BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pergertian Drainase
Pelly DKK (1997), mengatakan bahwa Drainase (drainage) yang berasal dari kata kerja to draim yang artinya mengeringkan atau mengalirkan air, adalah terminology yang digunakan untuk menyatakan sistem sistem yang berkaitan dengan penangan masalah kelebihan air, baik diatas maupun dibawah permukaan tanah. Secara umum drainase didefenisikan sebagai ilmu pengetauhan yang mempelajari usaha untuk mengalirkan air dalam sutau konteks pemanfaatan tertentu. Sedangkan drainase perkotaan merupakan sistem pengeringan dan pengaliran air dari wilayah perkotaan yang meliputi : pemukiman, kawasan industry & perdagangan, sekolah, rumah sakit, fasilitas umum lainnya, lapangan olah raga, lapangan parker, instalasi militer, instalasi listrik, telekomunikasi, pelabuhan udara serta tempa lain yang merupakan bagian dari sarana kota.
Suripin( 2004), mengatakan bahwa Drainase berasal dari bahasa inggris drainage, mempunyai arti mengalirkan, menguraskan, menbuang atau mengalihkan air. Dalam bidang teknik sipil, drainase secara umum dapat didefenisikan sebagai suatu tindakan teknik untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal dari air hujan, rembesan maupun kelebihan air irigasi suatu kawasan/ lahan, sehingga fungsi kawasan/ lahan tidak terganggu. Drainase juga dapat di artikan sebagai usaha untuk mengontrol kualitas air tanah dalam kaitannya dengan salinitas. Jadi, drainase menyangkut tidak hanya air permukaan tapi juga air tanah. Dari sudut pandang yang lain, drainase adalah salah satu unsur dari prasana umum yang dibutuhkan masyarakat kota dalam rangka menuju kehidupan kota yang aman, nyaman, bersih, dan sehat.
4
Hasmar (2012), Drainase secara umum didefenisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari usaha untuk mengalirkan air yang berlebihan dalam suatu konteks pemanfaatan tertentu. Drainase perkotaan/terapan adalah ilmu drainase yang diterapkan mengkhusus pengajian pada kawasan perkotaan yang erat kaitannya dengan kondisi lingkungan social budaya yang ada di kawasan kota. Drainase perkotaan merupakan sistem pengeringan dan pengaliran air dari wilayah perkotaan yang meliputi: pemukiman, kawasan industry & perdagangan, sekolah, rumah sakit, lapangan olah raga, lapangan parker, dan fasilitas umum lainnya yang merupakan bagian dari sarana kota.
2.2. Jenis Drainase
Pelly DKK (1997), mengatakan bahwa Untuk memahami tentang drainase yang lebih mudah maka dapat dikelompokan sebagai berikut:
2.2.1. Berdasarkan menurut sejarah terbentuknya. Menurut jenis drainase yang ditinjau berdasarkan sejarah terbentuknya, dapat dikelompokan menjadi beberapa bangian antara lain:
a.
Drainase Alamiah (Natural Drainage) Drainase alamiah merupakana drainase yang terbentuk secara alami dan tidak
terdapat bangunan bangunan penunjang seperti bangunan pelimpah, pasangan batu/beton, gorong gorong dan lain lain. Saluran ini terbentuk oleh gerusan air yang bergerak karena gravitasi yang lambat laun menbentuk jalan air yang permanen seperti sungai.
5
b.
Drainase Buatan (Arficial Drainage) Drainase buatan merupakan drainase yang dibuat dengan maksud dan tujuan
tertentu sehingga memerlukan bangunan bangunan khusus seperti selokan, pasangan batu/ beton, gorong gorong dan sebagainya.
2.2.2. Berdasarkan menurut letak bangunan Jenis drainase ditinjau berdasarkan letak bangunannya dapat di kelompokan menjadi dua bagian antara lain: a.
Drainase permukaan tanah (Surface drainage) Merupakan system drainase yang salurannya berada di atas permukaan tanah (pengaliran terjadi akibat beda tinggi/gravitasi).
b.
Drainase bawah permukaan (subsurface drainage) Drainase bawah permukaan merupakan saluran drainase yang dialirkan dibawah permukaan tanah dikarenakan alasan alasan tertentu.
2.2.3. Berdasarkan menurut fungsi Jenis drainase ditinjau berdasarkan fungsinya dapat dikelompokkan sebagi berikut: a.
Drainase Single purpose Merupakan saluran yang berfungsi mengalirkan satu jenis air buangan.
b.
Drainase Multi Purpose Merupakan saluran yang berfungsi mengalirkan beberapa jenis air buangan baik secara bercampur maupun bergantian.
2.2.4. Berdasarkan menurut konstruksi Jenis drainase ditinjau berdasarkan konstruksinya dapat dikelompokkan sebagi berikut:
6
a.
Saluran terbuka Merupakan saluran yang lebih cocok untuk drainase air hujan yang terletak didaerah yang mempunyai luasan yang cukup, ataupun untuk drainase air nonhujan yang tidak membahayakan kesehatan/ mengganggu lingkungan.
b.
Saluran tertutup Merupakan saluran yang pada umumnya sering dipakai untuk aliran air kotor atau untuk saluran yang terletak ditengah kota.
2.3. Pola jaringan drainase
Dalam sistem jaringan drainase terdiri dari beberapa saluran yang saling berhubungan sehingga membentuk suatu pola jaringan. Dari bentuk pola jaringan dapat dibedakan sebagai berikut:
2.3.1. Siku Dibuat pada daerah yang mempunyai topografi sedikit lebih tinggi dari pada sungai. Sungai sebagai saluran pembuang akhir berada di tengah kota. 2.3.2. Parallel Saluran utama terletak sejajar dengan saluran cabang. Dengan saluran cabang (sekunder) yang cukup banyak dan pendek pendek, apabila terjadi perkembangan kota. Saluran saluran akan menyesuaikan diri. 2.3.3. Grid Iron Untuk daerah dimana sungainya terletak dipinggir kota, sehingga saluran saluran cabang dikumpulkan dulu pada saluran pengumpul. 2.3.4. Alamiah Sama seperti pola siku, hanya beban sungai pada pola alamiah lebih besar. 2.3.5. Radial Pada daerah berbukit, sehingga pola saluran memencar ke segala arah. 7
2.3.6. Jaring jarring Mempunyai saluran saluran pembuang yang mengikuti arah jalan raya, dan cocok untuk daerah dengan topografi datar.
2.4. Susunan dan fungsi jaringan drainase
Pelly DKK (1997), mengatakan bahwa dalam pengertian jaringan drainase, maka sesuai dengan fungsi dan sistem kerjanya jenis saluran dapat dibedakan menjadi:
a.
Saluran Interseptor (Interceptor Drain) Saluran interceptor adalah saluran yang berfungsi sebagai pencegah terjadinya pembebanan aliran dari suatu daerah terhadap daerah lain dibawahnya. Saluran ini biasanya dibangun dan diletakan pada bagian yang relative sejajar dengan garis kontur. Outlet dari saluran ini biasanya di saluran kolektor atau konveyor atau di lansung drainase alam.
b.
Saluran kolektor ( Collector drain) Saluran kolektor adalah saluran yang berfungsi sebagai pengumpul debit yang diperoleh dari saluran drainase yang lebih kecil dan akhirnya akan dibuang ke saluran konveyor.
c.
Saluran konveyor (Conveyor drain) Saluran konveyor adalah saluran yang berfungsi sebagai saluran pembawa air buangan dari suatu daerah ke lokasi pembuangan tanpa harus membahayakan daerah yang dilalui.
8
2.5. Aspek Hidrologi
Untuk menyelesaikan persoalan drainase sangat berhubungan dengan aspek hidrologi khususnya masalah hujan sebagai sumber air yang akan dialirkan pada sistem drainase dan limpasan sebagai akibat tidak mampunya sistem drainase mengalirkan ke tempat pembuangan akhir. Disain hidrologi diperlukan untuk mengetahui debit pengaliran, (Wesli, 2008).
2.5.1. Data Hujan
2.5.1.1. Pengukuran Hujan merupakan komponen yang amat penting dalam analisis hidrologi pada perencanaan debit untuk menentukan dimensi saluran drainase. Pengukuran hujan dilakukan selama 24 jam, dengan cara ini berarti hujan yang diketahui adalah hujan total yang terjadi selama satu hari. Untuk berbagai kepentingan perencanaan drainase tertentu data hujan yang diperlukan tidak hanya data harian, akan tetapi juga distribusi jam-jaman atau menitan. Hal ini akan membawa konsekuensi dalam pemilihan data, dan diajurkan untuk menggunakan data hujan hasil pengukuran dengan alat ukur otomatis (Wesli, 2008).
2.5.1.2. Alat Ukur Dalam praktek pengukuran hujan terdapat dua jenis alat ukur hujan, antara lain:
a.
