BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Manajemen
2.1.1
Pengertian Manajemen Manajemen merupakan alat untuk pencapaian tujuan yang diinginkan.
Manajemen yang tepat akan memudahkan terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, masyarakat. Manajemen berasal dari kata to manage artinya mengatur. Pengaturan dilakukan melalui proses dan diaturnya berdasarkan urutan dari fungsi-fungsi manajemen itu (Perencanaan, Pengarahan, Pengendalian). Jadi, manajemen itu merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan. Adapun unsur-unsur manajemen terdiri dari Men, Money, Method, Materials, Machine, dan Market (6M). Dalam suatu organisasi atau perusahaan, manajemen merupakan “alat” dan “wadah” (tempat) untuk mengatur 6M dan semua aktifitas proses perusahaan dalam mencapai tujuannya. Walaupun manajemen hanya merupakan alat saja, tetapi harus diatur sebaik-baiknya, karena jikan manajemen ini tepat makan tujuan optimal dapat diwujudkan, pemborosan terhindari, dan semua potensi yang dimiliki akan lebih bermanfaat. Untuk lebih jelasnya mengenai pengertian manajemen, penulis mengutip beberapa definisi yang terdapat pada salah satu buku sebagai berikut : Menurut G.R Terry (1996 : 2) menyatakan bahwa : “Manajemen adalah suatu proses yang khas yang terdiri dari tindakan-tindakan peerencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditentukan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya”.
10
11
Sedangkan pendapat Hasibuan (2007 : 1) : “Manajemen
adalah
ilmu
dan
seni
yang
mengatur
proses
pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu”. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
2.1.2
Bidang-bidang Manajemen Unsur-unsur manajemen (tools of management) yang terdiri dari man,
money, method, materials, machines dan market (6M) telah berkembang menjadi bidang manajemen yang mempelajari lebih mendalam perannya dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Bidang-bidang manajemen dikenal atas : 1. Manajemen Sumber Daya Manusia (unsure Man) 2. Manajemen Keuangan (unsure Money) 3. Manajemen Operasional (unsure Materials and Machines) 4. Manajemen Pemasaran (unsure Market) 5. Manajemen Strategik (unsure Methods) 2.2.
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM)
2.2.1
Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan sebagai salah satu bentuk organisasi membutuhkan sumber
daya manusia dalam merealisasikan tujuannya, karena manusia merupakan faktor yang terpenting serta selalu berperan aktif dan dominan dalam setiap kegiatan maupun perilaku organisasi. Sumber Daya Manusia merupakan komponen dari perusahaan yang mempunyai arti yang sangat penting. Sumber daya manusia menjadi sumber penentu dari perencaaan tujuan suatu perusahaan karena fungsinya sebagai inti dari kegiatan perusahaan. Tanpa adanya sumber daya manusia maka kegiatan
12
perusahaan tidak akan berjalan sebagaimana mestinya meskipun pada saat ini otomatisasi telah memasuki setiap perusahaan, tetapi apabila pelaku dan pelaksana tersebut yaitu manusia, tidak memberikan peranan yang diharapkan maka otomatisasi itu akan menjadi sia-sia. Untuk lebih memperjelas pengertian dari manajemen sumber daya manusia, berikut ini penulis mengutip beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli :
Menurut Stoner dan Freeman (1989 : 329) yaitu : “Human resources management is the management that deals with recruitmen, placement, training and development of organizational members”. Yang dapat diartikan sebagai berikut : “Manajemen Sumber Daya Manusia adalah fungsi manajemen yang berhubunga dengan perekrutan, penempatan, pelatihan, dan pengembangan, anggota organisasi.” Menurut Hasibuan (2001: 10) yaitu : “Manajemen sumber daya manusia adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan masyarakat” Menurut Mangkunegara (2001: 2) yaitu : “Manajemen
personalia
pengorganisasian,
adalah
pengkoordinasian,
suatu
perencanaan,
pelaksanaan,
dan
pengawasan terhadap pengadaan, pengembangan, pemberian balas jasa, pengintergrasian, pemeliharaan, dan pemisahan tenaga kerja dalam rangka mencapai tujuan perusahaan”.
Dari penjelasan diatas serta pendapat-pendapat para ahli tentang definisi Manajemen Sumber Daya Manusia, penulis berusaha mencoba mengartikan definisi Manajemen Sumber Daya Manusia sebagai suatu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan atas pengadaan, pengembangan,
13
kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan, dan pemutus hubungan kerja yang dimaksud untuk mencapai tujuan organisasi perusahaan secara terpadu.
2.3
Ruang Lingkup Manajemen Sumber Daya Manusia Menurut Hasibuan dalam buku Manajemen Sumber Daya Manusia
(2003:21), mengungkapkan bahwa ruang lingkup Manajemen Sumber Daya Manusia menjadi 2 fungsi pokok, kedua fungsi tersebut adalah : a. Fungsi Manajerial b. Fungsi Operasional 2.3.1
Fungsi Manajerial a. Perencanaan (planning) Perencanaan adalah merencanakan tenaga kerja secara efektif serta efisien agar sesuai dengan kebutuhan perusahaan dalam membantu terwujudnya tujuan. Perencanaan dilakukan dengan menetapkan program
kepegawaian.
pengorganisasian, pengembangan,
Program
pengarahan, kompensasi,
kepegawaian pengendalian,
pengintegrasian,
meliputi pengadaan,
pemeliharaan,
kedisiplinan, dan pemberhentian karyawan. Program kepegawaian yang baik akan membantu tercapainya tujuan perusahaan, karyawan, dan masyarakat. b. Pengorganisasian (Organizing) Pengorganisasian adalah kegiatan untuk mengorganisasi semua karyawan dengan menetapkan pembagian kerja, hubungan kerja, delegasi wewenang, integrasi, dan koordinasi dalam bagian organisasi. c. Pengarahan (Directing) Pengarahan adalah kegiatan mengendalikan semua karyawan, agar mau bekerja sama dan bekerja efektif serta efisien dalam membantu tercapainya tujuan perusahaan, karyawan, dan masyarakat. Pengarahan dilakukan pimpinan dengan menugaskan bawahan agar mengerjakan semua tugasnya dengan baik.
