BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Ruang Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel. Jaringan jalan merupakan salah satu pembentuk struktur kota, menjadi aspek penting dalam pembangunan wilayah, ekonomi, sosial dan politik. Melalui fungsinya sebagai sarana transportasi, jaringan jalan memiliki keterkaitan yang erat dengan pola penggunaan lahan perkotaan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan menyatakan manfaat jalan meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya. Ruang manfaat jalan merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi, dan kedalaman tertentu yang ditetapkan oleh penyelenggara jalan yang bersangkutan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri. Ruang manfaat jalan hanya diperuntukkan bagi median, perkerasan jalan, jalur pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman, timbunan dan galian, gorong-gorong, perlengkapan jalan, dan bangunan pelengkap lainnya. Trotoar hanya diperuntukkan bagi lalu lintas pejalan kaki.
Universitas Sumatera Utara
Badan jalan hanya diperuntukkan bagi pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan. Saluran tepi jalan hanya diperuntukkan bagi penampungan dan penyaluran air agar badan jalan bebas dari pengaruh air. Setiap orang dilarang memanfaatkan ruang publik kota yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan. Tiap ruas jalan memiliki bagian-bagian jalan, dimana masing-masing memiliki fungsi khusus. Bagian-bagian jalan terdiri dari: 1.
Ruang manfaat jalan Adalah ruang yang dimanfaatkan untuk konstruksi jalan dan terdiri atas badan jalan, saluran tepi jalan, serta ambang pengamannya. Badan jalan meliputi jalur lalu lintas (dengan atau tanpa jalur pemisah), bahu jalan dan jalur pejalan kaki. Ambang pengaman jalan terletak dibagian paling luar dari ruang manfaat jalan yang digunakan untuk mengamankan bangunan jalan.
2. Ruang milik jalan Adalah sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan yang masih menjadi bagian dari ruang milik jalan yang dibatasi oleh tanda batas ruang milik jalan yang dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan keleluasan keamanan penggunaan jalan antara lain untuk keperluan pelebaran ruang manfaat jalan pada masa yang akan datang. Menurut Moughtin (1992), jalan adalah garis komunikasi yang digunakan untuk melakukan perjalanan di antara dua tempat yang berbeda, baik menggunakan kendaraan maupun berjalan kaki. Jika disebut jalur, jalan adalah
Universitas Sumatera Utara
cara untuk menuju akhir tujuan atau perjalanan. Jalan merupakan permukaan linier dimana pergerakan terjadi di antara dua tempat, sehingga dapat dikatakan fungsi jalan adalah menjadi penghubung antara dua bangunan, penghubung antara dua jalan dan penghubung antara dua kota. Pendapat ini diperkuat oleh Carr (1992), yang mengatakan bahwa jalan adalah komponen dari sistem komunikasi kota sebagai sarana pergerakan benda, masyarakat dan informasi dari suatu tempat ke tempat yang lain.
2.2
Ruang Publik (Public Space) Pengertian ruang publik adalah suatu tempat umum dimana masyarakat
melakukan aktivitas rutin dan fungsional yang mengikat sebuah komunitas, baik dalam rutinitas normal dari kehidupan sehari-hari, maupun dalam perayaan yang periodik (Carr, 1992). Seiring dengan perkembangan zaman, ruang publik baik pada zaman dahulu maupun pada saat sekarang tetap berfungsi sebagai tempat bagi masyarakat untuk bertemu, berkumpul dan berinteraksi, baik untuk kepentingan keagamaan, perdagangan maupun membangun pemerintahan. Dalam tata guna lahan atau pemanfaatan ruang wilayah/area perkotaan, yang dimaksud dengan ruang publik adalah ruang terbuka (open space) yang dapat diakses atau dimanfaatkan oleh warga kota secara cuma-cuma sebagai bentuk pelayanan publik dari pemerintah kota yang bersangkutan demi keberlangsungan beberapa aktivitas sosial warganya. Menurut bentuk dan aktifitas yang terjadi pada ruang terbuka, Lynch (1987) mengkategorikannya menjadi 2 (dua), yaitu lapangan (square) dan
Universitas Sumatera Utara
jalur/jalan (the street). Ruang terbuka, baik berupa lapangan maupun koridor/jaringan, merupakan salah satu elemen rancang kota yang sangat penting dalam pengendalian kualitas lingkungan ekologis dan sosial (Shirvani, 1985). Ruang publik yang berbentuk ruang terbuka dapat digunakan sebagai wahana rekreasi, paru-paru kota, memberikan unsur keindahan, penyeimbang kehidupan kota, memberikan arti suatu kota dan kesehatan bagi masyarakat kota. Ruang publik juga bermanfaat untuk melayani kebutuhan masyarakat sebagai sarana rekreatif maupun sebagai tempat untuk melakukan interaksi dan kontak sosial dalam kehidupan masyarakat. Demi untuk menjamin kepentingan sosial bagi semua golongan masyarakat maka semestinya semua ruang publik tersebut adalah milik pemerintah kota. Keberadaan ruang publik pada suatu kawasan di pusat kota sangat penting artinya karena dapat meningkatkan kualitas kehidupan perkotaan baik itu dari segi lingkungan, masyarakat maupun kota melalui fungsi pemanfaatan ruang di dalamnya yang memberikan banyak manfaat. Dalam pengembangan ruang publik dalam konteks perkotaan perlu memperhatikan berbagai faktor yang berpengaruh didalamnya.
Sebagai
suatu
ruang
publik,
perlu
diketahui
karakteristik
pemanfaatan ruangnya agar tercipta ruang luar yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Faktor yang berpengaruh terhadap kebutuhan tersebut selain berupa aktivitas juga mempertimbangkan karakteristik ruang dan ketersediaan sarana pendukungnya. Bagaimana ketiga faktor tersebut (aktivitas, karakteristik ruang
Universitas Sumatera Utara
dan sarana pendukung) dapat saling mendukung agar terjadi kesesuaian pada tiap fungsi pemanfaatannya sehingga dapat dijadikan sebagai arahan pengembangan ruang publik pada umumnya. Ruang publik sebagai ruang yang dapat diakses oleh setiap orang dan dengan sendirinya harus memberikan kebebasan bagi penggunanya. Sedang menurut Lynch dan Carr (1981), penggunaan ruang publik sebagai ruang bersama merupakan bagian integral dari tata tertib sosial, sehingga perlu adanya pengendalian terhadap kebebasan tersebut. Pengendalian dalam penggunaan ruang publik berkaitan dengan toleransi akan kepentingan orang lain yang juga menggunakan ruang publik tersebut.
2.3
Ruang Jalan sebagai Ruang Publik Menurut Spurrier dalam Bishop (1989), jalan tidak dapat dipertimbangkan
hanya sebagai jalur kendaraan, tetapi secara keseluruhan menjadi bagian integral kehidupan manusia. Dan Budiharjo (2005), mengatakan bila jalan direncanakan hanya berdasarkan anggapan akan fungsinya, maka akan menutup peluang untuk memanfaatkan jalan sebagai ruang untuk beraktivitas. Lewelyn–Davies (2000), menguraikan bahwa pada setiap perencanaan sebuah jalan timbul pertanyaan ”apa yang dapat terjadi di jalan ini?”. Selanjutnya Lewelyn–Davies mengungkapkan dari fungsi awal jalan sebagai jalur penghubung, muncul kegiatan lain di sepanjang jalan tersebut, namun harus dilihat pula dari beberapa aspek lainnya, seperti peranan jalan itu sendiri dari sudut pandang masyarakat, tipe dari bangunan disekitarnya serta penataan landscape yang mendukung.