Alat ukur hujan biasa (Manual Raingauge) Data yang diperoleh dari pengukuran dengan menggunakan alat ukur ini,
berupa data hasil pencatatan oleh petugas pada setiap periode tertentu. Alat pengukur hujan ini berupa suatu corong dan sebuah gelas ukur, yang masing masing berfungsi untuk menampung jumlah air hujan dalam satu hari (Wesli, 2008).
9
b.
Alat ukur hujan otomatis (Automatic raingauge) Data yang diperoleh dari hasil pengukuran dengan menggunakan alat ini,
berupa data pencatatan secara menerus pada kertas pencatat yang dipasang pada alat ukur. Berdasarkan data ini akan dpat dilakukan analisis untuk memperoleh besaran intensitas hujan (Wesli,2008).
2.5.2. Karakteristik Hujan
2.5.2.1. Durasi hujan Durasi hujan adalah lama kejadian hujan (menitan, jam-jaman dan harian) diperoleh terutama dari hasil pencatatan alat pengukur hujan otomatis. Dalam perencanaan drainase durasi hujan ini sering dikaitkan dengan waktu konsentrasi, khususnya pada drainase perkotaan diperlukan durasi yang relatif pendek, mengingat akan toleransi terhadap lamanya genangan (Hasmar, 2012).
2.5.2.2. Intensitas hujan Intensitas curah hujan adalah jumlah hujan yang dinyatakan dalam tinggi hujan atau volume hujan tiap satuan waktu. Besarnya intensitas hujan berbeda beda, tergantung dari lamanya curah hujan dan frekuensi kejadiannya. Intensitas hujan diperoleh dengan cara melakukan analisis data hujan baik secara statistik maupun secara empiris. Intensitas ialah ketinggian hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu air hujan terkonsentrasi. Biasanya intensitas hujan dihubungkan dengan durasi hujan jangka pendek misalnya 5 menit, 30 menit, 60 menit dan jam-jaman. Data curah hujan jangka pendek ini hanya diperoleh dengan menggunakan alat pencatat hujan otomatis, (Wesli, 2008).
Di Timor-Leste alat ini sangat sedikit dan jarang, yang banyak digunakan adalah alat pencatat hujan biasa yang mengukur hujan 24 jam atau disebut hujan
10
harian. Apabila data yang tersedia hanya data hujan harian maka intensitas hujan dapat diestimasi dengan menggunakan rumus Mononobe berikut: I
2 R 24 24 3 ………………………………………………...……………...(2.1) 24 Tc
Dengan: I
= Intensitas curah hujan (mm / jam)
t
= Lamanya hujan (jam)
R24 = Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm) Karena intensitas hujan tidak dapat kita tentukan atau kita atur karena hujan terjadi secara alamiah, namun kita dapat melakukan perkiraan berdasarkan pecatatan data-data hujan sebelumnya maka dalam mendesain bangunan bangunan air kita dapat memperkirakan hujan rencana berdasarkan periode ulangnya, (Wesli,2008).
2.5.2.3. Waktu Konsentrasi Waktu konsentrasi adalah waktu yang diperlukan untuk mengalirkan air dari titik yang paling jauh pada daerah ke titik kontrol yang ditentukan di bagian hilir suatu saluran, (Wesli,2008).
Wesli (2008), debit limpasan dari sebuah daerah aliran akan maksimum apabila seluruh aliran dari tempat terjauh dengan aliran dari tempat-tempat di hilirnya tiba di tempat pengukuran secara bersama-sama. Hal ini memberi pemahaman bahwa: debit maksimum tersebut akan terjadi apabila durasi hujan harus sama atau lebih besar dari waktu konsentrasi. Pada prinsipnya waktu konsentrasi dapat dibagi menjadi: a.
Inlet time (To), yaitu waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir di atas permukaan tanah menuju saluran drainase.
b.
Conduit time (Td), yaitu waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir di sepanjang saluran sampai titik kontrol yang ditentukan di bagian hilir.
11
Waktu konsentrasi untuk drainase perkotaan terdiri dari waktu yang diperlukan air untuk mengalir melalui permukaan tanah dari tempat terjauh ke saluran terdekat (inlet time) ditambah waktu untuk mengalir di dalam saluran ke tempat pengukuran (conduit time), (Wesli, 2008). Waktu konsentrasi dapat dihitung dengan rumus berikut: tc = to + td ………………………………………………………………………......(2.2) Dengan: tc = Waktu konsentrasi (jam) to = Inlet time, waktu yang diperlukan air hujan mengalir di permukaan tanah dari titik terjauh ke saluran terdekat (jam) td = Conduit time, waktu yang diperlukan air hujan untuk mengalir di dalam saluran sampai ke tempat pengukuran (jam).
Waktu konsentrasi besarnya sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh faktorfaktor berikut ini: a. Luas daerah pengaliran b. Panjang saluran drainase c. Kemiringan dasar saluran d. Debit dan kecepatan aliran Harga to, td, dan tc dapat diperoleh dari rumus-rumus empiris, salah satunya adalah rumus Kerpich, seperti berikut ini: …………………..…………………….……………………….(2.3)
to = 0.0195 atau
to = ( .3,28.Lo.
)0,167 .........................................................................................(2.4)
Dengan:
to Lo
= Inlet time ke saluran terdekat (menit) = Jarak aliran terjauh di atas tanah hingga saluran terdekat (m)
12
So = Kemiringan permukaan tanah yang dilalui aliran di atasnya n
= Koefisien kekasaran, untuk aspal dan beton adalah 0,013; untuk tanah bervegetasi adalah 0,020 dan tanah perkerasan adalah 0,100.
Harga td ditentukan oleh panjang saluran yang dilalui aliran dan kecepatan aliran di dalam saluran seperti ditunjukkan oleh rumus berikut ini; ………………..……………………………………………….....…..(2.5)
td = Dengan:
L1 = Jarak yang ditempuh aliran di dalam saluran ke tempat pengukuran (m) V = Kecepatan aliran di dalam saluran (m/det).
Pelly DKK (1997), mengatakan bahwa pada saluran buatan nilai kecepatan aliran dapat dimodifikasi berdasarkan nilai kekasaran dinding saluran menurut Manning, Chezy atau lainnya
Tabel 2.1: Perkiraan kecepatan aliran Kemiringan rata rata dasar saluran (%)
Kecepatan rata rata (meter/det)
Kurang dari 1
0,40
1–2
0,60
2–4
0,90
4–6
1,20
6 – 10
1,50
10 – 15
2,40
Sumber : ISBN : 979-8382-49-8 (1997)
Harga Tc ditentukan oleh panjang saluran yang dilalui aliran dan kemiringan saluran, seperti yang ditunjukkan oleh rumus berikut.
tc = 0,00013 L0,7 / S0,385 ………...……………………………………..………....( 2.6) 13
Dengan: L = Panjang jarak dari tempat terjauh di daerah aliran sampai tempat pengamatan banjir, diukur menurut jalannya sungai (km). S = Perbandingan dari selisih tinggi antara tempat terjauh dan tempat pengamatan, diperkirakan sama dengan kemiringan rata-rata dari daerah aliran.
2.5.3. Koefisien Aliran Koefisien pengaliran ( C ), didefenisikan sebagai nisbah antara puncak aliran dan permukaan terhadap intenstas hujan. Faktor ini merupakan variable yang paling menentukan hasil perhitungan debit banjir. Pemilihan harga C yang tepat memerlukan pengalaman hidrologi yang luas. Faktor utama yang mempengaruhi C adalah laju infiltrasi tanah atau prosentase lahan kedap air. Kemiringan lahan tanaman penutup tanah, dan intensitas hujan. Permukaan kedap air seperti perkerasan aspal dan atap bangunan, akan menghasilkan aliran hampir 100% setelah permukaan menjadi basah, seberapapun kemiringannya. Koefisien limpasan juga tergantung pada sifat dan kondisi tanah. Laju infiltrasi menurun pada hujan yang terus menerus dan juga dipengaruhi oleh kondisi kejenuhan air sebelumnya. Harga C berbagai tipe tanah dan penggunaan lahan disajikan dalam tabel 2.2.