14
d. Pengendalian (Controlling) Pengendalian adalah kegiatan mengendalikan semua karyawan agar menaati peraturan-peraturan perusahaan dan bekerja sesuai dengan rencana. Apabila terdapat penyimpangan atau kesalahan, diadakan tindakan perbaikan dan penyempurnaan rencana. Pengendalian karyawan meliputi kehadiran, kedisiplinan, perilaku, kerja sama. Pelaksanaan pekerjaan, dan menjaga situasi lingkungan pekerjaan.
2.3.2
Fungsi Operasional a. Pengadaan (Procurement) Pengadaan adalah proses penarikan, seleksi, penempatan, orientasi, dan induksi untuk mendapatkan karyawan yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Pengadaan yang baik akan membantu terwujudnya tujuan. b. Pengembangan (Development) Pengembangan adalah peningkatan keterampilan teknis, teoritis, konseptual dan moral karyawan melalui pendidikan dan pelatihan. Pendidikan dan pelatihan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan pekerja masa kini maupun masa depan. c. Kompensasi (Compensation) Kompensasi adalah pemberian balas jasa langsung (direct) dan tidak langsung (indirect), uang atau barang kepada karyawan sebagai imbalan jasa yang diberikan kepada perusahaan. Prinsip kompensasi adalah adil dan layak. Adil diartikan dapat memenuhi kebutuhan primernya serta berpedoman pada batas upah minimum pemerintah dan berdasarkan internal dan eksternal konsistensi. d. Pengintegrasian (Intregation) Pengintegrasian adalah kegiatan untuk mempersatukan kepentingan perusahaan dan kebutuhan karyawan, agar tercipta kerja sama yang serasi dan saling menguntungkan. Perusahaan memperoleh laba,
15
karyawan dapat memenuhi kebutuhan dari hasil pekerjaanya. Pengintegrasiaan merupakan hal yang penting dalam MSDM, karena mempersatukan dua kepentingan yang bertolak belakang. e. Pemeliharaan (maintenance) Pemeliharaan adalah kegiatan untuk memelihara atau meningkatkan kondisi fisik, mental, dan loyalitas karyawan, agar mereka tetap mau bekerja sama sampai pensiun. Pemeliharaan yang baik dilakukan dengan program kesejahteraan yang berdasarkan kebutuhan sebagian besar karyawan serta berpedoman kepada internal dan eksternal konsistensi. f. Pemberhentian (Separation) Pemberhentian adalah putusnya hubungan kerja seseorang dari suatu perusahaan. Pemberhentian ini disebabkan oleh keinginan karyawan, keinginan perusahaan, kontrak kerja berakhir, pension, dan sebabsebab lainya. Dari uraian mengenai fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia di atas, dapat dijadikan suatu tahapan-tahapan yang saling berkaitan dan menunjang satu sama lain.
2.4
Stress Kerja
2.4.1 Pengertian Stress Salah satu masalah yang pasti akan dihadapi oleh setiap orang dalam kehidupan adalah stress yang harus diatasi. Tuntutan untuk dapat bekerja lebih baik dan cepat, mengharuskan manusia bekerja berlebihan guna memenuhi tuntutan tersebut. Akibat dari tuntutan-tuntutan pekerjaan dan kebutuhan hidupnya, manusia cenderung mengalami stress dalam kehidupan mereka. Stress atau dengan kata lain orang menafsirkan sebagai ”tekanan batin”, merupakan suatu bentuk alamiah dari tanggapan seseorang baik secara fisik maupun secara mental terhadap suatu perubahan di dalam lingkungannya. Stress
16
yang berkaitan dengan pekerjaan akan dapat menyebabkan ketidakpuasan, tetapi stress juga tidak buruk, stress juga mempunyai nilai positif. Para ahli mengatakan bahwa stress dapat timbul sebagai akibat tekanan atau ketegangan yang bersumber dari ketidakselarasan antara seseorang dengan lingkungannya. Dengan perkataan lain, apabila saran dan tuntutan tugas tidak selaras dengan kebutuhan dan kemampuan seseorang, ia akan mengalami stress. Biasanya stress semakin kuat apabila seseorang menghadapi masalah yang datangnya bertubi-tubi. Menurut Braham (dalam Handoyo 2001 : 68), gejala stress dapat berupa tanda-tanda berikut ini : 1. Fisik, yaitu sulit tidur atau tidur tidak teratur, sakit kepala, sulit buang air besar, adanya gangguan pencernaan, radang usus, kulit gatal-gatal, punggung terasa sakit, urat-urat pada bahu dan leher terasa tegang, keringat berlebihan, berubah selera makan, tekanan darah tinggi atau serangan jantung, kelihangan energi. 2. Emosional, yaitu marah-marah mudah tersinggung dan selalu sensitif, gelisah dan cemas, suasana hati mudah berubah-ubah, sedih, mudah menangis dan depresi, gugup, agresif terhadap orang lain dan mudah bermusuhan serta mudah menyerang, dan kelesuan mental. 3. Intelektual, yaitu mudah lupa, kacau pikirannya, daya ingat menurun, sulit untuk berkonsentrasi, suka melamun berlebihan, pikiran hanya dipenuhi satu pikiran saja. 4. Interpersonal, yaitu acuh dan mendiamkan orang lain, kepercayaan pada orang lain menurun, mudah mengingkari janji pada orang lain, senang mencari kesalahan orang lain atau menyerang dengan kata-kata, dan mudah menyalahkan orang lain. Sedangkan menurut Cary Cooper dan Alison Straw (1995 : 8-15) mengemukakan gejala stress dapat berupa tanda-tanda berikut ini :