Universitas Sumatera Utara
Appleyard (1981), mengungkapkan bahwa jalan adalah pusat sosial kota dimana masyarakat berkumpul, tapi juga sekaligus merupakan saluran pencapaian dan sirkulasi. Ditambahkan oleh Jacobs (1993) bahwa jalan yang baik mendorong partisipasi, masyarakat berhenti untuk berbicara atau mungkin mereka duduk dan melihat, sebagai peserta pasif, menerima apa yang ditawarkan jalan. Maka dapat disimpulkan bahwa jalan merupakan sarana untuk melakukan perpindahan dari suatu tempat menuju pada suatu tempat, dari satu titik menuju ke titik lainnya. Namun jalan merupakan suatu arena kegiatan sosial pula, sebagai pintu gerbang ruang privat manusia menuju ke ruang dengan dimensi yang lebih luas yaitu masyarakat/publik. Lebih lanjut Rapoport (1977) menjelaskan bahwa terjadinya aktifitas di suatu lingkungan termasuk ruang publik kota dapat dianalisa dalam empat komponen yaitu: a.
Aktifitas.sesungguhnya (makan, berbelanja, minum, berjalan);
b.
Aktifitas spesifik untuk melakukannya (berbelanja di bazaar, minum di bar, berjalan di jalan, duduk di lantai, makan bersama orang lain);
c.
Aktifitas tambahan, berdampingan atau terasosiasi yang mana menjadi bagian dari sistem aktivitas (berbelanja sambil bergosip, pacaran sambil jalan-jalan);
d.
Aktifitas simbolik (berbelanja sebagai konsumsi yang menyolok, memasak sebagai ritual, cara menegakkan identitas sosial).
Universitas Sumatera Utara
Rapoport kemudian juga menyatakan bahwa aktifitas sesungguhnya (activity proper) dan aktifitas spesifik (specific activity) merupakan perwujudan “fungsi manifestasi” sedangkan aktifitas tambahan, berdampingan atau terasosiasi (activity additional, adjacent and associationed) dan aktifitas simbolik (symbolic activity)
merupakan
perwujudan
“fungsi
laten”.
Aktifitas
tambahan,
berdampingan atau terassosiasi dan aktifitas simbolik inilah yang membentuk “citra” suatu tempat. Kegiatan di ruang terbuka publik di pusat kota merupakan perwujudan “fungsi manifestasi” (ruang terbuka sebagai pusat interaksi sosial budaya masyarakat dan fungsi ekologis kota, pedestrian dan jalan sebagai linkage system) dan juga fungsi laten (ruang terbuka sebagai aktifitas ekonomi dan jalan/pedestrian sebagai tempat aktifitas ekonomi, sosial dan budaya masyarakat). Terjadinya aktifitas tersebut sebagai perwujudan fungsi manifestasi dan laten dalam ruang publik sehari-hari yang saling bercampur baur antara satu aktifitas dengan aktifitas lainnya dan saling mempengaruhi, yang dilakukan oleh sekelompok orang atau kelompok yang mempunyai persepsi atau nilai-nilai sama atau mirip dan melakukan suatu rangkaian kegiatan atau perilaku tertentu untuk makna dan tujuan yang telah disepakati (Rapoport, 1977). Jika dikaitkan dengan ruang jalan, maka jalan dengan fungsi manifestasinya sebagai sarana transportasi untuk menghubungkan antara dua tempat yang berbeda, dan jalan memiliki fungsi laten sebagai tempat beraktifitas sosial, tempat berhubungan antar masyarakat, masyarakat sebagai peserta aktif
Universitas Sumatera Utara
maupun pasif yang mungkin hanya duduk atau melihat apa yang ditawarkan oleh jalan tersebut.
2.3.1
Ruang publik ditinjau dari aspek fisik Menurut Shirvani dalam urban design dikenal enam elemen fisik yang
digunakan untuk membuat kebijakan, rencana, panduan design dan program. Namun dalam penelitian ini akan ditekankan pada empat elemen fisik yang paling berkaitan dengan subyek penelitian. Elemen fisik tersebut antara lain sistem keterkaitan ruang (sirkulasi, aksesibilitas dan parkir) Jalur pejalan kaki (pedestrian ways), aktifitas penunjang (activity support), street furniture. Salah satu fungsi urban space adalah sebagai sebagai simpul kegiatan. Fungsi ini memiliki keterkaitan yang erat dengan pola sirkulasi transportasi kota. Oleh karenanya urban space yang memiliki fungsi ini harus memperhatikan aspek aksesibilitas sarana transportasi serta pemberhentiannya (perparkiran), sekaligus memenuhi tuntutan keamanan dan kenyamanan pejalan kaki pengguna jalan maupun urban space tersebut. Ketersediaan jalur sirkulasi dan area parkir merupakan elemen penting bagi suatu kota dan merupakan suatu alat ampuh untuk menata lingkungan perkotaan. Sirkulasi dapat menjadi alat kontrol bagi pola aktivitas penduduk kota dan mengembangkan aktivitas tersebut. Selain mampu menampung kuantitas perjalanan, sirkulasi di harapkan juga memberikan kualitas perjalanan melalui experiencenya (Davit dan Kulash dalam Naupan, 2007). Dan sirkulasi yang baik
Universitas Sumatera Utara
(dalam konteks transportasi/lalu-lintas) memiliki beberapa indikator, antara lain kelancaran, keamanan dan kenyamanan. Sirkulasi dapat dikelompokkan sesuai dengan pelaku, sesuai dengan pembagian tempat/areanya maupun sesuai pola yang dibentuk sirkulasi itu sendiri. Sirkulasi menurut tempat/area dapat dibagi menjadi dua: a.
Sirkulasi outdoor yaitu sirkulasi yang terjadi pada ruang luar suatu bangunan atau sirkulasi di luar suatu bangunan.
b.
Sirkulasi indoor yaitu sirkulasi yang terjadi di dalam bangunan itu sendiri.
Sirkulasi menurut pelakunya dibagi menjadi dua (Ashihara,1986) yaitu: a.
Sirkulasi manusia yaitu sirkulasi yang dilakukan oleh manusia. Sirkulasi yang dilakukan manusia dapat terjadi pada outdoor atau indoor.
b.
Sirkulasi kendaraan yaitu sirkulasi dari kendaraan sebagai sarana transportasi. Umumnya sirkulasi kendaraan banyak melibatkan mengenai penataan ruang untuk parkir. Sirkulasi untuk parkir juga dapat terjadi di outdoor atau indoor.
Sirkulasi menurut polanya (Ching, 1990) dibagi menjadi: a.
Sirkulasi dengan pola terpusat, yaitu sirkulasi dengan pola menuju ke pusat sebagai tujuan utama.
Universitas Sumatera Utara
b.
Sirkulasi dengan pola linier, ysitu sirkulasi yang membentuk suatu garis yang menghubungkan tempat yang satu ke tempat lain.
c.