Tabel 2.2: Koefisien Pengaliran (C) untuk metode Rasional Deskripsi Lahan/karakter permukaaan
Koefisien Pengaliran (C)
Business: 1. Perkotaan
0,70-0,95
2. Pinggiran
0,50-0,70
Perumahan: 1. Rumah tinggal
0,30-0,50
14
2. Multi unit, terpisah
0,40-0,60
3. Multi unit, tergabung
0,60-0,75
4. Perkampungan
0,25-0,40
5. Apartemen
0,50-0,70
Industri 1. Ringan
0,50-0,80
2. Berat
0,60-0,90
Perkerasan: 1. Aspal dan beton
0,70-0,95
2. Batu bata, paving
0,50-0,70
Atap
0,75-0,95
Halaman, tanah berpasir: 1. Datar (2 %)
0,50-0,10
2. Rata rata 2-7%
0,10-0,15
3. Curam (7%)
0,15-0,20
Halaman, tanah berat: 1. Datar (2 %)
0,13-0,17
2. Rata rata 2-7%
0,18-0,22
3. Curam (7%)
0,25-0,35
Halaman kerata api
0,10-0,35
Taman tempat bermain
0,20-0,35
Taman, pekuburan
0,10-0,25
Hutan: 1. Datar 0-5 %
0,10-0,40
2. Bergelombang 5-10 %
0,25-0,50
3. Berbukit 10-30%
0,30-0,60
Sumber: McGuen, 1989 dalam Suripin 2004
15
Buku Drainage master Plan, (1994) menuliskan bahwa koefisien limpasan ditentukan oleh kondisi fisik dan karakteristik permukaan tanah daerah tangkapan air hujan. Nilai Koefisien limpasan untuk berbagai karakteristik permukaan tanah disesuaikan oleh hubungan antara Intensitas hujan dan karakteristik permukaan tanah daerah tangkapan air seperti pada gambar 2.1 berikut ini
Sumber : Australian Rainfall and Runoff Gambar 2.1. hubungan antara Intensitas Curah hujan dan koefisien Limpasan 16
2.5.4. Koefisien Tampungan Wesli (2008) mengatakan bahwa daerah yang memiliki cekungan untuk menampung air hujan relatif mengalirkan lebih sedikit air hujan dibandingkan dengan daerah yang tidak memiliki cekungan sama sekali. Efek tampungan oleh cekungan ini terhadap debit rencana diperkirakan dengan koefisien tampungan yang diperoleh dengan rumus berikut. ………………………..…………..…...…..……………...….....……(2.7)
Cs = Dengan: Cs
= Koefisien tampungan
Tc
= Waktu konsentrasi
td = Waktu aliran air mengalir di dalam saluran dari hulu hingga ke tempat pengkuran (jam)
2.5.5. Analisis frekuensi Kamiana (2011), mengatakan bahwa Analisis frekuensi bertujuan untuk mencari hubungan antara besarnya suatu kejadian ekstrem (maksimum atau minimum) dan frekuensinya berdasarkan distribusi probabilitas. Frekuensi hujan adalah besarnya kemungkinan suatu besaran hujan disamai atau dilampaui. Sebaliknya, kala ulang (return period) adalah waktu hipotetik dimana hujan dengan suatu besaran tertentu akan disamai atau dilampaui. Dalam hal ini tidak terkandung pengertian bahwa kejadian tersebut akan berulang secara teratur setiap kala ulang tersebut. Misalnya, hujan dengan kala ulang 10 tahunan, tidak berarti akan terjadi sekali setiap 10 tahun akan tetapi ada kemungkinan dalam jangka 1000 tahun akan terjadi 100 kali kejadian hujan 10 tahunan. Ada kemungkinan selama kurung waktu 10 tahun terjadi hujan 10 tahunan lebih dari satu kali, atau sebaliknya tidak terjadi sama sekali (Suripin, 2004).
17
Analisis frekuensi diperlukan seri data hujan diperoleh dari Pos penakar hujan, baik yang manual maupun yang otomatis. Analisis frekuensi ini didasarkan pada sifat statistik data kejadian yang telah lalu untuk memperoleh probabilitas besaran hujan dimasa yang akan datang. Dengan anggapan bahwa sifat statistik kejadian hujan yang akan datang masih sama dengan sifat statistik kejadian hujan masa lalu (suripin, 2004).
2.5.5.1. Pengujian seri data Beberapa rangkaian pengujian dilakukan terhadap seri data (data hujan dan data debit) yang terkumpul sebelum digunakan sebagai data masukan dalam analisis frekuensi, terdiri dari dua bagian antara lain:
a.
Uji konsistensi Uji konsistensu dimaksudkan untuk mengetahui kebenaran data lapangan yang
dipengaruhi oleh beberapa factor seperti; spesifikasi alat penakar berubah, tempat alat ukur berubah dan perubahan lingkungan disekitar alat penakar (Kamiana, 2011). Jika dari hasil pengujian ternyata data adalah konsisten artinya tidak terjadi perubahan lingkungan dan cara penakaran, sebaliknya jika ternyata data tidak konsisten artinya terjadi perubahan lingkungan dan cara penakaran (Kamiana, 2011).
b.
Uji Homogenitas Uji homogenitas dimaksudkan untuk mengetahui
apakah seri data yang
dikumpulkan dari 2 stasiun pengukur yang berada di dalam suatu daerah pengaliran atau salah satu berada di luar daerah pengaliran yang bersangkutan berasal dari populasi tang sama atau bukan (Kamiana, 2011).
18
2.5.5.2. Parameter Statistik Parameter yang digunakan dalam analisa frekuensi meliputi parameter nilainilai rata-rata (X), standar diviasi (S), koefisient variasi (Cv), koefisien kemeringan/skewness (Cs), dan koefisinet kurtosis (Ck). Berikut ini merupakan masing-masing persamaan untuk parameter statistiknya: a.
Mean atau rata-rata ( X )
Rata-rata hitung dari hasil pengukuran variat dengan nilai X1,X2,X3,.......Xn ialah hasil penjumlahan nilai-nilai tersebut dibagi dengan jumlah pengukuran sebesar n. Bila rata-rata hitung dinyatakan sebagai X (X bar). Persamaanya sebagai berikut: X i 1x …………………………………………………………………………(2.8) n
Dengan: X = rata rata Hitung
n = jumlah data Xi = nilai pengukuran dari suatu variat b.
Deviasi Standar (S), Umumnya ukuran dispersi yang paling banyak digunakan adalah deviasi
standar (standard deviation) S
n
i 1
(x x n ) 2 n 1
……………………………………………………………...(2.9)
Dengan: S = Deviasi standar X = rata rata Hitung
n = jumlah data Xi = nilai pengukuran dari suatu variat
19
c.
Koefesient variasi (Cv), Koefesien variasi (variation coefficient) adalah nilai perabndingan antara
deviasi standar dengan nilai rata-rata hitung dari suatu distribusi. Koefisien variasi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: ………………………………………………………………………….(2.10)
Cv = X
d.
Koefisein kemencengan (CS) Pengukuran kemencengan adalah mengukur seberapa besar kurva frekuensi dari
suatu distribusi tidak simetri atau menceng. Umumnya ukuran kemencangan 20 dinyatakan dengan besarnya koefisien kemencangan (coefficinet of skewness) dan dapat dihitung dengan persamaan berikut ini: Cs
n (n 1)(n 2) s 3
n
9( xi x) ……………………………………………….(2.11) i 1
Dengan: Cs = Koefisien Kemencengan n = jumlah data Xi = nilai pengukuran dari suatu variat e.
Koefisient kurtosis (Ck),
Ck
1 / n ( x Xbar ) 4
1 / n ( x xbar ) 2 ) 2
.
n2 ………………………………..(2.12) (n 1)(n 2)(n 3)
2.5.5.3. Distribusi Probabilitas Dalam analisis frekuensi data hujan atau data debit guna memperoleh nilai hujan rencana atau debit rencana, dikenal beberapa distribusi probabilitas kontinu yang sering diguakan yaitu: Gumbel, Normal, Log Normal dan Pearson Type III. (Kamiana, 2011). Penentuan jenis distribusi probabilitas yang sesaui dengan data dilakukan dengan mencocokan parameter data tersebut dengan syarat masing masing jenis distribusi seperti pada tabel 2.3. 20
Tabel 2.3: persyaratan parameter statistic suatu distribusi No
Distribusi
1
Gumbel
2
Normal
3
Log Normal
4
Log Pearson III
Persyaratan Cs = 1,14 Ck = 5,4 Cs = 0 Ck = 3 Cs = Cv3 + 3Cv Ck = Cv8 + 6C46 + 15Cv4 + 16Cv2 + 3 Selain dari nilai diatas
Sumber: Bambang (2008) dalam kamiana (2011)
Di samping dengan menggunaka persyaratan seperti tercantum dalam tabel 2.3. guna mendapatkan hasil perhitungan yang meyangkinkan, atau jika tidak ada yang memenuhi persyaratan pada tabel 2.3. maka penggunaan suatu distribusi probabilitas biasanya diuji dengan metode Chi-Kuadrat atau Smirnov Kolmogorov (kamiana, 2011).
a.
