II-1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dijabarkan dasar teori yang terkait dengan pelaksanaan tugas akhir yang meliputi teori tentang manajemen kinerja, sistem pengukuran kinerja, balanced scorecard, model pembobotan Borda, model Objective Matrix.
2.1 Manajemen Kinerja Manajemen kinerja (performance management) merupakan proses yang dirancang untuk mengelola kinerja organisasi, kelompok kerja, dan individu di bawah pengendalian
manajer
[KEM05].
Tujuan
manajemen
kinerja
adalah
untuk
meningkatkan aspek-aspek kinerja seperti prestasi, pengetahuan, keterampilan dan kompetensi lainnya, serta efektivitas kerja sehari-hari.
Lebih lanjut, manajemen kinerja mencoba mengintegrasikan tujuan dari berbagai pihak yang terkait dalam organisasi, yaitu organisasi, individu, dan kelompok kerja dengan tetap berpegang pada nilai-nilai yang dianut oleh organisasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa manajemen kinerja dianggap potensial untuk menunjang perubahan di masa yang akan datang [KEM05]. Demikian pula menurut Bititci et al (1997), manajemen kinerja seharusnya dipandang sebagai sebuah proses bisnis kunci yang memfokuskan pada keadaan dan prospek masa depan bagi perusahaan [KEM05].
2.2 Sistem Pengukuran Kinerja Pada bagian ini akan dibahas lebih detil definisi tentang pengukuran kinerja sebagai alat pengukur kegiatan operasional dan perkembangannya yang terbagi ke dalam beberapa periode waktu.
II-1
II-2
2.2.1 Definisi Pengukuran Kinerja Penilaian/ pengukuran kinerja adalah penentuan secara periodik efektivitas operasional suatu organisasi berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Menurut Atkinson, penilaian kinerja adalah pengukuran kinerja dari suatu aktivitas ataupun suatu rantai nilai. Sedangkan menurut U.S. General Accounting Office, pengukuran kinerja dapat didefiniskan sebagai suatu aktivitas monitoring dan reporting secara terus menerus terhadap pencapaian program terutama kemajuan ke arah pencapaian tujuan (goals). Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa sistem pengukuran kinerja dipergunakan oleh organisasi untuk mengetahui dan menganalisis kinerja organisasi dalam pencapaian tujuan organisasi.
Efektivitas sistem pengukuran ditentukan dari kemampuan memenuhi tujuan dari pengukuran kinerja tersebut. Menurut Selleheim, kriteria sistem pengukuran kinerja yang efektif memenuhi beberapa kriteria berikut [KEM05]: a. Dipicu oleh permintaan b. Sistem harus mendukung strategi organisasi dan faktor sukses penting yang digunakan oleh manajemen c. Fleksibel untuk berubah d. Sederhana dan mudah dipahami e. Mempertimbangkan faktor finansial dan nonfinansial f. Memberikan penegasan yang positif
Sedangkan menurut Horgen ukuran kinerja yang efektif mempunyai beberapa karakteristik, antara lain [KEM05]: a. Berhubungan dengan tujuan perusahaan b. Mempunyai perhatian yang seimbang antara jangka pendek dan jangka panjang. c. Menggambarkan aktivitas kunci manajemen d. Dipengaruhi oleh tindakan karyawan e. Mudah dipahami oleh karyawan f. Dipergunakan dalam evaluasi dan pemberian imbalan karyawan g. Bertujuan logis dan merupakan pengukuran yang mudah
II-3
h. Digunakan secara konsisten dan teratur
