BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Jaksa Penuntut Umum a. Pengertian Kejaksaan Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah
Undang-Undang
Nomor 16
Tahun 2004
tentang
Kejaksaan (UU Kejaksaan). Menurut ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan, disebutkan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia
adalah
lembaga
pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan
undang-undang
(Marwan
Effendy,
2007:127).
Kejaksaan adalah suatu lembaga, badan, institusi pemerintah yang menjalankan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan kewenangan lain. Sementara orang yang melakukan tugas, fungsi, dan kewenangan itu disebut Jaksa. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) UU Kejaksaan yaitu, “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang”. Jadi, perlu
digaris
bawahi bahwa
selain
tugasnya
di bidang
penuntutan, juga diberi kewenangan lain oleh undang-undang misalnya sebagai Jaksa Pengacara Negara, Eksekutor putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagai penyelidik tindak pidana tertentu, dan lain-lain. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum,
12
1
karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive
ambrenaar).
Undang-Undang
Kejaksaan
memperkuat kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya. b. Pengertian Penuntut Umum Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undangundang bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (KUHAP Pasal 1 butir 6a). Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim (KUHAP Pasal 1 butir 6a jo. Pasal 13) Jaksa adalah jabatan, bahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, menambahkan kata-kata jabatan fungsional. Jadi, Jaksa yang melaksanakan tugas penuntutan atau penyidangan perkara berdasar surat perintah yang sah itu disebut Penuntut Umum. Apabila tugas penuntutan selesai dilaksanakan, maka yang bersangkutan jabatannya adalah Jaksa. Untuk menjadi Penuntut Umum maka yang bersangkutan harus berstatus Jaksa (Bambang Waluyo, 2008:57).
2
c. Wewenang Penuntut Umum Kewenangan Penuntut Umum secara normatif dirumuskan oleh KUHAP mealui Pasal 14, yaitu: 1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dan Penyidik atau Penyidik Pembantu; 2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan
dengan
memperhatikan
ketentuan
Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari Penyidik; 3. Memberikan
perpanjangan
penahanan,
melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh Penyidik; 4. Membuat surat dakwaan; 5. Melimpahkan perkara ke pengadilan; 6. Menyampaikan
pemberitahuan
kepada
terdakwa
tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; 7. Melakukan penuntutan; 8. Menutup perkara demi kepentingan hukum; 9. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung
jawab
sebagai Penuntut
Umum menurut
ketentuan undang-undang ini; 10. Melaksanakan menetapan Hakim. 2. Tinjauan tentang Upaya Banding Putusan yang diambil peradilan tingkat banding adalah “putusan tingkat kedua dan tingkat terakhir”. Pengadilan Tinggi sebagai institusi peradilan tingkat banding merupakan “instansi”
3
peradilan
“tingkat
kedua
dan
terakhir”.
Secara
institusional,
putusan tingkat terakhir peradilan adalah wewenang peradilan tingkat
banding,
sedang
Mahkamah
Agung
adalah
instansi
peradilan kasasi terhadap putusan tingkat terakhir dari instansi peradilan yang lain (M. Yahya Harahap, 2010:449) Pemeriksaan banding merupakan upaya yang dapat diminta oleh pihak yang berkepentingan, supaya putusan peradilan tingkat pertama diperiksa lagi dalam peradilan tingkat banding (M. Yahya Harahap, 2010: 450). Upaya banding yang secara formal dibenarkan undangundang merupakan upaya hukum biasa, bukan upaya hukum luar biasa. Prosedur dan proses pemeriksaan tingkat banding adalah pemeriksaan yang secara umum dan konvensional dapat diajukan terhadap setiap putusan peradilan tingkat pertama tanpa kecuali, sepanjang hal itu diajukan terhadap putusan yang dapat dibanding seperti yanG ditenTukan Pasal 67 Jo. Pasal 233 ayat (1) KUHAP (M. Yahya Harahap, 2010: 450). Menurut M. Yahya Harahap (2012: 453) bahwa alasan permintaan banding dapat diperinci sebagai berikut: (1) Dapat Dikemukakan Pemohon “Secara Umum”; (2) Dapat Dikemukakan “Secara Terperinci”; (3) Permintaan Banding Dapat Ditujukan Terhadap “Hal Tertentu”. Selain itu permintaan banding yang diajukan terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, dapat menimbulkan beberapa akibat hukum, antara lain (M. Yahya Harahap, 2012: 453-455): (1) Putusan menjadi mentah kembali; (2) Segala sesuatu beralih menjadi tanggung jawab yuridis pengadilan tingkat banding; (3) Putusan eksekusi.
