BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sistem
2.1.1
Definisi Sistem Pada dasarnya, sistem adalah sekumpulan elemen yang saling terkait atau
terpadu yang dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan. Jika dalam sebuah sistem terdapat elemen yang tidak memberikan manfaat dalam mencapai tujuan yang sama, maka elemen tersebut dapat dipastikan bukanlah bagian dari sistem. Menurut James A. (2006; 29), menjelaskan konsep umum sistem sebagai berikut: “Sistem adalah sekelompok komponen yang saling berhubungan, bekerja bersama untuk mencapai tujuan bersama dengan menerima input serta menghasilkan output dalam proses transformasi yang teratur.”
2.1.2
Elemen-Elemen Sistem Ada beberapa elemen yang membentuk sebuah sistem, yaitu:
1. Tujuan (goal) Setiap sistem memiliki tujuan (goal), entah hanya satu atau mungkin banyak. Tujuan inilah yang menjadi pemotivasi yang mengarahkan sistem. Tanpa tujuan, sistem menjadi tak terarah dan tak terkendali. 2. Masukan (input) Masukan (input) sistem adalah segala sesuatu yang masuk ke dalam sistem dan selanjutnya menjadi bahan untuk diproses. Masukan dapat berupa hal-hal berwujud maupun yang tidak berwujud. 3. Proses (process) Proses merupakan bagian yang melakukan perubahan atau transformasi dari masukan menjadi keluaran yang berguna, misalnya berupa informasi dan produk, tetapi juga bisa berupa hal-hal yang tidak berguna, misalnya limbah.
4. Keluaran (output) Keluaran merupakan hasil dari pemrosesan. 5. Mekanisme Pengendalian (control mechanism) dan Umpan Balik (feedback) Mekanisme pengendalian diwujudkan dengan menggunakan umpan balik. Umpan balik tersebut digunakan untuk mengendalikan baik masukan maupun proses. Tujuannya adalah untuk mengatur agar sistem sesuai dengan tujuan. Selain itu, sistem juga berinteraksi dengan lingkungan dan memiliki batasan: a. Batas (boundary) Yang disebut batas sistem adalah pemisah antara sistem dan daerah di luar sistem (lingkungan). Batas sistem menentukan konfigurasi, ruang lingkup, atau kemampuan sistem. Batas sebuah sistem dapat dikurangi atau dimodifikasi sehingga akan mengubah perilaku sistem. b. Lingkungan Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di luar sistem. Lingkungan bisa berpengaruh terhadap operasi sistem dalam arti bisa merugikan atau menguntungkan sistem itu sendiri. Lingkungan yang merugikan harus dikendalikan supaya tidak mengganggu kelangsungan operasi sistem, sedangkan yang menguntungkan tetap harus terus dijaga, karena akan memacu terhadap kelangsungan hidup sistem. Lingkungan bagi sebuah organisasi dapat berupa vendor, pelanggan, pemilik, pemerintah, bank, dan bahkan pesaing.
2.2
Sistem Informasi Akuntansi (SIA) Suatu organisasi sangat bergantung pada informasi sebagai dasar untuk
melaksanakan aktivitasnya. Informasi dihasilkan oleh sistem informasi yang merupakan alat untuk memprosesnya.
2.2.1
Definisi Sistem Informasi Akuntansi Menurut Moscove, sumber: Hariningsih (2006; 3), pengertian Sistem
Informasi Akuntansi adalah sebagai berikut: “Sistem Informasi Akuntansi adalah suatu komponen organisasi yang mengumpulkan, mengolah, menganalisa dan mengkomunikasikan informasi keuangan yang relevan untuk pengambilan keputusan kepada pihak-pihak luar (seperti inspeksi pajak, investor, dan kreditur) dan pihakpihak dalam (terutama manajemen) .” Definisi Sistem Informasi Akuntansi menurut Azhar Susanto (2004; 82) adalah sebagai berikut: “Sistem Informasi Akuntansi merupakan kumpulan (integritas) dari subsub sistem atau komponen baik fisik maupun non fisik yang saling berhubungan dan bekerja sama satu sama lain secara harmonis untuk mengolah data transaksi yang berkaitan dengan masalah keuangan menjadi informasi keuangan.” Bodnar (2001; 1) menyatakan Sistem Informasi Akuntansi adalah: “An accounting system is a collection of resources, such as people and equipment, designed to transform financial and other data into information.”
2.2.2
Komponen-Komponen Sistem Informasi Akuntansi Menurut Romney (2006; 3), Sistem Informasi Akuntansi terdiri dari lima
komponen: “1. Orang-orang yang mengoperasikan sistem tersebut dan melaksanakan berbagai fungsi. 2. Prosedur-prosedur, baik manual maupun terotomatisasi, yang dilibatkan dalam mengumpulkan, memproses, dan menyimpan data tentang aktivitas-aktivitas organisasi. 3. Data tentang proses-proses bisnis organisasi.
4. Software yang dipakai untuk memproses data organisasi. 5. Infrastruktur teknologi informasi, termasuk komputer, peralatan pendukung (peripheral device), dan peralatan untuk komunikasi jaringan.” Menurut Wilkinson (2004; 4), Sistem Informasi Akuntansi memiliki komponen-komponen sebagai berikut: “ 1. Sumber Daya Manusia 2. Alat yang digunakan 3. Sistem dan prosedur yang digunakan.” Komponen-komponen di atas dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Sumber Daya Manusia Manusia merupakan salah satu komponen Sistem Informasi Akuntansi yang paling berperan di dalam pelaksanaan Sistem Informasi Akuntansi. Manusia menentukan apakah suatu sistem dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya serta berperan tidaknya sistem tersebut dalam proses pengambilan keputusan. 2. Alat-alat yang digunakan Alat merupakan komponen dari Sistem Informasi Akuntansi, mulai digunakan pada saat terjadinya transaksi, pencatatan transaksi sampai dengan dihasilkannya laporan. Alat yang dimaksud dapat berbentuk alat sederhana seperti formulir, catatan, laporan sampai dengan alat teknologi seperti komputer. a. Formulir Formulir merupakan komponen pokok dalam Sistem Informasi Akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi pada saat terjadinya sehingga menjadi bukti tertulis dari transaksi yang terjadi seperti faktur penjualan, bukti kas keluar, dan dapat digunakan juga untuk melakukan pencatatan lebih lanjut.
b. Catatan Di dalam Sistem Informasi Akuntansi terdapat beberapa buku catatan yang digunakan untuk melakukan pencatatan transaksi. Buku-buku dan catatan tersebut adalah:
Jurnal
Buku Besar
c. Laporan Hasil akhir atau output dari Sistem Informasi Akuntansi adalah informasi keuangan dan informasi akuntansi manajemen. Informasi ini disampaikan dalam bentuk laporan keuangan. d. Komputer Komputer telah menjadi alat yang tidak dapat dihindarkan dalam Sistem Informasi Akuntansi sebagian besar perusahaan, khususnya perusahaan menengah dan besar, yang telah memasang perangkat komputer dalam perusahaan yang tidak hanya untuk mengolah data menjadi informasi seperti penggunaan komputer dalam sistem komunikasi, jaringan digital dan lain-lain. 3. Sistem dan prosedur yang digunakan Sistem dan prosedur merupakan gambaran yang mencakup seluruh jalannya kegiatan, mulai dari saat dimulainya aktivitas sampai pada saat berakhirnya aktivitas tersebut, sehingga dengan adanya sistem dan prosedur diharapkan suatu kegiatan operasional dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien. Sistem Informasi Akuntansi yang efektif penting bagi keberhasilan jangka panjang organisasi manapun. Tanpa perangkat untuk mengawasi aktivitasaktivitas yang terjadi, tidak akan ada cara untuk memutuskan seberapa baik kinerja perusahaan. Setiap organisasi juga perlu menelusuri pengaruh-pengaruh berbagai aktivitas atas sumber daya yang berada di bawah pengawasannya. Informasi tentang para pelaku yang terlibat dalam aktivitas-aktivitas tersebut penting untuk menetapkan tanggung jawab dari tindakan yang diambil.