17
1. Fisik, yaitu nafas memburu, mulut dan kerongkongan kering tangan lembab, merasa panas, otot-otot tegang, pencernaan terganggu, sembelit, letih yang tidak beralasan, sakit kepala, salah urat dan gelisah. 2. Perilaku, yaitu perasaan bingung, cemas dan sedih, jengkel, salah paham, tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa, gelisah, gagal, tidak menarik, kehilangan semangat, sulit konsentrasi, sulit berpikir jernih, sulit membuat keputusan, hilangnya kreatifitas, hilangnya gairah dalam penampilan dan hilangnya minat terhadap orang lain. 3. Watak dan Kepribadian, yaitu sikap hati-hati menjadi cermat yang berlebihan, cemas menjadi lekas panik, kurang percaya diri menjadi rawan, penjengkel menjadi meledak-ledak. Sedangkan gejala stress di tempat kerja, yaitu meliputi : 1. Kepuasan kerja rendah 2. Kinerja yang menurun 3. Semangat dan energi menjadi hilang 4. Komunikasi tidak lancer 5. Pengambilan keputusan jelek 6. Kreatifitas dan inovasi kurang 7. Bergulat pada tugas-tugas yang tidak produktif Berdasarkan definisi tersebut di atas, penulis menyimpulkan bahwa stress seringkali timbul pada setiap orang, stress yang tidak diatasi dengan baik biasanya berakibat pada ketidakmampuan seseorang berinteraksi secara positif dengan lingkungannya, baik dalam arti lingkungan pekerjaan maupun di luarnya. Artinya karyawan yang bersangkutan akan menghadapi berbagai gejala negatif yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka dan berpengaruh pada prestasi kerjanya.
18
2.4.2 Pengertian Stress Kerja Menurut Mangkunegara (2005 : 28) bahwa : “Stress kerja adalah perasaan yang menekan atau merasa tertekan
yang
dialami
karyawan
dalam
menghadapi
pekerjaan". Menurut Rivai (2009 : 516) bahwa : ”Stress
kerja
menciptakan
adalah adanya
suatu
kondisi
ketegangan
ketidak-seimbangan
fisik,
yang yang
mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi seorang karyawan, sehingga terjadi stress”. Sedangkan Fathoni (2006 : 130) menyatakan bahwa : “Stress karyawan timbul akibat kepuasan kerja tidak terwujud dari pekerjaannya”. Dari beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa stress kerja adalah suatu keadaan dimana seseorang berada dalam kondisi pekerjaan yang tidak sesuai dengan kemampuannya sehingga mengakibatkan tekanan.
2.4.3 Faktor-Faktor Penyebab Stress Kerja Stress yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang menghadapi lingkungan. Sebagai hasilnya, pada diri para karyawan berkembang berbagai macam gejala stress yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka. Orang-orang yang mengalami stress bisa menjadi nervous dan merasakan kekhawatiran kronis. Mereka sering menjadi mudah marah dan agresif, tidak dapat rileks, atau menunjukkan sikap yang tidak kooperatif. Stress kerja dalam lingkungan pekerjaan dapat terjadi karena berbagai hal, baik yang berasal dalam lingkungan pekerjaan maupun yang berasal dari luar lingkungan pekerjaan. Menurut Fathoni (2006 : 130), faktor-faktor penyebab stress kerja adalah: 1. Beban kerja yang sulit dan berlebihan 2. Tekanan dan sikap pimpinan yang kurang adil dan wajar
19
3. Waktu dan peralatan kerja yang kurang memadai 4. Konfik antara pribadi dengan pimpinan atau kelompok kerja 5. Balas jasa yang terlalu rendah 6. Masalah-masalah keluarga seperti anak, istri, mertua, dan lainlainnya. Sedangkan menurut Robbins (2002:305) tingkat stress pada tiap orang akan menimbulkan dampak yang berbeda. Sehingga ada beberapa faktor penentu yang mempengaruhi tingkat stress seseorang. Faktor tersebut adalah : 1. Faktor Lingkungan Ketidakpastian ekonomi, ketidakpastian politik, dan ketidakpastian teknologi sangat berpengaruh pada eksistensi karyawan dalam bekerja. Tingkat ekonomi yang tidak menentu dapat menimbulkan perampingan pegawai dan PHK, sedangkan ketidakpastian politik menimbulkan keadaan yang tidak stabil bagi negara, dan inovasi teknologi akan membuat ketrampilan dan pengalaman seseorang akan menjadi usang dalam waktu yang pendek sehingga menimbulkan stress. Dengan ketiga faktor lingkungan tersebut karyawan akan dengan mudah mengalami stress. 2. Faktor Organisasional Beberapa hal yang dapat dikategorikan sebagai penyebab stress, yaitu: Tuntutan tugas, tuntutan peran, tuntutan antarpribadi, struktur organisasi, kepemimpinan organisasi. 3. Faktor Individual Berbagai hal di luar pekerjaan yang mengganggu terutama adalah masalah keluarga, masalah ekonomi pribadi, dan kepribadian. Menurut Davis dan Newstrom (dalam Margiati, 1999 : 73), stress kerja disebabkan : 1. Adanya tugas yang terlalu banyak Banyaknya tugas tidak selalu menjadi penyebab stress, akan mencadi sumber stress bila banyaknya tugas tidak sebanding
20