Sirkulasi dengan pola radial, yang merupakan perkembangan dari sirkulasi linier.
d.
Sirkulasi dengan pola cluster, yaitu sirkulasi dengan pola yang membentuk persamaan kriteria seperti sirkulasi dengan satu pintu masuk utama
e.
Sirkulasi dengan pola grid, yaitu sirkulasi yang membentuk modulmodul tertentu.
Sedangkan perparkiran merupakan unsur pendukung sistem sirkulasi kota, yang menentukan hidup tidaknya suatu kawasan. Perencanaan tempat parkir harus memperhatikan hal-hal berikut: a.
Keberadaan strukturnya tidak mengganggu aktifitas di sekitarnya, mendukung kegiatan street level dan menambah kualitas visual lingkungan.
b.
Pendekataan program penggunaan berganda dengan cara time sharing. Satu lokasi parkir dapat digunakan secara bergantian untuk beberapa lembaga. Misalnya, pagi untuk parkir karyawan perkantoran, pada malam hari atau pada waktu hari libur area parkir tersebut dapat digunakan oleh pengguna urban space.
c.
Lokasi kantong parkir seyogyanya ditempatkan pada jarak jangkau yang layak bagi para pejalan kaki. Sistem perletakan parkir
Universitas Sumatera Utara
diharapkan dapat secara maksimal mempersingkat jarak jalan kaki menuju jalur pedestrian.
Dan menurut PP No 41 tahun 1993 tentang Standar Angkutan Jalan, parkir yang disyaratkan adalah: a.
Ruang parkir mobil diasumsikan 4,8 x 2,3 m.
b.
Dilarang parkir dijarak 50 m dari penyeberangan.
c.
Parkir tidak diperbolehkan di badan jalan kolektor dan lokal.
Area parkir seyogyanya membutuhkan ruang yang cukup sehingga kendaraan bermotor mempunyai ruang yang cukup untuk parkir dan keluar dari area parkir tanpa harus berdesakkan/terganggu dengan kendaraan lain yang juga akan parkir. Selain itu juga perlu diperhatikan ruang tambahan dari pintu bukaan mobil apabila pengguna kendaraan roda empat keluar dari mobilnya. Tipe tata letak parkir, baik di tepi jalan, pada lahan parkir atau garasi dapat dibagi menjadi parkir sejajar, membentuk sudut serta parkir tegak lurus dengan tepi jalan atau dinding. Pilihan tergantung pada bentuk dan ukuran daerah yang tersedia, rencana sirkulasi serta jalan masuk keluar kendaraan. Parkir sejajar dengan jalan umumnya diperuntukkan di tepi jalan raya. Ruang parkir sejajar paling sedikit 20 kaki, bila memungkinkan 22 kaki. Apabila waktu parkir cukup singkat, misalnya 15 menit, maka ruang parkir harus lebih panjang sehingga kegiatan datang dan pergi dapat dilakukan dalam satu gerakan.
Universitas Sumatera Utara
Tata letak yang normal dan biasanya paling efisien untuk tempat parkir yang lebih besar adalah parkir secara tegak lurus dengan jalan. Hal ini memungkinkan masuk atau ke luar pada dua arah dan penggunaan ruang yang paling ekonomis, dengan tempat parkir selebar 8 kaki 6 inci dan jalan selebar 25 kaki maka tempat parkir dapat dimasuki oleh seorang pengendara dengan mudah tanpa memerlukan gerakan khusus. Parkir yang membentuk sudut memberikan tempat parkir yang lebih sedikit dibandingkan dengan parkir tegak lurus dalam suatu satuan panjang tertentu, dan memerlukan jalan satu arah, akan tetapi tempat masuknya lebih memudahkan pengendara dan jalan antara biasa lebih sempit, sehingga memungkinkan penggunaan lahan yang terlalu sempit bagi parkir tegak lurus. Dalam melakukan aktivitasnya, pejalan kaki membutuhkan suatu sarana berjalan kaki yang dikenal dengan sebutan jalur pejalan kaki atau jalur pedestrian. Jalur pedestrian ini menurut Shirvani (1985) adalah elemen yang esensial dalam urban design, dan bukan hanya menjadi bagian dari program beutifikasi. Lebih dari itu, jalur pedestrian menjadi suatu sistem kenyamanan dan elemen pendukung bagi efektivitas retail dan vitalitas ruang–ruang kota. Selanjutnya, dikatakan bahwa jalur pedestrian adalah bagian dari kota dimana orang bergerak dengan kaki, biasanya berada di sepanjang sisi jalan, baik yang direncanakan atau terbentuk dengan sendirinya, yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Berjalan kaki masih merupakan cara bergerak yang paling sering bagi kebanyakan orang. Dengan demikian sistem jalur pedestrian merupakan penghubung penting yang menghubungkan aktivitas–aktivitas yang ada di kawasan suatu kota, elemen ini menjadi sebuah elemen penyusun (structuring element), pergerakan pejalan kaki akan mengikuti jalur yang paling mudah, menghindari halangan-halangan, jalan perubahan ketinggian,
terdorong
tekstur pergerakan.
oleh
daya
Namun
tarik
visual,
demikian,
tetap
menuntut pencapaian yang aman. Menurut Spreiregen (1965) menyebutkan bahwa pejalan kaki tetap merupakan sistem transportasi yang paling baik meskipun memiliki keterbatasan kecepatan rata-rata 3–4 km/jam serta daya jangkau yang sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik. Jarak 0,5 km merupakan jarak yang berjalan kaki yang paling nyaman (Uterman, 1984). Utermann (1984) mendefinisikan berbagai macam jalur pejalan kaki (pedestrian) di ruang luar bangunan menurut fungsi dan bentuk. Menurut fungsinya, dapat dikelompokkan sebagai berikut: a.
Jalur pejalan kaki yang terpisah dari jalur kendaraan umum (sidewalk atau trotoar) biasanya terletak bersebelahan atau berdekatan dengan jalur kendaraan umum sehingga diperlukan fasilitas yang aman terhadap bahaya kendaraan bermotor dan mempunyai permukaan rata, berupa trotoar dan terletak di tepi jalan raya. Pejalan kaki melakukan kegiatan berjalan kaki sebagai sarana angkutan yang akan menghubungkan tempat tujuan. Jalur pejalan kaki yang
Universitas Sumatera Utara
digunakan sebagai jalur menyeberang untuk mengatasi/menghindari konflik dengan moda angkutan lain, yaitu jalur penyeberangan jalan, jembatan penyeberangan atau jalur penyeberangan bawah tanah. Untuk aktivitas ini diperlukan fasilitas berupa zebra cross, skyway, dan subway. b. Jalur pejalan kaki yang bersifat rekreatif dan mengisi waktu luang yang terpisah sama sekali dari jalur kendaraan bermotor dan biasanya dapat dinikmati secara santai tanpa terganggu kendaraan bermotor. Pejalan kaki dapat berhenti dan beristirahat pada bangku yang disediakan, fasilitas ini berupa plaza pada taman kota. c.
Jalur pejalan kaki yang digunakan untuk berbagai aktivitas, untuk berjualan, duduk santai, dan sekaligus berjalan sambil melihat etalase pertokoan yang biasa disebut mall.
d.