2.2.3
Tujuan dan Fungsi Sistem Informasi Akuntansi Manajemen memerlukan Sistem Informasi akuntansi guna mencapai
tujuan perusahaan. Dalam memenuhi fungsinya, Sistem Informasi Akuntansi harus mempunyai tujuan, baik tujuan utama maupun tujuan khusus yang keduanya dapat menghasilkan informasi-informasi yang berguna, terutama dalam hal perencanaan dan pengendalian. Tujuan utama Sistem Informasi Akuntansi menurut Wikinson (2004; 8) adalah sebagai berikut: “To provide accounting information to a wide variety of user” Sedangkan tujuan khusus dari Sistem Informasi Akuntansi adalah sebagai berikut: “ 1. To support the day to day operation. 4. To support decisions making by internal decision makers. 5. To fill obligation relating to stewardship” Dengan memperhatikan tujuan-tujuan tersebut di atas, maka dapat membantu dalam perencanaan Sistem Informasi Akuntansi terutama dalam hal analisa dan desain sistem tersebut pada dasarnya merupakan proyeksi dari tujuan utama dan tujuan khusus Sistem Informasi Akuntansi, yaitu cepat, efisien, dan aman serta dapat membantu manajemen dalam pengambilan keputusan, perencanaan, dan pengendalian. Fungsi Sistem Informasi Akuntansi merupakan pengembangan dari Sistem Akuntansi. Sebagai contoh, salah satu fungsi Sistem Informasi Akuntansi adalah memberikan informasi akuntansi kepada pihak internal dan eksternal. Hal ini dapat dipenuhi oleh Sistem Informasi Akuntansi secara terperinci, seksama, dan akurat. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Sistem Informasi Akuntansi adalah sebagai berikut: 1. Untuk memberikan informasi akuntansi yang cepat. 2. Untuk menghasilkan informasi akuntansi yang efisien. 3. Untuk menghasilkan informasi akuntansi yang dapat dipercaya keandalannya.
4. Untuk memberikan informasi akuntansi yang berguna untuk perusahaan, pengendalian, dan pengambilan keputusan. Sedangkan jika dilihat dari komponennya, Sistem Informasi Akuntansi memenuhi tiga fungsi penting dalam organisasi, yaitu: 1. Mengumpulkan dan menyimpan data tentang aktivitas-aktivitas yang dilaksanakan oleh organisasi, sumber daya yang dipengaruhi oleh aktivitasaktivitas tersebut, dan para pelaku yang terlibat dalam berbagai aktivitas tersebut, agar pihak manajemen, para pegawai, dan pihak-pihak luar yang berkepentingan dapat meninjau ulang (review) hal-hal yang telah terjadi. 2. Mengubah data menjadi informasi yang berguna bagi pihak manajemen untuk membuat
keputusan
dalam
aktivitas
perencanaan,
pelaksanaan,
dan
pengawasan. 3. Menyediakan pengendalian yang memadai untuk menjaga asset-asset organisasi, termasuk data organisasi, untuk memastikan bahwa data tersebut tersedia saat dibutuhkan, akurat, dan andal. Secara umum fungsi Sistem Informasi Akuntansi adalah untuk mendorong seoptimal mungkin agar dapat menghasilkan berbagai informasi akuntansi yang terstruktur, yaitu tepat waktu, relevan, dan dapat dipercaya. Secara keseluruhan, informasi akuntansi tersebut mengandung arti yang berguna.
2.2.4
Manfaat Sistem Informasi Akuntansi Menurut Azhar Susanto (2004; 41-42), manfaat Sistem Informasi
Akuntansi adalah: “ 1. Sistem Informasi Akuntansi sebagai produk Sistem Informasi Akuntansi dapat dibuat dan dapat diperjualbelikan. 2. Sistem Informasi Akuntansi sebagai alat Sistem Informasi Akuntansi digunakan manajemen untuk mengoperasikan perusahaan. 3. Sistem sebagai pola pikir Artinya Sistem Informasi Akuntansi dapat digunakan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik demi kelangsungan hidup perusahaan.”
Dari kutipan tersebut dapat dijelaskan bahwa Sistem Informasi Akuntansi merupakan sebuah produk yang dapat diperjualbelikan, sebagai alat yang dapat digunakan oleh manajemen dalam operasional perusahaan dan juga dapat digunakan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik demi kelangsungan hidup perusahaan.
2.3
Sistem Survey
2.3.1
Definisi Sistem Survey Menurut Kamus Webster (2008: http://www.google.com/e-LibraryUT),
pengertian survey adalah: “Suatu kondisi tertentu yang menghendaki kepastian informasi, terutama bagi orangorang yang bertanggung jawab atau yang tertarik.” Tujuan dari survey adalah memaparkan data dari objek penelitian, dan menginterpretasikan dan menganalisisnya secara sistematis. Kebenaran informasi itu tergantung kepada metode yang digunakan dalam survey. Ada beberapa tipe dalam survey, yaitu: 1. Survey yang lengkap, yaitu yang mencakup seluruh populasi atau elemenelemen yang menjadi objek penelitian. Survey tipe ini disebut sensus. 2. Survey yang hanya menggunakan sebagian kecil dari populasi, atau hanya menggunakan sampel dari populasi. Jenis ini sering disebut sebagai sample survey method. Menurut Romney (2006; glosarium): “Survei sistem adalah pengumpulan secara sistematis fakta-fakta yang berhubungan dengan sistem yang ada.”
Tujuan dari sebuah survey sistem adalah: 1. Mendapatkan pemahaman menyeluruh atas operasi, kebijakan, dan prosedur; arus data dan informasi; kekuatan dan kelemahan Sistem Informasi Akuntansi; serta hardware, software, dan personil yang ada. 2. Membuat penilaian awal atas kebutuhan pemrosesan saat ini dan di masa mendatang, serta menetapkan keluasan dan sifat perubahan yang dibutuhkan. 3. Mengembangkan hubungan kerja dengan para pemakai dan membangun dukungan untuk Sistem Informasi Akuntansi. 4. Mengumpulkan data yang dapat mengidentifikasi kebutuhan pemakai, melakukan analisis kelayakan, dan membuat rekomendasi ke pihak manajemen. Data mengenai Sistem Informasi Akuntansi yang ada saat ini dapat dikumpulkan secara internal dari para pegawai dan juga dari dokumentasi seperti struktur organisasi dan buku petunjuk prosedur. Sumber eksternal meliputi para konsultan, pelanggan dan pemasok, asosiasi industri, serta kelembagaan pemerintahan. Data tersebut dapat dikumpulkan dengan menggunakan: a. Wawancara Wawancara membantu mengumpulkan jawaban dari pertanyaan “mengapa”: Mengapa terdapat masalah? Mengapa Sistem Informasi Akuntansi bekerja dengan cara seperti ini? Mengapa informasi ini penting? Akan tetapi, harus ada kehati-hatian untuk memastikan bahwa bias personal orang yang diwawancarai, kepentingan pribadi, atau keinginan untuk mengatakan hal-hal yang menurutnya ingin didengar oleh pewawancara, tidak akan menghasilkan informasi yang salah. b. Kuesioner Kuesioner digunakan ketika jumlah informasi yang dikumpulkan kecil dan dapat ditetapkan dengan baik. Kuesioner memerlukan waktu yang relatif lebih singkat untuk dikelola, tetapi membuat kuesioner yang berkualitas dapat merupakan tantangan tersendiri serta membutuhkan banyak waktu dan usaha.