2.2.2 Perkembangan Sistem Pengukuran Kinerja Usaha untuk menemukan sistem pengukuran kinerja yang tepat baru dimulai setelah sistem industri berkembang dengan pesat saat revolusi industri pada awal abad 19. Jadi, sistem pengukuran kinerja bukanlah merupakan isu baru dalam dunia industri. Menurut Suwignjo, perkembangan sistem pengukuran kinerja dikelompokkan menjadi beberapa periode, yaitu: a. Sistem pengukuran kinerja untuk mengukur efisiensi proses internal (18001900) Pada periode ini perusahaan membuat ukuran-ukuran untuk mengukur efisiensi dari proses aktivitas tunggal, seperti cost/lb, cost/hour, standard labour, cost dan standard material cost yang digunakan untuk mengukur efisiensi aktivitas manufaktur. b. Sistem pengukuran kinerja untuk mengukur profitabilitas unit organisasi dan organisasi secara keseluruhan (1900-1925) Pembentukan usaha yang terintegrasi secara vertikal (vertically integrated firms) pada masa ini didorong oleh keberhasilan dalam menggabungkan beberapa singlestage, domestic processes menjadi suatu perusahaan dengan aktivitas tunggal. Beberapa aktivitas seperti manufacturing, purchasing, transportation, dan distribution yang sebelumnya merupakan aktivitas independen, sekarang menjadi aktivitas-aktivitas terintegrasi dari perusahaan dengan berbagai aktivitas (multiactivity organization). Hal tersebut menyebabkan perlunya ukuran kinerja baru yang bisa digunakan untuk mengintegrasikan berbagai ukuran kinerja diperlukan. Pada akhirnya DuPont menemukan Return On Investment (ROI) yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja unit-unit organisasi dan kinerja perusahaan secara keseluruhan. c. Relevance lost (1925-1980) Sampai tahun 1925, seluruh ukuran kinerja tradisional untuk mengukur biaya produksi dan profitabilitas perusahaan seperti biaya pembuatan produk dan variasinya, ROI, profitability dan rasio-rasio keuangan yang lain telah ditemukan.
II-4
Tidak ada inovasi fundamental dari pengukuran kinerja yang terjadi pada periode ini, meskipun terjadi perubahan-perubahan pada lingkungan bisnis. d. Perbaikan sistem akuntansi biaya dan pembuatan sistem pengukuran kinerja individual nonfinansial (1980-1990) Sistem akuntansi biaya tradisional tidak mampu lagi untuk menyediakan informasi yang cepat, akurat, dan relevan yang dapat digunakan oleh manajer untuk mengontrol operasi perusahaan dan menstimulasi dengan tepat perilaku karyawan. Orang-orang mulai mencari sistem akuntansi biaya dan sistem pengukuran kinerja yang baru. Activity-Based Costing ditemukan untuk dapat menghitung penyerapan biaya yang lebih akurat. Manajer dan peneliti akhirnya mulai menyadari bahwa kinerja finansial bukanlah merupakan satu-satunya ukuran kinerja yang menjamin kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang. Banyak ukuran kinerja lain seperti kualitas, kecepatan pengiriman, dan fleksibilitas telah menjadi suatu indikator kinerja yang tidak kalah penting dari indikator finansial. Oleh karena itu, manajer mulai menggunakan ukuran kinerja nonfinansial di samping ukuran finansial, tetapi kedua ukuran kinerja tersebut masih digunakan secara sendirisendiri (belum terintegrasi). e. Sistem pengukuran kinerja yang terintegrasi (1990-sekarang) Para peneliti menyadari bahwa indikator kinerja finansial dan nonfinansial harus dibentuk ke dalam suatu bagian sistem pengukuran kinerja yang terintegrasi dan koheren dan kedua indikator tersebut harus dipergunakan secara seimbang. Berdasarkan pemikiran itu, berkembang penelitian-penelitian untuk membangun sistem pengukuran kinerja yang terintegrasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Bititci et al (1997) bahwa sistem pengukuran kinerja lama yang hanya melakukan pengukuran kinerja finansial memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut: 1. Belum mampu memacu perbaikan yang kontinu 2. Tidak berorientasi pada strategi 3. Tidak secara langsung mendukung proses perubahan 4. Tidak ada ukuran kinerja nonfinansial yang juga diperlukan
II-5
2.3 Balanced Scorecard Pembahasan balanced scorecard yang selanjutnya disingkat menjadi BSC dimulai dengan pengertian BSC secara umum dan akan dilanjutkan ke dalam masing-masing perspektif BSC, yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal, dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan.
