusaha lebih selektif untuk memilih barang-barang yang disimpan saat ini dan akan disimpan. Kerugian-kerugian yang mungkin muncul akibat penumpukan barang yang sebenarnya tidak diperlukan antara lain : a.
Waktu pencarian suatu barang menjadi semakin lama.
b.
Memungkinkan untuk menjadi sumber penyebab kecelakaan kerja.
c.
Perasaan jenuh karena ruangan yang terlalu padat. Hirano, 2005 mendefinisikan seiri sebagai sebuah disiplin di tempat kerja
dengan cara melakukan pemisahan berbagai alat atau komponen ditempat masing-masing, sehingga untuk mencarinya nanti bila diperlukan akan lebih mudah. Seiri adalah memisahkan benda yang diperlukan dengan
II-49
yang tidak diperlukan, kemudian menyingkirkan yang tidak diperlukan (ringkas). Sesungguhnya, terdapat banyak barang yang tidak diperlukan di dalam setiap pabrik. Barang yang tidak diperlukan artinya barang tersebut tidak dibutuhkan untuk kegiatan produksi saat ini 2.
Langkah 2 seiton (menempatkan barang-barang yang siap pakai) Sesuatu harus tetap beres sehingga mereka siap untuk digunakan ketika diperlukan. Seorang insinyur Amerika ingat bahwa dia dulu menghabiskan berjam-jam untuk mencari peralatan dan suku cadang ketika bekerja di Cincinati. Baru setelah ia bergabung dengan sebuah perusahaan Jepang dan melihat betapa mudahnya para pekerja bisa menemukan apa yang mereka perlukan, dia menyadari arti penting dari “seiton”. Untuk mencapai langkah ini, pelat
penunjuk digunakan untuk menetapkan nama tiap barang dan
tempat penyimpanannya (Yasuhiro,1995). Seiton memungkinkan pekerja dengan mudah mengenali dan mengambil kembali perkakas dan bahan, dan dengan mudah mengembalikannya ke lokasi di dekat tempat penggunaan. Pelat penunjuk digunakan untuk memudahkan penempatan dan pengambilan kembali bahan yang diperlukan. Sebagian orang merasa bahwa penataan merupakan suatu hal yang mudah, dan memang seharusnya demikian. Tapi sejauh mana penataan yang baik telah kita jalankan masih merupakan pertanyaan. Suatu penataan yang baik adalah penataan yang mengacu pada efisiensi, kualitas, dan keselamatan adalah sebagai berikut: a.
Efisiensi Cara penyimpanan barang harus hemat (tempat, baiaya, dan mudah dalam hal pengambilan (storage) dan pengembalian (retrieval)).
b.
Keselamatan Cara penyimpanan dilakukan sedemikian rupa untuk mencegah timbulnya cedera, seperti sakit punggung, dan tergelincir.
c.
Kualitas Seiton harus dilakukan dengan memperhatikan kualitas. Barang-barang yang disimpan harus selalu berada dalam kondisi siap : tidak berkarat, kusam, dimakan rayap, dsb.
II-50
3.
Langkah 3 seiso (membersihkan) Menjaga tempat kerja tetap bersih. Meskipun pembersihan besar-besaran di seluruh perusahaan dilakukan beberapa kali dalam setahun, tiap tempat kerja
perlu dibersihkan setiap hari. Aktifitas itu cenderung mengurangi
kerusakan mesin akibat tumpahan minyak, abu, dan sampah. Contohnya, kalau ada pekerja yang mengeluh ada mesin yang rusak ini tidak berarti mesin itu perlu penyetelan. Sebenarnya, yang diperlukan mungkin hanya program pembersihan di tempat kerja (Yasuhiro,1995). Kegiatan membersihkan dipercaya sebagai pembawa semangat dan gairah baru bagi manusia. Ada 3 mekanisme dimana kegiatan ini akan memberikan hasil “mengejutkan” di tempat kerja : a.
Macro Level Membersihkan segala sesuatu yang kotor dan membereskan sebab-sebab munculnya kotoran tersebut. Dilakukan bersama-sama dan dalam skala besar-besaran.
b.
Individual Level Membersihkan tempat kerja yang lebih spesifik sesuai tempat kerja masing-masing. Misalnya operator bubut membersihkan mesin bubut yang menjadi tanggung jawabnya. Bersifat personal dan dilakukan sebagai bagian pekerjaan sehari-hari.
c.