dengan kemampuan baik fisik maupun keahlian dan waktu yang tersedia bagi karyawan. 2. Supervisor yang kurang pandai. Seorang karyawan dalam menjalankan tugas sehari-harinya biasanya dibawah bimbingan sekaligus mempertanggungjawabkan kepada supervisor. Jika seorang supervisor pandai dan menguasai tugas bawahan, ia akan membimbing dan memberi pengarahan atau intruksi secara baik dan benar. 3. Terbatasnya waktu dalam mengerjakan pekerjaan. Karyawan
biasanya
mempunyai
kemampuan
normal
menyelesaikan tugas kantor atau perusahaan yang dibebankan kepadanya. Kemampuan berkaitan dengan keahlian, pengalaman, dan waktu yang dimiliki. Dalam kondisi tertentu, pihak atasan seringkali memberikan tugas dengan waktu yang terbatas. Akibatnya, karyawan dikejar waktu untuk menyelesaikan tugas sesuai waktu yang ditetapkan atasan. 4. Kurang mendapat tanggung jawab yang memadai Faktor ini berkaitan dengan hak dan kewajiban karyawan. Atasan sering memberikan tugas kepada bawahannya tanpa diikuti kewenangan (hak) yang memadai. Sehingga, jika harus mengambil keputusan harus berkonsultasi, kadang menyerahkan sepenuhnya pada atasan. 5. Ambiguitas peran Agar menghasilkan
performa
yang baik,
karyawan
perlu
mengetahui tujuan dari pekerjaan, apa yang diharapkan untuk dikerjakan serta scop dan tanggung jawab dari pekerjaan mereka. Saat tidak ada kepastian tentang definisi kerja dan apa yang diharapkan dari pekerjaannya akan timbul ambiguitas peran.
21
6. Perbedaan nilai dengan perusahaan Situasi ini biasanya terjadi pada para karyawan atau manajer yang mempunyai prinsip yang berkaitan dengan profesi yang digeluti maupun prinsip kemanusiaan yang dijunjung tinggi (altruisme). 7. Frustasi Dalam
lingkungan
kerja,
perasaan
frustasi
memang
bisa
disebabkan banyak faktor. Faktor yang diduga berkaitan dengan frustasi kerja adalah terhambatnya promosi, ketidakjelasan tugas dan wewenang serta penilaian/evaluasi staf, ketidakpuasan gaji yang diterima. 8. Perubahan tipe pekerjaan, khususnya jika hal tersebut tidak umum Situasi ini bisa timbul akibat mutasi yang tidak sesuai dengan keahlian dan jenjang karir yang di lalui atau mutasi pada perusahaan lain, meskipun dalam satu grup namun lokasinya dan status jabatan serta status perusahaannya berada dibawah perusahaan pertama. 9. Konflik peran Terdapat dua tipe umum konflik peran yaitu (a) konflik peran intersender,
dimana
pegawai
berhadapan
dengan
harapan
organisasi terhadap yang tidak konsisten dan tidak sesuai; (b) konflik peran intrasender, konflik ini kebanyakan terjadi pada karyawan atau manajer yang menduduki jabatan di dua struktur. Akibatnya, jika masing-masing struktur memprioritaskan pekerjaan yang tidak sama, akan berdampak pada karyawan atau manajer yang berada pada posisi dibawahnya, terutama jika mereka harus memilih salah satu alternatif.
Menurut Dwiyanti (2001 : 75) terdapat dua faktor penyebab atau sumber munculnya stress atau stress kerja, yaitu faktor lingkungan kerja dan faktor personal. Faktor lingkungan kerja dapat berupa kondisi fisik manajemen kantor maupun hubungan sosial di lingkungan pekerjaan. Sedangkan faktor personal bisa
22
berupa tipe kepribadian, peristiwa atau pengalaman pribadi maupun kondisi sosial-ekonomi keluarga dimana pribadi berada dan mengembangkan diri. Faktor kedua tidak secara langsung berhubungan dengan kondisi pekerjaan, namun karna dampak yang ditimbulkan pekerjaan cukup besar, maka faktor pribadi ditempatkan sebagai sumber atau penyebab munculnya stress. Secara umum dikelompokkan sebagai berikut : 1. Tidak adanya dukungan sosial Artinya, stress akan cenderung muncul pada para karyawan yang tidak mendapat dukungan dari lingkungan sosial mereka. Hubungan sosial disini bisa berupa dukungan dari lingkungan pekerjaan maupun lingkungan keluarga. Banyak kasus menunjukkan bahwa, para karyawan yang mengalami stress kerja adalah mereka yang tidak mendapat dukungan (khususnya moril) dari keluarga, seperti orang tua, mertua, anak, dan teman semacamnya. Begitu juga ketika seseorang tidak memperoleh dukungan dari rekan sekerjanya (baik pimpinan maupun bawahan) akan cenderung lebih mudah terkena stress. 2. Tidak adanya kesempatan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan di kantor. Hal ini berkaitan dengan hak dan kewenangan seseorang dalam menjalankan tugas dan pekerjaannya. Banyak orang mengalami stress kerja ketika mereka tidak dapat memutuskan persoalan yang menjadi tanggung jawab dan kewenangannya. Stress kerja juga bisa terjadi ketika seorang karyawan tidak dilibatkan dalam pembuatan keputusan yang menyangkut dirinya. 3. Pelecehan seksual Yakni kontak atau komunikasi yang berhubungan atau dikonotasikan berkaitan dengan seks yang tidak diinginkan. Pelecehan seksual ini bisa dimulai dari yang paling kasar seperti memegang bagian badan yang sensitif, mengajak kencan dan semacamnya sampai yang paling halus berupa rayuan, pujian bahkan senyuman yang tidak pada konteksnya. Dari banyak kasus pelecehan seksual yang sering