2.3.1 Pengertian Balanced Scorecard Definisi mengenai balanced scorecard (BSC) adalah dari kata benda “score” [OLV99] yang mengandung makna penghargaan atas poin-poin yang dihasilkan. Dalam konteks kata kerja, “score” berarti memberi angka/ nilai. Pengertian yang lebih luas, scorecard berarti pengukuran atau pemberian nilai atas segala sesuatu yang dihasilkan. Jadi, maksud balanced scorecard adalah bahwa “score” tersebut harus mencerminkan keseimbangan antara sejumlah elemen penting dalam kerja.
Gambar II.1 Empat Perspektif Balanced Scorecard
Balanced scorecard [KAP00] merupakan suatu set/ seperangkat alat pengukuran yang memberikan kepada manajer atas (top manager) sudut pandang bisnis secara cepat, tetapi menyeluruh termasuk pengukuran finansial yang akan memberi hasil dari tindakan yang telah dilakukan, melengkapi pengukuran finansial dengan pengukuran operasional pada kepuasan pelanggan, proses internal, dan inovasi organisasi serta pertumbuhan kegiatan, dimana pengukuran operasional ini yang akan menggerakkan performansi finansial masa depan. Balanced scorecard sebagai pengukuran dan sistem manajemen memandang performansi unit bisnis dari empat perspektif, yaitu finansial,
II-6
pelanggan, proses internal bisnis, dan pembelajaran dan pertumbuhan seperti terlihat pada Gambar II.1.
2.3.2 Perspektif-Perspektif Balanced Scorecard BSC merupakan sekumpulan ukuran yang memberikan informasi kinerja bisnis dengan cepat dan komprehensif dan dilakukan dengan empat perspektif, yaitu perspektif keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, dan pertumbuhan dan pembelajaran. Sebagai kerangka kerja operasionalisasi strategi, penjabaran visi, misi, dan strategi ke dalam empat perspektif BSC dimaksudkan untuk menjawab empat pertanyaan pokok, yaitu:
1. Bagaimana penampilan perusahaan di mata pemegang saham? (perspektif keuangan) 2. Bagaimana pandangan para pelanggan terhadap perusahaan? (perspektif pelanggan) 3. Proses bisnis apa yang harus ditingkatkan/ diperbaiki perusahaan? (perspektif proses bisnis internal) 4. Apakah perusahaan dapat melakukan perbaikan dan menciptakan nilai secara berkesinambungan? (perspektif pembelajaran dan pertumbuhan) 2.3.2.1 Perspektif Keuangan Pengukuran kinerja keuangan akan menunjukkan apakah perencanaan dan pelaksanaan strategi memberikan perbaikan yang mendasar bagi keuntungan perusahaan. Perbaikanperbaikan itu tercermin dalam sasaran-sasaran yang secara khusus berhubungan dengan keuntungan yang terukur, pertumbuhan usaha, dan nilai pemegang saham. Untuk perusahaan yang berorientasi profit, maka perspektif keuangan merupakan fokus untuk semua tujuan pengukuran pada tiga perspektif lainnya. Dalam menjawab pertanyaan, “Bagaimana penampilan perusahaan di mata pemegang saham?” maka kinerja keuangan harus semakin baik sehingga penampilan perusahaan atau penciptaan nilai di mata pemegang saham perusahaan (shareholder value) akan semakin baik pula. Terdapat dua jenis motif strategi seperti terlihat pada Gambar II.2 yaitu strategi pertumbuhan pendapatan (revenue growth strategy) dan strategi produktivitas (productivity strategy). Strategi pertumbuhan pendapatan berfokus pada membangun
II-7
sumber-sumber pendapatan dan keuntungan baru bagi perusahaan. Secara umum, motif strategi pertumbuhan pendapatan mempunyai dua pilihan, yaitu: Improve Shareholder Value
Revenue Growth Strategy
Alternatif Strategy : - Build the Franchise - Increase Customer Value
Productivity Strategy
Alternatif Strategy : - Improve Cost Structure - Improve Asset Utilization
Gambar II.2 Model Umum Perspektif Keuangan
1. Membangun franchise, yaitu membangun sumber-sumber pendapatan baru melalui pasar baru, produk baru, atau konsumen baru.