Footpath atau jalan setapak, jalan khusus pejalan kaki yang cukup sempit dan hanya cukup untuk satu pejalan kaki.
e.
Alleyways atau pathways (gang) adalah jalur yang relatif sempit dibelakang jalan utama, yang terbentuk oleh kepadatn bangunan, khusus pejalan kaki karena tidak dapat dimasuki kendaraan.
Sedangkan menurut bentuknya, jalur pejalan kaki dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
a.
Arcade atau selasar, suatu jalur pejalan kaki yang beratap tanpa dinding pembatas di salah satu sisinya.
b.
Gallery, berupa selasar yang lebar digunakan untuk kegiatan tertentu.
c.
Jalan pejalan kaki tidak terlindungi/tidak beratap.
Sucher dalam Ekawati (2006) mengemukakan bahwa jalur pedestrian dapat berfungsi
dengan
baik
bagi
pejalan
kaki
dalam melakukan
kegiatannya bila memenuhi beberapa persyaratan berikut ini: a.
Kontinuitas, umumnya pejalan kaki di segala usia lebih suka berjalan memutar dimana mereka dapat diketahui saat datang dan pergi. Namun yang
terpenting
adalah
rutenya
menerus
dan
dapat dilakukan sewaktu–waktu. b.
Jarak, jalur pedestrian tidak boleh terlalu panjang sehingga pejalan kaki dapat melaluinya bersama beberapa pejalan kaki lainnya. Pejalan kaki harus dapat membuat kontak mata dengan pejalan kaki lain agar terjadi kontak sosial.
c.
Lebar, beberapa pejalan kaki menyukai berjalan–jalan bersama, jadi sangatlah ideal bila jalur pedestrian memiliki lebar yang cukup untuk dua orang berpapasan satu sama lainnya tanpa canggung untuk menyela suatu percakapan. Jalur pedestrian akan baik dan humanis bila terdapat elemen pendukung atau street furniture.
Universitas Sumatera Utara
Dan menurut Utermann (1984), seyogyanya jalur pejalan kaki haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut: a.
Keamanan (safety), pejalan kaki harus mudah bergerak atau berpindah dan berlindung dari kendaraan bermotor.
b.
Menyenangkan (convenience), pejalan kaki harus memiliki rute sesingkat mungkin (jarak terpendek) yang bebas hambatan dari suatu lokasi ke lokasi tujuan lain.
c.
Kenyamanan (comfort), pejalan kaki harus memiliki jalur yang mudah dilalui, seperti halnya kendaraan bermotor berjalan di jalan bebas hambatan.
d.
Menarik (attractiveness), pada tempat tertentu diberikan elemen yang dapat menimbulkan daya tarik seperti elemen estetika, lampu penerang jalan, lansekap, dll.
Dimensi lebar ruang yang dibutuhkan jalur pedestrian di kawasan perdagangan
untuk
jalur
berkapasitas
dua
orang
minimal
150
cm,
sedangkan jalur berkapasitas tiga orang minimal membutuhkan ruang 200 cm. Aktivitas pejalan kaki memiliki lingkup dan pergerakan yang lebih kompleks dari
pada
jenis
transportasi
lainnya
terutama
dikawasan perdagangan.
Sehubungan hal tersebut, suatu jalur pedestrian harus berkualitas tinggi dan memberikan keleluasaan ruang gerak atau tempat luas, serta lingkungan yang bebas dari konflik dengan lalu lintas bagi aktivitas pejalan kaki. Keadaan
Universitas Sumatera Utara
tersebut akan menciptakan pergerakan yang lancar, kegiatan sosialisasi, dan kenyamanan bagi pejalan kaki (Ekawati, 2006). Selanjutnya adalah pertimbangan akan faktor penarik di sepanjang jalur pedestrian, dan yang terakhir adalah pertimbangan fasilitas publik (perabot jalan) dalam jalur pedestrian seperti bangku, pot tanaman, penerangan, dan lain – lain. Apek jalur pedestrian dapat dibagi dalam tiga kelompok fungsi dan kebutuhan, kenyamanan psikologis, dan kenyamanan fisik. Dalam aspek teknis, perancangan jalur khusus untuk pejalan kaki harus memperhatikan: a.
Penghindaran kemungkinan pejalan kaki berbenturan fisik dengan kendaraan bermotor (jalur tersendiri).
b.
Pedestrian harus didukung oleh tempat orientasi (point of interest).
c.
Kapasitas dan dimensi ruang mencukupi sehingga tidak terjadi kontak fisik dengan pejalan kaki lain.
d.
Peniadaan detail bangunan yang berbahaya, seperti lubang sanitasi, besi penanda, polisi tidur dan sebagainya.
e.
Mempunyai lintasan langsung dengan jarak tempuh terpendek.
f.
Didukung dengan pepohonan yang rindang.
Adapun fungsi utama activity support adalah menghubungkan dua atau lebih pusat–pusat kegiatan umum dan menggerakkan fungsi kegiatan utama kota menjadi lebih hidup, menerus dan ramai. Tujuannya adalah untuk menciptakan kehidupan kota yang sempurna/lebih baik yang dengan mudah
Universitas Sumatera Utara
mengakomodasikan kebutuhan atau barang keperluan sehari–hari kepada masyarakat kota, disamping memberikan pengalaman yang memperkaya pemakaidan memberikan peluang bagi tumbuh berkembangnya budaya urban melalui lingkungan binaan yang baik dan bersifat mendidik (Danisworo dalam Carolina, 2007). Aktifitas penunjang mencakup segala penggunaan dan aktifitas yang dapat memperkuat urban public space, sebab antara aktifitas dan ruang fisik selalu saling melengkapi. Aktifitas cenderung untuk berada di tempat yang sesuai (cocok) dengan yang dibutuhkan oleh aktifitas tersebut. Saling bergantungan antara ruang dan fungsi adalah elemen penting dalam urban design. Menurut Whyte (1980), aktifitas penunjang juga dapat meningkatkan elemen desain fisik, terutama ruang terbuka. Ia juga menyatakan pentingnya berjualan makanan (food services), hiburan, dan kegiatan pendorong yang lain sebagai obyek fisik dan obyek amatan. Menurut Gehl-Gemzoe (1996), keberadaan aktifitas penunjang dalam ruang publik kota dapat dibagi dalam dua kategori, pertama meliputi kelompok informal dan event–event dalam skala kecil seperti musisi jalanan, pertunjukan jalanan, dll. Di lain sisi adalah event–event yang diselenggarakan dalam skala yang lebih besar, pertunjukan yang memerlukan persiapan seperti festival dan aktifitas–aktifitas kebudayaan yang menggunakan ruang publik sebagai wadah aktifitasnya.
Universitas Sumatera Utara
Pertunjukan dan aktifitas kebudayaan tersebut adalah atraksi yang menarik untuk ruang publik kota dan akan menjadi magnet tersendiri sehingga mengundang pengunjung dalam jumlah yang sangat besar untuk menikmatinya. Aktifitas–aktifitas ini menjadikan ruang publik kota menarik, amusing dan tak terduga (Gehl-Gemzoe, 1996). Street
furniture
menjadi
istilah
yang
digunakan
oleh
para
kalangan praktisi untuk memberikan sebutan bagi perabot jalan atau aksesoris jalan, dimana perletakannya selalu berada di sepanjang jalan raya atau jalan lingkungan yang fungsinya sebagai fasilitas pendukung aktivitas masyarakat di jalan raya. Perabot jalan atau street furniture ini cara perletakannya mempunyai kaidah – kaidah fungsi utama maupun seni. a.
