9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1
Definisi hutan rakyat Definisi Hutan rakyat dapat berbeda-beda tergantung batasan yang
diberikan. Hutan rakyat menurut Undang-undang No. 41 tahun 1999 adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakannya dari hutan Negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah Negara. Dalam pengertian ini, tanah Negara mencakup tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat berdasarkan ketentuanketentuan atau aturan-aturan adat atau aturan-aturan masyarakat lokal (Suharjito 2000). Definisi hutan rakyat menurut Hardjanto (2000) adalah hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat juga disebut hutan milik dengan luas minimal 0,25 hektar. Hutan rakyat di Jawa pada umumnya hanya sedikit yang memenuhi luasan sesuai dengan definisi hutan rakyat. Hal tersebut karena rata-rata pemilikan lahan di jawa sangat sempit. Departemen Kehutanan (1999) menyebutkan bahwa hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah milik dengan luas minimal 0,25 ha dan penutupan tajuknya didominasi tanaman perkayuan dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 pohon. 2.1.2
Manfaat dan Peranan Hutan Rakyat Hutan rakyat telah memberikan manfaat ekonomi yang langsung dirasakan
oleh penduduk desa pemilik hutan rakyat. Manfaat yang dirasakan adalah kayu yang digunakan untuk bahan bangunan guna memperbaiki kondisi rumah mereka yang dulunya terbuat dari bambu. Selain itu petani dapat memperoleh tambahan pendapatan dari menjual kayu hasil hutan rakyat dalam bentuk berdiri maupun dalam bentuk kayu bakar. Penjualan kayu hasil hutan rakyat ini biasanya
10
dilakukan apabila ada kebutuhan yang sangat mendesak dan keuangan yang ada kurang mencukupi (Suharjito 2000). Peranan hutan rakyat dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa cukup penting mengingat ± 70% konsumsi kayu dipenuhi oleh kayu yang dihasilkan dari hutan rakyat. Kayu rakyat merupakan komoditi penting yang belum dianggap komersial karena kurang terlihatnya perilaku sediaan dan permintaan secara mudah, baik oleh produsen maupun konsumen yang terlibat dalam pemasaran produk-produk yang berasal dari hutan rakyat (Lembaga Penelitian IPB dengan Proyek Pengembangan Hutan Rakyat Jawa Barat 1990). Tekanan terhadap sumberdaya hutan menyebabkan terjadi eksploitasi yang berlebih sehingga sumberdaya hutan tidak mampu lagi memberikan manfaat yang optimal
bahkan
sebaliknya
menyebabkan
kerusakan
dan
menurunkan
produktivitas sumberdaya hutan. Salah satu alternatif pemecahan masalah tekanan terhadap sumberdaya hutan adalah pembangunan hutan rakyat diluar kawasan hutan yang dilaksanakan di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa (Suharjito 2000). 2.1.3
Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Pengelolaan hutan rakyat di satu sisi memang menunjukkan potensi hasil
hutan kayu dan non kayu yang besar, peningkatan nilai ekologis kawasan, dan peningkatan pendapatan masyarakat pengelola hutan. Akan tetapi di sisi lain masih ditemui beberapa permasalahan, misalnya keterbatasan akses dan pengetahuan pasar oleh masyarakat, penebangan yang masih dilakukan dengan sistem “tebang butuh”, kualitas kayu hutan rakyat yang belum optimal akibat kurangnya pengetahuan tentang teknik silvikultur (Hardjanto 1990). Pola usahatani hutan rakyat masih dilakukan secara tradisional dan belum sepenuhnya memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi perusahaan yang paling menguntungkan (Hardjanto 1990). Pemilik hutan rakyat umumnya belum menggantungkan penghidupannya pada hutan-hutan yang dimilikinya. Mereka mengusahakan hutan rakyat hanya sebagai sampingan. Faktor penyebab para petani tidak menggantungkan penghidupannya pada hutan (Hardjanto 1990) yaitu: 1. Belum adanya persatuan antar pemilik hutan rakyat 2. Sistem silvikultur belum diterapkan secara sempurna.
11
3.