Strategi dalam kelompok ini
membuat perubahan-perubahan yang paling besar dalam perusahaan dan membutuhkan waktu paling lama dalam pelaksanaannya. 2. Menaikkan nilai pelanggan, yaitu bekerja dengan pelanggan yang telah ada sebelumnya untuk memperluas hubungan mereka dengan perusahaan.
Strategi
dalam kelompok ini cenderung memiliki jangka waktu menengah dalam pelaksanaannya dan berfokus pada proses-proses seperti cross selling dan penyediaan solusi kepada pelanggan untuk memperdalam hubungan. Strategi produktivitas mengutamakan pelaksanaan yang efisien terhadap aktivitasaktivitas operasional dalam melayani konsumen yang telah ada. Secara umum, motif strategi produktivitas ini juga memiliki dua komponen, yaitu: 1. Perbaikan struktur biaya yaitu menurunkan biaya-biaya langsung dari produk dan atau jasa dengan cara pengurangan biaya tak langsung dan pemakaian secara bersama sumber daya antara unit bisnis lain untuk menciptakan sinergi. 2. Perbaikan utilisasi aset yaitu mengurangi working dan fixed capital yang dibutuhkan untuk mendukung bisnis perusahaan dengan utilisasi aset yang lebih besar, akuisisi yang lebih hati-hati, serta pembagian yang optimal dari aset.
II-8
2.3.2.2 Perspektif Pelanggan Perspektif pelanggan memiliki dua kelompok pengukuran, yaitu: 1. Customer core measurement, seperti terlihat pada Gambar II.3, dengan beberapa komponen pengukuran, yaitu: a. Market share: pengukuran ini mencerminkan bagian yang dikuasai perusahaan atas keseluruhan pasar yang ada, jumlah penjualan, dan volume unit penjualan b. Customer
retention:
mengukur
tingkat
di
mana
perusahaan
dapat
mempertahankan hubungan dengan konsumen c. Customer acquisition: mengukur tingkat di mana suatu unit bisnis mampu menarik pelanggan baru atau memenangkan bisnis baru d. Customer satisfaction: menaksir tingkat kepuasan pelanggan terkait dengan kriteria kinerja spesifik dalam value proposition
e. Customer profitability: mengukur laba bersih dari seorang pelanggan atau segmen setelah dikurangi biaya yang khusus diperlukan untuk mendukung pelanggan tersebut
Core Measurement Market Share
Customer Profitability
Customer Aquisition
Customer Retention
Customer Satisfaction
Gambar II.3 Customer Core Measurement
2. Customer value proposition, merupakan pemicu kinerja yang didasarkan pada atribut sebagai berikut: a. Product service attributes: pelanggan memiliki preferensi yang berbeda-beda atas produk yang ditawarkan, contohnya ada pelanggan yang mengutamakan fungsi dari produk, kualitas, atau bahkan harga yang murah. b. Customer relationship: menyangkut perasaan pelanggan terhadap produk yang ditawarkan perusahaan.
Perasaan pelanggan sangat dipengaruhi oleh
responsivitas dan komitmen perusahaan terhadap pelanggan berkaitan dengan masalah waktu penyampaian.