Micro Level Operator mulai melakukan kegiatan “membersihkan”nya dengan lebih teliti sampai ke komponen-komponen yang lebih spesifik dari mesinnya. Setelah melakukan pembersihan secara lebih mendetail, pekerja mulai berpikir tentang cara mempertahankan kebersihan. Ia mulai menyelidiki sumber-sumber debu, kontaminan, geram, dan mencari cara untuk mengeliminasinya. Dari 3 tahap ini, tempat kerja akan berubah menjadi lebih menyenangkan
dan itu adalah hasil kerjanya sendiri. Kebanggaan akan tempat kerjanya pun akan bertambah. Pekerja yang bangga atas pekerjaannya adalah aset perusahaan yang tak ternilai.
II-51
4.
Langkah 4 seiketsu (kebersihan pribadi) Membiasakan untuk bersih dan rapi, di mulai dari diri sendiri. Antara seiso dengan seiketsu sangat berkaitan erat. Seiketsu atau pemeliharaan kerapihan secara terus menerus dalam pabrik, bergantung kepada seiso yang membakukan kegiatan pembersihan sehingga tindakan ini spesifik dan mudah dikerjakan (Yasuhiro, 1995). Membakukan berarti berusaha menciptakan suatu mekanisme dimana ketidakberesan-ketidakberesan baru yang akan mengancam kondisi 3S sebelumnya dapat diidentifikasi dengan segera.
5.
Langkah 5 shitsuke (disiplin) Mengikuti prosedur yang berlaku di tempat kerja. Yasuhiro, 1995 mendifinisikan shitsuke sebagai metode yang digunakan untuk memotivasi pekerja agar terus menerus melakukan dan ikut serta dalam kegiatan perawatan dan aktivitas perbaikan serta membuat pekerja terbiasa mentaati aturan (rajin). Hal ini dianggap sebagai komponen yang paling sukar dari 5S. Untuk aktivitas ini, pekerja Jepang diharapkan melatih pengandalian diri sendiri, bukan dikendalikan manajemen. Sebelum kegiatan 5S dimulai hal yang pertama harus dilakukan adalah
mengambil foto di sekeliling tempat kerja. Hal ini akan sangat berguna sebagai perbandingan bilamana 5S dilaksanakan sepenuhnya (Hirano, 1992). Konsep 5S pada dasarnya merupakan proses perubahan sikap dengan menerapkan penataan, kebersihan dan kedisiplinan di temapat kerja. Dengan menerapkan prinsip “A place for everything, and everything in its place”, maka setiap anggota organisasi dibiasakan bekerja dalam lingkungan kerja dengan standar tempat yang jelas (Hirano, 1992).
2.2.14. Definisi 5S Menurut Takashi Osada Sebagaimana setiap kata memiliki arti yang luas, demikian pula dengan aktivitas 5S yang bahkan kadang-kadang memiliki arti yang kurang jelas. Secara umum tidak ada penjabaran definisi yang baku mengenai tiap tahap dalam 5S, yang ada adalah prinsip-prinsip dalam tiap tahap 5S. Prinsip-prinsip tersebut mengacu kepada aktivitas yang dilakukan dan sikap mental yang diperlukan dalam melaksanakan setiap tahapan 5S.
II-52
Tujan yang diharapkan dengan menerapkan 5S di perusahaan adalah sebagai berikut (Osada, 2002) : 1.
Keamanan Hampir selama puluhan tahun, kedua kata pemilahan dan penataan menjadi ciri khas pada poster-poster dan surat kabar bahkan di perusahaan-perusahaan kecil. Karena pemilahan dan penataan sangat berperan besar di dalam masalah keamanan.
2.
Tempat kerja yang rapi Tempat kerja yang menerapkan 5S dengan teliti tidak perlu terus menerus membicarakan keamanan, dan kecelakaan industri yang dialaminya akan lebih sedikit ketimbang pabrik yang hanya mengutamakan peralatan dan prosedur yang sedemikian aman sehingga tidak mungkin gagal.
3.
Efisiensi Para ahli diberbagai bidang seperti, juru masak, pelukis, tukang kayu akan menggunakan peralatan yang baik dan memeliharanya. Mereka tahu bahwa waktu yang dipergunakan untuk memelihara peralatan tidak terbuang percuma, bahkan hal itu menghemat lebih banyak waktu.
4.