Kurangnya pengetahuan petani dalam pemasaran hasil hutan rakyat
4. Belum adanya lembaga khusus yang menangani pengusahaan hutan rakyat. Pengelolaan hutan rakyat pada dasarnya adalah merupakan upaya menyeluruh dari kegiatan-kegiatan perencanaan, pembinaan, pengembangan, dan penilaian serta pengawasan pelaksanaan kegiatan produksi, pengolahan hasil, dan pemasaran secara terencana dan berkesinambungan. Tujuan akhir yang ingin dicapai dari pengelolaan hutan rakyat adalah adanya peningkatan peran dari kayu rakyat terhadap peningkatan pendapatan pemilik/pengusahanya secara terus menerus selama daur (Hardjanto 1990). Keberhasilan pengembangan hutan rakyat (Dephut 1995) sangat tergantung pada : 1. Tujuan pengembangan hutan rakyat yang jelas 2. Lokasi dan luas unit usaha hutan rakyat 3. Pemilihan jenis yang di tanam 4. Sistem penanaman, pemeliharaan, dan pengelolaan 5. Produksi tahunan yang terencana 6. Investasi yang tersedia dan keterkaitan dengan industri pengelolaan kayu. Sistem pendanaan yang dilaksanakan dalam pengembangan hutan rakyat (Dephut 1995) dapat ditempuh melalui: 1. Swadaya masyarakat baik perorangan, kelompok, maupun mitra usaha 2. Program bantuan inpres penghijauan dan reboisasi/APBD. 3. Kredit, berupa pinjaman lunak kepada petani/kelompok tani dengan pola acuan P3KUK-DAS melalui bank penyalur. 4. Kredit usaha perhutanan rakyat, berupa pinjaman lunak kepada petani melalui mitra usaha yang pelaksanaannya diatur oleh Departemen Kehutanan dan BRI selaku bank penyalur. 2.2. Pendapatan Rumah Tangga Petani Pendapatan rumah tangga adalah kumpulan dari pendapatan anggotaanggota rumah tangga dari masing-masing kegiatannya. Menurut Soeharjo dan Patong (1973), pendapatan merupakan selisih antara penerimaan dari penjualan, konsumsi keluarga akan komoditi yang dihasilkan dengan biaya yang dikeluarkan
12
untuk menghasilkan komoditi tersebut. Pendapatan rumah tangga petani tidak hanya berasal dari usaha pertaniannya saja, tetapi juga berasal dari sumber-sumber lain di luar sektor pertanian, seperti perdagangan, jasa pengangkutan, industri pengolahan, dan lain-lain (BPS 1993). Bahkan kadang penghasilan di luar usaha pertanian justru lebih besar daripada pendapatannya dari pertanian. Kartasubrata (1986) menjelaskan bahwa pendapatan rumah tangga menurut sumbernya dibagi menjadi dua golongan, yaitu pendapatan kehutanan dan non kehutanan. Pendapatan kehutanan adalah pendapatan yang berasal dari kegiatan di hutan dan pendapatan non kehutanan adalah pendapatan yang berasal dari hasil kegiatan di luar kehutanan.
2.3. Konsep Kemitraan Kemitraan adalah kerjasama antara usaha kecil dengan menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling menguntungkan.
Secara harfiah kemitraan diartikan sebagai suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan (Hafsah 2000). Adapun definisi kemitraan secara resmi diatur dalam Undang-Undang Usaha Kecil No. 9 Tahun 1995 pasal 1 ayat 8 yang menyatakan bahwa kemitraan merupakan kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Sementara berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 940/Kpts/OT.210/10/97 yang dimaksud dengan kemitraan usaha pertanian adalah kerjasama usaha antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra di bidang usaha pertanian. 2.3.1
Konsep kemitraan perusahaan-masyarakat Konsep kemitraan perusahaan-masyarakat atas dasar kontrak kesepakatan
dan kerjasama mampu menyediakan pendekatan-pendekatan efektif yang mampu menjamin ketersediaan bahan pasokan kayu disamping berbagi manfaat, keuntungan dan juga resiko dengan masyarakat lokal sekitarnya (Mayers 2000). Menurut Mayers dan Vermeulen (2002), beberapa istilah yang sering digunakan dalam pelaksanaan kemitraan adalah sebagai berikut :
13
1. Perusahaan, mencakup badan hukum berskala besar, dapat berupa perusahaan swasta yang dikelola dengan berorientasi untuk mendapatkan keuntungan. 2. Masyarakat, termasuk didalamnya petani, masyarakat lokal yang berada pada tingkat-tingkat sosial yang berada pada organisasi-organisasi sosial seperti kelompok-kelompok tani dan kelompok-kelompok pengguna produk yang pada suatu saat tertentu melakukan kegiatan dengan berorientasi untuk mendapatkan keuntungan saja. 3. Kehutanan, merupakan seni menanam, memelihara serta mengelola hutan dan tegakan dengan tujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa. 4. Kemitraan, hubungan atau kerjasama yang secara aktif dilakukan oleh dua pihak atau lebih dengan ekspektasi penerimaan manfaat. 5. Konsep