II-9
c. Image and reputation: menggambarkan faktor-faktor intangible yang menarik seorang konsumen untuk berhubungan dengan perusahaan, dapat melalui iklan dan menjaga kualitas seperti yang dijanjikan. 2.3.2.3 Perspektif Proses Bisnis Internal Proses bisnis internal dapat dianalisis dengan menggunakan analisis rantai (value chain) seperti terlihat pada Gambar II.4. Manajemen mengidentifikasi proses bisnis internal yang kritis yang harus diunggulkan perusahaan sehingga memungkinkan manajer untuk mengetahui seberapa baik bisnis mereka berjalan dan apakah produk dan atau jasa yang dihasilkan sesuai dengan spesifikasi pelanggan.
Gambar II.4 Analisis Rantai Proses Bisnis Internal
Perspektif proses bisnis internal terbagi ke dalam tiga bagian utama, yaitu: a. Proses inovasi Di dalam proses inovasi ini unit bisnis menggali pemahaman tentang kebutuhan laten dari pelanggan dan menciptakan produk dan jasa yang mereka butuhkan. Selanjutnya perusahaan mendesain dan mengembangkan produk/ jasa baru yang mampu meningkatkan pasar dan meraih pelanggan baru. b. Proses operasi Proses operasi adalah proses untuk membuat dan menyampaikan produk/ jasa. Aktivitias proses operasi terbagi ke dalam dua bagian, yaitu proses pembuatan produk dan penyampaian produk kepada pelanggan. Pengukuran kinerja yang terkait dalam proses operasi adalah waktu, kualitas, dan biaya. c. Proses pelayanan purnajual Proses ini mencakup jasa pelayanan pada pelanggan setelah penjualan produk/ jasa tersebut dilakukan dan berkaitan dengan penyelesaian masalah yang timbul, menindaklanjuti secara proaktif, tepat waktu, dan memberikan sentuhan pribadi.
II-10
2.3.2.4 Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan Proses pembelajaran dan pertumbuhan, seperti terlihat pada Gambar II.5, ini bersumber dari faktor sumber daya manusia, sistem, dan prosedur organisasi. Ukuran perspektif ini dapat dibagi dalam tiga kelompok besar, yaitu: a. Employee capabilities Bagaimana para pegawai menyumbangkan segenap kemampuannya untuk organisasi. Untuk itu, perencanaan dan upaya implementasi reskilling pekerja yang menjamin kecerdasan dan kreativitasnya dapat dimobilisasi untuk mencapai tujuan organisasi. b. Information system capabilities Meskipun motivasi dan keahlian pekerja telah mendukung pencapaian tujuan-tujuan perusahaan, masih diperlukan informasi-informasi yang terbaik yang dapat mendukung kinerja pekerja. c. Motivation, empowerment, and alignment Perspektif ini penting untuk menjamin terciptanya proses berkesinambungan terhadap upaya pemberian motivasi dan inisiatif yang sebesar-besarnya bagi pekerja.
Core Measurement Result
Employee Retention
Employee Productivity
Employee Satisfaction
Enabler
Staff Competencies
Technology Infrastructure
Climate for Action
Gambar II.5 Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
2.4 Model Pembobotan Borda Borda merupakan model yang dapat digunakan dalam pembobotan dengan cara perankingan untuk setiap item untuk kemudian diformulasikan menjadi suatu bobot. Dalam model Borda ini, beberapa responden memberikan penilaian terhadap kriteria
II-11
dengan cara memberikan urutan rangking (R) dari angka 1 (satu) untuk kriteria yang paling penting sampai dengan N dimana N adalah jumlah kriteria untuk kriteria yang paling tidak penting [LIB05].
Dari urutan rangking (R) ini, setiap kriteria diberikan nilai (V) sesuai dengan rangkingnya dengan rumus sebagai berikut : Vi = N +1 – Ri….............................................(2.4)
dimana: i
= 1,2,3,….,N
Vi
= Nilai untuk kriteria i
N
= Jumlah kriteria
Ri
= Urutan rangking kriteria i
Nilai untuk kriteria dari satu responden ini dirata-ratakan dengan nilai kriteria dari responden yang lain sehingga didapatkan nilai rata-rata yang menunjukkan urutan preferensi dari kriteria yang dinilai.