c. Observasi Observasi digunakan untuk memverifikasi informasi yang dikumpulkan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan lain dan untuk menetapkan bagaimana sebuah sistem benar-benar bekerja, bukan untuk mengetahui bagaimana seharusnya bekerja. d. Dokumentasi sistem Dokumentasi sistem menjelaskan bagaimana Sistem Informasi Akuntansi dimaksudkan untuk bekerja. Melalui survey sistem, tim proyek harus mewaspadai perbedaan antara operasi sistem yang dimaksudkan dengan yang sesungguhnya. Perbedaan ini memberikan pandangan ke dalam yang penting atas masalah dan berbagai kelemahan. Informasi
yang
dikumpulkan
selama
tahap
analisis
harus
didokumentasikan agar dapat digunakan sepanjang proyek pengembangan sistem. Dokumentasi terdiri dari salinan kuesioner, catatan wawancara, memo, dan salinan dokumen. Cara lain untuk mendokumentasikan sebuah sistem adalah dengan membuat modelnya. Model fisik menggambarkan bagaimana sistem berfungsi dengan menjelaskan arus dokumen, proses komputer yang dilakukan dan orang yang melakukannya, perlengkapan yang digunakan, dan elemen fisik lainnya dari sistem. Model logika menggambarkan apa yang dilakukan, tanpa mempedulikan bagaimana arus tersebut benar-benar diselesaikan. Model logika berfokus pada aktivitas-aktivitasdasar dan arus informasi, bukan pada proses fisik mengubah dan menyimpan data. Setelah
pengumpulan
data
selesai
dilakukan,
tim
survey
akan
mengevaluasi kekuatan dan kelemahan Sistem Informasi Akuntansi untuk mengembangkan ide-ide tentang bagaimana cara mendesain serta bagaimana struktur Sistem Informasi Akuntansi yang baru. Jika memungkinkan, kekuatan harus dipertahankan dan kelemahan diperbaiki.
Survey system diakhiri dengan adanya laporan survey sistem. Laporan tersebut didukung oleh dokumentasi seperti memo, catatan hasil wawancara dan observasi, data kuesioner, file dan catatan tata letak serta deskripsi, penjelasan input dan output, salinan dokumen, bagan alir, dan diagram arus data.
2.4
Sistem Monitoring
2.4.1
Definisi Monitoring Menurut Messier, Glover, dan Prawitt (2006; 252): “Pemantauan pengendalian adalah suatu proses untuk menentukan kualitas kinerja pengendalian internal sepanjang waktu. Pengawasan atas pengendalian melibatkan penentuan rancangan dan operasi pengendalian secara tepat waktu dan mengambil tindakan koreksi yang diperlukan .” Menurut Casely dan Kumar (1987) definisi monitoring bisa bervariasi
tetapi pada dasarnya prinsip yang digunakan adalah sama, yaitu: "Monitoring adalah penilaian yang terus menerus terhadap fungsi kegiatan-kegiatan proyek didalam konteks jadwal-jadwal pelaksanaan dan terhadap penggunaan input-input proyek oleh kelompok sasaran didalam konteks harapan-harapan rancangan. Monitoring adalah kegiatan proyek yang integral, bagian penting dari praktek manajemem yang baik dan karena itu merupakan bagian yang integral dari manajemen sehari-hari." Monitoring yang dilakukan adalah dengan metoda pengumpulan dan analisis informasi secara teratur. Kegiatan ini dilakukan secara internal untuk menilai apakah masukan sudah digunakan, apakah dan bagaimana kegiatan dilaksanakan, dan apakah keluaran dihasilkan sesuai rencana. Monitoring berfokus secara khusus pada efisiensi. Monitoring dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu: 1. Monitoring melalui kunjungan lapangan (field visits) 2. Monitoring melalui laporan kemajuan yang di peroleh dari laporan dari masing-masing Satuan Penanggung Jawab Program baik itu yang menangani program/kegiatan ungkitan penunjang dan ungkitan utama yang meliputi
persentase target dan realisasi serapan dana serta persentase target dan realisasi kemajuan kegiatan. Menurut William, Raymond, dan Walter (2003; 400): “Monitoring merupakan proses untuk menilai kualitas dari pelaksanaan struktur pengendalian intern yang telah berjalan. Monitoring merupakan pemantauan terhadap personil yang mengawasi desain dan operasi perusahaan yang dilaksanakan. Struktur pengendalian intern yang berjalan diharapkan dapat mengatasi atau mengantisipasi penyimpangan atau kecurangan yang terjadi. Monitoring dapat dilaksanakan selama kegiatan perusahaan berjalan dan dapat dievaluasi secara periodik.” Monitoring merupakan proses untuk menilai dari pelaksanaan struktur pengendalian intern yang telah berjalan. Monitoring merupakan pemantauan yang dilaksanakan oleh personil yang semestinya melakukan pekerjaan tersebut baik pada tahap desain maupun pengoperasian perusahaan, agar pada waktu yang tepat dapat menentukan apakah struktur pengendalian intern tersebut telah memerlukan perubahan karena terjadinya perubahan keadaan. Kell et.al (1989), mendefinisikan monitoring sebagai berikut: “Monitoring is a process that accesses the quality of internal control structures performance over time. It involves by appropriate of the design operation of control on a suitable timely basis to determine that ICS is operating as intended and that it is modified as appropiate for changes in conditions.” Pemantauan dapat dilakukan melalui kegiatan yang berlangsung secara terus-menerus, evaluasi secara terpisah, atau dengan berbagai kombinasi dari keduanya. Prosedur pemantauan yang berlangsung secara terus-menerus dibangun ke dalam aktivitas entitas yang normal dan berkelanjutan serta mencakup aktivitas umum manajemen dan supervisi. Pengendalian juga dilaksanakan oleh internal auditor, bila internal auditor mendapati kesalahan atau penyimpangan dalam pelaksanaan pengendalian internal perusahaan, maka harus segera melaporkan kelemahan tersebut pada manajemen atau komite audit. Manajemen juga dapat menerima informasi dari pihak ekstern seperti bank atau akuntan publik tentang kelemahan struktur pengendalian internal perusahaan. Informasi yang diterima
dari berbagai pihak akan menjadi bahan pertimbangan bagi manajemen untuk memperbaiki pelaksanaan pengendalian intern selanjutnya sehingga dapat memperbesar hasil penjualan dan jumlah penerimaan kas perusahaan. Dalam unsur-unsur pengendalian internal perusahaan, monitoring masih merupakan hal baru bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia, mungkin baru perusahaan-perusahaan besar yang menerapkannya. Namun sebenarnya kegiatan monitoring telah berjalan dengan sendirinya dalam suatu perusahaan. Perusahaan sering memonitoring pelaksanaan pengendalian intern hanya apabila telah terjadi kesalahan yang fatal dan merugikan perusahaan baik dari segi prosedur kerja maupun dari besarnya laba yang diinginkan sebagai tujuan akhir perusahaan.