Distribusi probabilitas Gumbel Kamiana (2011), mengunkapkan bahwa jika data hujan yang dipergunakan
dalam perhitungan adalah berupa sampel (populasi terbatas), maka perhitungan hujan rencana berdasarkan distribusi probabilitas Gumbel dilakukan dengan rumus pada persamaan 2.8. X X SxK ……………………………………………….……….……….…(2.13)
Dengan : XT = hujan rencana atau debit dengan periode ulang T X
= nilai rata rata dari data hujan (X)
S = satandar deviasi dari data hujan (X) K = faktor frekuensi Gumbel
21
…………………………………………………………….………..(2.14)
Dengan: Yt = Reduced Variate Yn = Reduced Mean Sn = Reduced Standart Deviasi
Tabel 2.4: Reduced Mean (Yn) N
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0.495 0.499 0.503 0.507 0.510 0.512 0.515 0.518 0.520 0.522
20
0.523 0.525 0.526 0.528 0.529 0.530 0.532 0.533 0.534 0.535
30
0.536 0.537 0.538 0.538 0.839 0.540 0.541 0.541 0.542 0.543
40
0.543 0.544 0.544 0.545 0.545 0.546 0,546 0.547 0.547 0.548
50
0.548 0.548 0.549 0.549 0.550 0.550 0.550 0.551 0.551 0.551
60
0.552 0.552 0.552 0.553 0.553 0.553 0.553 0.554 0.554 0.554
70
0.554 0.555 0.555 0.555 0.555 0.555 0.556 0.556 0.556 0.556
80
0.556 0.557 0.557 0.557 0.557 0.557 0.558 0.558 0.558 0.558
90
0.558 0.558 0.558 0.559 0.559 0.559 0.559 0.559 0.559 0.559
100
0.560 0.560 0.560 0.560 0.560 0.560 0.560 0.560 0.561 0.561 Sumber: Suripin (2004)
Tabel 2.5: Reduced Standart Deviation (Sn) N
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0.949
0.967
0.983
0.997
1.009
1.020
1.031
1.041
1.049
1.056
20
1.062
1.069
1.075
1.081
1.086
1.091
1.096
1.100
1.104
1.108
30
1.112
1.115
1.119
1.122
1.125
1.128
1.131
1.133
1.136
1.138
40
1.141
1.143
1.145
1.148
1.149
1.151
1.153
1.155
1.157
1.159
22
50
1.160
1.162
1.163
1.165
1.166
1.168
1.169
1.170
1.172
1.173
60
1.174
1.175
1.177
1.178
1.179
1.180
1.181
1.182
1.183
1.184
70
1.185
1.186
1.187
1.188
1.189
1.189
1.190
1.191
1.192
1.193
80
1.193
1.194
1.195
1.195
1.196
1.197
1.198
1.198
1.199
1.200
90
1.200
1.201
1.202
1.202
1.203
1.203
1.204
1.204
1.205
1.206
100
1.206
1.206
1.207
1.207
1.208
1.208
1.208
1.209
1.209
1.209
Sumber: Suripin (2004)
Tabel 2.6: variable Reduksi Gumbel (Yt)
b.
No
T(tahun)
YT
T(tahun)
YT
1
1.001
-1.93
3.33
1.03
2
1.005
-1.67
4
1.24
3
1.01
-1.53
5
1.51
4
1.05
-1.097
10
2.25
5 6 7 8 9 10 11
1.11 -0.834 20 1.25 -0.476 50 1.33 -0.326 100 1.43 -0.185 200 1.67 0.087 500 2 0.366 1000 2.5 0.671 Sumber: Suripin (2004)
2.97 3.9 4.6 5.29 6.21 6.9
Distribusi Probabilitas Normal Kamiana (2011), mengunkapkan bahwa perhitungan hujan rencana berdasarkan
Distribusi Probabilitas Normal, jika data yang dipergunakan adalah berupa sampel, dilakukan dengan rumus pada persamaan 2.9. X T X KT S
………………………………………………………………(2.15)
Dengan : XT = Hujan rencana dengan perode ulang T tahunan 23
X = Nilai rata rata dari hujan (X) mm
S = Standar deviasi dari data hujan (X) mm KT = Faktor frekuensi, nilainya bergantung dari T (Variabel Reduksi Gauss lihat pada tabel 2.7.) Tabel 2.7: Variabel Reduksi Gauss No
Perode ulang T (tahun)
KT
1
1,001
-3,05
2
1,005
-2,58
3
1,010
-2,33
4
1,050
-1,64
5
1,110
-1,28
6
1,250
-0,84
7
1,330
-0,67
8
1,430
-0,52
9
1,670
-0,25
10
2,000
0
11
2,500
0,25
12
3,330
0,52
13
4,000
0,67
14
5,000
0,84
15
10,000
1,28
16
20,000
1,64
17
50,000
2,05
18
100,000
2,33
19
200,000
2,58
20
500,000
2,88
21
1000,000
3,09
Sumber: Suripin (2004) dalam Kamiana (2011)
24
c.
Distribusi Probabilitas Log Normal (Kamiana,
2011),
Mengunkapkan
bahwa
perhitungan
hujan
rencana
berdasarkan distribusi probabilitas Log Normal, jika data yang dipergunaka adalah berupa sampel, dilakukan dengan rumus pada persamaan 2.10. Log XT = LogX + KT x Slog X ……………………………………...………….(2.16)
Dengan: Log XT = Nilai logaritmis hujan rencana dengan periode ulang T
LogX = Nilai rata rata dari Log X S Log X = Deviasi standar dari Log X KT d.
= Faktor frekuensi, nilainya tergantung dari T (lihat pada tabel 2.6)
Distribusi Probabilitas Log Pearson Type III Kamiana (2011), mengunkapkan bahwa perhitungan hujan rencana berdasarkan
distribusi probabilitas Log Pearson Type III, jika data yang dipergunakan adalah berupa sampel, dilakukan dengan rumus pada persamaan 2.11. Log XT = LogX + KT x Slog X ………………………………………...……….(2.17)
Dengan: Log XT = Nilai logaritmis hujan rencana dengan periode ulang T
LogX = Nilai rata rata dari Log X S Log X = Deviasi standar dari Log X KT
= Variabel standar, besarnya bergantung koefisien kepencengan (Cs atau G), lihat pada tabel 2.5.
25
Tabel 2.8: faktor frekuensi KT untuk distribusi Log pearson Type III (G atau Cs) Return Periof in Years 2 G or Cs
5
10
25
50
100
Excendence Probabilitas 0,5
0,2
0,1
0,04
0,02
0,01
3
-0.36
0.42
1.18
2.278
3.152
4.051
2.5
-0.36
0.518
1.25
2.262
3.048
3.845
2.2
-0.33
0.574
1.284
2.24
2.97
3.705
2
-0.307
0.609
1.302
2.219
2.912
3.605
1.8
-0.282
0.643
1.318
2.193
2.848
3.499
1.6
-0.254
0.675
1.329
2.163
2.78
3.388
1.4
-0.225
0.705
1.337
2.128
2.706
3.271
1.2
-0.195
0.732
1.34
2.087
2.626
3.149
1
-0.164
0.758
1.34
2.043
2.542
3.022
0.9
-0.148
0.769
1.339
2.018
2.498
2.957
0.8
-0.132
0.78
1.336
1.998
2.453
2.891
0.7
-0.116
0.79
1.333
1.967
2.407
2.824
0.6
0.099
0.8
1.328
1.939
2.359
2.755
0.5
-0.083
0.808
1.323
1.91
2.311
2.686
0.4
-0.066
0.816
1.317
1.88
2.261
2.615
0.3
-0.05
0.824
1.309
1.849
2.211
2.544
0.2
-0.033
0.83
1.301
1.818
2.159
2.472
0.1
-0.017
0.836
1.292
1.785
2.107
2.4
0
0
0.842
1.282
1.751
2.054
2.326
-0.1
0.017
0.836
1.27
1.761
2
2.252
-0.2
0.033
0.85
1.258
1.68
1.945
2.178
-0.3
0.05
0.853
1.245
1.643
1.89
2.104
26
-0.4
0.066
0.855
1.231
1.606
1.834
2.029
-0.5
0.083
0.856
1.216
1.567
1.777
1.955
-0.6
0.099
0.857
1.2
1.528
1.72
1.88
-0.7
0.116
0.857
1.183
1.488
1.663
1.806
-0.8
0.132
0.856
1.166
1.448
1.606
1.733
-0.9
0.148
0.854
1.147
1.407
1.549
1.66
-1
0.164
0.852
1.128
1.366
1.492
1.588
-1.2
0.195
0.844
1.086
1.282
1.379
1.449
-1.4
0.225
0.832
1.041
1.198
1.27
1.318
-1.6
0.254
0.817
0.994
1.116
1.166
1.197
-1.8
0.282
0.799
0.945
1.035
1.069
1.087
-2
0.307
0.777
0.895
0.959
0.98
0.99
-2.2
0.33
0.752
0.844
0.888
0.9
0.905
-2.5
0.36
0.711
0.771
0.793
0.798
0.799
-3
0.396
0.636
0.66
0.666
0.666
0.667
Sumber: Soemarto (1987) dalam Kamiana (2011)
2.5.5.4. Uji distribusi Probabilitas Kamiana (2011), mengunkapan bahwa Uji distribusi probabilitas dimaksudkan untuk Mengetahui apakah persamaan distribusi probabilitas yang dipilih dapat mewakili distribusi statistic sampel data yang di analisis. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa terdapat 2 metode pengujian distribusi probabilitas, yaitu Metode Chi kuadrat (χ2) dan metode Smirnov-Kolmogorof.
a.