2.5 Model Objective Matrix (OMAX) Model penilaian ini pertama kali dikembangkan di Oregon State University oleh seorang profesor produktivitas di Departement of Industrial Engineering yaitu James L. Riggs. Objectives matrix (OMAX) adalah suatu sistem pengukuran produktivitas parsial yang dikembangkan untuk memantau produktivitas dari tiap bagian perusahaan dengan kriteria produktivitas yang sesuai dengan keberadaan bagian tersebut. Model pengukuran produktivitas OMAX mengatasi masalah-masalah kerumitan dan kesulitan pengukuran produktivitas dengan mengkombinasikan seluruh kriteria produktivitas yang penting dalam suatu bentuk matriks yang terpadu dan saling terkait satu sama lain, sehingga mudah untuk dikomunikasikan.
II-12
Dalam pengukuran kinerja, metode ini dipergunakan dengan tujuan untuk mengatasi permasalahan yang terjadi pada saat pengukuran kinerja yang di dalamnya terdapat unsur manusia. Permasalahannya adalah pengaruh sifat manusia yang sulit diukur. Hal tersebut diatasi dengan menerjemahkan kinerja manusia ke dalam sesuatu yang lebih kuantitatif.
2.5.1 Pengukuran Kinerja dengan Objectives Matrix OMAX dilandasi dengan pernyataan bahwa produktivitas adalah fungsi dari faktorfaktor kinerja, dimana masing-masing unit memiliki dimensi khusus yang berbeda. Cara untuk mengukur produktivitasnya adalah dengan mengukur faktor-faktor yang mempengaruhi. OMAX dapat digunakan untuk mengukur unit-unit kerja baik dalam skala kecil maupun untuk keseluruhan perusahaan. Namun, hasil pengukuran kinerja dari unit-unit tersebut tidak dapat dikaitkan secara aditif untuk mempresentasikan kinerja dari induk unit-unit tersebut. Oleh karena itu, untuk mengukur keseluruhan organisasi harus dilakukan proses pembobotan dari unit-unit terkait [LIB05].
Model pengukuran OMAX memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan yang dimiliki OMAX antara lain:
Merupakan kombinasi dari pendekatan kualitatif dan kuantitatif
Dapat
dipergunakan
untuk
mengukur
semua
aspek
kinerja
yang
dipertimbangkan dalam unit kerja terkait
Indikator kinerja untuk setiap input dan output terdefinisi dengan jelas
Lebih fleksibel karena memasukkan pertimbangan manajemen dalam penentuan bobot
Perhitungan indikator kinerja cukup sederhana
Kemampuan untuk menormalisasi unit-unit pengukuran dari beberapa pengukuran
Fleksibilitas dalam mengakomodasi pengukuran kualitas, tidak terikat pada waktu, keamanan, sikap pekerja, produktivitas, dan hasil pencapaian
Kemampuan mengukur trade offs dan menghasilkan sebuah nilai kinerja keseluruhan
II-13
Sedangkan kekurangan dari OMAX adalah:
Subjektivitas terkadang dilakukan dalam penentuan objective score untuk tiap level indikator kinerja
Untuk mendapatkan indeks kinerja yang diharapkan maka dibutuhkan suatu standar pengukuran dan bersifat berkesinambungan
2.5.2 Format dan Fungsi Objectives Matrix Format dari stuktur objectives matrix [RIG83], dapat dilihat pada Gambar II.6, terdiri dari tiga bagian sebagai berikut : A.
Defining Faktor-faktor yang menentukan kinerja dari suatu unit kerja didefinisikan sebagai indikator kinerja. Notasi a, pencapaian sesungguhnya dari suatu unit kerja selama periode tertentu dimasukkan dalam baris performance
B.