kemitraan
perusahaan-masyarakat,
mencakup
tempat
bekerjasama, bentuk dari sisi kehutanannya, serta tipe-tipe hubungan antara dua atau lebih pihak. Menurut Mayers dan Vermeulen (2002), beberapa gambaran mengenai konsep kemitraan yang kuat adalah sebagai berikut : 1. Adanya dialog. Pihak-pihak yang terlibat setuju dan bersedia untuk saling berkonsultasi dan berinteraksi selama dalam tahap persiapan rencana. 2. Kesepakatan bersama. Pihak-pihak yang terlibat setuju untuk tidak bertindak tanpa persetujuan dari pihak lain. Dengan kata lain, adanya suatu sikap saling pengertian yang tinggi antar pihak terhadap tindakan yang akan dilakukan. 3. Adanya kontrak kerjasama. Pihak-pihak yang terlibat paham bahwa salah satu pihak memberikan pelayanan atas dasar kontrak terhadap pihak lain. 4. Berbagi rencana kerja. Pihak-pihak yang terlibat setuju untuk membahas serta mengimplementasikan rencana kerja yang telah dibuat secara bersama-sama menuju pada suatu tujuan yang telah direncanakan. 5. Berbagi tanggung jawab dan juga resiko. Pihak-pihak yang terlibat setuju untuk sama-sama bertanggung jawab secara penuh terhadap rencana yang telah dibuat.
14
2.3.2
Pola kemitraan Terdapat beberapa pola yang dapat diterapkan dalam pelaksanan kerjasama
kemitraan. Pemilihan bentuk kerjasama dapat disesuaikan dengan melihat kondisi masing-masing pelaku kerjasama. Jangka waktu kemitraan dibedakan menjadi tiga Deptan (1997), yaitu : 1. Kemitraan Insidental Bentuk kemitraan ini didasarkan pada kepentingan ekonomi bersama dalam jangka pendek dan dihentikan jika kegiatan tersebut telah selesai, dengan atau tanpa kesepakatan tertulis atau kontrak kerja. Bentuk kemitraan seperti ini biasanya ditemui dalam pengadaan input dan pemasaran usaha tani. 2. Kemitraan Jangka Menengah Bentuk kemitraan ini didasarkan pada motif ekonomi bersama dalam jangka menengah atau musim produksi tertentu, dengan atau tanpa perjanjian tertulis. 3. Kemitraan Jangka Panjang Kemitraan ini dilakukan dalam jangka waktu yang sangat panjang dan terusmenerus dalam skala besar dan dengan perjanjian tertulis. Misalnya adalah kepemilikan perusahaan oleh petani atau koperasi.
Adapun pola-pola kemitraan yang banyak dilaksanakan oleh beberapa kemitraan usaha pertanian di Indonesia (Deptan 2002) meliputi: 1. Inti-Plasma Merupakan hubungan kemitraan antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra. Perusahaan mitra bertindak sebagai inti dan kelompok mitra bertindak sebagai plasma. Dalam hal ini, perusahaan mitra mempunyai kewajiban : (1) berperan sebagai perusahaan inti, (2) menampung hasil produksi, (3) membeli hasil produksi, (4) memberi bimbingan teknis dan pembinaan manajemen kepada kelompok mitra, (5) memberikan pelayanan kepada kelompok mitra berupa permodalan/kredit, sarana produksi, dan teknologi, (6) mempunyai usaha budidaya pertanian/memproduksi kebutuhan perusahaan, dan (7) menyediakan lahan. Sementara kewajiban kelompok mitra : (1) berperan sebagai plasma, (2) mengelola seluruh usaha budidaya sampai dengan panen, (3) menjual hasil produksi kepada perusahaan mitra, (4) memenuhi kebutuhan perusahaan sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati. Keunggulan dari pola ini adalah : (1) kedua belah pihak saling mempunyai ketergantungan dan sama-sama memperoleh
15