yang
dibanding
tidak
mempunyai
daya
4
3. Tinjauan Tentang Putusan a.
Pengertian Putusan Pengertian putusan sebagaimana terdapat dalam Pasal 1
angka 11 KUHAP yaitu pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Sedangkan menurut M. Yahya Harahap (2012:347) putusan adalah hasil mufakat musyawarah hakim berdasar penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Sebagaimana penjelasan di atas, putusan merupakan hasil permusyawaratan Majelis Hakim, adapun mekanisme pengaturan pemusyawaratan yang dilakukan oleh Majelis Hakim diatur dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP yang isinya musyawarah yang dilakukan Majelis Hakim tersebut harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. Selanjutnya dalam Pasal 182 ayat (5) KUHAP yang menjelaskan bahwa musyawarah diawali dengan Hakim Ketua Majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari Hakim yang termuda sampai
Hakim
yang
tertua,
sedangkan
yang
terakhir
mengemukakan pendapatnya adalah Hakim Ketua Majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya. Pasal 182 ayat (6) KUHAP mengatur bahwa pada asasnya keputusan
dalam
musyawarah
majelis
merupakan
hasil
permufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: 1) Putusan diambil dengan suara yang terbanyak;
5
2) Jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat Hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Pendapat yang berbeda atau yang tidak dijadikan putusan tetap harus dimuat dalam putusan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peran putusan Hakim dalam suatu perkara pidana sangat penting karena dari putusan Hakim itulah yang menentukan apakah yang didakwakan terhadap Terdakwa di persidangan oleh Penuntut Umum terbukti atau tidak. Oleh karena itu dalam menjatuhkan putusan, seorang Hakim harus jujur, bijak dan arif, adil, mandiri, profesional, dan bertanggung jawab serta harus independen tidak terpengaruh dari pihak manapun. Selain mengenai substansi isi materi dalam putusan, Hakim juga harus berhati-hati dan cermat dalam membuat putusan agar tidak melanggar aturan mengenai tentang tata cara pengucapan putusan dan bentuk-bentuk putusan pengadilan. Seperti yang diatur dalam Pasal 195 KUHAP semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Akibat dari tidak terpenuhinya aturan tersebut adalah putusannya tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat serta putusan itu batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. b. Syarat Formil Putusan Dalam KUHAP diatur mengenai syarat suatu putusan agar sah dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam suatu putusan Hakim dalam perkara pidana adalah: 1) Memuat
hal-hal yang
diperintahkan oleh KUHAP
sebagaimana diatur dalam Pasal 197 KUHAP dan Pasal
6
50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; 2) Harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP). Pasal 197 ayat (1) huruf a sampai l KUHAP mengatur mengenai hal-hal yang harus diperhatikan agar putusan tidak batal demi hukum yaitu (M. Yahya Harahap, 2012: 359-370): a) Kepala
putusan
KEADILAN
yang
dituliskan
berbunyi: “DEMI
BERDASARKAN
KETUHANAN
YANG MAHA ESA” Hukum ditegakkan bukan atas nama hukum atau penguasa, tetapi atas nama Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini berkaitan dengan falsafah bangsa Indonesia yaitu keadilan berdasarkan keTuhanan. b) Identitas Terdakwa Dalam
putusan
harus
diuraikan
identitas
terdakwa secara jelas dan terang guna menjamin kepastian hukum bahwa orang yang dijatuhi pidana adalah terdakwa yang sedang diadili. Identitas terdakwa ini meliputi: nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal
lahir,
jenis
kelamin,
kebangsaan,
tempat
tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa. c) Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan Penuntut Umum Pasal 197 ayat (1) huruf c mengatur bahwa putusan memuat keseluruhan isi surat dakwaan yang dibuat Penuntut Umum. d) Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan Terdakwa
7
Fakta dan keadaan harus diuraikan sesuai dengan apa yang ditemukan dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Fakta atau keadaan yang “memberatkan” atau “meringankan” terdakwa harus jelas diungkapkan dalam uraian pertimbangan putusan. e) Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan Kesimpulan
tuntutan
pidana
atau
rekuisitor
Penuntut Umum ditempatkan antara uraian identitas terdakwa dengan surat dakwaan. Dasar-dasar hukum alasan