Quantifying Badan matriks yang terdiri dari level pencapaian berkirsar dari 0 untuk performance yang tidak memuaskan hingga 10 untuk pencapaian superior. Notasi b1, target kinerja yang realistis untuk dicapai oleh unit kerja selama periode tertentu diberi nilai 10. Notasi b2, target kinerja ketika matriks berada dalam tahap inisiasi diberi nilai 3 untuk semua indikator Notasi b3, target kinerja yang paling rendah atau tidak memuaskan dari unit kerja selama periode tertentu diberi nilai 0.
C.
Monitoring Indikator kinerja adalah nilai yang diperoleh dengan mengendalikan setiap nilai dari indikator dengan bobotnya. Indeks adalah total nilai dari perkalian antara nilai dengan bobot dari setiap kriteria pengukuran kinerja. Notasi c1, merupakan bobot kepentingan yang diberikan kepada semua indikator untuk menunjukkan dampak relatif indikator tersebut terhadap tujuan pengukuran kinerja dari unit kerja Notasi c2, merupakan indikasi dari kinerja unit kerja ditunjukkan dengan perubahan dari indikator kinerja.
II-14
Kriteria performance Performance Realistic Performace Objective
K1 a b1
K2
K3
K4
Score 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
b2
b3 Score Weight Value
A
B
c1
C Current Performance Indicator Previous Performance Indicator Index
c2
Gambar II.6 Struktur Dasar Objectives Matrix
2.5.3 Skor Kinerja Pada badan OMAX terdapat 11 tingkat pencapaian untuk setiap indikator, dimana satu indikator menempati satu kolom. Skala kinerja OMAX berkisar antara skala 0 sampai 10 dan terdapat tiga skala penting, yaitu :
Level 0: level terendah yang dicapai kriteria tersebut selama periode tertentu
Level 3 : indikasi hasil operasi yang menunjukkan kinerja pada saat skala rating dibuat atau pada tahap inisiasi
Level 10 : estimasi realistis dari hasil yang dapat dicapai pada masa mendatang
Level 0 dan level 3 didefinisikan sebagai benchmark, sedangkan level 10 merupakan tantangan. Pemberian nilai pada tiap level merepresentasikan pencapaian dari tujuan pencapaian kinerja.
2.6 Basis Pengetahuan Pengetahuan dapat didefinisikan sebagai proses mengubah data menjadi informasi yang berarti dan diwujudkan dalam struktur yang lebih besar yang terdiri dari informasiinformasi yang saling terkait [WIJ07]. Dengan kata lain, pengetahuan dapat diartikan proses memahami keterkaitan di antara sekumpulan informasi [WIJ07]. Sekumpulan pengetahuan yang terdiri dari informasi-informasi yang terkait disebut sebagai basis
II-15
pengetahuan (knowledge base). Di dalam basis pengetahuan, faktor hirarki merupakan faktor yang sangat dipertimbangkan sehingga pada umumnya basis pengetahuan direpresentasikan dalam struktur pohon atau dikenal dengan istilah knowledge tree.
Ciri-ciri utama yang dimiliki oleh basis pengetahuan adalah sebagai berikut: 1. Aspek hirarki sangat diperhatikan dan selalu disimpan 2. Informasi (kesimpulan) yang tidak secara eksplisit dituliskan pada basis pengetahuan dapat diberikan karena adanya proses inferensi 3. Data yang disimpan berisi data lengkap dengan struktur pengetahuannya dan lebih mendekati bahasa yang dipahami manusia
Proses penarikan kesimpulan dalam sebuah basis pengetahuan dikenal dengan istilah inferensi. Mesin inferensi adalah mesin yang digunakan untuk melakukan penarikan kesimpulan dari sekumpulan fakta dan aturan yang tersimpan pada basis pengetahuan dan tergantung pada bentuk representasi pengetahuannya. Dalam proses penarikan kesimpulan, sebuah mesin inferensi perlu memperhitungkan strategi inferensi yang akan dijalankan dan mekanisme kendali dari proses penalaran. Berikut ini akan dibahas lebih lanjut mengenai aturan, strategi pencarian, dan mekanisme inferensi.