Mutu Elektronika dan mesin-mesin modern memerlukan tingkat presisi dan kebersihan yang sangat tinggi, untuk menghasilkan output yang baik. Berbagai gangguan yang kecil dapat berakibat terhadap penurunan mutu dari output yang dihasilkan.
5.
Kemacetan Pabrik yang tidak menerapkan 5S akan menghadapi berbagai masalah kemacetan mulai dari mesin yang disebabkan kotoran yang mengendap ataupun kemacetan dalam ingatan karyawan, harus disadari bahwa ingatan seseorang bisa saja salah, maka daripada itu diperlukan berbagai petunjuk yang melengkapi keterbatasan seorang manusia dalam menjalankan tugasnya.
II-53
Penjabaran 5S dan 5R sebagai padanannya adalah sebagai berikut (Osada, 2002) : 1. Seiri (Ringkas) Umumnya istilah ini berarti mengatur segala sesuatu, memilah sesuai dengan aturan atau prinsip-prinsip yang spesifik. Sesuai dengan terminologi 5S, Seiri berarti membedakan atau memisahkan antara yang diperlukan dan yang tidak diperlukan, mengambil keputusan yang tegas, dan menerapkan manajemen stratifikasi untuk membuang hal-hal yang tidak diperlukan. Pada tahap ini, titik beratnya adalah manajemen stratifikasi dan mencari faktorfaktor penyebab sebelum hal-hal yang tidak diperlukan tersebut menjdi sebuah masalah. Dalam manajemen stratifikasi, hal pertama yang dilakukan adalah menggunakan diagram pareto, kemudian melakukan stratifikasi terhadap hasil metode pareto sebagai dasar penentuan prioritas pemecahan masalah. Selanjutnya adalah mengatasi faktor-faktor penyebab. Merupakan hal yang sangat penting untuk melakukan pembersihan sampah-samapah apapun bentuknya, sehingga dengan demikian akan diketahui mengapa suatu hal menjadi buruk dan dapat menemukan akar dari penyebab masalah. Dengan demikian, kita akan dapat menangani penyebabnya, dan ini merupakan hal yang sangat penting. Dari pengertian Seiri di atas, maka dapat digambarkan proses Seiri sebagai berikut :
Pembersihan besar-besaran
Manajemen Stratifikasi
Membuang segala sesuatu yang tidak diperlukan Mengatasi penyebabpenyebab
Menangani barang cacat, suku cadang dan produk yang rusak
Gambar 2.12. Proses dalam Seiri Sumber : Sikap Kerja 5S, Takashi Osada 2002
II-54
2. Seiton (Rapi) Umumnya, dalam penerapan 5S, Seiton berarti menyimpan barangbarang di tempat yang tepat atau dalam tata letak yang benar sehingga dapat dipergunakan dalam keadaan mendadak. Pada tahap ini, titik beratnya adalah pada manajemen fungsional dan mengeliminasi aktivitas mencari. Jika segala sesuatu disimpan pada tempatnya sehingga menjaga mutu dan keamanan, maka akan tercipta tempat kerja yang rapi. Prinsip penataan berlaku di seluruh lapisan masyarakat dan disegala aspek kehidupan. Semua penataan ini memerlukan keterampilan. Segala sesuatunya dirancang untuk memudahkan dalam mengambil barang saat dibutuhkan tanpa adanya kegiatan mencari. Untuk merancang suatu tata letak fungsional, langkah awal dilakukan dengan menentukan seberapa sering menggunakan suatu barang atau material adalah sebagai berikut: a. Barang-barang yang tidak dipergunakan : singkirkan b. Barang-barang yang tidak digunakan tetap jika ingin digunakan dalam keadaan tertentu : simpan sebagai barang-barang untuk keadaan yang tidak terduga. c. Barang-barang yang hanya dipergunakan sewaktu-waktu saja :simpan sejauh mungkin. d. Barang-barang yang kadang-kadang dipergunakan : simpan di tempat kerja. e. Barang-barang yang sering dipergunakan : simpan di tempat kerja atau disimpan oleh pegawai yang bersangkutan. Karena penataan dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi, maka perlu dilakukan studi waktu, penyempurnaan, dan penerapan selama perbaikan dilakukan. Kunci untuk melkukan hal ini adalah dengan mempertanyakan 5W 1H (what, when, where, why, who, dan how) untuk setiap item. 3. Seiso (Resik) Secara umum Seiso berarti melakukan pembersihan sehingga segala sesuatunya bersih. Pada terminologi 5S, Seiso berarti menyingkirkan sampah,
II-55
kotoran, dan lain-lain sehingga segala sesuatunya bersih. Membersihkan merupakan
salah
satu
bentuk
pemeriksaan.