Metode Chi Kuadrat (χ2) Soewarno (1995), mengatakan bahwa Uji chi-kuadrat dimaksudkan untuk
menentukan apakah persamaan distribusi peluang yang telah dipilih dapat mewakili dari distribusi statistik sampel data yang dianalisis. Pengambilan keputusan uji ini
27
menggunakan parameter 1r, oleh karena itu disebut dengan uji Chi-Kuadrat. Parameter X, dapat dihitung dengan persamaan 2.13. n
X 2
i 1
Of
Ef ……………………………………………………………(2.18) Ef 2
Dengan : χ2 = Parameter Chi kuadrat terhitung Ef = frekuensi yang diharapkan sesuai dengan pembagian kelasnya Of = frekuensi yang diamati pada kelas yang sama N = jumlah sub kelompok (Kamiana 2011), mengunkapan bahwa Derajat nyata atau derajat kepercayaan (α) tertentu yang sering diambil adalah 5%. Derajat kebebasan (Dk) dihitung dengan persamaan 2.14. Dk = K – (p+1) …………………………………………………………………..(2.19) K = 1 + 3,3 Log n ……………………………………………………..…………(2.20) Dengan: Dk = Derajat kebebasan P = banyaknya parameter, untuk uji Chi kuadrat adalah 2 K = Jumlah kelas distribusi n = Banyaknya data
Selanjutnya distribusi probabilitas yang dipakai untuk menentukan curah hujan rencana adalah distribusi probabilitas yang menpunyai simpangan maksimum terkecil dan lebih kecil dari simpangan kritis, atau dengan persamaan 2.16. χ2 < χ2cr ………………………………………………………………..…………(2.21) Dengan: χ2 = Parameter Chi kuadrat terhitung χ2cr = Parameter Chi Kuadrat Kritis (lihat pada tabel 2.8)
28
Tabel 2.9: Nilai parameter Chi Kuadrat kritis (χ2cr) dK
a derajat Kepercayaan 0.995
0.999
0.975
0.95
0.05
0.025
0.01
0.005
1
4E-05
0.0002
0.001
0.0039
3.841
5.024
6.635
7.879
2
0.01
0.0201 0.0506
0.103
5.991
7.378
9.21
10.597
3
0.0717
0.115
0.216
0.352
7.815
9.348
4
0.207
0.297
0.484
0.711
9.488
11.143 13.277
14.86
5
0.412
0.554
0.831
1.145
11.07
12.832 15.086
16.75
6
0.676
0.872
1.237
1.635
12.592 14.449 16.812 18.548
7
0.989
1.239
1.69
2.167
14.067 16.013 18.475 20.278
8
1.344
1.646
2.18
2.733
15.507 17.535
9
1.735
2.088
2.7
3.325
16.919 19.023 21.666 23.589
10
2.156
2.558
3.247
3.94
18.307 20.483 23.209 25.188
11
2.603
3.053
3.816
4.575
19.675
21.92
12
3.074
3.571
4.404
5.226
1.026
23.337 26.217
13
3.565
4.107
5.009
5.892
22.362 24.736 27.688 29.819
14
4.075
4.66
5.629
6.571
23.685 26.119 29.141 31.319
15
4.601
5.229
6.262
7.261
24.996 27.488 30.578 32.801
16
5.142
5.812
6.908
8.962
6.296
17
5.697
6.408
7.564
8.672
27.587 30.191 33.409 35.718
18
6.265
7.015
8.231
9.39
28.869 31.526 34.805 37.156
19
6.844
7.633
8.907
10.117 30.144 32.852 36.191 38.582
20
7.434
8.26
9.591
10.851
21
8.034
8.897
10.283 11.591 32.671 35.479 38.932 41.401
22
8.643
9.542
10.982 12.338 33.924 36.781 40.289 42.796
23
9.26
10.196 11.689 13.091 36.172 38.076 41.638 44.181
24
9.886
10.856 12.401 13.848 36.415 39.364
29
31.41
28.845
34.17
11.345 12.838
20.09
21.955
24.725 26.757
32
28.3
34.267
37.566 39.997
42.98
45.558
25
10.52
11.524
13.12
14.611 37.652 40.646 44.314 46.928
26
11.16
12.198 13.844 15.379 38.885 41.923 45.642
27
11.808 12.879 14.573 16.151 40.113 43.194 46.963 49.645
28
12.461 13.565 15.308 16.928 41.337 44.461 48.278 50.993
29
13.121 14.256 16.047 17.708 42.557 45.722 49.588 52.336
30
13.787 14.953 16.791 18.493 43.773 46.979 50.892 53.672
48.29
Sumber:Soewarno (1995), dalam kamiana (2011)
Kamiana (2011), mengunkapkan bahwan prosedur perhitungan dengan mengunakan metode Chi Kuadrat adalah sebagai berikut: 1.
Urutkan data dari besar ke kecil atau sebaliknya
2.
Menghitung jumlah kelas
3.
Menghitung derajat kebebasan (Dk) dan (χ2cr)
4.
Menghitung kelas distribusi
5.
Menghitung interval kelas
6.
Menghitung nilai χ2
7.
Bandingkan nilai χ2 terhadap dan χ2cr.
Soewarno (1995) mengatakan bahwa Interpretasi hasilnya adalah : 1. Apabila peluang lebih dari 5 yo, maka persamaan distribusi teoritis yang digunakan dapat diterima; 2. Apabila peluang lebih kecil I o/o, maka persamaan distribusi teoritis yang digunakan tidak dapat diterima; 3. Apabila peluang berada diantara I - 5 % adalah tidak mungkin mengambil keputusan, misal perlu tambah data.
30
b.
Metode Smirnov-Kolmogorof Soewarno (1995), mengatakan bahwa Uji kecocokan Smirnov-Kolmogorof,
sering juga disebut uji kecocokan non parametrik (non parametric test), karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi distribusi tertentu. Prosedurnya adalah sebagai berikut : 1. urutkan data (dari besar ke kecil atau sebaliknya) dan tentukan besarnya peluang dari masing-masing data tersebut ; X1 P(X1) X2 P(X2) Xm P(Xm) Xn P(Xn) Dengan ; X1, X2, Xm, Xn = Data hujan yang telah diurutkan dari besar ke terkecil (mm) P
= Peluang Empiris (dihitung dengan persamaan Weibull, rumus Weibull, P(Xi) =
n
= Jumlah data
i
= Nomor urut data hujan
)
2. Tentukan nilai masing-masing peluang teoritis di hasil penggambaran data: X1 P’(X1) X2 P’(X2) Xm P’(Xm) Xn P’(Xn) Dengan ; X1, X2, Xm, Xn = Data hujan yang telah diurutkan dari besar ke terkecil (mm) P’
= Peluang teoritis
31
3. Dari kedua nilai peluang tersebut tentukan selisih terbesamya antara peluang pengamatan dengan peluang teoritis. D = Maksimum [ P(Xm) - P'(Xm) ] ……………………..………………….(2.22) Dengan ; D
= Selisih peluang empiris dengan peluang teoritis
P
= peluang empiris
P’
= Peluang teoritis
Xm = Data hujan yang diurutkan (mm)
4. berdasarkan tabel nilai kritis (Smirnov-Kolmagorov test) tentukan harga Do (lihat tabel 2.10).
Soewarno (1995), mengatakan bahwa Apabila D lebih kecil dari Do maka distribusi teoritis yang digunakan untuk menentukan persamaan distribusi dapat diterima, apabila D lebih besar dari Do maka distribusi teoritis yang digunakan untuk menentukan persamaan distribusi tidak dapat diterima.
Tabel 2.10: Nilai Kritis Do Untuk Uji Smirnov-Kolmogorof. N
a (Derajat kepercayaan) 0,20
0,10
0,05
0,01
5
0,45
0,51
0,56
0,67
10
0,32
0,37
0,41
0,49
15
0,27
0,30
0,34
0,40
20
0,23
0,26
0,29
0,36
25
0,21
0,24
0,27
0,32
30
0,19
0,22
0,24
0,29
35
0,18
0,20
0,23
0,27
40
0,17
0,19
0,21
0,25
32
45
0,16
0,18
0,20
0,24
50
0,15
0,17
0,19
0,23
N > 50
1,07/N^0,5 1,22/N^0,5 1,36/N^0,5 1,63/N^0,5
Sumber : Bonnier, (1980) dalam Soewarno( 1995).