2.5
Corporate Social Responsibility (CSR) Pemikiran tentang korporasi yang lebih beradab, sebetulnya telah muncul
sejak lama. Tahun 1933, A Berle dan G Means, meluncurkan bukunya berjudul The Modern Corporation and Private Property, yang mengemukakan bahwa korporasi modern seharusnya mentransformasi diri menjadi institusi sosial, ketimbang institusi ekonomi yang semata memaksimalkan laba. Pemikiran ini dipertajam oleh Peter F Drucker pada 1946, lewat bukunya, The Concept of Corporation. Di sini, Drucker menegaskan tentang peran manajemen: "Management has become a major leadership group in industrial society and as such have great responsibilities to their own profession, to the enterprise and to the people they manage, and to their economy and society." (Arfan Ikhsan-Muhammad Ishak dalam Akuntansi Keperilakuan, Salemba Empat) Hingga dekade 1980-90 an, wacana CSR terus berkembang. Munculnya KTT Bumi di Rio pada 1992 menegaskan konsep sustainibility development (pembangunan berkelanjutan) sebagai hal yang mesti diperhatikan, tak hanya oleh negara, tapi terlebih oleh kalangan korporasi yang kekuatan kapitalnya makin menggila. Tekanan KTT Rio, terasa bermakna sewaktu James Collins dan Jerry Porras meluncurkan Built To Last; Succesful Habits of Visionary Companies di tahun 1994. Lewat riset yang dilakukan, mereka menunjukkan bahwa perusahaan-
perusahaan yang terus hidup bukanlah perusahaan yang hanya mencetak uang semata. Terobosan besar dalam konteks CSR, dilakukan John Elkington pada 1997. dalam bukunya: Cannibals with Forks, the Tripple Bottom Line of Twentieth Century Bussiness, Elkington mengembangkan konsep triple bottom line dalam istilah economic prosperity, environmental quality, dan social justice. Lewat konsepnya ini, Elkington, melukiskan bahwa perusahaan-dan bahkan kapitalisme itu sendiri- yang ingin berkelanjutan, harus memperhatikan 3P. bukan hanya mengejar profit, mereka juga harus terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people), dan berpartisipasi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Sejak cetusan Elkington ini, bisa dikatakan CSR kian bergulir kencang, dan makin kencang setelah World Summit di Johanesburg pada tahun 2002, yang menekankan pentingnya tanggung jawab sosial perusahaan.
2.5.1
Definisi CSR Berikut ini berbagai definisi dari CSR yang dihimpun dari berbagai
macam sumber. World Business Council for Sustainable Development dalam publikasinya yang berjudul making Good Sense (2002) mengutip pernyataan Lord Holme & Richard Watts (2000) yang mendefinisikan CSR sebagai berikut: “Corporate Social Resposibillity is the continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economics development while improving the quality of life of the workface and their families as well as of the local communities and society at large.” (www.mallenbaker.net). Definisi lain menyebutkan bahwa: “Corporate social responsibility is the commitment of business to contribute to sustainable economic development, working with employees, their families, the local community and society at large to improve their quality of life.” (WBCSD’s Joruney 2002). Gray.et.al, (1987) state that: “Social responsibility are the responsibilities for action which do not have purely financial implication and which are demanded of and organization under some (impiant or explicit) identifiable contranct.”
Dari berbagai definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa CSR adalah upaya perusahaan sebagai bagian dari masyarakat untuk berlaku etis dalam rangka menyeimbangkan aspek sosial-ekonomi perusahaan dalam rangka memenuhi tuntutan kewajiban kepada para stakeholders secara adil dan proporsional demi keberlangsungan jangka panjang. Pemahaman konsep CSR terbagi dalam dua pengertian, yaitu: 1. Dalam pengertian terbatas, tanggung jawab sosial suatu perusahaan dipahami sebagai upaya untuk tunduk dan memenuhi aturan hukum dan aturan main yang ada. Perusahaan tidak bertanggung jawab untuk memahami “apa yang ada“ (konteks) di sekitar aturan tersebut, karena mungkin saja perusahaan menginterpretasikan secara “kratif“ aturan-aturan untuk kepentingan mereka, terutama ketika aturan tersebut tidak cukup spesifik mengatur apa yang legal dan tidak legal, atau perilaku yang diperbolehkan untuk mengantisipasi hal ini. Oleh karena itu menurut pengusung konsep ini, “ada satu dan hanya satu tanggung jawab sosial bisnis, yaitu menggunakan seluruh sumber dayanya untuk mengabdi pada akumulasi laba“. (Friedman, dalam Jones 2001; 151). Perusahaan, dalam pandangan Friedman adalah alat dari pemegang saham (pemilik perusahaan). Maka apabila perusahaan akan memberikan sumbangan sosial, hal itu akan dilakukan oleh individu pemilik, atau lebih luas lagi, individu para pekerjanya, bukan oleh perusahaan itu sendiri. (Friedman, dalam Poster dan Kramer, 2003; 30). 2. Dalam Pengertian Luas, CSR dipahami sebagai konsep yang lebih ”manusiawi ” dimana suatu organisasi dipandang sebagai agen moral. Oleh karena itu, dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah organisasi, termasuk didalamnya organisasi bisnis; harus menjunjung tinggi moralitas. Dengan demikian, kendati tidak ada aturan hukum, atau etika masyarakat yang mengatur, tanggung jawab sosial dapat dilakukandalam berbagai situasi dengan mempertimbangkan hasil terbaik atau yang paling sedikit merugikan stakeholder-nya. Berdasarkan pandangan ini, sebuah organisasi bisnis dapat memutuskan tindakan atau prilkau yang paling etis dalam situasi tertentu dengan menerapkan prinsip-prinsip moral. Salah satunya adalah menerapkan
prinsip ”golden rule” yang mengajarkan seseorang atau satu pihak memperlakukan orang lain sama seperti mereka ingin diperlakukan. Para penganut konsep ini percaya bahwa ”the right action produces a geatest benefit for the most people“ (Jones, 2001; 151) artinya, tindakan tepat yang dilakukan suatu perusahaan berdasarkan prinsip moral dengan sendirinya akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat. Pandangan lebih komprehensif mengenai CSR dikemukakan oleh Carrol, yang mengemukakan teori piramida CSR. Menurutnya, tanggung jawab perusahaan dapat dilihat berdasarkan empat jenjang (ekonomi, hukum, etis dan filantropis) yang merupakan satu kesatuan. Untuk memenuhi tanggung jawab ekonomis, sebuah perusahaan harus menghasilkan laba sebagai fondasi untuk dapat mempertahankan eksistensinya, memperoleh laba dan dapat berkembang dengan baik. Namun dalam tujuan mencari laba, perusahaan harus bertanggung jawab secara hukum dengan mentaati ketentuan hukum yang berlaku. Upaya memperoleh laba dengan menghalalkan segala cara harus ditentang. Perusahaan juga harus bertanggung jawab secara etis, ini berarti perusahaan berkewajiban mempratikkan hal-hal yang baik dan sesuai dengan nilai-nilai etis. Oleh karena itu perusahaan harus memperhatikan nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dalam masyarakat sehingga menjadi rujukan kegiatan perusahaan. Lebih dari itu, perusahaan juga mempunyai tanggung jawab filantropis yang mensyaratkan agar perusahaan memberikan kontribusi kepada masyarakat, agar kualitas hidup masyarakat meningkat sejalan dengan operasi bisnis perusahaan. Masalah-masalah pokok terkait dengan tanggung jawab sosial adalah: 1. Social Development 2. Konsumen 3. Fair Operating Practices 4. Lingkungan 5. Ketenagakerjaan 6. Hak Asasi Manusia 7. Organizational Governance