Titik
beratnya
adalah
membersihkan sebagai pemeriksaan dan menciptakan tempat kerja yang sempurna. Sangat penting untuk mengetahui dengan tepat tempat melakukan pemeriksaan, terutama pada mesin-mesin dan fasilitas yang harus bebas kotoran. Semangat “Membersihkan adalah Memeriksa”, yaitu membersihkan lebih dari sekedar membuat tempat dan fasililtas bersih, melainkan juga memberikan kesempatan untuk melakukan pemeriksaan. Meskipun tempat kerja tidak kotor, tetap saja harus diperiksa. Mencapai keadaan tanpa kotoran dengan pertimbangan bahwa aktivitas membersihkan
memberikan
dampak
terhadap
downtime,
kualitas,
keselamatan, moral dan aspek operasional lainnya. 5S berusaha mencapai keadaan tanpa kotoran dan mengeliminasi kerusakan-kerusakan dan kesalahan-kesalahan kecil pada titik-titik kunci pemeriksaan. 4. Seiketsu (Rawat) Pada terminologi 5S, standarisasi berarti perawatan ringkas, kerapian, dan kebersihan secara terus menerus. Hal tersebut meliputi kebersihan personil dan kebersihan secara terus menerus. Hal tersebut meliputi kebesihan personil dan kebersihan lingkungan. Titk beratnya adalah manajemen visual dan standarisasi 5S. Inovasi dan manajemen visual dilakukan untuk mencapai dan memelihara kondisi terstandarisasi sehingga tindakan dapat diambil dengan cepat.Manajemen visual menjadi salah satu alat yang merupakan penerapan kaizen
yang efektif. Dewasa ini digunakan untuk produksi,
kualitas, keselamatan, dan lain-lain. Manajemen warna, atau disebut juga manajemen kode-warna digunakan untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih londusif. Sebagai contoh adalah pengguna baju berwarna putih oleh karyawan sebagai indikator seberapa cepat baju itu kotor. Semakin cepat kotor berarti perlu diambil tindakan untuk menciptakan lingkungan kerja yang bersih. Demikian halnya dengan petunjuk-petunjuk atau instruksi kerja harus dapat disampaikan secara
II-56
visual kepada seluruh pegawai dengan baik, dalam arti baik secara visual dan dipersepsikan secara benar. 5. Shitsuke (Rajin) Secara umum Shitsuke berarti pelatihan yang diberikan dan kemampuan untuk melakukan sesuatu yang diinginkan walaupun sulit. Pada terminologi 5S, Shitsuke berarti memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan sebagaimana seharusnya dikerjakan. Titik beratnya adalah melakukan pekerjaan sebagaimana seharusnya dilakukan. Titik beratnya adalah lingkungan kerja dengan kebiasaan dan disiplin yang baik. Sengan mendidik dan melatih manusia, kebiasaan buruk dihilangkan, kebiasaan baik ditumbuhkan. Manusia akan terlatih dalam membuat dan mematuhi aturan. Disiplin adalah 5S yang pertama. Disiplin merupakan hal yang yang seringkali sulit diterapkan oleh orang-orang muda karena adanya anggapan suatu paksaan untuk mengubah kebiasaan dan perilakunya. Namun, disiplin menjadi dasar dan syarat minimum bagi berfungsinya suatu peran, baik masyarakat dan lingkungan kerja. Demikian juga dalam 5S, disiplin tidak mungkin untuk diletakan pada bagian terakhir, apalagi dihilangkan. Disiplin dapat mengubah bentuk perilaku. Disiplin merupakan proses pengulangan dan praktek. Banyak kecelakaan ditempat kerja terjadi karena pegawai lupa atau sengaja mengabaikan prosedur kerja dan keselamatan. Disiplin dimulai dari hal-hal yang sederhana dan secara bertahap menjadi suatu kebiasaan yang baik dalam melakukan pekerjaan sehungga pekerjaan dapat dilakukan dengan baik dan aman.
2.2.15. Langkah-Langkah 5S Disini, 5S mulai diterapkan. Teori-teori selanjutnya tidak begitu sulit, tetapi teori tidak ada artinya bila tidak diikuti dengan penerapan. Untuk memulainya, ada langkah-langkah (Osada, 2002) yang harus diperhatikan, sebagai berikut : 1.