keuntungan, (2) terciptanya peningkatan usaha, dan (3) dapat mendorong perkembangan ekonomi. Namun, dikarenakan belum adanya kontrak kemitraan yang menjamin hak dan kewajiban komoditas plasma, kelemahan pola ini menyebabkan perusahaan inti mempermainkan harga komoditi plasma. 2. Subkontrak Merupakan hubungan kemitraan antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra. Kelompok mitra dalam hal ini memproduksi komponen yang diperlukan oleh perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Tugas perusahaan mitra dalam pola subkontrak, meliputi : (1) menampung dan membeli komponen produksi perusahaan yang dihasilkan oleh kelompok mitra, (2) menyediakan bahan baku / modal kerja, dan (3) melakukan kontrol kualitas produksi. Sementara tugas kelompok mitra adalah : (1) memproduksi kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra sebagai komponen produksinya, (2) menyediakan tenaga kerja, dan (3) membuat kontrak bersama yang mencantumkan volume, harga, dan waktu. Pola subkontrak ini sangat kondusif bagi terciptanya alih teknologi, modal, keterampilan, dan produktivitas serta terjaminnya pemasaran produk pada kelompok mitra. Namun sisi kelemahannya tampak dari hubungan yang terjalin semakin lama cenderung mengisolasi produsen kecil dan mengarah pada monopoli atau monopsoni. 3. Dagang Umum Salah satu pola kemitraan dimana perusahaan mitra berfungsi memasarkan hasil produksi kelompok mitranya atau kelompok mitra memasok kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra. Keuntungan pola ini adalah pihak kelompok mitra tidak perlu bersusah payah dalam memasarkan hasil produknya sampai ke konsumen. Sementara kelemahannya terletak pada harga dan volume produk yang sering ditentukan secara sepihak oleh perusahaan mitra sehingga merugikan kelompok mitra. 4. Keagenan Pola keagenan merupakan hubungan kemitraan dimana kelompok mitra diberi hak khusus untuk memasarkan barang atau jasa usaha perusahaan mitra. Sementara perusahaan mitra bertanggung jawab atas mutu dan volume produk. Keuntungan pola ini bagi kelompok mitra bersumber dari komisi yang diberikan
16
perusahaan mitra sesuai dengan kesepakatan. Namun di sisi lain pola ini memiliki kelemahan dikarenakan kelompok mitra dapat menetapkan harga produk secara sepihak. Selain itu kelompok mitra tidak dapat memenuhi target dikarenakan pemasaran produknya terbatas pada beberapa mitra usaha saja. 5. Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA) Dalam pola ini perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen dan pengadaan sarana produksi untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditi pertanian, sedangkan kelompok mitra menyediakan lahan, sarana, dan tenaga kerja. Keunggulan pola ini hampir sama dengan pola inti-plasma, namun dalam pola ini lebih menekankan pada bentuk bagi hasil. 6. Waralaba Merupakan pola hubungan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, dimana perusahaan mitra memberikan hak lisensi, merek dagang, saluran distribusi perusahaannya kepada kelompok mitra usahanya sebagai penerima waralaba. Kelebihan pola ini, kedua belah pihak sama-sama mendapatkan keuntungan sesuai dengan hak dan kewajibannya. Keuntungan tersebut dapat berupa adanya alternatif sumber dana, penghematan modal, dan efisiensi. Selain itu pola ini membuka kesempatan kerja yang luas. Kelemahannya, bila salah satu pihak ingkar dalam menepati kesepakatan sehingga terjadi perselisihan. Selain itu, pola ini menyebabkan ketergantungan yang sangat besar dari perusahaan terwaralaba terhadap perusahaan pewaralaba dalam hal teknis dan aturan atau petunjuk yang mengikat. Sebaliknya perusahaan pewaralaba tidak mampu secara bebas mengontrol atau mengendalikan perusahaan terwaralaba terutama dalam hal jumlah penjualan. 7. Pola Kemitraan (penyertaan) Saham Dalam pola kemitraan ini, terdapat penyertaan modal (equity) antara usaha kecil dengan usaha menengah atau besar. Penyertaan modal usaha kecil dimulai sekurang-kurangnya 20% dari seluruh modal saham perusahaan yang baru dibentuk dan ditingkatkan secara bertahap sesuai kesepakatan kedua belah pihak. 2.3.3
Karakteristik kemitraan Karakteristik
umum
kemitraan
cenderung
untuk
menggabungkan
kedekatan hubungan antar taraf, dimana para partner dapat bekerjasama dan
17