kesimpulan
tuntutan
pidana
diuraikan
serangkaian dengan pertimbangan fakta dan keadaan serta alat pembuktian. f) Pasal
peraturan
perundang-undangan
yang
menjadi
dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan Putusan pemidanaan memuat pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar pemidanaan atau pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
hukum
putusan,
disertai
keadaan
yang
memberatkan dan yang meringankan. g) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah Majelis Hakim kecuali perkara diperiksa oleh Hakim Tunggal Pasal 197 ayat (1) huruf g mengatur bahwa putusan pengadilan negeri harus memuat tanggal hari musyawarah
dan
tanggal
hari
pengucapan
pengumuman putusan. h) Pernyataan kesalahan Terdakwa Pernyataan
kesalahan
terdakwa
berupa
penegasan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan
8
tindak
pidana
disertai
dengan
kualifikasinya
dan
pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. i) Pembebanan biaya perkara dan penentuan barang bukti Ketentuan
kepada
siapa
biaya
perkara
dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti. j) Penjelasan tentang surat palsu Jika dalam
persidangan ditemukan kepalsuan
surat autentik yang ada hubungannya dengan perkara yang bersangkutan,
kepalsuan itu dijelaskan dalam
putusan, dimana letaknya kepalsuan itu. k) Perintah supaya Terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan l) Hari dan tanggal putusan, nama Penuntut Umum, nama Hakim yang memutus dan nama panitera. Apabila dalam suatu putusan ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP ini tidak dipenuhi maka mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Pasal 197 ayat (2) yang berbunyi “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum”. Betapa besarnya
dampak
yang
ditimbulkan
apabila
suatu
putusan tidak memuat ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k, dan l KUHAP sehingga putusan yang dilahirkan tidak mempunyai kekuatan hukum
dan
daya
eksekusi,
yang
mengakibatkan
keadaan Terdakwa kembali seperti semula seperti sebelum didakwa.
9
c. Bentuk-bentuk Putusan Ada
bermacam-macam
bentuk
putusan
yang
dapat
dijatuhkan oleh Hakim terhadap perkara pidana yang diperiksanya. Perbedaan bentuk-bentuk
putusan bisa saja dipengaruhi oleh
penilaian Hakim terhadap apa yang didakwakan dalam surat dakwaan apakah memang terbukti, atau mungkin juga Hakim menilai apa yang didakwakan terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana, tapi termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata atau termasuk tindak pidana aduan (klacht delik). Atau menurut mereka tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti sama sekali (M.Yahya Harahap, 2012: 347). Melihat kemungkinan-kemungkinan hasil penilaian diatas, putusan yang akan dijatuhkan pengadilan mengenai suatu perkara, dapat dikelompokkan bentuknya sebagai berikut: 1) Putusan Bebas Putusan bebas, berarti Terdakwa dijatuhi putusan bebas
atau
dinyatakan
bebas
dari
tuntutan
hukum
(vrijspraak) atau acquittal. Pengertian Terdakwa diputus bebas, Terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidaan. Tegasnya terdakwa “tidak dipidana” (M.Yahya Harahap, 2012: 347). Putusan bebas dapat dijatuhkan apabila pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka Terdakwa diputus bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). Jika ditinjau dari segi yuridis, putusan bebas adalah putusan yang tidak memenuhi asas pembuktian menurut undangundang secara negatif
dan
tidak
memenuhi
asas
batas
pembuktian. 2) Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum
minimum
10
Dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP disebutkan jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka Terdakwa diputus dari segala tuntutan hukum. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum yaitu perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti secara sah menurut segi pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Akan tetapi perbuatan yang didakwakan
tersebut
bukan merupakan tindak
pidana
sebagaimana diatur dalam KUHP dan terdapat keadaankeadaan yang istimewa yang menyebabkan Terdakwa tidak dapat
dihukum,
misalnya
dikarenakan
adanya
alasan
pemaaf sebagaimana terdapat dalam Pasal 44, 48, 49, 50, 51 KUHP (Leden Marpaung, 2011: 135). 3) Putusan Pemidanaan Berdasarkan Pasal 193 ayat (1) KUHAP putusan pemidanaan dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa Terdakwa didakwakan pidana.