2.5.2
Manfaat CSR Suatu perusahaan dapat digunakan langsung maupun tidak langsung dari
melaksanakan tindakan tanggung jawab sosial. Salah satu manfaatnya adalah meningkatnya perasaan karyawan atas perusahaan tersebut. Para pekerja cenderung akan lebih puas atas pekerjaannya dan termotivasi untuk bekerja dengan baik jika mereka percaya perusahaan tempat mereka bekerja bertindak selayaknya warga negara yang baik. Manfaat lain dapat timbul di pasar. Dengan menunjukkan perhatian yang tulus atas permasalahan sosial. Suatu perusahaan dapat menjadi lebih peka terhadap perubahan selera konsumen dan preferensinya. Hal ini dapat menimbulkan peluang membuat produk baru. Perusahaan yang bertangung jawab secara sosial akan menemukan bahwa produknya diminati hanya karena konsumen tahu dan menghargai perusahaan yang demikian. Seiring dengan minat konsumen akan produk dari perusahaan yang bertanggung jawab sosial, investor juga akan lebih berminat pada saham-saham perusahaan yang bertanggung jawab sosial. Untuk
mencapai
keberhasilan
dalam
melakukan
program
CSR,
diperlukannya komitmen yang kuat, partisipasi aktif, serta ketulusan dari semua pihak yang peduli terhadap program-program CSR. Program CSR menjadi begitu penting karena kewajiban manusia untuk bertanggung jawab atas keutuhan kondisi-kondisi kehidupan umat manusia di masa datang. Perusahaaan perlu bertanggung jawab bahwa di masa mendatang tetap ada manusia di muka bumi ini, sehingga dunia tetap harus menjadi manusiawi, untuk menjamin keberlangsungan kehidupan kini dan di hari esok.
2.5.3
CSR di Indonesia Corporate Social responsibility (CSR) menjadi salah satu kewajiban yang
harus dilaksanakan oleh perusahaan sesuai dengan isi Pasal 74 UU Perseroan Terbatas (UU PT) yang baru. UU ini disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada hari Jumat, 20 Juli 2007. Perdebatan pro dan kontra mengenai perlu atau tidaknya CSR dimuat dalam suatu peraturan perundang-undangan saat ini sudah mereda dengan meninggalkan permasalahan. Permasalahan kini bergulir kepada belum jelas berapa persen alokasi CSR, sanksi atas pelanggarannya akan merujuk UU yang mana, lembaga atau departemen mana yang mengawasi dan menjatuhkan sanksi, penerapan Tax Deductable bagi kegiatan sosial dalam rangka CSR dan akankah BUMN dikecualikan karena sudah ada UU tersendiri yang mengatur CSR bagi BUMN. Memang pada saat ini di Indonesia, praktek CSR belum menjadi suatu keharusan yang umum, namun dalam abad informasi dan teknologi serta adanya desakan globalisasi, maka tuntutan terhadap perusahaan untuk menjalankan CSR akan semakin besar. Tidak menutup kemungkinan bahwa CSR menjadi kewajiban baru standar bisnis yang harus dipenuhi seperti layaknya standar ISO. Dan diperkirakan pada akhir tahun 2008 mendatang akan diluncurkan ISO 26000 on Social Responsibility, sehingga tuntutan dunia usaha menjadi semakin jelas akan pentingnya program CSR dijalankan oleh perusahaan apabila menginginkan keberlanjutan dari perusahaan tersebut. CSR akan menjadi strategi bisnis yang inheren dalam perusahaan untuk menjaga atau meningkatkan daya saing melalui reputasi dan kesetiaan merek produk (loyalitas) atau citra perusahaan. Kedua hal tersebut akan menjadi keunggulan kompetitif perusahaan yang sulit untuk ditiru oleh para pesaing. Di lain pihak, adanya pertumbuhan keinginan dari konsumen untuk membeli produk berdasarkan kriteria-kriteria berbasis nilai-nilai dan etika akan merubah perilaku konsumen di masa mendatang. Implementasi kebijakan CSR adalah suatu proses yang terus menerus dan berkelanjutan. Dengan demikian akan tercipta satu ekosistem yang menguntungkan semua pihak (true win win situation), konsumen
mendapatkan produk unggul yang ramah lingkungan, produsen pun mendapatkan profit yang sesuai yang pada akhirnya akan dikembalikan ke tangan masyarakat secara tidak langsung. Masih banyak perusahaan tidak mau menjalankan program-program CSR karena melihat hal tersebut hanya sebagai pengeluaran biaya (cost center). CSR memang tidak memberikan hasil secara keuangan dalam jangka pendek. Namun CSR akan memberikan hasil baik langsung maupun tidak langsung pada keuangan perusahaan di masa mendatang. Dengan demikian apabila perusahaan melakukan program-program CSR diharapkan keberlanjutan perusahaan akan terjamin dengan baik. Oleh karena itu, program-program CSR lebih tepat apabila digolongkan sebagai investasi dan harus menjadi strategi bisnis dari suatu perusahaan. Dengan masuknya program CSR sebagai bagian dari strategi bisnis, maka akan dengan mudah bagi unit-unit usaha yang berada dalam suatu perusahaan untuk mengimplementasikan rencana kegiatan dari program CSR yang dirancangnya. Dilihat dari sisi pertanggung jawaban keuangan atas setiap investasi yang dikeluarkan dari program CSR menjadi lebih jelas dan tegas, sehingga
pada
akhirnya
keberlanjutan
yang
diharapkan
akan
dapat
terimplementasi berdasarkan harapan semua stakeholder. Melakukan program CSR yang berkelanjutan akan memberikan dampak positif dan manfaat yang lebih besar baik kepada perusahaan itu sendiri maupun para stakeholder yang terkait. Sebagai contoh nyata dari program CSR yang dapat dilakukan oleh perusahaan dengan semangat keberlanjutan antara lain, yaitu: pengembangan bioenergi, melalui kegiatan penciptaan Desa Mandiri Energi yang merupakan cikal bakal dari pembentukan eco-village di masa mendatang bagi Indonesia. Program CSR yang berkelanjutan diharapkan akan dapat membentuk atau menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera dan mandiri. Setiap kegiatan tersebut akan melibatkan semangat sinergi dari semua pihak secara terus menerus membangun dan menciptakan kesejahteraan dan pada akhirnya akan tercipta kemandirian dari masyarakat yang terlibat dalam program tersebut.
Program CSR tidak selalu merupakan promosi perusahaan yang terselubung, bila ada iklan atau kegiatan PR mengenai program CSR yang dilakukan satu perusahaan, itu merupakan himbauan kepada dunia usaha secara umum bahwa kegiatan tersebut merupakan keharusan/tanggung jawab bagi setiap pengusaha. Sehingga dapat memberikan pancingan kepada pengusaha lain untuk dapat berbuat hal yang sama bagi kepentingan masyarakat luas, agar pembangunan berkelanjutan dapat terealisasi dengan baik. Karena untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera dan mandiri semua dunia usaha harus secara bersama mendukung kegiatan yang terkait hal tersebut. Dimana pada akhirnya dunia usaha pun akan menikmati keberlanjutan dan kelangsungan usahanya dengan baik.