23
menyebabkan stress kerja adalah perlakuan kasar atau penganiayaan fisik dari lawan jenis dan janji promosi jabatan namun tak terkunjung terwujud hanya karna wanita. 4. Kondisi lingkungan kerja Kondisi lingkungan kerja fisik ini bisa berupa suhu yang terlalu panas, terlalu dingin, terlalu sesak, kurang cahaya, dan semacamnya. Ruangan yang terlalu panas mengakibatkan ketidaknyamanan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu dingin. Panas tidak hanya dalam pengertian temperatur udara tetapi juga sirkulasi atau arus udara. Disamping itu kebisingan juga merupakan kondisi yang dapat mengganggu pekerjaan sehingga munculnya stress kerja sebab beberapa orang sangat sensitif pada kebisingan dibandingkan yang lain (Muchinsky dalam Margiati, 1999 73). 5. Manajemen yang tidak sehat Banyak orang yang mengalami stress dalam pekerjaan ketika gaya kepemimpinan para manajernya cenderung neurotis, yakni seseorang yang sangat sensitif, tidak percaya orang lain (khususnya bawahan), perfeksionis, terlalu mendramatisir suasana hati atau peristiwa sehingga mempengaruhi pmbuatan keputusan di tempat kerja. Situasi kerja atasan selalu mencurigai bawahan, membesarkan peristiwa atau kejadian yang semestinya sepele dan semacamnya, seseorang akan tidak leluasa menjalankan pekerjaannya, yang pada akhirnya akan menimbulkan stress (Minner dalam Margiati, 1999 : 73). 6. Tipe kepribadian Seseorang dengan kepribadian tipe A cenderung mengalami stress dibandingan kepribadian tipe B. Beberapa ciri kepribadian tipe A ini adalah sering merasa diburu-buru dalam menjalankan pekerjaannya, tidak sabaran, konsentrasi pada lebih dari satu pekerjaan pada waktu yang sama, cenderung tidak puas terhadap hidup (apa yang diraihnya), cenderung berkompetisi dengan orang lain meskipun dalam situasi atau peristiwa non kompetitif. Dengan begitu, bagi pihak perusahaan
24
akan selalu mengalami dilema ketika mengambil pegawai dengan kepribadian tipe A. Sebab, disatu sisi akan memperoleh hasil yang bagus dan pekerjaan mereka, namun disisi lain perusahaan akan mendapatkan pegawai yang mendapat resiko serangan atau sakit jantung (Minner dalam Margiati, 1999 : 73). 7. Peristiwa atau pengalaman pribadi Stress kerja sering disebabkan pengalaman pribadi yang menyakitkan, kematian pasangan, perceraian, sekolah, anak sakit atau gagal sekolah, kehamilan yang tidak diinginkan, peristiwa traumatis atau menghadapi masalah (pelanggaran) hukum. Banyak kasus menunjukan bahwa tingkat stress paling tinggi terjadi pada seseorang yang ditinggal mati pasangannya, sementara yang paling rendah disebabkan oleh perpindahan
tempat
tinggal.
Disamping
itu,
ketidakmampuan
memenuhi kebutuhan sehari-hari, kesepian, perasaan tidak aman, juga termasuk kategori ini (Baron dan Greenburg dalam Margiati, 1999 : 73). 2.4.4 Indikator-indikator Stress Situasi stress kerja menghasilkan reaksi emosional mulai dari kegembiraan (jika peristiwa menuntut tetapi dapat ditangani) sampai emosi umum kecemasan, kemarahan, kekecewaan, dan depresi. Jika situasi stress kerja terus terjadi, emosi seorang karyawan mungkin berpindah-pindah diantara emosi-emosi tersebut, tergantung pada keberhasilan dalam menyelesaikannya. Robbins (2002:309) mengemukakan tiga kategori kemunculan stress kerja, yaitu : 1. Gejala fisiologis •
Meningkatnya laju detak jantung dan pernapasan
•
Meningkatnya tekanan darah
•
Menimbulkan sakit kepala
•
Menyebabkan serangan jantung
25
2. Gejala psikologis •
Ketegangan
•
Kecemasan
•
Mudah marah
•
Kebosanan
•
Suka menunda-nunda pekerjaan
3. Gejala perilaku •
Berkurangnya produktifitas
•
Absensi
•
Tingkat keluarnya karyawan
•
Kebiasaan makan
•
Meningkatnya merokok dan konsumsi alkohol
•
Bicara cepat
•
Gelisah dan gangguan tidur
Dari keterangan diatas dapat di ambil kesimpulan bahwa stress dapat menimbulkan beberapa gejala-gejala yang muncul apabila mengalami stress pada pekerjaan.
2.4.5
Dampak Stress Kerja Pada Perusahaan Stress merupakan suatu respons adoptif terhadap suatu situasi yang
dirasakan menantang atau mengancam kesehatan seseorang. Sering didengar bahwa stress merupakan akibat negatif dari kehidupan modern. Orang-orang merasa stress karena terlalu banyak pekerjaan, ketidakpahaman terhadap pekerjaan, beban informasi yang terlalu berat atau karena mengikuti perkembangan zaman. Kejadian-kejadian tersebut menimbulkan distresss, yakni derajat penyimpangan fisik, psikis dan perilaku dari fungsi yang sehat. Randall Schuller (dalam Rini, 2002 : 4) mengidentifikasi beberapa perilaku negatif karyawan yang berpengaruh terhadap organisasi. Menurut peneliti ini, stress yang dihadapi oleh karyawan berkorelasi dengan penurunan prestasi kerja, peningkatan ketidak hadiran kerja serta tendesi mengalami kecelakaan.
