BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Umum Secara umum air yang terdapat di alam yang dapat dikonsumsi manusia terdiri
dari: 1.
Air hujan
2.
Air permukaan
3.
Air tanah
Dari ketiga jenis air tersebut, jenis air yang dapat langsung dikonsumsi manusia adalah air hujan dan air tanah dengan kriteria tertentu. Air permukaan tidak dapat langsung dikonsumsi karena rentan terhadap penyebaran penyakit bawaan air (water borne disease)(Darmasetiawan, 2001). Kontaminan utama terhadap air adalah zat padat dan mineral yang terikut di dalamnya. Selain itu apabila air melalui permukaan tanah dengan tingkat organik yang tinggi, seperti tanah gambut, maka kandungan organik akan tinggi. Demikian pula apabila air tercemar oleh limbah atau dipakai sebagai media berkembang biak mahluk hidup seperti ikan, maka kualitas air akan ikut tercemar. Air yang dijumpai di alam maupun yang telah diolah tidak pernah dalam kead aan murni. Bahan pencemar yang dikandung oleh air dibagi kedalam tiga kelompok, bentuk padat, bentuk cair atau gas yang dibagi berdasarkan ukuran masing-masing ba han tersebut. Pembagian dari ukuran partikel tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1.
8
Universitas Sumatera Utara
1 cm
1 mm 2 mm
100 mm 200 mm
Coarse
Sand
Mud
Fine
Clay
10 mm 20 mm
100 nm
1 mm 2 mm
Suspended Solid
Colloidal matter
Medium
Dissolved matter
10 nm
1 nm
0,1 nm
9
Gambar 2.1 Berbagai Ukuran Partikel (Brault, 1991) 2.1.1.
Partikel Tersuspensi Jenis ini mungkin berasal dari mineral (pasir, clay dan lain-lain) atau bahan
organik (produk yang dihasilkan dari dekomposisi tanaman atau hewan). Selain itu mikroorganisme seperti plankton, algae dan virus juga termasuk kedalam suspended solid. Bahan-bahan ini masing-masing menyebabkan timbulnya turbiditas dan warna. 2.1.2. Partikel Koloid Mempunyai ukuran partikel kurang dari 1 mikron. Partikel koloid merupakan suspended solid seperti disebutkan di atas, tetapi memiliki ukuran yang lebih kecil dan kecepatan pengendapan yang sangat lambat. Bahan ini juga menimbulkan turbiditas dan warna pada air. 2.1.3. Bahan Terlarut Memiliki ukuran kurang dari beberapa nanometer. Jenis ini biasanya terdiri dari kation dan anion. Bagian dari bahan organik juga dapat terlarut. Terdapat juga gas seperti gas O2, CO2, H2S.
Universitas Sumatera Utara
10
Untuk menghilangkan zat padat dan mineral yang tersuspensi di dalam air serta menghilangkan terjadinya penyebaran penyakit melalui air, perlu dilakukan beberapa tahapan proses pengolahan air seperti koagulasi-flokulasi, sedimentasi, filtrasi dan disinfeksi. 2.2.
Koagulasi dan Flokulasi Peoses
koagulasi-floulasi merupakan suatu fasilitas untuk menghilangkan
partikel padat yang tersuspensi (SS) dan koloid di dalam air. Dalam rangka menghilangkan bahan tersuspensi dan partikel koloid, dimana masing-masing bahan membutuhkan pengolahan yang spesifik. Pada Tabel 2.1. berikut dapat dilihat bahwa semakin kecil ukuran partikel semakin besar area yang ditempatinya. Koloid memiliki luas permukaan yang sangat besar per unit volumenya. Dikarenakan luas permukaannya yang besar menyebabkan koloid cenderung mengadsorpsi substansi, seperti molekul air dan ion
dari
sekitarnya. Koloid merupakan partikel yang tidak dapat mengendap secara alami dan faktor luas permukaan merupakan faktor yang paling menentukan. Faktor ini menentukan kestabilan suspensi koloid. Partikel koloid
mengalami dua gaya
utama, yaitu: 1.