2.6
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) Perekonomian nasional Indonesia tidak hanya digerakkan oleh korporasi
besar atau BUMN, melainkan juga oleh usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Kontribusi UMKM dalam menggerakkan roda perekonomian nasional cukup besar, khususnya dalam penciptaan nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja. Memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan sebagai wujud kepedulian terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat serta kondisi lingkungan sosial masyarakat sekitar, BUMN melaksanakan PKBL sebagai bagian dari corporate action. Peran BUMN dalam pengembangan usaha kecil dilaksanakan sejak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Perusahaan Jawatan (PERJAN), Perusahaan Umum (PERUM) dan
Perusahaan
Perseroan
(PERSERO).
Pertimbangan
yang
mendasari
pelaksanaan program tersebut adalah adanya posisi strategis BUMN dalam hubungannya dengan usaha kecil yaitu memiliki keunggulan pada bidang produksi/pengolahan, teknologi, jaringan distribusi dan SDM yang dapat
dimanfaatkan untuk membina dan mengembangkan usaha kecil sehingga menjadi usaha yang tangguh dan mandiri. Pelaksanaan pembinaan usaha kecil oleh BUMN mulai tertata setelah terbitnya Keputusan Menteri Keuangan No.: 1232/KMK.013/1989. Pada saat itu program ini dikenal dengan nama Program Pegelkop (pembinaan pengusaha golongan ekonomi lemah dan koperasi) dan pada tahun 1994 dengan terbitnya Keputusan Menteri Keuangan No.: 316/KMK.016/1994 nama program diganti menjadi program PUKK (Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi). Seiring dengan perkembangan kegiatan ekonomi masyarakat yang sangat pesat dan dinamis, peraturan-peraturan tersebut beberapa kali mengalami perubahan, terakhir melalui Peraturan Menteri Negara BUMN No.: Per-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007 nama program diganti menjadi Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan (disingkat PKBL). Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada dasarnya mempunyai dua tanggung jawab: tanggung jawab kepada pemegang saham dan masyarakat. Tanggung jawab kepada pemegang saham dititikberatkan pada kinerja keuangan dan pertambahan nilai (value creation) perusahaan yang digambarkan pada laporan keuangan perusahaan. Tanggung jawab kepada masyarakat yang dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan bentuk kontribusi perusahaan pada pembangunan nasional sekaligus peningkatan kualitas hidup komunitas lokal dan masyarakat secara keseluruhan. Sejalan dengan hal tersebut, UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN menyatakan bahwa salah satu maksud dan tujuan pendirian BUMN, selain mengejar keuntungan, adalah turut serta memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, BUMN melaksanakan program yang disebut dengan Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan yang disingkat menjadi PKBL. Pelaksanaan PKBL diatur dalam Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor: Per-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Dengan mengacu
pada peraturan perundang-undangan tersebut, PKBL dilaksanakan dengan filosofi dasar sebagai berikut: 1. BUMN diwajibkan untuk melaksanakan PKBL yang dibiayai dari penyisihan sebagian laba bersih perusahaan; 2. Pelaksanaan PKBL merupakan tugas sosial mengingat tugas ini bukan core bussiness dari BUMN; 3. BUMN wajib melakukan pembukuan tersendiri (terpisah dari laporan keuangan BUMN) atas program kemitraan dan program bina lingkungan dan menyampaikan laporan berkala, triwulan dan tahunan yang telah di audit oleh auditor independen, kepada Menteri / pemegang saham untuk kemudian disahkan oleh Menteri/RUPS. Kinerja pelaksanaan PKBL merupakan bagian dari
penilaian
kinerja
perusahaan/direksi
yang
tertuang
dalam
key
performance indicator (KPI); dan 4. Pelaksanaan PKBL merupakan corporate action, dimana selain organ BUMN, pihak lain mana pun dilarang campur tangan dalam pengurusan BUMN.
2.7
Program Kemitraan
2.7.1
Definisi Program Kemitraan Program Kemitraan adalah program untuk meningkatkan kemampuan
usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN dan merupakan program yang sejalan dengan motto Pemerintah dalam pengembangan UMKM, yaitu ”4 sehat 5 sempurna”, meliputi: (1) modal dan dana yang cukup; (2) Manajemen yang baik; (3) SDM yang profesional dan terampil; (4) pasar yang memadai; dan (5) kemitraan yang baik dengan usaha besar di BUMN. Yang dimaksud dengan kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah dan atau usaha besar (termasuk BUMN) disertai dengan pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah dan atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Program Kemitraan
BUMN dengan usaha kecil pada dasarnya dilaksanakan mengacu pada definisi tentang kemitraan tersebut. Pola kemitraan tersebut dapat dijalankan dalam empat cara. Pertama, pembinaan secara langsung, dimana BUMN langsung menyalurkan pinjaman dan melakukan pembinaan teknis pada mitra binaan. Kedua, kerja sama antar BUMN, yaitu BUMN memberikan pinjaman modal kerja pada mitra binaan BUMN lainnya, sementara BUMN yang mitra binaannya memperoleh pinjaman yang bertindak sebagai penjamin atas kredit yang diterima mitra binaannya. Ketiga, kerja sama dengan lembaga keuangan perbankan, baik dalam bentuk channeling maupun executing. Keempat, pola satuan kerja, dalam hal ini BUMN bersama Pemda membentuk satuan kerja yang bertugas melakukan inventarisasi, menyeleksi dan mengusulkan usaha kecil yang berhak memperoleh pinjaman.
2.7.2
Tujuan Program Kemitraan Program kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil mempunyai tujuan
sebagai berikut: 1. Meningkatkan citra baik dan hubungan sinergi dengan masyarakat sekitar kegiatan BUMN. 2. Mendorong kegiatan dan pertumbuhan ekonomi rakyat di lingkungan BUMN. 3. Terciptanya Pemerataan Pembangunan melalui peningkatkan penyerapan tenaga kerja dan kualitas sumber daya manusia (masyarakat), kesempatan berusaha dan pemberdayaan masyarakat di lingkungan diluar kegiatan BUMN.