Memulai tindakan.
2.
Penemuan hal baru dan keadaan yang dapat mengubah persepsi.
3.
Mengubah tempat kerja dan fasilitas.
II-57
4.
Mengubah manusia. 5S merupakan metode pendekatan secara sistematik guna mengorganisir
area kerja, sesuai dengan peraturan dan standar serta mempertahankan kedisiplinan untuk melakukan pekerjaan dengan baik yang disesuaikan dengan keadaan perusahaan dengan tujuan akhir memperoleh manfaat yang sebaikbaiknya dari tempat kerja. Jadi, efektivitas penerapan 5S merupakan tingkat keberhasilan atau ketercapaian dalam penerapan seiri, seiton, seiso, seiketsu dan shitsuke (5S) sesuai tujuan/sasaran yang telah ditentukan sebelumnya. Sehingga bisa dikatakan bila dalam penerapan 5S bisa tercapai sesuai dengan tujuan atau sasaran yang ditentukan maka dinyatakan efektif. Sebaliknya, apabila dala penerapannya tidak memenuhi tujuan tersebut, bisa dikatakan belum efektif/tidak efektif. Suharsimi (2006), menyatakan Instrumen pengumpulan data adalah alat bantu yang dipiih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan dipermudah olehnya. Istrumen yang membantu dalam pengumpulan data dalam penerapan 5S mengunakan jenis instrumen
lembar
pengamatan
dan
daftar cocok (checklist). daftar cocok
(checklist) mempunyai bentuk yang lebih sederhana karena dengan daftar cocok peneliti bermaksud meringkas pertanyaan serta mempermudah responden dalam memberikan respondennya. Lembar checklist yang persiapkan digunakan untuk mengetahui penerapan seiri, seiton, seiso, seiketsu dan shitsuke (5S). Dari beberapa indikator didapat kriteria-kriteria yang menjadi tolak ukur dalam penerapan 5S di perusahaan. Sehingga nantinya didapat penilaian mengenai penerapan mengenai 5S di perusahaan. Adapun kisi-kisi daftar cocok (checklist) mengenai penerapan 5S yaitu sebagai berikut (tabel 2.6) :
II-58
Tabel 2.6 Kisi-Kisi Daftar Cocok (Checklist) Mengenai 5S Sub Variabel
No
1
Indikator
Pemilahan barang yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan
Seiri (Pemilahan)
No
Kriteria
1.1
Setiap ruangan bengkel memiliki tempat barang bekas.
1.2
2
Menyingkirkan barang yang tidak diperlukan
2.1 2.2 3.1
3
Penataan peralatan/tools di ruang alat. 3.2
Seiton (Penataan)
4
Penataan peralatan di area kerja.
4.1
4.2 5.1 5
Pembersihan pada area kerja
5.2
Seiso (Pembersihan) 6.1 6
Pembersihan pada peralatan kerja 6.2
II-59
Pemilahan dilakukan secara rutinsetiap hari oleh setiap karyawan Tidak adanya penumpukkan sampah disetiap ruangan Tersedianya tempat sampah Adanya tempat/rak penyimpanan alat sesuai dengan fungsinya. Petugas melakukan pengontrolan peralatan pada setiap harinya Peralatan mudah terjangkau dan tidak mengganggu aktivitas kerja mekanik. Penataan dilakukan oleh semua karyawan sendiri Kelengkapan peralatan kebersihan di area kerja Pembersihan area kerja dilakukan setiap hari oleh petugas khusus Setiap mekanik melakukan pembersihan pada peralatan yang telah digunakan. Tersedianya majun atau alat kebersihan lainya
Tabel 2.6 Kisi-Kisi Daftar Cocok (Checklist) Mengenai 5S (lanjutan…) Sub No Indikator No Kriteria Variabel
7
Penggunaan garis-garis warna
Seiketsu (Pemantapan)
7.1
Garis-garis warna terdapat di area kerja/bay dan di ruang alat
7.2
Kejelasan warna yang digunakan
Tanda-tanda terdapat disetiap ruangan Kejelasan dan kesesuaian tanda-tanda 8.2 peringatan dengan area kerja Penggunaan bahasa 9.1 yang dapat dimengerti Tidak adanya salah 9.2 komunikasi antar karyawan Setiap karyawan baik mekanik maupun lainnya 10.1 dapat menaati semua peraturan yang telah ditentukan Pengarahan dilakukan 10.2 setiap hari oleh pimpinan 8.1
8
Adanya tanda-tanda peringatan
9
Komunikasi yang baik antar karyawan di tempat kerja
10
Peraturan di workshop ditaati oleh setiap karyawan.