Gaya Van del Waals, yang berhubungan dengan struktur dan bentuk koloid dan jenis medium (EA)
2.
Gaya repulsive eletrostatis, yang berhubungan dengan muatan permukaan koloid (EB)
Universitas Sumatera Utara
11
Tabel 2.1. Waktu Pengendapan Dari Beberapa Jenis Partikel Diameter Partikel Mm mm 10 104 1 103 -1 102 10 10 10-2 10-3 1 -4 10-1 10 10-5 10-2 -6 10 10-3
Jenis Partikel Gravel Sand Fine Sand Clay Bacteria Colloid Colloid Colloid
Waktu Pengendapan
Luas Spesifik
kedalaman 1 m air 1 detik 10 detik 2 menit 2 jam 8 hari 2 tahun 20 tahun 200 tahun
m2.m-3 6.102 6.103 6.104 6.105 6.106 6.107 6.108 6.109
Sumber : Brault, 1991
Kestabilan suspensi koloid tergantung pada kesetimbangan antara Gaya Van der Waals dan gaya repulsive
elektrostatis. Untuk membentuk penggumpalan
koloidharus dilakukan upaya untuk mengurangi gaya repulsive elektrostatik, yaitu dengan menambahkan koagulan. Koagulasi dan flokulasi merupakan proses penambahan bahan kimia pembentuk flok kedalam air untuk menggabungkan partikel koloid yang tidak dapat mengendap dan partikel tersuspensi yang mengendap dengan lambat untuk menghasilkan flok yang dapat mengendap dengan cepat. Dalam proses koagulasi-flokulasi menurut Mysels (1959), partikel koloid hidrofobik cenderung menyerap ion-ion bermuatan negatif dalam limbah cair melalui sifat adsorbsi koloid tersebut, sehingga partikel tersebut menjadi bermuatan negatif. Koloid bermuatan negatif ini melalui gaya-gaya Van der Waals menarik ion-ion bermuatan berlawanan dan membentuk lapisan kokoh (lapisan Stern) mengelilingi partikel inti. Selanjutnya lapisan Stern yang bermuatan positif menarik ion-ion negatif
Universitas Sumatera Utara
12
lainnya dari dalam larutan membentuk lapisan kedua (lapisan difus). Kedua lapisan tersebut bersama-sama menyelimuti partikel-partikel kolid dan membuatnya manjadi stabil. Partikel-partikel koloid dalam keadaan stabil menurut Davis dan Cornwell (1991) cenderung tidak mau bergabung satu sama lainnya membentuk flok-flok berukuran lebih besar, sehingga tidak dapat dihilangkan dengan proses sedimentasi ataupun filtrasi. Koagulasi pada dasarnya merupakan proses destabilisasi partikel koloid bermuatan dengan cara penambahan ion-ion bermuatan berlawanan (koagulan) ke dalam koloid. Dengan demikian partikel koloid menjadi netral dan dapat bergabung satu sama lain membentuk mikroflok. Selanjutnya mikroflok yang telah terbentuk dengan dibantu pengadukan lambat mengalami penggabungan satu sama lain menghasilkan makroflok (flokulasi), sehingga dapat dipisahkan dari dalam larutan dengan cara pengendapan dan filtrasi (Eckenfelder, 2000). Potensial zeta berhubungan dengan muatan partikel dan ketebalan lapisan ganda. Ketebalan lapisan ganda tergantung pada konsentrasi ion di dalam cairan, semakin besar konsentrasi ion maka semakin kecil ketebalan lapisan ganda yang berarti semakin rapat muatan. Potensial zeta sering digunakan sebagai suatu ukuran stabilitas partikel koloid karena semakin tinggi potensial zeta semakin stabil partikel koloid. Menurut Darmasetiawan (2001), terdapat dua jenis bahan koagulan yang umum digunakan di dalam proses penetralan koloid, yaitu koagulan garam logam dan koagulan polimer kationik. Koagulan garam logam seperti:
Universitas Sumatera Utara
13
1.