bersalah
melakukan
kepadanya,
maka
tindak pengadilan
pidana
yang
menjatuhkan
Putusan pemidanaan adalah Terdakwa dijatuhi
hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak
pidana yang didakwakan kepada
Terdakwa (M. Yahya Harahap, 2012: 354). Putusan pembuktian
di
ini
dijatuhkan
persidangan
karena
dengan
berdasarkan
didukung
dengan
sedikitnya dua alat bukti sebagaimana terdapat dalam Pasal 183 KUHAP, ternyata dapat diketahui bahwa Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang didakwakan oleh Penuntut Umum. Sehingga hal tersebut
11
memberikan keyakinan kepada Majelis Hakim pemeriksa perkara bahwa Terdakwalah pelaku tindak pidana. 4) Putusan Tidak Berwenang Mengadili Putusan yang bentuknya adalah penetapan tidak berwenang mengadili didasarkan pada Pasal 147 KUHAP yaitu setelah Pengadilan Negeri menerima surat pelimpahan perkara dari Penuntut Umum, Ketua Pengadilan Negeri mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya atau bukan. Apabila ternyata perkara yang dilimpahkan Penuntut Umum bukan wewenang pengadilan yang dipimpinnya, Pasal 148 KUHAP telah memberi pedoman kepada Pengadilan Negeri untuk menyerahkan pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan yang dianggap berwenang mengadilinya, dengan cara Ketua Pengadilan Negeri
yang
mengeluarkan
menerima surat
pelimpahan
penetapan
perkara
tersebut
berisi pernyataan tidak
bewenang mengadili yang disertai alasannya (M. Yahya Harahap, 2012: 357-358). 5) Putusan
yang Menyatakan Dakwaan Tidak
Dapat
Diterima Penjatuhan
putusan
yang
menyatakan
dakwaan
penuntut umum tidak dapat diterima berpedoman kepada Pasal 156 ayat (1) KUHAP. Menurut Leden Marpaung (2011: 134) putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima karena terdapat beberapa alasan, yaitu: a) Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan, tidak ada (delik pengaduan); b) Perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa, telah pernah diadili (nebis in idem); c) Hak
untuk
penuntutan
daluwarsa (verjaring).