Shitsuke (Pembiasaan)
Sumber : Prosedur Penelitian, Suharsimi Arikunto 2006
2.2.16. Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan dengan tujuan agar data yang telah diperoleh akan lebih bermakna. Dengan demikian melakukan analisis merupakan pekerjaan yang sulit di dalam sebuah penelitian dan memerlukan kerja keras, kesungguhan dan keseriusan. Analisis memerlukan daya kreatifitas serta kemampuan yang baik. Analisis memerlukan suatu proses menyusun data agar diinterprestasikan dan lebih bermakna. Pada penelitian ini menggunakan teknik analisis data deskriptif kualitatif. Untuk menganalisis data hasil pengamatan kondisi stasiun assembly sol di pabrik Yessy dilakukan secara induktif, yaitu dimulai dari lapangan atau fakta empiris dengan cara terjun ke lapangan, mempelajari fenomena yang ada di lapangan. Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan secara bersamaan dengan cara II-60
proses pengumpulan data. Menurut Bogdan & Biklen (1982) yang dikutip H.M Burhan Bungin (2011) mendefinisikan analisis data kualitatif sebagai berikut : “Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadikan satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain”. Sedangkan, untuk menganalisis data daftar cocok (checklist) mengenai penerapan seiri, seiton, seiso, seiketsu dan shitsuke di stasiun assembly sol di pabrik Yessy dilakukan dengan beberapa tahapan. Adapun tahapan-tahapan tersebut yaitu sebagai berikut : 1.
Memberikan penilaian prosentase untuk tiap sub variabel. Seperti yang sudah tertera di kisi-kisi instrumen mengenai daftar cocok (checklist) menunjukkan ada 4 kriteria untuk setiap sub variabel dalam penilaian penerapan aspek 5S di stasiun assembly sol pabrik sepatu Yessy. Sehingga untuk mempermudah penilaian mengenai penerapan seiri, seiton, seiso, seiketsu dan shitsuke (5S) tersebut digunakan penilaian prosentase. Menurut Suharsimi (1990), menyatakan bahwa keuntungan menggunakan prosentase sebagai alat bantu untuk menyajikan informasi adalah bahwa dengan prosentase tersebut pembaca laporan penelitian akan mengetahui sejauh mana sumbangan tiap-tiap bagian (aspek) didalam keseluruhan konteks permasalahan yang sedang dibicarakan. Penilaian tersebut dangan cara mengukur kondisi kriteria yang terlaksana dibandingkan dengan kondisi yang diharapkan. Kriteria-kriteria tersebut tentunya menjadi patokan untuk mengetahui sejauh mana penerapan seiri, seiton, seiso, seiketsu dan shitsuke (5S) di stasiun assembly sol pabrik sepatu Yessy. Sehingga dapat digunakan rumus perbandingan untuk mendapatkan penilaian prosentase sebagai berikut : Prosentase Penerapan 5S : (Kriteria terlaksana/Total kriteria tiap sub variabel) x 100%…………….……................(2.6) Berdasarkan rumus tersebut diatas, apabila peneliti menentukan empat ukuran untuk semua kriteria tiapsub variabel dan 100% bagi kondisi sub
II-61
variabel yang memenuhi keempat tolak ukur, maka jika kondisi hanya tiga kriteria akan dikatakan 75% sesuai kondisi yang diinginkan. Selanjutnya jika hanya 2 kriteria terlaksana dikatakan penerapannya 50%, hanya terlaksana 1 kriteria dikatakan penerapannya 25% dan jika tidak ada kriteria yang terlaksana maka dikatakan penerapananya 0%. 2.
Menyajikan data dalam bentuk Diagram Pie Penilaian prosentase mengenai penerapan sub variabel seiri, seiton, seiso, seiketsu dan shitsuke (5S) perlu adanya penyajian data yang lebih bisa menggambarkan beberapa aspek 5S tersebut, salah satunya dengan menggunakan diagram pie. Diagram tersebut berbentuk seperti potongan buah apel sehingga bisa lebih visualis.
3.