mencapai kesamaan dari hubungan itu, sehingga dapat diketahui seberapa kuat keseimbangan hubungan mereka. Sebagai contoh, dimana salah satu definisi kemitraan adalah sebagai suatu persekutuan individu-individu masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat ataupun organisasi/lembaga yang sepakat untuk bekerjasama dalam menjalankan suatu kegiatan, berbagi resiko, dan berbagi manfaat/keuntungan serta menilai kembali hubungan tersebut secara periodik dan merevisi kesepakatan apabila diperlukan (Tennyson 1998 dalam Mayers & Vermeulen 2002). Menurut Nawir et al. (2003), proses kemitraan merupakan proses berkelanjutan yang dinamis dalam rangka menuju suatu keadaan yang saling menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat. Salah satu alasan ekonomi dari hubungan kerjasama kemitraan adalah akan tercipta perusahaan yang berskala besar, sehingga perusahaan akan lebih efisien dan lebih kompetitif daripada skala kecil (Oktaviani & Daryanto 2001). Tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kemitraan, adalah (1) meningkatkan pendapatan usaha kecil dan masyarakat, (2) meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan, (3) meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha kecil, (4) meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, wilayah dan nasional, (5) memperluas kesempatan kerja, dan (6) meningkatkan ketahanan ekonomi nasional (Hafsah 2000). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan bisnis yang terjadi dalam kemitraan harus mampu menghasilkan integrasi bisnis yang saling berkaitan dan menjamin terciptanya keseimbangan, keselarasan, keterpaduan yang dilandasi saling menguntungkan, saling membutuhkan dan saling membesarkan. Di samping itu, kemitraan harus mengandung konsekuensi peningkatan nilai lebih pada semua elemen mulai dari pengadaan sarana produksi, usaha tani, pengolahan hasil, distribusi, dan pemasaran. Dengan kata lain, kemitraan seharusnya mengandung makna kerjasama sinergi yang menghasilkan nilai tambah (Hafsah 2000).
18
2.3.4
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemitraan Unsur-unsur
diidentifikasikan
penting
sebagai
yang
berkaitan
faktor-faktor
yang
dengan perlu
kemitraan,
dapat
diperhatikan
untuk
terlaksananya suatu kerjasama antar badan usaha yang sehat dan bermanfaat, yaitu: 1. Bargaining power suatu badan usaha, yang dicerminkan oleh kemampuan internal badan usaha dan kekuatan yang berasal dari luar. Kemampuan internal tampak pada kemampuan badan usaha di bidang manajemen, permodalan, aksebilitas terhadap pasar dan penguasaan teknologi usaha tersebut. Sedangkan kekuatan yang diperoleh dari luar dapat berupa kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan bidang usaha tertentu yang menguntungkan posisi suatu badan usaha. 2. Kebutuhan/kepentingan
masing-masing
pihak
yang
bekerjasama
sehingga kerjasama berjalan secara efektif.
2.3.5
Azas kemitraan Kemitraan berdasarkan pada persamaan kedudukan, keselarasan dan
peningkatan keterampilan kelompok mitra oleh perusahaan mitra melalui perwujudan sinergi kemitraan yaitu hubungan yang: 1. Saling memerlukan dalam arti perusahaan mitra memerlukan pasokan bahan baku dan kelompok mitra memerlukan penampungan hasil dan bimbingan. 2. Saling memperkuat dalam arti baik kelompok mitra maupun perusahaan mitra sama-sama memperhatikan kedudukan masingmasing dalam peningkatan daya usahanya 3. Saling menguntungkan yaitu baik kelompok mitra maupun perusahaan mitra memperoleh peningkatan pendapatan dan kesinambungan usaha. Menurut Hermawan (1999) azas dalam kemitraan adalah adanya azas kesejajaran kedudukan mitra, azas saling membutuhkan dan azas saling menguntungkan, selain itu diperlukan pula adanya azas saling mematuhi etika bisnis kemitraan.
19
2.3.6
Kendala-kendala kemitraan Dalam pelaksanaan kemitraan sering menghadapi berbagai kendala.
Menurut Badan Agribisnis Departemen Pertanian (1995), hal-hal yang menjadi kendala tercapainya tujuan kemitraan antara lain: 1. Adanya struktur pasar monopolistic khususnya pada kerjasama agribisnis, yang mengharuskan petani untuk menjual seluruh hasil produksinya kepada perusahaan mitra usahanya, sehingga memberi peluang bagi perusahaan untuk menekan harga produk tersebut. Hal ini dapat diatasi dengan membentuk organisasi petani dalam wadah koperasi. 2. Keterbatasan kemampuan yang dimiliki petani sebagai pelaku usaha, dalam berbagai hal, seperti tingkat pendidikan yang rendah, kemampuan manajerial, akses terhadap modal dan informasi yang rendah.