telah
hilang
karena
12
6) Putusan
yang
Menyatakan
Dakwaan
Batal
Demi
dakwaan
yang
Hukum Putusan
ini
dijatuhkan
ketika
diajukan Penuntut Umum tidak memenuhi syarat sebagai diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP yaitu dakwaan harus berisi uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai indak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan
waktu
dan
tempat
tindak
pidana
itu
dilakukan. Dasar hukumnya adalah Pasal 143 ayat (3) KUHAP
yang
bunyinya
“Surat dakwaan yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum”. Atau bisa juga surat dakwaan dinyatakan
batal,
apabila
Penuntut
Umum
melanggar
ketentuan Pasal 144 KUHAP (M. Yahya Harahap, 2012: 359). 4. Tinjauan tentang Tindak Pidana Narkotika a. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang dan
mempunyai
ancaman
sanksi
pidana
bagi
yang
melanggarnya. Dalam RUU KUHP 2008 pada Pasal 15 ayat (1), menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana”. Tindak Pidana berasal dari istilah dalam Hukum Pidana Belanda yaitu “strafbaarfeit”, yang terdiri dari 3 kata yaitu straf, baar dan feit. “Straf” berarti pidana, “baar” berarti dapat atau boleh, “feit” adalah pebuatan (Adami Chazawi, 2002; 69). Menjelaskan bahwa Tindak Pidana/strafbaarfeit adalah “Suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan
dengan
peraturan
perundangundangan lainnya,
13
terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman (Adami Chazawi, 2002: 72). Pompe (dalam P.A.F Lamintang, 1984; 173).memberi definisi tindak pidana/ strafbaarfeit sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum Sedangkan
syarat-syarat dari Tindak
Pidana Tersebut
adalah dipenuhi unsur dari semua delik seperti dalam rumusan delik
Dapat
perbuatannya
dipertanggung Tindakan
pelaku
jawabkannya
pelaku
atas
tersebut dilakukan dengan
sengaja atau tidak sengaja pelaku tersebut dapat dihukum (P.A.F Lamintang, 1997;187). Mengenai unsur-unsur tindak pidana terdapat beberapa pendapat yang berbeda antara lain menurut Soedarto, beliau mengatakan bahwa pertanyaan unsur-unsur tindak pidana tidak mempunyai arti penting atau prinsipiil bagi hukum pidana material, yang penting adalah untuk hukum acara pidana atau hukum pidana formal yaitu syarat penuntutan dan bersangut paut dengan itu, maka unsur-unsur dalam rumusan peraturan pidana itu harus dituduhkan dan dibuktikan (Soedarto, 1990; 50). Unsur-unsur tindak pidana itu sendiri dapat dibedakan menjadi dua segi, yaitu: 1) Unsur Subjektif Unsur subjektif adalah yang melekat pada diri pelaku
atau
berhuungan
dengan
si pelaku,
yang
terpenting adalah yang bersangkutan dengan batinnya. Unsur subjektif tindak pidana meliputi: a. Kesengajaan
14
b. Niat atau maksud dengan segala bentuknya c.
Ada atau tidaknya perencanaan
d.
Adanya perasaan takut.
2) Unsur Objektif Unsur objektif dari tindak pidana adalah hal-hal yang
berhubungan
dengan
keadaan
lahiriah,
yaitu
dalam keadaan mana tindak pelaku itu dilakukan, dan berada diluar batin si pelaku. Unsur objektif tindak pidana meliputi: 3) Sifat melanggar hukum 4) Kualitas si pelaku 5) Kausalitas, yaitu yang berhubungan antara penyebab yaitu tindakan dengan akibatnya b. Pengertian Tindak Pidana Narkotika Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa
nyeri,
dan
dapat
menimbulkan
ketergantungan. Narkotika adalah bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis,
dan fungsi sosial karena terjadi kebiasaan, ketagihan
(adiksi) serta ketergantungan (dependensi) (Dharana Lastarya, 2006:15). Narkotika adalah bahan/zat/obat yang umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitikberatkan pada upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan sosial. Napza sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang
15
bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran (Erwin Mappaseng, 2002:2). Beberapa
jenis
narkotika
yang
sering
disalahgunakan
adalah sebagai berikut (Erwin Mappaseng, 2002:3): a. Narkotika Golongan I Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai
potensi
sangat
tinggi
menimbulkan
ketergantungan, (contoh: heroin/putaw, kokain, ganja). b. Narkotika Golongan II Narkotika
yang
berkhasiat
pengobatan
digunakan
sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai
potensi
tinggi
mengakibatkan
ketergantungan (Contoh, morfin, petidin). c. Narkotika Golongan III Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan
serta
mempunyai
potensi
ringan
mengakibatkan ketergantungan (Contoh: Kodein) Berdasarkan pasal Undang-Undang Narkotika diketahui bahwa pelaku tindak pidana narkoba diancam dengan pidana yang tinggi
dan
berat
dengan
dimungkinkannya
terdakwa
divonis
maksimal yakni pidana mati selain pidana penjara dan pidana denda. Mengingat tindak pidana narkotika termasuk dalam jenis tindak pidana khusus maka ancaman pidana terhadapnya dapat dijatuhkan secara kumulatif dengan menjatuhkan 2 (dua) jenis pidana pokok sekaligus, misalnya pidana penjara dan pidana denda atau pidana mati dan pidana denda.