Fungsi utama street furniture adalah sebagai petunjuk dan berfungsi
sebagai
pelayanan
terhadap
masyarakat
pengguna,
sehingga diharapkan dengan adanya street furniture, masyarakat dapat nyaman didalam melaksanakan aktivitasnya. b.
Fungsi seni, yaitu perletakan street furniture di sepanjang jalan raya mengikuti kaidah–kaidah seni, baik cara perletakan elemen– elemen itu sendiri maupun desain yang diharapkan mempunyai nilai seni tinggi, sekaligus mempunyai kualitas bahan yang baik.
Menurut Rubenstein (1969) dalam suatu ruang kota dibutuhkan elemen– elemen pendukung (street furniture) sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
a. Ground Cover, merupakan penutup tanah dan elemen utama yang harus diperhatikan dalam perencanaan jalur pedestrian, menyangkut skala, pola, warna, tekstur, ketinggian dan material, dimana material ini dibedakan menjadi: 1.
Hard material: paving, beton, batu bata, batu dan aspal.
2.
Soft material: tanah liat (gravel) dan rumput.
Pemilihan ukuran, pola, warna dan tekstur yang tepat akan mendukung suksesnya desain jalur pedestrian. b. Lampu, dimana standar penerangan untuk skala jalur pedestrian secara umum adalah ketinggian maksimum 12 kaki dan penerangan maksimum 75 watt dengan jarak masing–masing penerangan 50 meter. c. Signage, berupa tanda–tanda yang diperlukan untuk menunjukkan identitas jalur pedestrian, arah, rambu lalu lintas serta memberi informasi lokasi atau aktivitas (gambar 2.1). Dalam sudut pandang urban design, ukuran dan kualitas desain dari papan iklan pribadi haruslah diatur agar tercipta keserasian, mengurangi dampak visual yang negatif, dan mengurangi rasa kebingunan dan kompetisi antara penandaan lalu lintas dengan penandaan publik. Desain penandaan yang baik
dapat
menghidupkan
streetscape
dan
difungsikan
untuk
menginformasikan tentang barang dan layanan individu. Ukuran, bentuk dan warnanya diatur sedemikian rupa sehingga dapat dilihat
Universitas Sumatera Utara
oleh sasaran penerima informasi. Sasaran ini bisa pejalan kaki atau pengendara kendaraan bermotor. Oleh karenanya desain harus memperhatikan skala pergerakannya, cepat atau lambat.
Gambar 2.1 Contoh Signage Berupa Rambu-rambu Lalu Lintas Sumber: Observasi 2010
d. Sculpture, berfungsi sebagai eye catching, dibuat untuk mempercantik jalur pedestrian atau menarik perhatian mata (vocal point) pada sebuah ruang terbuka, juga dapat berfungsi sebagai sign/tanda. Sculpture bisa berbentuk patung, air mancur dan abstrak (gambar 2.2).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Contoh sculpture sekaligus menjadi node dari kawasan Sumber: Observasi 2010
e. Bollards, semacam balok–balok batu yang berfungsi sebagai barier atau pembatas antara jalur pedestrian dengan jalur kendaraan yang biasanya terdapat pada pedestrian tipe semi mall. f.
Bangku, digunakan untuk mengantisipasi keinginan pejalan kaki untuk beristirahat atau menikmati suasana sekitarnya. Bangku dapat dibuat dari kayu, besi, beton atau batu. Bangku yang nyaman adalah yang memiliki tinggi sekitar 15-18 inch dari lantai dan memiliki sandaran. Bangku dapat dilengkapi dengan kisi–kisi sehingga angin dapat masuk melalui kisi–kisi tersebut. Bangku merupakan tempat duduk primer, sedangkan tempat duduk sekunder dapat
berupa
rerumputan,
tangga,
dan
tembok
pembatas
tanaman/tanah. Ketersediaan tembok pembatas ini disarankan 50% dari bangku–bangku yang ada di ruang terbuka tersebut, dan agar dapat dipergunakan sebagai tempat duduk sekunder haruslah memiliki
Universitas Sumatera Utara
tinggi 40-75 cm dan lebar 40-45 cm. Pengunjung akan lebih memilih bangku kayu, baru kemudian tangga dan pembatas tanaman/tanah. Bangku dengan ukuran 3x6 kaki akan sangat sesuai untuk ruang terbuka,
baik
digunakan
saling
berhadapan
maupun
saling
membelakangi. Sedangkan pengunjung yang memilih untuk duduk di tangga dan tembok pembatas karena lebih sederhana. Tangga dan tembok pembatas yang ada haruslah memiliki banyak lekukan atau sudut. Bentuk, ukuran dan pengaturan tempat duduk sangat berpengaruh terhadap pengunjung ruang terbuka. Orientasi duduk haruslah memungkinkan orang untuk memandang sekitarnya dengan leluasa. Dan perlu juga diperhatikan perlindungannya terhadap sinar matahari. Sedangkan pengelompokan tempat duduk akan memberikan lebih banyak variasi orientasi dan pengguna. g. Kios, peneduh (shelter) dan kanopi, keberadaan kios dapat memberi petunjuk jalan dan menarik perhatian pejalan kaki sehingga mereka mau menggunakan jalur pedestrian dan menjadikan jalur tersebut hidup, tidak monoton. Shelter dapat dibangun berbentuk linier sebagai koridor atau sitting group yang fungsinya dapat berupa tempat untuk istirahat, berteduh dari panas terik atau hujan,
maupun
untuk
halte
pemberhentian
umum
(gambar
2.3).
Sedangkan
kanopi
jalur kendaraan digunakan
untuk
Universitas Sumatera Utara
mempercantik wajah bangunan dan dapat memberi perlindungan terhadap cuaca.
Gambar 2.3 Contoh shelter berupa halte pemberhentian kendaaraan umum Sumber: Observasi 2010
h. Tanaman p eneduh, disamping untuk mempercantik kawasan dan menjadi pengarah, juga sebagai pembatas jalur pedestrian dengan jalur lalu lintas kendaraan atau parkir. Barier yang dapat mengurangi deru bising serta asap kendaraan bermotor serta peneduh disaat hujan dan mengurangi radiasi panas matahari. Adapun kriteria tanaman yang diperlukan untuk jalur pedestrian menurut Hakim (1993) adalah memiliki ketahanan terhadap pengaruh udara; bermassa daun padat; jenis dan bentuk pohon berupa ngsana, akasia besar, bougenville, dan teh-tehan pangkas; tanaman
tidak menghalangi pandangan
pejalan
kaki maupun
pengguna kendaraan.
Universitas Sumatera Utara
i.
Jam dan tempat sampah, dimana penempatan jam dapat menjadi fokus atau landmark, sedangkan tempat sampah perlu untuk menjaga kebersihan jalur pedestrian sehingga pejalan kaki merasa nyaman dan tidak terganggu (gambar 2.4).