Memberikan sebuah predikat mengenai penerapan 5S. Dari hasil penilaian prosentase mengenai penerapan seiri,
seiton, seiso,
seiketsu dan shitsuke (5S) di stasiun assembly sol pabrik sepatu Yessy masih bersifat kuantitatif sehingga perlu dirubah kedalam penilaian yang bersifat kualitatif. Seperti yang disampaikan oleh Suharsimi (1990) dalam buku “Manajemen
Penelitian”
menyatakan
bahwa:
“Analisis
data
yang
menggunakan teknik deskiptif kualitatif memanfaatkan prosentase hanya merupakan langkah awal saja dari keseluruhan proses analisis. Prosentase yang dinyatakan dalam bilangan sudah jelas merupakan ukuran yang bersifat kuantitatif, bukan kualitatif. Jadi pernyataan prosentase bukan merupakan hasil analisis kualitatif. Analisis kualitatif tentu harus dinyatakan dalam sebuah predikat yang menunjuk pada pernyataan keadaan, ukuran kualitas”. Berdasarkan atas uraian tersebut agar hasil penilaian akhir berupa pernyataan kualitatif maka besarnya prosentase dijadikan dasar bagi penentuan predikat. Dengan demikian maka: a.
Jika sub variabel 5S memenuhi keempat kriteria maka pertama-tama peneliti memberi angka 100%, kemudian diganti dengan predikat : penerapannya “Efektif”.
b.
Jika sub variabel 5S memenuhi tiga kriteria maka diberi tingkatan ketercapaian penerapannya 75%, kemudian diganti dengan predikat : penerapannya “Cukup Efektif”.
II-62
c.
Jika sub variabel 5S memenuhi dua kriteria maka diberi tingkatan ketercapaian penerapannya 50%, kemudian diganti dengan predikat : penerapannya “Kurang Efektif”.
d. Jika sub variable 5S memenuhi satu kriteria maka diberi tingkatan ketercapaian penerapannya 25%, kemudian diganti dengan predikat : penerapannya “Tidak Efektif” e. Jika sub variable 5S sama sekali tidak memenuhi kriteria maka diberi tingkatan ketercapaian penerapannya 0%, kemudian diganti dengan predikat : penerapannya “Sangat Tidak Efektif” 2.2.17. Penelitian-Penelitian Sebelumnya Penelitian terdahulu dapat berguna sebagai referensi tambahan, yang digunakan sebagai pelengkap materi-materi selain dari buku-buku maupun informasi perusahaan. Pada penelitian ini terdapat beberapa penelitian sebelumnya dengan topik yang sama tapi dengan kasus yang berbeda. Ditunjukan pada tabel 2.7 yaitu : Tabel 2.7 Penelitian-Penelitian Sebelumnya No
1
Nama
Yoppy Setiawan, Herry Christian Palit,S.T., M.T. 2013
Judul
Perbaikan Metode Kerja Pada Bagian Pengemasan Di Pt. Kembang Bulan
II-63
Metode
Hasil
Metode kerja menggunakan Peta Tangan Kanan dan Tangan Kiri (PTKTK) serta Ekonomi Gerakan
Perbaikan metode kerja pada proses pengemasan sekunder dapat dilakukan pada proses pengemasan labelling, pengemasan kardus kecil, dan pengemasan dozen yang memberikan presentaase penurunan waktu siklus.
Tabel 2.7 Penelitian-Penelitian Sebelumnya (lanjutan…) No
2
3
4
Nama
Judul
Risma A. Simanjunt ak & Dian Hernita, 2008
Usulan Perbaikan Metode Kerja Berdasarkan Micromotion Study Dan Penerapan Metode 5S Untuk Meningkatkan Produktifitas
Shely Fuji Arimbi, Aviasti & Asep Nana R, 2015
Usulan Perbaikan Terhadap Penerapan BudayaKerja 5S di PT PINDAD (PERSERO) Divisi Tempa dan Cor Departemen Prasarana Kereta Api Menggunakan PDCA Cycle
Wayan Sukania, Oktaviang el & Julita, 2011
Perbaikan Metode Perakitan Steker Melalui Peta Tangan Kiri Dan Tangan Kanan
II-64
Metode
Hasil
Metode 5S (seiri, seiton, seiso, seiketsu dan shitsuke)
Memperoleh perbandingan hasil produksi antara kondisi dan metode kerja sebelum dan sesudah perbaikan. Usulan perbaikan dilakukan dengan menggunakan metode 5S untuk menata lingkungan dan layout kerja operator kemudian dianalisa dengan micromotion study.