2.5.6. Debit Rencana Suripin (2004) mengatakan bahwa Perhitungan debit rencana berdasarkan hujan rencana untuk saluran drainase perkotaan dapat dilakukan dengan persamaan rasional. Persamaan matematis metode rasional dinyatakan dalam bentuk berikut. Qt = 0,002778.C.IA ………………………………………………..…….………(2.23) Dengan: Qt
= Laju aliran permukaan (debit), m3 / s
C
= Koefisien aliran permukaan, (0
C
I
= Intensitas hujan dalam mm / jam dan
A
= Luas DAS dalam hektar
Salah satu rumus rasional yang dibuat secara empiris untuk menjelaskan hubungan antara hujan dengan limpasan, Wesli (2008) adalah; Qt = 0,02778C.Cs.I.A …………………………………………………………..(2.24) Dengan: Qt
= Laju aliran permukaan (debit), m3 / s
C
= Koefisien aliran permukaan, (0
Cs
= Koefisien tampungan
C
I
= Intensitas hujan dalam mm / jam dan
A
= Luas DAS dalam hektar
33
2.6. Aspek Hidrolika
Pelly DKK (1997), mengatakan bahwa aliran air dalam suatu saluran dapat berupa aliran saluran terbuka (Open channel) maupun saluran tertutup (Pipe flow). Pada saluran terbuka terdapat permukaan air yang bebas (free surface), permukaan bebas ini dapat dipengaruhi oleh tekanan udara luar secara langsung, sedangkan pada aliran pipa tidak terdapat permukaan yang bebas, oleh karena seluruh saluran diisi oleh air. Pada aliran pipa permukaan air secara langsung tidak dipengaruhi oleh tekanan udara luar, kecuali hanya oleh tekanan hidraulik yang ada dalam aliran saja.
2.6.1. Aliran Air Pada Saluran Terbuka Untuk memahami aliran pada saluran terbuka dapat di kategorikan jenis aliran dan sifat sifat aliran. 2.6.1.1. Jenis Aliran Pelly DKK (1997), mengatakan bahwa pengolongan jenis aliran berdasarkan perubahan kedalaman aliran sesuai dengan perubahan ruang dan waktu. A.
Aliran Tunak (Steady flow) Aliran tunak adalah aliran yang mempunyai kedalaman tetap untuk selang
waktu tertentu. Aliran tunak diklasifikasikan menjadi: 1. Aliran seragam (Uniform flow) Aliran saluran terbuka dikatakan seragam apabila kedalaman air sama pada setiap penampang saluran.
34
2. Aliran berubah (Varied flow) Aliran saluran terbuka dikatakan berubah apabila kedalaman air berubah di sepanjang saluran. (aliran berubah lambat laun dan aliran berubah tiba tiba)
B.
Aliran tidak tunak (Unsteady flow) Aliran tidak tunak adalah aliran yang mempunyai kedalaman aliran yang
berubah tidak sesuai dengan waktu. Banjir merupakan salah satu contoh aliran tidak tunak. Aliran tidak tunak diklasifikasikan : 1. Aliran seragam tidak tunak (Unsteady uniform flow) Aliran saluran terbuka dimana alirannya mempunyai permukaan yang berfluktuasi sepanjang waktu dan tetap sejajar dengan dasar saluran. Aliran ini jarang dijumpai dalam praktek. 2. Aliran berubah tidak tunak (Unsteady Varied flow) Aliran saluran terbuka dimana kedalaman saliran berubah sepanjang waktu dan ruang.
2.6.1.2. Sifat Sifat Aliran Pelly DKK (1997), mengatakan bahwa Kekentalan dan gravitasi mempengaruhi sifat atau perilaku aliran pada saluran terbuka. Tegangan permukaan air dalam keadaan tertentu dapat pula mempengaruhi perilaku aliran, tetapi pengaruh ini tidak terlalu besar dalam masalah saluran terbuka pada umumnya yang ditemui dalam dunia perekayasaan. a.
Aliran Laminer Aliran saluran terbuka dikatakan laminar apabila gaya kekentalan (Viscosity)
relative sangat besar dibangdingkan dengan gaya inersia sehingga kekentalan berpengaruhi besar terhadap perilaku aliran. Butir butir air bergerak menurut lintasan
35
tertentu yang teratur atau lurus dan selapis cairan tipis seolah olah menggelincir diatas lapisan lain. b.
Aliran Turbulen Aliran saluran terbuka dikatan turbulen apabila gaya kekentalan relative lemah
dibangdingkan dengan gaya inersia. Butir butir air tidak bergerak menurut lintasan yang tidak teratur, tidak lancer dan tidak tetap, walaupun butir butir tersebut tetap bergerak maju didalam aliran secara keseluruhan. Aliran Laminer akan terjadi dalam aliran saluran terbuka untuk harga harga bilangan Reynold Re yang besarnya 2000 atau kurang. Aliran bias menjadi laminar sampai ke Re = 10.000 untuk aliran saluran terbuka, Re = 4 R V/v, dimana R adalah jari jari hidraulik. 2.6.2. Aliran Air Pada Saluran Tertutup Untuk memahami aliran pada saluran terbuka dapat di kategorikan jenis aliran dan sifat sifat aliran. 2.6.2.1. Jenis aliran Pelly DKK (1997), mengatakan bahwa ketentuan ketentuan mengenai tahanan aliran bagi saluran tertutup yang penuh adalah tidak dengan yang berlaku pada saluran terbuka. Persamaan tahanan dapat diturunkan bagi setiap kasus dengan menyamakan gaya geser yang menahan di perbatasan dengan gaya penggerak yang berkerja pada arah normal terhadap saluran. Aliran dalam saluran terbuka digerakkan oleh gaya penggerak yang dilakukan oleh jumlah berat aliran yang mengalir menuruni lereng. Dalam saluran tertutup gaya pengerak tersebut dilakukan oleh gradient tekanan.
36
Berbeda dengan aliran air pada saluran terbuka, maka pada saluran tertutup hanya terdapat satu jenis aliran yaitu aliran tunak (Steady flow). 2.6.2.2. Sifat aliran Pelly DKK (1997), mengatakan bahwa ada dua jenis aliran tunak dalam aliran air dalam saluran tertutup (pipa). Aliran aliran tersebut dinamakan aliran laminar dan aliran turbulen. a.
Bilangan Reynold Aliran dari suatu zat cair dalam pipa adalah laminar atau turbulen dan biasa
dibedakan sesuai dengan nilai dari bilangan Reynold. Bilangan Reynold ( R ) ini adalah tidak berdimensi, dan sama dengan hasil kali kecepatan karakteristik dari sistem dibagi dengan kecepatan kinematik dan cairan, kesemuanya dinyatakan dengan satuan yang konsisten. Re =
Vd Vd 0 V (2r0 ) atau = …………………………………………………(2.25) µ v v
Dengan: Re = angka Reynold (tak berdimensi) d = Diameter bagian dalam dari pipa (m) V = Kecepatan aliran (m/det) v = kekenyalan kinematik dari zat alir (m2/det) h = kekentalan mutlak dalam pa. dtk
37
b.
Aliran Laminer Pelly DKK (1997), mengatakan bahwa pada aliran laminar partikel partikel zat
cair bergerak di sepanjang lintasan lurus, sejajar dalam lapisan lapisan. Besarnya kecepatan dari lapisan yang berdekatan tidak sama. Aliran laminar diatur oleh hukum yang berhubungan tegangan geser kelaju perubahan bentuk sudut. Yaitu hasil kali kekentalan zat cair dan gradient kecepatan atau r = µ dv/dy. Kekentalan zat cair tersebut dominan dan karenanya mencegah setiap kecenderungan menuju kondisi kondisi turbulen. Untuk irisan irisan penampang yang tak bundar perbandingan luas irisan penampang terhadap keliling yang basah disebut jari jari hidraulik R ( dalam m), digunakan dalam bilangan Reybold pernyataan tersebut menjadi: R
V (4 R) ……………………………….…………………………………(2.26) v
c.
Aliran turbulen Pelly DKK (1997), mengatakan bahwa Karakteristik aliran turbulen adalah
sangat penting mengingat hampir semua aliran dalam drainase berada dalam kategori aliran turbulen. Koefisien yang berlaku untuk kondisi turbulen bila rumus hidraulik dengan bilangan reynold akan digunakan berubah sesuai dengan kekasaran dinding pipa maupun kekenyalan dan kerapatan dari zat alirannya.
2.6.3. Bentuk Penampang Saluran Wesli (2008), mengunkapkan bahwa mengingat bahwa tersedianya lahan merupakan hal yang perlu dipertimbangkan, maka penampang saluran drainase perkotaan dan jalan raya dianjurkan mengikuti penampang hidrolis terbaik, yaitu suatu penampang yang memiliki luas terkecil untuk suatu debit tertentu atau memiliki keliling basah terkecil dengan hantaran maksimum. Unsur-unsur geometris penampang hidrolis terbaik diperlihatkan pada tabel 2.10.
38
Tabel 2.11: Unsur Geometrik Penampang Hidrolis Terbaik No.
1
Penampang melintang
Luas
(A)
Keliling
Jari-jari
Lebar Puncak
Basah (P)
Hidrolis (R)
(T)
Trapesium (setengah segi
.Y
enam)
2
Persegi Panjang (setengah
4Y
2Y
2Y
.Y
bujur sangkar)
3
Segitiga (setengah bujur
Y
2Y
¼.
sangkar)
4
Setengah lingkaran
.Y
5
Parabola
.