Gambar 2.4 Contoh design tempat sampah Sumber: Observasi 2010 j.
Elemen pendukung lain, adalah elemen yang memberikan kemudahan jalur pejalan kaki dalam mendukung aktivitas manusia yang melewatinya. Misalnya telepon umum, tempat sampah, kotak pos, bahkan di dekat sitting group sering ditempatkan mesin penjual minuman ringan dan koran.
Street furniture atau perabot jalan/taman merupakan perabot yang penting bagi kelangsungan aktifitas di jalan atau taman. Desain dan penataan street furniture akan membentuk kesan place dan mendukung identitas kawasan.
2.3.2
Ruang publik ditinjau dari aspek sosial Ruang publik dapat mengakomodasi kebutuhan warganya akan kontak
sosial, berteman dan berkomunikasi. Menurut Roy dalam Budiharjo (1997), ruang
Universitas Sumatera Utara
publik merupakan third place yang melengkapi first place yaitu rumah tinggal dan second place yaitu tempat kerja. Ruang publik dalam fungsinya sebagai area sosial dapat dimanfaatkan sebagai tempat berkumpul oleh berbagai macam golongan, dimana kegiatan yang terjadi dapat beragam seperti olah raga dan bermain dengan suasana yang nyaman dan teduh dari vegetasi yang cukup rindang (Nazaruddin, 1996). Selain itu, ruang publik yang dilengkapi dengan street furniture, vegetasi dan unsur pelengkap lainnya juga berfungsi sebagai area sosial karena dapat dimanfaatkan oleh setiap orang dan dapat memberikan keuntungan bagi pengembang kota karena akan mengurangi beban yang harus dikeluarkan untuk mengolah area baru yang berfungsi sebagai area berkumpul masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan. Menurut Gehl-Gemzoe (1996), aktifitas yang dapat terekam dalam suatu ruang terbuka publik dapat dikategorikan menjadi: 1.
Aktifitas wajib adalah aktifitas yang wajib dilakukan, dan umumnya berjalan masuk dalam kategori ini.
2.
Aktifitas pilihan adalah aktifitas yang dilakukan karena memang ingin dilakukan, seperti berdiri, duduk–duduk di bangku taman dan cafe, dan aktifitas rekreatif lain yang biasa ditemui dalam ruang terbuka publik termasuk dalam kategori ini. Pengunjung hanya terlibat dalam aktifitas pilihan ini jika tempat dan kondisinya memungkinkan, pada saat menghabiskan waktu dalam ruang terbuka publik menjadi sangat menyenangkan. Aktifitas ini merupakan aktifitas rekreatif yang wajib
Universitas Sumatera Utara
diapresiasi dan ruang terbuka publik yang baik akan mampu menyuguhkan kesempatan bagi para pengunjung untuk terlibat dalam aktifitas santai dan menikmati waktu yang mereka habiskan di ruang publik tersebut.
Gehl-Gemzoe (1996) juga berpendapat bahwa salah satu cara untuk menilai kualitas suatu ruang kota bukan dari jumlah orang yang hadir didalamnya melainkan bagaimana mereka menghabiskan waktu di dalam ruang kota. “One way to judge quality in a city is not to look at how many people are walking, but to observe whether they are spending time in the city, standing about, looking at something, or sitting just enjoying the city, the scenery and the other people.” Berdasarkan Delianur (2000) jenis aktifitas rekreasi yang biasa terjadi pada ruang terbuka publik yang dilakukan seseorang atau kelompok antara lain aktifitas aktif dan aktifitas pasif. Aktifitas-aktifitas ini dapat mempengaruhi terbentuknya ruang terbuka publik yang dapat dipergunakan seluruh kalangan baik untuk aktifitas bergerak (aktif) maupun aktifiktas tidak bergerak seperti istirahat (pasif).
2.3.2.1 Aktifitas aktif Suatu aktifitas yang dilakukan seseorang atau kelompok orang dengan bergerak aktif di dalam ruang terbuka. Kegiatan yang tergolong dalam aktifitas ini adalah rekreasi (jalan-jalan), olah raga dan bermain (Simond, JO, 1976). 1.
Olah raga, kegiatan ini biasa dilakukan di ruang terbuka di pusat kota karena
merupakan
kebutuhan
masyarakat
untuk
menjaga
kesehatannya. Kegiatan ini hanya bersifat rekreatif saja sehingga
Universitas Sumatera Utara
sarana olah raga di ruang terbuka tidak perlu mengikuti standart. Ada pun jenis olah raga yang biasa dilakukan di ruang terbuka, antara lain: a.
Jogging, yaitu kegiatan lari santai yang umumnya dilakukan di atas perkerasan yang nyaman dengan ukuran sesuai kebutuhan manusia. Umumnya lebar area yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan ini berkisar antara 1,5–2 meter sehingga masih tersisa ruang untuk berpapasan dengan pengguna lainnya.
b.
Senam, jenis olah raga yang satu ini memerlukan area yang lebih luas karena memerlukan kebebasan untuk bergerak.
c.
Sepeda, umumnya dilakukan oleh anak–anak hingga orang dewasa dan sangat umum dilakukan di ruang terbuka.
2.
Bermain, aktifitas ini dilakukan oleh anak–anak dan umumnya salah satu tujuan anak–anak untuk datang ke ruang terbuka adalah untuk bermain karena memiliki kebebasan yang lebih dibanding di rumah. Fasilitas bermain merupakan salah satu daya tarik yang umum digunakan bagi pengelola ruang terbuka untuk menarik minat anak– anak. Sedangkan alas dari area bermain pada ruang terbuka adalah pasir, tanah atau rumput.
Bentuk dari ruang terbuka yang dapat menampung aktifitas aktif ini dapat berupa plaza, lapangan olah raga, tempat bermain, penghijauan tepi sungai sebagai area rekreasi, dll.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2.2
Aktifitas pasif Adalah aktifitas di yang dilakukan seseorang atau kelompok orang tanpa
banyak berpindah tempat atau tanpa banyak bergerak aktif, seperti berhenti untuk beristirahat, atau duduk-duduk santai. Umumnya aktifitas seperti ini dilakukan di ruang
terbuka
berupa
penghijauan/taman
sebagai
sumber
pengudaraan
lingkungan. Berikut adalah lima kategori orang yang duduk di ruang terbuka: a. Orang yang sedang menunggu. b. Pengunjung yang duduk di tepi ruag terbuka publik hanya sekedar untuk melihat kendaraan dan orang yang melintas. c. Orang yang duduk dan melihat ke dalam ruang terbuka publik, dan ketiga kategori ini umumnya dilakukan oleh perorangan. d. Umumnya orang akan memilih untuk duduk tidak begitu dekat dengan jalur kendaraan dan jalur pejalan kaki sehingga dapat terbentuk ruang untuk duduk berkelompok. e. Sekelompok kecil pasangan yang mencari tempat yang cukup tertutup dan intim.