Budaya 5S dan PDCA cycle
Mengusulan perbaikan terkait penerapan budaya 5S di Departemen Prasarana Kereta Api.
Peta Tangan Kiri Dan Tangan Kanan
Perbaikan metode perakitan steker listrik dapat dilakukan dengan menganalisa gerak dan waktu yang telah ditampilkan pada peta tangan kiri dan tangan kanan.
Tabel 2.7 Penelitian-Penelitian Sebelumnya (lanjutan…) No
5
6
7
Nama
Metode
Hasil
Andri Yani, 2008
Analisis Perbaikan Metode Kerja Pada Stasiun Potong Dan Stasiun Setrika Dalam Proses Pembuatan Quilts
Prinsip ekonomi gerakan, dan analisis 5S
Mengurangi kelonggaran pribadi, dengan cara melakukan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor. Pelaksaanaan 5S yang diterapkan perusahaan walaupun sudah baik tetapi untuk beberapa hal masih kurang seperti pada bagian gudang belum ada pengaturan sehingga seringkali terjadi dimana bahan lama masih belum terpakai.
Muhamma d Hanafi, 2010
Perancangan Ulang Fasilitas Kerja Alat Pembuat Gerabah Dengan Mempertimbangkan Aspek Ergonomi
Nordic Body Map (NBM), Penilaian Postur Kerja Berdasarkan RULA dan REBA
hasil redesign pada penelitian ini akan lebih tepat jika dilakukan penilaian dengan menggunakan metode REBA
Metode 5S
Prosentase ketercapaian penerapan 5S di workshop 1 PT. Hino Motor Sales Indonesia seiri (pemilahan) sebesar 75%, seiton (penataan) sebesar 75%, seiso (pembersihan) sebesar 100%, seiketsu (pemantapan) sebesar 100%, shitsuke (pembiasaan) sebesar 75%.
Ruslianto, 2013
Judul
Penerapan Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, Dan Shitsuke (5S) Di Workshop Pt. Hino Motors Sales Indonesia
II-65
Tabel 2.7 Penelitian-Penelitian Sebelumnya (lanjutan…) No
8
9
Nama
Judul
Metode
Thelisa, 2014
Rancangan Kaizen Pada Toko Welly Motor Kecam Atan Tanah Grogot
Perwira Ginting, 2013
Analisis Program Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Di Bagian Produksi Dengan 5s Dalam Konsep Kaizen Sebagai Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja Di Pt.Xyz
II-66
Hasil
Memberikan rancangan bagi tolo Welly Motor yang memberikan kesadaran terhadap peluang perbaikan, meningkatkan Metode Kaizen produktifitas kerja, efisiensi waktu, profit,keselamatan kerja, serta memperoleh kepercayaan dari konsumen. Hasil Analis Seiri Kondisi perusahaan menunjukan bahwa barang atau scrap sisa produksi berserakan di lantai sehingga tidak tidak sesuai dengan metode 5S. Hasil analisis metode seiton menunjukkan bahwa perusahaan belum menerapkan pengaturan barang 5S Dalam dan penempatan Konsep Kaizen barang atau alat pada lokasi yang tetap. Hasil analisis dengan metode seiso menunjukkan bahwa tidak semua pekerja menjaga kebersihan. Metode Seiketsu menunjukkan bahwa operator mempunyai keahlian namun jarangdiawasi pada saat bekerja.
Sebelumnya telah dilakukan penelitian dengan tema sejenis (Perancangan perbaikan fasilitas kerja dengan menggunakan metode 5S). Pada penelitian ini memiliki kesamaan dalam tujuan yang ingin dicapai yaitu melakukan perbaikan metode kerja, dan penanganan fasilitas kerja untuk meningkatkan produktifitas. maka dalam melakukan perbaikan di stasiun assembly sol menggunakan pendekatan metode prinsip gerakan 5S (Masaaki Imai, 1998), yang dalam melakukan
identifikasi
awal
untuk
melihat
kondisi
lingkungan
kerja
menggunakan metode Ergonomic Checkpoint (Mahidia Seiji, 2010), elemen gerakan pekerja menggunakan Peta Tangan Kiri dan Tangan Kanan serta merancang ulang penataan dan desain meja assembly sol sesuai antropometri pekerja.
II-67