Aluminium sulfat atau tawas (Al2 (SO4) 3.14H2O)
2.
Feri Chloride (FeCl3)
3.
Fero Chloride (FeCl2)
4.
Feri Sulfat (Fe2 (SO4) 3)
Sedangkan menurut Beddow (2010) bahwa koagulan aluminium selain aluminium sulfat, termasuk juga aluminium klorida. Koagulan yang umum digunakan adalah Aluminium sulfat atau dalam bahasa pasarnya disebut tawas. Sedangkan feri chloride dan fero sulfat juga merupakan koagulan yang baik, tetapi jarang digunakan pada proses pengolahan air minum di Indonesia karena alasan harga yang lebih tinggi. Pembentukan metal hidroksida menyebabkan produksi lumpur dalam jumlah yang cukup besar. Lumpur ini harus dipisahkan pada proses pemisahan lumpur dari air dan dibuang ke tempat pembuangan akhir lumpur. Koagulan polimer merupakan koagulan sintetis yang telah banyak digunakan di pasaran, seperti: 1.
Poly aluminium chloride (PAC)
2.
Chitosan
3.
Curie flok
Koagulan sintetis yang banyak digunakan adalah PAC yang merupakan polimerisasi dari Aluminium klorida. Umumnya koagulan polimer ini sering dipakai
Universitas Sumatera Utara
14
sebagai koagulan aid karena memiliki sifat kelarutan di dalam air yang lebih baik dan tingkat pembentukan flok yang lebih baik. Perbedaan kedua jenis koagulan ini adalah bahwa koagulan garam logam mengalami proses hidrolisa di dalam air, sedangkan koagulan polimer tidak. 2.3. Lumpur Menurut Culp dan Williams (1993) terdapat beberapa jenis lumpur yang dihasilkan dari proses pengolahan air minum, seperti lumpur koagulan, lumpur dari proses softening, air dari proses backwash filter dan lumpur pre sedimentasi. 2.3.1. Lumpur Koagulasi Koagulan kimia dan porses flokulasi secara luas digunakan di dalam pengolahan air untuk menghilangkan clay, lumpur, partikel koloid. Aluminum sulfat merupakan koagulan yang paling banyak digunakan di dalam proses pengolahan air minum. Lumpur alum memiliki volume yang besar, karena tidak dapat di padatkan. Alum berbentuk lumpur gelatin yang terkonsentrasi 0,5 sampai 2 persen (5000 sampai 20.000 mg/L) pada bak sedimentasi (Culp dan Williams, 1993). Alum (Al2 (SO4)3.14H2O) ketika dimasukkan ke dalam air akan membentuk aluminium hidroksida (Al(OH)3). Untuk setiap kilogram alum yang ditambahkan ke dalam air akan menghasilkan 0,26 kg aluminium hidroksida. Lin dan Green (1987) menyebutkan bahwa lumpur alum kemungkinan mengandung
aluminium
hidroksida,
lempung
dan
pasir,
partikel
koloid,
Universitas Sumatera Utara
15
mikroorganisme termasuk alga dan plankton serta bahan organik dan anorganik lainnya yang terdapat di air baku. Lumpur alum umumnya mudah mengendap, tetapi dapat di keringkan dengan mudah. Walaupun lumpur alum memiliki BOD5 dan COD yang tinggi, biasanya tidak mengalami terjadinya dekomposisi aktif ataupun menyebabkan terjadinya kondisi anaerobik. Kandungan padatan tersuspensi di dalam air baku biasanya dinyatakan di dalam unit turbiditas (NTU). Tidak ada korelasi yang absolut antara unit turbiditas dengan berat kering dari total padatan tersuspensi. Berdasarkan observasi diperoleh perbandingan antara TSS dan NTU beravariasi antara 0,5 sampai 2,5, dengan perbandiangan tipikal antara 1 sampai 2. (Culp dan Williams, 1993). 