6
Lengkung hidrolis
Y .
1,3959.Y
2,9836.Y
2Y
.Y .Y 0,4678.Y
2. 1,917532.Y
Sumber: Wesli, (2008)
Sumber: Wesli, (2008) Dimena: B: Lebar bawa saluran Y: Kedalaman saluran F: Free Board (Daerah jagaan) Gambar 2.2: Penampang Hidrolis terbaik saluran persegi panjang dan trapezium
39
2.6.4. Kecepatan Aliran
Karena betapa sulitnya menentukan tegangan geser dan distribusi kecepatan dalam aliran turbulen, maka digunakan pendekatan empiris untuk menghitung kecepatan rata-rata. Beberapa rumus empiris kecepatan rata-rata akan kita bahas pada bagian berikut ini (Suripin 2004). Chezy (1769) Seorang insinyur Prancis yang bernama Antoine Chezy pada tahun 1769 merumuskan kecepatan untuk aliran seragam yang sangat terkenal yang masih banyak dipakai sampai sekarang (Wesli, 2008). V = C √RI ……………………………………………………………………(2.27) Dengan: V = kecepatan rat rata (m/det) C = koefisien Chezy R = jari jari hidraulis I = Kemiringan dari permukaan air atau dari gradient energy atau dari dasar saluran, garis garisnya sejajar untuk aliran yang mantap. Manning (1889) Seorang insinyur Irlandia bernama Robert Manning (1889), mengemukakan sebuah rumus yang akhirnya diperbaiki menjadi rumus yang sangat terkenal (Wesli, 2008) seperti persamaan 2.21. V = 1 / n (R) 2/3 S ½ ……………………………………………………………(2.28) Dengan: V = Kecepatan rata rata (m/det) n = Koefisien Manning R = jari jari hidrolis
40
S = Kemiringan dari permukaan air atau dari gradient energy atau dari dasar saluran, garis garisnya sejajar untuk aliran yang mantap yang merata.
Suripin (2004), mengatakan bahwa Nilai koefisien n Manning untuk berbagai macam saluran secara lengkap dapat dilihat diberbagai referensi, disini hanya ditampilkan beberapa yang dianggap paling sering dipakai dalam perencanaan praktis seperti pada tabel 2.11.
Tabel 2.12: Tipikal harga koefisien kekasaran Manning, n yang sering digunakan No. 1.
Tipe saluran dan jenis bahan
Harga n Minimum
Normal
Maksimum
0,010
0,011
0,013
0,011
0,013
0,014
kotoran/gangguan
0,011
0,012
0,014
Beton dipoles
0,013
0,015
0,017
Saluran pembuang dengan bak
Beton
Gorong-gorong lurus dan bebas dari kotoran
Gorong-gorong dengan lengkungan dan sedikit
kontrol 2.
Tanah, lurus dan seragam
Bersih baru
0,016
0,018
0,020
Bersih telah melapuk
0,018
0,022
0,025
Berkerikil
0,022
0,025
0,030
Berumput pendek, sedikit tanaman
0,022
0,027
0,033
0,025
0,030
0,033
pengganggu 3.
Saluran alam
Bersih lurus
41
No.
Tipe saluran dan jenis bahan
Harga n Minimum
Normal
Maksimum
Bersih, berkelok-kelok
0,033
0,040
0,045
Banyak tanaman pengganggu
0,050
0,070
0,08
Dataran banjir berumput pendek –
0,025
0,030
0,035
tinggi
0,035
0,050
0,07
Saluran di belukar Sumber: Suripin (2004)
2.6.5. Bentuk Saluran yang Paling Ekonomis Suripin (2004), mengunkapkan bahwa Potongan melintang saluran yang paling ekonomis adalah saluran yang dapat melewatkan debit maksimum untuk luas penampang basah, kekasaran, dan kemiringan dasar tertentu. Berdasarkan persamaan kontinuitas, tampak jelas bahwa untuk luas penampang melintang tetap, debit maksimum dicapai jika kecepatan aliran maksimum. Dari rumus Manning maupun Chezy, dapat dilihat bahwa untuk kemiringan dasar dan kekasaran tetap, kecepatan maksimum dicapai jika jari-jari hidraulik, R, maksimum. Selanjutnya, untuk luas penampang tetap, jari-jari hidraulik maksimum jika keliling basah, P, minimum. Kondisi seperti yang telah kita pahami tersebut memberi jalan untuk menentukan dimensi penampang melintang saluran yang ekonomis untuk berbagai macam bentuk, seperti berikut. 1). Penampang Berbentuk Persegi yang Ekonomis Untuk penampang melintang saluran berbentuk persegi dengan lebar dasar B, dan kedalaman air h, luas penampang basah, A, dan keliling basah, P, (Suripin, 2004) dapat dituliskan persamaan 2.29, 2.30 dan 2.31: a)
Luas Penampang A = B x h ……………………………………….………(2.29)
b)
Keliling basah P = B + 2h ……………………………………….………..(2.30)
42
c)
Jari jari hidrolis R = A/P ………………………………………..………...(2.31)
h
B
Dimana: B: lebar bawa saluran H: Kedalaman saluran Gambar 2.3: Penampang persegi panjang
2). Penampang Berbentuk Trapesium yang Ekonomis Luas penampang melintang, A, dan keliling basah, P, saluran dengan penampang melintang yang berbentuk trapesium dengan lebar dasar B, kedalaman aliran h, dan kemiringan dinding 1 : m , (Suripin, 2004) dapat dilihat dalam persamaan 2.32, 2.33 dan 2.34: a)
Luas Penampang A B mh h ……………………………….….………..(2.32)
b)
Keliling basah P B 2h m 2 1 ……………………………...………..…(2.33)
c)
Jari jari hidrolis R = A/P ………………………………….…….………...(2.34)
43
h
1 m mh
mh
B
Dimana: B: Lebar bawa saluran H: Kedalaman saluran mh: Lebar sisi miring Ɵ: Sudut Kemiringan Gambar 2.4: Penampang Trapesium
3). Penampang Berbentuk lingkaran yang Ekonomis Perhitungan luas penampang saluran (A), keliling basah, (P) dan jari-jari hidrolis (R) untuk penampang saluran lingkaran, (Wesli, 2008) adalah lihat persamaan 2.35, 2.36 dan 2.37. a)
Luas Penampang A = 1/2πr2 ….………………………………….……...(2.35)
b)
Keliling basah P = πr …………...……………………………..…………(2.36)
c)
Jari jari hidrolis R = A/P ………………………………………..……….(2.37)
44
D r
Dimana: D: Diameter saluran r: Jari jari saluran Gambar 2.5: Penampang lingkaran
2.6.6. Dimensi Saluran Dimensi saluran harus mampu mengalirkan debit rencana atau dengan kata lain debit yang dialirkan oleh saluran (Qs) sama atau lebih besar dari debit rencana (Qt) (Dias, 2011). Hubungan ini ditunjukkan pada persamaan 2.38: Qs ≥ Qt ………………………………………………………………..…………(2.38) Debit suatu penampang saluran (Qs) dapat diperoleh dengan menggunakan rumus seperti persamaan 2.39: Qs = A V ………………………………………………………...………………(2.39) Dengan : Qs = debit saluran (m3/det) A = Luas Penampang (m2) V = Kecepatan aliran (m/det)
45
2.7. Permasalahan drainase perkotaan
Mursitaningshi (2009), mengatakan bahwa Permasalah drainase perkotaan bukanlah hal yang sederhana. Banyak faktor yang mempengaruhi dan pertimbangan yang matang dalam perencanaan, antara lain : 1) Peningkatan debit 2) Penyempitan dan pendagkalan saluran 3) Reklamasi 4) Amblesan tanah 5) Limbah 6) Sampah 7) Pasang surut air laut.
2.8. Perencanaan sistem drainase perkotaan
Saluran drainase harus direncanakan untuk dapat melewatkan debit rencana dengan aman. Perencanaan sistem drainase terdapat berbagai tahap seperti; tahap perencanaan dan pemograman, tahap pelaksanaan, tahap operasi dan pemeliharaan dan tahap Evaluasi dan monitoring.
2.8.1. Tahap Pelaksanaan dan Pemograman Suripin (2004), mengatakan bahwa dalam rangka mencegah atau mengurangi kerugian banjir dan memperbaiki lingkungan hidup, maka perlu suatu perencanaan dan program pengembangan atau perbaikan sistem drainase.dalam perencanaan dan pemograman ini mencakup berbagai macam aspek antara lain sebagai berikut;
46
2.8.1.1. Aspek teknik 1)
Survei dan Investigasi yang diperlukan Suripin (2004), mengatakan bahwa Perencanaan sistem drainase di daerah
perkotaan pada umumnya mengikuti beberapa istilah sebagai berikut: a.