2.3.3
Ruang publik ditinjau dari aspek ekologis Pencemaran udara, khususnya di kota-kota besar, sudah merupakan
masalah yang perlu segera ditanggulangi. Hal ini akibat dari peningkatan aktifitas manusia, pertambahan jumlah penduduk, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pertambahan industri dan sarana transportasi. Penurunan kualitas
Universitas Sumatera Utara
udara dirasakan pada tahun-tahun terakhir ini terutama di kota-kota besar seperti Jakarta serta pada pusat-pusat pertumbuhan industri. Pemantauan terhadap parameter kualitas udara ambien seperti debu (partikulat), SO2 (sulfur dioksida), NOx (oksida nitrogen), CO (karbon monoksida), dan HC (hidrokarbon) di kota-kota tersebut menunjukkan keadaan yang cukup memprihatinkan. Zat pencemar udara lainnya yang cukup mendapat sorotan akhir-akhir ini adalah Pb (timbal) yang terdapat pada bahan aditif dalam bahan bakar bensin. Berdasarkan sumbernya, pencemaran udara digolongkan menjadi sumber bergerak dan sumber tidak bergerak. Transportasi darat, khususnya kendaraan bermotor roda empat dan roda dua, merupakan sumber bergerak, sedangkan industri, domestik, komersial, serta kebakaran hutan dan lahan merupakan sumber tidak bergerak. Berdasarkan jumlah beban pencemaran udara, emisi gas buang kendaraan bermotor merupakan sumber pencemar terbesar di kota-kota besar Indonesia. Kondisi itu diperburuk bila kendaraan yang beroperasi tidak berada dalam kondisi yang baik atau laik jalan. Besarnya beban pencemar dari kendaraan bermotor diasumsikan sebanding dengan konsumsi bahan bakar. Berdasarkan data tahun 1992-2003, penjualan bahan bakar bensin di dalam negeri mengalami pertumbuhan rata-rata 6,89 persen dan bahan bakar solar rata-rata 5,87 persen per tahun.
Universitas Sumatera Utara
Pencemaran udara memiliki dampak secara ekonomis berkaitan dengan penurunan kinerja sebagai akibat kenaikan tingkat kematian dan penderita sakit di kalangan masyarakat. Kasus gangguan pada pernapasan merupakan penyebab kematian ke-6 di Indonesia setelah kecelakaan, diare, penyakit jantung, TBC dan cacar, atau 6,2 persen dari seluruh penyebab kematian. Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak pencemaran udara yang ada. Salah satunya adalah dengan menyediakan paru-paru kota yang dapat berfungsi sebagai penetralisir dan memberi keseimbangan ekologi bagi lingkungan sekitarnya. Keberadaan ruang terbuka yang dilengkapi dengan unsur-unsur vegetasi, sedikit banyak juga dapat memberikan andil dalam mengurangi dampak polusi udara ini. Bahkan menurut Catanese (1979), fungsi ruang terbuka dari segi ekologi akan memberikan keseimbangan ekologi untuk mencegah polusi udara di perkotaan melalui unsur vegetasi yang beragam. Sedangkan Hakim (2002) menjelaskan bahwa fungsi tanaman dalam ruang terbuka secara ekologi adalah sebagai pengendali iklim (climate control), dimana tanaman berfungsi sebagai pengendali iklim untuk kenyamanan manusia. Faktor iklim yang mempengaruhi kenyamanan manusia adalah suhu, radiasi sinar matahari, angin, kelembaban, suara dan aroma dan pencegah erosi (erosion control). Penataan ruang terbuka secara tepat akan mampu berperan meningkatkan kualitas atmosfir kota, penyegaran udara, menurunkan suhu kota, menyapu debu perkotaan, menurunkan kadar polusi udara dan meredam kebisingan.
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah kota DKI Jakarta juga tidak tinggal diam dalam upaya untuk menekan pencemaran kualitas udara kota Jakarta, selain melakukan pemantauan udara secara kontinyu, upaya lain yang telah dilakukan antara lain: a.
Melakukan sosialisasi SK Gubernur DKI Jakarta nomor 2 tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta nomor 75 tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok.
b.
Percepatan pengadaan koridor busway koridor VII-X, upaya penerapan Elektronik Road Princing, Pembuatan Tol jalan kota, pembukaan lahan terbuka hijau, pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) yang tahap pertama akan membentang dari Lebak Bulus– Dukuh Atas sepanjang 14,3 Km dan Tahap ke kedua akan dilaksanakan dari Dukuh Atas–Kota yang pembebasan lahannya akan dilaksanakan pada tahun 2009 serta sosialisasi penerapan gedung hijau (Green Building) yang pada prinsipnya bukan hanya memperbanyak tanaman tetapi juga melakukan penghematan energi, material, air dan mengurangi pencemaran lingkungan yang pada tahun 2009 akan dilaksanakan di Kantor Balaikota Merdeka Selatan.
c.
Melakukan kegiatan Car Free Day di lima wilayah kota secara bergiliran sebagai upaya membatasi pemakaian kendaraan bermotor dan pengurangan pencemaran di DKI Jakarta.
2.3.4
Ruang publik ditinjau dari aspek ekonomi
Universitas Sumatera Utara
Dalam upaya pengelolaan ruang publik agar di dalamnya terjadi suatu aktifitas yang tidak monoton, maka didalamnya haruslah dapat menampung aktifitas-aktifitas berupa acara yang diselenggarakan secara terjadwal (rutin) maupun tidak terjadwal diantaranya berupa konser, pameran seni, pertunjukan teater, festival, pasar rakyat (bazaar), dan promosi dagang. Kegiatan eceran yang hadir di ruang publik disebut oleh Shirvani (1985) sebagai salah satu elemen activity support yaitu aktivitas pendukung yang meliputi semua penggunaan dan kegiatan yang membantu memperkuat ruang publik kota, karena aktiftas-aktifitas dan ruang fisik selalu menjadi pelengkap satu sama lain. Yang nampaknya menjadi masalah kritis dan penting dari aktifitas pendukung adalah bagaimana perilaku aktifitas pendukung dan kesempatan yang dikembangkan, dikoordinasikan dan diintegrasikan ke dalam susunan fisik perkotaan yang ada. Hadirnya generator aktifitas dalam ruang publik merupakan potensi pasar yang selalu didekati oleh pelaku ekonomi, termasuk di dalamnya Pedagang Kaki Lima (PKL). PKL memiliki karakter khusus yang terkait dengan aspek ekonomi, sosial dan ketertiban umum. Karakter pejalan kaki yang ada di ruang publik memiliki korelasi yang tinggi terhadap karakter PKL yang muncul di kawasan tersebut, oleh karenanya penting dilakukan penataan dan pengaturan secara berkelanjutan terhadap aktifitas yang berkembang di area ruang publik. Pedagang
Kaki
Lima
menurut
keputusan
Memperindag
No.
23/MPP/kep/1/1998 tentang lembaga-lembaga usaha perdagangan, adalah
Universitas Sumatera Utara
perorangan yang melakukan penjualan barang-barang dengan menggunakan bagian jalan/trotoar dan tempat-tempat untuk kepentingan umum serta tempat lain yang bukan miliknya. Biasanya memilih tempat-tempat yang banyak dikinjungi pengunjung seperti emper-emper toko, di tepi jalan raya, tamantaman dan pasar-pasar dengan tanpa izin usaha dari pemerintah. Aktivitas kaki lima kemudian menjadi sorotan banyak orang termasuk pemerintah kota, terutama karena merekalah yang paling terlihat dan dalam aktivitasnya mereka memerlukan ruang (semi permanen) yang cukup luas (Dimara dalam Naupan, 2007). Berdasarkan hasil beberapa penelitian, PKL dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1.