2.3.2. Lumpur Dari Proses Softening Bahan kimia yang digunakan untuk proses lime softening termasuk quicklime (CaO), hydrated lime (Ca(OH)2), soda ash (Na2CO3) dan sodium hydroxide (NaOH). Lumpur yang dihasilkan dari proses lime softening terdiri dari calcium carbonate (CaCO3) dan magnesium hydroxide (Mg(OH)2) yang merupakan kontrol dari reaksi penghilangan kesadahan. Jika diasumsikan bahwa lumpur yang terbentuk dari hasil penghilangan kesadahan berasal dari kesadahan karbonat yang dihilangkan dengan kapur, maka jumlah lumpur yang dihasilkan dapat dihitung dengan mempergunakan formula 2.1 berikut (Culp dan Williams, 1993) S = 86,4 (Q) (2 Ca + 2,6 Mg) .............................................(2.1)
Dimana:
Universitas Sumatera Utara
16
S
= lumpur yang dihasilkan (kg/hari)
Q
= debit air baku (m3/detik)
Ca
= kesadahan kalsium yang dihilangkan (sebagai CaCO3, mg/l)
Mg
= kesadahan magnesium yang dihilangkan (sebagai MgCO3, mg/l)
86,4 = konstanta yang digunakan dalam metrik unit Secara teoritis jumlah produksi lumpur dari penghilangan kesadahan dapat dilihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Produksi Lumpur Secara Teoritis Dari Penghilangan Kesadahan Sebagai CaCO3 Kesadahan Non carbonat Penambahan Kesadahan Carbonate lb lumpur kering / lb kesadahan yang lb lumpur kering / lb Bahan Kimia dihilangkan kesadahan yang dihilangkan Calcium
Magnesium
Calcium
Magnesium
Kapur dan Soda Ash
2.0
2.6
1.0
1.6
Sodium hydroxide
1.0
0.6
1.0
0.
Sumber: Culp dan Williams, 1993
Dari survey yang dilakukan oleh AWWA Sludge Disposal Committee terhadap hasil analisa informasi dari 84 Instalasi Pengolahan Air (IPA), konsentrasi padatan tersuspensi (SS) yang dihasilkan dari bak sedimentasi bervariasi, seperti yang tertera pada tabel 2.3. Volume produksi lumpur rata-rata 1.87% dari kapasitas produksi air rata-rata dengan standar deviasi 2,1%. (Culp dan Williams, 1993)
Universitas Sumatera Utara
17
Tabel 2.3 Konsentrasi Lumpur Dari Proses Softening Konsentrasi Partikel tersuspensi, %
Persentase di Pengolahan Air
< 5, rata-rata 2.4
52
5 - 10
24
11 - 15
11
16 - 25
6
>25
7
Sumber: Culp dan Williams, 1993
2.3.3.
Air Dari Backwash Filter Air backwash filter mengandung sedikit kandungan lumpur, umumnya
konsentrasi bervariasi antara 10 mg/L sampai 200 mg/L (Culp dan Williams, 1993). Hal ini juga dipengaruhi oleh turbiditas air yang masuk ke filter, semakin tinggi turbiditas air yang masuk ke filter, maka pada saat backwash akan semakin tinggi kandungan lumpurnya. Menurut Culp dan Williams (1993) saringan pasir cepat (rapid sand filter) mampu menerima air dengan turbiditas 5 NTU dengan efisiensi penyaringan mencapai 90%. Kandungan lumpur dari air backwash filter
dapat
berbeda-beda antara satu IPA dengan IPA lainnya, tergantung pada kualitas air baku, efisiensi dari pengolahan awal dan lamanya penggunaan filter dan siklus backwash. Pada Tabel 2.4. berikut dapat dilihat produksi lumpur pada proses backwash filter dan konsentrasinya pada beberapa IPA.