16
Pengaturan
mengenai
tindak
pidana
narkotika
dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika di antaranya sebagai berikut : Pasal 111 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika : (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (Empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika : (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melibihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidanan denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
17
Pasal 113 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika: (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika : (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
18
Selanjutnya dalam ketentuan pidana Pasal 127 UndangUndang
Nomor
35
Tahun
2009
tentang
Narkotika
dinyatakan bahwa : (1) Setiap Penyalahguna : a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b. Narkotika Golongan II bagi sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 103. (3) Dalam hal penyalahguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi social.
19
B. Kerangka Pemikiran
Perkara Tindak Pidana Narkotika
Pemeriksaan di Pengadilan Negeri Yogyakarta
Putusan Dengan Sengaja Tidak Melapor Adanya Tindak Pidana Narkotika
Putusan
Upaya Hukum Banding
-
Argumentasi Hukum Penuntut Umum Mengajukan Upaya Banding
Dikabulkan
Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor : 12/PID.SUS/2015/PT YYK
Implikasi Putusan Diterima Dengan Menjatuhkan Pidana Kepada Terdakwa Pelaku Tindak Pidana Narkotika
Gambar 1. Skematik Kerangka Pemikiran
20
Penjelasan Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran di atas, menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah, dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum ini, yaitu mengenai Argumentasi Hukum Penuntut Umum Mengajukan Upaya Banding Dan Implikasi
Putusan
Diterima
Dengan
Menjatuhkan
Pidana
Kepada
Terdakwa Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor : 12/Pid.Sus/2015/Pt YYK). Bahwa terdakwa dalam perkara tindak pidana narkotika ini pada Pengadilan Negeri Yogyakarta diputus “Dengan Sengaja Tidak Melapor Adanya Tindak
Pidana” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131
Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan dijatuhi pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan. Kemudian Penuntut Umum mengajukan permohonan Banding ke Pengadilan Tinggi Yogyakarta karena merasa belum memenuhi rasa keadilan masyarakat dengan menjelaskan
hal-hal yang menjadi alasan
pengajuan upaya hukum banding. Oleh karena alasan yang telah diajukan, maka Penuntut Umum mengajukan tuntutan bahwa Terdakwa melakukan tindak pidana “Tanpa Hak Atau Melawan Hukum Memiliki , Menyimpan,
Menguasai Atau Menyediakan Narkotika Golongan I
Dalam Bentuk Tanaman” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Berdasarkan alasan yang diuraikan oleh Penuntut Umum, Hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta mengabulkan permintaan Banding dan membatalkan putusan sebelumnya dalam perkara ini. Dalam putusannya, Hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta menyatakan bahwa Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang telah Penuntut Umum ajukan dalam memori Banding. Sehingga Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan 6 (enam) bulan serta denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah).
21
Dari perbedaan putusan yang dijatuhkan kepada Terdakwa antara Pengadilan Negeri Yogyakarta dan Pengadilan Tinggi Yogyakarta maka diketahui adanya argumentasi hukum Penuntut Umum yang menjadi pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Selain itu juga terdapat implikasi putusan diterima dengan menjatuhkan pidana kepada terdakwa pelaku tindak pidana Narkotika sehingga penulis memandang perlu adanya suatu kajian yang lebih mendalam terhadap putusan Nomor : 12/PID.SUS/2015/PT YYK.
22