2.7.3
Sumber Dana Program Kemitraan Sumber dana Progran Kemitraan berasal dari penyisihan laba bersih
perusahaan sebesar maksimal 3% dan diberikan dalam beberapa bentuk, yaitu : 1. Pinjaman untuk membiayai modal kerja dan atau pembelian aktiva tetap dalam rangka meningkatkan produksi dan penjualan;
2. Pinjaman khusus untuk membiayai kebutuhan dana pelaksanaan kegiatan usaha Mitra Binaan yang bersifat pinjaman tambahan dan berjangka pendek dalam rangka memenuhi pesanan dari rekanan usaha Mitra Binaan; 3. Beban Pembinaan: a. Untuk membiayai pendidikan, pelatihan, pemagangan, pemasaran, promosi, dan hal-hal lain yang menyangkut peningkatan produktivitas Mitra Binaan serta untuk pengkajian/penelitian yang berkaitan dengan Program Kemitraan; b. Beban pembinaan bersifat hibah dan besarnya maksimal 20% (dua puluh persen) dari dana Program Kemitraan yang disalurkan pada tahun berjalan; c. Beban Pembinaan hanya dapat diberikan kepada atau untuk kepentingan Mitra Binan. Salah satu kunci keberhasilan Program Kemitraan adalah pengembalian pinjaman dari mitra binaan secara tepat waktu dan tepat jumlah sehingga dana tersebut dapat disalurkan kembali kepada usaha kecil yang lain. Namun demikian, harus diakui bahwa tugas ini bagi BUMN Pembina merupakan tugas sulit mengingat selain tingkat pengembalian dana Program kemitraan merupakan salah satu indikator penilaian kinerja perusahaan/direksi, juga mengingat mitra binaan yang memperoleh dana Program Kemitraan merupakan usaha kecil yang membutuhkan bimbingan dan monitoring yang berkelanjutan. Secara umum, tingkat pengembalian dana program kemitraan masih belum menunjukkan hasil yang optimal. Hal ini terlihat dari jumlah piutang macet yang relatif besar dengan NPL (kumulatif sejak 1989 s/d 2005) sekitar 15% dari dana bergulir.
Sampai
dengan
saat
ini
belum
pernah
dilakukan
tindakan
penghapusbukuan terhadap NPL program kemitraan tersebut. Guna optimalisasi Program Kemitraan maka dilakukan beberapa langkah kebijakan, antara lain adalah: 1. Berkaitan dengan penyaluran dana, upaya dilaksanakan melalui kerja sama baik antar BUMN Pembina, maupun antara BUMN Pembina dengan lembaga atau institusi lain;
2. Berkaitan dengan pengembalian dana, dilaksanakan dengan menyelesaikan piutang macet, bekerjasama dengan instansi lain dalam usaha meningkatkan pendampingan, dan bekerjasama dengan BUMN yang bergerak dalam bidang penjaminan kredit untuk UMKM, yaitu Perum Sarana Pembangunan usaha dan PT Askrindo; 3. Meningkatkan kegiatan sosialisasi terhadap Program Kemitraan; 4. Meningkatkan pemasaran produk hasil karya Mitra Binaan BUMN dengan membentuk
koordinator
pelaksanaan
pemasaran
(Country
Marketing
Manager). Untuk mendukung program tersebut, akan dilakukan mapping produk unggulan pada setiap wilayah dan juga akan dibentuk paguyuban mitra binaan yang mempunyai produk sejenis.
2.7.4
Beban Operasional Program Kemitraan Untuk mendukung pelaksanaan Progran Kemitraan, disediakan dana
operasional yang bersumber dari hasil pengembangan dana kemitraan (bukan dari pokok dan penyisihan laba BUMN). Dana operasional tersebut digunakan untuk operasional yang meliputi, antara lain: a. Kegiatan pembinaan: - Beban perjalanan dinas petugas/pengelola dalam rangka survey lokasi usaha calon mitra binaan, monitoring/evaluasi perkembangan usaha mitra binaan, dan kegiatan penagihan pinjaman. - Beban upah tenaga harian/honorer yang membantu pelaksanaan Program Kemitraan. b. Beban kegiatan karyawan unit PKBL, yaitu beban yang berkaitan dengan peningkatan pengetahuan dan keterampilan karyawan dalam melaksanakan fungsi pembinaan, fungsi administrasi dan keuangan. c. Beban administrasi meliputi beban administrasi bank, beban surat menyurat, dan sejenisnya. d. Pengadaan inventaris, yaitu pembelian perangkat computer beserta program aplikasinya dan inventaris kantor lainnya.
e. Pengadaan kendaraan bermotor untuk menunjang kegiatan operasional, yang pengadaannya disesuaikan dengan kondisi dana operasional yang tersedia.
2.7.5
Kewajiban BUMN Pembina BUMN Pembina adalah BUMN yang melaksanakan Program Kemitraan
dan Program Bina Lingkungan. BUMN Pembina memiliki kewajiban sebagai berikut: a. Membentuk unit Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan; b. Menyusun Standard Operating Procedure (SOP) untuk pelaksanaan Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan yang dituangkan dalam Surat Keputusan Direksi; c. Menyusun Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan; d. Melakukan evaluasi dan seleksi atas kelayakan usaha dan menetapkan calon Mitra Binaan; e. Menyiapkan dan menyalurkan dana Program Kemitraan kepada Mitra Binaan dan dana Program Bina Lingkungan kepada masyarakat; f. Melakukan pemantauan dan pembinaan terhadap Mitra Binaan; g. Mengadministrasikan kegiatan pembinaan; h. Melakukan pembukuan atas Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan; i. Menyampaikan laporan pelaksanaan Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan yang meliputi laporan berkala baik triwulanan maupun tahunan kepada Menteri dengan tembusan kepada Koordinator BUMN Pembina di wilayah masing-masing.
2.7.6
Mitra Binaan Mitra Binaan adalah Usaha Kecil yang mendapatkan pinjaman dari
Program Kemitraan. Usaha Kecil yang dapat ikut serta dalam Program Kemitraan adalah sebagai berikut:
a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah); b. Milik Warga Negara Indonesia; c. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar; d. Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi; e. Mempunyai potensi dan prospek usaha untuk dikembangkan; f. Telah melakukan kegiatan usaha minimal 1 (satu) tahun; g. Belum memenuhi persyaratan perbankan (non bankable). Tidak hanya BUMN Pembina saja yang memiliki kewajiban tapi Mitra Binaan juga memiliki kewajiban dalam Program Kemitraan. Kewajibankewajibannya, yaitu: 1. Melaksanakan kegiatan usaha sesuai dengan rencana yang telah disetujui oleh BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur; 2. Membayar kembali pinjaman secara tepat waktu sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati; 3. Menyampaikan laporan perkembangan usaha secara periodik kepada BUMN Pembina.
2.7.7
Mekanisme Penyaluran Pinjaman Dana Program Kemitraan Pinjaman yang disalurkan melalui Program Kemitraan untuk Usaha Kecil
yang secara teknis perbankan belum memenuhi persyaratan untuk memperoleh pinjaman (belum bankable). Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka penyaluran pinjaman tersebut adalah sebagai berikut: a. Penerimaan dan Evaluasi Proposal Calon Mitra Binaan menyampaikan rencana penggunaan dana pinjaman dalam rangka pengembangan usahanya untuk diajukan kepada BUMN Pembina atau
BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur, dengan memuat sekurangkurangnya data sebagai berikut: 1. Nama dan alamat unit usaha; 2. Nama dan alamat pemilik/pengurus unit usaha; 3. Bukti identitas diri pemilik/pengurus; 4. Bidang usaha; 5. Izin usaha atau surat keterangan usaha dari pihak yang berwenang; 6. Perkembangan kinerja usaha (arus kas, perhitungan pendapatan dan beban, neraca atau data yang menunjukkan keadaan keuangan serta hasil usaha); 7. Rencana usaha dan kebutuhan dana. BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur melaksanakan evaluasi dan seleksi atas permohonan yang diajukan oleh calon Mitra Binaan, baik melalui penelaahan terhadap proposal tersebut maupun melalui survey ke lokasi usaha. Pelaksanaan survey calon Mitra Binaan merupakan suatu proses untuk melakukan dasar-dasar analisa penyaluran dana pinjaman dan dasar pemberian pinjaman dana kepada usaha kecil dan koperasi dalam Program Kemitraan.