26
Secara singkat beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh stress kerja terhadap perusahaan atau organisasi dapat berupa : 1. Terjadinya kekacauan, hambatan baik dalam manajemen maupun operasional kerja 2. Mengganggu kenormalan aktifitas kerja 3. Menurunkan tingkat produktifitas 4. Menurunkan pemasukan dan keuntungan perusahaan Kerugian financial yang dialami perusahaan karena tidak imbangnya antara produktivitas dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya. 2.4.6
Dampak Stress Kerja Pada Karyawan Selain berpengaruh pada perusahaan atau organisasi, stress berpengaruh
pula secara langsung pada karyawan. Munculnya stress, baik yang disebabkan oleh sesuatu yang menyenangkan atau sesuatu yang tidak menyenangkan akan memberikan akibat tertentu pada seseorang. Pengaruh stress kerja ada yang menguntungkan maupun merugikan bagi perusahaan. Namun pada taraf tertentu pengaruh yang menguntungkan perusahaan diharapkan akan memacu karyawan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Reaksi terhadap stress dapat berupa reaksi bersifat psikis maupun fisik. Biasanya pekerja atau karyawan yang stress akan menunjukkan perubahan perilaku. Perubahan perilaku terjadi pada diri manusia sebagai usaha mengatasi stress. Usaha mengatasi stress dapat berupa perilaku melawan stress (flight) atau (freeze) berdiam diri. Dalam kehidupan sehari-hari ketiga reaksi ini biasanya dilakukan secara bergantian, tergantung situasi dan bentuk stress. Perubahanperubahan ini di tempat kerja merupakan gejala-gejala individu yang mengalami stress antara lain (Margiati, 1999 : 78-79) : a. Bekerja melewati batas kemampuan b. Keterlambatan masuk kerja yang sering c. Ketidakhadiran pekerjaan d. Kesulitan membuat keputusan
27
e. Kesalahan yang sembrono f. Kelalaian menyelesaikan pekerjaan g. Lupa akan janji yang dibuat dan kegagalan diri sendiri h. Kesulitan berhubungan dengan orang lain i. Kerisauan tentang kesalahan yang dibuat j. Menunjukkan gejala fisik seperti pada alat pencernaan, tekanan darah tinggi, radang kulit, radang pernafasan. Munculnya stress, baik yang disebabkan oleh sesuatu yang menyenangkan atau sesuatu yang tidak menyenangkan akan memberikan akibat tertentu pada seseorang. Menurut Sopiah (2008 : 91) bahwa dampak atau akibat dari stress bisa dilihat pada tiga aspek, yaitu : 1. Fisik Akibat stress pada fisik mudah dikenali. Ada sejumlah penyakit yang disinyalir karena orang tersebut mengalami stress yang cukup tinggi dan berkepanjangan, diantaranya adalah penyakit jantung, bisul, tekanan darah tinggi, sakit kepala, gangguan tidur, tambah sakit jika sedang menderita sakit. 2. Psikis Dampak stress pada aspek psikis bisa dikenali, di antaranya adalah ketidakpuasan kerja, depresi, keletihan, kemurungan dan kurang bersemangat. 3. Perilaku Akibat stress bisa dikenali dari perilaku, yaitu kinerja rendah, naiknya tingkat kecelakaan kerja, salah dalam mengambil keputusan, tingkat absensi kerja tinggi, dan agresi di tempat kerja.
28
2.4.7
Strategi Manajemen Stress Manajemen stress lebih daripada sekedar mengatasinya, yakni belajar
menanggulanginya secara adaptif dan efektif. Manajemen stress bertujuan untuk mencegah berkembangnya stress jangka pendek menjadi stress jangka panjang atau stress yang kronis. Dalam mengatasi stress pada setiap individu berbeda satu sama lainnya, karena setiap individu memiliki tingkatan stress yang berbeda dan hanya individu tersebutlah yang mengetahui seberapa besar stress yang dialaminya. Individu dalam mengatasi stress tersebut adalah dengan cara latihan jasmani, tidur, relaksasi dan meditasi. Menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2001 : 158), dalam menghadapi stress dapat dilakukan dengan tiga strategi, yaitu : 1. Memperkecil dan mengendalikan sumber-sumber stress Melakukan penilaian terhadap situasi sumber-sumber stress, mengembangkan alternatif tindakan, mengambil tindakan yang dipandang paling tepat, mengambil tindakan yang lebih positif dan memanfaatkan umpan balik. 2. Menetralkan dampak yang ditimbulkan oleh stress Mengendalikan berbagai reaksi baik jasmaniah, emosional, maupun bentuk-bentuk mekanisme pertahanan diri, seperti menangis, menceritakan masalah kepada orang lain, humor, dan istirahat. 3. Meningkatkan daya tahan pribadi Memahami
diri,
memahami
orang
lain,
mengembangkan
keterlampilan pribadi, berolah raga secara teratur, beribadah, pola kerja yang teratur dan disiplin, mengembangkan tujuan dan nilainilai yang lebih realsitik. Mendeteksi penyebab stress dan bentuk reaksinya, maka ada tiga pola dalam mengatasi stress, yaitu pola sehat, pola harmonis, dan pola patologis (Mangkunegara, 2002 : 158-159) :
29
1. Pola Sehat Pola sehat adalah pola menghadapi stress yang terbaik yaitu dengan kemampuan mengelola perilaku dan tindakan sehingga adanya stress tidak menimbulkan gangguan, akan tetapi menjadi lebih sehat dan berkembang. Mereka yang tergolong kelompok ini biasanya mampu mengelola waktu dan kesibukan dengan cara yang baik dan teratur sehingga ia tidak perlu merasa ada sesuatu yang menekan, meskipun sebenarnya tantangan dan tekanan cukup banyak. 2. Pola Harmonis Pola harmonis adalah pola menghadapi stress dengan kemampuan mengelola waktu dan kegiatan secara harmonis dan tidak menimbulkan berbagai hambatan. Dengan pola ini, individu mampu mengendalikan berbagai kesibukan dan tantangan dengan cara mengatur waktu secara teratur. Dengan demikian, akan terjadi keharmonisan dan keseimbangan antara tekanan yang diterima dengan
reaksi
yang
diberikan.