Umum Kondisi lokasi sistem drainase yang ada saat ini harus diketahui secara detail untuk perencanaan sistem drainase.
b.
Topografi Imformasi umum pada lokasi harus diketahui secara rinci. Imformasi yang diperlukan paling tidak meliputi: Lokasi sistem drainase, Elevasi permukaan tanah dan Batas batas administrasi.
c.
Iklim dan Hidrologi Data hidrologi yang diperlukan meliputi data debit, data hujan, data kualitas air dan data pasang surut.
d.
Genangan banjir Data genangan banjir yang pernah terjadi pada masa lalu sangat penting artinya dalam merumuskan sistem drainase. Data genangan dapat dikumpulkan melalui rekaman yang tersedia maupun wawancara langsung dengan penduduk didaerah yang dicurigai pernah terjadi genangan. Data yang dukumpulkan meliputi: tinggi muka air maksimum dan kedalaman genangan, luas dan persebaran daerah genangan, lamanya genangan, sumber air dan arah aliran air, frekuensi terjadi genangan dan penyebab terjadi genangan.
e.
Sistem drainase yang telah ada Daerah perkotaan merupakan daerah yang telah terbangun, sehingga sesederhana apapun sistem drainase pasti telah tersedia. Sistem drainase yang telah ada perlu diinvestigasi dan dipelajari untuk menjadi bahan referensi dan pertimbangan dalam perencanaan atau perbaikan sistem drainase yang akan dibuat.
2)
Merumuskan rencana sistem drainase 47
Suripin (2004), mengatakan bahwa Perencanaan sistem drainase perkotaan perlu memperhatikan hal hal sebagai berikut: a.
Target rencana perbaikan untuk saluran induk dan fasilitasnya, saluran induk menggunakan debit rencana dengan kala ulang 5 tahun, 25 tahun sedangkan saluran tersier dengan perode ulang 2 tahun.
b.
Pekerjaan perbaikan harus memenuhi persyaratan teknis dan praktis.
c.
Operasi, pemeliharaan dan pengelolahan harus mudah.
d.
Fasilitas dan sistem drainase yang telah ada harus diusahakan sebanyak mungkin harus dimamfaatkan.
e.
Komponen imfrastruktur lainnya yang sudah ada untuk menghindari perusakan yang tidak sengaja.
f.
Pembebasan dan relokasi sedapat mungkin dihindari.
g.
Di daerah daerah yang memungkinkan digunkan sistem gravitasi penuh, perlu dilengkapi pintu klep atau stasium pompa pada keluaran.
3) Perencanaan saluran drainase Saluran drainase harus direncanakan untuk dapat dilewatkan debit rencana dengan aman. Perencanaan teknis saluran drainase mengikuti tahap tahap sebagai berikut: a. Menetukan debit rencana b. Menetukan jalur saluran c. Merencanakan profil memanjang saluran d. Merencanakan penampang melintang saluran e. Mengatur dan merencanakan bangunan bangunan serta fasilitas sistem drainase.
2.8.1.2. Aspek Ekonomi dan finansial Suripin (2004), mengatakan bahwa
Proyek adalah suatu kegiatan yang
menggunakan modal atau faktor produksi untuk mencapai suatu tujuan tertentu sehingga
memberikan mamfaat setelah suatu jangka waktu tertentu. Untuk 48
Mengetahui keungtungan atau mamfaat suatu investasi perlu dilakukan evaluasi kelayakan proyek. Salah satu bentuk evaluasi kelayakan proyek adalah analisis ekonomi. 1)
Tujuan Analisis Ekonomi Analisis ekonomi perlu dilakukan proyek dilaksanakan, khususnya
proyek
proyek yang dibiayai dari pemerintah. Tujuan utama dari analisis ekonomi adalah: a.
Melakukan identifikasi tingkat kelayakan suatu proyek secara ekonomi.
b.
Melakukan penilaian seberapa besar keuntungn yang akan diperoleh oleh penerima mamfaat (dalam hal ini masyarakat) jika dibandingkan dengan tampa proyek.
c.
Melakukan justifikasi terhadap biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan proyek tersebut dan kemungkinan pengembalian investasi dalam kaitannya dengan pembayaran kembali pinjaman dari pihak donor.
d.
Melakukan indentifikasi terhadap resiko resiko yang mungkin akan terjadi kendala bagi proyek untuk mencapai tujuan yang diprogramkan.
2). Komponen Biaya Suripin (2004), mengatakan bahwa biaya konstruksi proyek drainase dihitung berdasarkan hasil pada tahap perencanaan rinci. Proyek drainase
dapat berupa
rehabilitasi, perluasan, maupun pengembangan sistem drainase baru, komponen biaya terdiri dari: a.
Biaya konstruksi
b.
Biaya Engineering
c.
Biaya pembebasan lahan, pemindahan dan permukiman kembali penduduk
d.
Biaya yang diperlukan untuk pajak pajak.
e.
Biaya operasi pemeliharaan
f.
Biaya pengantian
g.
Biaya administrasi proyek
49
2.8.1.3. Aspek Sosial Budaya Suripin (2004), mengatakan bahwa untuk meningkatkan keterlibatan dan rasa memiliki dari masyarakat terhadap fasilitas yang akan dikembangkan perlu diperhatikan aspek social budaya masyarakat setempat. Hal ini perlu untuk menghindari terjadinya pertentangan tujuan antara kehendak pemerintah (penyedia fasilitas) dan kehendak masyarakat. Juga untuk menghilangkan kesan bahwa fasilitas/prasarana yang dibangun semata mata milik pemerintah, sehingga masyarakat tidak peduli dengan keberedaannya. Oleh karena itu perlu adanya pendekatan dan sosialisasi yang terus menerus sebelum suatu proyek dilaksanakan. Masyarakat perlu dilibatkan pada setiap tahap kegiatan pembangunan, mulai dari perumusan gagasan, perencanaan, pelaksanaan, sampai operasi dan pemeliharaan.
2.8.1.4. Aspek Legalitas atau perundang-undangan Suripin (2004), mengatakan bahwa untuk dapat melaksanakan konsep penanganan banjir secara komprehensif yang berdasarkan paradigm manajemen air diperluka seperangkat ordonansi atau peraturan. Dalam ordonansi tersebut harus meliputi filosofi manajemen air (khususnys air hujan) dan implementasi kedalam pendekatan teknis, susunan institusi, financial, perilaku masyarakat yang diharapkan dan sanksi terhadap pihak pihak yang melanggar peraturan. Peraturan harus disususn sedemikian rupa sehingga mudah dipahami oleh pengelola dan masyarakat yang menjadi stakeholder.
2.8.1.5.Aspek kelembagaan Suripin (2004), mengatakan bahwa organisasi atau lembaga pengelola prasarana dan sarana pengendalian banjir diperkotaan harus dibentuk, tidak hanya pada kawasan kota saja, tetapi juga diseluruh daerah tangkapan air dan kawasan perairan pantai dimana sumber permasalahan berasal. Institusi ini mempunyai tangung-jawab mengendalikan peningkatan debit dari daerah hulu dengan menurunkan aliran permukaan dan meregulasi debit puncak melalui berbagai macam 50
cara dan bertangung jawab untuk mengendalikan
pemgambilan air tanah yang
berdampak pada amblesan tanah (land subsidence).
2.8.2. Tahap Pelaksanaan Tahap pelaksanaan proyek merupakan implementasi dari apa yang sudah dihasilkan dari tahap sebelumnya, yang berupa rencana/ desain proyek. Tahap ini terdiri dari 3 sub tahapan, yaitu: a.
Pra pelaksanaan
b.
Pelaksanaan kontrak
c.
Penyerahan pekerjaan
2.8.3. Tahap operasi dan Pemeliharaan 1) Operasi sistem drainase Operasi sistem drainase adalah usaha untuk memamfaatkan prasarana drainase secara optimal. Ruang lingkup kegiatan sistem drainase meliputi kegiatan: a.
Penyuluhan tentang pemamfaatan sistem drainase
b.
Melaksanakan pengoperasian bangunan bangunan pada sistem drainase
2) Pemeliharaan sistem drainase Pemeliharaan adalah usaha usaha untuk menjaga agar prasarana drainase selalu berfungsi dengan baik selama jangka waktu pelayanan yang direncanakan. Ruang lingkup pemeliharaan sistem drainase meliputi: a.
Kegiatan pengamanan dan pencegahan
b.
Kegiatan perawatan
c.
Kegiatan perbaikan.
51
2.8.4. Tahap Evaluasi dan Monitoring Suripin (2004), mengatakan bahwa evaluasi dan monitoring merupakan bagian yang sangat esensial dalam manajemen sistem drainase. Evaluasi dan monitoring dilakukan dengan 3 tahap adalah sebagai berikut: a.
Tahap sebelum proyek (evaluasi perencanaan)
b.
Tahap saat proyek berjalan (Evaluasi pelaksanaan)
c.
Tahap setelah proyek (evaluasi kinerja).
52