2.6.1 Aturan Aturan (rule) umumnya digunakan untuk merepresentasikan suatu hubungan atau keterkaitan. sebuah aturan terdiri dari dua bagian, bagian IF dinamakan anteseden (berisi premis atau kondisi) dan bagian THEN dinamakan konsekuen (berisi konklusi atau aksi) [NEG02] dan terlihat pada Gambar II.7.
Gambar II.7 Aturan (rule)
II-16
2.6.2 Strategi Pencarian Strategi pencarian yang sering digunakan dalam mesin inferensi adalah DFS (Depth First Search) dan BFS (Breadth First Search). Pada DFS, mesin inferensi akan menggali semua kemungkinan dari sebuah simpul secara terperinci terlebih dahulu. Pengembangan simpul dilakukan dari akar ke sebuah simpul anak, begitu seterusnya hingga didapatkan simpul yang tidak dapat dikembangkan lagi. Sedangkan pada BFS, pencarian dilakukan secara melebar dengan mengembangkan simpul-simpul yang berada pada satu tingkat dalam pohon pencarian sebelum melanjutkan pengembangan simpul anak yang berada pada tingkat berikutnya.
2.6.3 Mekanisme Inferensi Mekanisme inferensi yang sering digunakan dalam proses penalaran adalah forward chaining dan backward chaining. Pada forward chaining, proses penalaran dimulai dengan mencocokkan data atau fakta yang telah diketahui dengan bagian anteseden aturan. Aturan yang sesuai akan diaktivasi dan bagian konsekuen akan dijalankan dan siklus pencocokan akan berhenti ketika tidak ada aturan lagi yang tersisa untuk dibangkitkan.
Berbeda dengan forward chaining yang dipengaruhi data, backward chaining bekerja dengan dipengaruhi tujuan (goal). Mesin inferensi mencoba menemukan fakta-fakta yang mendukung pembuktian hipotesis awal. Bagian konsekuen dari aturan diperiksa, kemudian aturan yang sesuai diaktivasi dan bagian atesendennya digunakan kembali sebagai fakta tambahan pada proses pencocokan berikutnya hingga diperoleh faktafakta yang mendukung tercapainya tujuan tersebut.
Pemilihan mekanisme inferensi sangat bergantung pada jenis persoalan yang ingin dipecahkan. Seringkali kedua metode dapat digunakan untuk menyelesaikan sebuah persoalan, tetapi pertanyaannya adalah metode mana yang lebih baik kompleksitas waktu dan ruangnya. Berikut beberapa acuan yang dapat digunakan dalam pemilihan mekanisme inferensi [ANG04], yaitu:
II-17
1. Forward chaining digunakan untuk menghasilkan konklusi atau mencari akibat. Sedangkan backward chaining digunakan untuk membuktikan sebuah hipotesis atau mencari penyebab. 2. Jika terdapat banyak lintasan untuk mencapai suatu kesimpulan tertentu dan jenis kesimpulan yang mungkin diperoleh dari fakta yang tersedia relatif sedikit maka sebaiknya digunakan metode forward chaining. Sebaliknya apabila jenis kesimpulan yang mungkin diperoleh dari fakta yang tersedia relatif banyak, tetapi lintasan untuk mencapai sebuah kesimpulan sedikit atau bahkan unik akan lebih baik digunakan metode backward chaining. 3. Jika diinginkan semua kesimpulan yang mungkin dicapai dari fakta-fakta yang tersedia akan lebih baik digunakan metode forward chaining. Namun, jika yang diinginkan hanyalah memastikan apakah sebuah kesimpulan dari beberapa kesimpulan yang ada bernilai benar maka sebaiknya digunakan backward chaining.