Demikian
juga
terhadap
keharmonisan antara dirinya dan lingkungan. 3. Pola Patologis Pola patologis adalah pola menghadapi stress dengan berdampak berbagai gangguan fisik maupun sosial-psikologis. Dalam pola ini, individu akan menghadapi berbagai tantangan dengan cara-cara yang tidak memiliki kemampuan dan keteraturan mengelola tugas dan waktu. Cara ini dapat menimbulkan reaksi-reaksi yang berbahaya karena bisa menimbulkan berbagai masalah-masalah yang buruk.
Selanjutnya pada bagian kepegawaian dapat dan harus membantu para karyawan untuk mengatasi stress yang dihadapinya. Berbagai langkah yang dapat diambil menurut Siagian (2008 : 302-303) meliputi antara lain :
30
1. Merumuskan kebijaksanaan manajemen dalam membantu para karyawan menghadapi berbagai stress. 2. Menyampaikan kebijaksanaan tersebut kepada seluruh karyawan sehingga mereka mengetahui kepada siapa mereka dapat meminta bantuan dan dalam bentuk apa jika mereka menghadapi stress. 3. Melatih para manajer dengan tujuan agar mereka peka terhadap timbulnya gejala-gejalan stress di kalangan para bawahannya dan dapat mengambil langkah-langkah tertentu sebelum stress itu berdampak negatif terhadap prestasi kerja bawahannya itu. 4. Melatih para karyawan mengenali dan menghilangkan sumber-sumber stress. 5. Terus membuka jalur komunikasi dengan para karyawan sehingga mereka benar-benar diikutsertakan untuk mengatasi stress yang dihadapinya. 6. Memantau terus-menerus kegiatan organisasi sehingga kondisi yang dapat menjadi sumber stress dapat diidentifikasikan dan dihilangkan secara dini. 7. Menyempurnakan rancang bangun tugas dan tata ruang kerja sedemikian rupa sehingga berbagai sumber stress yang berasal dari kondisi kerja dapat dielakkan. 8. Menyediakan jasa bantuan bagi para karyawan apabila mereka sempat menghadapi stress. Jelaslah bahwa meskipun stress dapat berperan positif dalam perilaku seseorang dalam pekerjaannya, perlu selalu diwaspadai agar jenis, bentuk dan identitas stress itu berada pada tingkat yang dapat teratasi, baik oleh karyawan secara mandiri maupun dengan bantuan organisasi, dalam hal ini terutama bagian kepegawaian dan atasan langsung karyawan yang bersangkutan.
31
2.5
Kepuasan Kerja
2.5.1
Pengertian Kepuasan Kerja Manusia dalam hidup mempunyai kebutuhan mendasar yang tidak
mungkin dapat dihilangkan, karena kebutuhan tersebut mendasari perilaku seseorang. Jika seseorang dalam bekerja merasa kebutuhannya sudah terpenuhi, maka akan menimbulkan kepuasan kerja dalam diri mereka. Untuk memperjelas pengertian mengenai kepuasan kerja maka penulis mengemukakan beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli : Menurut Handoko (2001: 193) : “Kepuasan
kerja
adalah
pandangan
karyawan
yang
menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap pekerjaan mereka. Perasaan tersebut akan tampak dari sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya”.
Menurut Rivai (2009: 856) : “Kepuasan kerja adalah evaluasi yang menggambarkan seseorang atau sikapnya senang ataupun tidak senang, puas ataupun tidak puas dalam bekerja”. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli sebagaimana diungkapkan diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah suatu bentuk perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Dengan demikian kepuasan kerja merupakan sesuatu yang penting untuk dimiliki oleh seorang karyawan, dimana mereka dapat berinteraksi dengan lingkungan kerjanya sehingga pekerjaan dilaksanakan dengan baik dan tujuan perusahaan tercapai. Rivai (2009: 862) membagi kepuasan kerja dalam tiga kelompok yaitu : 1. Kepuasan kerja dalam pekerjaan Kepuasan kerja yang dinikmati dalam pekerjaan dengan memperoleh pujian hasil kerja, penempatan, perlakuan, peralatan, dan suasana lingkungan kerja yang baik. Karyawan yang lebih suka menikmati
32
kepuasan
kerja
dalam
pekerjaan
akan
lebih
mengutamakan
pekerjaannya daripada balas jasa walaupun balas jasa itu penting. 2. Kepuasan kerja diluar pekerjaan Kepuasan kerja yang dinikmati di luar pekerjaan dengan besarnya balas jasa yang akan diterima dari hasil kerjanya, agar dapat membeli kebutuhan-kebutuhannya. Karyawan yang lebih suka menikmati kepuasan kerja di luar pekerjaan akan lebih mempersoalkan balas jasa daripada pelaksanaan tugas-tugasnya. 3. Kepuasan kerja kombinasi dalam dan luar pekerjaan Kepuasan kerja yang dicerminkan oleh sikap emosional yang seimbang antara balas jasa dengan pelaksanaan pekerjaannya. Karyawan yang lebih menikmati kepuasan kerja kombinasi dalam dan luar pekerjaannya akan merasa puas jika hasil kerja dan balas jasanya dirasa adil dan layak. 2.5.2 Teori-Teori Kepuasan Kerja Menurut Wexley dan Yukl (dalam As'ad, 2002:104) ada tiga macam teori kepuasan kerja, yaitu : 1. Discrepancy Theory ( Teori Ketidaksesuaian) Teori ini mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Yang menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang bergantung pada discrepancy antara ekspektasi, keinginan dan nilai yang diharapkan dengan apa yang menurut perasaannya atau presepsinya telah diperoleh atau dicapai melalui pekerjaannya. 2. Equity Theory (Teori Keadilan) Pada prinsipnya teori ini beranggapan bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung apakah ia merasakan keadilan atau tidak atas suatu keadaan. Perasaan tersebut akan