Berdasarkan latar belakang ekonominya a. PKL yang benar-benar terpaksa menjadi PKL karena kesulitan hidup. Mereka berdagang dengan warung beroda (dorongan) ataupun bangunan semi permanen di trotoar. Sambil berdagang mereka juga bertempat tinggal di situ, karena tidak ada tempat lain lagi untuk dijadikan tempat tinggal. b. PKL yang berdagang karena masalah ekonomi juga namun mereka telah memiliki tempat tinggal dan simbol hidup modern seperti TV misalnya. PKL yang berdagang karena melihat potensi keuntungan jauh lebih besar dari pada membuat toko/warung dibanding jika harus menyewanya. Selain itu juga lebih mudah diakses pembeli.
Universitas Sumatera Utara
2.
Berdasarkan jenis dagangan yang dijual, terdiri dari PKL penjual makanan, pakaian, kelontong, peralatan bekas dan sebagainya.
3.
Berdasarkan waktu berdagang, terdiri dari PKL yang berdagang pada pada pagi hingga siang hari, pagi hingga sore hari, sore hingga malam hari, malam hingga pagi hari, pagi hingga malam hari dan sepanjang hari.
4.
Berdasarkan bangunan tempat berdagang, dapat diklasifikasikan menjadi PKL bergerak/movable/dorongan, PKL tanpa bangunan seperti
PKL
oprokan/dasaran/gelaran,
PKL
dengan
bangunan
permanen (selalu ada setiap saat, baik bentuknya masih tetap maupun udah berubah), dan PKL dengan bangunan non permanen (bongkar pasang). 5.
Berdasarkan luasan bangunan/tempat berdagang (space use), terdiri dari 7 kelompok yaitu PKL dengan luasan 1-3m2, 4-6m2, 7-9m2, 1012m2, 13-15m2, 16-17m2 dan lebih dari 18m2.
Dan dilihat dari kriteria operasional yang ada sekarang, pengertian PKL dapat dikategorikan sebagai berikut (Wijayaningsih, 2007): a.
PKL Tertata, yaitu pedagang kaki lima yang dalam usahanya sehari–hari menempati lokasi yang telah sesuai atau diijinkan oleh pemerintah daerah. PKL dengan kategori ini memiliki surat ijin tempat dasaran serta menaati ketentuan–ketentuan atau peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah kota secara baik misalnya
Universitas Sumatera Utara
pembayaran retribusi dan menjaga kebersihan, keindahan, dan keamanan secara teratur. b.
PKL Binaan, yaitu pedagang kaki lima yang dalam usahanya sehari–hari menempati lokasi larangan atau tidak diijinkan oleh pemerintah kota setempat dan tidak dikenakan pembayaran retribusi namun keberadaannya selalu diawasi, dibina, dan diarahkan untuk menjadi PKL yang baik.
PKL memiliki dimensi kegiatan yang sangat kompleks, baik terkait dengan aspek ekonomi, teknis, sosial, lingkungan maupun ketertiban umum. Beberapa aspek tersebut antara lain PKL sering menggunakan public space (tempat umum) secara permanen seperti trotoar, jalur lambat, badan jalan, bahu jalan, lapangan dan sebagainya, PKL seringkali mengganggu kelancaran lalu lintas, lahan yang dimanfaatkan oleh PKL sering bertolak belakang dengan aturan peruntukan lahan perkotaan, limbah PKL sering mengganggu lingkungan dan kebersihan kota, keberadaan PKL sering mengganggu ketertiban umum, terutama pemakai jalan dan pemakai bangunan formal di sekitar PKL, dan PKL sangat sulit ditata atau diatur. Berikut adalah beberapa faktor yang mempengaruhi pola penyebaran pedagang kaki lima (Indrawati dalam Naupan, 2007): 1.
PKL berkembang pada daerah yang tidak tersentuh oleh rancangan arsitektur pada lahan-lahan perbatasaan bangunan dengan urban space.
Universitas Sumatera Utara
2.
Sifat kemarginalan PKL memiliki kemampuan sangat tinggi untuk mengundang kegiatan informal lainnya (makan, minum, tidur, dan bekerja secara informal).
PKL selalu datang di daerah
yang tidak terencanakan (secara mikro telantar) tetapi
secara
makro berada pada daerah strategis yang dibangun oleh sektor informal.
Dalam perkembangan pola penyebaran PKL juga sangat dipengaruhi oleh aktifitas di jalur pedestrian. PKL di jalur pedestrian hampir dijumpai pada semua fungsi kawasan. Secara umum, faktor utama pemicu hadirnya PKL adalah pejalan kaki. Jika kemudian pada kawasan perdagangan muncul banyak PKL, karena di kawasan tersebut lebih banyak pejalan kakinya. Selain harus memperhatikan aspek–aspek diatas, seyogyanya keberadaan suatu ruang terbuka publik juga harus memperhatikan beberapa unsur lain. Dan menurut Carr et al. dalam Carmona dkk. (2003), ruang publik akan berperan secara baik jika mengandung unsur antara lain comfort, relaxation, passive engagement, active engagement, discovery. 1.
Kenyamanan (comfort), merupakan salah satu syarat mutlak keberhasilan ruang publik. Lama tinggal seseorang berada di ruang publik dapat dijadikan tolok ukur comfortable tidaknya suatu ruang publik. Dalam hal ini kenyamanan ruang publik antara lain dipengaruhi oleh kenyamanan lingkungan (environmental comfort) yang berupa perlindungan dari pengaruh alam seperti sinar matahari,
Universitas Sumatera Utara
angin;
kenyamanan
fisik
(physical
comfort)
yang
berupa
ketersediannya fasilitas penunjang yang cukup seperti tempat duduk. 2.
Relaksasi (relaxation), merupakan aktifitas yang erat hubungannya dengan psychological comfort. Suasana rileks mudah dicapai jika badan dan pikiran dalam kondisi sehat dan senang. Kondisi ini dapat dibentuk
dengan
menghadirkan
unsur-unsur
alam
seperti
tanaman/pohon, air dengan lokasi yang terpisah atau terhindar dari kebisingan dan hiruk pikuk kendaraan disekelilingnya. 3.
Kegiatan pasif (passive engagement), aktifitas ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Kegiatan pasif dapat dilakukan dengan cara duduk-duduk atau berdiri sambil melihat aktifitas yang terjadi disekelilingnya atau melihat pemandangan yang berupa taman, air mancur, patung atau karya seni lainnya.
4.
Kegiatan aktif (active engagement), suatu ruang publik dikatakan berhasil jika dapat mewadahi aktifitas kontak/interaksi antar anggota masyarakat (teman, famili atau orang asing) dengan baik.
5.
Penemuan dan pengelolaan (discovery), merupakan suatu proses mengelola ruang publik agar di dalamnya terjadi suatu aktifitas yang tidak monoton. Aktifitas dapat berupa acara yang diselenggarakan secara terjadwal (rutin) maupun tidak terjadwal diantaranya berupa konser, pameran seni, pertunjukan teater, festival, pasar rakyat (bazaar), promosi dagang.
Universitas Sumatera Utara