Setelah dilakukan evaluasi maupun survey, maka BUMN
Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur akan memberikan keputusan berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Diharapkan kegiatan survey ini dapat meminimalkan adanya penyaluran pinjaman yang salah sasaran, serta dapat meminimalkan pula tingkat kemacetan dimasa-masa mendatang. Tingkat kemacetan yang semakin besar akan mempengaruhi tingkat kinerja perusahaan secara menyeluruh. Kegiatan survey ini dilakukan sampai dengan maksimal 3 (tiga) kali untuk satu unit usaha kecil/koperasi. Dalam penyaluran pinjaman, BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur tidak semata-mata bertindak pasif dengan hanya menunggu proposal dari calon Mitra Binaan. BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur juga dapat melakukan tindakan aktif melalui survey ke sentra-sentra usaha kecil, pendekatan kepada koperasi, kelompok tani, dan usaha-usaha kecil lainnya.
b. Penyaluran Pinjaman Apabila proposal dari calon Mitra Binaan telah disetujui, maka unit PKBL menyalurkan pinjaman kepada Mitra Binaan. Penyaluran pinjaman tersebut dituangkan dalam suatu surat perjanjian/kontrak yang sekurang-kurangnya memuat: 1. Nama dan alamat BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur dan Mitra Binaan. 2. Hak dan Kewajiban BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur dan Mitra Binaan. 3. Jumlah pinjaman dan peruntukannya. 4. Syarat-syarat pinjaman (jangka waktu pinjaman, jadwal angsuran pokok dan jasa administrasi pinjaman). BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur dilarang memberikan pinjaman kepada calon Mitra Binaan yang menjadi Mitra Binaan BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur lain. c. Monitoring Setelah pinjaman disalurkan, maka BUMN Pembina atau BUMN Penyalur atau Lembaga Penyalur memonitor pemenuhan kewajiban Mitra Binaan. Apabila terdapat pembayaran yang belum diketahui, maka pembayaran tersebut diakui sebagai hutang sampai dengan diketahuinya Mitra Binaan yang melakukan pembayaran.
2.7.8
Mekanisme Penyaluran Dana Pembinaan Kemitraan Dana Pembinaan Kemitraan yang disalurkan melalui Program Kemitraan
ditujukan kepada Mitra Binaan yang telah dan masih terdaftar dalam Program Kemitraan. Dengan kata lain, dana ini hanya dapat diberikan kepada dan untuk kepentingan Mitra Binaan. Dana Pembinaan Kemitraan disalurkan melalui beberapa program yang disusun untuk membantu Mitra Binaan dalam rangka mengembangkan usahanya. Oleh karena itu, atas Dana Pembinaan Kemitraan tersebut Mitra Binaan tidak
menerima dalam bentuk uang tunai melainkan dalam bentuk program-program yang telah disusun. Kegiatan yang dibiayai melalui Dana Pembinaan Kemitraan tersebut ditangani oleh BUMN Pembina yang dalam pelaksanaannya dapat menyertakan pihak luar sebagai pelaksana kegiatan, misalnya dalam hal penyediaan materi pelatihan, penyelenggara kegiatan pameran, dan sebagainya.
2.7.9
Kualitas Pinjaman Dana Program Kemitraan Tingkat pinjaman dana Program Kemitraan berkisar antara Rp 500.000
sampai dengan Rp 50.000.000 dengan jangka waktu pengembalian pinjaman 3 tahun atau 36 bulan dan tingkat bunga 6% sampai 8% per tahun. Kualitas pinjaman dana Program Kemitraan dinilai berdasarkan pada ketepatan waktu pembayaran kembali pokok dan jasa administrasi pinjaman Mitra Binaan. Penggolongan kualitas pinjaman ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, adalah pembayaran angsuran pokok dan bunga tepat waktu; b. Kurang lancar, apabila terjadi keterlambatan pembayaran angsuran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 1 (satu) hari dan belum melampaui 180 (seratus delapan puluh) hari dari tanggal jatuh tempo pembayaran angsuran, sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui bersama; c. Diragukan, apabila terjadi keterlambatan pembayaran angsuran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 180 (seratus delapan puluh) hari dan belum melampaui 360 (tigaratus enam puluh) hari dari tanggal jatuh tempo pembayaran angsuran, sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui bersama; d. Macet, apabila terjadi keterlambatan pembayaran angsuran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 360 (tigaratus enam puluh) hari dari tanggal jatuh tempo pembayaran angsuran, sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui bersama.
Terhadap kualitas pinjaman kurang lancar, diragukan dan macet dapat dilakukan usaha-usaha pemulihan pinjaman dengan cara penjadwalan kembali (rescheduling) atau penyesuaian persyaratan (reconditioning) apabila memenuhi kriteria: a. Mitra Binaan beritikad baik atau kooperatif terhadap upaya penyelamatan yang akan dilakukan; b. Usaha Mitra Binaan masih berjalan dan mempunyai prospek usaha; c. Mitra Binaan masih mempunyai kemampuan untuk membayar angsuran. Tindakan penyesuaian persyaratan (reconditioning) dilakukan setelah adanya tindakan penjadwalan kembali (rescheduling). Piutang macet yang terjadi karena keadaan memaksa (Force Majeure), seperti : Mitra Binaan meninggal dunia dan tidak ada ahli waris yang bersedia menanggung hutang dan/atau gagal usaha akibat bencana alam/kerusuhan, pemindahbukuan piutang macet tersebut kedalam pos pinjaman bermasalah dapat dilaksanakan tanpa melalui proses pemulihan pinjaman.
2.8
Daftar Umur Piutang (Aging Schedule)
2.8.1
Definisi Daftar Umur Piutang (Aging Schedule) Menurut Kamus Bank Sentral Republik Indonesia: “Daftar umur piutang adalah klasifikasi piutang menurut jangka waktunya; umumnya dilakukan setiap bulan dalam kaitan dengan neraca percobaan, yang meliputi nama dan alamat nasabah atau identifikasi nomor rekening, jumlah piutang, dan jangka waktu piutang (aging account receivables).” Menurut
Rustam
(2003:
http://www.google.com/Ahmad
Sanusi
Nasution Blog): “Daftar umur piutang adalah suatu daftar mengenai saldo-saldo piutang pada buku tambahan piutang pada suatu tanggal tertentu. Daftar ini memberikan saldo piutang setiap pelanggan dan dibagi dalam kelompok umur yang berbeda. Istilah kelompok umur di sini merupakan periode waktu dimana piutang terjadi sejak waktu penjualan.”
Dari daftar ini dapat diketahui keadaan komposisi piutang perusahaan secara umum dan juga secara individu. Daftar ini juga dapat memperoleh langganan yang lambat dalam pembayaran. Dengan demikian perusahaan harus menyelidikinya untuk memastikan bahwa syarat-syarat kredit yang telah ditetapkan dapat berjalan dengan baik, demikian halnya juga dengan usaha penagihan. Pengendalian intern yang memadai bagi perusahaan sangat penting untuk miminimalkan kerugian atas piutang. Aging schedule (daftar umur piutang) merupakan salah satu alat pengendalian intern perusahaan yang memuat jumlah piutang dari masing-masing pelanggan dan mengklasifikasikannya kedalam golongan umur piutang masing-masing pelanggan berdasarkan waktu jatuh temponya. Pembuatan aging schedule itu perlu dilakukan oleh perusahaan terutama yang mempunyai piutang yang nilainya sangat material.