33
didapat dengan membandingkan dengan keadaan orang lain, rekan kerja sekantor atau yang berbeda tempat kerja. 3. Two Factor Theory (Teori Dua Faktor) Prinsip dari teori ini adalah bahwa kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja (job dissatisfaction) merupakan dua hal yang berbeda. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Herzberg. Ia membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok yaitu kelompok satisfiers atau motivator dan kelompok dissatisfier atau hygiene factors. Ada dua komponen kepuasan kerja (Mas`ud, 2002), yaitu : 1. Kepuasan Intrinsik, meliputi : variasi tugas, kesempatan berkembang, kesempatan menggunakan kemampuan dan ketrampilan, otonomi, kepercayaan, pekerjaan yang menantang dan bermakna, dan sebagainya. 2. Kepuasan Ekstrinsik, meliputi : gaji (upah) yang diperoleh, supervisi, jaminan kerja, status dan prestise.
2.5.3
Indikator-indikator Kepuasan Kerja Menurut Rivai (2009: 860) tolak ukur tingkat kepuasan yang mutlak tidak
ada karena setiap individu berbeda standar kepuasannya, indikator kepuasan kerja hanya diukur dengan : 1. Isi pekerjaan, penampilan tugas yang aktual dan sebagai kontrol terhadap pekerjaan 2. Organisasi 3. Kesempatan untuk maju 4. Gaji dan keuntungan dalam bidang keuangan (insentif)
34
Menurut Mangkunegara (2007: 167) indikator tingkat kepuasan dapat dilihat dari : 1. Tingkat perputaran karyawan Kepuasan
kerja
yang
lebih
rendah
biasanya
akan
mengakibatkan perputaran karyawan lebih tinggi. Mereka lebih mudah meninggalkan perusahaan dan mencari kesempatan di perusahaan lain. 2. Tingkat absensi karyawan Para karyawan yang kurang mendapatkan kepuasan kerja cenderung lebih sering absen. 3. Umur karyawan Semakin bertambah umur karyawan, mereka cenderung lebih terpuaskan dengan pekerjaan-pekerjaan mereka. Para karyawan yang lebih muda cenderung kurang terpuaskan, karena berbagai penghargaan yang lebih tinggi, kurang penyesuaian dan penyebab lainnya. 4. Jenjang karyawan Orang-orang dengan jenjang pekerjaan yang lebih tinggi cenderung lebih mendapatkan kepuasan kerja. Mereka biasanya memperoleh kompensasi lebih baik, kondisi kerja lebih nyaman, dan pekerjaan-pekerjaan mereka mmungkinkan penggunaan segala kemampuan yang mereka miliki, sehingga mereka mempunyai alasan-alasan untuk lebih terpuaskan. 5. Ukuran Organisasi Ukuran
organisasi
perusahaan
cenderung
mempunyai
hubungan secara berlawanan dengan kepuasan kerja. Semakin besar organisasi, kepuasan kerja cenderung turun secara moderat kecuali manajemen mengambil tindakan koreksi. Tanpa tindaan koreksi organisasi besar akan menjauhkan karyawannya dalam berbagai proses seperti partisipasi, komunikasi dan koordinasi kurang lancar.
35
2.6
Hubungan Stress Kerja dengan Kepuasan Kerja Dalam hubungannya dengan pekerjaan atau profesi yang ditekuni, setiap
orang memiliki kemampuan berbeda dalam mengelola beban pekerjaannya. Apabila beban pekerjaan melampaui kemampuan pekerja maupun dibawah kemampuan seorang pekerja maka dapat mengakibatkan stress. Beberapa studi yang dilakukan oleh peneliti yang mengkaji hubungan antara stress dan kepuasan kerja. Stress adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi seseorang. Sedangkan kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan dimana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Keduanya saling berhubungan seperti yang dikemukakan Robbins (2003), bahwa salah satu dampak stress secara psikologis dapat menurunkan kepuasan kerja karyawan. Robbins (2003) juga berpendapat stress dapat menyebabkan ketidakpuasan. Stress yang dikaitkan dengan pekerjaan menimbulkan ketidakpuasan yang berkaitan dengan pekerjaan dan memang itulah efek psikologis yang paling sederhana dan paling jelas dari stress itu. Lebih jauh lagi Robbins (2003) mengemukakan bahwa dampak stres pada kepuasan jauh lebih langsung. Ketegangan yang terkait dengan pekerjaan cenderung mengurangi kepuasan kerja umum. Meskipun tingkat rendah sampai sedang mungkin memperbaiki kinerja, para karyawan merasakan bahwa stress itu tidak menyenangkan. Dengan demikian bahwa stress di satu sisi dapat meningkatkan kepuasan kerja akan tetapi disisi lain dapat juga menurunkan kepuasan kerja tentunya disesuaikan dengan pekerjaan yang dihadapinya, dan stress kerja memiliki hubungan dengan kepuasan kerja karyawan.