Universitas Sumatera Utara
18
Tabel 2.4. Data Produksi Lumpur pada Backwash Filter Instansi Pengolahan Air
Produksi Lumpur
Konsentrasi Lumpur
lb/MG
Kg/Mm3
mg/L
- Shade Mountain
5
0,6
15
- Putnam
2
0,24
7
- Western
0,5
0,06
3
- H. Y. Carson
0,5
0,06
7
- Rochester
20
2,4
160
- Monroe County Water
24
2,9
120
-Authority Eastman Kodak Co
22
2,6
100
Birmingham, AL
Monroe County, NY
Sumber: Culp dan Williams, 1993 2.3.4. Lumpur Dari Bak Prasedimentasi Sebagian sungai membawa partikel tersuspensi dalam jumlah banyak terdiri dari lumpur, pasir yang memiliki volume dan berat yang besar sehingga dapat mengendap secara gravitasi tanpa penambahan koagulan. Jumlah lumpur yang mengendap pada bak prasedimentasi merupakan fungsi dari jumlah dan jenis material padat yang terdapat pada air sungai. Jumlah lumpur ini dapat diperkirakan dengan menggunakan pilot level testing, yaitu dengan cara menuangkan sampel air baku ke dalam tabung imhoff dan dibiarkan selama 30 menit.
Universitas Sumatera Utara
19
Jumlah padatan yang mengendap di dasar tabung merupakan gambaran dari jumlah lumpur yang terdapat di air baku. 2.3.5. Perolehan Kembali Alum Perolehan kembali alum dari lumpur yang diproduksi dalam proses koagulasi-flokulasi telah dipelajari sejak tahun 1950. Perolehan kembali alum tersebut melalui proses thickening, penurunan pH dengan penambahan asam dan pemisahan aluminium terlarut (dalam bentuk aluminium sulfat) dengan cara dekantasi dari lumpur. Perolehan kembali alum melalui proses asidifikasi dengan asam sulfat memiliki persamaan reaksi 2.1 sebagai berikut: 2Al(OH)3 + 3H2SO4
Al2(SO4)3 + 6H2O ........................(2.1)
Dari persamaan reaksi diatas, sekitar 1,9 gr asam sulfat dibutuhkan untuk setiap gram lumpur yang diolah. Culp dan Williams, (1993) menyimpulkan bahwa perolehan kembali alum secara maksimal terjadi pada nilai pH antara 1,4 dan 2,6. King dkk (1975) menyimpulkan bahwa perolehan kembali alum dengan hasil maksimal terjadi pada nilai pH antara 1,5 dan 2,5. Sedangkan Mohd. Firdaus (2006) menyimpulkan bahwa perolehan kembali alum dengan hasil maksimal diperoleh pada pH 2,5. Perolehan kembali alum dari lumpur proses penjernihan air ini berbanding terbalik dengan pH, dimana semakin kecil pH akan memberikan hasil perolehan kembali alum yang semakin besar (King dkk, 1975). Jika aluminium hidroksida di tambahkan asam klorida akan terbentuk aluminium klorida seperti persamaan reaksi berikut ini (Dull dkk, 1962)
Universitas Sumatera Utara
20
Al(OH)3 + 3HCl
AlCl3 + 3H2O ..........................(2.2)
Selain untuk dimanfaatkan kembali alumnya, lumpur yang dihasilkan dari proses penjernihan air juga dapat dimanfaatkan sebagai media tanaman puring, seperti yang dilakukan oleh Tri Atmojo Sukomulyo
yang meneliti kemungkinan
pemanfaatan lumpur dari instalasi pengolahan air IPA Jurug di Kota Surakarta sebagai
media
tanaman
puring
(Codiaeum
variegatum)
(http://skripsi-
idtesis.blogspot.com, tahun 2010),
Universitas Sumatera Utara